Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH HUKUM AGRARIA

“PENERTIBAN DAN PENDAYAGUNAAN TANAH TERLANTAR”

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas pada mata kuliah Hukum Agraria (B)

Semester Ganjil Tahun 2017/2018

Nama Anggota:
Fadhlan Halid Rojay (065)
Rakhmad Ryan Ramadhan
(068)
Arham Ahmad Farhan
(069)
Ainun Yusri Dwiranti
(072)
Balqis Mar’atus Sholehah (073)
Aghitio Parikesit (076)
Arif Rahman Hakim (087)
Nindya Tien Ramadhanty (119)

Program Sarjana
Program Studi Ilmu Hukum
Universitas Padjadjaran
Jatinangor
2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita ucapkan atas kehadirat Allah Azza wa Jalla, karena dengan rahmat dan
karunia-Nya kita masih diberi kesempatan untuk menyelesaikan makalah ini. Tidak lupa
kami ucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing dan teman-teman yang telah
memberikan dukungan dalam menyelesaikan makalah ini.

Secara lahiriah, manusia tidak bisa dipisahkan dari tanah, oleh karena itu, bagaimana tanah
itu dikuasai oleh manusia baik sebagai individu maupun kelompok,
bagaimana negara mengatur dan mengelola penguasaan tanah, dan bagaimana penguasaan
tersebut dijamin oleh hukum, menjadi isu yang sangat penting dalam sejarah peradaban
manusia. Tanah tidak hanya bernilai ekonomis, tetapi juga bernilai politis, sosial dan magis
religius sebagaimana masih berlaku di berbagai daerah di Indonesia. Olehnya itu
persoalan tanah perlu mendapatkan perhatian serius dari pemerintah, lembaga yang terkait
serta semua masyarakat.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan, oleh sebab
itu penulis angat mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Dan semoga sengan
selesainya makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan teman-teman.

Jatinangor, 20 November 2017

Penulis

BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Tanah sebagai bagian dari bumi yang merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa serta
berfungsi untuk memenuhi kebutuhan dasar dan lahan menjadikan tanah sebagai alat
investasi yang sangat menguntungkan, sehingga terjadi peningkatan permintaan akan tanah
dan bangunan. Hal ini menyebabkan tanah dan bangunan menjadi sangat bernilai, sehingga
orang yang memiliki tanah dan bangunan akan sedapat mungkin mempertahankan hak milik
atas tanahnya. Selain itu sebagai salah satu faktor produksi, tanah mempunyai kedudukan
yang sangat penting di dalam kehidupan manusia, hal ini dapat dimaklumi bahwa manusia
akan senantiasa memerlukan tanah untuk memenuhi kebutuhan pangan, pemukiman dan
nantinya untuk pemakaman.
Indonesia yang notabenenya sebagai Negara yang berlatar-belakang agraris, tanah merupakan
sesuatu yang memiliki nilai yang sangat penting di dalam kehidupan masyarakatnya, terlebih
lagi bagi petani dan pekebun di pedesaan. Tanah berfungsi sebagai tempat di mana warga
masyarakat bertempat tinggal dan tanah juga memberikan penghidupan baginya1. Tanah
merupakan sumber hidup dan kehidupan bagi manusia. Tanah mempunyai fungsi yang sangat
strategis, baik sebagai sumber daya alam maupun sebagai ruang untuk pembangunan. Karena
ketersediaan tanah yang relatif tetap sedangkan kebutuhan akan tanah terus meningkat seiring
pertumbuhan penduduk dan kegiatan pembangunan yang terus meningkat pula, sehingga
pengelolaannya harus berdaya-guna untuk kepentingan umum yang sebesar-besarnya
kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
Prinsip dasar itu sudah ditetapkan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 yang selanjutnya disebut UUD 1945 menyebutkan bahwa :
“Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang selanjutnya
disebutkan UUPA menyebutkan : “Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan
yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan
kekayaan nasional”. Lebih lanjut dalam Pasal 1 ayat (3) disebutkan “Hubungan antara bangsa
Indonesia dan bumi, air serta ruang angkasa termaksud dalam ayat (2) adalah hubungan yang
bersifat abadi”. Hubungan yang bersifat abadi artinya hubungan bangsa Indonesia bukan
hanya dalam generasi sekarang saja tetapi generasi seterusnya.

Oleh karena itu, sumber daya alam harus dijaga jangan sampai dirusak atau ditelantarkan.
Sehubungan dengan itu penyediaan, peruntukan, penguasaan, penggunaan dan
pemeliharaannya perlu diatur agar terjamin kepastian hukum dalam penguasaan dan
pemanfaatannya serta sekaligus terselenggara perlindungan hukum bagi rakyat, terutama bagi
golongan petani dengan tetap mempertahankan kelestarian kemampuannya dalam
mendukung kegiatan pembangunan yang berkelanjutan. Dengan demikian penggunaan tanah

1
Soerjono Soekanto dan Soleman B. Taneko, 2001, Hukum Adat Indonesia, Cetakan Keempat, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, hal.172
harus dilakukan oleh yang berhak atas tanah selain untuk memenuhi kepentingannya sendiri,
juga tidak boleh merugikan kepentingan masyarakat.
Oleh karena itu, bagi pihak yang telah menguasai tanah dengan sesuatu hak sesuai ketentuan
UUPA atau penguasaan lainnya, harus menggunakan dan memanfaatkan tanahnya sesuai
keadaan, sifat dan tujuan pemberian haknya. Dengan kata lain, para pemegang hak atas tanah
maupun penguasaan tertentu tidak menelantarkan tanahnya, menjadi tanah kosong atau tidak
produktif. Penelantaran tanah di pedesaan dan perkotaan, selain merupakan tindakan yang
tidak bijaksana, tidak ekonomis, dan tidak berkeadilan, juga merupakan pelanggaran terhadap
kewajiban yang harus dijalankan para pemegang hak atau pihak yang telah memperoleh dasar
penguasaan tanah. Penelantaran tanah juga berdampak pada terhambatnya pencapaian
berbagai tujuan program pembangunan, rentannya ketahanan pangan dan ketahanan ekonomi
nasional, tertutupnya akses sosial ekonomi masyarakat khususnya petani pada tanah serta
terusiknya rasa keadilan dan harmoni sosial. Untuk itu perlu ditumbuhkan pengertian akan
pentingnya arti penggunaan tanah sesuai dengan kemampuan peruntukkannya, sehingga
tercapai penggunaan tanah yang berasaskan pemanfaatan tanah secara optimal, keseimbangan
antara berbagai keperluan dan asas kelestarian dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat.
2. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah di atas, maka diajukan 2 (dua) masalah
pokok yang akan dibahas, yaitu sebagai berikut :
a. Kewenangan dan Mekanisme penertiban tanah terlantar yang melibatkan berbagai Instansi
atau lembaga negara, baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah.

b. Penertiban dan Pendayagunaan tanah terlantar dalam rangka penata-gunaan tanah di kota
Yogyakarta.
3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian dapat dikualifikasikan atas tujuan yang bersifat umum dan tujuan yang
bersifat khusus. Adapun tujuan yang bersifat umum, ialah sebagai pengetahuan umum dalam
permasalahan penertiban dan pendayagunaan tanah di daerah Yogyakarta, adapun tujuan
khususnya dari penulisan makalah ilmiah ini adalah sebagai ilmu pengetahuan untuk
mengetahui pemecahan masalah pada kasus yang masih belum terpecahkan yang pada
akhirnya peran pemerintah daerah Yogyakarta mampu mengatasinya.
4. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini nantinya sangat diharapkan dapat memberikan manfaat baik yang bersifat
teoritis maupun praktis. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah
wawasan dan pengetahuan di bidang Ilmu Hukum Administrasi, khususnya pada bidang
Hukum Pertanahan yang berkaitan dengan tanah terlantar. Adapun manfaat secara praktis,
hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik kepada Pemerintah, masyarakat,
maupun peneliti sendiri. Adapun manfaat yang dimaksudkan adalah sebagai berikut :
a. Bahan masukan bagi pemerintah dalam menjalankan kewenangan penertiban dan
pendayagunaan tanah terlantar dalam rangka penatagunaan tanah.
b. Bagi masyarakat, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan bahwa
pada prinsipnya tanah harus dikerjakan sendiri, tanah berfungsi sosial, tanah benar-benar
dimanfaatkan sehingga tidak terjadi tanahtanah terlantar.
c. Bagi peneliti sendiri, disamping untuk kepentingan penyelesaian studi juga untuk
menambah pengetahuan serta wawasan di bidang pemanfaatan tanah dalam rangka
penatagunaan tanah sehingga tidak ada tanah tanah terlantar.

BAB II
KASUS
1) Kasus Tanah Terlantar di Yogyakarta
Setiap Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional memiliki bagian yang menangani bidang
pengendalian pertanahan dan pemberdayaan masyarakat. Mereka melakukan pengendalian
terhadap tanah-tanah yang telah dilakukan pendaftarannya dalam berbagai bentuk hak. Dalam
rangka pengendalian itu diperoleh angka sekitar 300 hektar tanah yang diidentifikasi
terlantar (kota-desa). Dengan keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 yang
mengecualikan tanah yang dikuasai oleh pemerintah sebagai obyek tanah terlantar, maka
akhirnya hanya ditetapkan 62,1038 hektar atas 15 subyek hak. Jenis hak umumnya adalah
Hak Guna Bangunan.
Di masa lalu, pemanfaatan tanah terlantar dalam praktik dan definisi formal dilakukan oleh
instansi pemerintah non-Badan Pertanhan Nasional, yang dapat bekerja sama dengan
pemegang hak serta diatur oleh Pemerintah Daerah. Sebagai contoh adalah pemanfaatan
tanah kosong di Kabupaten Bantul melalui program ABRI Manunggal Pertanian (AMP). Ada
dua jenis pemanfaatan yakni dilakukan oleh masyarakat sendiri dan dilakukan oleh instansi
pemerintah. Program pertama, berupa pemanfaatan atas tanah tujuh pengembang
perumahan. Mereka ini menguasai tanah cukup luas dan seluruh atau sebagian tanahnya
masih dalam keadaan kosong.
Pengembang tersebut adalah Perum Perumnas, Koperasi BKUK Dekopindo, PT. Nuscon
Asri, PT. Aditra Graha Asri, PT. Heksana Adi Gatra Mulya, PT. Lita Internusa, dan PT.
Griya Mataram Singgasana. Dalam pengakuan pengembang, penelantaran itu disebabkan
faktor ekonomi berupa suku bunga tinggi sehingga mereka kesulitan mendapat kredit bank
untuk pembangunan perumahan, serta krisis ekonomi tahun 1999 yang mengakibatkan
rendahnya permintaan pembangunan rumah. Pemanfaatan yang dilakukan adalah penanaman
kembali tanah kosong oleh pemilik semula di atas tanah pengembang.
Program kedua, adalah berupa penanaman tanaman pangan oleh ABRI (Kodim 0729 Bantul)
sebagaimana dinyatakan oleh Surat Keputusan Penanggung Jawab Operasi ABRI Manunggal
Pertanian No. Skep/06/IV/1998. Penanaman dilakukan di atas tanah-tanah kosong
masyarakat melalui sistem bagi hasil, yang mana pemilik mendapat 60% hasil serta upah
tenaga kerja jika mereka sendiri yang mengerjakannya.
Dalam dokumen resmi, program inilah yang sering dicatat sebagai bentuk pemanfaatan tanah
terlantar, mengabaikan kenyataan bahwa masyarakat luas dengan definisi mengenai tanah
kosong dan dihadapkan pada kondisi aktualnya, telah banyak memanfaatkan tanah-tanah
yang dianggap kosong/ terlantar tersebut.
2) Pendayagunaan Tanah Terlantar Dalam Kaitannya Dengan Penatagunaan
Tanah Di Kota Denpasar

Pembangunan yang dilaksanakan di Kota Denpasar semakin pesat dan kompleks, sehingga
kebijakan pemerintahan Kota Denpasar ke depan diarahkan untuk mewujudkan
pembangunan Kota Denpasar yang berwawasan budaya yang dijiwai Agama Hindu dan
dilandasi Tri Hita Karana. Melihat kondisi fisik dan potensi Kota Denpasar tersebut maka
peranan tanah sangatlah besar sekali dalam kehidupan ini. Penanganan masalah pertanahan
bukan hanya teknis, yuridis, administrasi saja melainkan juga menyangkut aspek sosial,
politik dan hankam sehingga penanganannya tetap berpedoman pada peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Oleh karena itu, pelayanan di bidang pertanahan lebih ditingkatkan secara profesionalisme
sesuai dengan visi, misi, tujuan dan sasaran Badan Pertanahan Nasional yaitu memberikan
pelayanan pendaftaran tanah yang cepat dan terjamin kepastian hukum menuju Catur Tertib
Pertanahan yaitu Tertib Hukum Pertanahan, Tertib Administrasi Pertanahan, Tertib
Penggunaan Tanah dan Tertib Pemeliharaan Tanah dan Lingkungan Hidup. Semua hak atas
tanah mempunyai fungsi sosial, maka setiap orang, badan hukum, instansi pemerintah yang
mempunyai hubungan hukum dengan tanah wajib menggunakan dan memanfaatkan tanahnya
sehingga berdayaguna dan berhasil guna serta bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat.
Dewasa ini banyak bidang-bidang tanah di Kota Denpasar yang menunggu dipergunakan
sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah yang berlaku, dibiarkan kosong atau terlantar,
sehingga tidak memberikan manfaat apapun bagi masyarakat.
Di Kota Denpasar tanah-tanah yang terlantar dalam arti tidak diusahakan, dipergunakan dan
dimanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dari pemberian haknya cukup banyak.
Berdasarkan data dari Dinas Tata Ruang dan Perumahan Pemerintah Kota Denpasar, lahan di
kota ini yang terbengkalai atau terlantar tersebar di 80 lokasi. Lahan atau tanah yang tidak
dimanfaatkan sang pemilik tersebut tersebar diruas jalan utama kota. Kondisi ini dapat
membuat kawasan ibukota provinsi daerah tujuan wisata internasional tersebut tampak seperti
tidak berpenghuni, kumuh dan tidak tertata dengan baik.

Berdasarkan Pasal 2 Kepres No.34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang
Pertanahan, Lampiran PP No. 38 Tahun 2007, PP No. 11 Tahun 2010, Pemerintah Kota
Denpasar dapat memanfaatkan tanah-tanah kosong atau tanah terlantar. Tanah-tanah Negara
bekas tanah terlantar sesuai dengan Pasal 15 ayat (1) didayagunakan untuk kepentingan
masyarakat melalui reforma agraria, program strategis negara dan cadangan negara lainnya.
Dalam rangka penatagunaan tanah di Kota Denpasar, tanah-tanah Negara bekas tanah
terlantar yang dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat harus disesuaikan dengan
Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 10 Tahun 1999 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Kota Denpasar. Dalam Perda No. 10 Tahun 1999 sudah ditetapkan wilayah-wilayah
yang dijadikan kawasan lindung dan kawasan budidaya.
Jika tanah-tanah terlantar itu letaknya di kawasan budidaya pertanian maka tanah terlantar
didayagunakan untuk program strategis Negara di sektor pertanian atau dimanfaatkan untuk
ruang terbuka hijau dan juga untuk taman kota sehingga Kota Denpasar sebagai ibu kota
Provinsi Bali dan tujuan wisata tampak indah, sejuk dan asri. Tanah-tanah terlantar yang
letaknya dikawasan budidaya non pertanian maka dapat didayagunakan untuk perumahan dan
pemukiman, pariwisata, pertambangan, Hankam/ militer, prasarana perdagangan dan jasa,
prasarana transportasi, prasarana sosial.

BAB III
PEMBAHASAN
A. Pengertian tanah terlantar:
Menurut pasal 1 angka 6 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia
Nomor 4 Tahun 2010 berbunyi, “Tanah terlantar adalah tanah yang sudah diberikan hak oleh
negara berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, dan Hak
Pengelolaan, atau dasar penguasaan atas tanah yang tidak diusahakan, tidak dipergunakan,
atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian hak atau
dasar penguasaannya.”
Konsep tanah terlantar menurut hukum adat dapat ditemukan dalam pengertian-pengertian
tanah terlantar menurut Hukum Adat. Berikut pengertian tanah terlantar dalam beberapa
wilayah Hukum Adat di Indonesia
Sulawesi Selatan (Bugis)
Dalam masyarakat Bugis, tanah terlantar disebut dengan istilah Tona Kabu, Tona
Kallanggelung Amo. Adapun kriteria tanah yang dikategorikan sebagai tanah tersebut adalah
tanah sawah yang ditinggalkan selama 10 tahun atau lebih. Hal itu dilihat melalui indikasi-
indikasi yaitu pematang-pematangnya tidak kelihatan lagi, dan semua tanda-tandanya sudah
hilang secara keseluruhan.
Sumatera Utara
Dalam masyarakat Sumatera Utara, tanah terlantar disebut dengan istilah Soppalan, yaitu
tanah bekas yang ditinggalkan dan telah ditumbuhi alang- alang, tanah bekas ladang yang
belum lama ditinggalkan dan telah menjadi semak, tanah yang sengaja ditelantarkan untuk
penggembalaan ternak masyarakat, dan tanah yang baru sekali dibuka kemudian terlantar.
Nanggroe Aceh Darussalam
Di Aceh, apabila pada sebidang tanah sama sekali tidak ada aktivitas pemanfaatan tanah itu
selama 3 bulan, maka hak okupasi dan hilang tanah kembali kepada Hak Ulayat.
Maluku
Di Maluku, tanah dinyatakan terlantar apabila dalam jangka waktu 10- 15 tahun tidak
dimanfaatkan dan tanah kembali menjadi Hak Pertuanan (ulayat).
Kalimantan Selatan (Banjar)
Di Kalimantan Selatan, tanah bekas ladang yang ditinggalkan 2 musim atau lebih akan
kembali menjadi padang atau tanah tanpa pemilik.
Untuk menentukan kriteria suatu hak atas tanah dapat dikatakan tanah terlantar adalah
dengan cara mensistematisasi unsur-unsur yang ada dalam pengertian mengenai tanah
terlantar. Dalam Hukum Adat Tanah terlantar dapat dirumuskan sebagai tanah sawah atau
ladang yang ditinggalkan oleh pemilik atau penggarapnya dalam beberapa waktu tertentu (3
s.d. 15 tahun) sampai tanah sawah atau ladang itu menjadi semak belukar, maka tanah
tersebut kembali kepada Hak Ulayat atau masyarakat adat.
B. Faktor Penyebab Tanah Terlantar

Timbulnya tanah terlantar atau tanah yang diindikasikan terlantar, pada awalnya lebih banyak
dipicu oleh krisis moneter yang kemudian menimbulkan krisis ekonomi di 1998. pada saat itu
banyak perusahaan-perusahaan yang menguasai tanah cukup luas, tapi perusahaan itu sendiri
mengalami masalah keuangan sehingga tidak dapat mengolah tanah-anah tersebut dengan
baik, dan pada akhirnya tanah-tanah tersebut dibiarkan dalam keadaan terlantar. Selain itu,
ada penyebab lainnya seperti perusahaan-perusahaan tersebut menguasai tanah dengan cukup
luas sebagai modal, untuk kemudian dijaminkan, bukan untuk diolah dengan sesuatu
peruntukan.
Sebagai akibatnya, luas tanah terlantar pasca krisis ekonomi 1998 meningkat cukup drastis.
Data terakhir (2011) dari BPN menunjukkan terdapat 459 bidang tanah terlantar di Indonesia,
yang mencakup seluas 4,8 juta ha. Selain itu, BPN juga menemukan tanah yang diindikasikan
terlantar seluas 7,3 juta ha. Tentu hal ini sangat bertentangan dengan cita-cita luhur UUPA
yang sejalan dengan tujuan Negara Indonesia, yaitu bahwa tanah beserta kekayaan alam yang
terkandung didalamnya harus dipergunakan untuk mewujudkan sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat Indonesia.
Beberapa penyebab terjadinya tanah (terindikasi) terlantar adalah :2
Masa berlaku Hak Guna Usaha atas tanah-tanah perkebunan telah habis, tetapi tidak
diperpanjang dan dibiarkan begitu saja baik oleh negara ataupun pemilik Hak Guna Usaha
Perusahaan-perusahaan perkebunan pemilik HGU mengalami kekurangan modal, sehingga
kesulitan memanfaatkan tanah dan membiarkan tanah-tanah tersebut tanpa dimanfaatkan
dengan baik;
Beberapa kawasan dari tanah terlantar tersebut memang sulit ditanami karena kualitas
tanahnya tidak/kurang baik untuk dijadikan tanah perkebunan.
a) Pemilikan tanah yang terlampau luas, atau pemilikan tanah secara absentee yang
mengakibatkan pemegang hak tidak mampu untuk membangun dan memanfaatkan
tanahnya.
2
Chadidjah Dalimunthe, Pelaksanaan Landreform Di Indonesia Dan Permasalahannya, Cetakan Ketiga, Penerbit Universitas Sumatera
Utara, Medan, 2005, hlm. 117
b) Adanya resesi ekonomi yang menimbulkan perubahan struktur pemasaran atau sebab-
sebab lain, sehingga pemegang hak merasa tidak akan memperoleh keuntungan untuk
melanjutkan usahanya dan memutuskan untuk tidak mengolah tanahnya.

c) Pemegang hak sulit mengusahakan tanahnya sesuai dengan sifat dan tujuannya,
karena adanya penggarapan liar.
d) Spekulasi tanah yang mengharapkan keuntungan secara tidak wajar.

Pasal 10 UUPA menyebutkan bahwa setiap orang atau badan hukum yang mempunyai hak
atas tanah pertanian pada asasnya diwajibkan mengerjakan sendiri tanah pertaniannya. Di
dalam ketentuan ini terselip pengertian, bahwa tanah-tanah (pertanian) harus benar-benar
dimiliki oleh petani (land to the tiller). Agar pemanfaatan tanah tersebut efektif maka pemilik
harus berada (bertempat tinggal) di tempat letaknya tanah (minimum di kecamatan letak
tanah). Dilarang pemilikan tanah secara absentee, pemilikan tanah yang melampaui batas,
pemilik tanah dengan maksud untuk berspekulasi dapat mengakibatkan tanahnya
ditelantarkan. Sedangkan, menurut Lutfi Ibrahim Nasution ada banyak variabel yang dapat
menyebabkan tanah menjadi terlantar.

Ada 4 faktor yang menyebabkan tanah itu terlantar yaitu :


1) Faktor fisik alamiah yaitu dari segi tanah berlokasi pada daerah rawan banjir yang secara
langsung meningkatkan resiko kegagalan bagi pemilik tanah.

2) Faktor kelembagaan masyarakat, hal ini berkaitan dengan sistem kepemilikan tanah yang
secara potensial ikut menentukan terjadinya tanah terlantar. Faktor-faktor tersebut
adalah :

a. Tanah dalam kasus sengketa kepemilikan sehingga sulit untuk dimanfaatkan secara
optimal,

b. Tanah dalam status absentee (pemilikan tanah yang letaknya di luar daerah tempat
tinggal yang empunya),

c. Tanah dalam status diagunkan,

d. Tanah dengan bukti-bukti kepemilikan yang tidak jelas,

e. Penggunaan tanah tidak sesuai dengan tata ruang wilayah yang bersangkutan,

f. Tanah yang sudah memperoleh izin pemanfaatan ( izin lokasi ) tetapi oleh karena
faktor-faktor tertentu tanah tersebut belum dibangun atau dimanfaatkan seperti sering
terjadi di daerah perkotaan dan pinggiran kota,

3. Faktor sosial budaya adalah :

a) Tanah adat yang tidak jelas peruntukan dan kepemilikannya,

b) Tanah yang pewarisannya tidak jelas.


4. Faktor ekonomi adalah :

a. Spekulasi tanah pada umumnya terjadi didaerah perkotaan, pinggiran perkotaan dan
daerah pengembangan non pertanian didaerah pedesaan,

b. Kemiskinan,

c. Rendahnya bunga bank untuk tabungan masyarakat dan tingginya inflasi. Keadaan ini
mendorong masyarakat untuk menginvestasikan uangnya ke tanah sebagai kekayaan
yang aman pada saat inflasi tinggi dan bunga bank tidak merangsang masyarakat
melakukan investasi di bidang ekonomi produktif.

Disamping faktor-faktor tersebut, kesadaran juga merupakan hal yang sangat mendasar
terhadap pemanfaatan lahan. Kurangnya kesadaran dari para pemegang hak atas tanah untuk
melakukan pengembangan usaha dan pemanfaatan terhadap lahan tersebut dapat memicu
terjadinya penelantaran tanah.

C. Tanah Terlantar
Dalam ketentuan UUPA terkandung suatu amanah, yaitu bahwa pemilik dan/ atau pemegang
hak atas tanah tidak boleh menelantarkan tanahnya. Hal tersebut berarti setiap pemberian hak
oleh negara kepada perorangan atau badan hukum haruslah bersama sama dengan kewajiban-
kewajiban yang harus dilaksanakan oleh pemegang hak sesuai peruntukan dan persyaratan
sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pemberian haknya. Secara filosofis tanah terlantar
sangat bertentangan dengan asas yang menenntukan bahwa tanah merupakan aset atau modal,
bahkan tanah merupakan sumber kehidupan manusia yang tidak akan habis. Tanah berfungsi
untuk mensejahterakan manusia sehingga tanah harus digunakan untuk meningkatkan
kemakmuran rakyat. Itu sebabnya mengabaikan kewajiban menggunakan dan mengelola
tanah sesuai dengan hak yang dimiliki merupakan tindakan penyelenggaraan terhadap fungsi
sosial tanah.
Apabila nantinya diketahui pemegang hak mengabaikan kewajiban terhadap tanah sehingga
keadaan tanah menjadi terlantar atau tidak produktif, tidak memberi manfaat bagi pemegang
hak atau masyarakat sekitarnya, mengalami penurunan kualitas kesuburan dalam waktu
tertentu, maka pemerintah harus segera bertindak, dan menyatakan suatu bidang tanah dalam
keadaan terlantar. Secara yuridis hal ini harus diikuti dengan tindakan pemerintah untuk
melakukan pembatalan hak atas tanah tersebut. Kemudian tanah kembali kepada negara yang
selanjutnya akan di serahkan kepada subjek hukum lainnya untuk dimanfaatkan kembali.
Realita seperti itu menunjukan bahwa secara administrasi tertib hukum pertanahan perlu
ditegakkan secara tegas.

 Tanah Terlantar Menurut Peraturan Pemerintah

Menurut ketentuan pasal 1 angka 5 PP No. 36 tahun 1998 yang dimaksud dengan tanah
terlantar adalah tanah yang ditelantarkan oleh pihak pemegang hak atas tanah, pemegang hak
pengelolaan atau pihak yang telah memperoleh dasar penguasaan atas tanah tetapi belum
memperoleh hak atas tanah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Dengan pertimbangan bahwa PP No. 36 tahun 1998 tidak dapat lagi dijadikan acuan
penyelesaian penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar sehingga perlu dilakukan
penggantian peraturan maka diterbitkan PP No. 11 tahun 2010.
Definisi tanah terlantar tidak diatur dalam peraturan pemerintah RI no. 11 tahun 2010
tentang penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar tetapi diatur dalam pasal 1 angka 6
peraturan kepala badan pertanahan Nasional Republik Indonesia no 4 tahun 2010 tentang tata
cara penertiban tanah terlantar.
Tanah terlantar merupakan tanah yang sudah diberikan hak oleh negara berupa hak milih,
HGU, HGB, Hak Pakai, dan Hak pengelolaan, atau dasar penguasaan atas tanah yang tidak
diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat
dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya.

 Penggolongan tanah terlantar

Dalam pasal 2 PP Nomor 11 Tahun 2010 menggolongkan suatu tanah adalah terlantar dari
segi status tanah dan dari segi penggunaan tanahnya.
1. Dari segi status tanahnya,
Yaitu meliputi hak penguasaan atas tanah yang sudah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak
Guna Bangunan, Hak Pakai dan Hak Pengelolaan dinyatakan sebagai tanah terlantar apabila
tanahnya tidak diusahakan, tidak dipergunakan atau tidak dimanfaatkan sesuai keadaan atau
sifat dan tujuan tertentu. Serta hak penguasaan atas tanah yang sudah ada dasar
penguasaannya, dinyatakan sebagai tanah terlantar apabila tanahnya tidak dimohonkan hak,
tidak diusahakan, tidak dipergunakan atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan persyaratan atau
penentuan yang ditetapkan dalam izin lokasi surat keputusan pemberian atas hak, surat
keputusan pelepasan kawasan hutan, dan atau dalam izin atau keputusan atau surat lainnya
dari pejabat yang berwenang.
2. Dari segi penggunaan tanahnya,
Yaitu kondisi-kondisi yang dimaksud dengan tidak sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan
keadaan atau sifat dengan tujuan pemberian hak. Karena pemegang hak perseorangan
dimaksud tidak memiliki kemampuan dari segi ekonomi untuk mengusahakan,
mempergunakan atau memanfaatkan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian
haknya. Selain itu, yang dimaksud dengan tidak sengaja dan tidak dipergunakan sesuai
dengan keadaan atau sifat, tujuan, dan pemberian haknya, yaitu pemegang hak instansi
pemerintah atau BUMN atau BUMD dimaksud karena keterbatasan anggaran negara dan
daerah untuk mengusahakan, mempergunakan atau memanfaatkan sesuai dengan keadaan
atau sifat dengan tujuan pemberian haknya. Serta yang dimaksud dengan tanah terindikasi
tanah terlantar adalah tanah hak dan atau dengan dasar penguasaan tanah yang tidak
diusahakan, tidak dipergunakan, tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaan atau sifat dan
tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya yang belum dilakukan identifikasi dan
penelitian. Untuk memperoleh data tanah terindikasi dari tanah terlantar dilaksanakan
kegiatan interpretasi inventarisasi oleh kepala BPN kepada kepala BPNRI.

 Unsur-unsur terjadinya tanah terlantar

Unsur yang esensial terjadinya tanah terlantar maka kriteria dan ukuran yang dapat dipakai
untuk menetapkan sebidang tanah penguasaan instansi pemerintah sebagai tanah terlantar,
yaitu dengan cara kembali menjelaskan dengan melakukan penafsiran-penafsiran terhadap
unsur, yang ada dengan fokus terhadap tujuan pemberian hak atas tanah. Sehingga apabila
dari kondisi fisik tampak tanah tidak terawat atau tidak diperlihara, itu berarti tidak sesuai
dengan tujuan pemberian haknya.
Sehingga kriteria tanah terlantar adalah:
1. Harus ada tanah hak (objek).
2. Harus ada pemilik atau pemegang hak atas tanah (subjek).
3. Harus ada perbuatan yang sengaja tidak menggunakan tanah.
4. Harus ada perbuatan mengebaikan kewajibannya.
5. Harus ada jangka waktu tertentu dimana pemegang hak mengabaikan
kewajibannya.

 Objek tanah terlantar

Berikut beberapa ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan


objek tanah terlantar dapat dikemukakan sebagai berikut:
1. Dalam UUPA hak milih atas tanah hapus bila tanahnya jatuh pada negara karena
diterlantarkan
2. Pasal 27 poin 3A. Penjelasan pasal 27 menyatakan: “ Tanah diterlantarkan apabila
dengan sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan
dari pada haknya”. Hak guna usaha hapus karena diterlantarkan pasal 34E, hak guna
bangunan hapus karena diterlantarkan pasal 40E. Dalam peraturan Pemerintah tahun
1996 secara rinci dan jelas mengatur mengenai pemberian hak atas tanah (HGB, HGU
dan hak Pakai), objek hak serta jangka waktu dan lamanya waktu yang diberikan oleh
negara kepada subjek hak. Apabila pemegang hak tidak melaksanakan kewajbannya,
maka berdasarkan ketentuan pasal 17 ayat 1 huruf E, Hak Guna Usaha hapus karena
diterlantarkan.
3. Dalam pasal 2 peraturan pemerintah nomor 36 tahun 1998 menyatakan bahwa tanah
terlantar yang dikuasai hak milik Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan hak
Pakai, tanah hak pengelolaan, dan tanah yang sudah diperoleh dasar penguasannya
tetapi belum diperloeh hak atas tanahnya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku mengenai ruang lingkup tanah terlantar dalam PP
nomor 36 Tahun 1998 dibagi menjadi 3 bagian.
Dalam pasal 2 Peraturan Pemerintah nomor 11 tahun 2010 dan pasal 1 angka 6 peraturan
kepala Badan Pertanahan Nasional nomor 4 tahun 2010 menyebutkan bahwa objek tanah
terlantar adalah tanah yang sudah menjadi hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan dan
hak pakai atau hak pengelolaan dinyatakan sebagai tanah terlantar apabila tanahnya tidak
diusahakan, tidak dipergunakan atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaan atau sifat dan
tujuan haknya. Demikian pula tanah yang ada dasar penguasaannya dinyatakan sebagai tanah
terlantar apabila tanahnya tidak dimohon hak, tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau
tidak dimanfaatkan, sesuai dengan ketentuan atau persyaratan yang ditetapkan dalam izin
lokasi, suarat keputusan pemberian hak, surat keputusan dengan pelepasan kawasan hutan
dan atau dalam izin atau keputusan dari pejabat yang berwenang.

 Subjek tanah terlantar

Terkait dengan tanah terlantar apabila disimak ketentuan pasal 3 PP Nomor 11 tahun 2010
maka tanah HGU, tanah HGB ataupun hak pakai yang dimiliki subjek badan hukum atau
perusahaan yang diberikan di atas tanah negara merupakan sasaran utama Penertiban tanah
terlantar dalam pasal 3 PP nomor 3 tahun 2010 dijelaskan bahwa tanah hak milik atau hak
guna bangunan atas nama perseorangan yang secara tidak sengaja tidak dipergunakan sesuai
dengan keadaan atau sifat dengan tujuan pemberian haknya dikecualikan tanah terlantar.
Begitu juga dikuasai pemerintah secara langsung maupun tidak langsung dan sudah berstatus
milik negara maupun belum berstatus milik negara tau daerah tidak sengaja tidak
dipergunakan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian haknya, dikecualikan
atau tidak termasuk objek penertiban tanah terlantar.
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan subjek penertiban tanah terlantar adalah
peseorangan, badan hukum dan pemerintah. Namun subjek perorangan dan pemerintah masih
dapat pengecualian apabila tidak disengaja tidak menggunkan haknya dalm artian tidak
mampu secara ekonomi bagi perorangan ataupun karena keterbatasan anggaran bagi
pemerintah. Terkait dengan perseorangan yang tidak sengaja yang tidak sengaja karena
alasan ekonomi ataupun pemerintah yang mempunyai keterbatasan anggaran belum ada atura
yang jelas ada aturan yang jelas mengatur bagaimana orang tersebut dapat dikatakan tidak
mampu secara ekonomi ataupun pemerintah mempunyai keterbatasan anggaran sehingga
dikecualikan tanahnya sebagai tanah terlantar.

 Sistematika Penetapan Tanah Terlantar

Identifikasi dan penelitian tanah yang teridentifikasi terlantar


Identifikasi dan penelitian tanah yang teridentifikasi terlantar dilaksanakan oleh panitia yang
terdiri dari unsur badan pertanahan nasional dan unsur instansi terkait yang diatur oleh kepala
badan pertanahan republik indonesia (BPN). Dalam pasal 7 PP No. 11 Tahun 2010 kegiatan
identifikasi dan penelitian tanah yang teridentifikasi terlantar:
1. Verifikasi data fisik dan data yuridis,
2. Mengecek buku tanah dan akta warkah dan dokumen lainnya untuk mengetahui
pembebanan, termasuk data, rencana, dan tahapan penggunaan dan pemanfaatan tanah
pada saat pengajuan hak,
3. Meminta keterangan dari pemegang hak dan pihak lain yang terkait, dan pemegang
hak dan pihak lain yang terkait tersebut harus memberi keterangan atau
menyampaikan data yang diperlukan,
4. Melaksanakan pemeriksaan fisik,
5. Melaksanaan ploting letak penggunaan dan pemanfaatan tanah pada peta pertanahan,
6. Membuat analisis penyebab terjadinya tanah terlantar,
7. Menyusun laporan hasil identifikasi dan penelitian,
8. Melaksanakan sidang panitia,
9. Membuat berita acara,

 Peringatan

Apabila berdasarkan hasil identifikasi dan penelitian disimpulkan terdapat tanah terlantar,
maka kepala kantor wilayah memberitahukan dan sekaligus memberi peringatan tertulis
pertama kepada pemegang hak, agar dalam jangka waktu 1 bulan sejak tanggal
diterbitkannya surat peringatan, menggunakan tanahnya sesuai keadaannya atau menurut sifat
dan tujuan pemberian haknya atau sesuai izin/ keputusan surat sebagai dasar penguasaannya.
Di dalam surat peringatan perlu disebutkan hal-hal yang secara konkret harus dilakukan oleh
pemegang hak dan sanksi yang dapat dijatuhkan apabila peegang hak tidak memindahkan
atau tidak melaksanakan peringatan yang dimaksud.

 Penetapan tanah terlantar

Apabila pemegang hak tetap tidak melaksanakan peringatan tertulis yang diberikan oleh
kepala kantor wilayah, maka kepala kantor wilayah mengusulkan kepada kepala BPN untuk
menetapkan tanah yang bersangkutan sebagai tanah terlantar.
Kemudian, kepala BPN menetapkan tanah yang diusulkan oleh kepala kantor wilayah sebagai
tanah terlantar. Dalam hal tanah yang akan ditetapkan sebagai tanah terlantar merupakan
tanah hak, penetapan tanah terlantar memuat juga penetapan hapusnya hak atas tanah,
sekaligus memutuskan hubungan hukum serta ditegaskan sebagai tanah yang dikuasai
langsung oleh negara. Dalam hal tanah yang akan ditetapkan sebagai tanah terlantar adalah
tanah yang diberikan dasar penguasaan, penetapan tanah terlantar memuat juga pemutusan
hubungan hukum serta penegasan sebagai tanah yang dikuasai langsung oleh negara.

BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan uraian dan kajian terhadap permasalahan dalam tulisan ini maka dapat
disimpulkan sebagai berikut :
1. Kewenangan penertiban tanah terlantar merupakan kewenangan delegasi dimana
pemerintah (Presiden) mendelegasikan kewenangannya kepada Kepala Badan Pertanahan
Nasional Republik Indonesia untuk melakukan penertiban tanah terlantar. Ketentuan ini
diatur dalam Pasal 17 PP No.11 Tahun 2010. Dalam pelaksanaannya dibentuk Panitia C yang
terdiri dari Badan Pertanahan Nasional, Pemerintah Daerah dan Instansi yang terkait dengan
peruntukan tanahnya yang berwenang melakukan identifikasi dan penelitian tanah terindikasi
terlantar. Berdasarkan Peraturan Kepala BPN No. 4 Tahun 2010, mekanisme penertiban
tanah terlantar dilakukan melalui tahapan-tahapan yaitu :
a. Inventarisasi tanah hak atau dasar penguasaan atas tanah yang terindikasi terlantar;
b. Identifikasi dan penelitian tanah terindikasi terlantar;
c. Peringatan terhadap pemegang hak;
d. Penetapan tanah terlantar.
2. Tanah-tanah terlantar didayagunakan untuk kepentingan masyarakat melalui Reforma
Agraria, Program Strategis Negara, dan untuk Cadangan Negara lainnya sesuai dengan Pasal
15 ayat (1) PP No. 11 Tahun 2010. 161 Dalam rangka penatagunaan tanah di Kota Denpasar,
tanah tanah negara bekas tanah terlantar yang akan didayagunakan untuk kepentingan
masyarakat disesuaikan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Denpasar yang diatur
dalam Perda No.10 Tahun 1999.

Saran
1. Terkait dengan penatagunaan tanah di Kota Denpasar, hendaknya Badan Pertanahan
Nasional, Pemerintah Daerah Kota Denpasar dan instansi yang terkait dengan peruntukan
tanahnya dalam melaksanakan penertiban tanah terlantar saling berkoordinasi sehingga tidak
terjadi tumpang kewenangan.
2. Dalam pendayagunaan tanah terlantar, pemerintah ( Badan Pertanahan Nasional)
hendaknya membuat kebijakan tentang tata cara pendayagunaan tanah terlantar yang dapat
dipakai sebagai pedoman teknis, sehingga tanah - tanah terlantar dapat dimanfaatkan secara
optimal dalam memperbaiki keadaan sosial ekonomi masyarakat. Disamping itu hendaknya
pemerintah memberikan bekal ilmu kepada aparatnya sehingga dalam melaksanakan
tugasnya tidak terjadi konflik dengan pemegang hak yang menelantarkan tanahnya.

DAFTAR PUSTAKA
Soerjono Soekanto dan Soleman B. Taneko, 2001, Hukum Adat Indonesia, Cetakan
Keempat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal.172
Chadidjah Dalimunthe, Pelaksanaan Landreform Di Indonesia Dan Permasalahannya,
Cetakan Ketiga, Penerbit Universitas Sumatera Utara, Medan, 2005, hlm. 117
Hadjon,Philipus M, 1997, Tentang Wewenang, Yuridika, No.5 & 6 Tahun XII September
1997.
Pria Dharsana, I Made, 2010, “Mencabut Hak Tanah Terlantar”. Bali Post, Tgl.18 Agustus.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria
( Lembaran Negara RI Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor
2043).
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ( Lembaran Negara RI
Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 53).
Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah ( Lembaran
Negara RI tahun 2004 Nomor 45, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4385 ).
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara
Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota
( Lembaran Negara RI Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4737)
Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban Dan Pendayagunaan Tanah
Terlantar ( Lembaran Negara Tahun 2010 Nomor 16, Tambahan Lembaran Negara Nomor
5098).
Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional Di Bidang
Pertanahan (Lembaran Negara RI Tahun 2003 Nomor 60)
Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional.
Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) Tahun 2010-2014.
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 2010 tentang Tata Cara
Penertiban Tanah Terlantar.

Anda mungkin juga menyukai