Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH KRIMINOLOGI

“Prostitusi Di Indonesia”

Disusun Oleh :

Cindy Erba Christania 1510112105

Dosen Pengajar :

Siska Elvandari SH. , MH

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM – FAKULTAS HUKUM

1
Kata Pengantar

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa karena atas

berkat dan rahmat-Nya lah penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan sesegera

mungkin.

Adapun isi makalah ini ialah membahas mengenai aliran dalam ilmu hukum.

Dengan tujuan dapat memperluas dan menambah pengetahuan pembaca tanpa

maksud untuk menyudutkan suatu pihak tertentu. Adapun isi makalah ini disusun

secara sistematis dan merupakan referensi dari beberapa sumber yang menjadi acuan

dalam penyelesaian makalah ini.

Penulis menyadari masih banyak terdapat kekurangan dari pengerjaan makalah

ini. Oleh karena itu, penulis memohon maaf kepada para pembaca dan berharap

pembaca dapat memakluminya dan jika berkenan para pembaca juga berhak untuk

memberikan saran yang membangun agar kedepannya kesalahan-kesalahan tersebut

dapat diminimalisir oleh tim penulis.

Atas kesediaan pembaca untuk membaca makalah ini saya ucapkan terimakasih

yang sebanyak-banyaknya. Sekian dan terimakasih.

Padang , 18 Mei 2016

Penulis

2
Daftar Isi

Kata Pengantar ...................................................................... 2

Daftar Isi ................................................................................ 3

BabI Pendahuluan

1.1 Latar Belakang ................................................................ 4

1.2 Rumusan Masalah ........................................................... 9

1.3 Tujuan .............................................................................. 9

BabII Pembahasan

2.1 Defenisi dan Ruang Lingkup Prostitusi .......................... 10

2.2 Motif Terjadinya Prostitusi ............................................ 15

2.3 Akibat Prostitusi ............................................................. 17

Bab III Penutup

3.1 Kesimpulan ..................................................................... 19

3.2 Saran .............................................................................. 20

3.3 Daftar Pustaka ............................................................... 26

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pada dasarnya manusia tidak bisa terlepas dengan kehidupan di sekitarnya.

Karena, manusia tidak bisa hidup sendiri. Manusia membutuhkan orang lain untuk

memenuhi kebutuhan hidupnya. “Aristoteles (384-322 sebelum M.), seorang ahli fikir

Yunani-Kuno meyatakan dalam ajarannya, bahwa manusia itu adalah ZOON

POLITICON ,artinya bahwa manusia itu sebagai mahluk pada dasarnya selalu ingin

bergaul dan berkumpul dengan sesama manusia lainnya, jadi mahluk yang suka

bermasyarakat. Dan oleh karena sifatnya yang suka bergaul satu sama lain, maka

manusia disebut mahluk sosial.1

Bahkan pembentukan sifat suatu individu dapat terbentuk dari lingkungan

sosialnya. Tidak mungkin seorang yang terbiasa hidup di lingkungan bangsawan

bertingkah laku seperti berandalan maupun sebaliknya. Sehingga lingkungan sosial

sangatlah mendukung pembentukan sifat suatu karakter manusia. Baik lingkungan

keluarga maupun lingkungan sekolah,dsb. Maka jika orang tua salah dalam

memberikan penanam nilai norma awal bagi seorang anak dalam menjalankan

kehidupan bermasyarakat. Maka anak akan salah jalan dan bisa menjadi pribadi yang

tidak baik di lingkungannya.

Namun dalam kehidupan sehari-hari tidaklah mungkin kepentingan seorang

dengan yang lainnya sama. Dimana sekarang ditengah kemajuan jaman makin

meningkatnya tingkat individualis dalam diri masyarakat sehingga melupakan kadiah

yang berlaku sebagai mahluk sosial. Oleh karena itu, terkadang terjadi perselisihan

1
Drs. C.S.T.Kansil.S.H, PENGANTAR ILMU HUKUM dan TATA HUKUM INDONESIA, Balai
Pustaka, Jakarta, 2002, hlm.29.

4
yang menyebabkan pertengkaran. Dan untuk mencegah terjadinya perselisihan antar

manusia maka dibutuhkan aturan yang mengatur ketertiban dalam masyarakat.

Untuk mencapai ketertiban dalam masyarakat ini, diperlukan adanya kepastian

dalam pergaulan antar manusia dalam masyarakat. Tanpa kepastian hukum dan

ketertiban masyarakat yang dijelmakan olehnya, manusia tidak mungkin

mengembangkan bakat-bakat dan kemampuan yang diberikan Tuhan kepadanya

secara optimal di dalam masyarakat tempat ia hidup,2 adanya kepastian dalam

mewujudkan ketertiban tersebut, sehingga mampu untuk mewujudkan keadilan dalam

kehidupan bermasyarakat. Untuk mewujudkan suatu keadilan tidak terlepas dari fungsi

hukum. Fungsi hukum pada hakekatnya adalah untuk melindungi kepentingan manusia

atau kelompok manusia. Untuk mewujudkan tujuan dan fungsi hukum idalam

masyarakat, manusia dinilai oleh manusia lain dalam tindakannya atau perilakunya.

Pedoman, patokan atau ukuran untuk menilai tindakan atau perilaku manusia itu

berupa kadiah-kaidah atau norma-norma. Penilaian mengenai baik buruknya tindakan

atau perilaku manusia ditu disebut kesusilaan. Sedangkan “etika” adalah ilmu yang

menyelidiki kesusilaan. Berarti etika adalah ilmu yang objeknya kesusilaan.3

Untuk menjaga ketertiban masyarakat tersebut maka perlu aturan yang bersifat

memaksa yang dijalankan oleh Negara. Istilah negara diterjemahkan dari kata-kata

asing Staat (bahasa Belanda dan Jerman);State (bahasa Inggris); Etat (bahasa

Prancis). Istilah Staat mempunyai sejarah sendiri. Istilah itu mula-mula dipergunakan

dalam abad ke-15 di Eropa Barat. Anggapan umum yang diterima bahwa kata staat

(state,etat) itu dialihkan dari kata bahasa Latin status atau statum.4 Kata “negara”

mempunyai dua arti. Pertama, negara adalah masyarakat atau wilayah yang

2
Muchtar Kusuaatmadja, Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan, Bandung:Alumni,2006,hlm. 3-4.
3
Veronica Komalawati, Op Cit, 1989
4
F. Isjwara, Pengantar Ilmu Politik, Cetakan ke-9, Jakarta:Binacipta,1992, hlm.90.

5
merupakan suatu kesatuan politis. Dlam arti ini India, Korea Selatan, atau Brazilia

merupaka negara. Kedua, negara adalah lembaga pusat yang menjamin kesatuan

politis itu, yang menata dan dengan demikian menguasai wilaya itu.5 Sementara itu

dalam ilmu politik, istilah “negara” adalah agency (alat) dari maysarakat yang

mempunyai kekuasaan untuk mengatur hubugan-hubungan manusia dalam maysarakt

dan menertibkan gejala-gejala kekuasaan dalam masyarakat.6

Negara sebagai penjamin ketertiban masyarakat dijalankan oleh aparat negara

seperti polisi. Tugas polisi menjaga ketertiban dan kenyaman masyarakat. Dimana

dalam hal kecil ketika pengendara tidak memamtuhi standar aturan dalam berkendara

maka polisi berkewajiban menilang pengendara tersebut sesuai pasal yang

dilanggarnya. Lalu selanjutnya pengendara akan menjalani persidangan dan membayar

denda yang sudah ditetapkan.

Begitu pula hal yang sama dilakukan ketika para pelaku prostitusi menjalankan

aksinya. Terlebih di Indonesia yang tidak melegalkan aksi prostitusi. Kesenjangan

sosial dan sulitnya mencari pekerjaan menjadi alasan standar bagi para pelaku

prostitusi dalam menjalankan aksinya. Melemahnya perekonomian Indonesia di mata

dunia hingga menyebabkan nilai tukar rupiah mencapai titik 13.000 per dolar Amerika.

Membuat para kelas menengah kebawah semakin tercekik akan kebutuhan hidup yang

semakin meningkat. Kurangnya solusi yang disediakan pemerintah membuat para

kelas menengah kebawah mencari solusi sendiri dengan menjadi “pelaku seks

komersial”. Kurangnya penegakan hukum dalam hal prostitusi di Indonesia tidak sedikit

yang mengambil korban. Seperti kekerasan yang dilakukan saat sedang bersetubuh

dengan “PSK” tersebut.

5
Franz Magnis Suseno, Etika Politik Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 1990, hlm.170.
6
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Cetakan XIII, Jakarta:Gramedia Pustaka Umum, 1991,
hlm.38.

6
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia prostitusi adalah pertukaran hubungan

seksual dengan uang atau hadiah sebagai suatu transaksi perdagangan dan

pelacurann. Disamping itu, prostitusi juga dapat diartikan melakukan hubungan seksual

dengan berganti-ganti pasangan yang bukan istri atau suaminya, yang dilakukan

ditempat-tempat tertentu (lokalisasi, hotel, tempat rekreasi,dll). Yang pada umumnya

mereka mendapatkan uang setelah melakukan hubungan badan.7

Prostitusi juga dapat digolongkan zina dengan arti yang lebih luas lagi. Zina

tangan, mata, telinga dan hati merupakan pengertian zina yang bermakna luas. Tentu

saja zina seperti ini tidak berkonsekuensi kepada hukum huduud baaik rajam atau

cambuk dan pengasingan setahun. Namun zina dalam pengertian ini juga melahirkan

dosa dan ancaman siksa dari Allah SWT.8 Prostitusi juga dapat diartikan suatu

perbuatan yang tidak senonoh yang berhubungan dengan kesopanan dan melanggar

nilai-nilai etika dan moral. Apapun defenisi dari prostitusi, yang pasti praktek jelas tidak

bisa dibiarkan karena dapar merusak moral dan akhlak manusia.

Prostitusi juga bisa dikaitkan dengan “Tindak Pidana Perdagangan Orang”

karena tak jarang kasus yang terjadi di lapangan seseorang bersedia menjadi “Pekerja

Seks Komersial” bukan karena keinginan pribadi, melainkan adanya dorongan maupun

paksaan yang didapat dari orang terdekat. Seperti seorang suami yang memaksa sang

istri menjadi “PSK” karena tidak sanggup membiayai keluarga sehingga suami

memaksa dan terkadang menganiaya jika sang istri tidak mau melaksanakan perintah

tersebut. Tanpa disadari sikap sang suami sudah patut disebut sebagai germo9 karena

7
Heriana Eka Dewi, Memahami Perkembangan Fisik Remaha, Yogyakarta:Gosyen Publishing, 2012,
hlm.81.
8
www.Abdul Wadud.com, diakses tanggal 5 Mei 2016.
9
Germo dapat diistilahkan adalah orang yang menampung para pelacur dan hidung belang dalam
melakukan transaksi sex. Orang inilah yang amat mendukung terlaksananya kenikmatan esaat tersebut
dengan pesta maksiat. Biasanya seorang germo akan mendapat imbalan sekian persen dari para pelacur
dari penghasilan yang diterimanya.

7
hanya memikirkan keuntungan semata dan terkadang ketika terjadi razia sang suami

malah diam diatas motor tanpa rasa bersalah. Dan petugas yang hanya menangkap

para wanita saja tanpa menangkap atau mencurigai para pria yang ada di sekitar

lokasi “PSK” baik dicurigai sebagai pembeli maupun lain sebagainya.

Untuk lebih jelasnya, mari kita telurusi Kerangkan Perdagangan Orang Dibawah

ini10; KERANGKA PERDAGANGAN ORANG

KEGIATAN PEREKRUTAN
Pengiriman, Pemindahan,
Penampungan,Penerimaan
Cara yang biasa digunakan
Ancaman, Pemaksaan,
Pnepuan, Kebohongan,
Penyalahguaan kekuasaan

“faktor yang paling

mendukung terjadinya

perdaganga orang adalah

permintaan (demand) terhadap pekerjaan di

sektor infromal yang tidak memerlukan keahlian kusus, yaitu

sasaran mau dibayar dengan upah yang relatif rendah serta

tidak memerlukan perjanjian kerja yang rumit.

-Simandjuntak, Patologi Sosial, Bandung:Tarsito, 1985, hlm.112.


10
Nuniek Aprianti, Faunzan Dwi Raharjo, dkk., Hidup Cuma Sekali, Ditjen Informasi&Komunikasi Publik
Kemkominfo.

8
Oleh sebab itu pemakalah ingin menggali lebih dalam mengenai prostitusi

tersebut untuk mendapatkan kesimpulan serta saran yang kiranya dapat membantu

pihak terkait. Dan juga berharap dapat menambah pengetahuan pembaca.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa saja defenisi dari prostitusi tersebut? Dan apa saja yang menjadi ruang

lingkup terjadinya prostitusi?

2. Apa saja yang menjadi motif terjadinya prostitusi?

3. Apa saja akibat yang ditimbulkan dari prostitusi?

1.3 Tujuan Makalah

1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan prostitusi dan ruang lingkup

prostitusi.

2. Untuk mengetahui apa saja motif terjadinya prostitusi.

3. Untuk mengetahui apa saja akibat yang ditimbulkan dari prostitusi.

9
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi dan Ruang Lingkup Prostitusi

W.A. Bonger, dalam tulisannya, “Maatschappelijke Oorzaken der Prostitutie”

menulis defenisi sebagai berikut; “Prostitusi ialah gejala kemasyarakatan dimana

wanita menjual diri melakukan perbuatan-perbuatan seksual sebagai mata

pencaharian.” Jelas dinyatakan adanya peristiwa penjualan diri sebagai profesi atau

mata pencaharian sehari-hari dengan jalan melakukan relasi-relasi seksual.

Selanjutnya, defenisi prostitusi dapat disimpulkan sebagai berikut;

1. Prostitusi adalah bentuk penyimpangan seksual, dengan pola-pola

organisasi impuls/dorongan seks yang tidak wajar dan tidak terintegrasi dalam bentuk

pelampiasan nafsu-nafsu seks tanpa kendali dengan banyak orang (promiskuitas),

disertai eksploitas dan komersialisasi seks yang impersonal tanpa afeksi sifatnya.

2. Prostitusi merupakan peristiwa penjualan diri (persundalan) dengan

jalan menjualbelikan badan, kehormatan, dan kepribadian kepada banyak orang untuk

memuaskan nafsu-nafsu seks dengan imbalan pembayaran.

3. Prostitusi ialah perbuatan perempuan atau laki-laki yang menyerahkan

badannya untuk berbuat cabul secara seksual dengan mendapatkan upah.

Dengan adanya komersialisasi dan barter seks, perdagangan atau tukar-

menukar seks dengan benda bernilai, maka pelacuran merupakan profesi yang paling

tua sepanjang sejarah kehidupan manusia.

Adapun yang termasuk ke dalam kategorisasi prostitusi antara lain:

10
1. Pergundikan, yaitu pemeliharaan bini (istri) tidak resmi, bini gelap atau

perempuan piaraan. Mereka hidup selayaknya suami dan istri, namun tanpa ikatan

perkawinan. Pada zaman belanda disebut nyai.

2. Tante girang atau loose married woman, yaitu wanita yang sudah

kawin, namun tetap melakukan hubungan erotik dan seks dengan laki-laki lain, baik

secara iseng untuk mengisi waktu kosong, bersenang-senang dan mendapatkan

pengalaman-pangalaman seks tertentu, maupun secara intensional untuk

mendapatkan penghasilan.

3. Gadis-gadis panggilan, yaitu gadis-gadis dan wanita-wanita biasa yang

menyediakan diri untuk dipanggil dan dipekerjakan sebagai prostitue, melalui saluran-

saluran atau agen tertentu.

4. Gadis-gadis Bar (B-Girls), yaitu gadis-gadis yang bekerja sebagai

pelayan-pelayan bar sekaligus bersedia memberikan pelayanan seks kepada para

pengunjung.

5. Gadis-gadis juvenile delinguent, yaitu gadis-gadis muda dan jahat, yang

didorong oleh ketidakmatangan emosinya dan retardasi/keterbelakangan

intelektualitasnya, menjadi sangat pasif dan sugestibel. Karakternya sangat lemah.

Sebagai akibatnya, mereka mudah sekali jadi pecandu obat-obat bius (ganja, heroin,

morfin, dan lain-lain), sehingga mudah tergiur melakukan perbuatan-perbuatan

immoril seksual dan pelacuran.

6. Gadis-gadis binal (Frree girls), yaitu mereka yang di Bandung disebut

sebagai “bagong lieur” (babi hutan yang mabuk). Mereka itu adalah gadis-gadis

sekolah atau putus sekolah, putus studi di akademi atau semacamnya dengan

pendirian yang “brengsek” dan menyebarluaskan kebebasan seks secara ekstrem,

11
untuk mendapatkan kepuasan seksual. Mereka menganjurkan seks bebas dan cinta

bebas.

7. Gadis-gadis Taxi, yaitu wanita-wanita atau gadis-gadis panggilan yang

ditawarkan dibawa ke tempat “plesiran” dengan taxi. Di Indonesia juga kemudian ada

gadis becak, dengan pengertian yang hampir sama, yakni dengan jasa becak.

8. Gold-Diggers, yaitu gadis-gadis dan wanita-wanita cantik (pramugari,

model, penyanyi, pemain panggung, bintang film, pemain sandiwara teater atau opera,

anak wayang, dan lain-lain) yang pandai merayu dan bermain cinta, untuk mengeduk

kekayaan orang-orang yang berduit.

9. Hostes atau pramuria, yaitu yang menyemarakkan kehidupan malam

dalam nighclub-nighclub. Pada intinya, profesi hostes merupakan bentuk pelacuran

halus. Sedang pada hakikatnya, hostes itu adalah predikat baru dari pelacuran. Sebab,

di lantai-lantai dansa mereka membiarkan diri dipeluki, diciumi, dan diraba-raba

seluruh badannya. Juga di meja-meja minum badannya diraba-raba dan diremas-

remas oleh pelanggannya. Para hostes ini harus melayani makan, minum, dansa, dan

memuaskan naluri-naluri seks para langganan dengan jalan menikmati tubuh para

hostes/pramuria tersebut. Dengan demikian, langganan dapat menikmati kesenangan

suasana tempat-tempat hiburan.

10. Promiskuitas, yaitu hubungan seks secara bebas dan awut-awutan

dengan pria mana pun juga; dilakukan dengan banyak lelaki.11

Secara ringkas, ada beberapa faktor yang melatarbelakangii seseorang menjadi

atau terjerembab ke dalam prostitusi, antara lain;

11
Ayu Pardede, “Prostitusi”...

12
1. Tidak adanya Undang-Undang tegas yang melarang adanya pelacuran,

dan juga larangan terhadap orang-orang yang melaksanakan relasi seks sebelum

pernikahan.

2. Tingginya biaya hidup sering tidak diimbangi dengan pemasukkan yang

ada. Ketimpangan tersebut menuntut pemenuhan dan bukanlah suatu perkara mudah

untuk mendapatkan pekerjaan guna pemenuhan kebutuhan tersebut. Akhirnya diambil

jalan pendek yaitu dengan cara menjual diri.

3. Adanya keinginan dan dorongan manusia untuk menyalurkan kebutuhan

seks, khususnya di luar ikatan perkawinan.

4. Merosotnya norma-norma susila dan keagamaan pada saat orang-orang

mengenyam kesejahteraan hidup dan ada pemutarbalikan niai-nilai pernikahan sejati.

5. Semakin besarnya penghinaan orang terhadap martabat kaum manusia

dan harkat manusia.

6. Kebudayaan eksploitasi pada zaman modern khususnya mengeksploitasi

kaum wanita untuk tujuan-tujuan komersil.

7. Perkembangan kota-kota, daerah-daerah pelabuhan dan industri yang

sangat cepat dan menyerap banyak pekerja pria. Juga peristiwa urbanisasi tanpa

adanya jalan keluar untuk mendapatkan kesempatan kerja kecuali menjadi wanita

penghibur bagi anak-anak gadis.

8. Bertemunya bermacam-macam kebudayaan asing dan lokal di daerah-

daerah perkotaan mengakibatkan perubahan sosial yang sangat cepat dan radikal,

sehingga masyarakatnya menjadi sangat stabil. Terjadinya banyak konflik dan kurang

13
adanya konsensus/persetujuan mengenai norma-norma kesusilaan para anggota

masyarakat.12

Sedangkan akibat yang timbul dari aktivitas pelacuran dapat bersifat negatif

maupun positif. Akibat negatif jauh lebih banyak daripada akibat positinya. Akibat

negatif, yaitu akibat yang menimbulkan dan menyebarluaskan bermacam-macam

penyakit kotor dan menular yang sangat berbahaya, yakni penyakit akibat hubungan

kelamin atau penyakit hubungan seksual (PHS).

Dalam bidang moral, susila, hukum dan agama, pekerjaan pelacuran termasuk

demoralisasi (tidak bermoral), Yang bergaul intim dengan mereka juga demoralisasi,

karena itu masyarakat memandang rendah martabat wanita pelacur. Pelacuran juga

dapat menimbulkan kriminalitas dan kecanduan bahan narkotika, karena di tempat-

tempat pelacuran biasanya adalah tempat berkumpulnya para penjahat profesional

yang berbahaya dan orang-orang yang sedang ber-masalah dengan keluarga atau

masalah yang lain.

Selain di bidang kesehatan dan moral, pelacuran dapat juga mengakibatkan

eksploitasi manusia oleh manusia yang lain, karena umumnya wanita-wanita pelacur

itu hanya menerima upah sebagian kecil saja dari pendapatan yang harus diterimanya.

Sebagian besar pendapatannya harus diberikan kepada germo, para calo, centeng, dan

sebagainya. Apabila dilihat dari akibat berbahayanya, gejala pelacuran merupakan

gejala sosial yang harus ditanggulangi, sekalipun masyarakat menyadari bahwa sejarah

12
Agung Nugroho, “Pelacurran sebagai Masalah Sosial Ditinjau dari Perspektif Kriminologi”
dalam www.pustakawanhukum.blogspot.com., diposting paada 4 Maret 2014., diakses pada 9 Januari
2015.

14
membuktikan sangat sulit memberntas dan menang-gulangi masalah pelacuran,

karena ternyata makin banyak tipe-tipe pelacuran yang ada dalam masyarakat.13

Selain itu, prostitusi juga berakibat pada rusaknya sendi-sendi kehidupan

keluarga, sendi-sendi moral, susila, hukum dan agama, dan berkorelasi dengan

kriminalitas dan kecanduan bahan-bahan narkotika dan minuman keras, menimbulkan

dan menyebarluaskan penyakit kelamin dan kulit dan lain-lain.

2.2 Motif Prostitusi

Motif- motif yang melatarbelakangi pelacuran pada wanita itu beraneka ragam,

antara lain sebagai berikut :

1. Adanya kecenderungan melacurkan diri pada banyak wanita untuk

menghindarkan diri dari kesulitan hidup, dan mendapatkan kesenangan melalui jalan

pendek. Kurang pengertian, kurang pendidikan, dan buta huruf, sehingga

menghalalkan pelacuran.

2. Ada nafsu- nafsu yang abnormal, tidak terintegrasi dalam kepribadian, dan

keroyalan seks. Histeris dan hyperseks, sehingga mereka tidak merasa puas

mengadakan relasi seks dengan satu pria/ suami.

3. Tekanan ekonomi, faktorkemiskinan, ada pertimbangan- pertimbangan

ekonomis untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya, khususnya dalam usaha

mendapatkan status social yang lebih baik.

4. Aspirasi materil yang tinggi pada diri wanita dan kesenangan ketamakan

terhadap pakaian- pakaian indah dan perhiasan mewah.

13
Artikel “Pelacuran sebagai Masalah Sosial” dalam www.academia.edu., diposting pada
Desember 2013, diakses pada 9 januari 2015.

15
5. Komensasi terhadap perasaan- perasaan inferior. Ada adjustment yang

negative, terutama sekali terjadi pada masa puber dan adolesens. Ada keinginan untuk

melebihi kakak, ibu sendiri, teman putrid, tante- tante atau wanita- wanita mondain

lainnya.

6. Rasa melit dan ingin tahu gadis- gadis cilik dan anak- anak puber pada

masalah seks, yang kemudian tercebur dalam dunia pelacuran oleh bujukan- bujukan

bandit- bandit seks.

7. Anak- anak gadis memberontak terhadap otoritas orang tua yang

menekankan banyak tabu dab peraturan seks.

8. Banyaknya simulasi seksual dalam bentuk : film- film biru, gambar- gambar

porno, bacaan cabul, gang- gang anak muda yang menpraktikan relasi seksual.

Sebab- sebab timbulnya pelacuran pada pria antara lain ialah sebagai berikut :

a. Nafsu kelamin laki- laki untuk menyalurkan kebutuhan seks tanpa satu

ikatan.

b. Rasa iseng dan ingin mendapatkan pengalaman relasi seks diluar ikatan

perkawinan.

c. Istri sedang berhalangan haid, mengandung tua atau lama sekali mengidap

penyakit, sehingga tidak mampu melakukan relasi seks dengan suaminya.

d. Istri menjadi gila.

e. Ditugaskan di tempat jauh, pindah kerja atau didetasir di tempat lain, dan

belum sempat atau tidak dapat memboyong keluarga.

f. Cacat jasmani, sehingga merasa malu untuk menikah, lalu menyalurkan

kebutuhan- kebutuhan seksnya dengan wanita- wanita pelacur.

16
g. Karena profesinya sebagai penjahat, sehingga tidak termungkinkan untuk

membina keluarga.

h. Tidak mendapat kepuasan dalam penyaluran kebutuhan seks, dengan

partner atai istrinya.

i. Tidak perlu bertanggung jawab atau akibat relasi seks dan dirasakan sebagai

lebih ekonomis.

2.3 Akibat Prostitusi

Semua perilaku pasti memiliki efek di belakangnya, entah itu efek positif

maupun negatif Begitupun pelacuran, karena pelacuran merupakan perilaku yang

menyimpang dari norma masyarakat dan agama, maka pelacuran hanya akan

mengakibatkan efek negatif, antara lain:

1. Menimbulkan dan menyebarkuaskan penyakit kelamin dan kulit, terutama

syphilis dan gonorrhoe (kencing nanah).

2. Herpes, lebih dikenal dengan sebutan herpes genitalis (herpes kelaim).

Penyebab herpes ini adalah Virus Herpes Simplex (HSV) dan di tularkan melalui

hubungan seks, baik vaginal, anal atau oral yang menimbulkan luka atau lecet pada

kelamin dan mengenai langsung bagian luka/bintil/kutil.

3. Merusak sendi-sendi kehidupan keluarga. Suami-suami yang tergoda oleh

pelacur biasanya melupakan fungsinya sebagai kepala keluarga, sehingga keluarga

menjadi berantakkan.

4. Merusak sendi-sendi moral, susila, hukum, dan agama.

17
5. HIV-AIDS, sejenis virus yang menyebabkan AIDS. Virus ini menyerang sel

darah putih manusia yang merupakan bagian paling penting dalam system kekebalan

tubuh. AIDS atau Acquired Immuno Deficiency Syndrome adalah kumpulan gejala-

gejala akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh. Hampir tidak ada gejala yang

muncul pada awal terinfeksi HIV. Tetapi ketika berkembang menjadi AIDS, maka orang

tersebut perlahan-lahan akan kehilangan kekebalan tubuhnya sehingga mudah

terserang penyakit dan tubuh akan melemah.

18
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

W.A. Bonger, dalam tulisannya, “Maatschappelijke Oorzaken der

Prostitutie” menulis defenisi sebagai berikut; “Prostitusi ialah gejala

kemasyarakatan dimana wanita menjual diri melakukan perbuatan-perbuatan

seksual sebagai mata pencaharian.” Jelas dinyatakan adanya peristiwa

penjualan diri sebagai profesi atau mata pencaharian sehari-hari dengan jalan

melakukan relasi-relasi seksual.

Prostitusi atau pelacuran sebagai salah satu penyakit masyarakat

mempunyai sejarah yang panjang. Bahkan, bisa jadi sejarah prostitusi berjalan

beriringan dengan sejarah kehidupan manusia yang telah diatur oleh norma-

norma perkawinan. Prostitusi sudah ada sebagai salah satu penyimpangan dari

norma-norma perkawinan tersebut. Dan seakan tidak ada habisnya, fenomena

pelacuran berhasil memenuhi permukaan berita di semua negara di dunia.

Yang menjadikan prostitusi sebagai patologi sosial adalah karena

perilaku ini dilakukan di tengah-tengah masuyarakat yang memiliki tatanan nilai

dan norma yang sama sekali bertolak belakang dengan fenomena prostitusi,

sehingga dapat dikatakan bahwa prostitusi adalah bentuk penyelewengan

norma atau nilai dari satu atau beberapa pihak untuk tujuan tertentu.

Di antara faktor yang mendorong terjadinya prostitusi adalah faktor

ekonomi, pendidikan, kebudayaan, moral dan agama yang lemah sehingga

benteng diri mereka mudah dijebol oleh pihakk-pihak yang tidak

bertanggungjawab. Sedangkan prostitusi juga berakibat pada rusaknya sendi-

sendi kehidupan keluarga, sendi-sendi moral, susila, hukum dan agama, dan

19
berkorelasi dengan kriminalitas dan kecanduan bahan-bahan narkotika dan

minuman keras, menimbulkan dan menyebarluaskan penyakit kelamin dan kulit

dan lain-lain.

Usaha yang dapat dilakukan untuk meminimalisir dan melenyapkan

prostitusi dari muka bumi pertiwi ini ada dua upaya, yakni upaya pencegahan

(preventive) dan penanggulangan (curative/reprentive).

3.2 Saran

Penulis berharap agar kita semua bisa benar-benar taat dan waspada

akan hal disekitar kita jangan kita mencari solusi yang ekonomis namun tidak

memikirkan jangka panjang. Karna prostitusi juga cenderung mengandung

unsur kekerasaan. Sebaiknya dan sepatutnya kita bersama menjauhi prostitusi

baik sebagai apapun unsur yang ada didalamnya. Karna sesungguhnya

kenikmatan sesaat akan pula memeberikan kebahagiaan sesaat.

Upaya pelarangan zina dan kebebasan seksual lainnya, dengan alasan

penyakit jasmani mau pun rohani, sebelum ditemukannya penyakit AIDS, sudah

cukup lama dilakukan. Pendekatan yang sering diupayakan masih bersifat

simtomatif atau hanya mengendorkan sementara saja. Pendekatan kausatif

dengan menelusuri latar belakang pelakunya, belum banyak dilakukan. Padahal

pendekatan terakhir itu, dengan menepis sebab-sebab yang mengakibatkan

timbulnya perbuatan zina dan kebebasan seks, merupakan kunci utama untuk

mengatasi hal itu.

Islam melalui konsep fiqih mau pun petunjuk ayat Al-Qur’an dan Hadits

telah memberikan petunjuk mengenai langkah-langkah menghindari tindakan

amoral itu lebih dini. Dalam hal pergaulan pria dan wanita, ajaran Islam

membedakan antara status mahrom dan bukan mahrom. Bagi pria dengan

20
wanita bukan mahrom, tidak diperkenankan memandangi, apalagi menyentuh

dan meraba, tanpa tutup atau sarung tangan. Kholwah menyendiri berduaan,

antara dua jenis kelamin bukan mahrom juga dilarang.

Aurat wanita di hadapan lelaki bukan mahrom diatur begitu rupa,

meliputi seluruh tubuhnya. Kecuali dalam keadaan tertentu, mereka

diperkenankan melihat atau meraba. Dalam bepergian pun, wanita harus

didampingi mahram (suami, misalnya) atau minimal empat orang wanita yang

dipercaya, bila dikhawatirkan ada fitnah. Bagi wanita, tidak boleh taharruj

(berpakaian dan berperilaku merangsang). Bahkan lelaki-perempuan sesama

mahram sejak umur menjelang dewasa, sudah dianjurkan agar tidak tidur di

satu tempat. Ketentuan-ketentuan ini, menunjukkan betapa jeli ajaran Islam

berupaya menghindarkan sejauh dan sedini mungkin, perbuatan zina, demi

pertimbangan moral mau pun kesehatan. Dalam masa penularan AIDS yang

makin mengkhawatirkan, ajaran-ajaran itu patut dipertimbangkan.14

Sedangkan prostitusi yang memiliki latar belakang ekonomi, pendidikan

dan budaya yang minim, mungkin harus dilakukan pendekatan yang lebih

komplek dan persuasif sehinga dapat mengenai sasarannya dengan pas.

Karena terrkadang, para PSK sendiri sudah memiliki kesadaran akan

kesalahannya dalam memilih jalan hidup. Namun yang kemudian mnjadi

pertimbangannya adalah bahwa tuntutan ekonomi dan sosial yang

membuatnya seakan pasrah berkubang da;lam lingkaran hina.

Perlunya tindakan serentak antara pemerintah, tokoh agama dan

masyarakat untuk bersama-sama meminimalisir lokus-lokus prostitusi yang ada

di Indonesiia. Sebagai contoh adalah ketegasan Walikota Surabaya, Tri

14
MA. Sahal Mahfudh, “Nuansa Fiqh Sosial”...

21
Rismaharini yang menutup lokalisasi Dolly. Meskipun pada awalnya

mendapatkan banyak kecaman dan tantangan, namun setelah dilakukan

beberapa pendekatan sosiologis dan psikologis serta ekonomis, maka akhirnya

penutuan tersebut mendapatkan dukungan.

Lebih lanjut, prostitusi sebagai masalah sosial yang sejak dulu sampai

sekarang belum juga dapat dihapuskan. Usaha menanggulangi pelacuran ini

sangat sulit dan membutuhkan waktu yang relatif lama serta membutuhkan

pembiayaan yang besar. Beberapa alternatif solusi untuk mengatasi masalah

sosial ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengurangi pelacuran bahkan menghapusnya, maka kemiskinan

harus dihapuskan terlebih dahulu. Penyebab utama seseorang melacurkan

diri adalah masalah kurangnya ekonomi. Karena kemiskinan tersebut

mereka tidak bisa mendapatkan pendidikan yang memadai, sehingga untuk

memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka memutuskan untuk melacurkan

diri.

2. Penutupan lokalisasi tetap perlu dilakukan. Kecenderungan untuk selalu

bernegosiasi dengan para germo dan alasan perut, tidak akan pernah

menyelesaikan, karena selalu berujung sia-sia.

3. Hukum para pria yang menggunakan jasa pelacur, karena selama ini hanya

pihak wanita yang selalu terkena hukuman.

4. Melakukan bimbingan bahwa perilaku hubungan seks yang berganti-ganti

pasangan bisa menyebabkan penularan penyakit seks seperti HIV/AIDS,

raja singa, dan lainnya.

5. Melakukan pemberdayaan pada PSK, yaitu membuka kursus keterampilan

singkat bagi para penghuni lokalisasi.

22
6. Pengadaan acara bimbingan rohani untuk memperbaiki keimanan dan

keyakinan mereka.

Sementara, Kartini Kartono15 dalam bukunya Patologi Sosial

mengemukakan berbagai usaha untuk mengatasi masalah pelacuran ini. Beliau

membaginya dalam 2 bagian yaitu:

1. Usaha preventif yaitu suatu usaha yang diwujudkan dalam kegiatan-

kegiatan untuk mencegah terjadinya pelacuran, usaha ini antara lain

berupa:

a. Penyempurnaan perundang-undangan mengenai larangan atau

pengaturan penyelenggaraan pelacuran

b. Intensifikasi pemberian pendidikan keagamaan dan kerohanian untuk

memperkuat keimanan terhadap nilai-nilai religius dan norma kesusilaan

c. Menciptakan bermacam-macam kesibukan dan kesempatan rekreasi

bagi anak-anak puber dan adolesens untuk menyalurkan kelebihan energinya

d. Memperluas lapangan kerja bagi kaum wanita, disesuaikan dengan

kodrat dan bakatnya, serta mendapatkan upah/gaji yang cukup untuk

memenuhi kebutuhan hidup setiap harinya

e. Penyelenggaraan pendidikan seks dan pemahaman nilai perkawinan

dalam kehidupan keluarga

f. Pembentukan badan atau tim koordinasi dari semua usaha

penanggulangan pelacuran yang dilakukan oleh beberapa instansi sekaligus

mengikutsertakan potensi masyarakat lokal untuk membantu melaksanakan

kegiatan pencegahan atau penyebaran pelacuran

15
Kartini Kartono, Patologi Sosial (Jakarta: CV. Rajawali, 1997), th.

23
g. Penyitaan terhadap buku-buku dan majalah-majalah cabul, gambar-

gambar porno, film-film biru dan sarana-sarana lain yang merangsang nafsu

seks

h. Meningkatkan kesejahteraan rakyat pada umumnya.

2. Usaha reprensif dan kuratif dimaksudkan sebagai kegiatan untuk menekan

(menghapus, menindas) dan usaha untuk menyembuhkan para wanita dari

ketunasusilaannya untuk kemudian membawa mereka ke jalan yang benar.

Usaha-usaha tersebut antara lain:

a. Melalui lokalisasi yang sering ditafsirkan sebagai legalisasi, orang

melakukan pengawasan/control yang ketat demi menjamin kesehatan

dan keamanan para prostitute serta lingkungannya

b. Untuk mengurangi pelacuran, diusahan melalui aktivitas rehabilatasi dan

resosialisasi agar mereka bisa dikembalikan sebagai warga masyarakat

yang bersusila. Rehabilitasi dan resosialisasi ini dilakukan melalui

pendidikan moral dan agama, latihan-latihan kerja dan pendidikan

keterampilan agar mereka bersifat kreatif

c. Penyempurnaan tempat-tempat penampungan bagi para wanita

tunasusila terkena razia; disertai pembinaan yang sesuai dengan bakat

dan minat masing-masing

d. Pemberian suntikan dan pengobatan pada interval waktu tetap untuk

menjamin kesehatan para prostitute dan lingkungannya

e. Menyediakan lapangan kerja baru bagi mereka yang bersedia

meninggalkan profesi pelacuran dan mau untuk memulai hidup susila

24
f. Mengadakan pendekatan terhadap pihak keluarga para pelacur dan

masyarakat asal mereka agar mereka mau menerima kemabali bekas-

bekas wanita tunasusila itu mengawali hidup baru

g. Mencarikan pasangan hidup yang permanen/suami bagi para wanita

tunasusila untuk membawa mereka ke jalan yang benar

h. Mengikutsertakan eks-WTS dalam usaha transmigrasi, dalam rangka

pemerataan penduduk di tanah air dan perluasan kesempatan kerja bagi

kaum wanita.16

16
Agung Nugroho, “Pelacurran sebagai Masalah Sosial Ditinjau dari Perspektif Kriminologi”...

25
3.3 Daftar Pustaka

Drs. C.S.T.Kansil.S.H, PENGANTAR ILMU HUKUM dan TATA HUKUM


INDONESIA, Balai Pustaka, Jakarta, 2002.
Muchtar Kusuaatmadja, Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan,
Bandung:Alumni,2006.
Veronica Komalawati, Op Cit, 1989.
F. Isjwara, Pengantar Ilmu Politik, Cetakan ke-9, Jakarta:Binacipta,1992.
Franz Magnis Suseno, Etika Politik Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan
Modern, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1990.
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Cetakan XIII, Jakarta:Gramedia
Pustaka Umum, 1991.
Heriana Eka Dewi, Memahami Perkembangan Fisik Remaha,
Yogyakarta:Gosyen Publishing, 2012.
www.Abdul Wadud.com, diakses tanggal 5 Mei 2016.
Nuniek Aprianti, Faunzan Dwi Raharjo, dkk., Hidup Cuma Sekali, Ditjen
Informasi&Komunikasi Publik Kemkominfo.
Ayu Pardede, “Prostitusi”...
Agung Nugroho, “Pelacurran sebagai Masalah Sosial Ditinjau dari Perspektif
Kriminologi” dalam www.pustakawanhukum.blogspot.com., diposting paada 4
Maret 2014., diakses pada 9 Mei 2016.
Artikel “Pelacuran sebagai Masalah Sosial” dalam www.academia.edu.,
diposting pada Desember 2013, diakses pada 9 Mei 2016
MA. Sahal Mahfudh, “Nuansa Fiqh Sosial”...
Kartini Kartono, Patologi Sosial (Jakarta: CV. Rajawali, 1997), th.
Agung Nugroho, “Pelacurran sebagai Masalah Sosial Ditinjau dari Perspektif
Kriminologi”...

26

Anda mungkin juga menyukai