Anda di halaman 1dari 20

Perikatan yang Lahir dari Undang-Undang

dan
Perbuatan Melawan Hukum

Kelompok 3
Agnes Monica
Dyah Puspita Dewi
Muhammad Teguh
Sugi Dharma Putra
Yoga Tamadindri

Dosen
Nining S.H., M.H
314 Reg.A
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain
atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal”.
Perjanjian dapat berupa lisan atau tulisan namun pada masa ini untuk kepentingan
para pihak dan untuk mengurangi kemungkinan adanya kesulitan dalam proses
pembuktian apabila di kemudian hari terjadi sengketa, dalam membuat suatu
perjanjian biasanya dilakukan secara tertulis dalam bentuk kontrak yang
ditandatangani oleh para pihak yang bersangkutan.
Berdasarkan dengan rumusan pasal 1233 kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
yang merupakan pasal pertama dalam buku III Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata tentang perikatan, yang menyatakan bahwa ”Tiap-tiap perikatan dilahirkan
baik karena persetujuan, baik karena Undang-Undang”, selain perjanjian, Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata menentukan bahwa perikatan dapat lahir dari
undang-undang. Dengan pernyataan ini, pembuat undang-undang hendak menyatakan
bahwa hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan dapat terjadi setiap saat,
baik karena dikehendaki oleh pihak yang terkait dalam perikatan tersebut, maupun
secara yang tidak dikehendaki oleh orang perorangan yang terikat (yang wajib
berprestasi) tersebut.

Ketentuan pasal 1233 KUH perdata tersebut, menegaskan bahwa suatu perikatan
bersumber pada 2 hal, yaitu :
1. Persetujuan atau perjanjian.
2. Undang-Undang.
B. Rumusan Masalah

I. Perikatan yang lahir dari undang-undang


II. Perbuatan melawan hukum
BAB II
ISI

I. Perikatan yang Lahir dari Undang-Undang

Perikatan yang lahir karena undang-undang, lebih lanjut mendapatkan


pengaturannya dalam :

1. Pasal 1352 KUH Perdata, berbunyi :


Perikatan-perikatan yang dilahirkan demi undang-undang, timbul dari undang-
undang saja, atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang.
Berdasarkan ketentuan pasal 1352 KUH Perdata tersebut, dapat disimpulkan
bahwa perikatan yang lahir karena undang-undang, dapat digolongkan menjadi :

a. Karena undang-undang saja.


b. Karena undang-undang sebagai akibat perbuatan manusia.

Pasal 1352 KUH Perdata tersebut menentukan bahwa adanya perikatan yang
dilahirkan karena undang-undang sebagai akibat dari perbuatan orang. Sehubungan
dengan hal tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa dari undang-undang saja tidak
akan timbul perikatan. Untuk terjadinya perikatan berdasarkan undang-undang harus
selalu dikaitkan dengan suatu kenyataan atau peristiwa tertentu. Dengan kata lain
untuk timbulnya perikatan selalu disyaratkan terdapatnya kenyataan hukum.
Pembedaan yang dilakukan oleh pasal 1352 KUH Perdata hanya dimaksudkan untuk
menjelaskan bahwa berdasarkan undang-undang dapat timbul perikatan sebagai
akibat perbuatan manusia dan peristiwa hukum. Misalnya, kematian dan kelahiran.
2. Pasal 1353 KUH Perdata, berbunyi :
 Perikatan-perikatan yang dilahirkan dari undang-undang sebagai akibat
perbuatan orang, terbit dari perbuatan halal atau dari perbuatan melanggar
hukum.
Ketentuan pasal 1353 KUH Perdata tersebut, membedakan perikatan yang lahir
dari undang-undang sebagai akibat perbuatan manusia menjadi dua, yaitu :
1. Menurut hukum.
2. Melawan hukum.
Rumusan dari pasal 1353 KUH Perdata tersebut, terutama mengenai perikatan yang
timbul dari perbuatan manusia yang menurut hukum, apakah dapat disamakan dengan
suatu perjanjian ? Dari ketentuan pasal 1233 KUH Perdata tersebut di atas, undang-
undang sendiri secara tegas memisahkan perjanjian dari undang-undang maka
tentunya yang dimaksud oleh pembentuk undang-undang adalah perbuatan-perbuatan
yang menurut hukum yang bukan perjanjian.

Ketentuan-ketentuan dari pasal 1352 dan pasal 1353 KUH Perdata tersebut di atas
merupakan dasar dari perikatan yang lahir karena undang-undang, yang juga
merupakan pendahuluan dari ketentuan-ketentuan berikutnya dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata. Ketentuan-ketentuan tersebut, menunjukan adanya tiga
macam sumber perikatan yang lahir karena undang-undang, yaitu :
1. bersumber dari undang-undang saja.
2. bersumber dari undang-undang sebagai akibat perbuatan manusia yang
menurut hukum.
3. bersumber dari undang-undang sebagai akibat perbuatan manusia yang
melawan hukum.
Perikatan yang timbul dari perbuatan yang sesuai dengan hukum ada dua yaitu
wakil tanpa kuasa (zaakwaarneming) diatur dalam Pasal 1354 s/d 1358 KUH perdata
dan pembayran tanpa hutang (onverschulddigde betaling) diatur dalam pasal 1359 s/d
1364 KUH Perdata.

 Perwakilan Sukarela (Zaakwarneming)


Penggunaan istilah zaakwarneming banyak diartikan berbeda-beda antara satu sarjana
dengan sarjana yang lain. Ada yang mengertikan dengan istilah Perwakilan Sukarela,
ada yang mengertikan dengan istilah penyelenggaraan kepentingan dan ada yang
mengertikan wakil tanpa kuasa. Pada dasarnya perbedaan istilah-istilah tersebut
tidaklah penting karena hanya penyebutannya saja yang berbeda tetapi maknanya
sama.

Perbedaan antara wakil tanpa kuasa dengan pemberian kuasa adalah :


– Pada wakil tanpa kuasa, perikatan timbul karena undang-undang,sedangkan pada
pemberian kuasa perikatan timbul karena diperjanjikan sebelumnya.
– Wakil tanpa kuasa tidak berhenti jika orang yang diwakili itu meninggal dunia,
sedangkan pada pemberian kuasa perikatan berhenti jika pemberi kuasa meninggal.
– Pada wakil tanpa kuasa tidak mengenal upah karena dilakukan dengan sukarela
sedangkan pada pemberian kuasa penerima kuasa berhak atas upah karena
diperjanjikan.

Perwakilan sukarela adalah suatu perbuatan dimana seseorang secara sukarela


menyediakan dirinya dengan maksud mengurus kepentingan orang lain dengan
sepengetahuan maupun tanpa sepengetahuan dari yang diurus kepentingannya.
Perwakilan sukarela dapat terjadi biasanya yang diurus kepentingannya itu tidak
ditempat, sakit atau keadaan apapun dimana ia tidak dapat melakukan sendiri
kepentingannya.
Berdasarkan Pasal 1354 KUH Perdata jelas bahwa perwakilan sukarela dapat terjadi
tanpa sepengetahuan orang yang diwakilinya, tetapi pada umumnya dengan
sepengetahuannya.
Untuk adanya perwakilan sukarela disyaratkan bahwa :
1). yang diurus adalah kepentingan orang lain.
2). seorang wakil sukarela harus mengurus kepentingan orang yang diwakilinya
secara sukarela. Maksudnya bahwa ia berbuat atas inisiatif sendiri bukan berdasarkan
kewajiban yang ditimbulkan oleh undangundang atau persetujuan.
3). seorang wakil sukarela harus mengetahui dan menghendaki dalam mengurus
kepentingan orang lain.
4). harus terdapat keadaan yang sedemikian rupa yang membenarkan inisiatifnya
untuk bertindak sebagai wakil sukarela.

Perwakilan sukarela meliputi perbuatan nyata dan perbuatan hukum. Sepanjang


mengenai perbuatan nyata perwakilan sukarela bagi kepentingan orang yang tidak
cakap atau tidak wenang jelas masih mungkin. Sedangkan jika mengenai perbutan
hukum hal itu masih mungkin, sepanjang perbuatan hukum tersebut menurut sifatnya
menurut ketentuan undang-undang tidak dilarang. Karena perikatan ini timbul akrena
undang-undang, maka hak dan kewajiban pihak-pihak juga diatur oleh undang-
undang.

Hak dan kewajiban tersebut dapat adalah :


Hak dan kewajiban yang mewakili yaitu : ia berkewajiban mengerjakan segala
sesuatu yang termasuk urusan itu sampai selesai dengan memberikan
pertanggungjawaban. Apabila yang berkepntingan meninggal dunia yang mengurus
kepentingan itu meneruskan sampai ahli waris orang itu dapat mengoper pengurusan
tersebut (Pasal 1355 KUH Perdata). Yang mengurus kepentingan itu memikul segala
beban biaya atau ongkos-ongkos mengurus kepentingan itu. Yang mengurus
kepentingan berhak atas segala perikatan yang dibuatnya secara pribadi dan
memperoleh penggantian atas segala pengeluaran yang perlu (Pasal 1357 KUH
Perdata). Jika ganti rugi atau pengeluaran itu belum dilunasi oleh yang
berkepentingan, orang yang mewakili berhak menahan benda-benda yang diurusnya
sampai ganti rugi atau pengeluaran itu dilunasi.

Hak dan kewajiban yang diwakili yaitu :


Yang diwakili atau yang berkepentingan berkewajiban memenuhi perikatan yang
dibuat oleh wakil itu atas namanya, membayar ganti kerugian atau pengeluaran yang
telah dipenuhi oleh pihak yang mengurus kepentingan itu (Pasal 1357 KUH Perdata).
Orang yang berkepentingan juga berhak atas keringanan pembayaran ganti kerugian
atau pengeluaran itu, yang disebabkan oleh kesalahan atau kelalaian pihak yang
mengurus kepentingan itu, berdasarkan kepentingan hakim (Pasal 1357 ayat 2 KUH
Perdata). Pihak yang berkepentingan berhak meminta pertanggungjawaban atas
pengurusan kepentingan itu. Dalam perikatan perwakilan sukarena tidak dikenal
upah. Hal ini didasarkan atas Pasal 1358 KUH Perdata. Namun apabila orang yang
berkepentingan membayarkan sejumlah uang kepada orang yang mewakili, maka
pembayaran tersebut hanya didasarkan atas kemanusiaan saja. Karena pada dasarnya
mengurus kepentingan orang lain tidak boleh menagih upah (Pasal 1356 KUH
Perdata).
 Pembayaran yang tidak terutang (onverschulddigde betaling)

Seseorang yang membayar tanpa adanya utang, berhak menuntut kembali apa
yang telah dibayarkan. Dan yang menerima tanpa hak berkewajiban untuk
mengembalikan. Hal ini sejalan dengan apa yang ada dalam Pasal 1359 KUH Perdata
bahwa setiap pembayaran yang ditujukan untuk melunasi suatu hutang tetapi ternyata
tidak ada hutang, pembayaran yang telah dilakukan itu dapat dituntut kembali.

Pembayaran yang dilakukan itu bukanlah bersifat sukarela namun karena


merasa ada kewajiban yang harus dipenuhi yaitu utang. Kekliruan bukanlah syarat
untuk menuntut pengembalian pembayaran yang tidak terutang. Oleh karena itu
seseorang yang dengan sadar membayar tanpa adanya utang berhak menuntut
pengembalian. Jika seseorang karena kekhilafan mengira bahwa ia berutang dan telah
membayar utang tersebut, dapat menuntut kembali apa yang ia telah bayarkan. Hak
untuk menuntut kepada kreditur hilang, jika surat pengakuan utang telah
dimusnahkan setelah terjadinya pembayaran. Sekalipun demikian orang yang telah
membayar berhak untuk menuntut pengembaliannya dari orang yang sebenarnya
berutang (Pasal 1361 KUH Perdata).

Menurut Pasal 1362 KUH Perdata bahwa barang siapa dengan itikad buruk
menerima sesuatu pembayaran tanpa hak harus mengembalikan hasil dan bunganya.
Selain itu harus pula membayar ganti rugi jika nilai barangnya menjadi berkurang.
Jika barangnya musnah di luar kesalahannya ia harus mengganti harga barangnya
beserta biaya, kerugian dan bunga kecuali jika ia dapat membuktikan bahwa
barangnya tetap akan musnah sekalipun berada pada pihak yang berhak.

Barang siapa dengan itikad baik menerima pembayaran yang tidak terutang dan
telah menjual barang tersebut maka ia hanya wajib membayar kembali harganya. Jika
ia dengan itikad baik menghadiahkan barangnya kepada orang lain maka ia tidak
wajib mengembalikan apapun. Dalam perikatan pembayaran tanpa utang, tuntutan
kembali atas pembayaran yang telah dilakukan itu disebut conditio indebiti. Tuntutan
semacam ini dapat dilakukn terhadap badan-badan pemerintah, misalnya pembayaran
pajak yang kemudian ternyata tidak ada pajak, maka bisa dilakukan meminta kembali
pembayaran tersebut.
II. Perbuatan Melawan Hukum

Perbuatan Melawan Hukum Terhadap Diri Pribadi Perbuatan melawan hukum yang
ditujukan terhadap diri pribadi orang lain dapat menimbulkan kerugian fisik atau pun
kerugian nama baik (martabat). Kerugian fisik atau jasmani misalnya : cacad tubuh,
luka, memar, dll. Apabila seseorang mengalami luka atau cacat pada salah satu
anggota badan disebabkan karena kesengajaan atau kurang hati-hati pihak lain,
undang-undang memberikan hak kepada korban untuk memperoleh penggantian
biaya pengobatan, ganti kerugian karena luka atau cacat tersebut.

Perbuatan tidak menyenangkan adalah perbuatan yang bertentangan dengan


kesusilaan, jadi dapat dimasukkan melawan hukum. Termasuk juga penghinaan,
pencemaran nama baik, dll. Tidak termasuk memfitnah, karena memfitnah masuk
kedalam pidana bukan perdata. Memfitnah melanggar ketentuan pasal 314 KUHP dan
perkara ini harus diperiksa dan diputus oleh hakim pidana (Pasal 1373 KUH Perdata).

Perbuatan melawan hukum memiliki ruang lingkup yang lebih luas


dibandingkan dengan perbuatan pidana. Perbuatan melawan hukum tidak hanya
mencakup perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang pidana saja tetapi
juga jika perbuatan tersebut bertentangan dengan undang-undang lainnya dan bahkan
dengan ketentuan-ketentuan hukum yang tidak tertulis. Ketentuan perundang-
undangan dari perbuatan melawan hukum bertujuan untuk melindungi dan
memberikan ganti rugi kepada pihak yang dirugikan.

Para pihak yang melakukan perbuatan hukum itu disebut sebagai subjek hukum
yaitu bias manusia sebagai subjek hukum dan juga badan hukum sebagai subjek
hukum. Menurut Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia, maka
yang dimaksud dengan perbuatan melanggar hukum adalah perbuatan yang melawan
hukum yang dilakukan oleh seseorang, yang karena kesalahannya itu telah
menimbulkan kerugian bagi orang lain.

Menurut Rosa Agustina, dalam bukunya Perbuatan Melawan Hukum, terbitan Pasca
Sarjana FH Universitas Indonesia (2003), hal. 117, dalam menentukan suatu perbuatan
dapat dikualifisir sebagai melawan hukum, diperlukan 4 syarat:
1. Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku
2. Bertentangan dengan hak subjektif orang lain
3. Bertentangan dengan kesusilaan
4. Bertentangan dengan kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian.

Pertanggungjawaban yang harus dilakukan berdasarkan perbuatan melawan hukum


ini merupakan suatu perikatan yang disebabkan dari undang-undang yang
mengaturnya (perikatan yang timbul karena undang-undang).

Seseorang dengan sengaja melakukan sesuatu perbuatan yang menimbulkan


kerugian pada orang lain, maka nampaklah dengan jelas sifat aktif dari istilah
melawan tersebut. Sebaliknya kalau seseorang dengan sengaja tidak melakukan
sesuatu atau diam saja padahal mengetahui bahwa sesungguhnya harus melakukan
sesuatu perbuatan untuk tidak merugikan orang lain atau dengan lain perkataan
bersikap pasif saja, bahkan enggan melakukan kerugian pada orang lain, maka telah
“melawan” tanpa harus menggerakkan badannya. Inilah sifat pasif daripada istilah
melawan.
Pada ilmu hukum dikenal 3 (tiga) kategori perbuatan melawan hukum, yaitu
sebagai berikut:

1. Perbuatan melawan hukum karena kesengajaan


2. Perbuatan melawan hukum tanpa kesalahan (tanpa unsur kesengajaan maupun
kelalaian).
3. Perbuatan melawan hukum karena kelalaian.

Bila dilihat dari model pengaturan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
tentang perbuatan melawan hukum lainnya, dan seperti juga di negaranegara dalam
sistem hukum Eropa Kontinental, maka model tanggung jawab hukum di Indonesia
adalah sebagai berikut:

1. Tanggung jawab dengan unsur kesalahan (kesengajaan dan kelalaian), seperti


terdapat dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia.
2. Tanggung jawab dengan unsur kesalahan, khususnya unsur kelalaian seperti
terdapat dalam Pasal 1366 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia.
3. Tanggung jawab mutlak (tanpa kesalahan) dalam arti yang sangat terbatas
seperti dalam Pasal 1367 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia.
Beberapa definisi lain yang pernah diberikan terhadap perbuatan melawan hukum
adalah sebagai berikut:
1. Tidak memenuhi sesuatu yang menjadi kewajibannya selain dari kewajiban
kontraktual atau kewajiban quasi contractual yang menerbitkan hak untuk
meminta ganti rugi.
2. Suatu perbuatan atau tidak berbuat sesuatu yang mengakibatkan timbulnya
kerugian bagi orang lain tanpa sebelumnya ada suatu hubungan hukum yang
mana perbuatan atau tidak berbuat tersebut, baik merupakan suatu perbuatan
biasa maupun bias juga merupakan suatu kecelakaan.
3. Tidak memenuhi suatu kewajiban yang dibebankan oleh hukum, kewajiban
mana ditujukan terhadap setiap orang pada umumnya, dan dengan tidak
memenuhi kewajibannya tersebut dapat dimintakan suatu ganti rugi.
4. Suatu kesalahan perdata (civil wrong) terhadap mana suatu ganti kerugian dapat
dituntut yang bukan merupakan wanprestasi terhadap kontrak atau wanprestasi
terhadap kewajiban trust ataupun wanprestasi terhadap kewajiban equity
lainnya.
5. Suatu kerugian yang tidak disebabkan oleh wanprestasi terhadap kontrak atau
lebih tepatnya, merupakan suatu perbuatan yang merugikan hak-hak orang lain
yang diciptakan oleh hukum yang tidak terbit dari hubungan kontraktual
6. Sesuatu perbuatan atau tidak berbuat sesuatu yang secara bertentangan dengan
hukum melanggar hak orang lain yang diciptakan oleh hukum dan karenanya
suatu ganti rugi dapat dituntut oleh pihak yang dirugikan.
7. Perbuatan melawan hukum bukan suatu kontrak seperti juga kimia buka suatu
fisika atau matematika.
PERBEDAAN WANPRESTASI DAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM

Wanprestasi dan perbuatan melawan hukum merupakan dua pengaturan dalam


hukum yang seringkali sulit untuk dibedakan oleh kebanyakan orang. Ada yang
menganggap wanprestasi merupakan bagian dari perbuatan melawan hukum dan ada
pula yang menganggap perbuatan melawan hukum adalah bagian dari wanprestasi.
Hal ini merupakan hal yang wajar karena dalam wanprestasi maupun perbuatan
melawan hukum terdapat pihak yang dirugikan dan pihak yang menyebabkan
kerugian tersebut dituntut untuk mengganti kerugian yang disebabkannya.

Pada dasarnya terdapat perbedaan-perbedaan dasar antara wanprestasi dan


perbuatan melawan hukum, yaitu:

1. Sumber.
Wanprestasi dapat terjadi karena terdapat suatu perjanjian sebelumnya, dengan
demikian untuk menyatakan bahwa seseorang telah melakukan wanprestasi harus
terlebih dahulu terdapat perjanjian yang telah dibuat dan disepakati oleh para pihak.
Wanprestasi dapat terjadi karena terdapat pihak yang ingkar janji atau lalai dalam
melakukan prestasi seperti yang telah disepakati dalam perjanjian. Bentuk-bentuk
wanprestasi diantaranya adalah:
o tidak memenuhi prestasi sama sekali
o terlambat memenuhi prestasi
o memenuhi prestasi namun tidak sempurna
o melakukan perbuatan yang dilarang oleh perjanjian.

Perbuatan melawan hukum dapat terjadi karena undang-undang sendiri yang


menentukannya. Dalam pasal 1352 KUHPerdata dinyatakan bahwa:
“Perikatan yang dilahirkan demi undang-undang, bukan karena berdasarkan
perjanjian dan perbuatan melawan hukum merupakan perbuatan manusia yang
ditentukan sendiri oleh undang-undang.”
2. Pembuktian.
Pembuktian adalah usaha untuk meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil-dalil
yang dimuatkan dalam suatu sengketa. Masalah pembuktian diatur dalam buku IV
BW, yaitu Pasal 1865 yang berbunyi: “Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia
mempunyai suatu hak, atau guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah
hak orang lain, menunjukkan pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya
hak atau persitiwa tersebut”.

Menurut pasal 1866 KUH Perdata, alat-alat bukti dalam perkara perdata terdiri dari:

o Bukti tulisan
o Bukti dengan saksi-saksi
o Persangkaan-persangkaan
o Pengakuan
o Sumpah.

Pembuktian dalam wanprestasi berbeda dengan perbuatan melawan hukum.


Wanprestasi berdasarkan perjanjian, maka yang harus dibuktikan di pengadilan
adalah hal-hal apa sajakah yang dilanggar dalam perjanjian oleh tergugat, sedangkan
dalam perbuatan melawan hukum yang harus dibuktikan adalah kesalahan yang telah
diperbuat tergugat sehingga menimbulkan kerugian.

3. Proses Penuntutan.
Seseorang yang dinyatakan melakukan wanprestasi harus terlebih dahulu
dinyatakan dalam keadaan lalai dengan memberikan somasi. Hal ini dituangkan
dalam Pasal 1243 KUHPerdata yang mengatakan: “Penggantian biaya rugi dan bunga
karena tidak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan apabila debitur
setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau jika
sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya dalam tenggang waktu tertentu telah
dilampauinya.”

Maksud “berada dalam keadaan “lalai” ialah peringatan atau pernyataan dari
kreditur tentang saat selambat-lambatnya debitur wajib memenuhi prestasi. Apabila
saat ini dilampauinya, maka debitur telah melakukan wanprestasi. Tuntutan terhadap
perbuatan melawan hukum tidak membutuhkan proses somasi, dengan begitu ketika
perbuatan melawan hukum tersebut dilakukan, maka pihak yang dirugikan dapat
langsung mengajukan tuntutan.
BAB III
KESIMPULAN

Perikatan yang timbul karena Undang-Undang ialah perikatan yang lahir dari
undang undang karena akibat dari perbuatan manusia, jadi bukan orang yang berbuat
itu menetapkan adanya perikatan, melainkan UU yang menetapkan adanya perikatan.
Dalam perikatan yang timbul dari UU, tidak berlaku asas kontrak seperti halnya yang
ada pada perikatan yang timbul dari perjanjian.

Suatu perikatan yang bersumberkan dari perjanjian lahir karena hal tersebut
memang dikehendaki oleh para pihak yang membuat perjanjian sedangkan perikatan
yang bersumberkan dari undang-undang lahir karena kehendak pembuat undang-
undang dan diluar kehendak para pihak yang bersangkutan.

Perbedaannya yang menonjol adalah pada sumbernya, jadi perikatan yang timbul
karena UU walaupun tidak ada kesepakatan antara para pihak, perikatan ini tetap
berlaku. ( tidak berlaku asas kontrak) sedangkan perikatan yang timbul dari
perjanjian, perikatan itu ada apabila sudah ada perjanjian antara para pihak (berlaku
asas kontrak).

· Untuk perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh orgaan badan hukum,
pertanggungjawabnya didasarkan pada Pasal 1365 KUH Perdata.
· Untuk perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh seorang wakil badan hukum
yang mempunyai hubungan kerja dengan badan hukum dapat dipertanggungjawabkan
berdasarkan Pasal 1367 KUH Perdata.
· Untuk perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh organ yang mempunyai
hubungan kerja dengan badan hukum pertanggungjawabnya dapat dipilih antara Pasal
1365 KUH Perdata dan Pasal 1367 KUH
Perdata.
DAFTAR PUSTAKA

Agustina, Rosa 2003 Perbuatan Melawan Hukum,: Pasca Sarjana FH Universitas


Indonesia hal. 117
http://legalstudies71.blogspot.com/2015/09/perikatan-yang-lahir-karena-undang.html
http://juraganmakalah.blogspot.com/2013/03/perikatan-yang-timbul-karena-
undang.html
https://ninyasminelisasih.com/2012/05/31/perbuatan_melawan_hukum/
https://mohmahfudz.wordpress.com/2014/12/15/perikatan-yang-lahir-dari-undang-
undang/

Anda mungkin juga menyukai