Anda di halaman 1dari 33

Makalah

Bedah Kasus Kode Etik Dosen


Dosen Pengampu : Fathul Laila, SH., LL.M., M.Kn

Disusun Oleh:

Mohammad Rasyid E – 202010110311208

Hafizh Taqiyyudin A – 202010110311225

Fina Zuhrotul A – 202010110311269

Putri Indah Meiani – 202010110311295

Shalsabilla Amelia P – 202010110311305

Nur Illa Lutfiana – 202010110311307

Yeni Dwi Sri P – 202010110311318

Ahya Robbani – 202010110311328

Arya Yudha Wirawan – 202010110311450

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG


FAKULTAS HUKUM
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan
rahmat, taufiq, dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan “Makalah Bedah
Kasus Kode etik Kepolisian “dengan tepat waktu. Sholawat serta salam tetap kami curahkan
kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW, yang telah membebaskan umatnya dari
zaman Jahiliyah menuju zaman yang terang benderang, yaitu ajaran agama Islam. Laporan
ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Etika Profesi. makalah ini bertujuan untuk
memenuhi tugas Ujian Tengah Semester pada mata kuliah Etika Profesi

Makalah ini memiliki tujuan untuk menelaah lebih lanjut mengenai proses
penegakkan hukum dan penyelewengan etika profesi yang terjadi dalam lingkungan civitas
akademika. Di dalam makalah ini akan menelisir problematika kode etik keprofesian yang
tidak sesuai dengan semestinya. Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada ibu
Fathul Laila, SH., LL.M., M.Kn selaku dosen mata kuliah Etika Profesi dan seluruh pihak yang
telah membantu dan mendukung dalam penyelesaian laporan ini. Penulis menyadari
sepenuhnya bahwa dalam penyusunan laporan ini terdapat banyak kekurangan dan masih
jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran sekecil
apapun akan penulis perhatikan dan pertimbangkan demi penyempurnaan makalah
selanjutnya. Penulis berharap semoga laporan ini dapat menjadi sumber literasi dan
informasi bagi para pembaca serta memberi nilai tambahan bagi penulis.

Malang, 11 November 2022

Penulis

2
DAFTAR ISI

HALAMAN DEPAN.................................................................................................................1
KATA PENGANTAR................................................................................................................2
DAFTAR ISI..........................................................................................................................3
BAB I...................................................................................................................................4
PENDAHULUAN.....................................................................................................................4
A. Latar Belakang...........................................................................................................4
B. RUMUSAN MASALAH...................................................................................................8
C. TUJUAN.....................................................................................................................8
BAB II..................................................................................................................................9
PEMBAHASAN.......................................................................................................................9
A. KRONOLOGI KASUS....................................................................................................9
B. ANALISIS KASUS.......................................................................................................10
C. KODE ETIK DOSEN...................................................................................................13
1. Kode etik sebagai tenaga pendidik dan pengajar.....................................................13
2. Kode etik terhadap diri sendiri................................................................................14
3. Kode etik terhadap sesama dosen..........................................................................14
4. Kode etik terhadap mahasiswa...............................................................................15
D. Pelanggaran Kode Etik..............................................................................................15
E. Penyebab Kode Etik dilanggar....................................................................................16
F. Penanganan pelanggaran kode etik dosen dalam kasus kekerasan seksual di UNSRI.....18
G. SARAN AGAR KASUS PELANGGARAN KODE ETIK TIDAK TERULANG LAGI....................24
BAB III...............................................................................................................................34
PENUTUPAN.......................................................................................................................34
A. Kesimpulan...............................................................................................................34
B. Saran.......................................................................................................................34
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................36

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Fenomena lingkungan yang menjadi sangat menyeramkan bagi perempuan sudah
sangat sering kita jumpai. Kerap kali kita berpikir bahwa perempuan yang notabennya
memiliki kekuatan tidak sekuat laki-laki akan mendapat perlindungan dan keamanan yang
cukup, namun hal tersebut hanyalah angan-angan belaka. Kejadian yang merendahkan
martabat perempuan marak terjadi di segala penjuru dan berbagai lingkungan. Kasus
kekerasan seksual, kita pasti sudah sangat sering mendengarnya. Dalam sebuah catatan
dari Komisi Nasional Anti Kekerasan Perempuan, per tahun 2019 tercatat sekitar 406.178
lebih kasus kekerasan pada perempuan baik dalam ranah publik. (Bunga, 2020: 2). Data
tersebut jelas menunjukkan bahwa ketidakadilan gender dalam ranah pelecehan seksual ini
menjadi kasus yang cukup besar di Indonesia.

Kekerasan seksual atau pelecehan seksual sendiri merupakan suatu tindak kejahatan
dengan melakukan perbuatan seperti merendahkan, menghina, melecehkan yang berakibat
fatal terhadap korban. Tindakan kejahatan ini dapat mempengaruhi fisik maupun psikis
korban. Terutama dalam ranah psikologis, pelecehab seksual ini memiliki dampak yang
sangat buruk bagi korban. Gangguan emosional juga menjdi salah satu akibat dari
kejahatan ini. Sehingga pelaku kejahatan seksual ini perlu mendapat perhatian khusu dan
hukuman yang ketat dan tepat. (Nikmatullah, 2020: 38) Kekerasan seksual ini biasanya
diakibatkan oleh suatu anggapan seorang laki-laki yang menganggap remeh seorang
perempuan, sehingga mereka dapat semena-mena bertindak sesuka hati. Dalam hal ini,
sangat penting bagi laki-laki untuk sadar akan hasrat seksualitas dan harus menekan hal
tersebut. Namun, kenyataanya hal tersebut sering kali tidak dihiraukan oleh kaum laki-laki.
Oleh sebab itu, fenomena pelecehan seksual ini harus ditekan dan dicegah oleh berbagai
pihak. Di Indonesia sendiri kejahatan terhadap perempuan ini telah diatur dalam Pasal 289
hingga pasal 296, kecuali dalam Pasal 291 KUHP Perbuatan Cabul. Dimana dalam pasal ini
telah diterangkan dengan jelas mengenai hukuman bagi pelaku kejahatan seksual.

Bentuk motif dari tindakan pelecehan seksual ini begitu beragam. Di kalangan
masyarakat umum, motif dari pelecehan seksual ini biasanya hasrat seksual yang tidak
terbendung dan mereka dengan sesuka hati meluapkan kecenderungan seksualitas mereka

4
ke berbagai kalangan, bahkan keluarga mereka sendiri. (Santoso et al, 2018: 15). Tentu
tidak hanya itu, di lingkungan yang memang kita kira menajdi lingkup yang aman dan
berilmu juga seringkali terjadi bentuk pelecehan ini. Lingkungan kampus merupakan
lingkungan yang digunakan untuk menimba ilmu, dan orang-orang di dalam kampus
merupakan orang-orang yang sudah tentu terdidik. Pelecehan dalam lembaga pendidikan ini
ternyata sudah menelan banyak korban, dan pelaku kejahatan tersebut beragam mulai dari
dosen hingga rektor suatu universitas tersebut. (Aulia et al, 2022: 109) Dewasa ini,
pelecehan seksual yang terjadi di lembaga pendidikan menjadi isu yang hangat
diberbincangkan. Beberapa civitas akademika di perguruan tinggi terkuak telah melakukan
kejahatan kotor ini. Contoh kasus yang beberapa tahun terakhir ini terjadi yaitu kasus di
UIN Sunan Malik Ibrahim Malang, UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Universitas Airlangga
Surabaya, Universitas Islam Indonesia Yogyakarta serta UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Namun dari sekian banyak kasus yang telah terjadi, kasus-kasus ini nhanya beberapa dari
berbagai kasus yang terungkap dan bahkan sengaja ditutup-tutupi oleh pihak kampus
terkait.(Nur, 2021: 61).

Dalam lingkungan kampus, seorang dosen merupakan sosok yang kebanyakan


menjadi panutan mahasiswa. Dosen merupakan seseorang yang dihormati mahasiswa dan
memiliki suatu kewajiban untuk memberikan pengayoman untuk mahasiswa. Dosen
merupakan pengajar utama dalam pembelajaran yang ada di kampus, hal ini telah diatur
sebagaimana dala perundang-undangan yang diterapkan bahwa dosen merupakan tenaga
[engajar yang memiliki tugas sangat mulia untuk mentransfer ilmu dan juga memberikan
ilmu dan contoh yang baik bagi mahasiswa. Dalam hal ini dapat diartikan bahwa dosen juga
merupakan seorang orang tua dalam lingkungan kampus. Namun, kenyataan di lapangan
sangatlah berbeda. Ada beberapa oknum dosen yang memang sangat tidak patut untuk
dikatakan sebagai dosen. Dalam ranah ini beberapa oknum terkait dapat melakukan
tindakan asusila yang sangat kotor dengan melakukan pelecehan seksual terhadap
mahasiswa, dan menyalahgunakan wewenangnya sebagai seorang pendidik. (Komang. N.
A. D. et al, 2022).

Proses penanganan dan penegakan hukum kasus kekerasan seksual di lingkungan


kampus terbukti memang cukup kompleks.Hal ini tidak hanya dikarenakan adanya aturan
terkait mekanisme pencegahan dan proses penanggulangan kekerasan seksual, tetapi juga

5
terdapat faktor sistem birokrasi dan sumber daya manusia dalam lingkungan kampus
tersebut. Sistem birokrasi yang rigit dan cenderung blunder dapat menyebabkan suatu
kasus kekerasan seksual sulit untuk ditangani bahkan tidak sedikit pula dapat tertutupi.
Selain penanganan kasus dalam kekerasan seksual, penelitian terhadap kekerasan seksual
ini telah banyak dilakukan, dimana banyak kalangan juga telah mengkritik tentang
bagaimana penanganan dari kejahatan ini. (Nikmatullah, 2019: 37). Dari sumber daya
manusiaa terkait dengan perihal pemahaman dan kesadaran civitas akademika terutama
stakeholder di suatu perguruan tinggi tentang tindak pelecehan seksual, ini mungkin cukup
krusial dan perlu adanya peningkatan. Para petinggi kampus, memang sudah seharusnya
memberikan perhatian yang lebih terhadap kasus kekerasan seksual ini, sehingga dapat
mencegah tindak kejahatan yang meliputi diskriminasi, merendahkan dan melecehkan.
(Sitorus, 2019: 35)

Hukum merupakan suatu instrumen yang sangat penting diterapkan di berbagai


bidang. Negara Indonesia merupakan salah satu negara yang dapat menjunjung tinggi
proses penegakan hukum, sehingga dalam hal ini Indonesia juga disebut debagai negara
hukum. Indonesia merupakan negara demokratis yang berdasar pada Undang-UNDANG
Dasar 1945 dan Pancasila, sehingga dalam ranah ini Negara Indonesia sangat menjunjung
tinggi hukum. Maka dari itu seluruh masyarakat Indonesia wajib untuk patuh dan taat akan
hukum, tidak terdapat pengecualian sekalipun. Hal ini telah tercantum Pasal 27 Ayat 1
dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang memiliki artian sangat penting bagi seluruh
masyarakat Indonesia. Oleh karena itu seluruh masyarakat baik petinggi negara,
pemerintahan, termasuk dalam civitas akademik di kampus khususnya dosen dapat
menegakkan hukum dengan baik. (Komang. N. A. D. et al, 2022). Dalam lingkungan
pendidikan, kampus memiliki wewenang untuk memberikan sanksi atau hukuman bagi siapa
sja yang melanggar ataupun melakukan suatu kejahatan. (Ali, 2015)

Perlingdungan hukum dalam proses penegakkan tindak pidana pelecehan seksual


terhadap mahasiswa ini dapat kita tinjau dai Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021. Dengan
menggunakan acuran peraturan ini korban dari pelechan seksual ini dapat mendapat
keadilan dan pelindungan sepenuhnya. Dalam hal ini sangat penting bagi korban pelcehan
seksual mendapat perlindungan dan perhatian yang lebih baik . maraknya kasus pelecehan
seksual di lingkup kampus ini dapat dilindungi dengan acuan Permendikbud Nomor 30

6
Tahun 2021. Peraturan ini merupakan peraturan yang masih sangat baru dan mendapat
perhatian khusus di lingkungan mahasiswa. Peraturan ini dibentuk pemerintah dalam
rangka untuk mengatur Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan
Tinggi. Permendikbud ini memiliki suatu tujuan dalam rangka perlindungan korban
pelecehan seksual dalam lingkungan kampus dengan beberapa penanganan yaitu
pendampingan penuh untuk korban, pemulihan dalam trauma ataupun kerugian yang
dialami korban, serta sanksi administratif.

Adapun beberapa bentuk perlindungan yang tercantum dalam Pasal 12 Ayat 1 dan 2
yaitu mengenai jaminan keberlanjutan sebagai mahasiswa, jaminan keberlanjutan sebagai
pendidik ataupun tenaga kependidikan. Jaminan perlindungan fisik dan non fisik,
tersedianya informasi dan rahasia identitas, serta akses informasi menganai perlindungan
(Kemendikbudristek, 2021). Berdasarkan perlindungan dalam pasal tersebut maka
dibentuklah suatu perlindungan dalam lembaga pendidikan. Dalam hal ini tentu
diperlukannya suatu pemahaman yang cukup dan kesadaran diri yng baik terhadap kasus
pelecehan seksual dalam lingkungan kampus. Dalam Permendikbud No 30 Tahun 2021 Bab
II mengenai pencegahan yang tercantum dalam Pasal 6, telah diterangkan bahwa setiap
Perguruan Tinggi wajib untuk melakukan pencegahan kekerasan seksual dalam segala
aspek dan tercantum juga dalam Pasal 7 mengenai pembatasan pertemuan mahasiswa
secara individu. Oleh karena itu dengan adanya Peremendikbud ini, diharapkan dapat
menaggulangi dan mencegah kasus kekerasan seksual dalam lingkungan kampus. (Aulia et
al, 2022)

Selain di atur dalam peraturan-peraturan tersebut, tentu kejahatan dalam pelecehan


seksual ini juga akan mendapat sanksi dalam kode etik keprofesian. Dalam kasus pelecehan
mahasiswa oleh dosen di Universitas Sriwijaya misalnya, telah menyeleweng dari Peraturan
Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2018
tetang Statuta Universitas Sriwijaya. Kasus ini sangat tidak sesuai dalam etika akademika
dan kode etik pada Bagian Empat Pasal 18, dimana di dalamnya telah dijelaskan bahwa
mengatur mengenai kode tik sebagaimana menjadi Dosen. Kode etik dosen tersebut sudah
seharusnya menjadi pedoman sikap, tingkah laku dan juga prilaku dosen dalam
melanjalankan tugasnya. Namun hal ini tidak tertanamn dalam diri oknum dosen tersebut
sehingga dosen tersebut melakukan tindak kejahatan pelecehan seksual. Oleh karena itu,

7
penyelewengan kode etik dosen ini menjadi fokus penulis dalam kasus pelecehan seksual
ini. (Peraturan Statuta Universitas Sriwijaya)

B. RUMUSAN MASALAH
1. Mengapa bisa sampai terjadi pelanggaran Kode Etik Dosen ?
2. bagaimana penanganan pelanggaran Kode Etik Dosen ?

C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui mengapa bisa sampai terjadi pelanggaran Kode Etik Dosen
2. Untuk mengetahui bagaimana cara penanganan pelanggaran Kode Etik Dosen

8
BAB II
PEMBAHASAN
A. KRONOLOGI KASUS
Kasus pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Dosen Universitas Sriwijaya yaitu
Reza Ghasarma yang merupakan Kaprodi Manajemen Fakultas Ekonomi (FE) Universitas
Sriwijaya yang dilaporkan atas kasus pelecehan seksual kepada anak didiknya. Pelaku
tersebut diduga mengirimkan pesan porno kepada beberapa mahasiswa di Universitas
Sriwijaya. Pelaku telah dilaporkan oleh lima mahasiswi yang mengaku telah dilecehkan
melalui pesan singkat yang telah dikirimkan oleh pelaku terebut.

Pelaku mengakui bahwa perbuatan yang dilakukannya dengan mengirim chat (obrolan)
porno kepada lima mahasiswinya secara iseng. Selain mengirimkankan chat porno, pelaku
diduga juga mengirimkan pesan suara yang tidak pantas. Pelaku juga mengajak korban
untuk membayangkan sedang berhubungan badan. Kabarnya, pelaku diduga sudah
mengirim chat porno terhadap sejumlah mahasiswanya bahkan sejak tahun 2014 silam.
Kronologi kasus ini berawal dari mahasiswi bernisial C, D dan F yang melaporkan kejadian
tersebut. Kemudian, muncul korban lagi berinisal R dan D yang juga mengaku jadi korban
pelecehan seksual oleh oknum dosen tersebut, namun melalui pesan singkat di telegram.
Awalnya, pelaku sempat mengelak telah melakukan pelecehan tersebut, dan mengaku tidak
pernah mengirimkan chat porno kepada mahasiswinya, pelaku mengelak dari semua
tuduhan terhadapnya. Pelaku sempat memberi pernyataan bahwa nomor yang diduga
mengirim chat mesum bukanlah miliknya, ia mengatakan tidak mengirimkan pesan yang
diduga melecehkan ketiga mahasiswi itu. Menurutnya, selama menjalankan tugas sebagai
dosen dan Kaprodi, ia selalu menerapkan pola-pola sewajarnya dosen dan mahasiswa. Akan
tetapi berkat penyelidikan dan pengamanan alat bukti yang diamankan yaitu berupa tiga
unit ponsel milik korban, satu unit ponsel milik tersangka, termasuk nomor telepon milik
korban dan tersangka, serta saktu eksemplar tangkapan layar pesan singkat percakapan via
jejaring media sosial menjadi barang bukti yang kuat, akhirnya pelaku ditetapkan menjadi
terdakwa.

B. ANALISIS KASUS
Dalam kasus ini terjadi sebuah pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Dosen
Universitas Sriwijaya yaitu Reza Ghasarma yang merupakan Kaprodi Manajemen Fakultas
Ekonomi (FE) Universitas Sriwijaya yang dilaporkan atas kasus pelecehan seksual kepada

9
anak didiknya. Kode etik yang telah ia langgar adalah melakukan tindak pidana yang
menjadikan orang lain sebagai obyek atau model yang mengandung muatan pornografi
sebagai gabungan beberapa kejahatan yang tidak semestinya dilakukan sebagaimana yang
diatur dalam Pasal 9 Undang Undang RI Nomor 44 Tahun 2008 jo Pasal 35 Undang-Undang
Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Kode etik yang telah dilanggar tidak semestinya
dilakukan oleh seorang dosen.
Dalam sidang virtual yang di gelar di Pengadilan Palembang dengan nomor perkara
186/Pid. B/2022/PN Plg, Majelis Hakim menyatakan bahwa pelaku telah terbukti melanggar
Undang-Undang tentang pornografi. Pelaku divonis delapan tahun penjara. Hakim juga
mengenakan pelaku hukuman tambahan, yakni mewajibkan terdakwa membayar denda Rp.
500 juta dengan subsider enam bulan kurungan penjara. Menurut hakim, vonis tersebut
telah sesuai dengan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 jo Pasal 35 Undang-
Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang pornografi yang terbukti dilanggar oleh dosen
tersebut. Yang memberatkan terdakwa tidak sepantasnya sebagai dosen intelektual
melakukan pelecehan seksual kepada mahasiswinya. Putusan tersebut lebih ringan dari
tuntutan JPU. Dimana dalam sidang agenda tuntutan beberapa waktu lalu, JPU menjerat
terdakwa dengan hukuman 10 tahun penjara. Menurut Penasihat Hukum korban, dengan
vonis yang telah ditetapkan sudah sesuai dengan apa yang diperbuat oleh terdakwa,
mengingat terdakwa adakah seorang dosen yang merupakan panutan namun tidak bisa
memberika contoh yang baik serta membuat para korban trauma akan hal kejadian yang
diperbuat.
Globalisasi dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya teknologi
informasi dan komunikasi, telah memberikan andil terhadap meingkatnya pembuatan,
penyebarluasan, dan penggunaan pornografi yang memberikan pengaruh buruk terhadao
moral dan kepribadian luhur bangsa Indonesia sehingga mengancam kehidupan dan
tatanan sosial masyarakat Indonesia. Berkembangluasnya pornografi di tengah masyarakat
juga mengakibatkan meningkatnya tindak asusila dan pencabulan. Dalam KUHP tindak
pidana pornografi tidak dirumuskan secara langsung tetapi termasuk dalam tindak pidana
kesusilaan. Tindak pidana ini dapat dikategorikan sebagai delik biasa atau delik aduan.
Tindak pidana pornografi ini menganut asas lex specialis derugot legi generalis, artinya
hukum khusus mengkesampingkan hukum umum. Sehingga dalam menyelesaikan tindak
pornografi akan berdasar pada ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 44

10
Tahun 2008 tentang pornografi. Berdasarkan Pasal 9 Undang Undang RI Nomor 44 Tahun
2008 menyatakan bahwa “Setiap orang dilarang menjadikan orang lain sebagai objek atau
model yang mengandung muatan pornografi”. Sedangkan dalam Pasal 35 Undang Undang
RI Nomor 44 Tahun 2008 berbunyi “Setiap orang yang yang sebagai objek atau model yang
mengandung muatan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau
pidana denda paling sedikit Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp. 6.000.000.0000,00 (enam miliar rupiah)”.
Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar
bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui
berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat
kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.
Berdasarkan definisi tersebut, maka kriteria porno dapat dijelaskan dengan sengaja
membangkitkan nafsu birahi orang lain, bertujuan merangsang birahi orang lain/khalayak,
tidak mengandung nilai (estetika, ilmiah, pendidikan), tidak pantas menurut tata krama dan
norma etis masayarakat setempat dan bersifat mengeksploitasi untuk kepentingan ekonomi,
kesenagan pribadi dan kelompok.
Undang-undang ini menetapkan secara tegas tentang bentuk hukuman dari
pelanggaran pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi yang disesuaikan
dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan yakni berat, sedang, dan ringan, serta
memberikan pemberatan terhadap perbuatan pidana yang melibatkan anak. Di samping itu,
pemberatan juga diberikan terhadap pelaku tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi
dengan melipatgandakan sanski pokok serta pemberian hukuman tambahan. Untuk
memberikan perlindungan terhadap korban pronografi, Undang-Undang ini mewajibkan
kepada semua pihak, dalam hal ini negara, lembaga sosial, lembaga pendidikan, lembaga
keagamaan, keluarga, dan/atau masyarakat untuk memberikan pembinaan, pendampingan,
pemulihan sosial, kesehatan fisik dan mental bagi setiap anak yang menjadi korban atau
pelaku pornografi. Undang-Undang tentang Pornografi diatur secara komprehensif dalam
rangka mewujudkan dan memelihara tatanan kehidupan masyarakat Indonesia yang
beretika, berkepribadian luhur, dan menjunjung tinggi nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa,
serta menghormati harkat dan martabat setiap warga negara.

11
Perbuatan yang dilakukan oleh Dosen Universitas Sriwijaya yaitu Reza Ghasarma yang
merupakan Kaprodi Manajemen Fakultas Ekonomi (FE) Universitas Sriwijaya yang
dilaporkan atas kasus pelecehan seksual kepada anak didiknyatelah melanggar kode etik
yang seharusnya tidak dilakukan oleh seorang dosen. Dengan adanya kasus ini maka pelaku
diberhentikan dari tugasnya sebagai dosen di Universitas Sriwijaya dikarenakan pelanggaran
yang telah ia lakukan terhadap mahasiswinya. Pemberhentian dilakukan sesuai dengan
pelanggaran yang telah ia lakukan, karena tidak memegang teguh jabatan serta
menyakahgunkannnya, padahal dalam kode etik kepegawaian dan tenaga pendidik itu harus
bersikap dan berperilaku secara ilmiah serta tidak menyalahgunakan jabatannya.
Keberadaan kode etik dosen tentu wajib dipahami sekaligus dipatuhi oleh semua orang
yang menekuni profesi dosen. Sebagaimana profesi lain pada umumnya. Kode etik ini
mengatur bagaimana seorang dosen sebagai pemilik profesi dalam menjalankan tugasnya
dan membawa diri. Sehingga mancakup hak dan kewajiban yang mengatyr segala bentuk
perilaku dan sikap dosen selama bertugas. Kode etik disusun untuk membantu dosen
menjalankan tugasnya dengan baik apa yang dilakukan, dipikirkan, dan perilaku yang
ditunjukkan dosen nantinya akan mempengaruhi presepsi masyarakat terhadap suatu
kampus dan pendidikan tinggi di tanah air.Seharusnya dosen menjauhi dan menghindari
hal-hal yang mengarah pada kemungkinan terjadinya pertentangan kepentingan pribadi
dalam proses belajar mengajar dan menjaga kehormatan diri dengan tidak melanggar
norma yang berlaku dalam menjalankan tugasnya sebagai dosen. Dalam menjalankan
profesinya, seorang dosen harus mampu memberikan keteladanan kepada anak didiknya
tentang nilai-nilai luhur dalam kehidupan dan memberikan ruang kenyamanan serta
keamanan bagi mahahasiswa dan mahasiswunya dalam menjalankan proses pembelajaran.

C. KODE ETIK DOSEN


Kode etik dosen mengatur bagaimana seorang dosen dalam menjalankan tugasnya.
Sehingga, mencakup hak dan kewajiban, yang mengatur segala bentuk perilaku dan sikap
dosen selama bertugas. Tidak hanya berisi panduan mengenai bagaimana dosen dalam
menjalankan tugas dan tanggungjawab. Beberapa kampus tempat dosen mengajar juga
mencantumkan kode etik dalam hal pergaulan, berpakaian, dan lain sebagainya yang wajib
dipatuhi oleh dosen. Kode etik dosen disusun dan diterapkan oleh masing-masing perguruan
tinggi, sehingga tiap-tiap perguruan tinggi bisa saja memiliki kode etik yang berbeda.

12
Secara umum, kode etik yang disusun oleh masing-masing perguruan tinggi mencakup
aspek-aspek berikut :

1. Kode etik sebagai tenaga pendidik dan pengajar


Sebagai tenaga pendidik dan pengajar baik di dalam kelas maupun diluar kelas,
dosen wajib mematuhi etika yang telah diatur :

a.
Melaksanakan kegiatan pendidikan di dalam Tri Dharma secara baik dan
menyesuaikan dengan ketentuan yang telah ditetapkan

b.
Membangun kreativitas mahasiswa selama mengikuti kegiatan pembelajaran

c.
Menyampaikan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni dengan penuh
tanggungjawab

d.
Memiliki sikap kooperatif dan komit dalam mewujudkan visi dan misi program studi,
fakultas, dan universitas

e.
Merencanakan, melaksanakan proses pembelajaran, serta menilai dan
mengevaluasi hasil pembelajaran

2. Kode etik terhadap diri sendiri


a.
Beriman dan bertakwa kepada Allah SWT dan menjunjung tinggi hukum negara
republik Indonesia

b.
Jujur dan terbuka serta tidak memberikan informasi yang tidak benar

c.
Menerapkan wawasan yang luas dan cara berfikir ilmiah

d.
Bertindak dengan penuh kesungguhan dan ketulusan

e.
Menghindari konflik kepentingan pribadi, kelompok dan golongan

f.
Memelihara kesehatan jasmani dan rohani

g.
Berpenampilan sederhana, rapi, dan sopan

3. Kode etik terhadap sesama dosen


a.
Bekerja sama secara harmonis dalam melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi

13
b.
Mengembangkan, meningkatkan mutu profesi, membina hubungan kekeluargaan
dan kesetiakawanan sosial

c.
Menghargai penemuan dan pendapat akademisi lain

d.
Bersikap santun terhadap teman sejawat, tidak mencaci, merendahkan atau
mengungkan kejelekan teman sesama dosen di muka umum maupun di depan
mahasiswa

e.
Membangun kreativitas dan memberikan dorongan positif kepada rekan sejawat
dan dosen junior untuk meningkatkan prestasi kerjanya

f.
Memegang teguh dan menghormati hak dan kebebasan akademik serta hak
kebebasan mimbar akademik antar dosen

4. Kode etik terhadap mahasiswa


a.
Melaksanakan proses pendidikan dan pembelajaran dengan sikap tulus ikhlas,
kreatif, komunikatif, berpegang pada moral luhur dan profesionalisme

b.
Tidak bertindak diskriminatif atas dasar ras, warna kulit, keyakinan, jenis kelamin,
suku bangsa, status perkawinan, kepercayaan agama, politik, keluarga, keturunan
dan latar belakang sosisal dan budaya mahasiswa

c.
Menjaga hubungan baik dengan bersikap dan bertindak adil terhadap mahasiswa

d.
Membimbing dan memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk mendapatkan,
mengembangkan, dan mengamalkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan kesenian
sesuai dengan ketentuan yang berlaku

e.
Membimbing dan mendidik mahasiswa ke arah pembentukan kepribadian insan
terpelajar yang mandiri dan bertanggungjawab.

D. Pelanggaran Kode Etik


Dalam kasus pelecehan yang dilakukan oleh dosen kepada mahasiswa di Universitas
Sriwijaya merupakan pelanggaran kode etik dosen terhadap mahasiswa. Dosen tersebut
telah melanggar kode etik menjaga hubungan baik dengan bersikap dan bertindak adil
terhadap mahasiswa. Dilihat dari kasus yang terjadi dosen yang seharusnya bersikap

14
sewajarnya antara dosen kepada mahasiswanya Perbuatan tidak baik dosen ditunjukan
dengan perbuatannya mengirimkan pesan singkat yang mengandung unsur pornografi
kepada mahasiswinya. Hal tersebut merupakan sebuah perbuatan yang tidak sopan.

Perbuatan dosen juga telah melanggar kode etik dalam melaksanakan proses
pendidikan dan pembelajaran dengan memiliki sikap tulus ikhlas, komunikatif, berpegang
pada moral luhur dan profesionalitas. Dari kasus yang terjadi pelaku yang berprofesi
sebagai dosen tidak berpegang teguh pada moral luhur profesinya sebagai dosen. Tidak
menjalankan profesinya sebagai dosen secara profesional dan bertanggung jawab. Seorang
profesi dosen yang seharusnya memberikan pendidikan dan pengajaran yang baik tetapi
justru melanggarnya dengan perbuatan yang tidak pantas. Serta melakukan pelanggaran
terhadap pelaksanaan kegiatan pendidikan secara baik dan menyesuaikan dengan
ketentuan yang telah ditetapkan. Adanya komunikasi yang dilakukan dosen dengan
mengirimkan pesan singkat kepada mahasiswi yang mengandung unsur pornografi telah
menyalahi aturan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.

Sebagai tenaga pengajar atau pendidik yang memiliki citra baik seharusnya memberikan
contoh baik dalam bersikap, baik sikap ketika mengajar maupun sikap sopan santun yang
harus diterapkan dilingkungan kampus. Supaya dapat memberikan contoh kepada
mahasiswa dan mahasiswinya dalam bersikap serta membangun kreativitas mahasiswa dan
mahasiswi dalam kegiatan pembelajaran. Dari adanya kasus tersebut membuat mahasiswa
menjadi merasa tidak nyaman, takut, tertekan dan terancam. Karena para mahasiswa dan
mahasiswi yang seharusnya merasa aman dan nyaman di lingkungan pendidikan justru
mendapat perlakuan yang kurang menyenangkan.

E. Penyebab Kode Etik dilanggar

Pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh salah satu oknum dosen juga telah
mencoreng nama baik institusi Universitas Sriwijaya. Hal tersebut juga termasuk dalam
pelanggaran kode etik dosen sebagai tenaga pendidik dan pengajar, karena tidak komit
dalam mewujudkan visi misi studi, fakultas, dan universitas.
Keberadaan kode etik dosen tentu hal lumrah dan wajib dipahami sekaligus dipatuhi
oleh semua orang yang menekuni profesi dosen. Sebagaimana profesi lain pada umumnya,
keberadaan kode etik adalah hal yang penting dan lumrah.

15
Kode etik ini mengatur bagaimana seorang dosen sebagai pemilik profesi dalam
menjalankan tugasnya dan membawa diri. Sehingga mencakup hak dan kewajiban, yang
mengatur segala bentuk perilaku dan sikap dosen selama bertugas.
Tidak hanya berisi panduan mengenai bagaimana dosen melaksanakan tugas dan
tanggung jawab. Beberapa kampus juga mencantumkan kode etik dalam hal pergaulan,
berpakaian, dan lain sebagainya yang wajib dipatuhi oleh dosen.
Kode etik disusun untuk membantu dosen menjalankan tugasnya dengan baik. Sebab
bagaimanapun juga dosen ibarat “wajah” dari perguruan tinggi tempatnya mengajar.
Bahkan dosen bisa menjadi “wajah” bagi dunia pendidikan tinggi nasional.
Apa yang dipikirkan, dilakukan, dan perilaku yang ditunjukan dosen nantinya akan
mempengaruhi persepsi masyarakat terhadap suatu kampus dan pendidikan tinggi di tanah
air. Wajar jika kemudian segala bentuk tindakan dan perilaku dosen diatur sedemikian rupa.
Beberapa perguruan tinggi hanya menitikberatkan kode etik lewat pelaksanaan tugas-
tugas pokok dan tugas tambahan. Mencakup pelaksanaan isi Tri Dharma dan tugas
tambahan sesuai amanah yang diberikan kepada dosen yang bersangkutan.
Beberapa lagi yang lainnya juga mengatur kode etik dalam hal pergaulan, mencakup
pergaulan dosen ke sesama dosen, dosen ke mahasiswa, dosen ke tenaga pendidik, dan
dosen ke masyarakat.
Pelanggaran Kode Etik adalah segala bentuk ucapan, tulisan, atau perbuatan dosen
dan/atau pegawai yang bertentangan dengan kode etik.
Berdasarkan dari kasus yang telah dijabarkan. Oknum dosen tersebut telah melakukan
pelanggaran kodeetik profesi dosen. Hal ini terjadi karena oknum dosen tersebu ttelah
melakukan pelecehan kepada mahasiswanya.
Sebagaimana yang telah dijabarkan dalam kronologi kasus tersebut, korban dilecehkan
saat hendak meminta tanda tangan skripsi sang dosen di Laboratorium Pendidikan Sejarah
pada Sabtu 25 September 2021. Pelaku secara sadar melakukan tindak pencabulan di ruang
laboratorium sejarah. Di mana saat itu korban yang bermaksud hendak meminta tanda
tangan malah mendapat pelecehan. juga diketahui memegang jabatan sebagai kepala
laboratorium sejarah. Namun setelah terbukti bersalah, ia pun diberhentikan dari jabatan
fungsionalnya tersebut.
Karena pelanggaran kode etik tersebut, dosen tersebut terkena sanksi administratif
sesuai aturan yang berlaku, mulai dari pencopotan jabatan sebagai Kepala Jurusan,

16
penundaan kenaikan pangkat selama empat tahun berturut-turut dan tidak menerima
tunjangan sertifikasi dosen selama empat tahun berturut-turut.
Penerapan sanksi berdasarkan surat keputusan Rektor Universitas Sriwijaya yang
mengacu hasil pemeriksaan tim Etik terkait dugaan pelecehan yang dilakukan Dosen kepada
mahasiswa. Dalam SK tersebut juga menyertakan berkas yang memuat keterangan lengkap
pengakuan dosen dan sudah ditandatangi diatas materai oleh Dosen tersebut. Rektor
Universitas Sriwijaya memberikan sanksi tersebut sesuai dengan peraturan dan undang -
undang yang berlaku dan langsung diterapkan setelah SK ditandatangani pada 18
November 2021.

F. Penanganan pelanggaran kode etik dosen dalam kasus kekerasan seksual di


UNSRI
Kekerasan rentan terjadi pada perempuan, umumnya kekerasan terhadap perempuan
tersebut selalu berhubungan dengan kekerasan berbasis gender. Hal ini bukanlah tanpa
sebab melainkan karena kenyataannya kekerasan terhadap perempuan dalam bentuk
apapun dan ruang lingkupnya adalah Karena adanya dominasi budaya laki-laki terhadap
perempuan1 Dominasi budaya ini membentuk suatu pola hubungan yang tidak seimbang
antara laki-laki dan perempuan dengan pola inferioritas dan superioritas, faktor inilah yang
sebenarnya menjadi titik permasalahan dari pada adanya tindakan kekerasan terhadap
perempuan yang berimplikasi pada realitas kehidupan masyarakat secara terus menerus
dan berkelanjutan.2

Pelecehan sering dianggap sebagai suatu perilaku menyimpang, oleh sebab tindakan
tersebut memaksa seseorang terlibat dalam suatu hubungan seksual atau menetapkan
seseorang sebagai objek perhatian yang tidak diinginkannya. 3 Artinya, pelecehan seksual di
sini dapat berupa sebuah tindakan tidak senonoh yang di tujukan oleh pelaku kepada
korban seperti menyentuh anggota tubuh yang vital dan berbicara atau berucap kata kata
yang “vulgar” atau tidak sepantasnya yang bernuansa tidak senonoh. Sedangkan orang
yang menjadi objek sentuhan dan pernyataan tidak senonoh itu tidak menyukainya.

Di Indonesia sendiri telah mengatur dan menetapkan beberapa perundangan yang bisa
menjadi paying hukum sebagai dasar perlindungan bagi kaum perempuan dari berbagai
macam kondisi kekerasan dan diskriminasi yang mungkin dialaminya. Adapun bentuk
1

2
.
3

17
pertanggung jawaban hukum terhadap perlindungan perempuan dimuat dalam beberapa
peraturan perundang-undangan di Indonesia antara lain:

1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

2. CEDAW (Convention on the Elimination of all from Discrimination Agains Women) yang
diimplementasikan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 Tentang Pengesahan
Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita.

3. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia

4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang PKDRT (Penghapusan Kekerasan


Dalam RumahTangga).

5. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant On


Economic, Social And Cultural Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Ekonomi,
Sosial Dan Budaya).

6. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum.

7. Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 Tentang Pengarus Utamaan Gender (PUG).

8. Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik


Indonesia Nomor 1 Tahun 2010 Tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Layanan
Terpadu Bagi Perempuan dan Anak Korban Kekerasan.

9. Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 2011 Tentang
Perubahan atas Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 15 tahun 2008 Tentang
Pedoman Umum Pelaksaan Pengarus Utamaan gender di Daerah.

Adapun Kelembagaan terkait dalam pelaksanaan perlindungan terhadap perempuan


korban pelecehan seksual ini tercantum dalam Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Selatan
Nomor 16 Tahun 2010 Tentang Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan Pasal
8 dan Pasal 9. Sebagaimana Unit Pelayanan Terpadu (UPT) yang dimaksud dengan Pasal 8
Ayat (1) terdiri dari unsure Pemerintah Provinsi dan unsure dari lembaga terkait di luar
pemerintah provisi. Dan juga sesuai dengan Pasal 9 nya mencantumkan bahwa
penyelenggaraan perlindungan terhadap perempuan dan atau anak korban kekerasan

18
dilakukan secara terpadu dalam wadah Unit Pelayanan Terpadu (UPT) meliputi Puskesmas,
RumahSakit, Kepolisian, dan Lembaga Terkaitlainnya.

Perlindungan hukum yang dapat diberikan terhadap perempuan yang menjadi korban
tindak kekerasan/pelecehan seksual dapat diberikan melalui Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) dan Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang menyangkut ‘perbuatan cabul’ pasal 289 KUHP
yang merupakan tindak kekerasan seksual yang sangat mengerikan dan merupakan
tindakan pelanggaran hak-hak asasi yang paling kejam terhadap perempuan. 4

Terkait dengan kasus kekerasan seksual yang dilakukan salah satu dosen Universitas
Sriwijaya, Rektor Universitas Sriwijaya (Unsri) Palembang, Sumatra Selatan, AnisSaggaf,
membentuk Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS)
di lingkungan kampus. Pembentukan melibatkan mahasiswi sebagai anggota satgas.
Adapun sanksi yang diberikan kepada pelaku dari pihak kampus sebagai dampak dari
pelanggaran kode etik dosen yang telah dilanggar adalah dikeluarkan dari instansi
kampus namun ada satu sanksi yang selain sanksi dari keluarkan yaitu sanksi moral. Hal ini
dikarenakan sanksi moral sendiri merupakan sanksi yang terjadi karena adanya pelanggaran
moral-moral.

Kode etik profesi memiliki peranan penting agar seseorang menjalankan pekerjaan
secara professional dan baik. Berikut beberapa tujuan kode etik profesi:

1. Menjunjung tinggi martabat sebuah pekerjaan profesi. Pekerjaan yang dilakukan dengan


professional dan baik akan berdampak pada padangan masyarakat terhadap pekerjaan
tersebut, maka pentingnya etika profesi.

2. Menjaga serta memelihara kesejahteraan para anggota. Pandangan orang lain terhadap
sebuah pekerjaan akan berdampak kesejahteraan kenyamanan dalam menjalankan
profesi tersebut, maka pentingnya etika profesi dalam mensejahterakan anggota.

3. Meningkatkan pengabdian anggota dalam profesi. Hal ini dapat terjadi karena dengan
aturan etika profesi sehingga meningkatkan pandangan baik terhadap profesi tersebut,
maka banyak anggota akan meningkat pengabdiannya terhadap pekerjaan tersebut.

19
Tata Cara Pelaporan dan Penanganan Dugaan Pelanggaran Kode Etik Dosen
Bila terjadi pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh dosen/karyawan, maka prosedur
penyelesaiannya adalah:
1. Laporan diterima oleh Ketua/Wakil Ketua II.
2. Bila pelanggaran kode etik tergolong ringan, Ketua/Wakil Ketua II cukup member
peringatan/ teguran kepada yang bersangkutan.
3. Apabila pelanggaran kode etik tergolong berat, Wakil Ketua/Ketua mengundang rapat
senat untuk membahas pelanggaran tersebut.
4. Senat menyampaikan draft rekomendasi mengenai sanksi yang bisa diterapkan. Draft
tersebut diserahkan kepada ketua senat untuk dirapatkan dalam rapat pleno senat
akademik.
5. Ketua senat akademik mengundang seluruhan aggota senat fakultas untuk membahas
rekomendasi senat dalam rapat pleno dan meminta pertimbangan Wakil Ketua I /Ketua.
6. Rapat pleno senat menghasilkan rekomendasi kepada ketua senat mengenai bentuk
sanksi/ solusi atas pelanggaran kode etik tersebut dengan mengundang Wakil Ketua I
/Ketua.
7. Ketua senat akademik melaksanakan rekomendasi tersebut dengan menerbitkan surat
pengusulan hasil putusan ke Ketua

20
21
G. SARAN AGAR KASUS PELANGGARAN KODE ETIK TIDAK TERULANG LAGI
Berdasarkan Pasal 1 butir 3 UU Sisdiknas dinyatakan bahwa “Sistem Pendidikan Nasional
merupakan keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk
mencapai tujuan pendidikan nasional”. Jadi bekerjanya Sistem Pendidikan Nasional dalam
mencapai tujuan pendidikan sangat bergantung pada komponen-komponen pendidikan
yang saling terkait satu sama lain, seperti lembaga pendidikan, pemerintah, pendidik, siswa,
sarana dan prasarana, dan masih banyak lagi. Selama proses pendidikan tidak menutup
kemungkinan terjadinya pelanggaran hukum yang dilakukan oleh komponen-komponen
pendidikan, seperti lembaga pendidikan, siswa, pihak ke tiga, bahkan dari pendidik sendiri,
maka tujuan pendidikan tidak akan tercapai. Sehingga perlu adanya penanganan secara
serius dalam menanggulangi pelanggaran-pelanggaran hukum di bidang pendidikan, baik
secara represif maupun preventif.

Upaya represif merupakan cara yang digunakan bila telah terjadi pelanggaran hukum
yang dilakukan oleh komponen-komponen di bidang pendidikan dengan tujuan menakut-
nakuti ataupun membuat jera pelakunya sehingga tidak akan mengulangi perbuatannya
lagi. Pendapat John Kaplan yang dikutip Muladi dan Barda Nawawi Arief disebutkan bahwa :
“tujuan pemidanaan yang lain adalah :

a) untuk menghindari balas dendam (Avoidance of blood feuds)


b) adanya pengaruh yang bersifat mendidik (the educational effect)
c) mempunyai fungsi memelihara perdamaian (the peace-keeping function)”.10 Namun
demikian upaya represif ini dapat berjalan efektif jika dalam kebijakan penggunaannya
melalui pendekatan humanitis, mengingat pelanggaran hukum itu sendiri merupakan
gejala kemanusiaan.
d) Ted Honderich berpendapat suatu pidana dapat disebut sebagai alat pencegah yang
ekonomis (economical deterrents) apabila dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a) pidana itu sungguh-sungguh mencegah.
b) pidana itu tidak menyebabkan timbulnya keadaan yang lebih berbahaya atau merugikan
daripada yang akan terjadi apabila pidana itu tidak dikenakan atau memperhatikan
akibatnya.
c) tidak ada pidana lain yang dapat mencegah secara efeketif dengan bahaya/kerugian
yang lebih kecil.

22
Jika dilihat dari pendapat di atas, maka penggunaan upaya represif dalam
menanggulangi pelanggaran hukum memerlukan persyaratan-persyaratan yang harus
diperhatikan dalam penerapannya. Karena itu dalam menanggulangi pelanggaran hukum
yang dilakukan komponen-komponen pendidikan juga dapat diintegrasikan dengan
penggunaan upaya preventif. Upaya preventif merupakan upaya penanggulangan
pelanggaran hukum yang dilakukan oleh komponen-komponen di bidang pendidikan
sebelum pelanggaran itu terjadi. Jadi upaya preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya
pelanggaran hukum di bidang pendidikan yang mempunyai sasaran utama yaitu menangani
faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya pelanggaran. Baik faktor-faktor yang berpusat
pada permasalahan atau kondisi sosial yang secara langsung maupun tidak langsung dapat
menimbulkan pelanggaran hukum di bidang pendidikan. Seperti faktor lingkungan, faktor
keluarga, keadaan ekonomi, pergaulan sosial, agama yang di lihat dari segi siswa, pendidik
maupun dari lembaganya serta hal-hal lain yang dapat mendukung terjadinya pelanggaran
hukum di bidang pendidikan. Upaya penanggulangan pelanggaran hukum yang dilakukan
oleh guru di bidang pendidikanmelalui upaya preventif juga diatur di dalam UU Sisdiknas
dan UU Guru dan Dosen.

Kode etik adalah aturan yang mengikat suatu kelompok masyarakat tertentu dalam
bertingkah laku. Dalma Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 pasal 1 butir 6 disebutkan
bahwa kode etik adalah panduan untuk menjaga dan menegakkan kehormatan bagi
seseorang dalam menjalankan profesinya dan dalam melakukan hubungan dengan
masyarakat di luar tempat dinasnya. Menurut Adams, alasan dari pentingnya kode etik
adalah:

a.
Cara yang bisa digunakan untuk memperbaiki lingkungan organisasi sehingga setiap
anggotanya bisa memiliki tingkah laku yang etis dan bermoral.
b.
Sistem legal dan pasar tidak bisa digunakan untuk menjadi pedoman dalam berperilaku
sehingga dibutuhkan aturan yang lebih ketat dan mengikat.
c.
Kode etik diperlukan sebagai status bisnis bagi seseorang dengan profesi tertentu
sehingga memiliki fungsi sebagai simbol.
d.
Menjadi salah satu budaya dari suatu profesi yang dijunjung tinggi oleh masyarakat.

Maka dari itu, ketaatan seseorang terhadap kode etik menjadi sangat penting karena
pelanggaran yang ada pada kode etik ini bisa mencoreng kehormatan dari profesi yang

23
bersangkutan secara keseluruhan. Contohnya adalah ketika ada dokter yang salah
memberikan obat dan berakibat fatal bisa menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat
terhadap profesi dokter. Maka dari itu, harus ada sanksi yang berat kepada para pelanggar
kode etik. Menurut Soejono Sokanto, sanksi bagi pelanggar kode etik harus memiliki dua
unsur, yaitu sanksi moral dan sanksi dikeluarkan dari keanggotaan organisasi.

Untuk menanggulangi faktor ekonomi misalnya digunakan program pemberian


tunjangan profesional. Program ini wajib diikuti oleh guru melalui program Sertifikasi Guru,
sebagaimana diatur Pasal 8 sampai dengan Pasal 13 UU Sisdiknas. Pasal-pasal ini
mempunyai tujuan preventif yaitu untuk menghilangkan penyebab terjadinya pelanggaran
hukum yang dilakukan oleh guru karena faktor perekonomian. Dipertegas lagi dengan Pasal
42 ayat (1) UU Sisdiknas disebutkan : “Pendidik harus memiliki kualifikasi minimum dan
sertifikasi sesuai dengan jenjang kewenangan mengajar, sehat jasmani dan rohani, serta
memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional”. Jelas UU Sisdiknas
juga mengatur penanggulangan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh guru di bidang
pendidikan dengan jalan menghilangkan penyebabnya yaitu faktor ekonominya.

Di Bidang pendidikan, komponen guru merupakan komponen yang utama dalam proses
pendidikan, mengingat guru mempunyai kedudukan dan peran yang paling dominan dalam
pelaksanaan pendidikan dan pengajaran.Pendidik sebagai salah satu pilar pelaksana
pembangunan dan pembinaan mental bangsa dituntut memiliki integritas dan kemampuan
profesional yang tinggi agar mampu melaksanakan darma baktinya dalam mencerdaskan
dan mensejahterakan kehidupan bangsa. Dapat dibayangkan bagaimana masa depan
bangsa dan negara seandainya terjadi pelanggaran hukum yang dilakukan guru, mengingat
guru mempunyai kewajiban dan peran yang sangat penting dalam mengembangkan bukan
hanya ketrampilan anak bangsa tetapi juga pengetahuan, kepribadian, dan moralnya.
Pendidik mempunyai kewajiban untuk memberi teladan bagi siswanya. Pasal 40 (2) butir c
UU Sisdiknas mengatur mengenai kewajiban guru yang berbunyi : “Memberi teladan dan
menjaga nama baik lembaga, profesi dan kedudukan sesuai dengan kepercayaan yang
diberikan kepadanya”. Dalam rangka mengeliminasi terjadinya pelanggaran-pelanggaran
hukum di bidang pendidikan yang dilakukan oleh guru, maka dikeluarkanlah UU Nomor 14
Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen yang berisi tentang pengaturan dan pengembangan
fungsi guru dan dosen sebagai profesi yang bermartabat.

24
Guru sebagai tenaga profesional memiliki kode etik sebagai upaya menciptakan dan
menjaga ketertiban hidup dalam masyarakat ketika hukum tidak berfungsi secara efektif.
Etika profesi Guru dapat digunakan sebagai salah satu sarana preventif dalam
mengeliminasi terjadinya pelanggaran-pelanggaran hukum di bidang pendidikan. Profesi
menurut Soetandyo mempunyai arti: “suatu kegiatan kerja, khusus yang mempunyai tiga
kriteria ciri yang secara mutlak harus ada, ciri tersebut adalah :

a) Adanya itikad pekerjaan yang dinyatakan dalam suatu ikrar atau sumpah di muka umum
untuk melakukan kegiatan yang diakui dan dijunjung tinggi oleh masyarakat sebagai
suatu kebajikan, sehingga tidak mengharapkan imbalan atas jasanya;
b) Penguasaan atas suatu kemahiran teknis bermutu tinggi yang dapat digunakan untuk
merealisasikan kebajikan tersebut dengan baik;
c) Adanya kesediaan para profesional untuk tunduk pada kode etik yang disepakati
bersama dalam organisasi profesional secara suka rela dan ikhlas, sebagai kontrol
terhadap profesionalismenya.

Menurut G. Millerson dalam bukunya Ignatius Ridwan Widyadharma mengatakan bahwa


“ciri dari profesional adalah :

a) Mempunyai ketrampilan yang berdasarkan pada pengetahuan teoritis;


b) Penyediaan latihan dan pendidikan;
c) Pengujian kemampuan anggota;
d) Organisasi;
e) Kepatuhan kepada suatu peraturan manprofesional;
f) Jasa/pelayanan yang sifatnya altruistik.

Pasal 1 angka 4 UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen disebutkan :
“Profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukanoleh seseorang dan menjadi
sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan
yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi”.
Berdasarkan ciri-ciri tersebut, maka tenaga profesional adalah tenaga yang mempunyai
keahlian dan bekerja demi kebajikan dan kepentingan umum serta harus tunduk pada etika
profesi yang disusun oleh organisasi profesi itu sendiri sebagai kontrol atas kualitas
pelayanannya pada masyarakat. Kontrol atas keahlian dan perilaku etis kaum profesional
pertama-tama berasal dari organisasi profesi itu sendiri yang pelaksanaannya diawasi oleh

25
suatu Dewan Kehormatan Profesi yang dibentuk khusus untuk menegakkan berlakunya
etika profesi. Jelas di sini bahwa kalangan profesi harus mengutamakan kebajikan dalam
melaksanakan profesinya, dan untuk menjalankan kebajikan tersebut perlu ditunjang
dengan keahlian teknisnya, sedangkan etika profesi sebagai kontrolnya. Guru merupakan
tenaga pendidik, dinyatakan sebagai tenaga profesional berdasarkan UU Guru dan Dosen,
sehingga guru juga terikat dengan etika profesinya. Etika profesi yang berlaku bagi guru
disusun oleh organisasi profesi guru PGRI yang pelaksanaannya diawasi oleh Dewan
Kehormatan Profesi Guru yang dibentuk oleh PGRI sendiri. Berdasarkan Pasal 41 UU Guru
dan Dosen, maka guru-guru diwajibkan membentuk organisasi profesi dan setiap guru wajib
menjadi anggota organisasi profesi tersebut. Upaya ini merupakan langkah preventif untuk
mengeliminasi faktorfaktor penyebab terjadinya pelanggaran-pelanggaran hukum di bidang
pendidikan yang dilakukan oleh guru, sehingga dapat mencegah terjadinya tindak pidana di
bidang pendidikan. Kode Etik Guru yang disusun oleh PGRI telah diikrarkan dalam Kongres
PGRI XX Tahun 2008 di Palembang yang bertujuan dan bertekad menjadikan guru sebagai
pendidik yang andal untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional yaitu mengembangkan
potensi siswa untuk menjadi manusia seutuhnya. Guru tidak hanya dituntut andal dalam
bidang keilmuannya, tetapi dituntut memiliki kompetensi paedagogik, kompetensi
kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. Artinya guru dituntut untuk
bertanggung jawab mengantarkan siswanyamencapai kedewasaan sebagai calon pemimpin
bangsa pada semua bidang kehidupan. Guru harus dapat menjadi tauladan, menjadi insan
yang dapat ditiru baik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa ataupun bernegara Kode
Etik Guru yang disepakati oleh guruguru untuk dijadikan pedoman dalam berperilaku saat
menjalankan tugasnya sebagai pendidik, anggota masyarakat dan warga negara bersumber
pada berbagai nilai. Pasal 5 Kode Etik Guru yang disusun oleh PGRI menyebutkan bahwa
“Kode Etik Guru Indonesia bersumber dari :

a) Nilai-nilai agama dan Pancasila


b) Nilai-nilai kompetensi paedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan
kompetensi profesional.
c) Nilai-nilai jati diri, harkat dan martabat manusia yang meliputi perkembangan kesehatan
jasmaniah, emosional, intelektual, sosial, dan spiritual.

26
Bunyi Pasal 5 Kode Etik Guru ini benarbenar dapat digunakan sebagai upaya mencegah
terjadinya pelanggaran hukum di bidang pendidikan yang dilakukan oleh guru, karena dapat
menjaga kualitas dan perilaku guru dalam menjalankan profesinya. Upaya ini dapat
terealisasi jika Kode Etik Guru benar-benar diimplementasikan, dijaga dan ditaati. Artinya
jika terjadi pelanggaran atas Kode Etik Guru, maka sanksi yang diancamkan harus benar-
benar dijatuhkan oleh Dewan Kehormatan Profesi Guru Indonesia pada guru yang
melanggarnya. Kenyataannya Dewan Kehormatan Profesi Guru Indonesia baru dibentuk tiga
tahun setelah disepakatinya Kode Etik Guru oleh PGRI, tepatnya pada bulan Pebruari Tahun
2011. Ini berarti Kode Etik Guru selama ini belum diimplementasikan, karena perangkat
kelengkapan yang bertugas menegakkan Etika Profesi Guru tersebut baru terbentuk.
Berdasarkan Pasal 9 Kode Etik Guru, yang berwenang mensosialisasikan,
mengimplementasikan, mengkontrol dan yang memberikan sanksi bagi guru yang
melanggar Kode Etik Guru adalah Dewan Kehormatan Profesi Guru Indonesia yang dibentuk
oleh PGRI sendiri. Selain itu Dewan Kehormatan Profesi Guru Indonesia mempunyai tugas
memberikan saran, pendapat, pertimbangan, penilaian, penegakan dan sanksipelanggaran
disiplin organisasi dan Etika Profesi Guru. Dibentuknya Dewan Kehormatan Profesi Guru
Indonesia ini diharapkan dapat segera menjalankan tugasnya dengan sebaik-baiknya,
sehingga dapat mencegah terjadinya pelanggaran hukum yang dilakukan oleh guru di
bidang pendidikan sebagaimana tujuan dibentuknya Organisasi Profesi Guru. Berdasarkan
UU Guru dan Dosen, guru dalam menjalankan profesinya terikat dengan kontrak sosial yang
berupa etika profesi. Etika Profesi Guru menuntut guru dalam melakukan tugas harus sesuai
dengan profesinya sebagai pendidik yang dilandasi dengan filosofi pendidikan yaitu “
menjadikan baik siswa, baik dari segi moral, pengetahuan dan ketrampilannya atau
menjadikan siswa menjadi manusia seutuhnya”. Kontrak sosial antara guru dengan
masyarakat telah memberi kewenangan kepada para guru untuk mengatur diri mereka
sendiri, sebaliknya guru harus memberikan pelayanan yang bermutu kepada masyarakat.
Pada profesi guru, masyarakat melalui Organisasi Profesi Guru (seperti PGRI) memberi
kewenangan untuk menyusun etika profesi yang dapat digunakan oleh guru sebagai
pedoman melaksanakan tugasnya dengan layak untuk memproteksi masyarakat.
Pengawasan terhadap guru dalam melaksanakan tugasnya dilakukan oleh Organisasi Profesi
Guru melalui Dewan Kehormatan yang dibentuk oleh Organisasi profesional itu sendiri. Jika
Organisasi Profesi Guru membiarkan guru bekerja tidak sesuai disiplin profesi serta tidak

27
melandaskan pada Etika Profesi Guru maka akan muncul ketidakpercayaan masyarakat
kepada profesi yang selama ini dianggap sebagai profesi luhur. Tugas Organisasi Profesi
Guru melakukan penegakkan Etika Profesi bagi guru yang diduga melakukan pelanggaran
etika profesi yang menyimpang dari standart profesinya sehingga membahayakan
perkembangan siswanya. Organisasi Profesi Guru juga bertugas menjamin kelayakan guru
dalam melaksanakan tugasnya. Kelayakan yang dimaksud di sini adalah kelayakan dari segi
pengetahuan, ketrampilan maupun perilakunya. Penegakkan disiplin profesi dimaksudkan
untuk menilai 3 aspek yaitu kinerja paedagogis, perilaku profesional dan kelayakan fisik
atau mental pendidik. Dalam penilaian kinerjapaedagogis digunakan parameter pelaksanaan
pendidikan sesuai dengan standar, yaitu visi, misi, prosedur operasional dan lain-lain Untuk
menilai perilaku profesional digunakan pedoman perilaku profesional yang disusun oleh
organisasi profesi seperti PGRI atau IGI (Ikatan Guru Indonesia). Jika ditemukan
penyimpangan kinerja ataupun perilaku yang serius, maka Dewan Kehormatan Organisasi
Profesi Guru Indonesia dapat menjatuhkan sanksi disiplin yang diharapkan dapat memberi
efek pencegahan pengulangan dan pelanggaran hukum. Organisasi profesi Guru di samping
berfungsi sebagai pengontrol perilaku guru dalam melaksanakan profesinya, juga
berkewajiban memberikan perlindungan terhadap harkat dan martabat guru dari segala
ancaman yang dapat melecehkan kedudukan guru sebagai tenaga pendidik (profesional).
Ini tertuang dalam Anggaran Dasar Organisasi Profesi Guru PGRI dalam Pembukaannya
alinea 7 yang berbunyi “Guru sebagai salah satu pilar pelaksana pembangunan pendidikan
dituntut memiliki integritas dan kemampuan profesional yang tinggi agar mampu
melaksanakan darma baktinya dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. PGRI bertujuan dan
berupaya membina, mempertahankan, dan meningkatkan harkat dan martabat guru melalui
peningkatan kemampuan profesionalnya dan kesejahteraan guru beserta keluarganya”.
Pembukaan Anggaran Dasar Organisasi Profesi Guru PGRI, menunjukkan peranan organisasi
profesi ini sangat penting dalam menunjang pelaksanaan pendidikan dan dalam mencegah
pelanggaran hukum di bidang pendidikan, mengingat fungsi organisasi profesi lebih
mengarah pada fungsi pencegahan terjadinya pelanggaran Hukum di bidang pendidikan.
Kenyataannya organisasi profesi guru (PGRI) belum mempunyai Dewan Kehormatan Profesi
Guru. Dewan Kehormatan Profesi Guru baru dibentuk tanggal 12 Pebruari 2011.
Pembentukan Dewan Kehormatan Profesi Guru dilatarbelakangi adanya UU Guru dan Dosen
yang menetapkan bahwa pekerjaan guru merupakan pekerjaan profesional, sehingga harus

28
tunduk pada etika profesi yang penegakkannya merupakan tanggung jawab Dewan
Kehormatan Organisasi Profesin guru.

Selain itu Pembentukan Dewan Kehormatan Profesi Guru merupakan realisasi dari
keputusan Kongres PGRI ke XX pada bulan Juli 2008 yang dilaksanakan di Palembang.
Karena Dewan Kehormatan Profesi Guru baru terbentuk, maka saat ini masih dalam tahap
persiapan untuk melaksanakan apa yang menjadi tugasnya sesuai dengan isi Anggaran
Dasar dan Anggaran Rumah Tangganya, sehingga belum dapat berfungsi seperti apa yang
diharapkan. Sebenarnya PGRI sudah cukup lama menyusun Etika Profesi Guru, namun
belum tersosialisasi dengan baik, sehingga sebagian besar anggota belum mengetahuinya.
Selama ini PGRI lebih banyak melakukan kegiatan yang berkaitan dengan peningkatan
kualitas organisasinya dan kualitas guru dalam bidang keilmuan dan ketrampilannya saja,
belum menyentuh bidang moralnya. Upaya preventif dalam mengeliminasi pelanggaran
hukum di bidang pendidikan sebagaimana digambarkan di atas, merupakan sarana yang
efisien bila dibandingkan dengan upaya represif, karena upaya preventif lebih bersifat
mencegah dan tidak menimbulkan cap (labeling) yang berakibat buruk bagi pelaku. Selain
itu upaya preventif bertujuan untuk menghilangkan faktor-faktor yang dapat menimbulkan
pelanggaran hukum lebih dapat menghemat biaya, waktu, tenaga, dan dapat mengurangi
dampak adanya pemidanaan. Lebih-lebih jika diperhatikan pendapat Nigel Walker bahwa :
”Hukum pidana tidak boleh digunakan untuk:

1. tujuan pembalasan;
2. terhadap perbuatan yang tidak menimbulkan korban dan/kerugian;
3. bila mana masih ada sarana lain yang lebih efektifdan dengan kerugian yang lebih
sedikit dalam menanggulangi perbuatan yang dianggap tercela;
4. bila dampak negatif pidana lebih besar daripada tindak pidana;
5. apabila tidak mendapat dukungan publik yang kuat;
6. apabila sudah diperhitungkan tidak akan

Berhasil atau tidak akan dapat dilaksanakan. Hukum pidana yang berfungsi sebagai
ultimum remidium, meletakkan sanksi pidana sebagai sanksi terakhir yang diancamkan.
Namun demikian jika upaya preventifl ini tidak ditangani secara serius, maka dapat
mengakibatkan terjadinya pelanggaran hukum yang lebih serius. Untuk itu perlu adanya
keterpaduan antara pelaksanaan upaya preventif dan represif. Keunggulan upaya preventif

29
dalam mengeliminasi pelanggaran hukum di bidang pendidikan ini, maka perlu
mengaktifkan Organisasi Profesi Guru dalam menjalankan tugasnya demi peningkatan
kualitas guru, baik dari segi paedagogis, pengetahuan maupun ketrampilannya. Organisasi
Profesi Guru berperan melakukan pencegahan agar tidak terjadi pelanggaran hukum di
bidang pendidikan yang dilakukan oleh guru. Untuk mencapai tujuan ini, maka Dewan
Kehormatan Profesi Guru harus segera melaksanakan tugasnya mensosialisasikan dan
mengimplentasikan dan menegakkan Etika Profesi Guru yang tercantum dalam Anggaran
Dasar dan Anggaran Rumah Tangganya, sehingga guru dapat terjaga harkat dan
martabatnya. UU Guru dan Dosen sebagai UU yang mendasari diwajibkannya setiap guru
menjadi anggota Organisasi Profesi Guru diundangkan tahun 2005, dan organisasi guru
PGRI telah berdiri mulai tahun 1945. Namun demikian PGRI sebagai Organisasi Profesi Guru
belum mempunyai Dewan Kehormatan, dan baru enam tahun setelah UU Guru dan Dosen
disahkan dibentuklah Dewan Kehormatan Profesi Guru Indonesia oleh PGRI. Harapan
masyarakat Dewan Kehormatan Organisasi Profesi ini dapat segera berkiprah.

30
BAB III
PENUTUPAN
A. Kesimpulan

Pelaku divonis delapan tahun penjara. Hakim juga mengenakan pelaku hukuman
tambahan, yakni mewajibkan terdakwa membayar denda Rp. 500 juta dengan subsider
enam bulan kurungan penjara. Menurut hakim, vonis tersebut telah sesuai dengan Pasal 9
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 jo Pasal 35 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008
tentang pornografi yang terbukti dilanggar oleh dosen tersebut. Yang memberatkan
terdakwa tidak sepantasnya sebagai dosen intelektual melakukan pelecehan seksual kepada
mahasiswinya.

Putusan tersebut lebih ringan dari tuntutan JPU. Dimana dalam sidang agenda tuntutan
beberapa waktu lalu, JPU menjerat terdakwa dengan hukuman 10 tahun penjara.Tindak
pidana pornografi ini menganut asas lex specialis derugot legi generalis , artinya hukum
khusus mengkesampingkan hukum umum.Perbuatan yang dilakukan oleh Dosen Universitas
Sriwijaya yaitu Reza Ghasarma yang merupakan Kaprodi Manajemen Fakultas Ekonomi (FE)
Universitas Sriwijaya yang dilaporkan atas kasus pelecehan seksual kepada anak
didiknyatelah melanggar kode etik, dengan adanya kasus ini maka pelaku diberhentikan dari
tugasnya sebagai dosen di Universitas Sriwijaya dikarenakan pelanggaran yang telah ia
lakukan terhadap mahasiswinya.

B. Saran
Dosen adalah sebuah profesi yang mulia jika dikomparasikan dengan guru, hampir
sama. Tetapi, dosen dipandang lebih tinggi di mata masyarakat. Etika adalah sesuatu hal
abstrak yang mendasari pemikiran manusia dalam memilah dan memilih sesuatu. Etika
adalah cabang dari aksiologi yang dimana bentuk fokusnya sendiri untuk kemaslahatan
umat dan manfaat bagi khalayak umum, jika nilai-nilai dalam etika ini sengaja dibiarkan tiap
ada pelanggaran ataupun tindakan tercela lainnya maka doktrin baik buruk akan bersifat
kabur dan hanya akan berdasarkan subjektifitas masing-masing individu. Inilah yang
menjadikan urgensitas dilayangkannya etika profesi dan kode etik profesi, karena dalam
praktisnya tidak hanya diskurtif rasional saja, melainkan empiris juga.

31
Demi menghindari adanya penyesatan kultural, maka sedikit pun indikasi seseorang
menyalahi kode etiknya sebisa mungkin langsung dikeluarkan atau dipecat dari profesinya.
Karena, setiap langkahnya dia membawa nama harkat dan martabat sebuah institusi yang
dipandang mulia oleh sebagian orang. Sedangkan sudah kita ketahui sendiri kalau
masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang sebagian besarnya tidak paham akan cacat
logika maka, mereka akan over generalization yang akan asal menggeneralisir. Padahal
yang salag satu orang, tetapi yang hancur juga institusinya dan orang-orang didalamnya.

32
DAFTAR PUSTAKA

- Putusan Pengadilan Negeri No. 186/Pid.B/2022/PN Palembang tanggal 30 Mei 2022

- Indonesia. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Lembaran Negara RI


Tahun 2008 Nomor 181, Tambahan Lembaran RI Nomor 4928. Sekretariat Negara. Jakarta

- JawaPos.com (2021, Desember 2021), Dosen Unsri yang Lecehkan 3 Mahasiswi Jadi
Tersangka. https://www.jawapos.com/nasional/hukum-kriminal/11/12/2021/dosen-unsri-yang-
lecehkan-3-mahasiswi-jadi-tersangka/?amp

- iNewsSumsel.id (2022, Maret 18), Kasus Pelecehan Mahasiswi, Oknum Dosen di Palembang
Terancam 12 Tahun Penjara. https://sumsel.inews.id/amp/berita/kasus-pelecehan-mahasiswi-
oknum-dosen-di-palembang-terancam-12-tahun-penjara

- Komisiyudisial.go.id (2016, Januari 27), KY Prioritaskan Pencegahan Kurangi Pelanggaran


Kode Etik. https://www.komisiyudisial.go.id/frontend/news_detail/30/ky-prioritaskan-
pencegahan-kurangi-pelanggaran-kode-etik

- Indonesia. Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Lembaga
Negara RI Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaga Negara Nomor 4301, Sekretariat
Negara. Jakarta

- Indonesia. Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen

- https://www.bphn.go.id/data/documents/na_ruu_kuhp.pdf

33

Anda mungkin juga menyukai