Anda di halaman 1dari 30

MENGENAL ASPEK SOSIAL BUDAYA YANG BERKAITAN DENGAN PRAKTIK

KEBIDANAN DALAM ASUHAN KEHAMILAN, PERSALINAN, BAYI, ANAK,


REMAJA, KESPRO/KB PADA ETNIK BATAK DAN JAWA TENGAH
“Makalah Ini Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sosial dan Budaya Dasar”

Dosen Pengampu :
Titi Nurhayati,MKM
Disusun Oleh : Kelompok 8

1. Hanifa (P1732422208)
2. Mutia Rahmawati (P17324222060)
3. Mutiara Ayuningtyas S (P17324222061)
4. Putri Sahla P (P17324222084)
5. Yolanda Fitriany (P17324222084)

POLITEKNIK KEMENTERIAN KESEHATAN BANDUNG


PRODI DIII KEBIDANAN BOGOR
2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan kami
karunia, nikmat, dan kesehatan, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini, dan terus
dapat menimba ilmu di Politeknik Kesehatan Kemenkes Bandung. Penulisan makalah ini
merupakan sebuah tugas mata kuliah Etikolegal Dalam Praktik Kebidanan. Adapun tujuan
penulisan makalah ini adalah untuk menambah wawasan dan pengetahuan pada mata kuliah
yang sedang dipelajari, agar kami semua dapat menjadi mahasiswa yang berguna bagi agama,
bangsa, dan negara.

Dengan tersusunnya makalah ini kami menyadari masih banyak terdapat kekurangan
dan kelemahan, demi kesempurnaan makalah ini kami sangat berharap perbaikan, kritik, dan
saran yang sifatnya membangun apabila terdapat kesalahan. Demikian, semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi kita semua, khususnya bagi kami dan para pihak yang membutuhkan
berbagai ilmu dan pengetahuan yang berkaitan dengan materi standar pelayanan yang terdapat
dalam praktik kebidanan.

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................ii
DAFTAR ISI.............................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................4
1.1 Latar Belakang..................................................................................................................4
1.2 Tujuan...............................................................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................................5
A. Tinjauan Materi...............................................................................................................5
1. Aspek Sosial dan Budaya Dasar yang berkaitan dengan praktik Kebidanan pada etnik
Batak.......................................................................................................................................5
2. Aspek Sosial dan Budaya Dasar yang berkaitan dengan praktik Kebidanan pada etnik
Jawa Tengah.........................................................................................................................15
BAB III PENUTUP.................................................................................................................29
A. KESIMPULAN.............................................................................................................29
B. SARAN.........................................................................................................................29
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................30

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Aspek sosial dan budaya sangat mempengaruhi pola kehidupan manusia. Di era
globalisasi sekarang ini dengan berbagai perubahan yang begitu ekstrem menuntut semua
manusia harus memperhatikan aspek sosial budaya. Salah satu masalah yang kini banyak
merebak di kalangan masyarakat adalah kematian ataupun kesakitan pada ibu dan anak
yang sesungguhnya tidak terlepas dari faktor-faktor sosial budaya dan lingkungan di
dalam masyarakat dimana mereka berada.
Disadari atau tidak, faktor-faktor kepercayaan dan pengetahuan budaya seperti
konsepsi-konsepsi mengenai berbagai pantangan, hubungan sebab- akibat antara makanan
dan kondisisehat-sakit, kebiasaan dan ketidaktahuan, seringkali membawa dampak baik
positif maupunnegatif terhadap kesehatan ibu dan anak.
Menjadi seorang bidan bukanlah hal yang mudah. Seorang bidan harus siap fisik
maupun mental, karena tugas seorang bidan sangatlah berat. Bidan yang siap mengabdi di
kawasan pedesaan mempunyai tantangan yang besar dalam mengubah pola kehidupan
masyarakat yang mempunyai dampak negatif tehadap kesehatan masyarakat. Tidak
mudah mengubah pola pikir ataupun sosial budaya masyarakat. Apalagi masalah proses
persalinan yang umum masih banyak menggunakan dukun beranak.
Ditambah lagi tantangan konkret yang dihadapi bidan di pedesaan adalah kemiskinan,
pendidikan rendah, dan budaya. Karena itu, kemampuan mengenali masalah dan mencari
solusi bersama masyarakat menjadi kemampuan dasar yang harus dimiliki bidan.
Untuk itu seorang bidan agar dapat melakukan pendekatan terhadap masyarakat perlu
mempelajari sosial-budaya masyarakat pada suku batak dan jawa tengah.

1.2 Tujuan
1. Untuk mengetahui Aspek Sosial dan Budaya Dasar yang berkaitan dengan praktik
Kebidanan pada etnik Batak yaitu pada Asuhan kehamilan, Persalinan, Bayi, Anak,
Remaja, Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi
2. Untuk mengetahui Aspek Sosial dan Budaya Dasar yang berkaitan dengan praktik
Kebidanan pada etnik Jawa Tengah yaitu pada Asuhan kehamilan, Persalinan, Bayi,
Anak, Remaja, Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi

iv
BAB II
PEMBAHASAN
A. Tinjauan Materi
1. Aspek Sosial dan Budaya Dasar yang berkaitan dengan praktik Kebidanan pada
etnik Batak
a. Asuhan Kehamilan
Pada masyarakat Indonesia tidak dapat dipisahkan dengan kebudayaan
ataupun tradisi setempat, termasuk kesehatan perempuan (masa kehamilan,
persalinan dan nifas dan mengasuh bayi baru lahir) (Juneris, 2010). Pada
prinsipnya segala tradisi, kebudayaan ataupun kebiasaan tidak bermasalah dan
dapat dilaksanakan apabila kebiasaan tersebut meningkatkan kesehatan
perempuan. Tenaga medis diharapkan mampu menyikapi segala budaya yang
berlangsung di masyarakat yang berpengaruh pada kesehatan serta meluruskan
hingga mengembangkan keyakinan yang dianut untuk meningkatkan derajat
kesehatan terutama kesehatan ibu dan bayi termasuk keberhasilan ASI eksklusif
(Yaumil, 2018).
Pada kebiasaan suku Batak Toba yang merupakan suku budaya patriarki,
kehamilan dan kelahiran bayi merupakan suatu anugerah. Kebiasaan ataupun
tradisi juga banyak dilakukan hingga kini (Situmorang. 2017). Pada masa
kehamilan kebiasaan yang dilakukan adalah mambosuri/mangirdak ataupun tujuh
bulanan. Mangirdak berarti memberi semangat. Pada prosesi ini keluarga dari
istri (ibu hamil) memberi makan anak perempuannya (ibu hamil). Kebiasaan
yang lain juga dengan memberikan ulos tondi yang bermakna keluarga
memberikan doa, semangat fisik dan jiwa untuk menghadapi proses kelahiran
nanti hingga masa nifas (pemberian ASI).
Keterlibatan/partisipasi suami, keluarga selama kehamilan berdampak yang
cukup besar dalam kesiapan menuju persalinan (Chriswardani, 2007). Rasa
nyaman, senang, dan kepercayaan diri yang dibangun pada masa kehamilan akan
berdampak pula pada persiapan menyusui yakni produksi ASI. Sri (2010) dalam
penelitiannya mengatakan dukungan sosial mempengaruhi kesejahteraan fisik
dan psikologi ibu hamil, ibu nifas dan ibu menyusui.
Menurut asumsi penulis tradisi mangirdak/mambosuri membuat ibu hamil
merasakan nyaman dengan adanya doa-doa dan poda (nasihat dari keluarga pihak
istri dan suami). Selain itu, dalam tradisi ibu hamil diberikan makanan yang

v
mengandung zat gizi, protein yang baik selama kehamilannya dan persiapan
persalinan seperti ikan bakar dengan bumbu natinombur yang mengandung
nutrien yang baik bagi ibu hamil, janin dan produksi ASI, daging, buah dan
sayuran. Tradisi pada adat batak toba di wilayah kerja Puskesmas Narumonda,
ketika istri hamil/anak perempuan maupun menantu sedang hamil, keluarga akan
mulai menanam sayur bangun-bangun agar dapat disayur dan dikonsumsi pada
rasa nyaman dan percaya diri dalam merawat dan memberikan ASI pada bayi,
serta mendoakan bayi yang dilahirkan kiranya sehat dan tumbuh
kembang yang baik.
Pelaksanaan Upacara Mangirdak jika pihak keluarga perempuan (parboru)
akan datang tiba-tiba ke rumah borunya tanpa pemberitahuan dengan
membawakan makanan kesukaan anaknya (hasoloman ni boruna) dan ikan mas
"dengke". Ikan mas tadi biasanya disajikan berwarna kuning, maknanya adalah
warna kuning biasa dikenal sebagai penyampaian harapan, doa, dan mimpi-
mimpi.
Setelah berkumpul dengan keluarga besar beserta para tetangga dan kerabat
anaknya, maka ibunya akan menghidangkan makanan yang dibawa tadi dan
meminta borunya untuk memakannya atau ibunya menyuapi hingga kenyang.
Uniknya, makanan yang dibawakan keluarga perempuan harus dicicipi
terlebih dahulu oleh borunya yang sedang hamil bahkan suaminya sekalipun.
Setelah ia mencicipi makanannya, barulah siapapun bisa ikut mencicipinya.
Selain itu, ada juga pihak keluarga perempuan yang memberi tahukan
kedatangannya nanti agar pihak menantu, orang tua dan kerabatnya laki-laki
(paranak) bisa menyambut kedatangan mereka.
Biasanya pihak menantu akan menyediakan daging lengkap dengan jambar/na
margoar, dan parboru dengan beberapa kerabatnya akan membawa
ikan mas serta ulos. Dalam budaya Batak Toba, proses kehamilan sampai
kelahiran mengandung nilai-nilai. Contohnya, pada bulan 1 adalah proses
menyatunya benih roh dan rohani dengan jasmani dan kodrati Mulajadi Nabolon
(Sang Pencipta).
Pada bulan ke-2, Debata Natolu hadir dalam diri janin. Kehadiran Debata
Natolu, diyakini akan menjaga, merawat dan menuntun bayi serta ibunya.
Kehadiran Debata Natolu mengiringi proses yang terjadi di bulan-bulan
berikutnya.

vi
Dalam pengetahuan orang Batak Toba, setelah sembilan bulan dalam
kandungan, bayi akan mulai berputar mencari lubang untuk keluar. Kejadian ini
berlangsung selama tujuh hari. Setelah hari ketujuh itu, diyakini pintu bumi akan
terbuka dan bayi tersebut keluar.
Ketika Bayi Sudah Lahir Para Sibaso Belum Bisa Memotong Tali Pusarnya,
Harus Menunggu Ari-Ari Bayi Tersebut Diangkat Juga Dari Dalam Rahim Si
Ibu. Setela Ari-Ari Keluar Barulah Kemudian Sibaso Dapat Memotong Tali
Pusar Bayi Tersebut Dengan Sebilah Bambu Tuah Dengan Ukuran Kecil,
Sehingga Terbentuk Semacam Pisau Yang Sangat Tajam, Dikenal Dengan
Sambilu.
Setelah si bayi tadi dibersihkan dan dimandikan, kemudian dibungkus dengan
kain sarung khusus untuk bayi atau yang sering disebut lampin. Kemudian bayi
tersebut akan dilalo. Dilalo artinya diayun-ayunkan di atas api dengan tujuan agar
si bayi jangan gampang terkejut. Kemudian nenek dan para orang tua yang sudah
sepuh, datang untuk melihat kelahiran bayi tersebut untuk mengucapkan suatu
kalimat sakral “Ambil bayi ini setan, ambil bayi ini setan, ambil bayi ini setan.
Jika kamu tidak mau mengambilnya maka biarkanlah bayi ini menjadi milik
kami.”
Ungkapan kata-kata ini bermaksud agar roh-roh jahat yang ingin mengganggu
ketenteraman si bayi pergi dari keluarga itu.
Berselang beberapa minggu, kemudian para tetangga, keluarga dan sesepuh yang
ada di kampung tersebut akan dipanggil untuk makkaroani hadirnya seorang bayi.
Maknanya semacam syukuran untuk kesehatan si ibu dan juga telah
bertambahnya seorang manusia di keluarga tersebut.
Ke esokan harinya, ketika Matahari terbit, bayi tersebut akan dibawa ke
halaman rumah. Nenek bayi akan mengajak si bayi berbicang bincang seraya
menunjukkan arah jalan ke sawah, ke pancuran atau sumber air, dan juga ke
pekan atau pasar.
Setelah satu minggu berselang dari makkaroani, si bayi akan dibawa ke
sumber air. Menurut kepercayaan orang Batak, menunjukkan kepada si bayi
bahwa kehidupan ini tidak boleh lepas dari unsur air.Kemudian, setelah berumur
satu bulan si bayi akan dibawa oleh orang tuanya atau biasa juga digendong
neneknya ke pekan, disebut maronan-onan.

vii
Membawa bayi ke pasar ini untuk mengenalkan si bayi ke khalayak ramai dan
menunjukkan kepada warga atau kampung tetangga, bahwa keluarga itu sudah
mendapat tambahan jumlah keluargaTradisinya, ibu si bayi akan membeli pisang
sebagai bentuk syukur untuk dibagi-bagikan kepada khalayak ramai yang
menyapa si bayi tersebut. Sebagai rasa syukur, si ibu memberikan pisang kepada
yang menyapa bayi. Sebaliknya, si penyapa tadi memberi uang kepada si ibu
sebagai rasa suka cita. Suatu budaya berbagi rasa syukur yang indah dan patut
dilestarikan.
Salah satu tahap yang penting adalah, saat si bayi dibawa ke rumah tulang atau
paman dari garis darah ibu, baik itu abang atau adik kandung si ibu. Bukan
sekedar main ke rumah tulang, orang tua si bayi juga membawa makanan yang
sangat enak dalam nuansa adat batak. Kedatangan bayi pertama kali ke rumah
tulang ini, dalam budaya Batak dikenal dengan mamboan adat tu tulang. Seorang
tulang dalam budaya Batak sangat dihormati. Statusnya diyakini dapat
menggantikan posisi kedua orangtua si bayi.
Tulang, lalu memberikan adat mamupus (seperti melulur bagian kepala) bere
(keponakan dari adik atau kakak perempuan) dengan cara mambursik
(menyembur) air sirih yang telah dikunyah dengan mulutnya. Praktik mamupus
ini bermakna agar tondi (jiwa/roh) berenya tidak lemah.
Begitu pentingnya peran tulang ini dalam kehidupan orang Batak, sehingga
saat rambut bayi nanti panjang, orang yang berhak memotong rambutnya terlebih
dahulu harus tulangnya, dengan istilah manimburi. Saat proses manimburi ini, ke
genggaman tangan mungil si bayi dimasukkan batu keras yang kecil lalu tulang
menyampaikan pribahasa Batak yang telah menjadi ucapan sakral dalam proses
manimburi.
b. Persalinan Pada Budaya Batak
Proses bersalin dalam tradisi masyarakat Batak Toba cukup unik. Sebelum
sarana kesehatan memadai, persalinan biasa ditangani oleh si baso. Si baso adalah
sebutan bagi seorang perempuan yang mempunyai bermacam keahlian. Salah
satunya dalam bidang persalinan.
Biasanya, si baso juga memiliki sejumlah pengetahuan yang tak dimiliki
kebanyakan orang. Misalnya ia dapat meramal nasib atau menentukan hari-hari
baik. Bahkan adakalanya ia mampu berkomunikasi dengan makhluk-makhluk
halus.

viii
Setelah ibu melahirkan, si baso lalu memecahkan kemiri, mengunyahnya dan
kemudian memberikannya kepada bayi. Tujuannya untuk membersihkan kotoran
yang dibawa bayi dari kandungan.
“Juga membersihkan saluran pencernaan makanan dari kotoran pertama si
bayi, yang disebut tilan,” jelas Batara.
Ia juga memilin benang berwarna merah, putih, hitam untuk dijadikan kalung
atau gelang. Kemudian membungkus beberapa jenis tanaman obat seperti jerango
untuk dijadikan mainan kalung atau gelang itu. Beberapa hari kemudian, dalam
bungkusan itu, biasanya juga disimpan tali pusarnya. Sesudah anak lahir,
selanjutnya akan digelar ritus mangharoani, yakni syukuran karena si bayi telah
lahir dengan selamat. Pada terminologi lain kerap disebut mamboan aek si unte.
Air yang dibawa merupakan simbol untuk memperlancar ASI.
Jauh sebelum suku Batak mengenal persalinan secara medis seperti sekarang
ini, masyarakat suku Batak sudah mengenal Si Baso, seseorang yang mempunyai
keahlian dalam membantu persalinan kaum ibu. Dalam praktiknya, proses
membantu persalinan ini sangat sarat dengan ritual Batak Toba.
Si Baso juga diyakini mampu mengetahui posisi bayi di dalam kandungan
hanya dengan memegang perut seorang ibu yang mengandung. Dan katanya,
melalui indra keenam, dia akan mengetahui apabila ada kelainan yang terjadi
pada bayi dalam kandungan.
Semisal ketika posisi si bayi dalam kandungan sunsang, Si Baso mampu
mengembalikan posisi bayi menjadi normal. Dalam proses perbaikan ini,
biasanya Si Baso akan mengetahui kapan si ibu akan melahirkan.
Namun Adakalanya Si Baso Menemui Kesulitan Dalam Membantu Proses
Persalinan. Jika Si Bayi Sangat Sulit Untuk Dilahirkan, Maka Si Baso Pun Akan
Memanggil Orang Pintar (Datu) Untuk Menolongnya.
Setelah Si Datu melihat kondisi dari ibu yang sulit melahirkan, dia pun akan
meracik obat yang bernama Salusu. Cara pembuatan salusu ini pun bermacam-
macam, tergantung dari orang pintar tersebut. Ada yang dikenal dengan sebutan
Siuntul ransang.
Pada prosesnya, setelah salusu ini selesai diracik, Si Datu lalu martonggo
(melantunkan doa) sambil menghentakkan kakinya ke lantai. Ajaibnya, dengan
segera si bayi akan keluar dari rahim dengan selamat.

ix
Ada kalanya juga salusu-salusu yang diracik ini tidak berfungsi maka akan
dicari lagi orang pintar, tentu dengan keahlian yang berbeda juga. Sesuai
penuturan nenek moyang terdahulu ada juga orang pintar yang hanya martonggo
(melantunkan doa) saja sambil mengoles-oleskan tangannya ke sebuah sendok
nasi yang terbuat dari tempurung kelapa (sonduk), dan si bayi pun akan langsung
lahir.
Keunikan yang berikutnya adalah, setelah si bayi lahir, alat memotong tali
pusarnya adalah sambilu bukan gunting atau benda lain. Sambilu sebuah
potongan kulit bambu yang sangat tajam. Setelah zaman berkembang, Si Baso
dan Datu pangurupi sudah jarang ditemui. Salusu hampir tidak dikenali lagi
bentuknya.
Saat ini kaum ibu yang akan melahirkan akan dibantu oleh para medis melalui
dokter bedah sipesialis kandungan. Dan juga, kaum ibu sekarang tidak lagi
mengenal jimat yang harus dipunyai ketika hendak melahirkan yaitu, Si
Pangaraison.
c. Bayi, Anak dan Remaja
Ketika Bayi Sudah Lahir Para Sibaso Belum Bisa Memotong Tali Pusarnya,
Harus Menunggu Ari-Ari Bayi Tersebut Diangkat Juga Dari Dalam Rahim Si
Ibu. Setela Ari-Ari Keluar Barulah Kemudian Sibaso Dapat Memotong Tali
Pusar Bayi Tersebut Dengan Sebilah Bambu Tuah Dengan Ukuran Kecil,
Sehingga Terbentuk Semacam Pisau Yang Sangat Tajam, Dikenal Dengan
Sambilu.
Setelah si bayi tadi dibersihkan dan dimandikan, kemudian dibungkus dengan
kain sarung khusus untuk bayi atau yang sering disebut lampin. Kemudian bayi
tersebut akan dilalo. Dilalo artinya diayun-ayunkan di atas api dengan tujuan agar
si bayi jangan gampang terkejut. Kemudian nenek dan para orang tua yang sudah
sepuh, datang untuk melihat kelahiran bayi tersebut untuk mengucapkan suatu
kalimat sakral “Ambil bayi ini setan, ambil bayi ini setan, ambil bayi ini setan.
Jika kamu tidak mau mengambilnya maka biarkanlah bayi ini menjadi milik
kami.”
Ungkapan kata-kata ini bermaksud agar roh-roh jahat yang ingin mengganggu
ketenteraman si bayi pergi dari keluarga itu. Berselang beberapa minggu,
kemudian para tetangga, keluarga dan sesepuh yang ada di kampung tersebut
akan dipanggil untuk makkaroani hadirnya seorang bayi. Maknanya semacam

x
syukuran untuk kesehatan si ibu dan juga telah bertambahnya seorang manusia di
keluarga tersebut.
Keesokan harinya, ketika Matahari terbit, bayi tersebut akan dibawa ke
halaman rumah. Nenek bayi akan mengajak si bayi berbicang bincang seraya
menunjukkan arah jalan ke sawah, ke pancuran atau sumber air, dan juga ke
pekan atau pasar.
Setelah satu minggu berselang dari makkaroani, si bayi akan dibawa ke
sumber air. Menurut kepercayaan orang Batak, menunjukkan kepada si bayi
bahwa kehidupan ini tidak boleh lepas dari unsur air.Kemudian, setelah berumur
satu bulan si bayi akan dibawa oleh orang tuanya atau biasa juga digendong
neneknya ke pekan, disebut maronan-onan.
Membawa bayi ke pasar ini untuk mengenalkan si bayi ke khalayak ramai dan
menunjukkan kepada warga atau kampung tetangga, bahwa keluarga itu sudah
mendapat tambahan jumlah keluarga. Tradisinya, ibu si bayi akan membeli
pisang sebagai bentuk syukur untuk dibagi-bagikan kepada khalayak ramai yang
menyapa si bayi tersebut. Sebagai rasa syukur, si ibu memberikan pisang kepada
yang menyapa bayi. Sebaliknya, si penyapa tadi memberi uang kepada si ibu
sebagai rasa suka cita. Suatu budaya berbagi rasa syukur yang indah dan patut
dilestarikan.
Salah satu tahap yang penting adalah, saat si bayi dibawa ke rumah tulang atau
paman dari garis darah ibu, baik itu abang atau adik kandung si ibu. Bukan
sekedar main ke rumah tulang, orang tua si bayi juga membawa makanan yang
sangat enak dalam nuansa adat batak. Kedatangan bayi pertama kali ke rumah
tulang ini, dalam budaya Batak dikenal dengan mamboan adat tu tulang. Seorang
tulang dalam budaya Batak sangat dihormati. Statusnya diyakini dapat
menggantikan posisi kedua orangtua si bayi. Tulang, lalu memberikan adat
mamupus (seperti melulur bagian kepala) bere (keponakan dari adik atau kakak
perempuan) dengan cara mambursik (menyembur) air sirih yang telah dikunyah
dengan mulutnya. Praktik mamupus ini bermakna agar tondi (jiwa/roh) berenya
tidak lemah.
Begitu pentingnya peran tulang ini dalam kehidupan orang Batak, sehingga
saat rambut bayi nanti panjang, orang yang berhak memotong rambutnya terlebih
dahulu harus tulangnya, dengan istilah manimburi. Saat proses manimburi ini, ke
genggaman tangan mungil si bayi dimasukkan batu keras yang kecil lalu tulang

xi
menyampaikan pribahasa Batak yang telah menjadi ucapan sakral dalam proses
manimburi.
“Pirma Tondim Songon Parpir Ni Batu On.” Jika Diterjemahkan Langsung
“Kiranya Jiwamu Keras Sekeras Batu Ini”
Kalimat itu mengandung makna permohonan kepada Mulajadi Nabolon (Sosok
penguasa alam semesta yang dipercaya leluhur Batak) agar si bayi tersebut diberi
kesehatan dan kekuatan serta ketabahan dalam menjalani kehidupan ini.
Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa
dewasa ketika bentuk badan, cara berpikir, bersikap, dan bertindak seorang
individu, bukan lagi anak-anak tetapi bukan pula dewasa yang telah
matang.Biasanya masa peralihan tersebut terletak pada usia 13 sampai 20 tahun.
Pada masa itu, seorang individu mengalami perubahan fisik, psikis, dan sosial
dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa yang dikenal dengan masa pubertas
yang berhubungan dengan keseluruhan masa transisi antara anak-anak dan
kematangan seksual.
Remaja akan memiliki beberapa pengalaman yang berbeda selama periode
pubertas mereka. Periode ini akan disertai dengan beberapa perubahan fisik dan
psikoseksual ini seperti perasaan menarik dengan lawan jenis dan berubah dalam
penampilan. Informan merasakan perilaku yang berbeda antara sebelum
menarche dengan sesudah menarche, hal ini sesuai dengan hasil penemuan
sebelumnya yang mengatakan bahwa menstruasi pertama biasanya memberikan
keistimewaan dan kenangan tersendiri bagi sang anak. Setiap anak akan memiliki
perasaan yang berbeda-beda tergantung pada pengetahuan yang dimilikinya.
Sebagian dari mereka ada yang merasa bingung, sedih, gemetar, tidak peduli, dan
ada juga yang merasa bangga dengan dirinya (anak merasa sudah menjadi orang
dewasa). Perubahan sikap seperti marah, cemas, dan ketidaknyamanan saat
menarche pada individu berbeda tergantung pada tingkat pemahaman atau
pengetahuan serta dukungan dari anggota keluarga. Reaksi emosi saat menarche
beragam yaitu respons yang positif dan negatif, seperti menggembirakan dan
menyenangkan atau sebaliknya menakutkan dan menggelisahkan.
Perlakuan dari orangtua yang menekankan akan pentingnya nilai keperawanan
bagi anak perempuan suku Batak serta menerapkan aturan- aturan khusus dalam
keluarga terutama bagi anak perem- puan yang sudah menarche adalah untuk
mencapai nilai budaya yang sangat didambakan oleh masyarakat suku Batak

xii
yaitu kehormatan. Hal ini sesuai dengan motto kehidupan suku batak pencapaian
cita-cita meliputi hasangapan, hagabeon, hamoraon (dihormati di masyarakat,
terpandang, dan memiliki keturunan) sehingga anak perempuan di masyarakat
Batak sangat di awasi. Penghormatan yang lain diperoleh apabila orangtua
masyarakat suku Batak dapat mengantarkan anak sampai ke pelaminan tanpa ada
perilaku negatif yang terjadi terhadap fungsi reproduksi anak serta jabatan dan
pendidikan. Oleh sebab itu, nilai keperawanan atau status perawan pada anak
gadis sangat penting.
d. Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi
Angka kematian merupakan barometer Status kesehatan, terutama kematian
ibu dan Kematian bayi. Tingginya angka kematian Tersebut menunjukkan
rendahnya kualitas Pelayanan kesehatan. Berdasarkan data dari SDKI 2007,
Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia yakni 228 per 100.000 kelahiran Hidup.
Akan tetapi bila dilihat dari target Millenium Development Goals (MDGs) yakni
110 per 100.000 kelahiran hidup, maka AKI saat Ini masih perlu diturunkan lagi.
Penyebab kematian ibu selain karena Perdarahan, preeklamsia/eklamsia adalah
Tingginya paritas pada seorang ibu, yang diikuti Rendahnya akses terhadap
pelayanan kesehatan. Salah satu program untuk menurunkan angka Kematian ibu
dan menekan angka pertumbuhan penduduk yakni melalui program Keluarga
Berencana (KB). Program KB memiliki peranan Dalam menurunkan resiko
kematian ibu melalui Pencegahan kehamilan, penundaan usia. Kehamilan serta
menjarangkan kehamilan Dengan sasaran utama adalah Pasangan Usia Subur
(PUS). Salah satu strategi dari pelaksanaan Program KB sendiri seperti tercantum
dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) tahun 2004-2009
adalah meningkatnya Penggunaan Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKPJ)
seperti IUD (Intra Uterine Device), implant (susuk) dan sterilisasi. IUD
Merupakan salah satu jenis alat kontrasepsi non dan termasuk alat kontrasepsi
jangka Panjang yang ideal dalam upaya menjarangkan Kehamilan. Pada
Riskesdas 2010, PUS usia 15-49 Tahun berstatus kawin dan memakai alat KB
Tahun 2009 sebanyak 75,7%. Propinsi dengannPersentase peserta KB aktif
tertinggi adalah Bengkulu 85,5%, Bali 85,1%, dan DKI Jakarta 82%. Persentase
peserta KB aktif menurut Metode kontrasepsi yang sedang digunaka Adalah KB
suntik 50,2% dan KB pil 28,3%.

xiii
Berdasarkan metode kontrasepsi menurut Propinsi, alat kontrasepsi dalam
rahim (AKDR/IUD) banyak digunakan di Propinsi Bali 47,88% dan DI
Yogyakarta 25,44% dengan Persentase jauh di atas propinsi yang lain. Target
pelayanan KB Propinsi Sumatera Utara tahun 2009 sebanyak 2.077.195 PUS,
Peserta KB aktif sebanyak 1.393.191 67,07%. Berdasarkan alat kontrasepsi yang
digunakan Akseptor IUD sebesar 10,21%, MOW/MOP Sebesar 8,21%, implant
sebesar 8,50%, suntik Sebesar 33,28% dan pil sebesar 24,61% dan Pengguna
kondom sebesar 5,53%. Pembangunan bidang pelayanan Kesehatan merupakan
salah satu prioritas Pembangunan di Kabupaten Deli Serdang. Dari Peningkatan
derajat kesehatan bagi masyarakat Akan memberi dampak kepada peningkatan
usia Harapan hidup, penurunan angka kematian ibu Hamil, angka kematian bayi
dan pelayanan Keluarga berencana.
Meskipun masyarakat telah mengalami Perubahan bersamaan dengan proses
Modernisasi, aspek sosio-kultural masih melekat Dalam kehidupan sehari-hari
sehingga Memengaruhi penerimaan dan pelaksanaan Program KB di Indonesia.
Oleh karena itu, Kebijakan program KB dan kesehatan Reproduksi dalam
perkembangannya selalu Mempertimbangkan aspek sosio-kultural bangsa
Indonesia. Kebijakan ini sesuai dengan undangundang nomor 52 tahun 2009
tentang Penyelenggaraan pelayanan kontrasepsi Dilakukan dengan cara yang
dapat
Dipertanggungjawabkan dari segi agama, norma Budaya, etika, serta segi
kesehatan. Sejalan Dengan kebijakan ICPD Kairo bahwa setiap Program
kesehatan reproduksi dan seksual harus Sesuai dengan norma, budaya, agama,
dan hakhak azasi manusia yang bersifat universal serta Prioritas pembangunan
bagi masing-masing Bangsa. Rendahnya Akseptor KB IUD di Kabupaten Deli
Serdang di pengaruhi beberapa Faktor, seperti : 1) ketidaktahuan peserta tentang
Kelebihan KB IUD, kualitas pelayanan KB. Biaya pelayanan IUD yang mahal,
adanya Hambatan dukungan dari suami dalam Pemakaian alat kontrasepsi IUD,
adanya m niat Yang timbul dari adanya sikap yang didasarkan Pada kepercayaan,
norma-norma di masyarakat Dan norma pokok yang ada dalam lingkungan
Dan kekerabatan.

xiv
2. Aspek Sosial dan Budaya Dasar yang berkaitan dengan praktik Kebidanan pada
etnik Jawa Tengah
a. Kehamilan
Kehamilan Dalam tema ini, dijumpai 3 sub-tema yaitu: makanan yang
dianjurkan dan pantangan. perilaku yang dianjurkan dan dilarang, serta ritual atau
upacara pada masa kehamilan.
1. Makanan/minuman yang dianjurkan dan pantangan makanan
Tidak ada makanan khusus yang harus dimakan selama kehamilan, tetapi
sangat dianjurkan untuk memakan banyak sayur. Sedangkan untuk minuman,
salah satu minuman yang dianjurkan adalah air kelapa, supaya kulit bayinya
nanti bersih. Selain itu, ibu hamil juga dianjurkan minum minyak goreng
sebelum persalinan, supaya proses persalinannya lancar.
Pada masa kehamilan, terdapat keyakinan budaya mengenai makanan yang
sebaiknya tidak dikonsumsi. Pantangan makanan ini diantaranya adalah buah
durian, buah nanas, tape singkong. sayur lembayung dan terong. Responden
mengatakan bahwa buah durian, nanas dan tape kehamilan singkong dapat
mengakibatkan perut panas. Sedangkan pantangan makan sayur terong dan
lembayung, kurang diketahui alasannya.
2. Perilaku yang dianjurkan dan dilarang
Perilaku dianjurkan untuk ibu hamil, diantaranya adalah bila menyapu lantai
harus sampai bersih, tidak sembarangan dibuang sampahnya, dan bila
bepergian dianjurkan membawa gunting atau benda tajam lainnya. Sehingga
dapat dirangkum dari FGD bahwa perilaku yang dilarang yaitu: menyapu pada
malam hari, pergi pada malam hari, mandi setelah jam 4 sore, merendam baju
terlalu lama. dalam saku (nggembol), makan di dalam kamar tidur. Bagi suami
juga terdapat larangan yaitu tidak boleh membunuh hewan selama masa
kehamilan istrinya. Namun demikian, tidak semua ibu hamil melaksanakan
semua anjuran ataupun pantangan. Sekarang ada yang masih melaksanakan
dan ada yang tidak,
3. Ritual atau upacara selama Ritual atau upacara atau slametan
Upacara yang masih dipertahankan pelaksanaannya pada masa kehamilan
adalah upacara pada bulan ke-4 kehamilan (ngapati) dan bulan ke-7
kehamilan. "kalau lembayung jangan (mitoni). Namun upacara ini hanya
dilakukan banyak-banyak, soalnya nanti bisa apa. Pada kehamilan anak

xv
pertama saja. Pada saat upacara mitoni, ada makan bersama dengan
mengundang warga sekitar (banca'an), kemudian ada ritual memecah kendhil
pada tampah. dimana pada budaya lain kendhil ini diganti dengan kelapa.
(cengkir). Selain itu juga ada ritual suami istri mandi bersama di sungai, dan
kemudian menggunakan jarik/ kain tradisional yang diganti sebanyak tujuh
kali. Namun di tempat lain.
Masyarakat di Kecamatan Bulu memiliki terdapat ritual untuk mandi
(siruman) tidak di dari tujuh mata air. Pada upacara mitoni itu juga ada ritual
menjual dawet dan rujak. Namun, para partisipan tidak begitu memahami
makna dari upacara tersebut.
Pada upacara ngapati, ritual yang dilakukan cukup sederhana, yakni
berupa membagikan makanan kepada para tetangga, dan tidak ada ritual
khusus di rumah ibu hamil. Makanan yang dibagikan tersebut terdiri dari 4
macam, yakni kupat, lepet, klepon dan surabi.
b. Persalinan
Ada banyak macam upacara adat di Jawa. Sebagian besar lazim dilakukan
oleh masyarakat dalam kehidupan mereka sehari-hari. Namun terkadang kita
masyarakat masih merasa asing dan tidak begitu paham dengan makna dan proses
acaranya sendiri, serta apa saja manfaatnya bagi kehidupan sehari-hari.
Pada dasarnya, kita sebagai manusia Jawa adalah produk peradaban simbolis,
yaitu makhluk yang berinteraksi, berkomunikasi, dan beraktivitas dengan
menggunakan simbol-simbol yang diberi makna. Maka, makna dan simbol-simbol
tersebut memungkinkan manusia untuk melanjutkan tindakan dan interaksi
sesama mereka. Kemudian makna dan simbol-simbol tersebut diinterpretasikan
melalui proses berpikir yang dilanjutkan dengan tindakan dan interaksi lainnya
sehingga menjadi sebuah pola kebiasaan dalam keseharian.
Pola-pola ke kebiasaan inilah yang akhirnya membentuk sebuah tradisi yang
sarat dengan nilai-nilai luhur kehidupan. Utamanya adalah interaksi manusia
dengan Tuhan dan sesamanya dalam memaknai tiga fase kehidupan yang paling
penting, yaitu prosesi kelahiran, perkawinan, dan kematian.
Masyarakat Jawa, dari dulu telah dikenal luas sebagai masyarakat yang selalu
menjunjung tinggi nilai-nilai tradisi dari nenek moyangnya. Tradisi yang sarat
dengan nilai-nilai luhur kebudayaan tersebut diwariskan secara turun temurun
oleh tiap generasi ke generasi berikutnya, dengan keraton sebagai pusat pedoman-

xvi
nya, baik di Yogyakarta maupun Surakarta. Di Keraton Yogyakarta sendiri,
berbagai macam hal tersebut diejawantahkan menjadi sebuah acara-acara khusus
yang seringkali dikenal banyak orang dengan istilah upacara tradisi. Upacara
tradisi sendiri adalah upacara yang penuh dengan makna simbolik yang bisa
mencerminkan nilai-nilai budaya yang berlaku dalam masyarakat.
Ada beberapa bentuk upacara tradisi yang saat ini diselenggarakan oleh
masyarakat. Baik masyarakat di dalam keraton maupun masyarakat Jawa secara
luas. Namun, biasanya upacara tradisi yang paling sering kita jumpai adalah yang
berkaitan dengan upacara daur hidup seseorang. Upacara daur hidup adalah
bentuk upacara adat sebagai wujud realisasi dari penghayatan manusia terkait
dengan tiga fase penting kehidupannya. Kelahiran, perkawinan, dan kematian.
Upacara tradisi dari proses kehamilan sampai dengan kematian dapat dibagi
menjadi beberapa tahapan, diantaranya masa kehamilan itu sendiri, kelahiran,
masa anak-anak, remaja, perkawinan, dan kematian.
Dalam perkembangan kehidupan saat ini, upacara tradisi ini mulai
ditinggalkan atau dikurangi kelengkapannya terkait dengan faktor ekonomi
ataupun kepraktisan. Karena memang sebuah proses upacara tradisi selain sarat
dengan komitmen dan keteguhan hati untuk melaksanakannya, juga membutuhkan
biaya yang tidak sedikit dalam persiapan dan penyelenggaran. Satu hal yang patut
disyukuri bahwa proses yang dilakukan di dalam keraton masih memegang teguh
prinsip-prinsip detail upacaranya, dalam pengertian diselenggarakan secara
lengkap dan resmi.
Upacara Daur Hidup dalam Fase Kehamilan – Persalinan
 Upacara Mitoni

Upacara daur hidup sendiri, dilaksanakan sejak ada tanda-tanda


kehamilan sampai manusia meninggal dunia dengan jangka waktu tertentu. Di
dalam masa kehamilan sendiri ada berbagai jenis upacara tradisi yang harus
dilakukan, yaitu mulai dari upacara Ngabor-abori. Upacara ini adalah sebuah
peringatan atau Selamatan bulan pertama yang biasanya dilakukan dengan
wujud membuat jenang sungsum. Setelah itu berturut-turut di bulan berikutnya
masih terdapat upacara tradisi lain seperti Ngloroni (dua bulanan), Neloni (tiga
bulanan), Ngapati (empat bulanan), Nglimani (lima bulanan), Mitoni (tujuh
bulanan), Ngwoloni (delapan bulanan), dan Nyangani (sembilan bulanan),

xvii
dimana masing-masing upacara membutuhkan persiapan dan ubarampe
(kelengkapan upacara) yang berbeda-beda. Selanjutnya adalah masa
persalinan. Upacara tradisi untuk menyongsong masa kelahiran bayi ini juga
diselenggarakan ke dalam beberapa tahapan. Mulai dari Mendhem ari-ari,
yaitu proses perawatan dan penguburan ari-ari bayi. Brokohan, yaitu
selamatan yang dimaksudkan untuk mengungkapkan rasa syukur sekaligus
pemberitahuan kepada sanak keluarga dan para tetangga bahwa bayi telah
lahir dan selamat. Sepasaran, yaitu upacara untuk memperingati bahwa bayi
yang lahir telah berusia 5 hari (sepasar). Puputan, yaitu selamatan saat tali
pusar bayi sudah putus (usia antara 10 hari sampai dua minggu). Terakhir,
Selapanan, yaitu selamatan saat usia bayi 35 hari.

c. Bayi, Anak dan Remaja


Ada banyak macam upacara adat di Jawa. Sebagian besar lazim dilakukan
oleh masyarakat dalam kehidupan mereka sehari-hari. Namun terkadang kita
masyarakat masih merasa asing dan tidak begitu paham dengan makna dan proses
acaranya sendiri, serta apa saja manfaatnya bagi kehidupan sehari-hari.
Pada dasarnya, kita sebagai manusia Jawa adalah produk peradaban simbolis,
yaitu makhluk yang berinteraksi, berkomunikasi, dan beraktivitas dengan
menggunakan simbol-simbol yang diberi makna. Maka, makna dan simbol-simbol
tersebut memungkinkan manusia untuk melanjutkan tindakan dan interaksi
sesama mereka. Kemudian makna dan simbol-simbol tersebut diinterpretasikan
melalui proses berpikir yang dilanjutkan dengan tindakan dan interaksi lainnya
sehingga menjadi sebuah pola kebiasaan dalam keseharian.
Pola-pola ke kebiasaan inilah yang akhirnya membentuk sebuah tradisi yang
sarat dengan nilai-nilai luhur kehidupan. Utamanya adalah interaksi manusia
dengan Tuhan dan sesamanya dalam memaknai tiga fase kehidupan yang paling
penting, yaitu prosesi kelahiran, perkawinan, dan kematian.
Masyarakat Jawa, dari dulu telah dikenal luas sebagai masyarakat yang selalu
menjunjung tinggi nilai-nilai tradisi dari nenek moyangnya. Tradisi yang sarat
dengan nilai-nilai luhur kebudayaan tersebut diwariskan secara turun temurun
oleh tiap generasi ke generasi berikutnya, dengan keraton sebagai pusat pedoman-
nya, baik di Yogyakarta maupun Surakarta. Di Keraton Yogyakarta sendiri,
berbagai macam hal tersebut diejawantahkan menjadi sebuah acara-acara khusus

xviii
yang seringkali dikenal banyak orang dengan istilah upacara tradisi. Upacara
tradisi sendiri adalah upacara yang penuh dengan makna simbolik yang bisa
mencerminkan nilai-nilai budaya yang berlaku dalam masyarakat.
Ada beberapa bentuk upacara tradisi yang saat ini diselenggarakan oleh
masyarakat. Baik masyarakat di dalam keraton maupun masyarakat Jawa secara
luas. Namun, biasanya upacara tradisi yang paling sering kita jumpai adalah yang
berkaitan dengan upacara daur hidup seseorang. Upacara daur hidup adalah
bentuk upacara adat sebagai wujud realisasi dari penghayatan manusia terkait
dengan tiga fase penting kehidupannya. Kelahiran, perkawinan, dan kematian.
Upacara tradisi dari proses kehamilan sampai dengan kematian dapat dibagi
menjadi beberapa tahapan, diantaranya masa kehamilan itu sendiri, kelahiran,
masa anak-anak, remaja, perkawinan, dan kematian.
Dalam perkembangan kehidupan saat ini, upacara tradisi ini mulai
ditinggalkan atau dikurangi kelengkapannya terkait dengan faktor ekonomi
ataupun kepraktisan. Karena memang sebuah proses upacara tradisi selain sarat
dengan komitmen dan keteguhan hati untuk melaksanakannya, juga membutuhkan
biaya yang tidak sedikit dalam persiapan dan penyelenggaran. Satu hal yang patut
disyukuri bahwa proses yang dilakukan di dalam keraton masih memegang teguh
prinsip-prinsip detail upacaranya, dalam pengertian diselenggarakan secara
lengkap dan resmi.
Faktor sosial budaya juga berpengaruh pada perawatan pada anak dalam
keluarga sehingga berdampak pada status kesehatan dan status gizi balita. Faktor
sosial budaya tersebut diantaranya pendidikan, pekerjaan, penghasilan, tradisi /
kebiasaan dan pengetahuan mereka akan kesehatan dan gizi. Orang tua dengan
latar belakang pendidikan yang baik akan lebih mudah dalam menerima informasi
kesehatan yang dapat mendukung peningkatan status gizi balita (WHO, 2010).
Keadaan gizi kurang pada anak – anak mempunyai dampak pada kelambatan
pertumbuhan dan perkembangannya yang sulit disembuhkan. Balita dengan gizi
kurang memiliki kemampuan belajar dan bekerja serta bersikap lebih terbatas
dibandingkan anak yang normal. Gizi buruk terjadi bila gizi kurang berlangsung
lama, maka akan berakibat semakin berat tingkat kekurangannya. Keadaan ini
dapat menjadi kwashiorkor dan marasmus disertai penyakit lain seperti diare,
infeksi, penyakit pencernaan, infeksi saluran pernapasan bagian atas, anemia dan
lain – lain. (Santoso & Anne, 2004).

xix
Kehidupan sosial orang jawa penuh dengan berbagai aturan yang tidak tertulis,
dirasakan sebagai kewajiban moral yang perlu untuk ditaati. Orang tua akan
sangat malu apabila anak tidak mengindahkan tata karma, karena anak tersebut
mungkin dianggap nakal atau kurang terdidik. Masyarakat yang terdiri dari
berbagai lapisan (stratified society) membuat prinsip tata krama tersebut lebih
kompleks.
Masalah gizi yang belum selesai adalah masalah gizi kurang dan pendek
(stunting). Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, Prevalensi anak balita
di propinsi Jawa Tengah dengan status gizi buruk 3,3%, gizi kurang 12.4 %, gizi
baik 80,4% dan gizi lebih 3,6%. Hasil Riset Kesehatan Dasar 2010 faktor
pengetahuan, perilaku masyarakat sangat berpengaruh terhadap kejadian gizi
kurang di masyarakat. Data lain menunjukkan bahwa prevalensi gizi kurang juga
dipengaruhi oleh tingkat pendidikan (Depkes RI, 2012).
Hasil studi pendahuluan yang dilakukan pada 20 anak usia 1-3 tahun di Desa
Sangge pada bulan November 2013, diketahui bahwa 8% mempunyai status gizi
yang kurang apabila tidak diintervensi dan ditindak lanjuti dapat menjadi status
gizi buruk. Hasil wawancara kepada ibu batita tentang status sosial ekonomi
keluarga, didapat bahwa 50% tidak menempuh pendidikan hingga tamat SLTP,
dengan pendapatan sekarang 65 % berada di bawah UMR Boyolali. Ibu pada
kenyataannya memberikan asupan gizi seadanya saja karena keterbatasan
ekonomi. Hasil wawancara kepada 20 ibu batita,diketahui bahwa 85 % ibu
menyatakan kurang memahami mengenai pengetahuan tentang gizi yang baik bagi
anak. Ibu tidak mengerti asupan gizi seimbang bagi anak usia pra sekolah.
Masyarakat Jawa di Desa Kalangan masih menganut nilai keselarasan-
keseimbangan dalam kehidupan sehari-harinya. Nilai akan karma baik dan karma
buruk sangat dipercaya dalam meng adjust kejadian-kejadian dalam kehidupan
mereka, baik sebagai individu, keluarga, maupun warga masyarakat. Selain itu,
warga masyarakat setempat masih meyakini adanya kekuatan-kekuatan yang
bersifat adikodrati yang menguasai dan bisa menimbulkan kejadian-kejadian
buruk bagi manusia. Keyakinan tersebut kemudian dijadikan acuan berperilaku
oleh warga masyarakat dan diwariskan secara berkelanjutan, melalui cerita-cerita
dalam bentuk mitos, baik yang berhubungan dengan hal-hal yang bersifat
keberuntungan seperti rezeki, kesehatan, maupun yang berhubungan dengan hal-
hal ketidakberuntungan, seperti sakit, kecelakaan, dan lain sebagainya.

xx
Menurut J.Van Baal dalam H.J. Daeng (2012:81) mitos adalah keyakinan,
kepercayaan yang dianut warga masyarakat dalam kerangka sistem religi yang di
masa lalu atau masa kini dianggap sebagai kebenaran keagamaan. Pengetahuan
tentang mitos adalah merupakan cara untuk mengungkapkan kehadiran kekuatan
diluar diri yang lebih Maha. Fungsi dari mitos adalah memberikan pedoman
kepada kelompok manusia untuk bertindak bijaksana karena kesadaran akan
adanya kekuatan-kekuatan ajaib di luar diri manusia yang menguasai alam dan
memengaruhi kehidupan baik maupun buruk atau memengaruhi kondisi sehat atau
sakit bagi manusia.
Mitos yang diyakini masyarakat dari sejak dahulu yang dijadikan pedoman
dalam kehidupan masyarakat, baik secara sadar maupun tidak telah menjadi suatu
ideologi. Golongan masyarakat yang lebih muda di Desa Kalangan seringkali
mengabaikan pantangan- pantangan atau larangan yang diungkapkan oleh
golongan yang lebih tua, namun apabila sudah berada dalam keadaan kemalangan
atau sakit yang tidak bisa diobati oleh medis modern, maka menggunakan cara
alternatif melalui jalan “orang pintar” sesuai dengan petunjuk dari para orang tua.
Keadaan sakit yang tidak bisa disembuhkan oleh medis modern, umumnya
diasosiasikan dengan adanya gangguan dari makhluk halus penunggu rumah atau
roh dari masa lalu terkait dengan jaman kerajaan terdahulu yang pernah mendiami
wilayah Desa Kalangan. Seperti yang diceritakan oleh Bapak R (55 tahun) terkait
mitos kesehatan bayi berikut ini:
“...bayi nangis(terus), dokter ora iso (nambani), isone kudu ndoleki “wong
tuwo” sing iso nambani, ditambani opo, keno sawan jarene...”
(...bayi menangis (terus), kalau dokter tidak bisa mengobati, bisanya harus
mencari “orangtua” atau orang yang dianggap bisa untuk mengobati secara
spiritual untuk kasus anak terkena “sawan” atau gangguan dari makhluk halus...).
Adapun mitos aspek sosial budaya di jawa tengah pada anak :
Desa Kalangan yang terdiri dari 17 dukuh, hampir di setiap dukuh memiliki
tempat pemakaman umum yang dianggap sebagai tempat keramat. Pada setiap
makam tampak bangunan “kijing” atau nisan-nisan kecil yang menandakan bahwa
makam tersebut adalah makam dari anak-anak. Kematian bayi dan/atau balita di
Desa Kalangan dalam perkembangan sejarahnya merupakan kejadian yang biasa
terjadi. Dan proses penerimaan keluarga terutama ibu akan kematian bayinya bisa

xxi
dibilang cepat. Sebab-sebab kejadian tidak akan ditelusur lebih lanjut oleh
keluarga dan akan pasrah kepada petugas kesehatan apapun hasilnya.
Terkait dengan area pemakaman yang dianggap keramat yang ada di beberapa
dukuh di Desa Kalangan, merupakan pemakaman dari leluhur Desa yang
merupakan keturunan dari Keraton Solo dan Yogyakarta. Ada beberapa versi yang
diceritakan oleh warga setempat. Para leluhur yang sudah meninggal yang
dulunya merupakan keturunan Kraton dianggap memiliki karomah, yang bisa
membawa kebaikan dalam kehidupan anak keturunannya sampai sekarang. Anak-
anak yang meninggal dianggap akan aman bersama para leluhur tersebut. Pada
akhirnya nanti akan menjadi penolong kehidupan orangtuanya di kemudian hari.
Makam-makam dan tempat yang dianggap keramat di dukuh- dukuh dan
sekitar Desa Kalangan, diungkapkan oleh Bapak K (52 tahun) berikut ini:
“Mriki nggih Makam riwih sak riwih-riwihe riwih (sangat keramat). Mriki
wong nyalahi diwales, yen mboten nyalahi mlebet nggih mboten nopo-nopo.
Mboten bahaya.Yen nyalahi koyo ngetok wit-witan, nanduri lemah, yen nyalahi
tetap diapesi. Kulo nate ngilike, demit podo nyingkir, setan ora doyan, kabeh podo
nyingkir, tiyang dukuh mriko, dibongkok teng mriki mboten obah, nggarap teng
mriki, tiyange mboten obah, kados ditaleni. Tirose dewe e dibebet ulo gede.
Akhire suwe mati. Kulo elingke, ampun ditampingi, dibubuti mawon. Kurang
ombo tuku maneh. Biyen dalan niki ombo, montor cukup riyin. Niki makam
sampun taon pinten mboten ngerti. Ki ageng bunderreso, pangeran saking solo.
Saking solo sedoyo. Sedoyo pangeran kabeh.
Sing paling ampuh kulo ngarani paling dingge panyuwunan,umpamane arep
njago lurah opo nopo pegawai teng makam Belan. Sak wilayah kalangan kaliyan
desa-desa liyo nyuwun teng mriko, saking karang wungu, ndalangan. Teng
cungkupe ngriko. Lajeng nyuwun nopo, mangke kepetuk niki, kepetuk niki, terus
medal gedok-gedok lawang,Wonten juru kuncine. Kados kepetuk semut mboten
ditampi, nopo tawon akeh. Kurang resik pikirane, mboten ditampi. Ragu-ragu iya
opo ora. Wijil golek-golek duit njobo. Wijil kaliyan mriki beda wibawa, niko trah
saking pundi” (makam disini itu sangat menakutkan karena sangat keramat
diantara yang paling keramat. Orang yang menyalahi masuk ke makam akan
langsung dibalas, namun kalau masuk tidak ada maksud salah apapun tidak akan
diapa-apakan dan tidak ada bahaya bagi diri orang itu.

xxii
Namun apabila bertindak menyalahi seperti memotong pohon atau menanami
tanah disekitar makam akan mendapat kesialan. Saya pernah mengingatkan
seseorang dari dukuh lain yang sedang menggarap tanah di samping makam.
Namun dia malah menjawab kalau bagi dia setan dan jin tidak akan mengganggu
dia dan akan menyingkir semua. Kenyataannya dia jatuh tidak bisa bergerak, tidak
kelihatan apa-apa, namun pengakuannya dia sedang dililit ular yang sangat besar.
Tidak lama setelah kejadian tersebut orang itu meninggal. Sudah saya ingatkan
tanah samping makam jangan dicangkul, dibubut saja, kalau kurang lebar beli saja
tanah yang lain.
Dulu jalan di sekitar makam itu lebar, mobil bisa lewat sini, sekarang tinggal
setapak. Saya tidak tahu makam ini ada sejak tahun berapa. Ini makam Ki Ageng
Bunderreso, seorang pangeran dari Solo. Saya menganggap makam yang paling
ampuh untuk segala macam permintaan adalah makam yang ada di Belan.
Seumpama akan mencalonkan diri sebagai kepala desa atau ingin menjadi
pegawai. Seluruh Kalangan bahkan dari desa dan kecamatan lain seperti
Karangwungu, Ndalangan juga pergi ke cungkup makam Belan. Lalu akan
bertemu dengan sesuatu disana. Ada juri kuncinya disana. Kalau yang
dimaksudkan tidak diterima biasanya akan keluar semut atau tawon yang banyak
sekali. Tidak diterima kalau pikirannya kurang bersih. Ragu-ragu iya atau tidak.
Kalau gunung Wijil untuk mencari uang dari “luar”, antara Wijil dan
Bunderrekso beda wibawa, saya tidak tahu kalau yang di gunung Wijil trah dari
mana).
Akibat dari tidak pahamnya tentang nilai budaya Jawa, remaja Jawa saat ini
telah banyak melakukan penyimpangan terhadap nilai budaya Jawa dan berbagi
perilaku lainnya yang tidak sesuai dengan nilai budaya Jawa. Hal tersebut dapat
disebut sebagai sebuah penyimpangan dan perilaku nakal oleh remaja. Perilaku
yang menyimpang terhadap tata krama masyarakat menurut Sarwono (2002) dapat
dikategorikan sebagai penyimpangan.
Jika telah melanggar norma hukum maka dapat disebut sebagai perilaku
kenakalan. Saat ini kenakalan remaja yang terjadi dalam masyarakat cukup
menonjol baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Hal ini karena kenakalan
remaja yang tampak bukan sekedar pencarian pada tindakan kriminal seperti
pengrusakan, penganiayaan, perkelahian massal (tawuran), mabuk-mabukan,
menghisap narkoba bahkan pembunuhan (Lunata dan Ahkam, 2005). Penelitian

xxiii
Balitbang Dikbud tahun 1996 menyimpulkan bahwa tindak kenakalan remaja
tidak saja terbatas pada penyimpangan perilaku yang ringan seperti kurang hormat
pada guru, merokok, corat-coret tetapi sudah pada kenakalan yang menjurus pada
tindakan kriminal yang berdampak buruk pada masa depan bangsa.
Perilaku Nakal Remaja
Pengertian Remaja, dan Perilaku Nakal Remaja. Menurut Monks, dkk (2002)
batasan usia remaja adalah di antara 12-20 tahun. Namun masa remaja memiliki
tempat yang tidak jelas dalam rangkaian proses perkembangan seseorang. Remaja
tidak termasuk golongan anak-anak, ia tidak pula termasuk golongan orang
dewasa.
Juvenile delinquency ialah perilaku jahat (dursila), atau kejahatan/ kenakalan
anak-anak muda, merupakan gejala sakit (patologis) secara sosial pada anak-anak
dan remaja yang disebabkan oleh satu bentuk pengabaian sosial, sehingga mereka
itu mengembangkan bentuk tingkah-laku yang menyimpang (Kartono, 2006).
Kenakalan remaja adalah perilaku vang menvimnang dari atau melanggar hukum
(Sarwono, 2002). Berdasarkan Kamus Besar Bahasa In- donesia, nakal adalah
suka berbuat kurang baik (tidak menurut, mengganggu dsb. Terutama bagi anak-
anak) atau buruk kelakuan.
Bentuk Perilaku Nakal Remaja. Jensen (Sarwono, 2002) membagi kenakalan
remaja menjadi empat jenis yaitu:
1. Kenakalan yang menimbulkan korban fisik pada orang lain: perkelahian,
perkosaan, perampokan, pembunuhan, dan lain-lain.
2. Kenakalan yang menimbulkan korban materi: perusakan, pencurian,
pencopetan, pemerasan, dan lain-lain.
3. Kenakalan sosial yang tidak menimbulkan korban di pihak or- ang lain:
pelacuran, Penyalahgunaan obat.
4. Kenakalan yang melawan status, misalnya mengingkari status anak
sebagai pelajar dengan cara membolos, mengingkari status orangtua
mereka dengan cara minggat dari rumah dan membantah perintah
orangtua.

Penyebab Perilaku Nakal Remaja

Kenakalan remaja yang merupakan gejala penyimpangan dan patologis


secara sosial dapat dikelompokkan dalam satu kelas defektif secara sosial dan

xxiv
mempunyai sebab- musabab yang majemuk; jadi sifatnya multi-kausal.
Kartono (2006) menyebutkan motif yang mendorong

Remaja melakukan tindak kejahatan itu antara lain:


1. Untuk memuaskan kecenderungan keserakahan.
2. Meningkatkan agresivitas dan dorongan seksual.
3. Salah asuh dan salah didik orangtua, sehingga anak menjadi manja dan
lemah mentalnya.
4. Hasrat untuk berkumpul dengan kawan senasib dan sebaya, dan kesukaan
untuk meniru-niru.
5. Kecenderungan pembawaan yang patologis atau abnormal.
6. Konflik batin sendiri, dan kemudian menggunakan mekanisme pelarian
diri serta pembelaan diri yang irrasional.
d. Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi (KB/Kespro)
Masyarakat adat Samin yang berada di Desa Sumber Kecamatan Kradenan
Kabupaten Blora masih menghadapi persoalan atas hak-hak kesehatan. Salah satu
persoalan hak kesehatan tersebut adalah pelayanan dan perlindungan terhadap
hak-hak reproduksi perempuan yang belum terlayani dengan baik.
Menurut Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009, pelayanan
kesehatan meliputi pelayanan kesehatan promotif, preventif, kuratif dan
rehabilitatif. Pelayanan kesehatan pada prinsipnya mengutamakan pelayanan
kesehatan promotif dan preventif. Pelayanan kesehatan promotif adalah suatu
kegiatan dan atau serangkaian kegiatan pelayanan kesehatan yang lebih
mengutamakan kegiatan yang bersifat promosi kesehatan atau upaya
meningkatkan kesehatan masyarakat kearah yang lebih baik lagi dan yang
preventif mencegah agar masyarakat tidak jatuh sakit agar terhindar dari
penyakit.
Pelayanan kesehatan kuratif adalah suatu kegiatan pengobatan yang ditujukan
untuk penyembuhan penyakit, pengurangan penderitaan akibat penyakit dan
pengendalian kecacatan bagi pasien. Pelayanan kesehatan rehabilitatif adalah
kegiatan untuk mengembalikan bekas penderita kepada masyarakat sehingga
dapat berfungsi lagi sebagai anggota masyarakat.
Arah pembangunan kesehatan adalah terselenggaranya pelayanan kesehatan
yang bermutu, adil dan merata bagi setiap manusia. Adanya program Kementrian

xxv
Kesehatan Republik Indonesia yang memfokuskan untuk meningkatkan
kesehatan dan kesejahteraan ibu, tidak hanya sebagai reaksi Terhadap Angka
Kematian Ibu (AKI) yang masih tinggi.
Menggambarkan tingkat akses, integritas dan efektifitas sektor kesehatan.
Menurut Kementerian Kesehatan RI: “Hambatan terhadap upaya pelayanan
kesehatan reproduksi perempuan adalah budaya patriarki yang dilegitimasi
mengakibatkan perempuan berada posisi tawar yang lemah, sementara suara
perempuan dalam memperjuangkan kepentingannya tidak tersalurkan melalui
pengambilan keputusan”.
Permasalahan kesehatan reproduksi bukan hanya sekedar masalah kesehatan
semata, melainkan merupakan bagian dari keseluruhan kehidupan manusia.
Pelayanan kesehatan reproduksi diperlukan untuk memenuhi kebutuhan
kesehatan perempuan dan laki-laki berhubungan dengan masalah seksualitas dan
penjarangan kehamilan. Tujuan dari program-program yang terkait serta
konfigurasi dari pelayanan tersebut harus menyeluruh, dan mengacu kepada
program Keluarga Berencana (KB) yang konvensional serta pelayanan kesehatan
ibu dan anak.
Hak reproduksi perempuan perlu mendapat perhatian baik dari pemerintah
pusat sampai pemerintah daerah dan masyarakat. Semua pihak, baik pemerintah
maupun masyarakat perlu mengambil langkah-langkah yang tepat untuk
menjamin agar semua pasangan dan individu mendapatkan pelayanan kesehatan
reproduksi. Hukum yang dibuat dan kebijakan-kebijakan harus dibuat dan
dijalankan untuk mencegah diskriminasi, pemaksaan dan kekerasan yang
berhubungan dengan sekualitas dan masalah reproduksi dan perempuan dan laki-
laki harus bekerja sama untuk mengetahui haknya, Mendorong agar pemerintah
dapat melindungi hak-hak ini serta membangun Dukungan atas hak-hak tersebut
melalui pendidikan dan advokasi.
Menurut data laporan tahunan BKKBN Kabupaten Blora menyebutkan pada
tahun 200 pasangan usia subur (PUS) berjumlah 185.206 pasangan, dan yang
menjadi peserta aktif keluarga berencana (KB) berjumlah 141.617 orang dengan
berbagi metode alat kontrasepsi, dan dari jumlah aseptor yang mengalami
kegagalan berjumlah 9 orang. Adapun jumlah Pasangan Usia Subur (PUS) di
Kecamatan Kradenan Kabupaten Blora dimana komunitas Samin bertempat
tinggal sejumlah 8.644 pasangan usia subur dan ibu hamil sejumlah 263 orang.

xxvi
Adapun jumlah pasangan usia subur yang mengikuti keluarga berencana (KB)
di kecamatan Kradenan Kabupaten Blora PUS 2.368 yang dan belum mengikuti
program keluarga berencana dengan berbagai macam penyebab ada 6.276
pasangan usia subur. Menurut data statistik angka kelahiran hidup ada 468 orang,
angka kematian bayi dan anak ada 9 orang, dan angka kematian ibu berhasil
ditekan hinggal mencapai nol kematian.
Menurut data statistik dari Dinas Kesehatan Kabupaten Blora: angka kematian
ibu pada tahun 2009 adalah sebelas orang dari 13277 kehamilan, pada tahun 2010
ada Sembilan belas orang dari jumlah 12823 kehamilan, sedangkan pada tahun
2011 ada dua puluh enam orang dari jumlah kehamilan 15.671. Kematian
disebabkan karena eklamsia dan pendarahan, dan angka kematian bayi pada
tahun 2008 ada tujuh puluh dua orang, tahun 2009 ada 117 kasus kematian dan
pada tahun 2011 ada 165 kasus kematian dari jumlah persalinan 14.873. Dari data
tersebut menunjukkan bahwa angka kematian ibu dan angka kematian bayi terus
bertambah seiring pertambahan jumlah persalinan’.
Berdasarkan data Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Blora
Masyarakat Samin Desa Sumber Kecamatan Kradenan Kabupaten Blora
berjumlah 283 keluarga dan yang termasuk perempuan usia subur sejumlah 80
orang.
Dari hasil observasi pendahuluan yang dilakukan peneliti dengan cara
pengamatan langsung dan wawancara dengan masyarakat Samin, tokoh
masyarakat Samin dan petugas kesehatan yang berada di wilayah desa Sumber
kecamatan Kradenan Kabupaten Blora berkaitan dengan permasalahan
pelaksanaan hukum adat dan kesehatan reproduksi komunitas Samin didapatkan
informasi sebagai berikut:
1. Masyarakat Samin khususnya perempuan usia subur belum memanfaatkan
sarana pelayanan kesehatan reproduksi di wilayah pelayanan kesehatan
terdekat, hal ini ditunjukkan dari hasil laporan kunjungan pasien tahun 2008
di Puskesmas Kradenan hanya nol % dari jumlah perempuan usia subur yang
datang memeriksakan diri di Puskesmas Kradenan;
2. Berkaitan dengan program Keluarga Berencana (KB) pasangan usia subur
masyarakat Samin secara umum belum mengikuti program keluarga
berencana dengan metode medis, tetapi masih menggunakan cara tersendiri
yang diyakini bisa menghambat kehamilan.

xxvii
3. Budaya perkawinan ala Samin yang tidak menganut aturan yang diberlakukan
dari pemerintah yaitu tercatat di Kantor Urusan Agama (KUA) atau di kantor
Catatan Sipil, tetapi masih mengikuti tatacara adat kebudayaan yang
diberlakukan pada komunitas Samin (ngrukunke/ ngenger).
4. Masih kuatnya mitos-mitos negatif tentang kesehatan reproduksi, misalnya
budaya banyak anak banyak rejeki, membicarakan masalah kesehatan
reproduksi sangat tabu dan itu merupakan urusan wanita, lahir, mati, jodoh itu
semua kehendak Yang Kuasa.
5. Dalam pelayanan kesehatan reproduksi khususnya masalah pemeriksaan
kehamilan, persalinan dan perawatan post partum masih dipercayakan pada
seorang dukun, dan apabila dalam proses persalinan mengalami kesulitan
baru memanggil atau datang ke tempat petugas kesehatan.
6. Masih kurang dalam informasi dalam bidang kesehatan kesehatan dan
khususnya kesehatan reproduksi, dalam hal ini disebabkan karena budaya.
Malu/tabu yang masih kuat, kesempatan waktu mendapat informasi sangat
sedikit karena budaya kerja keras di sawah dilakukan dari pagi sampai sore
hari di kalangan komunitas Samin.
7. Masih kuatnya ajaran Saminisme yang diajarkan secara turun temurun, oleh
sesepuh komunitas Samin atau orang tua dengan cara “wulang reh”.
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka perlu dilakukan kajian
dalam bentuk penelitian dengan judul “Pelaksanaan Hukum Adat Masyarakat
Samin Terhadap Kebijakan Pemerintah Dalam Program Kesehatan
Reproduksi Perempuan Usia Subur di Desa Sumber, Kecamatan Kradenan,
Kabupaten Blora

xxviii
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Pada masyarakat Indonesia tidak dapat dipisahkan dengan kebudayaan
ataupun tradisi setempat, termasuk kesehatan perempuan (masa kehamilan, persalinan
dan nifas dan mengasuh bayi baru lahir) (Juneris, 2010).
Proses bersalin dalam tradisi masyarakat Batak Toba cukup unik. Sebelum sarana
kesehatan memadai, persalinan biasa ditangani oleh si baso. Si baso adalah
sebutan bagi seorang perempuan yang mempunyai bermacam keahlian. Salah
satunya dalam bidang persalinan.
Menjadi seorang bidan bukanlah hal yang mudah. Seorang bidan harus siap
fisik maupun mental, karena tugas seorang bidan sangatlah berat. Bidan yang siap
mengabdi di kawasan pedesaan mempunyai tantangan yang besar dalam mengubah
pola kehidupan masyarakat yang mempunyai dampak negatif tehadap kesehatan
masyarakat. Tidak mudah mengubah pola pikir ataupun sosial budaya masyarakat.
Apalagi masalah proses persalinan yang umum masih banyak menggunakan dukun
beranak.

B. SARAN
Kami sadar bahwa masih banyak kekurangan yang kami miliki, baik dari
tulisan maupun bahasan yang kami sajikan, oleh karena itu mohon di berikan
sarannya agar kami bisa membuat makalah lebih baik lagi, dan semoga makalah ini
bisa bermanfaat bagi kita semua, dan menjadi wawasan kita dalam mengenal aspek
social budaya yang berkaitan dengan praktik kebidanan dalam asuhan kehamilan,
persalinan, bayi, anak remaja, kespro/kb pada etnik batak dan jawa tengah.

xxix
DAFTAR PUSTAKA
Aritonang, Juneris l. (2021). Buku ajar asuhan kebidanan pada ibu Nifas.

Limbong Tua Aliman. (2014). Keunikan Persalinan di Zaman Batak Kuno

xxx

Anda mungkin juga menyukai