dan
Perbuatan Melawan Hukum
Kelompok 3
Agnes Monica
Dyah Puspita Dewi
Muhammad Teguh
Sugi Dharma Putra
Yoga Tamadindri
Dosen
Nining S.H., M.H
314 Reg.A
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain
atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal”.
Perjanjian dapat berupa lisan atau tulisan namun pada masa ini untuk kepentingan
para pihak dan untuk mengurangi kemungkinan adanya kesulitan dalam proses
pembuktian apabila di kemudian hari terjadi sengketa, dalam membuat suatu
perjanjian biasanya dilakukan secara tertulis dalam bentuk kontrak yang
ditandatangani oleh para pihak yang bersangkutan.
Berdasarkan dengan rumusan pasal 1233 kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
yang merupakan pasal pertama dalam buku III Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata tentang perikatan, yang menyatakan bahwa ”Tiap-tiap perikatan dilahirkan
baik karena persetujuan, baik karena Undang-Undang”, selain perjanjian, Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata menentukan bahwa perikatan dapat lahir dari
undang-undang. Dengan pernyataan ini, pembuat undang-undang hendak menyatakan
bahwa hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan dapat terjadi setiap saat,
baik karena dikehendaki oleh pihak yang terkait dalam perikatan tersebut, maupun
secara yang tidak dikehendaki oleh orang perorangan yang terikat (yang wajib
berprestasi) tersebut.
Ketentuan pasal 1233 KUH perdata tersebut, menegaskan bahwa suatu perikatan
bersumber pada 2 hal, yaitu :
1. Persetujuan atau perjanjian.
2. Undang-Undang.
B. Rumusan Masalah
Pasal 1352 KUH Perdata tersebut menentukan bahwa adanya perikatan yang
dilahirkan karena undang-undang sebagai akibat dari perbuatan orang. Sehubungan
dengan hal tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa dari undang-undang saja tidak
akan timbul perikatan. Untuk terjadinya perikatan berdasarkan undang-undang harus
selalu dikaitkan dengan suatu kenyataan atau peristiwa tertentu. Dengan kata lain
untuk timbulnya perikatan selalu disyaratkan terdapatnya kenyataan hukum.
Pembedaan yang dilakukan oleh pasal 1352 KUH Perdata hanya dimaksudkan untuk
menjelaskan bahwa berdasarkan undang-undang dapat timbul perikatan sebagai
akibat perbuatan manusia dan peristiwa hukum. Misalnya, kematian dan kelahiran.
2. Pasal 1353 KUH Perdata, berbunyi :
Perikatan-perikatan yang dilahirkan dari undang-undang sebagai akibat
perbuatan orang, terbit dari perbuatan halal atau dari perbuatan melanggar
hukum.
Ketentuan pasal 1353 KUH Perdata tersebut, membedakan perikatan yang lahir
dari undang-undang sebagai akibat perbuatan manusia menjadi dua, yaitu :
1. Menurut hukum.
2. Melawan hukum.
Rumusan dari pasal 1353 KUH Perdata tersebut, terutama mengenai perikatan yang
timbul dari perbuatan manusia yang menurut hukum, apakah dapat disamakan dengan
suatu perjanjian ? Dari ketentuan pasal 1233 KUH Perdata tersebut di atas, undang-
undang sendiri secara tegas memisahkan perjanjian dari undang-undang maka
tentunya yang dimaksud oleh pembentuk undang-undang adalah perbuatan-perbuatan
yang menurut hukum yang bukan perjanjian.
Ketentuan-ketentuan dari pasal 1352 dan pasal 1353 KUH Perdata tersebut di atas
merupakan dasar dari perikatan yang lahir karena undang-undang, yang juga
merupakan pendahuluan dari ketentuan-ketentuan berikutnya dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata. Ketentuan-ketentuan tersebut, menunjukan adanya tiga
macam sumber perikatan yang lahir karena undang-undang, yaitu :
1. bersumber dari undang-undang saja.
2. bersumber dari undang-undang sebagai akibat perbuatan manusia yang
menurut hukum.
3. bersumber dari undang-undang sebagai akibat perbuatan manusia yang
melawan hukum.
Perikatan yang timbul dari perbuatan yang sesuai dengan hukum ada dua yaitu
wakil tanpa kuasa (zaakwaarneming) diatur dalam Pasal 1354 s/d 1358 KUH perdata
dan pembayran tanpa hutang (onverschulddigde betaling) diatur dalam pasal 1359 s/d
1364 KUH Perdata.
Seseorang yang membayar tanpa adanya utang, berhak menuntut kembali apa
yang telah dibayarkan. Dan yang menerima tanpa hak berkewajiban untuk
mengembalikan. Hal ini sejalan dengan apa yang ada dalam Pasal 1359 KUH Perdata
bahwa setiap pembayaran yang ditujukan untuk melunasi suatu hutang tetapi ternyata
tidak ada hutang, pembayaran yang telah dilakukan itu dapat dituntut kembali.
Menurut Pasal 1362 KUH Perdata bahwa barang siapa dengan itikad buruk
menerima sesuatu pembayaran tanpa hak harus mengembalikan hasil dan bunganya.
Selain itu harus pula membayar ganti rugi jika nilai barangnya menjadi berkurang.
Jika barangnya musnah di luar kesalahannya ia harus mengganti harga barangnya
beserta biaya, kerugian dan bunga kecuali jika ia dapat membuktikan bahwa
barangnya tetap akan musnah sekalipun berada pada pihak yang berhak.
Barang siapa dengan itikad baik menerima pembayaran yang tidak terutang dan
telah menjual barang tersebut maka ia hanya wajib membayar kembali harganya. Jika
ia dengan itikad baik menghadiahkan barangnya kepada orang lain maka ia tidak
wajib mengembalikan apapun. Dalam perikatan pembayaran tanpa utang, tuntutan
kembali atas pembayaran yang telah dilakukan itu disebut conditio indebiti. Tuntutan
semacam ini dapat dilakukn terhadap badan-badan pemerintah, misalnya pembayaran
pajak yang kemudian ternyata tidak ada pajak, maka bisa dilakukan meminta kembali
pembayaran tersebut.
II. Perbuatan Melawan Hukum
Perbuatan Melawan Hukum Terhadap Diri Pribadi Perbuatan melawan hukum yang
ditujukan terhadap diri pribadi orang lain dapat menimbulkan kerugian fisik atau pun
kerugian nama baik (martabat). Kerugian fisik atau jasmani misalnya : cacad tubuh,
luka, memar, dll. Apabila seseorang mengalami luka atau cacat pada salah satu
anggota badan disebabkan karena kesengajaan atau kurang hati-hati pihak lain,
undang-undang memberikan hak kepada korban untuk memperoleh penggantian
biaya pengobatan, ganti kerugian karena luka atau cacat tersebut.
Para pihak yang melakukan perbuatan hukum itu disebut sebagai subjek hukum
yaitu bias manusia sebagai subjek hukum dan juga badan hukum sebagai subjek
hukum. Menurut Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia, maka
yang dimaksud dengan perbuatan melanggar hukum adalah perbuatan yang melawan
hukum yang dilakukan oleh seseorang, yang karena kesalahannya itu telah
menimbulkan kerugian bagi orang lain.
Menurut Rosa Agustina, dalam bukunya Perbuatan Melawan Hukum, terbitan Pasca
Sarjana FH Universitas Indonesia (2003), hal. 117, dalam menentukan suatu perbuatan
dapat dikualifisir sebagai melawan hukum, diperlukan 4 syarat:
1. Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku
2. Bertentangan dengan hak subjektif orang lain
3. Bertentangan dengan kesusilaan
4. Bertentangan dengan kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian.
Bila dilihat dari model pengaturan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
tentang perbuatan melawan hukum lainnya, dan seperti juga di negaranegara dalam
sistem hukum Eropa Kontinental, maka model tanggung jawab hukum di Indonesia
adalah sebagai berikut:
1. Sumber.
Wanprestasi dapat terjadi karena terdapat suatu perjanjian sebelumnya, dengan
demikian untuk menyatakan bahwa seseorang telah melakukan wanprestasi harus
terlebih dahulu terdapat perjanjian yang telah dibuat dan disepakati oleh para pihak.
Wanprestasi dapat terjadi karena terdapat pihak yang ingkar janji atau lalai dalam
melakukan prestasi seperti yang telah disepakati dalam perjanjian. Bentuk-bentuk
wanprestasi diantaranya adalah:
o tidak memenuhi prestasi sama sekali
o terlambat memenuhi prestasi
o memenuhi prestasi namun tidak sempurna
o melakukan perbuatan yang dilarang oleh perjanjian.
Menurut pasal 1866 KUH Perdata, alat-alat bukti dalam perkara perdata terdiri dari:
o Bukti tulisan
o Bukti dengan saksi-saksi
o Persangkaan-persangkaan
o Pengakuan
o Sumpah.
3. Proses Penuntutan.
Seseorang yang dinyatakan melakukan wanprestasi harus terlebih dahulu
dinyatakan dalam keadaan lalai dengan memberikan somasi. Hal ini dituangkan
dalam Pasal 1243 KUHPerdata yang mengatakan: “Penggantian biaya rugi dan bunga
karena tidak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan apabila debitur
setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau jika
sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya dalam tenggang waktu tertentu telah
dilampauinya.”
Maksud “berada dalam keadaan “lalai” ialah peringatan atau pernyataan dari
kreditur tentang saat selambat-lambatnya debitur wajib memenuhi prestasi. Apabila
saat ini dilampauinya, maka debitur telah melakukan wanprestasi. Tuntutan terhadap
perbuatan melawan hukum tidak membutuhkan proses somasi, dengan begitu ketika
perbuatan melawan hukum tersebut dilakukan, maka pihak yang dirugikan dapat
langsung mengajukan tuntutan.
BAB III
KESIMPULAN
Perikatan yang timbul karena Undang-Undang ialah perikatan yang lahir dari
undang undang karena akibat dari perbuatan manusia, jadi bukan orang yang berbuat
itu menetapkan adanya perikatan, melainkan UU yang menetapkan adanya perikatan.
Dalam perikatan yang timbul dari UU, tidak berlaku asas kontrak seperti halnya yang
ada pada perikatan yang timbul dari perjanjian.
Suatu perikatan yang bersumberkan dari perjanjian lahir karena hal tersebut
memang dikehendaki oleh para pihak yang membuat perjanjian sedangkan perikatan
yang bersumberkan dari undang-undang lahir karena kehendak pembuat undang-
undang dan diluar kehendak para pihak yang bersangkutan.
Perbedaannya yang menonjol adalah pada sumbernya, jadi perikatan yang timbul
karena UU walaupun tidak ada kesepakatan antara para pihak, perikatan ini tetap
berlaku. ( tidak berlaku asas kontrak) sedangkan perikatan yang timbul dari
perjanjian, perikatan itu ada apabila sudah ada perjanjian antara para pihak (berlaku
asas kontrak).
· Untuk perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh orgaan badan hukum,
pertanggungjawabnya didasarkan pada Pasal 1365 KUH Perdata.
· Untuk perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh seorang wakil badan hukum
yang mempunyai hubungan kerja dengan badan hukum dapat dipertanggungjawabkan
berdasarkan Pasal 1367 KUH Perdata.
· Untuk perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh organ yang mempunyai
hubungan kerja dengan badan hukum pertanggungjawabnya dapat dipilih antara Pasal
1365 KUH Perdata dan Pasal 1367 KUH
Perdata.
DAFTAR PUSTAKA