Anda di halaman 1dari 16

PENGARUH ASPEK SOSISAL BUDAYA

PADA PELAYANAN KEBIDANAN

Kelompok 3
1. Nur Syahara
2. Phyta Purnamasari. A
3. Putri Apriani
4. Rara Angraini
5. Rosmita
KATA PENGANTAR

Puji syukur diucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmatNya sehingga makalah ini
dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa kami mengucapkan terimakasih terhadap
bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik pikiran
maupun materinya.
Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi pembaca. bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini dapat menjadi
lebih sempurna.
Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan
makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman Kami. Untuk itu kami sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Unaaha , 2 November 2021


Penyusun

i
DAFTAR
Kata Pengantar......................................................................................................................... i
Daftar Isi................................................................................................................................... ii
BAB 1 PENDAHULUAN........................................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang............................................................................................................. 1
1.2 Tujuan Makalah............................................................................................................ 2
1.3 Rumusan Masalah........................................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................................... 3
2.1 Aspek Sosial Budaya yang Berkaitan dengan Pra Perkawinan
dan Perkawinan............................................................................................................. 3
2.2 Aspek Sosial Budaya yang Berkaitan dengan Kehamilan........................................... 5
2.3 Aspek Sosial Budaya yang Berkaitan dengan Kelahiran, Nifas dan
Bayi Baru Lahir............................................................................................................ 7
2.4 Pendekatan Melalui Budaya dan Kegiatan Kebudayaan Kaitannya dengan
Peran Seorang Bidan.................................................................................................... 9
BAB III PENUTUP.................................................................................................................. 12
3.1 Kesimpulan................................................................................................................... 12
3.2 Saran............................................................................................................................. 12
Daftar Pustaka.......................................................................................................................... 13

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Aspek sosial dan budaya sangat mempengaruhi pola kehidupan manusia. Di era
globalisasi sekarang ini dengan berbagai perubahan yang begitu ekstrem menuntut semua
manusia harus memperhatikan aspek sosial budaya. Salah satu masalah yang kini banyak
merebak di kalangan masyarakat adalah kematian ataupun kesakitan pada ibu dan anak yang
sesungguhnya tidak terlepas dari faktor-faktor sosial budaya dan lingkungan di dalam
masyarakat dimana mereka berada.
Disadari atau tidak, faktor-faktor kepercayaan dan pengetahuan budaya seperti
konsepsi-konsepsi mengenai berbagai pantangan, hubungan sebab- akibat antara makanan
dan kondisi sehat-sakit, kebiasaan dan ketidaktahuan, seringkali membawa dampak baik
positif maupun negatif terhadap kesehatan ibu dan anak.
Menjadi seorang bidan bukanlah hal yang mudah. Seorang bidan harus siap fisik
maupun mental, karena tugas seorang bidan sangatlah berat. Bidan yang siap mengabdi di
kawasan pedesaan mempunyai tantangan yang besar dalam mengubah pola kehidupan
masyarakat yang mempunyai dampak negatif tehadap kesehatan masyarakat.. Tidak mudah
mengubah pola pikir ataupun sosial budaya masyarakat. Apalagi masalah proses persalinan
yang umum masih banyak menggunakan dukun beranak.
Ditambah lagi tantangan konkret yang dihadapi bidan di pedesaan adalah kemiskinan,
pendidikan rendah, dan budaya. Karena itu, kemampuan mengenali masalah dan mencari
solusi bersama masyarakat menjadi kemampuan dasar yang harus dimiliki bidan.
Untuk itu  seorang bidan agar dapat melakukan pendekatan terhadap masyarakat perlu
mempelajari sosial-budaya masyarakat tersebut, yang meliputi tingkat pengetahuan
penduduk, struktur pemerintahan, adat istiadat dan kebiasaan sehari-hari, pandangan norma
dan nilai, agama, bahasa, kesenian, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan wilayah tersebut.

1
1.2 Tujuan Makalah
Untuk mengetahui aspek sosial budaya yang berkaitan dengan peran seorang bidan.
1.3 Rumusan Masalah
1. Bagaimana aspek Sosial Budaya yang Berkaitan dengan Pra Perkawinan dan
Perkawinan?
2. Bagaimana aspek Sosial Budaya yang Berkaitan dengan Kehamilan?
3. Bagaimana aspek Sosial Budaya yang Berkaitan dengan Kelahiran, Nifas dan Bayi Baru
Lahir?
4. Bagaimana pendekatan Melalui Budaya dan Kegiatan Kebudayaan Kaitannya dengan
Peran Seorang Bidan?

2
 BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Aspek Sosial Budaya yang Berkaitan dengan Pra Perkawinan dan Perkawinan
A. Pra Perkawinan
Masa pra perkawinan adalah masa pasangan untuk mempersiapkan diri ke jenjang
perkawinan Pelayanan kebidanan diawali dengan pemeliharaan kesehatan para calon ibu.
Remaja wanita yang akan memasuki jenjang perkawinan perlu dijaga kondisi kesehatannya.
Kepada para remaja di beri pengertian tentang hubungan seksual yang sehat, kesiapan
mental dalam menghadapi kehamilan dan pengetahuan tentang proses kehamilan dan
persalinan, pemeliharaan kesehatan dalam masa pra dan pasca kehamilan.
Promosi kesehatan pada masa pra kehamilan disampaikan kepada kelompok remaja
wanita atau pada wanita yang akan menikah. Penyampaian nasehat tentang kesehatan pada
masa pranikah ini disesuaikan dengan tingkat intelektual para calon ibu dan keadaan sosial
budaya masyarakat. Nasehat yang di berikan menggunakan bahasa yang mudah di mengerti
karena informasi yang di berikan bersifat pribadi dan sensitif. Remaja yang tumbuh
kembang secara biologis diikuti oleh perkembangan psikologis dan sosialnya. Alam dan
pikiran remaja perlu diketahui. Remaja yang berjiwa muda memiliki sifat menantang,
sesuatu yang dianggap kaku dan kolot serta ingin akan kebebasan dapat menimbulkan
konflik di dalam diri mereka. Pendekatan keremajaan di dalam membina kesehatan
diperlukan. Penyampaian pesan kesehatan dilakukan melalui bahasa remaja dengan
memperhatikan aspek sosial budaya setempat.
Pemeriksaan kesehatan bagi remaja yang akan menikah dianjurkan. Tujuan dari
pemeriksaan tersebut adalah untuk mengetahui secara dini tentang kondisi kesehatan para
remaja. Bila ditemukan penyakit atau kelainan di dalam diri remaja, maka tindakan
pengobatan dapat segera dilakukan. Bila penyakit atau kelainan tersebut tidak diatasi maka
diupayakan agar remaja tersebut berupaya untuk menjaga agar masalahnya tidak bertambah
berat atau menular kepada pasangannya. Misalnya remaja yang menderita penyakit jantung,
bila hamil secara teratur harus memeriksakan kesehatannya kepada dokter. Remaja yang
menderita AIDS harus menjaga pasanganya agar tidak terkena virus HIV. Caranya adalah

3
agar menggunakan kondom saat besrsenggama, bila menikah. Upaya pemeliharaan
kesehatan bagi para calon ibu ini dapat dilakukan melalui kelompok atau kumpulan para
remaja seperti karang taruna, pramuka, organisaai wanita remaja dan sebagainya.
Promosi kesehatan pranikah merupakan suatu proses untuk meningkatkan kemampuan
masyarakat dalam memelihara dan meningkatkan kesehatannya yang ditujukan pada
masyarakat reproduktip pranikah.
Bidan juga berperan dalam mencegah perkawinan dini pada pasangan pra nikah yang
masih menjadi masalah penting dalam kesehatan reproduksi perempuan di Indonesia. Data
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) mencatat, anak perempuan yang menikah pertama kali
pada usia sangat muda, 10-14 tahun, cukup tinggi, jumlahnya 4,8 persen dari jumlah
perempuan usia 10-59 tahun. Sedangkan yang menikah dalam rentang usia 16-19 tahun
berjumlah 41,9 persen. Dengan demikian, hampir 50 persen perempuan Indonesia menikah
pertama kali pada usia di bawah 20 tahun. Provinsi dengan persentase perkawinan dini
tertinggi adalah Kalimantan Selatan (9 persen), Jawa Barat (7,5 persen), serta Kalimantan
Timur dan Kalimantan Tengah masing-masing 7 persen. Hal ini sangat berhubungan dengan
sosial budaya pada daerah tersebut yang mendukung perkawinan dini.
Usia perkawinan dini yang cukup tinggi pada perempuan mengindikasikan rentannya
posisi perempuan di masyarakat. Koordinator Kartini Network Nursyahbani Katjasungkana
menyebut dalam berbagai kesempatan, pernikahan dini menunjukkan posisi perempuan yang
lebih lemah secara ekonomi maupun budaya. Secara budaya, perempuan disosialisasikan
segera menikah sebagai tujuan hidupnya. Akibatnya, perempuan memiliki pilihan lebih
terbatas untuk mengembangkan diri sebagai individu utuh. Selain itu, segera menikahkan
anak perempuan artinya keluarga akan mendapat mas kawin yang berharga di masyarakat
setempat, seperti hewan ternak. Data Riskesdas memperlihatkan, perkawinan sangat muda
(10-14 tahun) banyak terjadi pada perempuan di pedesaan, berpendidikan rendah, berstatus
ekonomi termiskin, serta berasal dari kelompok buruh, petani, dan nelayan.
Sedangkan bagi perempuan, menikah artinya harus siap hamil pada usia sangat muda.
Bila disertai kekurangan energi dan protein, akan menimbulkan masalah kesehatan yang
dapat berakibat kematian bagi ibu saat melahirkan dan juga bayinya. Dan resiko hamil muda
sangat tinggi.

4
B. Perkawinan
Pekawinan bukan hanya sekedar hubungan antara suami dan istri. Perkawinan
memberikan buah untuk menghasilkan turunan. Bayi yang dilahirkan juga adalah bayi yang
sehat dan direncanakan. Kegiatan pembinaan yang dilakukan oleh bidan sendiri antara lain
mempromosikan kesehatan agar peran serta ibu dalam upaya kesehatan ibu, anak dan
keluarga meningkat.
Pelayanan kesehatan ibu dan anak yang meliputi pelayanan ibu hamil, ibu bersalin, ibu
nifas, keluarga berencana, kesehatan reproduksi, pemeriksaan bayi, anak balita dan anak
prasekolah sehat. Peningkatan kualitas pelayanan kesehatan ibu dan anak tersebut diyakini
memerlukan pengetahuan aspek sosial budaya dalam penerapannya kemudian melakukan
pendekatan-pendekatan untuk melakukan perubahan-perubahan terhadap kebiasaan-
kebiasaan yang tidak mendukung peningkatan kesehatan ibu dan anak. Misalnya pola
makan, pacta dasarnya adalah merupakan salah satu selera manusia dimana peran
kebudayaan cukup besar. Hal ini terlihat bahwa setiap daerah mempunyai pola makan
tertentu, termasuk pola makan ibu hamil dan anak yang disertai dengan kepercayaan akan
pantangan, tabu, dan anjuran terhadap beberapa makanan tertentu. Misalnya di Jawa Tengah
adanya anggapan bahwa ibu hamil pantang makan telur karena akan  mempersulit persalinan
dan pantang makan daging karena akan menyebabkan perdarahan yang banyak. Sementara
di salah satu daerah di Jawa Barat, ibu yang kehamilannya memasuki 8-9 bulan sengaja
harus mengurangi makannya agar bayi yang dikandungnya kecil dan mudah dilahirkan.
Sikap seperti ini akan berakibat buruk bagi ibu hamil karena akan membuat ibu dan anak
kurang gizi.
2.2 Aspek Sosial Budaya yang Berkaitan dengan Kehamilan
Perawatan kehamilan merupakan salah satu faktor yang amat perlu diperhatikan untuk
mencegah terjadinya komplikasi dan kematian ketika persalinan, disamping itu juga untuk
menjaga pertumbuhan dan kesehatan janin. Memahami perilaku perawatan kehamilan (ante
natal care) adalah penting untuk mengetahui dampak kesehatan bayi dan si ibu sendiri.
Fakta di berbagai kalangan masyarakat di Indonesia, masih banyak ibu-ibu yang
menganggap kehamilan sebagai hal yang biasa, alamiah dan kodrati. Mereka merasa tidak
perlu memeriksakan dirinya secara rutin ke bidan ataupun dokter. Masih banyaknya ibu-ibu

5
yang kurang menyadari pentingnya pemeriksaan kehamilan ke bidan menyebabkan tidak
terdeteksinya faktor-faktor resiko tinggi yang mungkin dialami oleh mereka. Resiko ini baru
diketahui pada saat persalinan yang sering kali karena kasusnya sudah terlambat dapat
membawa akibat fatal yaitu kematian.
Hal ini kemungkinan disebabkan oleh rendahnya tingkat pendidikan dan kurangnya
informasi. Selain dari kurangnya pengetahuan akan pentingnya perawatan kehamilan,
permasalahan-permasalahan pada kehamilan dan persalinan dipengaruhi juga oleh faktor
nikah pada usia muda yang masih banyak dijumpai di daerah pedesaan. Disamping itu,
dengan masih adanya preferensi terhadap jenis kelamin anak khususnya pada beberapa suku,
yang menyebabkan istri mengalami kehamilan yang berturut-turut dalam jangka waktu yang
relatif pendek, menyebabkan ibu mempunyai resiko tinggi saat melahirkan.
Contohnya di kalangan masyarakat pada suku bangsa nuaulu (Maluku) terdapat suatu
tradisi upacara kehamilan yang dianggap sebagai suatu peristiwa biasa, khususnya masa
kehamilan seorang perempuan pada bulan pertama hingga bulan kedelapan. Namun pada
usia saat kandungan telah mencapai Sembilan bulan, barulah mereka akan mengadakan
suatu upacara. Masyarakat nuaulu mempunyai anggapan bahwa pada saat usia kandungan
seorang perempuan telah mencapai Sembilan bulan, maka pada diri perempuan yang
bersangkutan banyak diliputi oleh pengaruh roh-roh jahat yang dapat menimbulkan berbagai
bahaya gaib. Dan tidak hanya dirinya sendiri juga anak yang dikandungannya, melainkan
orang lain disekitarnya, khususnya kaum laki-laki. Untuk menghindari pengaruh roh-roh
jahat tersebut, si perempuan hamil perlu diasingkan dengan menempatkannya di posuno.
Masyarakat nuaulu juga beranggapan bahwa pada kehidupan seorang anak manusia itu baru
tercipta atau baru dimulai sejak dalam kandungan yang telah berusia 9 bulan. Jadi dalam hal
ini ( masa kehamilan 1-8 bulan ) oleh mereka bukan dianggap merupakan suatu proses
dimulainya bentuk kehidupan.
Permasalahan lain yang cukup besar pengaruhnya pada kehamilan adalah masalah gizi.
Hal ini disebabkan karena adanya kepercayaan-kepercayaan dan pantangan-pantangan
terhadap beberapa makanan. Sementara, kegiatan mereka sehari-hari tidak berkurang
ditambah lagi dengan pantangan-pantangan terhadap beberapa makanan yang sebenamya
sangat dibutuhkan oleh wanita hamil tentunya akan berdampak negatif terhadap kesehatan

6
ibu dan janin. Tidak heran kalau anemia dan kurang gizi pada wanita hamil cukup tinggi
terutama di daerah pedesaan.
Di Jawa Tengah, ada kepercayaan bahwa ibu hamil pantang makan telur karena akan
mempersulit persalinan dan pantang makan daging karena akan menyebabkan perdarahan
yang banyak. Sementara di salah satu daerah di Jawa Barat, ibu yang kehamilannya
memasuki 8-9 bulan sengaja harus mengurangi makannya agar  bayi yang dikandungnya
kecil dan mudah dilahirkan. Di masyarakat Betawi berlaku pantangan makan ikan asin, ikan
laut, udang dan kepiting karena dapat menyebabkan ASI menjadi asin. Dan memang, selain
ibunya kurang gizi, berat badan bayi yang dilahirkan juga rendah. Tentunya hal ini sangat
mempengaruhi daya tahan dan kesehatan si bayi.
2.3 Aspek Sosial Budaya yang Berkaitan dengan Kelahiran, Nifas dan Bayi Baru Lahir
Berdasarkan survei rumah tangga (SKRT) pada tahun 1986, angka kematian ibu
maternal berkisar 450 per 100.000 kelahiran hidup atau lebih dari 20.000 kematian
pertahunnya. Angka kematian ibu merupakan salah satu indikator kesehatan ibu yang
meliputi ibu dalam masa kehamilan, persalinan, dan nifas. Angka tersebut dikatakan tinggi
bila dibandingkan dengan negara-negara ASEAN. Dari hasil penelitian di 12 rumah sakit,
dikatakan bahwa kehamilan merupakan penyebab utama kematian ibu maternal, yaitu
sebesar 94,4% dengan penyebabnya, yaitu pendarahan, infeksi, dan toxaemia (*)%). Selain
menimbulkan kematian, ada penyebab lain yang dapat menambah resiko terjadinya
kematian yaitu Anemia gizi pada ibu hamil, dengan Hb kurang dari 11gr%.
Angka kematian balita masih  didapatkan sebesar 10,6 per 1000 anak balita. Seperti 
halnya dengan bayi sekitar 31% penyebab kematian balita adalah penyakit yang dapat
dicegah dengan imunisasi, yaitu infeksi saluran pernafasan, polio, dan lain-lain.
Masih tingginya angka kematian ibu dan anak di Indonesia berkaitan erat dengan faktor
sosial budaya masyarakat, seperti tingkat pendidikan penduduk, khususnya wanita dewasa
yang masih rendah, keadaan sosial ekonomi yang belum memadai, tingkat kepercayaan
masyarakat terhadap pelayanan kesehatan dan petugas kesehatan yang masih rendah dan
jauhnya lokasi tempat pelayanan kesehatan dari rumah-rumah penduduk kebiasaan-
kebiasaan dan adat istiadat dan perilaku masyarakat yang kurang menunjang dan lain
sebagainya.

7
Tingkat pendidikan terutama pada wanita dewasa yang masih rendah, mempunyai
pengaruh besar terhadap masih tingginya angka kematian bayi. Berdasarkan survei rumah
tangganya (SKRT) pada tahun 1985, tingkat buta huruf pada wanita dewasa adalah sebesar
25,7%. Rendahnya tingkat pendidikan dan buta huruf pada wanita menyebabkan ibu-ibu
tidak mengetahui tentang perawatan semasa hamil, kelahiran, perawatan bayi dan semasa
nifas, tidak mengetahui kapan ia harus datang ke pelayanan kesehatan, kontrol ulang, dan
sebagainya.
Kebiasaan-kebiasaan adat istiadat dan perilaku masyarakat sering kali merupakan
penghalang atau penghambat terciptanya pola hidup sehat di masyarakat. Perilaku,
kebiasaan, dan adat istiadat yang merugikan seperti misalnya:
 Ibu hamil dilarang tidur siang karena takut bayinya besar dan akan sulit melahirkan,
 Ibu menyusui dilarang makan makanan yang asin, misalnya: ikan asin, telur asin karena
bisa membuat ASI jadi asin
 Ibu habis melahirkan dilarang tidur siang,
 Bayi berusia 1 minggu sudah boleh diberikan nasi atau pisang agar mekoniumnya cepat
keluar,
 Ibu post partum harus tidur dengan posisi duduk atau setengah duduk karena takut darah
kotor naik ke mata,
 Ibu yang mengalami kesulitan dalam melahirkan, rambutnya harus diuraikan dan
persalinan yang dilakukan di lantai, diharapkan ibu dapat dengan mudah melahirkan.
 Bayi baru lahir yang sedang tidur harus ditemani dengan benda-benda tajam.
Tingkat kepercayaan masyarakat kepada petugas kesehatan, dibeberapa wilayah masih
rendah. Mereka masih percaya kepada dukun karena kharismatik dukun tersebut yang
sedemikian tinggi, sehingga ia lebih senang berobat dan meminta tolong kepada ibu dukun.
Di daerah pedesaan, kebanyakan ibu hamil masih mempercayai dukun beranak untuk
menolong persalinan yang biasanya dilakukan di rumah. Data Survei Kesehatan Rumah
Tangga tahun 1992 rnenunjukkan bahwa 65% persalinan ditolong oleh dukun beranak.
Beberapa penelitian yang pernah dilakukan mengungkapkan bahwa masih terdapat praktek-
praktek persalinan oleh dukun yang dapat membahayakan si ibu. Penelitian Iskandar dkk
(1996) menunjukkan beberapa tindakan/praktek yang membawa resiko infeksi seperti
"ngolesi" (membasahi vagina dengan minyak kelapa untuk memperlancar persalinan),

8
"kodok" (memasukkan tangan ke dalam vagina dan uterus untuk rnengeluarkan placenta)
atau "nyanda" (setelah persalinan, ibu duduk dengan posisi bersandardan kaki diluruskan ke
depan selama berjam-jam yang dapat menyebabkan perdarahan dan pembengkakan).
Selain pada masa hamil, pantangan-pantangan atau anjuran masih diberlakukan juga
pada masa pasca persalinan. Pantangan ataupun anjuraan ini biasanya berkaitan dengan
proses pemulihan kondisi fisik misalnya, ada makanan tertentu yang sebaiknya dikonsumsi
untuk memperbanyak produksi ASI; ada pula makanan tertentu yang dilarang karena
dianggap dapat mempengaruhi kesehatan bayi. Secara tradisional, ada praktek-praktek yang
dilakukan oleh dukun beranak untuk mengembalikan kondisi fisik dan kesehatan si ibu.
Misalnya mengurut perut yang bertujuan untuk mengembalikan rahim ke posisi semula;
memasukkan ramuan-ramuan seperti daun-daunan kedalam vagina dengan maksud untuk
membersihkan darah dan cairan yang keluar karena proses persalinan; atau memberi jamu
tertentu untuk memperkuat tubuh (Iskandar et al., 1996).
Ini adalah sedikit gambaran tentang aspek sosial budaya masyarakat yang berkaitan
dengan persalinan dan pasca persalinan, yang tentunya masih banyak terdapat aspek sosial
budaya yang mempengaruhi persalinan dan pasca persalinan sesuai dengan keanekaragaman
masyarakat di Indonesia.
2.4 Pendekatan Melalui Budaya dan Kegiatan Kebudayaan Kaitannya dengan Peran
Seorang Bidan
Bidan sebagai salah seorang anggota tim kesehatan yang terdekat dengan masyarakat,
mempunyai peran yang sangat menentukan dalam meningkatkan status kesehatan
masyarakat, khususnya kesehatan ibu dan anak di wilayah kerjanya.
Seorang bidan harus mampu menggerakkan peran serta masyarakat khususnya,
berkaitan dengan kesehatan ibu hamil, ibu bersalin, bufas, bayi baru lahir, anak remaja dan
usia lanjut. Seorang bidan juga harus memiliki kompetensi yang cukup berkaitan dengan
tugas, peran serta tanggung jawabnya.
Dalam rangka peningkatan kualitas dan mutu pelayanan kebidanan diperlukan
pendekatan-pendekatan khususnya sosial budaya, untuk itu sebagai tenaga kesehatan
khususnya calon bidan agar mengetahui dan mampu melaksanakan berbagai upaya untuk
meningkatkan peran aktif masyarakat agar masyarakat sadar pentingnya kesehatan.

9
Menurut Departemen Kesehatan RI, fungsi bidan di wilayah kerjanya adalah sebagai
berikut:
1. Memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat di rumah-rumah, mengenai
persalinan, pelayanan keluarga berencana, dan pengayoman medis kontrasepsi.
2. Menggerakkan dan membina peran serta masyarakat dalam bidang kesehatan, dengan
melakukan penyuluhan kesehatan yang sesuai dengan permasalahan kesehatan
setempat.
3. Membina dan memberikan bimbingan teknis kepada kader serta dukun bayi.
4. Membina kelompok dasa wisma di bidang kesehatan.
5. Membina kerja sama lintas program, lintas sektoral, dan lembaga swadaya masyarakat.
6. Melakukan rujukan medis maupun rujukan kesehatan ke fasilitas kesehatan lainnya.
7. Mendeteksi dini adanya efek samping dan komplikasi pemakaian kontrasepsi serta
adanya penyakit-penyakit lain dan berusaha mengatasi sesuai dengan kemampuannya.
Melihat dari luasnya fungsi bidan tersebut, aspek sosial-budaya perlu diperhatikan
oleh bidan. Sesuai kewenangan tugas bidan yang berkaitan dengan aspek sosial-budaya,
telah diuraikan dalam peraturan Menteri Kesehatan No. 363/Menkes/Per/IX/1980 yaitu:
Mengenai wilayah, struktur kemasyarakatan dan komposisi penduduk, serta sistem
pemerintahan desa dengan cara:
1. Menghubungi pamong desa untuk mendapatkan peta desa yang telah ada pembagian
wilayah pendukuhan/RK dan pembagian wilayah RT serta mencari keterangan tentang
penduduk dari masing-masing RT.
2. Mengenali struktur kemasyarakatan seperti LKMD, PKK, LSM, karang taruna, tokoh
masyarakat, kelompok pengajian, kelompok arisan, dan lain-lain.
3. Mempelajari data penduduk yang meliputi:
 Jenis kelamin
 Umur
 Mata pencaharian
 Pendidikan
 Agama
4. Mempelajari peta desa
5. Mencatat jumlah KK, PUS, dan penduduk menurut jenis kelamin dan golongan.

10
Agar seluruh tugas dan fungsi bidan dapat dilaksanakan secara efektif, bidan harus
mengupayakan hubungan yang efektif dengan masyarakat. Salah satu kunci keberhasilan
hubungan yang efektif adalah komunikasi. Kegiatan bidan yang pertama kali harus
dilakukan bila datang ke suatu wilayah adalah mempelajari bahasa yang digunakan oleh
masyarakat setempat.
Kemudian seorang bidan perlu mempelajari sosial-budaya masyarakat tersebut, yang
meliputi tingkat pengetahuan penduduk, struktur pemerintahan, adat istiadat dan kebiasaan
sehari-hari, pandangan norma dan nilai, agama, bahasa, kesenian, dan hal-hal lain yang
berkaitan dengan wilayah tersebut.
Bidan dapat menunjukan otonominya dan akuntabilitas profesi melalui pendekatan
social dan budaya yang akurat. Manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan yang di anugerahi
pikiran, perasaan dan kemauan secara naluriah memerlukan prantara budaya untuk
menyatakan rasa seninya, baik secara aktif dalam kegiatan kreatif, maupun secara pasif
dalam kegiatan apresiatif. Dalam kegiatan apresiatif, yaitu mengadakan pendekatan
terhadap kesenian atau kebudayaan seolah kita memasuki suatu alam rasa yang kasat mata.
Maka itu dalam mengadakan pendekatan terhadap kesenian kita tidak cukup hanya
bersimpati terhadap kesenian itu, tetapi lebih dari itu yaitu secara empati. Melalui kegiatan-
kegiatan kebudayaan tradisional setempat bidan dapat berperan aktif untuk melakukan
promosi kesehatan kepada masyaratkat dengan melakukan penyuluhan kesehatan di sela-
sela acara kesenian atau kebudayaan tradisional tersebut. Misalnya: Dengan Kesenian
wayang kulit melalui pertunjukan ini diselipkan pesan-pesan kesehatan yang ditampilkan di
awal pertunjukan dan pada akhir pertunjukan.

11
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Bidan sebagai salah seorang anggota tim kesehatan yang terdekat dengan masyarakat,
mempunyai peran yang sangat menentukan dalam meningkatkan status kesehatan
masyarakat, khususnya kesehatan ibu dan anak di wilayah kerjanya.
Seorang bidan harus mampu menggerakkan peran serta masyarakat khususnya,
berkaitan dengan kesehatan ibu hamil, ibu bersalin, bufas, bayi baru lahir, anak remaja dan
usia lanjut. Seorang bidan juga harus memiliki kompetensi yang cukup berkaitan dengan
tugas, peran serta tanggung jawabnya.
Seorang bidan perlu mempelajari sosial-budaya masyarakat tersebut, yang meliputi
tingkat pengetahuan penduduk, struktur pemerintahan, adat istiadat dan kebiasaan sehari-
hari, pandangan norma dan nilai, agama, bahasa, kesenian, dan hal-hal lain yang berkaitan
dengan wilayah tersebut.
Melalui kegiatan-kegiatan kebudayaan tradisional setempat bidan dapat berperan aktif
untuk melakukan promosi kesehatan kepada masyaratkat dengan melakukan penyuluhan
kesehatan di sela-sela acara kesenian atau kebudayaan tradisional tersebut.
3.2 Saran
Bidan harus selalu menjaga hubungan yang efektif dengan masyarakat dengan selalu
mengadakan komunkasi efektif.

12
DAFTAR PUSTAKA

Depkes RI. 2001. Konsep Asuhan Kebidanan. JHPIEGO. Jakarta.

Neil-Wendy Rose. Perawatan Kehamilan. Dian Rakyat. Jakarta.

http://id.wikipedia.org/wiki/Budaya

13

Anda mungkin juga menyukai