Anda di halaman 1dari 20

ANALISIS KINERJA PEMERINTAH DALAM PENUTUPAN LOKALISASI

(STUDI KASUS EKS LOKALISASI “GIRUN” DI DESA GONDANGLEGI WETAN)


Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Sistem Pemerintahan Indonesia

Oleh :
Dwi Afriska 22101091027
Dinda Salwa Nabila 22101091041
Cindy Pramitha Sari 22101091043
Dzaka Putra Rahadi 22101091061
Dwi Putri Mega Amanda 22101091100

PROGRAM STUDI ILMU ADMINSTRASI PUBLIK


FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI
UNIVERSITAS ISLAM MALANG
2023
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI........................................................................................................................................2
BAB 1...................................................................................................................................................3
PENDAHULUAN................................................................................................................................3
1.1 Latar Belakang....................................................................................................................3
1.2 Rumusan Masalah...............................................................................................................4
BAB 2...................................................................................................................................................5
PEMBAHASAN...................................................................................................................................5
2.1 Landasan Teori....................................................................................................................5
2.1.1 Kebijakan Pemerintah....................................................................................................5
2.1.2 Dinamika Sosial Pekerja Seks Komersial......................................................................6
BAB 3...................................................................................................................................................8
PEMBAHASAN...................................................................................................................................8
3.1 Faktor Pembentukan Lokalisasi “Girun”................................................................................8
3.2 Latar Belakang Penutupan Lokalisasi “Girun”......................................................................8
3.3 Indikator Keberhasilan Penutupan Lokalisasi “Girun”.......................................................11
3.4 Dampak penutupan Lokalisasi “Girun”...............................................................................14
BAB 4..................................................................................................................................................19
PENUTUP..........................................................................................................................................19
4.1 Kesimpulan..............................................................................................................................19
4.2 Saran.........................................................................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................................20

2
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Lokalisasi atau yang biasa dikenal di kalangan masyarakat sebagai rumah
bordil merupakan sebuah kata yang memiliki makna yang tabu. Lokalisasi adalah
tempat dimana terpusatnya praktik transaksi jual beli antara PSK (Pekerja Seks
Komersial) dan orang orang yang membutuhkan jasa dari PSK tersebut. Tempat ini
merupakan sebuah pilihan bagi para laki-laki yang biasanya memiliki hasrat seksual
yang begitu tinggi yang belum tersalurkan dengan baik. Berdirinya lokalisasi di suatu
daerah yang resmi tentunya selalu ada campur tangan dari pemerintah setempat dan
tidak lepas dari pajak pajak yang harus dibayarkan kepada pemerintah agar bisa
berjalannya kegiatan tersebut.
Prostitusi di Indonesia dianggap sebagai kejahatan terhadap kesusilaan atau
moral dan melawan hukum. Dalam praktiknya, prostitusi tersebar luas, ditoleransi,
dan diatur. Pelacuran adalah praktik prostitusi yang paling tampak, seringkali
diwujudkan dalam kompleks pelacuran Indonesia yang juga dikenal dengan nama
“lokalisasi”, serta dapat ditemukan diseluruh negeri. Praktik prostitusi merupakan
salah satu bentuk penyimpangan sosial yang dilakukan oleh masyarakat sejak zaman
dahulu sampai sekarang. Praktik yang dilakukan di tempat lokalisasi biasanya berada
jauh dari pemukiman warga, dengan pertimbangan agar tidak mudah diakses. Selain
itu, dikarenakan warga pada umumnya keberatan jika ada tempat lokalisasi yang
didirikan di lingkungannya. Kecenderungan ini didasarkan pada kuatnya rasa malu
dan kemungkinan timbulnya dampak negatif terhadap perkembagan jiwa anak-anak di
sekitar lingkungan lokalisasi, cukup beralasan jika tempat lokalisasi dalam pandangan
masyarakat umum selalu dipahami sekedar sebagai tempat mangkal resmi pekerja
seks komersial (PSK). Sedangkan PSK (Pekerja Seks Komersial) merupakan orang
yang disini dijelaskan berkelamin wanita yang menjajakan dirinya atau memberikan
jasanya kepada orang yang membutuhkannya. Para PSK menggantungkan hidupnya
dan menunggu para tamu di rumah bordil yang ada di komplek lokalisasi tersebut.
Kebanyakan mereka tidak keluar dari lingkungan lokalisasi hanya menunggu tamu
yang datang menghampiri dan menawar mereka.
Kemudian, di Kabupaten Malang terdapat tujuh tempat lokalisasi namun
tepatnya di Desa Gondanglegi Wetan, Kecamatan Gondanglegi adalah lokalisasi
terbesar. Sama seperti penjelasan yang telah dipaparkan, “Girun” merupakan tempat
lokalisasi yaitu tempat yang digunakan untuk bertransaksi antara Pekerja Seks
Komersial (PSK) dan orang yang membutuhkan jasanya. Namun menurut berita yang
beredar pemerintah daerah Kabupaten Malang telah menutup tujuh lokalisasi tersebut
pada tahun 2014 termasuk “Girun”.
Pembubaran prostitusi memberikan kontribusi berubahnya struktur sosial
masyarakat terutama dalam aspek relasi kuasa, konflik antar kelompok, makin
menjamurnya premanisme, eksploitasi dan politik ekonomi. Secara umum perubahan-

3
perubahan tersebut memberikan dampak yang semakin buruk terutama pada pelacur
itu sendiri. Pihak yang paling tertindas sebelum dan sesudah Perda diberlakukan ini
terus mengalami eksploitasi bukan hanya dalam hal sosial, kesehatan, ekonomi,
seksual tetapi juga eksistensinya sebagai manusia yang memiliki hak sama bahkan
ditiadakan. Disisi lain, program pemerintah bukan hanya kurang sensitif terhadap
kebutuhan pelacur namun juga secara tidak langsung turut memperburuk keadaan
pelacur yang berujung pada semakin lemahnya daya dorong untuk dapat keluar dari
lingkaran hitam prostitusi. Dari pemamparan masalah yang telah disampaikan maka
dari itu kami melakukan penelitian dengan judul “Analisis Kinerja Pemerintah Dalam
Penutupan Lokalisasi (Studi Kasus Eks Lokalisasi ”Girun” di Desa Gondanglegi
Wetan)”.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang menjadi faktor pembentukan lokalisasi “Girun” di Desa Gondanglegi
Wetan?
2. Apa yang menjadi latar belakang penutupan lokalisasi “Girun” di Desa
Gondanglegi Wetan?
3. Apa saja indikator yang menjadi penilaian keberhasilan penutupan lokalisasi
“Girun” di Desa Gondanglegi Wetan?
4. Dampak apa saja yang terjadi akibat penutupan lokalisasi “Girun” di Desa
Gondanglegi Wetan?

4
BAB 2

PEMBAHASAN
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Kebijakan Pemerintah
Teori kebijakan pemerintah mencakup dua pembahasan mengenai kebijakan
publik dan kinerja organisasi pemerintah dalam pembubaran lokalisasi. Kebijakan
publik mengandung pembahasan mengenai perencanaan, implementasi, dan evaluasi
lembaga terkait.
Perencanaan kebijakan publik yang berkaitan dengan penutupan lokalisasi
PSK melalui proses perencanaan yang matang dan melibatkan berbagai pihak terkait.
Kebijakan harus dapat memenuhi tujuan untuk menghapus praktik prostitusi,
melindungi hak-hak pekerja seksual, dan memperbaiki kondisi sosial masyarakat
sekitar. Setelah perencanaan terbentuk, langkah selanjutnya adalah merencanakan
tindakan yang akan diambil untuk menutup lokalisasi PSK. Rencana tindakan ini
harus meliputi aspek-aspek seperti prosedur penutupan, pengamanan wilayah, relokasi
pekerja seksual, dan rehabilitasi sosial. Dalam perencaan penutupan lokalisasi PSK
membutuhkan kerja sama dan koordinasi antara berbagai pihak terkait, seperti Dinas
Sosial, Dinas Kesehatan, Polisi, LSM, dan pekerja seksual. Koordinasi ini perlu
dijalin untuk memastikan pelaksanaan tindakan penutupan dapat berjalan dengan baik
dan tanpa hambatan. Setelah penutupan lokalisasi PSK dilakukan, perlu dilakukan
evaluasi terhadap kinerja dan hasil dari pelaksanaan tindakan. Evaluasi ini dapat
digunakan untuk mengidentifikasi kelemahan-kelemahan dalam pelaksanaan
kebijakan dan tindakan serta merencanakan perbaikan yang dibutuhkan untuk
menjamin keberhasilan penutupan lokalisasi PSK di wilayah tersebut.

Untuk mengukur kinerja organisasi dalam perencanaan penutupan lokalisasi


PSK, dapat dilakukan beberapa hal sebagai berikut:
1. Menetapkan tujuan yang jelas: Organisasi harus memiliki tujuan yang jelas
dalam perencanaan penutupan lokalisasi PSK, seperti menghapus praktik
prostitusi, melindungi hak-hak pekerja seksual, dan memperbaiki kondisi
sosial masyarakat sekitar. Tujuan ini harus dapat diukur dan dikomunikasikan
dengan jelas kepada seluruh anggota organisasi.
2. Membentuk tim yang terampil dan berkualitas: Organisasi harus memilih
anggota tim yang memiliki keterampilan dan kualifikasi yang sesuai dengan
tugas-tugas yang akan dilakukan. Tim yang berkualitas dapat menghasilkan
rencana tindakan yang baik dan memastikan pelaksanaannya berjalan dengan
baik pula.
3. Menyusun rencana tindakan yang terperinci: Rencana tindakan harus disusun
dengan seksama dan mencakup semua aspek yang diperlukan, seperti prosedur
penutupan, pengamanan wilayah, relokasi pekerja seksual, dan rehabilitasi
sosial. Rencana tindakan harus dapat diimplementasikan dengan baik dan
berkelanjutan.

5
4. Mengalokasikan sumber daya yang cukup: Organisasi harus mengalokasikan
sumber daya yang cukup, baik dalam bentuk sumber daya manusia, anggaran,
maupun fasilitas, untuk menjamin pelaksanaan rencana tindakan berjalan
dengan baik.
5. Meningkatkan koordinasi dan kerja sama: Organisasi harus meningkatkan
koordinasi dan kerja sama antar berbagai pihak terkait dalam pelaksanaan
rencana tindakan. Koordinasi yang baik dapat memastikan bahwa tindakan
yang dilakukan berjalan dengan lancar dan sesuai dengan rencana.
6. Melakukan evaluasi dan perbaikan: Setelah rencana tindakan dilaksanakan,
organisasi harus melakukan evaluasi untuk menilai keberhasilan dan
efektivitas pelaksanaan rencana tindakan. Evaluasi ini dapat digunakan untuk
merencanakan perbaikan yang diperlukan untuk meningkatkan kinerja
organisasi di masa yang akan datang.

Dengan mengukur kinerja organisasi secara terus-menerus, organisasi dapat


mengidentifikasi kelemahan dan kekuatan mereka dan melakukan perbaikan yang
diperlukan untuk meningkatkan kinerja mereka dalam perencanaan penutupan
lokalisasi PSK.

2.1.2 Dinamika Sosial Pekerja Seks Komersial


Ditempat-tempat pelacuran kebanyakan perempuan berusia 18-30 tahun yang
merupakan masa dewasa awal. (Hurlock, 1994) mengatakan pada usia sekitar 18-30
tahun (masa dewasa awal) secara psikologis manusia memiliki tugas-tugas
perkembangan seperti mulai bekerja, memilih pasangan, belajar hidup dengan
tunangan, mulai membina keluarga, mengasuh anak, mengelola rumah tangga,
mengambil tanggung jawab sebagai warga Negara, dan mencari kelompok sosial yang
menyenangkan. Perempuan muda pada masa dewasa awal mempunyai tugas
perkembangan yang sangat tampak pada diri seorang PSK yaitu mulai bekerja.
Dalam pasal 27 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan “Tiap- tiap
warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”.
Hal ini berarti bahwa setiap individu sebagai anggota warga Negara berhak untuk
mendapatkan pekerjaan serta kehidupan yang layak dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Hal tersebut diatas berlaku juga bagi PSK, mengingat PSK
juga termasuk anggota warga Negara yang mempunyai kesamaan hak dan kewajiban
seperti masyarakat lain pada umumnya untuk mendapatkan pekerjaan dan kehidupan
yang layak.
Dalam dinamika sosial ini membahas tentang interaksi sosial, struktur sosial,
dan perubahan sosial dalam masyarakat serta situasi dan kondisi para pekerja seksual
dalam konteks penutupan lokalisasi PSK yang mencakup identitas, pengalaman, dan
hak-hak para pekerja seksual. Kehadiran PSK di masyarakat dapat memberikan
dampak yang dapat memicu perubahan sosial. Dampak yang ditimbulkan oleh adanya
PSK (Kartini Kartono, 2011) antara lain:

6
1. Perubahan kehidupan para pekerja seksual: Penutupan lokalisasi PSK dapat
memaksa para pekerja seksual untuk mencari pekerjaan lain atau kembali ke
daerah asal mereka. Hal ini dapat memengaruhi kondisi kehidupan mereka
secara signifikan. Beberapa pekerja seksual mungkin mengalami kesulitan
dalam menemukan pekerjaan yang layak dan bahkan mungkin kembali ke
industri seks ilegal.
2. Perubahan dalam lingkungan sosial: Penutupan lokalisasi PSK dapat
memengaruhi lingkungan sosial di sekitarnya. Masyarakat yang hidup di
sekitar lokalisasi mungkin merasakan dampak positif dari penutupan lokalisasi
dalam jangka panjang, seperti meningkatnya keamanan, peningkatan
kesehatan, dan peningkatan moralitas. Namun, dalam jangka pendek,
penutupan lokalisasi dapat memicu ketidakstabilan sosial, seperti
kekhawatiran, ketakutan, dan protes.
3. Perubahan dalam struktur sosial: Penutupan lokalisasi PSK dapat
memengaruhi struktur sosial di suatu daerah. Beberapa organisasi atau
individu mungkin berusaha untuk memanfaatkan situasi tersebut untuk
menimbulkan konflik atau mencari keuntungan pribadi. Selain itu, para
pekerja seksual yang dipaksa untuk kembali ke daerah asal mereka mungkin
menghadapi stigma dan diskriminasi dari masyarakat setempat.
4. Perubahan dalam kebijakan publik: Penutupan lokalisasi PSK dapat
memengaruhi kebijakan publik terkait industri seks. Beberapa kebijakan
mungkin berubah menjadi lebih progresif dan humanis, dengan memberikan
dukungan bagi para pekerja seksual yang ingin keluar dari industri ini.
Namun, beberapa kebijakan juga mungkin menjadi lebih repressif dan
memperketat kontrol terhadap industri seks.

7
BAB 3

PEMBAHASAN

3.1 Faktor Pembentukan Lokalisasi “Girun”


Wahyu Perwira Praptama SH, selaku Seksi Pencegahan Bidang Penegakkan
Perundang-undangan Daerah menceritakan sejarah berdirinya lokalisasi “Girun”. Awalnya,
sekitar tahun 1980 seseorang Bernama Buaman menampung tuna wisma di rumahnya.
Kemudian, ia membuat petak-petak rumah sebagai tempat tinggal mereka. Lokasinya masih
berada pada tanah kosong, selatan Pasar Gondanglegi. Karena warga setempat merasa
terganggu, Buaman dan anak buahnya diusir warga setempat. Mereka pun memutuskan untuk
pindah ke sebelah selatan kuburan.

Bisnis prostitusi tersebut tidak bertahan lama dengan alasan pembongkaran, kemudian
mereka pindah ke tanah milik PT. KAI sekitar tahun 1983. Dari sini lah momen peralihan
kepemilikan tanah dari Buaman kepada Girun. Menurut wawancara yang telah kami lakukan
dengan bapak Wahyu Perwira Pratama SH, lokasi “Girun” merupakan sebuah pasar burung.
Namun sebenarnya, tempat tersebut merupakan tempat prostitusi yang memiliki delapan
rumah dengan dua Wanita di setiap rumahnya. “…lokasi itu punya PT. KAI. Disana ada
stasiun Gondanglegi sekalian ditutup. Ada lokasi yang kosong itu, itu pasar burung. Dan itu
ada bangunannya protitusi itu, beberapa rumah…” Meskipun akhirnya bisnis tersebut
berkembang dan menjadi milik beberapa orang, nama “Girun” tidak berubah dan tetap
melegenda.

Intruksi penutupan lokalisasi “Girun” dipimpin oleh Bupati Kota Malang pada saat
itu, H. Rendra, S.H M. sesuai dengan keterangan Wahyu Perwira Pratama, “…pada saat
bupatinya Pak Rendra, ada intruksi untuk semua lokalisasi di Kota Malang ditutup.
Lokalisasi di Kota Malang ada tujuh, salah satunya Girun ini”. Lokalisasi yang ditutup
antara lain Suko (Kecamatan Sumberpucung), Slorok (Kromengan), Kebobong (Wonosari),
Kalikudu (Pujon), Embong Miring (Ngantang), dan Pulau Bidadxadri (Sumbermanjing
Wetan).

3.2 Latar Belakang Penutupan Lokalisasi “Girun”


Menurut Wahyu Perwira Praptama SH, awal mula penutupan lokalisasi Girun,
Gondanglegi Kabupaten Malang disebabkan oleh adanya laporan warga mengenai tempat
lokalisasi tersebut, kemudian bupati Malang, Rendra Kresna, memberikan disposisi pada
surat kepala Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Malang tanggal 29 April 2021 nomor:
005/2769/35.07.126/2021 perihal laporan hasil rapat koordinasi rencana penertiban area ex.
Lokalisasi Girun. Pada tanggal 08 mei 2021, dilakukan operasi penertiban dalam skala besar
gabungan antara Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Malang bersama PT. KAI DAOP 8
Surabaya dengan melibatkan jajaran TNI/POLRI dan organisasi perangkat daerah kabupaten
Malang, serta segenap masyarakat di Kecamatan Gondanglegi Kabupaten Malang yang
keseluruhan berjumlah 300 orang.

8
Gambar 3.2.1. Pelaksanaan Operasi Penertiban
Dokumentasi Peneliti di Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Malang

Dari gambar 3.2.1 dapat dilihat pelaksanaan operasi penertiban yang dilakukan
diantaranya sebagai berikut:

1. Pembongkaran terhadap 23 (dua puluh tiga) bangunan rumah yang digunakan untuk
kegiatan bisnis lokalisasi Girun, operasi penertiban berjalan dengan lancar karena
masyarakat menyadari bahwa bangunan tersebut telah didirikan tanpa seijin PT. KAI
dan praktek prostitusi yang telah dilakukan telah melanggar peraturan perundang-
undangan daerah Kabupaten Malang
2. Masyarakat Gondanglegi Wetan, masyarakat Desa Putat Kidul, tokoh agama dan
tokoh masyarakat kecamatan gondanglegi menyatakan keberatan dan menolak
keberadaan ex lokalisasi girun karena telah menimbulkan keresahan dan melanggar
norma kesusilaan
3. Satuan polisi pamong praja kabupaten malang telah melaksanakan sosialisasi dan
cipta kondisi tentag rencana akana danya operasi penertiban sehingga memberikan
kesempatan bagi penghuni untuk mempersiapkan diri. Satuan polisi pamong praja
kabupaten malang juga telah meminta kepada PT. KAI untuk memastikan keberadaan
dan status aset agar pembongkaran tidak menyalahi aturan.
4. Pembongkaran merupakan solusi yang tepat agar lahan tersebut tidak dijadikan
sebagai lahan prostitusi kembali sehingga tidak akan ada lagi keluhan dan keresahan
di masyarakat.

Pasca pembongkaran saat ini lahan sudah dalam kondisi kosong dan telah dipasang
pagar pengaman, selanjutnya pt. Kai menyerahkan kepada pemerintah kabupaten malang atas
lahan tersebut untuk pemanfaatan selanjutnya.

9
Sedikitnya lapangan pekerjaan dapat meningkatkan resiko adanya kegiatan prostitusi
yang termasuk dalam kegiatan penyimpangan norma atau penyakit masyarakat yang
dianggap sebagai masalah sosial (Nugroho, 2017). Tempat prostitusi kerap kali
berdampingan dengan lingkungan masyarakat umum, sehingga dapat menimbulkan dampak
positif dan negatif bagi masyarakat sekitar. Terdapat beberapa pihak yang merasa tempat
prostitusi memiliki dampak positif karena dapat memberikan pemasukan lebih tanpa bersusah
payah bekerja keras dan dapat dijadikan ladang bisnis PSK, selain itu dapat membuka
lapangan pekerjaan pegawai warung, tukang cuci baju, tukang jamu, dll. Hal tersebut
dikarenakan banyaknya orang luar daerah yang berkunjung ke daerah prostitusi tersebut
(Miskawi & Matali, 2007).

Kabupaten Malang salah satu daerah yang memiliki sisi gelap sejak tahun 1980, yakni
adanya dunia prostitusi salah satunya disebut Lokalisasi Girun yang terletak di Desa
Gondanglegi Wetan, Kecamatan Gondanglegi, Kabupaten Malang. Adanya tempat prostitusi
yang sudah berjalan dari lama menjadikan pemerintah mengadakan penggusuran yang
dilakukan oleh pemerintah. Pembubaran dilakukan untuk meminimalisir adanya
perkembangan pada lokalisasi tersebut. Beberapa hal yang mendasari dilakukannya
pembubaran yaitu (1) Tempat prostitusi lokalisasi yang dekat dengan tempat tinggal
masyarakat umum, (2) Peraturan daerah yang melarang adanya kegiatan tindak asusila dan
perdagangan manusia yang dilakukan mucikari dengan PSK, (3) Dampak sosial yang besar
terutama pada generasi muda, sehingga dikhawatirkan akan berpengaruh (Dyah. dkk, 2020).
Berdasarkan hal tersebut pembubaran tempat prostitusi dianggap sebagai langkah terbaik
untuk meminimalisir dampak negatif yang akan didapat daerah tersebut.

Masalah lain yang ditimbulkan adalah dengan ditutupnya tempat prostitusi lokalisasi
Girun memaksa masyarakat untuk beradaptasi kembali dengan lingkungan baru, pekerjaan
baru, dan kehidupan sosial baru. Dalam menjalani pola perubahan tersebut tidak sedikit
masyarakat yang mudah beradaptasi sehingga meningkatkan jumlah pengangguran yang
disebabkan karena kurangnya Sumber Daya Manusia (SDM) terutama perempuan eks-PSK
yang tidak memiliki keahlian, sehingga perlu adanya upaya pemberdayaan masyarakat agar
dapat meningkatkan kesejahteraan mereka sejalan dengan ditutupnya tempat prostitusi
lokalisasi Girun. Namun untuk melakukan pemberdayaan perempuan masih banyak terjadi
kendala yakni adanya stigma buruk pada eks-PSK yang menjadikan mereka sulit untuk
berinteraksi sosial, dan rasa berat untuk mencari uang karena diperlukan usaha yang lebih.
Beberapa kendala tersebut dapat diminimalisir dengan adanya pendekatan pada masyarakat
eks-lokalisasi sehingga mantan PSK dapat lebih percaya diri untuk hidup normal dan mandiri
dengan pekerjaan yang lebih baik (Wahidin, 2016)

Salah satu upaya perbaikan atas adanya pembubaran kegiatan prostitusi adalah dengan
adanya program kegiatan revitalisasi. Menurut KBBI, revitalisasi merupakan proses, cara,
perbuatan untuk menghidupkan kembali. Dari pengertian tersebut dapat disederhanakan
bahwa revitalisasi merupakan suatu langkah perbaikan suatu hal yang dapat memberikan
hasil dan manfaat yang optimal. Program revitalisasi dapat dilakukan salah satunya dengan
pendidikan nonformal yang dipandang tidak terikat oleh waktu, tempat, dan usia. Menurut
(Sudjana, 2004) Pendidikan nonformal merupakan kegiatan yang dilakukan secara

10
terorganisir dan sistematis yang dilakukan secara mandiri. Bentuk pendidikan nonformal
adalah pelatihan yang bertujuan untuk memberikan pengetahuan, membentuk menambah
skill, dan meningkatkan kapasitas sumber daya manusia yang lebih berkualitas untuk
mencapai suatu tujuan (Lisna. dkk, 2014). Dalam pelatihan lebih mengutamakan pada
praktek secara langsung daripada teori sebagai bentuk bekal untuk meningkatkan
kesejahteraan, kualitas sumber daya manusia, dan ekonomi bagi masyarakat eks lokalisasi.

Program pemberdayaan dapat dilakukan untuk meningkatkan life skill (kecakapan


hidup) perempuan eks-Lokalisasi Girun salah satunya dengan adanya adanya pelatihan yang
mudah dilakukan, yakni kelas pelatihan tata boga, kelas pelatihan kewirausahaan, kelas
pelatihan budidaya tanaman obat keluarga, serta pemberian action plan (rencana
keberlanjutan) yang selanjutnya akan digerakkan oleh UMKM, karang taruna, maupun
kelompok PKK.

Berdasarkan latar belakang tersebut, dalam program pemberdayaan perempuan yang


dilakukan pada eks-Lokalisasi Girun bertujuan untuk meretas stigma perempuan eks-PSK
sehingga perempuan dapat memiliki rasa percaya diri yang tinggi, selain itu adanya
pemberdayaan dapat meningkatkan tingkat kesejahteraan masyarakat khususnya perempuan
yang menjadi korban penggusuran lokalisasi Girun dengan menambahnya kemampuan life
skill (kecakapan hidup) dan mendapatkan pendapatan dengan cara yang baik.

Gambar 3.2.2. Data Warga yang Terjaring dalam Operasi Penertiban Eks Lokalisasi Girun
Dokumentasi Peneliti di Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Malang

Dari gambar 3.2.2 dijelaskan terdapat 14 WTS yang tertangkap oleh pihak satuan polisi
pamong praja kabupaten malang. Dari 14 orang tersebut kebanyakan dari luar Malang.
Menurut keterangan yang diberikan Wahyu Perwira Praptama SH, banyak dari WTS tersebut
yang kabur dan tidak tertankap hingga sekarang.

3.3 Indikator Keberhasilan Penutupan Lokalisasi “Girun”


Setelah beroperasi cukup lama, lokalisasi “Girun” dan enam lokalisasi lainnya ditutup
oleh pemerintah. Lokalisasi “Girun” sebenarnya pernah ditutup pada tahun 2014, namun

11
penutupan prostitusi tersebut tidak disertai pembongkaran bangunan. Hingga akhirnya pada
bulan Mei 2021, Satuan Polisi Pamong Praja menyampaikan laporan terkait hasil operasi
penertiban eks lokalisasi “Girun” yang telah dilakukan pada 8 Mei 2021.

Gambar 3.3.1. Waktu Pelaksanaan Penertiba Eks Lokalisasi Girun


Dokumentasi Peneliti di Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Malang

Dari hasil gambar 3.3.1 menjelaskan bahwa operasi dilaksanakan dalam skala besar,
gabungan antara Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Malang bersama PT. KAI DAOP 8
Surabaya dengan melibatkan jajaran TNI/POLRI dan Organisasi Perangkat Daerah
Kabupaten Malang serta segenap elemen masyarakat di Kecamatan Godanglegi Kabupaten
Malang yang secara keseluruhan berjumlah 300 orang. Operasi dilaksanakan pada 8 Mei
2021 pukul 07.00 sampai 12.00.

Gambar 3.3.2. Peserta Operasi Penertiban Eks Lokalisasi Girun


Dokumentasi Peneliti di Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Malang

Dari gambar 3.3.2 dapat dijelaskan peserta operasi penertiban ada 14 tim penanganan
dan penutupan lokalisasi di wilayah girun kabupaten malang dalam pelaksanaan tugasnya

12
ppemerintah memiliki bidang utama, yaitu bidang identifikasi, bidang pemberdayaan, bidang
keamanan, bidang pembinaan mental dan kerohanian, diantaranya:

1. Polres malang
2. Kodim 0818 malang-batu
3. Satuan polisi pamong praja kabupaten malang
4. Dinas perumahan
5. Dinas pekerjaan umum SDA kabupaten malang
6. Dinas pekerjaan umum bina marga kabupaten malang
7. Dinas lingkungan hidup kabupaten malang
8. Dinas perhubungan kabupaten malang
9. Dinas kesehatan kabupaten malang
10. Muspika gondanglegi
11. Perangkat desa gondang legi wetan
12. Tokoh agama dan tokoh masyarakat kecamatan gondanglegi
13. Kantor cabang atau unit PLN UPJ Gondanglegi
14. PT KAI DAOP 8 Surabaya

Gambar 3.3.3. Pembongkaran Bangunan Lokalisasi


Dokumentasi Pembongkaran Bangunan ‘Girun’.

Penutupan lokalisasi disertai dengan pembongkaran bangunan yang melibatkan alat


berat karena bangunan yang berdiri di atas tanah PT. KAI sudah permanen. Wahyu Perwira
Praptama SH menyatakan bahwa “…dan kebetulan “Girun” ini penanganannya memang
dari awal sampai mbongkar…”. Pembongkaran terhadap 23 bangunan rumah berjalan
dengan lancar dan aman serta tidak terjadi perlawanan dari penghuni bangunan. Penghuni
tidak merasa keberatan jika bangunan sewaktu-waktu dibongkar karena menyadari bahwa
bangunan yang telah didirikan tanpa seijin PT.KAI dan praktek prostitusi yang dilakukan
telah melanggar Peraturan Perundang-Undangan Daerah Kabupaten Malang. Selain itu,
masyarakat Gondanglegi Wetan, masyarakat desa Putat Kidul, tokoh agama, dan tokoh

13
masyarakat menyatakan keberatan dan menolak atas keberadaan eks lokalisasi “Girun”
karena telah menimbulkan keresahan dan melanggar norma kessilaan seerta mendukung
sepenuhnya terhadap operasi penertiban yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Malang.

Sejak awal Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Malang secara intensif telah
melaksanakan sosialisasi dan cipta kondisi tentang rencana akan adanya operasi penertiban,
sehingga memberikan kesempatan bagi penghuni untuk mempersiapkan diri. Satuan Polisi
Pamong Praja Kabupaten Malang juga telah meminta kepada PT. KAI untuk memastikan
keberadaan dan status asset agar pembongkaran tidak menyalahi aturan. Dengan demikian,
pada saat pembongkaran kondisi rumah sudah dalam keadaan kosong dan Sebagian telah
dibongkar oleh penghuni secara mandiri.

Pembongkaran bangunan ini merupakan solusi yang sangat tepat dan merupakan
indicator keberhasilan penutupan lokalisasi agar tempat tersebut tidak dijadikan sebagai lahan
prostitusi Kembali sehingga tidak akan ada lagi keluhan dan keresahan masyarakat. Hal
tersebut sesuai dengan yang dinyatakan oleh bapak Wahyu Perwira Praptama, “…Dibongkar.
Bangunannya dibongkar. Kalua tidak ada tempatnya kan tidak mungkin ada (aktivitas
prostitusi)”.

3.4 Dampak penutupan Lokalisasi “Girun”


Pelacuran itu selalu ada pada semua negara berbudaya, sejak zaman purba sampai
sekarang. Senantiasa menjadi objek masalah hukum dan tradisi. Sejalan dengan
perkembangan teknologi, industry dan kebudayaan manusia, maka demikian juga halnya
dengan pelacuran tersebut (Kartono, 2015).

Menurut teori Hermanto (2010), transaksi prostitusi pada Kabupaten Malang dapat
dibagi dalam tiga bentuk. Pertama, transaksi prostitusi yang terjadi di lokalisasi pelacuran.
Kedua, transaksi prostitusi yang terjadi di berbagai tempat hiburan yang berdalih sebagai
tempat penjualan burung yang menyediakan wanita sebagai pelayan yang pada umumnya
juga bisa dilanjutkan dengan transaksi prostitusi. Ketiga, transaksi prostitusi yang terjadi di
lingkungan tersebut yang memiliki tingkat keamanan tertentu dan legalisasi dari lingkungan
setempat dengan dalih sebagai tempat kost-kosan ataupun panti pijat. Jika pola yang kedua
dan ketiga tidak bisa terealisasi, maka umumnya dilanjutkan di hotel yang ada di
Gondanglegi. Ketiga pola atau bentuk di atas akhirnya terjadi juga setelah lokalisasi Girun
resmi ditutup.

Setiap kebijakan selalu memiliki imbas atau dampak. Begitulah model formulasi
kebijakan inkrementalis menjelaskan, bahwa setiap kebijakan dikhawatirkan muncul dampak
yang tidak diinginkan (Wibawa dalam Dwijowijoto, 2004). Demikian juga halnya dengan
kebijakan menutup lokalisasi ini. Jika pemerintah tidak secara matang menyiapkan perangkat
kebijakan dan solusi dari dampak kebijakan tersebut, maka ini akan menjadi bumerang bagi
sosiologis masyarakat Kab. Malang, Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa memang
Pemerintah Kab. Malang pada saat penutupan lokalisasi tersebut tidak siap terhadap efek
yang ditimbulkan dari kebijakan tersebut. Demikian yang dikatakan Ife dan Tesoriero (2008)
bahwa harus dipikirkan prinsip keberlanjutan dalam penanganan masalah sosial, harus
dievaluasi bukan sekedar dalam peranan dan fungsi jangka pendeknya tetapi juga untuk
14
jangka panjangnya. Disebabkan ketidaksiapan tersebut, maka bermunculan praktik prostitusi
di berbagai daerah dengan berbagai kedoknya. Diantara kawasan prostitusi yang baru di beda
desa yang bertepat juga di Gondanglegi serta berbagai tempat panti pijat dan karaoke remang.
Girun merupakan penyebutan tempat lokalisasi yang berada di Gondanglegi, Kab. Malang.
Rumah-rumah tersebut dijadikan tempat prostitusi yang berkedok penjualan burung.
Penamaan tempat penjualan burung tersebut untuk menutupi izin prostitusi di Gondanglegi.

Praktik prostitusi di Girun ini sudah pernah mendapat pertentangan dari warga sekitar.
Pada tahun 2014, masyarakat sekitar telah melakukan aksi protes secara damai. Para warga
meminta kepada Pemerintah Kab. Malang untuk segera menertibkan kawasan penjualan yang
disertai dengan praktik prostitusi. Penduduk sekitar menganggap, prostitusi yang di Girun
dilakukan secara tersembunyi dengan kedok penjualan burung.

Praktik pelacuran tidak boleh ada di setiap daerah, karena Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial sudah mengatur bahwa masyarakat yang memiliki
ketunaan sosial menjadi prioritas untuk ditindaklanjuti dalam bentuk program kesejahteraan
sosial di suatu daerah. Pasal 6 dalam undang-undang tersebut menegaskan bahwa
kesejahteraan sosial perlu diprioritaskan bagi mereka yang sedang mengalami ketunaan sosial
dan penyimpangan prilaku. Bentuk dari penyelenggaraan kesejahteraan sosial itu meliputi:
rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan perlindungan sosial. Namun,
yang lebih penting adalah menyiapkan mereka dari sisi ekonomi untuk bisa menghadapi
kenyataan hidup di masa depan agar lebih baik lagi.

Ranjabar (2015), menyebutkan bahwa tidak ada peradaban yang terus menerus
tumbuh tanpa batas. Umumnya peradaban akan hancur apabila elit kreatifnya (pemerintah)
tak lagi berfungsi secara memadai. Perubahan yang dilakukan pemerintah dengan menutup
lokalisasi Girun memang menjadi angin segar, tetapi karena tidak dipelihara dengan baik,
maka perubahan tersebut akan kembali kepada kemerosotan. Hal ini terbukti dengan adanya
pembiaran oleh pemerintah dan berakibat pada menjamurnya lokalisasi terselebung di Kab.
Malang.

Wahyu Perwira Praptama SH, selaku Seksi Pencegahan Bidang Penegakkan


Perundang-undangan Daerah mengatakan, selain berdampak terhadap sebaran tempat
prostitusi, penutupan lokalisasi Girun juga berdampak secara ekonomi. Bagi warga Desa
Putat Kidul, beberapa rumah yang pada awalnya berfungsi sebagai tempat penjualan burung,
sekarang sebagian besar mereka tidak berjualan lagi karena perobohan bangunan milik PT.
KAI. Pembeli yang biasanya berasal dari luar wilayah Kab. Malang atau konsumen dari WTS
di Girun sudah tidak ada yang berdatangan lagi. Jadi, otomatis penjualan mereka tidak ada
yang membelinya.

Cita-cita pemerintah Kabupaten adalah untuk mengembalikan Girun kepada pemilik


tanah asli yaitu PT KAI, bukan sebagai daerah sentra ekonomi yang baru. Tingkat
kemiskinan meningkat dari kawasan Girun tersebut, terutama yang berasal dari penduduk
luar Kab. Malang. Lapangan pekerjaan juga menjadi berkurang, seperti tukang parkir, cucian
pakaian, uang kebersihan dan keamanan sudah tidak berfungsi lagi.

15
Sebaliknya, dengan adanya penutupan lokalisasi Girun, menjadikan munculnya
lokalisasi yang lain. Tentulah akibat dari wisata seks tersebut berdampak secara ekonomis
bagi penduduk setempat.

Jadi, dampak penutupan ini bisa dipandang dari sisi positif dan negatif. Sisi
negatifnya, para pekerja seks komersial menjadi kehilangan mata pencaharian. Terlepas dari
urusan nilai halal dan haramnya. Hal ini merupakan salah satu sisi yang harus diperhatikan
oleh pemerintah ketika menangani masalah penyakit sosial seperti prostitusi.

Pada penutupan lokalisasi Girun, selain dampak negatif yang telah penulis
deskripsikan di atas, terdapat juga beberapa dampak positif bagi masyarakat dan pemerintah
setempat. Bagi masyarakat, dampak yang dirasakan terkait penutupan lokalisasi Girun berupa
lingkungan yang lebih tertib, tentram, dan aman sesuai dengan hak asasi yanh berhak mereka
dapatkan. Lokalisasi Girun pada dasarnya sudah menjadi masalah yang membebani
masyarakat sekitar, dengan adanya pembubaran ini masyarakat memberikan apresiasi dan
rasa terimakasih pada segenap satuan yang bertugas. Dampak postif bagi pemerintahan
setempat dirasakan dari tidak adanya lagi laporan yang masuk tentang lokalisasi di sekitar
daerah tersebut, ketertiban yang kini merata di daerah itu juga dapat menumbuhkan sektor
perekonomian lain yang akan berdampak pada pembangunan Kecamatan Gondanglegi.

Gambar 3.4.1. Instruksi Bupati Malang tentang Larangan Beroperasi bagi PSK di Kab.
Malang
Dokumentasi Peneliti di Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Malang

Dari gambar 3.4.1 menjelaskan bahwa dalam rangka memelihara ketentraman dan
ketertiban serta untuk melaksanakan keputusan bupati Malang No 2 Tahun 2004 tentang
larangan penyelenggaraan perjudian dan lokalisasi pekerja seks komersial di wiliayah
Kabupaten Malang. Keputusan Bupati Malang Nomor: 188.45/380/KEP/421.013/2014
tentang Tim Penanganan dan Penutupan Lokalisasi Pekerja Seks Komersial di Wilayah
Kabupaten Malang dan surat Gubernur Jawa Timur tanggal 28 April 2014 Nomor:

16
460/7705/031 /2014 perihal Penanganan dan Pasca Penutupan Lokalisasi WTS di Jawa
Timur, maka perlu melaksanakan Larangan Beroperasi Bagi Pekerja Seks Komersial di
Wilayah Kabupaten Malang.

Upaya Pemerintah untuk Menangani Prostitusi Pasca Ditutupnya Girun diantaranya:

1. Relokalisir lokalisasi prostitusi

Relokalisir ini dapat juga diterjemahkan sebagai upaya menutup lokalisasi yang ada di Girun.
Sebagaimana instruksi Bupati Kab. Malang No. 2 Tahun 2014, maka pemerintah Kabupaten
menutup lokalisasi Girun pada tahun 2021. Upaya tersebut dilakukan untuk menjamin
kesehatan mental dan spiritual masyarakat Kab. Malang. Namun, usaha tersebut perlu
diperhatikan dari aspek yang lain. Dengan ditutupnya lokalisasi Girun, tidak otomatis praktik
prostitusi hilang dari Kab.Malang ini. Dapat dilihat dari munculnya lokalisasi baru seperti di
kabupaten lain di Gondanglegi.

2. Memberikan latihan keterampilan kerja

Setelah melakukan razia di lokasi yang terindikasi terdapat melakukan praktik prostitusi,
maka WTS yang terjaring razia tersebut ditampung di suatu tempat atau balai pelatihan untuk
kemudian diberikan pelatihan soft skills. Pelatihan yang diberikan berupa menjahit, memasak
dan salon. Bagi peserta yang dianggap berhasil mengikuti pelatihan dan dianggap mampu
untuk menjalankan usaha, maka pemerintah memberikan bantuan kepada eks WTS tersebut
berupa mesin jahit, alat-alat salon, dan peralatan memasak. Hal ini bertujuan supaya proses
penanganan WTS ini dapat terarah hasilnya dan mereka tidak kembali lagi melakukan
pekerjaan asusila tersebut. Kegiatan ini hanya upaya menghabiskan anggaran pemerintah
saja. Hasilnya tidak dapat bermanfaat dengan banyak. Terbukti, setelah dilakukan pelatihan
yang dalam waktu 3 hari, dipandang tidak akan dapat memberikan skill yang bisa dijalankan
oleh eks WTS tersebut. Selain itu, bantuan peralatan untuk menunjang soft skills tersebut
juga tidak disertai dengan evaluasi pasca diserahkannya peralatan tersebut.

3. Melakukan razia rutin

Gambar 3.4.2. Kegiatan Razia Rutin oleh Satpol PP. Kab. Malang
Dokumentasi Kegiatan Razia Rutin Setiap Bulan oleh Satpol PP Kab. Malang

17
Razia merupakan salah satu bentuk kegiatan yang dilakukan oleh Satpol PP Kabupaten
Malang. Polisi Pamong Praja adalah alat pemerintah daerah untuk menerapkan peraturan
yang ada di tingkat daerah. Usaha Satpol PP ini selalu bekerja sama dengan Dinas Sosial.
Pelaksanaan razia merupakan tindakan represif yang dilakukan oleh pemerintah. Razia adalah
sebagai bentuk bahwa titik-titik atau lokasi tersebut terindikasi ada praktik prostitusi.
Seharusnya upaya preventif (Kartono, 2015) juga dilaksanakan, seperti mengadakan
pendekatan dengan keluarga WTS, mencari pasangan hidup yang permanen dan melakukan
transmigrasi atau bergabung dengan kelompok transmigrasi supaya mereka mendapat
kehidupan yang baru.

18
BAB 4

PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Lokalisasi yang ada di Desa Putat Kidul atau “Girun” Kecamatan
Gondanglegi, pada dasarnya tercipta karena kurangnya lapangan pekerjaan pada
daerah tersebut, kurangnya perhatian pemerintah terhadap lahan kosong PT. KAI juga
menjadi salah satu faktor penyebab didirikannya lokasi prostitusi illegal pada area itu.
Sumber daya manusia di Desa Putat Kidul dan pendatang baru dari daerah lain yang
berkualitas rendah juga menjadi pemicu berkembangnya Lokalisasi “Girun”.
Maraknya bisnis prostitusi illegal pada Desa Putat Kidul mengakibatkan
keresahan dan ketidaknyamanan warga sekitar. Selain keluhan yang dikeluarkan oleh
warga sekitar, salah satu faktor yang mendasari penutupan ini adalah Intruksi Bupati
Malang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Larangan Beroperasi Bagi Pekerja Seks
Komersial di Wilayah Kabupaten Malang. Berdasarkan keluhan warga dan Intruksi
Bupati Malang, Bupati Malang mengeluarkan Instruksi Penutupan Lokalisasi
“Girun”.
Operasi penertiban lokalisasi “Girun” dilaksanakan atas dasar Intruksi Bupati
Malang pada tanggal Sabtu, 8 Mei 2021. Operasi ini merupakan gabungan antara
Satpol PP Kab. Malang bersama PT. KAI DAOP 8 Surabaya dengan melibatkan
jajaran TNI/POLRI dan Organisasi Perangkat Daerah Kab. Malang serta segenap
elemen masyarakat di Kecamatan Gondanglegi, Kabupaten Malang. Operasi
dilakukan dengan cara pembongkaran bangunan illegal dan penyegelan tanah yang
menjadi sarang prostitusi. Sebagai langkah pencegahan adanya lokalisasi baru di
daerah tersebut, Satpol PP Kab. Malang secara rutin melakukan Razia setiap bulan.
Selain berdampak terhadap sebaran tempat prostitusi, penutupan lokalisasi
Girun juga berdampak secara ekonomi. Bagi warga Desa Putat Kidul, beberapa rumah
yang pada awalnya berfungsi sebagai tempat penjualan burung, sekarang sebagian
besar mereka tidak berjualan lagi karena perobohan bangunan milik PT. KAI.
Pembeli yang biasanya berasal dari luar wilayah Kab. Malang atau konsumen dari
WTS di Girun sudah tidak ada yang berdatangan lagi.

4.2 Saran
Dari hasil wawancara yang kami lakukan, Wahyu Perwira Praptama SH,
selaku Seksi Pencegahan Bidang Penegakkan Perundang-undangan Daerah
menyatakan bahwa langkah pemerintah setelah pembubaran lokalisasi adalah dengan
mengadakan rehabilitasi sosial, penyuluhan terhadap PSK, dan pemberian uang saku.
Ide penulis untuk masalah ini bagi pemerintah dalam menangani lokalisasi
yang marak berkembang di daerah Kec. Gondanglegi adalah dengan pengawasan
yang lebih ketat dan meluas. Pemerintah juga dapat memberikan pemberdayaan
sumber daya manusia dan lapangan pekerjaan yang lebih memadai bagi masyarakat

19
sekitar dan eks pekerja seks untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik sebagai
langkah pencegahan berkembangnya prostitusi yang baru.

DAFTAR PUSTAKA

20

Anda mungkin juga menyukai