Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN UJIAN AKHIR SEMESTER

PENYIMPANGAN SOSIAL(DEVIANT BEHAVIOR)


Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pendidikan Karakter Anti Korupsi

Dosen Pengampu
(Amnah, S.Kom.,M.T.I)

DISUSUN OLEH:
DEANI INTAN SARI (2011010011)
PUTRI GUSTINA (2111010071)

PRODI TEKNIK INFORMATIKA


FAKULTAS ILMU KOMPUTER
INSTITUT INFORMATIKA DAN BISNIS DARMAJAYA
T.A. 2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami haturkan kehadirat Allah Swt. yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga kami bisa menyelesaikan Laporan “Perilaku Menyimpang (Deviant Behavior)”.

Tidak lupa juga kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah turut memberikan
kontribusi dalam penyusunan laporan ini. Tentunya, tidak akan bisa maksimal jika tidak mendapat
dukungan dari berbagai pihak.

Sebagai penyusun, kami menyadari bahwa masih terdapat kekurangan, baik dari penyusunan
maupun tata bahasa penyampaian dalam laporan ini. Oleh karena itu, kami dengan rendah hati
menerima saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki laporan ini.

Kami berharap semoga laporan yang kami susun ini memberikan manfaat dan juga inspirasi untuk
pembaca.

Bandar Lampung, 12 Desember 2022

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................................... 2


BAB II PEMBAHASAN ................................................................................................................ 4
A. Pengertian Perilaku Menyimpang (Deviant Behavior) ........................................................ 4
B. Pengertian Kriminologi ........................................................................................................ 7
C. White Collar Crime, Occupational Crime dan Korupsi ....................................................... 9
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................... 12
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Perilaku Menyimpang (Deviant Behavior)

Perilaku yang dilakukan oleh seseorang dalam hidupnya dapat berupa perilak positif maupun
perilaku yang bersifat negatif. Salah satu perilaku negatif yan dilakukan seseorang berupa perilaku
korup. Perilaku korup yang terjadi ju merupakan suatu bentuk perilaku menyimpang yang
merugikan masyaraka umum. Apakah yang dimaksud dengan perilaku menyimpang?

Perilaku menyimpang adalah sebuah perilaku seseorang yang berbeda denga norma dan kebiasaan
yang umum berlaku di masyarakat. Sebuah perilak dianggap sebagai perilaku menyimpang apabila
perilaku tersebut tidak sesua dengan budaya, nilai-nilai, dan norma sosial yang berlaku dalam
masyarakat ataupun bertentangan dengan aturan hukum yang ada. Perilaku menyimpang yang saat
ini marak dan bertentangan dengan aturan hukum serta norma masyarakat antara lain berupa
vandalisme, berpakaian tidak sopan, hubungan sejenis (LGBT), hingga perilaku korupsi.

Perbuatan yang dikategorikan sebagai sebuah deviasi sangat sulit ditentukan secara universal dan
merupakan konsep yang sangat relatif. Ada perbuatan yang dianggap menyimpang namun oleh
pihak lain dianggap sebagai sebuah perbuatan yang normal. Harus diingat bahwa sebuah perilaku
dianggap sebagai deviasi atau perilaku menyimpang akan berbeda-beda antara masing- masing
masyarakat. Perilaku yang dianggap sebagai perbuatan yang tidak menyimpang dalam organisasi
atau masyarakat tertentu dapat dianggap sebagai perbuatan menyimpang di dalam organisasi atau
masyarakat lain.

Sebuah perilaku yang dianggap menyimpang di masa lalu dapat dianggap sebagai perbuatan yang
wajar di masa sekarang karena adanya dinamika dan perdebatan antara pihak yang beranggapan
perbuatan tersebut merupakan perilaku yang menyimpang dengan mereka yang menganggap
bahwa perbu- atan tersebut sebagai sebuah perbuatan yang normal. Dinamika dan perde- batan
yang terjadi dapat mengakibatkan norma dan aturan terhadap sebuah perilaku menjadi berubah.

Tolok ukur menyimpang atau tidaknya sebuah perbuatan biasanya ditetapkan berdasarkan norma
dan budaya yang digunakan dalam masyarakat tertentu yang berbeda-beda antarmasyarakat.
Sebagai contoh, standar mengenai perilaku menyimpang yang berlaku di Timur Tengah tentu
tidaklah sama dengan standar perilaku menyimpang di Eropa.
Terdapat beberapa cara untuk menilai apakah sebuah perbuatan dianggap sebagai perbuatan yang
menyimpang atau tidak. Perilaku menyimpang dapat dipandang sebagai sebuah penyimpangan
dari aturan hukum yang berlaku dan nilai-nilai etika yang berlaku universal. Perilaku menyimpang
juga dapat dinilai berdasarkan situasi dan lingkungan yang ada, misalnya seseorang yang
berpakaian minim di lingkungan tertentu dapat dianggap menyimpang, namun di lingkungan yang
lain dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang tidak menyimpang.

Contoh lain, misalnya seseorang yang merokok di ruangan bebas dari rokok (no smoking area)
maka berdasarkan aturan yang berlaku di ruangan tersebut, tentu hal tersebut adalah perilaku yang
menyimpang. Di sisi lain, apabila perbuatan tersebut dilakukan di wilayah yang memang
membebaskan masyarakatnya untuk merokok (smoking area) maka perilaku seseorang yang
merokok di wilayah tersebut tentu dianggap sebagai sebuah perilaku yang wajar dan bukan
merupakan perilaku yang menyimpang.

Perilaku menyimpang pada umumnya terjadi karena pengaruh dari kondisi biologis dan psikologis
yang ada dalam diri seseorang dan interaksi yang terjadi antara seseorang dengan pihak-pihak lain.
Dari pengaruh-pengaruh tersebut, maka perilaku menyimpang dapat dikategorikan ke dalam
beberapa dimensi. Dimensi-dimensi perilaku menyimpang antara lain:

1. Perilaku menyimpang positif. Perilaku menyimpang positif adala perilaku yang bersifat
out of the box dan bermanfaat untuk menyelesa ikan masalah-masalah yang tidak dapat
diselesaikan menggunaka aturan yang ada. Perilaku menyimpang positif biasanya berupa
berbag macam inovasi dan penemuan yang dapat digunakan untuk memecahka
permasalahan atau meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Perilaku menyimpang
negatif.
2. Perilaku menyimpang negatif adal perilaku-perilaku yang bertentangan dengan norma dan
aturan serta merugikan masyarakat umum. Perilaku menyimpang dapat muncul karena
kondisi psikologis seseorang yang kurang baik atau karena pengaruh orang-orang lain.

Perilaku menyimpang yang bersifat beraneka ragam, namun dapat diklasifikasikan menjadi:

a. Perilaku menyimpang di masyarakat adalah perilaku menyimpang yang dilakukan


seseorang ketika dirinya berinteraksi dengan orang lain di dalam lingkungan masyarakat
b. yang dilakukan seseorang ketika dirinya berinteraksi dengan lain di dalam lingkungan
masyarakat. Perilaku menyimpang di tempat kerja (occupational deviance) adalah perilaku
menyimpang yang dilakukan di tempat kerja. Contoh perilaku menyimpang dalam kategori
ini adalah fraud dan korupsi.
c. Perilaku menyimpang individual adalah perilaku menyimpang yang dilakukan oleh
perseorangan dan biasanya tidak berdampak negatif terlalu besar. Contoh perilaku
menyimpang kategori ini dapat berupa pengguna narkoba, penyimpangan seksual
(homoseksual, lesbian, pedofil, seks bebas) dan perilaku korupsi, terutama dalam bentuk
petty corruption.
d. Perilaku menyimpang berkelompok adalah perilaku menyimpang yang dilakukan oleh
orang-orang yang tergabung dalam satu kelompok tertentu dan berdampak negatif yang
besar. Contoh perilaku menyimpang kategori ini yang berhubungan dengan korupsi adalah
grand corruption atau systemic corruption yang umumnya dilakukan melalui kerja sama
antar berbagai oknum yang terlibat.
e. Perilaku menyimpang situasional adalah perilaku menyimpang yang dilakukan karena
tekanan situasi yang dihadapi pada saat itu. Sebagai contoh, ada orang-orang yang terpaksa
mencuri karena membutuhkan uang untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya yang
membutuhkan makanan. Sama seperti itu, seseorang juga dapat melakukan korupsi karena
situasi yang dihadapi menuntutnya untuk melakukan korupsi.

Seseorang melakukan perilaku menyimpang setelah mempelajari berbagai norma dan perilaku
yang ada di lingkungannya. Baik itu norma dan perilaku di lingkungan keluarga, perilaku di
lingkungan pergaulan dengan teman-temannya maupun lingkungan masyarakat hingga norma dan
perilaku di tempat kerjanya.

Salah satu perilaku menyimpang yang berdampak sangat negatif bagi masyarakat adalah
kriminalitas, yaitu sebuah perbuatan menyimpang yang dilakukan oleh seseorang dengan cara
melanggar hukum yang merugikan masyarakat.
B. Pengertian Kriminologi

Salah satu bentuk perilaku menyimpang yang berdampak sangat negatif bagi orang lain dan
masyarakat adalah kejahatan (kriminalitas). Dalam memahami aspek-aspek kriminalitas maka
muncul ilmu kriminologi. Kriminalitas yang menjadi pembahasan utama dalam ilmu kriminologi
adalah perilaku henyimpang yang bertentangan dengan aturan-aturan resmi yang berlaku dalam
masyarakat. Kriminologi adalah sebuah ilmu yang secara khusus mempelajari mengenai berbagai
macam aspek sebuah kejahatan (crime).

Kriminologi berasal dari bahasa latin, yaitu crimen dan logos. Crimen berarti kejahatan, sementara
logos berarti ilmu. Dengan demikian, secara harfiah, kriminologi adalah ilmu pengetahuan tentang
kejahatan, atau lebih tepatnya kriminologi mempelajari segala aspek tentang kejahatan. Kata
“kriminologi” pertama kali digunakan oleh antropolog Perancis bernama Paul Topinard (1830-
1911) yang meneliti dengan pendekatan antropologi fisik bagaimana bentuk tubuh mempengaruhi
seseorang untuk berbuat jahat. Kriminologi dapat didefinisikan sebagai studi sistematis tentang
sifat, jenis, penyebab, dan pengendalian dari perilaku kejahatan, penyimpangan, kenakalan, serta
pelanggaran hukum. Kriminologi adalah ilmu sosial terapan di mana kriminolog bekerja untuk
membangun pengetahuan tentang kejahatan dan pengendaliannya berdasarkan penelitian empiris.
Penelitian ini membentuk dasar untuk pemahaman, penjelasan, prediksi, pencegahan, dan
kebijakan dalam sistem peradilan pidana.

Terdapat beberapa mazhab cara pandang, atau perspektif seseorang terhadap ilmu kriminologi,
sebagai berikut :

a. Mazhab Klasik

- Seseorang melakukan tindakan atau perbuatan berdasarkan pertimbangan untuk memilih


kesenangan (pleasure) atau sebaliknya yaitu penderitaan.

- Pelaku memiliki kehendak bebas

- Persoalan sebab kejahatan telah dijawab secara sempurna sehingga tidak diperlukan lagi
penelitian untuk menggali sebab musabab kejahatan.

- Tokohnya adalah Becaria (abad 18)


b. Mazhab Italia

- Mempelajari tentang kriminlogi dari sisi internal seseorang, yaitu melalui aspek kondisi
tubuh dan kondisi jiwa seseorang

- Tokohnya adalah Cesare Lombroso (abad 19)

- Penjahat memiliki tipe tersendiri/ born criminal

- Penjahat adalah mereka yang mengidap kelemahan otak

- Kejahatan umumnya dilakukan oleh mereka yang mengalami hambatan kedewasaan


emosionalnya.

c. Mazhab Perancis

- Kriminologi dari sisi eksternal seseorang

- Faktor lingkungan yang buruk, seperti kemiskinan, budaya, yang menyebarkan nilai
negatif sangat berpengaruh dalam menjadikan seseorang menjadi jahat.

- Tokohnya A. Lacassagne .

d. Mazhab Sosiologi

- Penganut mazhab ini berpendapat bahwa segala kejahatan sebagai ekspresi kondisi sosial
tertentu .

- Melakukan penyusunan statistik criminal.


C. White Collar Crime, Occupational Crime dan Korupsi

- White Collar Crime


Kejahatan kerah putih telah didefinisikan oleh Edwin Sutherland sebagai "kejahatan yang
dilakukan oleh orang kehormatan dan status sosial yang tinggi dalam pekerjaannya" (1939).
Kejahatan kerah putih, hampir sama dipersepsikan dengan kejahatan korporasi karena yang
dilakukan dengan cara penipuan, penyuapan, penggelapan, kejahatan komputer, pelanggaran hak
cipta, pencucian uang, pencurian identitas, dan pemalsuan uang. Metode Penelitian adalah Studi
Kepustakaan, tujuannnya untuk mengetahui bagaimana bentuk-bentuk kejahatan yang
dikategorikan sebagai “white collar crime”, hasilnya adalah penerapan hukum yang diberikan
kepada pelaku kejahatan “white collar crime”, sudah memberikan keadilan dan kepastian hukum
kepada masyarakat. White collar crime adalah tindakan kriminal yang pelakunya dari kelompok
kelas ekonomi atas. Umumnya, dilakukan oleh para pemegang jabatan yang memanfaatkan
posisinya.
Contoh white collar crime adalah kecurangan bisnis, pemalsuan data perusahaan, korupsi, dan
penyelundupan barang ilegal. White-Collar Crime adalah tindak kecurangan seseorang yang
memiliki posisi dan wewenang cukup tinggi pada sektor pemerintahan maupun sektor swasta.
Sehingga dapat mempengaruhi suatu kebijakan dan keputusan.
White collar crime ini pada umumnya terjadi pada negara-negara yang belum memiliki hukum
korporat yang matang. Sehingga para pelaku dapat dengan mudah melakukan aksinya tanpa ragu
terkait hukuman yang mungkin mereka akan peroleh. Negara dengan kematangan hukum
koorporat yang rendah ini banyak terdapat di wilayah Asia, khususnya pada negara-negara
berkembang.
Beberapa karakteristik white collar crime yang membedakannya dengan kejahatan lain, yaitu:
Pelaku sulit diidentifikasi. Jika kerusakan belum dirasakan maka korban tidak akan sadar.
1. Diperlukan waktu yang lama untuk pembuktian dan juga butuh keahlian tertentu.
2. Jika menyangkut organisasi, susah dicari seseorang yang bertanggung jawab, biasanya
diarahkan ke atasan karena tidak mencegah, atau kepada bawahan karena tidak mengikuti perintah
atasan
3. Proses viktimisasi juga tersamar karena pelaku dan korban tidak secara langsung berhadapan.
4. Kerumitan dan tersamarnya pelaku membuat sulit dilacak.
5. Sulit mengadili karena minimnya bukti dan siapa yang disalahkan.
6. Pelaku biasanya mendapatkan treatment atau sanksi yang ringan.
7. Pelaku biasanya mendapatkan status kriminal yang ambigu.
Suatu tindak pidana dikatakan sebagai white collar crime, harus memenuhi unsur-unsur sebagai
berikut :
1. Dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum
2. Merugikan Masyarakat dan atau Negara
3. Dilarang oleh aturan hukum pidana
4. Perbuatannya diancam dengan pidana
5. Dilakukan oleh orang-orang tertentu Dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum
artinya perbuatan yang dilakukan adalah bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Akibat dari perbuatan yang dilakukan tidak hanya merugikan perorangan atau sekelompok kecil
saja, tetapi dapat merugikan masyarakat luas.
- Occupational Crime
Merupakan turunan dari white collar crime, Jo Ann Miller seorang kriminolog dari Purdue
University merinci pengkategorian white collar crime menjadi 4 (empat) jenis, yaitu:
1. Organizational Occupational crime (Kejahatan yang dilakukan oleh organisasi atau perusahaan).
2. Government Occupational Crime (Kejahatan yang dilakukan oleh pemerintah atau atas nama
pemerintah).
3. Professional Occupational crime (Kejahatan yang berkenaan dengan profesi).
4. Individual Occupational Crime (Kejahatan yang dilakukan secara individu).
- Korupsi
Kata korupsi berasal dari bahasa latin corruptio atau corruptus. Corruptio memiliki arti beragam
yakni tindakan merusak atau menghancurkan. Corruptio juga diartikan kebusukan, keburukan,
kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata
atau ucapan yang menghina atau memfitnah.
Kata corruptio masuk dalam bahasa Inggris menjadi kata corruption atau dalam bahasa Belanda
menjadi corruptie. Kata corruptie dalam bahasa Belanda masuk ke dalam perbendaharaan
Indonesia menjadi korupsi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), korupsi adalah
penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan, organisasi, yayasan, dan
sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Secara harfiah, korupsi adalah perilaku
pejabat publik, baik politikus politisi maupun pegawai negeri yang secara tidak wajar dan tidak
legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan
menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka. Indonesia telah memiliki
landasan hukum dan membuat lembaga untuk menanggulangi korupsi. Landasan hukum yan telah
dibuat ialah:
- Undang-undang No. 3 Tahun 1971
- Undang-undang No. 31 Tahun 1999
- Undang-undang No. 20 Tahun 2001
- Undang-undang No. 30 Tahun 2002,
Sedangkan Lembaga yang telah didirikan antara lain Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Menurut Undang-undang No. 30 Tahun 2002, kewenangan Komisi Pemberantas Korupsi meliputi
tindak pidana yang meliputi :
a. Melibatkan aparat penega hukum, penyelenggara negara dan orang lain yang ada kaitannya
dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara
negara,
b. Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat,
c. Menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp.1.000.000.000 (satu milyar rupiah).
Selanjutnya dengan Undang-undang No. 30 Tahun 2002, Komisi Pemberantasan Korupsi
1) Dapat menyusun jaringan kerja (networking) yang kuat dan memperlakukan institusi yang telah
ada sebagai “counterpartner” yang kondusif sehingga pemberantasan korupsi dapat dilaksanakan
secara efektif dan efisien.
2) Tidak memonopoli tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.
3) Berfungsi sebagai pemicu dan pemberdayaan institusi yang telah ada dalam pemberantasan
korupsi (trigger mechanism).
4) Berfungsi untuk melakukan supervisi dan memantau institusi yang telah ada dan dalam keadaan
tertentu dapat mengambil alih tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan
(superbody) yang sedang dilaksanakan oleh kepolisian dan/atau kejaksaan.

Masih ingat pendapat para ahli, salah satunya adalah : “Power tends to corrupt, and
absolute power corrupts absolutely”. Ungkapan usang ini adalah semacam postulat yang
dikemukakan oleh Lord Acton bahwa kekuasaan cenderung untuk korupsi. Hal ini selaras dengan
apa yang dikemukakan oleh Montesquieu dalam le Esprit Des lois yang diterjemahkan sebagai
The Spirit of law bahwa terhadap orang yang berkuasa ada tiga kecenderungan. Pertama,
kecenderungan untuk mempertahankan kekuasaan. Kedua, kecenderungan untuk memperbesar
kekuasaan. (Montesqieu, 1993: 27). Ketiga adalah kecenderungan untuk memanfaatkan
kekuasaan. Dalam kaitannya dengan memanfaatkan kekuasaan inilah maka sering terjadi apa yang
disebut abuse of power yang acap kali memperkaya diri sendiri atau memperkaya orang lain.
DAFTAR PUSTAKA

Clinard, B. Marshall dan Robert F. Meier. 2008. Sociology of Deviant Behavior. Fourteenth
Edition. United States of America: Wadsworth Cengage Learning.
Bystrova, Elena G. Dan Petter Gottschalk. 2015. “Social Conflict Theory and White-Collar
Criminals: Why Does The Rulling Class Punish their Own?” Pakistan Journal Of Criminology.
Volume 7. NO. 1.pp. 1_15.

Anda mungkin juga menyukai