Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Dikaji dari perspektiI sumber hukum maka Yurisprudensi merupakan sumber
hukum dalam artian Iormal. Dikaji dari aspek terminologinya maka yurisprudensi
berasal dari kata Jurisprudentia (bahasa Latin), yang berarti pengetahuan hukum
(Rechtsgeleerdheid). Sebagai istilah teknis yuridis di Indonesia, sama pengertiannya
kata 'Jurisprudentie` dalam bahasa Belanda dan 'Jurisprudence` dalam bahasa
Perancis, yaitu yang berarti hukum peradilan atau peradilan tetap.
Dikaji dari aspek teoritik maka yurisprudensi penting eksistensinya apabila
dikorelasikan terhadap tugas hakim. Dikaji dari perspektiI aliran legisme maka
peranan yurisprudensi relatiI kurang penting karena diasumsikan semua hukum
terdapat dalam undang-undang. Oleh karena itu, hakim dalam melaksanakan tugasnya
terikat apa yang ada dalam undang-undang, sehingga merupakan pelaksana undang-
undang.
Sedangkan menurut aliran Freie Rechtsbewegung maka hakim dalam
melaksanakan tugasnya bebas untuk melakukan apa yang ada menurut undang-
undang ataukah tidak. Dimensi ini terjadi karena karena pekerjaan hakim adalah
melakukan 'Rechtsschepping`, yaitu melakukan penciptaan hukum. Konsekuensi
logisnya, maka memahami yurisprudensi merupakan hal yang bersiIat substansial di

dalam mempelajari hukum, sedangkan mempelajari undang-undang merupakan hal


yang bersiIat sekunder.
B. Identifikasi Masalah
. pa yang dimaksud dengan Yurisprydensi ?
2. Bagaimana Peran Yurisprudensi bagi hukum pidana?
3. Bagaimana kokualan nongikal yuiispiudonsi daIan sislon hukun oiopa
konlinonlaI dan angIo saxon `
4. againana kodudukan yuiispiudonsi nahkanah agung RI daIan piaklik
poiadiIan lindak pidana koiupsi `
5. Bagaimana eksistensi yurisprudensi dikaji dari perspektiI teoretis dan praktik
peradilan ?









BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN YURISPRUDENSI
Dari perspektiI sumber hukum maka Yurisprudensi merupakan sumber
hukum dalam artian Iormal. Dikaji dari aspek terminologinya maka yurisprudensi
berasal dari kata Jurisprudentia (bahasa Latin), yang berarti pengetahuan hukum
(Rechtsgeleerdheid). Sebagai istilah teknis yuridis di Indonesia, sama pengertiannya
kata 'Jurisprudentie` dalam bahasa Belanda dan 'Jurisprudence` dalam bahasa
Perancis, yaitu yang berarti hukum peradilan atau peradilan tetap.
Dalam bahasa Inggris maka terminologi 'Jurisprudence` diartikan sebagai teori ilmu
hukum, sedangkan pengertian yurisprudensi dipergunakan dalam rumpun sistem
'Case Law` atau 'Judge-made Law`. Kemudian kata 'Jurispruden:` dalam bahasa
Jerman berarti ilmu hukum dalam arti yang sempit (aliran jaran Hukum), misalnya
Begriff-furispruden:, Interressen furispruden: dan lain sebagainya. Istilah teknis
bahasa Jerman untuk pengertian yurisprudensi, adalah kata 'Ueberlieferung.
B. PERAN YURISPRUDENSI
Tidak dapat disangkal bahwa tugas darpada seorang hakim adalah berbeda,
berlainan dari pada tugas dan kewenangan dari pembentuk undang-undang. Dapat
dikatakan bahwa baik hakim maupun pembentuk undang-undang menentukan atau

Purnadi Purbacaraka & Soerjono Soekanto, !erundang-undangan dan Yurisprudensi, lumni, Bandung, , hal. 56

menetapkan hukum yang dapat diartikan dalam arti yang berbeda pula. Pembentuk
undang-undang membentuk hokum secara in abstracto yaitu merumuskan peraturan
hukum secara umu yang berlaku bagi semua orang yang tunduk pada ketentuan
undang-undang. Lain halnya kedudukan hakim, ia sebaliknya yaitu menetapkan
hukum secara in concreto dimana hakim menerapkan peraturan hukum kepada hal-
hal yang nyata yang dihadapkan kepadanya untuk diadili dan diputus.
Terkait hal ini, dalam pasal 4 ayat () Undang-undang Nomor 4 Tahun
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman telah menggariskan
tentang tugas hakim sebagai berikut :
'Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili sesuatu perkara
yang diajukan dengan dalih, bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib
memeriksa dan mengadilinya.
Menurut pasal 2 ayat () Undang-undang Nomor 4 Tahun digariskan
lebih lanjut tentang kewajiban hakim, sebagai berikut :
'Hakim sebagi penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan
memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.
Lebih lanjut dapat dikatakan disini, bahwa bagi hakim pidana berlaku pula
asas 'nullum delictum, nulla poena sine praevia lege ponali`, sebagaimana dapat
ditarik dari isi ketentuan pasal ayat () Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang
menandung arti bahwa perbuatan apa dan yang bagaimanakah yang dilarang
diperbuat orang serta yang diancam dengan pidana barang siapa yang melanggar

larangan tersebut, diletkan sepenuhnya dalam kekuasaan pada (badan) pementuk


undang-undang pidana.
kan tetapi dilain pihak, untuk menilai sereta selanjutnya menentukan apakah
sesuatu kata dalam perumusan ketntuan undang-undang pidana adalah jelas ataupun
tidak hal itu harus ditetapkan oleh hakim (pidana) sesuai tugas serta kewenangannya
menetapkan hukum pidana secara in concreto seperti apa yang telah digariskan dalam
pasal 4 () tersebut diatas. Oleh karena itu, kiranya tidak ada seorangpun yang
menolak hak hakim pidana untuk menaIsirkan undang-undang pidana didalam rangka
menjalankan tugas serta kewenangannya menerapkan hukum pidana secara in
concreto itu.
Didalam putusannya itu. hakim pidana, menurut pendapat R. Sardjono
sebagaimana dikemukakan dalam Raker Hakim dan Panitera dalam wilayah hukum
Pengadilan Tinggi Jakarta pada tahun 2, antara lain :
. Merupakan suatu pertanggungan jawab dari hakim mengenai alasa-alasan
yang menjadi dasar putusannya itu terhadap masyarakat dan negara dalam
kedudukannya sebagai alat perlengkapan negara, yang dibuatnya dengan jalan
menyusun pertimbangan putusan tersebut.
2. Pertimbangan-pertimbangan itu harus merupakan keseluruhan yang lengkap,
tersusun secara sistematis dan satu sama lainnya mempunyai hubungan yang
logis tidak ada pertentangan (tegenstrijdigheid) satu sama lain (innerlijke
tegenstrijdigheid), pertentangan-pertentangan mana juga tidak boleh terdapat
antara pertimbangan-pertimbangan putusan dan dictum putusan.

3. Hakim harus menilai kekuatan pembuktian tiap alat bukti dan memberi
kesimpulannya mengenai soal terbukti atau tidaknya tuduhan terhadap si
terdakwa.
4. Hakim dalam mempertimbangkan perkara adalah tidak bebas, melainkan
terikat pada hukum, undang-undang dan rasa keadilan, sehingga dengan
demikian segala kesan bahwa hakim bertindak sewenang-wenag sekaligus
dapat dilenyapkan.
5. Hubungan antara dictum (amar) putusan dan pertimbangan adalah bahwa
setiap bagian dari dictum putusan harus didukung oleh pertimbangan tertentu.
Dengan demikian telah diketahui bahwa hakim dilarang secara tegas untuk
menolak mengadili suatu perkara (pidana) yang dihadapkan kepadanya untuk
diperiksa dan diadili. Sedangkan dilain pihak haikm diwajibkan pula untuk menggali,
mengikutidan memahami nilai-nilai hukum yang hidup didalam masyarakat.

. KEKUATAN MENGIKAT YURISPRUDENSI DALAM SISTEM HUKUM
Sebagaimana telah dijelaskan secara implisit dari konteks di atas maka adanya
perbedaan pengertian yurisprudensi di negara yang menganut Sistem Hukum
KodeIikasiCivil Law atau Eropa Kontinental seperti Indonesia dengan negara yang
menganut Sistem Comman Law/nglo Saxon/Case law seperti di Negara Inggris,
merika Serikat, dan lain-lain.
Pada hakekatnya maka yurisprudensi di negara-negara yang sistem hukumnya
Comman Law seperti di Inggris atau merika Serikat, mempunyai pengertian yang

lebih luas, dimana yurisprudensi berarti ilmu hukum. Sedangkan pengertian


yurisprudensi di Negara-negara Eropa kontinental termasuk kita di Indonesia yang
berdasarkan asas konkordansi juga menganut sistem itu, maka yuriprudensi hanya
berarti putusan pengadilan. Yurisprudensi yang kita maksudkan sebagai putusan
pengadilan, di negara-negara nglo Saxon dinamai preseden.2
Dikaji dari aspek teoritik dan praktik peradilan, pada hakekatnya
yurisprudensi dapat dibagi menjadi 2 (dua) klasiIikasi, yaitu:
. Yurisprudensi (biasa) dimana seluruh putusan pengadilan yang telah bersiIat
'inkracht van gewijsde yaitu telah berkekuatan hukum tetap, seperti
misalnya putusan perdamaian, seluruh putusan Mahkamah gung RI, dan lain
sebagainya.
2. Yurisprudnsi tetap (vaste furisprudentie) yaitu putusan hakim yang selalu
diikuti oleh hakim lain dalam perkara yang sejenis.
Pada asasnya yurisprudensi adalah hukum (fudge made law) dan mempunyai
kekuatan mengikat terhadap para pihak (Pasal KUH Perdata) serta mengikat
berlandaskan asas Res Judicata !roveri ate Habetur.
pabila diperbandingkan secara selintas kekuatan mengikat yurisprudensi
dalam sistem hukum eropa kontinental seperti di Indonesia dan sistem hukum
comman law maka terletak pada tidak terikatnya hakim pada peradilan bawahan
terhadap suatu yurisprudensi pada sistem hukum eropa kontinental seperti Indonesia.

chmad li, enguak Tabir hukum (Suatu kafian Filosofis dan Sosiologis), , PT Toko Buku Gunung gung, cetakan II,
Jakarta, hal. 25

Tegasnya, menurut ProI. Z. sikin Kusumaatmadja, SH maka kekuatan mengikat


yurisprudensi di Indonesia bersiIat '!ersuasive precedent`. Lain halnya di negara-
negara penganut nglo Saxon, dimana dianut adanya sistem 'the binding force of
precedent` atau asas 'stare decisis` atau asas 'stare decisis et quita non movere`.
Secara gradual asas ini mengikat hakim pada yurisprudensi untuk perkara serupa,
dengan isi yurisprudensi yang bersiIat esensial yang disebut ratio decidendi.
Pada asasnya, lembaga preseden dalam sistem hukum Comman law system
menentukan ketentuan-ketentuan hukum itu dikembangkan dalam proses
penerapannya. Hal ini berarti, bahwa ia merupakan hasil karya dari para hakim dan
bukan dari para ahli hukum yang lain, seperti pengajar-pengajar pada perguruan
tinggi, bagaimanapun pandainya mereka ini. Sebaliknya, karya-karya hakim itu hanya
diakui sebagai hukum manakala ia dihasilkan dalam suatu proses pengadilan.
Pendapat seorang hakim yang dinyatakan di luar tugasnya mengadili, bukan
merupakan ketentuan hukum yang sah.3
kan tetapi, walaupun di Indonesia yurisprudensi secara teoritik dan praktik
bersiIat 'persuasieve precedent` akan tetapi dalam praktiknya tidak sedikit
yurisprudensi tersebut dijadikan acuan oleh hakim bawahannya (yudex facti).
Menurut Utrecht ada 3 (tiga) sebab maka seorang hakim menurut keputusan seorang
hakim lain:
. Keputusan hakim mempunyai kekuasaan (gezag) terutama apabila keputusan
itu dibuat oleh Pengadilan Tinggi atau oleh Mahkamah gung...Dapat

3 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Pt. Citra ditya Bakti, Bandung, 2, hal. 3

dikatakan: karena suatu sebab yang psikhologis, maka seorang hakim menurut
keputusan seorang hakim lain yang berkedudukannya lebih tinggi.
2. Di samping sebab yang psikhologis itu ada juga sebab praktis, maka
seseorang hakim menurut keputusan yang telah diberi oleh seorang hakim
yang berkedudukannya lebih tinggi. Bila seorang hakim memberi keputusan
yang isinya berbeda dari pada isi keputusan seorang hakim yang
kedudukannya lebih tinggi, yaitu seorang hakim yang mengawasi pekerjaan
hakim yang disebut pertama, maka sudah tentu pihak yang tidak menerima
keputusan itu akan meminta apel atau revisi, yaitu naik banding. Pihak yang
tidak menerima keputusan tersebut akan meminta perkaranya dapat dibawa
kemuka hakim itu yang kedudukannya lebih tinggi daripada kedudukan hakim
yang telah memutuskan perkaranya, dan yang pernah memberi keputusan
mengenai suatu perkara yang coraknya sama tetapi bunyinya keputusan
berlainan.
3. khirnya, ada sebab: hakim menurut keputusan hakim lain, karena ia
menyetujui isi keputusan hakim lain itu, yang sebab persesuaian pendapat.
D. YURISPRUDENSI MAHKAMAH AGUNG RI DALAM PRAKTIK
PERADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI
Pada dasarnya, walaupun yurisprudensi di Indonesia bersiIat persuasive akan
tetapi peranan dan eksistensinya lazim dijadikan acuan oleh para hakim yudex Iacti
(Pengadilan Negeri/Pengadilan Tinggi). Dengan konteks yang demikian ini maka
yurisprudensi dalam sistem hukum Indonesia di samping membangun, menemukan

dan menciptakan hukum juga bersiIat menjadi pegangan, acuan serta pedoman para
hakim yudex Iacti dan bahkan di tingkat Mahkamah gung (yudex furis) sebagai
'kunci dalam memutus perkara. spek ini misalnya secara tegas dapat dilihat dalam
penanganan Tindak Pidana Korupsi.
Pada dasarnya, yurisprudensi Mahkamah gung RI telah memberi landasan
dan terobosan serta melakukan pergeseran dalam penanganan Tindak Pidana Korupsi
dari pengertian perbuatan melawan hukum yang bersiIat Iormal menjadi yang bersiIat
materiil yang meliputi setiap perbuatan yang melanggar norma-norma dalam
kepatutan masyarakat atau setiap perbuatan yang dianggap tercela oleh masyarakat.
Konkretnya, landasan, terobosan dan pergeseran pengertian 'wederrechtelifk`,
khususnya perbuatan melawan hukum materiil dalam hukum pidana tersebut
mendapat pengaruh kuat dari pengertian perbuatan melawan hukum secara luas dari
hukum perdata melalui arrest Cohen-Lindenbaum tanggal 3 Januari .
Kemudian dalam praktik peradilan khususnya melalui yurisprudensi maka
Mahkamah gung RI juga telah memberikan nuansa baru perbuatan melawan hukum
materiil bukan hanya dibatasi dari fungsi Negatif sebagai alasan peniadaan pidana
guna menghindari pelanggaran asas legalitas maupun penggunaan analogi yang
dilarang oleh hukum pidana. kan tetapi juga Mahkamah gung dengan melalui
yurisprudensinya melakukan pergeseran perbuatan melawan hukum materiil ke arah
fungsi !ositif melalui kretaria limitatiI dan kasuistik berupa perbuatan pelaku yang
tidak memenuhi rumusan delik dipandang dari segi kepentingan hukum yang lebih
tinggi ternyata menimbulkan kerugian yang jauh tidak seimbang bagi

masyarakat/negara dibandingkan dengan keuntungan dari perbuatan pelaku yang


tidak memenuhi rumusan delik tersebut.
Sebagai salah satu contoh yurisprudensi Mahkamah gung RI yang
menerapkan siIat melawan hukum materiil dengan Iungsi negatiI yang bertujuan
menghilangkan alasan penghapus pidana (yang tidak tertulis) adalah dalam Putusan
Mahkamah gung RI Nomor: 42 K/Kr/66 tanggal 8 Januari 66 atas nama
terdakwa Machroes EIIendi dimana Mahkamah gung berpendapat bahwa adanya
tiga Iaktor yang menghapuskan siIat melawan hukum suatu perbuatan. dapun ketiga
pertimbangan tersebut, disebutkan dengan redaksional sebagai berikut:
'bahwa Mahkamah gung pada azasnya dapat membenarkan pendapat dari
Pengadilan Tinggi tersebut, bahwa suatu tindakan pada umumnya dapat hilang
siIatnya sebagai melawan hukum bukan hanya berdasarkan suatu ketentuan dalam
perundang-undangan, melainkan juga berdasarkan azas-azas keadilan atau azas-azas
hukum yang tidak tertulis dan bersiIat umum sebagaimana Pengadilan Tinggi
dianggap ada dalam perkara penggelapan yang Iormil terbukti dilakuikan oleh
terdakwa.
Dengan tolok ukur sebagaimana dimensi di atas, maka berdasarkan kasus
Machroes EIIendi inilah timbul suatu yurisprudensi Mahkamah gung dengan
Nomor: 42 K/Kr/65 tanggal 8 Januari 66 yang jelas menganut azas 'perbuatan
melawan hukum materiil (Materiele Wederrechtelijk-heid) dalam artian NegatiI.
Sedangkan yurisprudensi Mahkamah gung yang berpendirian perbuatan
melawan hukum materiil dalam Iungsi PositiI terdapat dalam perkara Putusan

Nomor: 25 K/Pid/83 tanggal 2 Desember 83 atas nama terdakwa Drs. R.S.


Natalegawa. Pada asasnya, yurisprudensi Mahkamah gung ini pertimbangan
putusannya bersiIat Iuturistis dengan titik tolak penaIsiran yang keliru pengertian
'melawan hukum dari yudex Iacti diidentikan sebagai 'melawan peraturan yang ada
sanksi pidananya, sebagaimana dikatakan dengan redaksional sebagai berikut:
'Menimbang, bahwa menurut Mahkamah gung penaIsiran terhadap sebutan
'melawan hukum tidak tepat, jika hal itu hanya dihubungkan dengan policy
perkreditan direksi yang menurut Pengadilan Negeri tidak melanggar peraturan
hukum yang ada sanksi pidananya, akan tetapi sesuai pendapat yang sudah
berkembang dalam ilmu hukum, seharusnya hal itu diukur berdasarkan asas-asas
hukum tak tertulis, maupun asas-asas yang bersiIat umum menurut kepatutan dalam
masyarakat.
Kemudian, yurisprudensi Mahkamah gung tersebut secara implisit
memberikan pertimbangan bahwa penanganan kasus ini mengacu kepada pengertian
melawan hukum materiil dari Iungsi positiI. spek ini lebih detail dipertimbangkan
dengan redaksional sebagai berikut:
'Menimbang, bahwa menurut kepatutan dalam masyarakat khususnya dalam
perkara-perkara tindak pidana korupsi, apabila seorang pegawai negeri menerima
Iasilitas yang berlebihan serta keuntungan lainnya dari seorang lain dengan maksud
agar pegawai negeri itu menggunakan kekuasaannya atau wewenangnya yang
melekat pada jabatannya secara menyimpang, hal itu sudah merupakan 'perbuatan

melawan hukum, karena menurut kepatutan perbuatan itu merupakan perbuatan


yang tercela atau perbuatan yang menusuk perasaan hati masyarakat banyak.
Pada hakekatnya, pertimbangan putusan Mahkamah gung inilah yang
dianggap sebagai perkembangan interpretasi Iuturistis yang menyelami perasaan
keadilan masyarakat di satu pihak, sedangkan lainnya berpendapat bahwa sejak
putusan itu ajaran siIat melawan hukum materiel telah mempunyai Iungsi positiI.
Fungsi positiI ini, menurut ajaran umum hukum pidana, tidak diperbolehkan karena
akan bertentangan dengan asas legalitas.
E. Eksistensi Yurisprudensi Dikaji Dari Perspektif Teoretis Dan Praktik
Peradilan
Sebagai salah satu sumber hukum Iormal maka yurisprudensi penting
eksistensinya apabila dikorelasikan terhadap tugas hakim. pabila dikaji dari aliran
legisme maka peranan yurisprudensi relatiI kurang penting karena diasumsikan
semua hukum terdapat dalam undang-undang. Oleh karena itu, hakim dalam
melaksanakan tugasnya terikat apa yang ada dalam undang-undang, sehingga
merupakan pelaksana undang-undang.
Sedangkan menurut aliran Freie Rechtsbewegung maka hakim dalam
melaksanakan tugasnya bebas untuk melakukan apa yang ada menurut undang-
undang ataukah tidak. Dimensi ini terjadi karena pekerjaan hakim adalah melakukan
'Rechtsschepping, yaitu melakukan penciptaan hukum. Konsekuensi logisnya, maka
memahami yurisprudensi merupakan hal yang bersiIat substansial di dalam
mempelajari hukum, sedangkan mempelajari undang-undang merupakan hal yang

bersiIat sekunder. Sedangkan terhadap aliran rechtsvinding, peranan yurisprudensi


relatiI penting dan aspek ini diserahkan kepada kebijakan hakim. Menurut aliran ini,
hakim terikat undang-undang akan tetapi tidak seketat aliran legisme karena hakim
memiliki 'kebebasan yang terikat (gebonden Vrijheid) atau 'keterikatan yang
bebas (Vrije Gebondenheid).
Oleh sebab demikian maka tugas hakim disebutkan sebagai melakukan
'Rechtsvinding yang artinya adalah menyelaraskan undang-undang sesuai dengan
tuntutan jaman. Kebebasan yang terikat dan keterikatan yang bebas dapat melalui
pelbagai penaIsiran, seperti penaIsiran undang-undang, analogi (abstraksi),
RechtsverIijning/determinatie yaitu membuat pengkhususan dari suatu asas dalam
undang-undang yang mempunyai arti luas (dari luas ke khusus). Contohnya adalah
arrest H.R. tertanggal 4 Februari 6 mengenai pasal 4 N.B.W (sama dengan
pasal 365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). Didalam keputusan tersebut
Hoge Raad memuat pengkhususan dari azas 'Siapa bersalah (penuh) wajib untuk
mengganti kerugian (penuh), menjadi 'Siapa bersalah sebagian wajib untuk
mengganti kerugian sebagian.





BAB III
KESIMPULAN
Yurisprudensi merupakan sumber hukum dalam artian yang Iormal. Dikaji
dari aspek teoritik maka yurisprudensi penting eksistensinya apabila dikorelasikan
terhadap tugas hakim. Dikaji dari perspektiI aliran legisme maka peranan
yurisprudensi relatiI kurang penting karena diasumsikan semua hukum terdapat
dalam undang-undang. Oleh karena itu, hakim dalam melaksanakan tugasnya terikat
apa yang ada dalam undang-undang, sehingga merupakan pelaksana undang-undang.
Sedangkan menurut aliran Freie Rechtsbewegung maka hakim dalam
melaksanakan tugasnya bebas untuk melakukan apa yang ada menurut undang-
undang ataukah tidak. Dimensi ini terjadi karena karena pekerjaan hakim adalah
melakukan 'Rechtsschepping`, yaitu melakukan penciptaan hukum. Konsekuensi
logisnya, maka memahami yurisprudensi merupakan hal yang bersiIat substansial di
dalam mempelajari hukum, sedangkan mempelajari undang-undang merupakan hal
yang bersiIat sekunder.
Sedangkan terhadap aliran rechtsvinding, peranan yurisprudensi relatiI
penting dan aspek ini diserahkan kepada kebijakan hakim. Menurut aliran ini, hakim
terikat undang-undang akan tetapi tidak seketat aliran legisme karena hakim memiliki
'kebebasan yang terikat (gebonden Jrifheid) atau 'keterikatan yang bebas (Jrife
Gebondenheid). Oleh sebab demikian maka tugas hakim disebutkan sebagai
melakukan 'Rechtsvinding` yang artinya adalah menyelaraskan undang-undang
sesuai dengan tuntutan jaman. Kebebasan yang terikat dan keterikatan yang bebas

dapat melalui pelbagai penaIsiran, seperti penaIsiran undang-undang, analogi


(abstraksi), Rechtsverfifningdeterminatie yaitu membuat pengkhususan dari suatu
asas dalam undang-undang yang mempunyai arti luas (dari luas ke khusus).
Dikaji dari perspektiI praktik peradilan maka kekuatan mengikat
yurisprudensi di Indonesia hanya bersiIat 'persuasive, lain halnya di dalam rumpun
hukum nglo Saxon/Case law yang bersiIat mengikat dengan asas 'the binding Iorce
oI precedent. Mahkamah gung RI telah berulang kali menciptakan yurisprudensi,
khusus terhadap tindak pidana korupsi maka yurisprudensi yang mengartikan
perbuatan melawan hukum yang bersiIat Iormal bergeser kepada pengertian
perbuatan melawan hukum yang bersiIat materiil dengan mengacu kepada kepada
ketentuan hukum perdata dalam Arrest Cohen-Lindenbaum tanggal 3 Januari .
Kemudian terjadi pula, adanya pergeseran perbuatan melawan hukum materiil
dengan Iungsi negatiI yang bertujuan menghilangkan alasan penghapus pidana (yang
tidak tertulis) sebagaimana dalam Putusan Mahkamah gung RI Nomor: 42
K/Kr/66 tanggal 8 Januari 66 atas nama terdakwa Machroes EIIendi. Kemudian
perbuatan melawan hukum materiil dengan Iungsi negatiI ini bergeser menjadi Iungsi
positiI sebagaimana dalam perkara Nomor: 25 K/Pid/83 tanggal 2 Desember
83 dalam perkara Drs. R.S. Natalegawa.



DAFTAR PUSTAKA

O Purnadi Purbacaraka & Soerjono Soekanto, !erundang-undangan dan
Yurisprudensi, lumni, Bandung,
O Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, asyarakat dan !embinaan
Hukum Nasional, Suatu uraian tentang Landasan !ikiran, !ola dan
ekanisme !embaharuan Hukum di Indonesia,Binacipta, Bandung,
6
O Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Pt. Citra ditya Bakti, Bandung, 2

Anda mungkin juga menyukai