Anda di halaman 1dari 34

RESUME

HUKUM PERKAWINAN DIINDONESIA

DISUSUN OLEH :

HUSNI KAMALUDDIN
NIM. SYA. 520718002
DOSEN PENGAMPUH
H. MUHAMMAD ARAFAH IDRUS, MH

JURUSAN SYARIAH

PROGRAM STUDI AKHWAL SYAKHSIYYAH

SEMESTER IV

INSITITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SORONG

TAHUN AKADEMIK 2020 /2021


A. Perkawinan
1. Pengertian Perkawinan
Perkawinan berasal dari kata “kawin” yang menurut bahasa berati
membentuk keluarga dengan lawan jenis, melakukan hubungan kelamin atau
bersetubuh. Berasal dari kata an-nikah yang menurut bahasa berarti
mengumpulkan, saling memasukkan, dan wathi atau bersetubuh.1 Sedangkan
menurut Sayid Sabiq, perkawinan merupakan “satu sunatullah yang berlaku
pada semua makhluk Tuhan, baik manusia, hewan maupun tumbuhan”.2
Berdasarkan Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun1974 Tentang Perkawinan,
Perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.3
Berdasarkan Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam, perkawinan adalah akad
yang sangat kuad (mistaqan ghalidan) untuk mentaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah.4

2. Tujuan Perkawinan:
Adapun tujuan dari perkawinan adalah untuk memenuhi petunjuk
agama dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis, sejahtera dan
bahagia.5 Sedangkan menurut Imam al Ghozali yang dikutip oleh Abdul Rohman
Ghozali, tujuan perkawinan adalah:6
a. mendapatkan dan melangsungkan keturunan
b. memenuhi hajat manusia untuk menyalurkan syahwat dan
menumpahkan kasih sayang
c. memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan
kerusakan

1
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat. (Jakarta: Prenada Media Group, 2003) hal. 8
2
Ibid., hal. 10
3
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum
Islam ( Bandung: Citra Umbara, 2007) hal. 2
4
Ibid..., hal. 228
5
Ghozali, Fiqh Munakahat..., hal. 22
6
ibid., hal. 22
d. menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima
hak serta kewajiban dan untuk memperoleh harta kekeyaan yang
halal
e. membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang
tentram atas dasar cinta dan kasih sayang.

3. Rukun Dan Syarat Perkawinan


Rukun dan syarat menentukan suatu perbuatan hukum, terutama yang
menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum.
Kedua kata tersebut mengandung arti yang sama, dalam hal bahwa keduanya
merupakan sesuatu yang harus diadakan. Sama halnya dengan perkawinan,
sebagai perbuatan hukum, rukun dan syarat perkawinan tidak boleh
ditinggalkan. Perkawinan menjadi tidak sah bila keduanya tidak ada atau tidak
lengkap.
Rukun adalah sesuatu yang harus ada dalam perkawinan, jika salah satu
rukunnya tidak terpenuhi, maka perkawinan tidak akan sah. Rukun perkawinan
diantaranya: calon suami, calon istri, wali dari calon istri, saksi dua orang saksi
dan ijab qabul. Syarat adalah sesuatu yang harus terpenuhi sebelum perkawinan
itu dilakukan.

Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan, ada dua macam syarat-


syarat perkawinan yaitu syarat materiil adalah syarat yang melekat pada diri
masingmasing pihak disebut juga syarat subjektif, dan syarat formal yaitu
mengenai tata cara atau prosedur melangsungkan perkawinan menurut hukum
agama dan undang-undang disebut juga syarat objektif.7
Syarat perkawinan (syarat materiil) diatur dalam Pasal 6 sampai dengan
Pasal 12 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan adalah
sebagai berikut : 8
a. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai (Pasal 6
ayat (1))

7
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia. (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000) hal. 76.
8
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1..., hal. 4-7
b. Pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah
mencapai umur 16 (enam belas) tahun (Pasal 7 ayat (1))
c. Harus mendapat izin masing-masing dari kedua orang tua, kecuali dalam hal-
hal tertentu dan calon pengantin telah berusia 21 tahun atau lebih, atau
mendapat dispensasi dari Pengadilan Agama apabila umur para calon kurang
dari 19 dan 16 tahun (Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 7 ayat (2))
d. Tidak melanggar larangan perkawinan sebagaimana yang diatur dalam Pasal
8 yaitu perkawinan antara dua orang yang :
1) Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah ataupun
keatas.
2) Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara
saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara
seorang dengan saudara neneknya
3) Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan
ibu/bapak tiri.
4) Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara
susuan dan bibi/paman susuan
5) Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau
kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari
seorang
6) Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang
berlaku, dilarang kawin.
e. Seseorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak
dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut dalam Pasal 3 ayat (2)
dan Pasal 4 Undang-undang ini (Pasal 9)
f. Suami isteri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan
bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka di antara mereka tidak boleh
dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum masing-masing agama
dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain
(Pasal 10)
g. Seorang wanita yang perkawinannya terputus untuk kawin lagi telah
lampau tenggang waktu tunggu. (Pasal 11)
Syarat-syarat calon mempelai pria adalah:9
a. Beragama Islam
b. Laki-laki
c. Tidak karena dipaksa
d. Tidak beristri empat orang (termasuk isteri yang dalam iddah raj’i)
e. Bukan mahram perempuan calon isteri f. Tidak mempunyai isteri yang haram
dimadu dengan calon isterinya
g. Mengetahui bahwa calon istri itu tidak haram baginya
h. Tidak sedang berihrom haji atau umrah
i. Jelas orangnya
j. Dapat memberikan persetujuan
k.Tidak terdapat halangan perkawinan

Syarat-syarat calon mempelai perempuan adalah:10


a. Beragama Islam
b. Perempuan
c. Telah mendapat izin dari walinya (kecuali wali mujbir)
d. Tidak bersuami (tidak dalam iddah)
e. Bukan mahram bagi suami f. Belum pernah dili’an (dituduh berbuat zina) oleh
calon suami
g. Jika ia perempuan yang pernah bersuami (janda) harus atas kemauan sendiri,
bukan karena dipaksa
h. Jelas ada orangnya
i. Tidak sedang berihrom haji atau umroh
j. Dapat dimintai persetujuan
k. Tidak terdapat halangan perkawinan.

9
S Munir. Fiqh Syari’ah. (Solo : Amanda, 2007) hal. 34
10
Ibid., hal. 34
Syarat Wali (orang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dalam suatu
akad nikah):11
a. Dewasa dan berakal sehat
b. Laki-laki.
c. Muslim
d. Merdeka
e. Berpikiran baik
f. Adil
g. Tidak sedang melakukan ihram, untuk haji atau umrah.
Syarat-syarat saksi adalah:12
a. Dua orang laki-laki
b. Beragama Islam
c. Sudah dewasa
d. Berakal
e. Merdeka
f. Adil
g. Dapat melihat dan mendengar
h. Faham terhadap bahasa yang digunakan dalam aqad nikah
i. Tidak dalam keadaan ihrom atau haji
Syarat Ijab Qabul:13
a. Adanya pernyataan mengawinkan dari wali
b. Adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai pria
c. Memakai kata-kata nikah atau semacamnya
d. Antara ijab qabul bersambungan
e. Antara ijab qabul jelas maksudnya
f. Orang yang terikat dengan ijab tidak sedang melaksanakan haji atau umrah
g. Majelis ijab dan qabul itu harus dihadiri oleh minimal 4 orang. calon mempelai
pria atau yanSyarat formal adalah syarat yang berhubungan dengan
formalitas-formalitas mengenai pelaksanaan perkawinan.14

11
Soemiyati. Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan. (Yogyakarta: Liberti, 1982)
hal. 43
12
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta : Kencana, 2006) hal. 83
13
Zainudin Ali. Hukum Perdata Islam Di Indonesia ( Jakarta: Sinar Grafika, 2006) hal. 21
Syarat-syarat formal dijelaskan dalam Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang
Perkawinan Pasal 3 ayat (1) yang berbunyi:15
Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan
kehendaknya itu kepada Pegawai Pencatat di tempat perkawinan akan
dilangsungkang mewakili, wali dari mempelai wanita atau yang mewakili dan 2
orang saksi.

4. Syarat Sah Perkawinan


Sah artinya sesuatu yang memenuhi segala rukun dan syaratnya, di
samping tidak adanya halangan. Bila sebaliknya, maka dihukumi sebagai fasad
atau batal. Suatu perbuatan hukum yang sah memilki implikasi hukum berupa
hak dan kewajiban. Demikian pula halnya dengan perbuatan hukum perkawinan.
Dari perkawinan yang sah timbul hak untuk bergaul sebagai suami istri, hak
saling mewarisi, kewajiban menafkahi anak dan istri, dan lain-lain.
Syarat sahnya perkawinan menurut Undang-undang Perkawinan
terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) dan (2) yaitu :16
1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masingmasing
agama dan kepercayaannya itu.
2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Berdasarkan ketentuan pasal 10 ayat
(3) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 disebutkan bahwa “dengan
mengindahkan tata cara perkawinan menurut masing-masing hukum
agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan di hadapan
Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi”17 Maka perkawinan
dianggap sah apabila dilaksanakan menurut hukum agama dan
kepercayaannya masing-masing.

14
Muhamad, Hukum Perdata..., hal. 76.
15
5Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-
Undang Pekawinan
16
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1...., hal. 2
17
Andi Tahir Hamid. Beberapa Hal Baru Tentang Peradilan Agama Dan Bidangnya (Jakarta: Sinar
Grafika, 2005) hal. 18
Maksud dari ketentuan agama dan kepercayaan masing-masing itu termasuk
ketentuan perundang-undangan yang berlaku dalam agamanya dan
kepercayaannya sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam
Undang-Undang ini.
Suatu perkawinan yang dilaksanakan bertentangan dengan ketentuan agama
dengan sendirinya menurut Undang-Undang Perkawinannya dianggap tidak sah
dan tidak mempunyai akibat hukum sebagai ikatan perkawinan.18

B. SUMBER HUKUM ISLAM DIINDONESIA

1. Al-qur’an
2. Al hadits
3. Ijma ulama
4. Ijtihad

C. HUKUM PERKAWINAN ISLAM DIINDONESIA

Dasar-dasar hukum perkawinan terdapat di dalam Pasal 28 B ayat (1)


Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi
“Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan
melalui perkawinan yang sah.”
Berdasarkan apa yang telah diuraikan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar
1945 Pasal 28 B ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 dapat diketahui bahwa
tujuan dan cita-cita negara Indonesia adalah untuk memajukan kesejahteraaan
rakyatnya dengan memberikan hak kepada setiap rakyatnya untuk
mempertahankan kehidupannya yang berarti mempunyai hak untuk
melanjutkan keturunan, dan setiap orang mempunyai hak untuk membentuk
sebuah keluarga dan hal tersebut merupakan hak asasi manusia yang tidak
dapat dikurangi. Dasar hukum perkawinan juga terdapat di dalam

18
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundang-Undangan, Hukum Adat,
Hukum Agama. ( Bandung: Mandar Maju, 1990) hal. 34
Undang Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan diatur pada Bab I tentang
Dasar Perkawinan yang terdiri dari 5 Pasal, yaitu dari Pasal 1 sampai dengan
Pasal 5.
Di dalam Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan mengenai perngertian perkawinan yang menyebutkan bahwa :
“ Ikatan lahir bathin seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
mengenai syarat sahnya suatu perkawinan yang menyebutkan bahwa :
“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayannya itu”
Selain di dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, dasar hukum perkawinan juga terdapat di dalam Pasal 2 sampai
dengan Pasal 10 Kompilasi Hukum Islam. Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam
menyebutkan
“Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat
kuat atau mitsaqon gholiidhan untuk menaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah.” Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam
menyebutkan tujuan dari perkawinan, yang berbunyi “ Perkawinan bertujuan
mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan wa
rahmah.”
Dan di dalam Pasal 4 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan “
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan
Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.”
Perkawinan yang sah menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974 dan Kompilasi
Hukum Islam adalah perkawinan yang dalam pelaksanannya sesuai dengan
hukum agamanya masing-masing, yang berarti di dalam Islam adalah yang
memenuhi segala rukun dan syarat dalam perkawinan. Kemudian tujuan dari
perkawinan itu sendiri adalah untuk membentuk suatu rumah tangga yang
sakidah (tenang/tentram), Mawaddah (cinta/harapan), dan Rahmah (kasih
sayang). Perkawinan atau pernikahan itu adalah sunnatullah artinya perintah
Allah SWT dan Rasulnya, tidak hanya semata-mata keinginan manusia atau hawa
nafsunya saja karena seseorang yang telah berumah tangga berarti ia telah
mengerjakan sebagian dari syariat (aturan) Agama Islam.19
Perkawinan dalam Islam sebagai landasan pokok dalam pembentukan
keluarga. Perkawinan harus dilakukan manusia untuk mencapai tujuan syari’at
yakni kemaslahatan dalam kehidupan.20 Di dalam hukum Islam, dasar-dasar
mengenai perkawinan dapat kita lihat di dalam Al-Quran dan Hadist. Didalam Al-
Quran, dasar-dasar perkawinan diantaranya sebagai berikut :
Surat Ar-Rum ayat 21, disebutkan bahwa :

“Dari sebagian tanda-tanda kekuasaan Allah, yaitu bahwa ia telah


menciptakan untukmu istri-istri dan jenismu sendiri, supaya kamu cenderung
dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih
sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-
tanda bagi kaum yang yang berfikir.”

Surat An-Nuur ayat 32, disebutkan bahwa :


“ Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu,dan
orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang
perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan
karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas pemebrianNya lagi Maha Mengetahui.”

Selain dari Al-Quran, dasar-dasar mengenai perkawinan terdapat juga di dalam


Al-Hadits, diantaranya sebagai berikut :
H.R Bukhari dan Muslim menyebutkan :
“ Wahai para pemuda, barang siapa diantara kamu sekalian yang
mampu kawin, kawinlah. Maka sesungguhnya kawin itu lebih memejamkan
mata (menenangkan pandangan) dan lebih memelihara farji. Barang siapa yang

19
Sidi Nazar Bakri, Kunci Keutuhan Rumah Tangga ( Keluarga Yang Sakinah), Pedoman Ilmu Jaya,
Jakarta, 1993, hlm.3
20
Basiq Djalil, Tebaran Pemikiran Keislaman Di Tanah Gayo, Qolbun Salim, Jakarta, 2007, hlm. 86
belum kuat kawin (sedangkan sudah menginginkannya), berpuasalah karena
puasa itu dapat melemahkan syahwat”
H.R Al-Baihaqi dari sa’ied bin Hilal Allaisyi, menyebutkan bahwa
“Berkawinlah kamu sekalian agar menjadi banyak, karena aku akan
membanggakan kamu sekalian besok dihari kemudian terhadap umat yang
terdahulu”.

Dari ayat dan hadits tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa


perkawinan adalah perintah dari Allah dan Rasulnya, karena perkawinan
merupakan sesuatu yang dasarnya suci dan mulia pada sisi Allah maupun pada
sisi manusia. Dengan melihat kepada hakikat perkawinan itu merupakan akad
yang memperbolehkan laki-laki dan perempuan melakukan sesuatu yang
sebelumnya tidak dibolehkan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ketika
akad perkawinan telah berlangsung, maka pergaulan laki-laki dengan
perempuan menjadi diperbolehkan.

D. UNDANG – UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974

Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan


seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa.
Demikian bunyi ketentuan Pasal 1 Undang-Undang 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan. UU 1 tahun 1974 tentang Perkawinan memiliki pertimbangan
bahwa sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita-cita untuk pembinaan hukum
nasional, perlu adanya Undang-undang tentang Perkawinan yang berlaku bagi
semua warga negara.
Pasal 1 UU Perkawinan dalam penjelasan Pasal demi Pasal dijelaskan bahwa
Perkawinan sangat erat hubungannya dengan kerohanian dan agama.
Penjelasan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 menyebutkan bahwa
sebagai Negara yang berdasarkan Pancasila, dimana Sila yang pertamanya ialah
ke Tuhanan Yang Mahaesa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat
sekali dengan agama/kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai
unsur lahir/jasmani, tetapi unsur bathin/rokhani juga mempunyai peranan yang
penting. Membentuk keluarga yang bahagia rapat hubungan dengan keturunan,
yang pula merupakan tujuan perkawinan, pemeliharaan dan pendidikan menjadi
hak dan kewajiban orang tua.
Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan memiliki prinsip-
prinsip atau azas-azas perkawinan yang telah disesuaikan dengan perkembangan
dan tuntutan zaman. Azas-azas atau prinsip-prinsip dalam UU 1 tahun 1974
tentang Perkawinan adalah:
a. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.
Untuk itu suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi, aear masing-
masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai
kesejahteraan spirituil dan materiil.
b. Dalam Undang-undang ini dinyatakan, bahwa suatu perkawinan adalah sah
bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu; dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap
perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa
penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang
dinyatakan dalam Surat- surat keterangan, suatu akte resmi yang juga dimuat
dalam daftar pencatatan.
c. Undang-undang ini menganut azas monogami. Hanya apabila dikehendaki oleh
yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang bersangkutan
mengizinkannya, seorang suami dapat beristeri lebih dari seorang. Namun
demikian perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang isteri,
meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan, hanya
dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan
diputuskan oleh Pengadilan.
d. Undang-undang ini menganut prinsip, bahwa calon suami-isteri itu harus telah
masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar supaya
dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada
perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat.
Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami-isteri yang
masih dibawah umur.
Disamping itu, perkawinan mempunyai hubungan dengan masalah
kependudukan. Ternyatalah bahwa batas umur yang lebih rendah bagi seorang
wanita untuk kawin, mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi jika
dibandingkan dengan batas umur yang lebih tinggi.
Berhubung dengan itu, maka Undang-undang ini menentukan batas umur untuk
kawin baik bagi pria maupun bagi wanita, ialah 19 (sembilan belas) tahun bagi
pria dan 16 (enam belas) tahun bagi wanita.
e. Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia
kekal dan sejahtera, maka Undang-undang ini menganut prinsip untuk
mempersukar terjadinya perceraian. Untuk memungkinkan perceraian, harus
ada alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan didepan Sidang Pengadilan.
f. Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami
baik dalam kehidupan rumah-tangga maupun dalam pergaulan masyarakat,
sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan
dan diputuskan bersama oleh suami-isteri.
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan disahkan di Jakarta
oleh Presiden Soeharto pada tanggal 2 Januari 1974. Undang-Undang Nomor 1
tahun 1974 tentang Perkawinan diundangkan oleh Menteri/Sekretaris Negara
Sudharmono. SH pada tanggal 2 Januari 1974 di Jakarta.
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan diundangkan dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1. Penjelasan Atas
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan diudnangkan dan
ditempatkan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3019.
Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan diubah dengan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disahkan
Presiden Joko Widodo pada tanggal 14 Oktober 2019 di Jakarta. Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan mulai berlaku setelah diundangkan Plt. Menkumham
Tjahjo Kumolo pada tanggal 15 Oktober 2019 di Jakarta.
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan diubah dengan
Undang-Undang Nomor 16 tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan karena :
1. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia telah mengeluarkan Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-XV/2017 yang salah satu pertimbangan
Mahkamah Konstitusi dalam putusan tersebut yaitu "Namun tatkala
pembedaan perlakuan antara pria dan wanita itu berdampak pada atau
menghalangi pemenuhan hak-hak dasar atau hak-hak konstitusional warga
negara, baik yang termasuk ke dalam kelompok hak-hak sipil dan politik
maupun hak-hak ekonomi, pendidikan, sosial, dan kebudayaan, yang
seharusnya tidak boleh dibedakan semata-mata berdasarkan alasan jenis
kelamin, maka pembedaan demikian jelas merupakan diskriminasi." Dalam
pertimbangan yang sama juga disebutkan Pengaturan batas usia minimal
perkawinan yang berbeda antara pria dan wanita tidak saja menimbulkan
diskriminasi dalam konteks pelaksanaan hak untuk membentuk keluarga
sebagaimana dijamin dalam Pasal 28B ayat (1) UUD 1945, melainkan juga telah
menimbulkan diskriminasi terhadap pelindungan dan pemenuhan hak anak
sebagaimana dijamin dalam Pasal 28B ayat (2) UUD 1945. Dalam hal ini, ketika
usia minimal perkawinan bagi wanita lebih rendah dibandingkan pria, maka
secara hukum wanita dapat lebih cepat untuk membentuk keluarga. Oleh
karena hal tersebut, dalam amar putusannya Mahkamah Konstitusi
memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk dalam jangka waktu
paling lama 3 (tiga) tahun melakukan perubahan terhadap Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
2. Perubahan norma dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan ini menjangkau batas usia untuk melakukan perkawinan,
perbaikan norma menjangkau dengan menaikkan batas minimal umur
perkawinan bagi wanita. Dalam hal ini batas minimal umur perkawinan bagi
wanita dipersamakan dengan batas minimal umur perkawinan bagi pria, yaitu
19 (sembilan belas) tahun. Batas usia dimaksud dinilai telah matang jiwa
raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan agar dapat mewujudkan
tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat
keturunan yang sehat dan berkualitas. Diharapkan juga kenaikan batas umur
yang lebih tinggi dari 16 (enam belas) tahun bagi wanita untuk kawin akan
mengakibatkan laju kelahiran yang lebih rendah dan menurunkan resiko
kematian ibu dan anak. Selain itu juga dapat terpenuhinya hak-hak anak
sehingga mengoptimalkan tumbuh kembang anak termasuk pendampingan
orang tua serta memberikan akses anak terhadap pendidikan setinggi
mungkin.
Hal-hal yang dapat dijadikan untuk melakukan perceraian dijelaskan dalam
Penjelasan Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan, yaitu:
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi dan
lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
b. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun bertutut-turut
tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar
kemauannya;
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman
yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan terhadap pihak yang lain;
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan
tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri;
f. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran
dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah-tangga.
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan diubah dengan
Undang-Undang Nomor 16 tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Perubahan tersebut adalah
mengubah Pasal 7 dan menyisipkan 1 Pasal diantara Pasal 65 dan Pasal 66 yaitu
Pasal 65A, seperti berikut ini:
1. Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 7
1. Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai
umur 19 (sembilan belas) tahun.
2. Dalam hal terjadi penyimpangan terhadap ketentuan umur
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), orang tua pihak pria dan/atau
orang tua pihak wanita dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan
dengan alasan sangat mendesak disertai bukti-bukti pendukung yang
cukup.
3. Pemberian dispensasi oleh Pengadilan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) wajib mendengarkan pendapat kedua belah calon mempelai
yang akan melangsungkan perkawinan.
4. Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan seorang atau kedua orang tua
calon mempelai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) dan ayat
(4) berlaku juga ketentuan mengenai permintaan dispensasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan tidak mengurangi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (6).
2. Di antara Pasal 65 dan Pasal 66 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 65A yang
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 65A
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, permohonan perkawinan yang
telah didaftarkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, tetap dilanjutkan prosesnya sesuai dengan ketentuan Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Diubah
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan diubah oleh Undang-
Undang Nomor 16 tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor
1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
Latar Belakang
Pertimbangan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan adalah
bahwa sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita-cita untuk pembinaan hukum
nasional, perlu adanya Undang-undang tentang Perkawinan yang berlaku bagi
semua warga negara.
Dasar Hukum
Dasar hukum Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan adalah:
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 29 Undang-
Undang Dasar 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1973.21

E. PENCATATAN PERKAWINAN

Perkawinan adalah ikatan lahir dan bathin antara seorang pria dan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal
1 UU Nomor 1 Tahun 1974).
Pencatatan perkawinan adalah pendataan administrasi perkawinan yang
ditangani oleh petugas pencatat perkawinan (PPN) dengan tujuan untuk
menciptakan ketertiban hukum.
Perkawinan yang sah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan
wajib dilaporkan oleh Penduduk kepada Instansi Pelaksana di tempat
terjadinya peristiwa perkawinan paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak
tanggal perkawinan. Pencatatan perkawinan pada prinsipnya merupakan hak
dasar dalam keluarga. Selain itu merupakan upaya perlindungan terhadap
isteri maupun anak dalam memperoleh hak-hak keluarga seperti hak waris dan
lain-lain.
Sebuah perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu (pasal 2 ayat 1 UU
Perkawinan). Ini berarti bahwa jika suatu perkawinan telah memenuhi syarat

21
https://www.jogloabang.com/pustaka/uu-1-1974-perkawinan
dan rukun nikah atau ijab kabul telah dilaksanakan (bagi umat Islam) atau
pendeta/pastur telah melaksanakan pemberkatan atau ritual lainnya (bagi
yang non muslim), maka perkawinan tersebut adalah sah, terutama di mata
agama dan kepercayaan masyarakat.
Karena sudah dianggap sah, akibatnya banyak perkawinan yang tidak
dicatatkan. Bisa dengan alasan biaya yang mahal, prosedur berbelit-belit atau
untuk menghilangkan jejak dan bebas dari tuntutan hukum dan hukuman
adiministrasi dari atasan, terutama untuk perkawinan kedua dan seterusnya
(bagi pegawai negeri dan ABRI). Perkawinan tak dicatatkan ini dikenal dengan
istilah Perkawinan Bawah Tangan (Nikah Siri).
Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan pula bahwa
tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Dalam penjelasan umum disebutkan bahwa pencatatan perkawinan
adalah sama halnya dengan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan
seseorang misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat
keterangan suatu akta resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan.
Perbuatan pencatatan tidak menentukan sahnya suatu perkawinan, tetapi
menyatakan bahwa peristiwa itu memang ada dan terjadi, jadi semata-mata
bersifat administrative (K. Wantjik Saleh, “Hukum Perkawinan di Indonesia”,
Ghalia Indonesia: Jakarta, 1976, hlm. 16)
Merujuk kepada Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) yang menentukan bahwa suatu
perkawinan harus dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya dan dicatatkan menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku, maka ketentuan ini merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat
dipilih keberlakuannya. Apabila hanya memenuhi salah satu ketentuan saja,
maka peristiwa perkawinan tersebut belum memenuhi unsur hukum yang
ditentukan oleh undang-undang.
Pencatatan perkawinan diatur dalam pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9
tahun 1975 yang menyatakan bahwa:

Bagi yang beragama Islam pencatatannya oleh pegawai pencatat sebagaimana


dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatat
Nikah, Talak dan Rujuk.
Bagi mereka yang bukan Islam, pencatatan dilakukan oleh pegawai
pencatat perkawinan pada Kantor Catatan Sipil.
Dengan kata lain bagi mereka yang melakukan perkawinan menurut agama
Islam, pencatatan dilakukan di Kantor Urusan Agama (KUA), pada umumnya
dilaksanaan bersamaan dengan upacara akad nikah karena petugas pencatat
nikah dari KUA hadir dalam acara akad nikah tersebut. Sedang bagi yang
beragama Katholik, Kristen, Budha, Hindu, pencatatan itu dilakukan di Kantor
Catatan Sipil setelah kedua mempelai melakukan pernikahan menurut
agamanya masing- masing. Misalnya bagi mereka yang memeluk agama
Katholik atau Kristen, terlebih dahulu kedua mempelai melakukan prosesi
penikahan di gereja, dengan membawa bukti (surat kawin) dari gereja barulah
pernikahan tersebut dicatatkan di Kantor Catatan Sipil setempat.

1. DASAR HUKUM PENCATATAN PERKAWINAN

Beberapa dasar hukum mengenai pencacatan perkawinan/pernikahan, antara


lain:
UNDANG-UNDANG NO 1 TAHUN 1974 Tentang Perkawinan Pasal 2 Ayat 2
“Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku.”

UNDANG-UNDANG NO 22 TAHUN 1946 Tentang Pencatatan Nikah, Nikah,


Talak dan Rujuk Pasal 1 Ayat 1
“Nikah yang dilakukan menurut agama Islam, selanjutnya disebut nikah,
diawasi oleh Pegawai Pencatat Nikah yang diangkat oleh Menteri Agama atau
pegawai yang ditunjuk olehnya. Talak dan rujuk yang dilakukan menurut
agama Islam selanjutnya disebut talak dan rujuk, diberitahukan kepada
Pegawai Pencatat Nikah.”
Pasal ini memberitahukan legalisasi bahwa supaya nikah, talak, dan
rujuk menurut agama Islam supaya dicatat agar mendapat kepastian hukum.
Dalam Negara yang teratur segala hak-hak yang bersangkut pada dengan
kependudukan harus dicatat, sebagai kelahiran, pernikahan, kematian, dan
sebagainya lagi pada perkawinan perlu di catat ini untuk menjaga jangan
sampai ada kekacauan.
PP NOMOR 9 TAHUN 1975 Tentang Pelaksanaan UU No 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan Bab II
Pasal 2 Ayat 1: Pencatatan Perkawinan dari mereka yang melangsungkan
perkawinannya menurut Agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat
sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 32 tahun 1954 tentang Pencatat
Nikah, Talak, dan Rujuk.
Ayat 2: Pencatatan Perkawinan dari mereka yang melangsungkan
perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain agama Islam
dilakukan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan pada Kantor Catatan Sipil
sebagaiman dimaksud dalam berbagai perundang-undangan mengenai
pencatatan perkawinan.
Ayat 3: Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan yang khusus berlaku
bagi tatacara pencatatan perkawinan berdasarkan berbagai peraturan yang
berlaku, tatacara pencatatn perkawinan dilakukan sebagaimana ditentukan
dalam Pasal 3 sampai Pasal 9 Peraturan Pemerintah.

Pasal 6
Ayat 1: Pegawai Pencatat yang menerima pemberitahuan kehendak
melangsungkan perkawinan, meneliti apakah syarat-syarat perkawinan telah
dipenuhi dan apakah tidak terdapat halangan perkawinan menurut Undang-
undang.
Ayat 2: Selain penelitian terhadap hal sebagai dimaksud dalam ayat (1),
Pegawai Pencatat meneliti pula:
Kutipan Akta Kelahiran atau surat kenal lahir calon mempelai. Dalam hal tidak
ada akta kelahiran atau surat kenal lahir dapat dipergunakan surat keterangan
yang menyatakan umur dan asal-usul calon mempelai yang diberikan oleh
Kepala Desa atau yang setingkat dengan itu;
Keterangan mengenai nama, agama/kepercayaan, pekerjaan, dan tempat
tinggal orang tua calon mempelai;
Izin tertulis/izin Pengadilan sebagai dimaksud dalam pasal 6 ayat (2), (3), (4),
dan (5) Undang-undang, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya
belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun;
Izin Pengadilan sebagi dimaksud pasal 14 Undang-undang; dalam hal calon
mempelai adalah seorang suami yang masih mempunyai isteri;
Dispensasi Pengadilan/Pejabat sebagai dimaksud Pasal 7 ayat (2) Undang-
undang;
Izin kematian isteri atau suami yang terdahuluatau dalam hal perceraian surat
keterangan perceraian, bagi perkawinan untuk kedua kalinya atau lebih;
Izin tertulis dari Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri HANKAM/PANGAB, apabila
salah satu calon mempelai atau keduanya anggota Angkatan Bersenjata; Surat
kuasa otentik atau di bawah tangan yang disahkan Pegawai Pencatat, apabila
salah seorang calon mempelai atau keduanya tidak dapat hadir sendiri karena
sesuatu alasan yang penting, sehingga mewakilkan kepada orang lain.

2. MANFAAT PENCATATAN PERKAWINAN


Ada beberapa manfaat pencatatan pernikahan:

 Mendapat perlindungan hukum

Misalnya dalam hal terjadi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Jika sang
istri mengadu kepada pihak yang berwajib, pengaduannya sebagai istri yang
mendapat tindakan kekerasan tidak akan dibenarkan. Alasannya, karena sang
isteri tidak mampu menunjukkan bukti-bukti otentik akta pernikahan yang
resmi.
 Memudahkan urusan perbuatan hukum lain yang terkait
dengan pernikahan

Akta nikah akan membantu suami isteri untuk melakukan kebutuhan lain yang
berkaitan dengan hukum. Misalnya hendak menunaikan ibadah haji,
menikahkan anak perempuannya yang sulung, pengurusan asuransi kesehatan,
dan lain sebagainya.

 Legalitas formal pernikahan di hadapan hukum

Pernikahan yang dianggap legal secara hukum adalah pernikahan yang dicatat
oleh Petugas Pencatat Nikah (PPN) atau yang ditunjuk olehnya. Karenanya,
walaupun secara agama sebuah pernikahan yang tanpa dicatatkan oleh PPN,
pada dasarnya illegal menurut hukum.

Legalitas formal ini memberikan kepastian hukum bagi keabsahan suatu ikatan
perkawinan bagi suami maupun istri, memberikan kepastian hukum bagi anak-
anak yang akan dilahirkan, mengurus Akta Kelahiran anak-anaknya, mengurus
tunjangan keluarga bagi PNS, TNI/POLRI, BUMN/BUMD dan 
Karyawan
Swasta, mengurus warisan.
Terjamin keamanannya
Sebuah pernikahan yang dicatatkan secara resmi akan terjamin keamanannya
dari kemungkinan terjadinya pemalsuan dan kecurangan lainnya. Misalnya,
seorang suami atau istri hendak memalsukan nama mereka yang terdapat
dalam Akta Nikah untuk keperluan yang menyimpang. Maka, keaslian Akta
Nikah itu dapat dibandingkan dengan salinan Akta Nikah tersebut yang
terdapat di KUA tempat yang bersangkutan menikah dahulu.

Menurut Saidus Syahar (Saidus Syahar, Undang-Undang Perkawinan


dan Masalah Pelaksanaannya Ditinjau Dari Segi Hukum Islam, Bandung:
Alumni, 1981, hlm. 108), pentingnya pendaftaran dan pencatatan perkawinan
adalah;
1. Agar ada kepastian hukum dengan adanya alat bukti yang kuat bagi yang
berkepentingan mengenai perkawinannya, sehingga memnudahkannya dalam
melakukan hubungan dengan pihak ketiga.
2. Agar lebih menjamin ketertiban masyarakat dalam hubungan kekeluargaan
sesuai dengan akhlak dan etika yang dijunjung tinggi oleh masyarakat dan
negara.
3. Agar ketentuan undang-undang yang bertujuan membina perbaikan sosial
(social reform) lebih efektif.
4. Agar nilai-nilai dan norma keagamaan dan kepentingan umum lainnya sesuai
dengan dasar negara Pancasila lebih dapat ditegakkan.

3. AKIBAT HUKUM TIDAK DICATATNYA PERKAWINAN

 Perkawinan Dianggap tidak Sah

Meski perkawinan dilakukan menurut agama dan kepercayaan, namun di mata


negara perkawinan Anda dianggap tidak sah jika belum dicatat oleh Kantor
Urusan Agama atau Kantor Catatan Sipil.

 Anak Hanya Mempunyai Hubungan Perdata dengan Ibu dan


Keluarga Ibu

Anak-anak yang dilahirkan di luar perkawinan atau perkawinan yang tidak


tercatat, selain dianggap anak tidak sah, juga hanya mempunyai hubungan
perdata dengan ibu atau keluarga ibu (Pasal 42 dan 43 Undang-Undang
Perkawinan). Sedang hubungan perdata dengan ayahnya tidak ada.
 Anak dan Ibunya tidak Berhak atas Nafkah dan Warisan

Akibat lebih jauh dari perkawinan yang tidak tercatat adalah, baik isteri
maupun anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut tidak berhak
menuntut nafkah ataupun warisan dari ayahnya.

4. PERSYARATAN DAN PROSEDUR PENCATATAN PERKAWINAN

Pergub No. 93 Tahun 2012 Tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran
Penduduk dan Pencatatan Sipil mengatur secara spesifik sebagai berikut;

 Pencatatan Perkawinan di Daerah

Pasal 65
(1) Perkawinan yang sah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan
bagi mereka yang beragama selain Islam wajib dilaporkan oleh pemohon di
Dinas bagi Orang Asing dan di Suku Dinas bagi WNI.
(2) Pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
selambat-Iambatnya 60 (enam puluh) hari sejak tanggal sahnya perkawinan.
(3) Pelaporan peristiwa perkawinan dieatat dalam register akta perkawinan
dan diterbitkan Kutipan Akta Perkawinan.
(4) Sebagai bukti pencatatan perkawinan kepada suami dan istri diberikan
Kutipan Akta Perkawinan.
(5) Penerbitan Kutipan Akta Perkawinan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
diselesaikan selambat-Iambatnya 14 (empat belas) hari kerja sejak tanggal
pencatatan perkawinan.

Pasal 66
Persyaratan untuk pencatatan dan penerbitan Kutipan Akta Perkawinan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) adalah sebagai berikut:
a.Surat Keterangan dari Lurah sesuai domisili yang bersangkutan;
b.Surat pemberkatan perkawinan dari pemuka agama atau surat perkawinan
Penghayat Kepereayaan yang ditandatangani oleh Pemuka Penghayat
Kepereayaan bagi yang terlambat pelaporannya lebih dari 60 (enam puluh) hari
sejak terjadinya perkawinan;
c. KK dan KTP suami dan istri;
d. Foto berwarna suami dan istri berdampingan ukuran 4 x 6 cm sebanyak 5
(lima) lembar;
e. Kutipan Akta Kelahiran suami dan istri;
f. Kutipan Akta Perceraian atau Kutipan Akta Kematian suami/istri bagi mereka
yang pernah kawin;
g. Pencatatan perkawinan yang tidak memiliki bukti perkawinan dikarenakan
perkawinan adat maka pembuktian perkawinannya harus melalui proses
Penetapan Pengadilan Negeri;
h. Legalisasi dari pemuka agama/pendeta/penghayat kepereayaan di tempat
terjadinya perkawinan bagi peneatatan perkawinan yang melampaui batas
waktu;
i. Dua orang saksi yang memenuhi syarat;
j. Bagi mempelai yang berusia di bawah 21 (dua puluh satu) tahun harus ada
izin dari orang tua;
k. Surat Izin Pengadilan Negeri bagi calon mempelai di bawah usia 21 (dua
puluh satu) tahun, apabila tidak mendapat persetujuan dari orang tua;
l. Surat izin Pengadilan Negeri apabila calon mempelai pria di bawah usia 19
(sembilan belas) tahun dan wanita di bawah usia 16 (enam belas) tahun;
m. Surat Keputusan Pengadilan Negeri yang telah mempunyai kekuatan hukum
yang tetap bila ada sanggahan;
n. Dispensasi Camat apabiia pelaksanaan pencatatan perkawinan kurang dari
sepuluh hari sejak tanggal pengajuan permohonan;
o. Kutipan Akta Kelahiran Anak yang akan disahkan dalam perkawinan, apabila
ada;
p. Pengumuman perkawinan;
q. Akta Perjanjian Perkawinan dari Notaris yang disahkan pada saat pencatatan
perkawinan oleh pegawai pencatat pada Dinas dan Suku Dinas;
r. Surat Izin dari Komandan bagi anggota TNI dan POLRI; dan
s. Bagi Orang Asing melampirkan dokumen
1.Paspor;
2.KITAP/KITAS Dokumen dari imigrasi;
3.SKLD Dokumen dari kepolisian;
4.KTP/KKISKTI/SKDS Dokumen pendaftaran Orang Asing dari Dinas; dan
5.Surat Izin dari Kedutaan/Perwakilan dari Negara Asing.

Pasal 67
(1)Tata cara penerbitan Kutipan Akta Perkawinan WNI sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 65 ayat (4) adalah sebagai berikut:
a. Pemohon mengisi dan menandatangani Formulir Pencatatan Perkawinan
dengan melampirkan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 pada
Suku Dinas (F-2.12);
b. Petugas registrasi melakukan verifikasi, validasi data permohonan dan
mengagendakan permohonan pencatatan perkawinan;
c. Petugas registrasi mengumumkan rencana pelaksanaan pencatatan
perkawinan selama 10 (sepuluh) hari kerja pada papan pengumuman bagi yang
pencatatan perkawinannya kurang dari 10 (sepuluh hari) sejak tanggal
pengajuan permohonan harus dilengkapi dengan Dispensasi Camat;
d. Petugas pencatatan perkawinan melakukan pencatatan perkawinan yang
dihadiri oleh kedua orang mempelai dan dua orang saksi sekaligus
melaksanakan pencatatan pengesahan anak apabila ada anak luar kawin yang
disahkan;
e. Petugas pencatatan perkawinan melakukan pencatatan perkawinan
sekaligus pencatatan pengesahan perjanjian perkawinan apabila ada perjanjian
perkawinan yang disahkan;
f. Petugas registrasi melakukan perekaman data perkawinan ke dalam
database dan mencatat pada register akta perkawinan dan Kutipan Akta
Perkawinan dan membuat catatan pinggir pengesahan anak pada register dan
Kutipan Akta Perkawinan orang tua dan akta kelahiran anak;
g. Petugas registrasi mencatat dalam Buku Daftar Pencatatan Perkawinan
(Bk2.02) dan Buku Pengesahan Anak (Bk3.02);
h. Petugas pencatatan perkawinan melakukan pencatatan perkawinan
sekaligus melaksanakan pencatatan pengesahan perjanjian perkawinan apabila
ada perjanjian perkawinan yang disahkan;
i. Petugas registrasi melakukan perekaman data perkawinan ke dalam data
base dan mencatat pada register akta perkawinan dan Kutipan Akta
Perkawinan yang bersangkutan; dan
j. Petugas registrasi mencatat dalam buku daftar perjanjian perkawinan dan
akta perjanjian perkawinan dari notaris disahkan diberi nomor pengesahan dan
ditandatangani oleh Kepala Dinas.

(2) Tata cara penerbitan Kutipan Akta Perkawinan Orang Asing sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 65 ayat (4) adalah sebagai berikut:
a. Pemohon mengisi dan menandatangani Formulir Pencatatan Perkawinan di
Dinas (F-2.12);
b. Petugas registrasi melakukan verifikasi dan validasi data permohonan dan
mengagendakan permohonan pencatatan perkawinan;
c. Petugas registrasi mengumumkan rencana pelaksanaan pencatatan
perkawinan selama 10 (sepuluh) hari kerja pada papan pengumuman;
d. Petugas registrasi melakukan verifikasi, validasi data permohonan dan
mengagendakan permohonan pencatatan perkawinan:
e. Petugas registrasi mengumumkan rencana pelaksanaan pencatatan
perkawinan pada papan pengumuman;
f. Petugas pencatatan perkawinan melakukan pencatatan perkawinan sekaligus
melaksanakan pencatatan pengesahan anak apabila ada anak luar kawin yang
disahkan;
g. Petugas registrasi melakukan perekaman data perkawinan ke dalam
database dan mencatat pada register akta perkawinan dan Kutipan Akta
Perkawinan dan membuat catatan pinggir pengesahan anak pada register dan
Kutipan Akta Perkawinan orang tua dan akta kelahiran anak;
h. Petugas registrasi mencatat dalam Buku Daftar Pencatatan Perkawinan
(Bk2.02) dan Buku Pengesahan Anak (Bk3.02); dan
i. Kepala Dinas menerbitkan register akta dan 2 (dua) Kutipan Akta Perkawinan.
Pasal 68
(1) Pencatatan perkawinan yang dilaksanakan oleh KUA Kecamatan, data hasil
pencatatannya wajib disampaikan kepada Suku Dinas dalam waktu 10
(sepuluh) hari setelah dilaksanakan.
(2) Suku Dinas melakukan perekaman data hasil pencatatan perkawinan oleh
KUA ke dalam database kependudukan.
(3) Data hasil pencatatan KUA sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak
dimaksudkan untuk penerbitan Kutipan Akta Perkawinan.

5. Pelaporan Pencatatan Perkawinan di Luar Negeri


Pasal 69
(1) Perkawinan yang dilangsungkan di luar negeri antar WNI atau WNI dengan
Orang Asing adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di
negara tempat perkawinan itu dilangsungkan dan tidak bertentangan dengan
hukum yang berlaku di Indonesia.
(2) Perkawinan WNI atau WNI dengan Orang Asing sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan telah memperoleh akta perkawinan dari lembaga yang
berwenang di luar negeri atau dar! Perwakilan Republik Indonesia setempat,
serta wajib dilaporkan oleh yang bersangkutan, keluarga atau kuasa ke Dinas
selambat- lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak yang bersangkutan kembali ke
Indonesia.
(3) Apabila negara setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak
menyelenggarakan pencatatan perkawinan bagi Orang Asing, pencatatan
perkawinan dilakukan pada Perwakilan Republik Indonesia setempat. 

(4) Laporan perkawinan di ·Iuar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dan (3) direkam dalam database kependudukan, dicatat pada daftar register
perkawinan luar negeri dan diterbitkan Surat Keterangan Pelaporan
Perkawinan Luar Negeri.
(5) Penerbitan Surat Pelaporan Perkawinan Luar Negeri sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) diselesaikan selambat-Iambatnya 5 (lima) hari sejak tanggal
diterimanya berkas persyaratan secara lengkap.
Pasal 70
Persyaratan Pelaporan Pencatatan Perkawinan Luar Negeri sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 69 ayat (3) adalah sebagai berikut:
a. Asli dan Fotokopi Sertifikat Akta Perkawinan Luar Negeri Asli dan
terjemahan;
b. Surat Keterangan perkawinan dari perwakilan Republik Indonesia setempat;
c. Asli dan Fotokopi KK dan KTP yang bersangkutan;
d. Asli dan Fotokopi Paspor yang bersangkutan;
e. Asli dan Fotokopi Kutipan Akta Perceraian atau Kutipan Akta Kematian
suamilistri bagi mereka yang pernah kawin;
f. Foto berwarna kedua mempelai berdampingan ukuran 4 x 6 cm sebanyak 2
(dua) lembar; dan
g. Asli dan Fotokopi Kutipan Akta Perkawinan yang bersangkutan.

Pasal 71
Tata cara penerbitan Surat Pelaporan Perkawinan Luar Negeri sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 69 ayat (4) adalah sebagai berikut:
a. Pemohon mengisi dan menandatangani Formulir Pelaporan Pencatatan
Perkawinan Luar Negeri di Dinas (F-2.13);
b. Petugas registrasi Dinas melakukan verifikasi dan validasi data permohonan;
c. Petugas registrasi Dinas mencatat perkawinan luar negeri ke dalam register
perkawinan luar negeri;
d. Petugas registrasi Dinas melakukan perekaman data perkawinan penduduk
di luar negeri ke dalam database;
e. Kepala Dinas menerbitkan Surat Keterangan Pelaporan Perkawinan Luar
Negeri; dan
f. Pemohon menerima Surat Keterangan Pelaporan Perkawinan Luar Negeri
sebagai dasar untuk merubahan dokumen KK dan KTP di Kelurahan.
6. Pencatatan Perkawinan menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2006
Tentang Administrasi Kependudukan.

Pada bulan Desember 2006 Pencatatan Sipil di Indonesia telah


mendapat pengaturan dalam hukum nasional melalui Undang-Undang Nomor
23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Ordonansi-ordonansi yang
sebelumnya mengatur pencatatan sipil di Indonesia dinyatakan tidak berlaku
lagi. Pertimbangan dibentuknya Undang-Undang ini adalah :22
a. Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar 1945 berkewajiban memberikan perlindungan dan pengakuan
terhadap penentuan status pribadi dan status hukum atas setiap peristiwa
kependudukan dan peristiwa penting yang dialami oleh penduduk Indonesia
yang berada di dalam dan/atau di luar wilayah negara Kesatuan Republik
Indonesia.
b. Untuk memberikan perlindungan, pengakuan, penentuan status pribadi dan
status hukum setiap peristiwa kependudukan dan peristiwa penting yang
dialami oleh penduduk Indonesia dan warga negara Indonesia yang berada di
luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, perlu dilakukan pengaturan
tentang Administrasi Kependudukan.
c. Pengaturan tentang Administrasi Kependudukan hanya dapat terlaksana
apabila didukung oleh pelayanan yang profesional dan peningkatan kesadaran
penduduk, termasuk Warga Negara Indonesia yang berada di luar negeri.
d. Peraturan perundang-undangan mengenai Administrasi Kependudukan yang
ada tidak sesuai lagi dengan tuntutan pelayanan Administrasi Kependudukan
yang tertib dan tidak diskriminatif sehingga diperlukan pengaturan secara
menyeluruh untuk menjadi pegangan bagi semua penyelenggara negara yang
berhubungan dengan kependudukan.

Tujuan dibenahinya administrasi kependudukan dengan dibentuknya Undang-


Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan adalah

22
https://estyindra.weebly.com/mkn-journal/pencatatan-perkawinan
agar dapat memberikan pemenuhan hak administratif seperti pelayanan publik
serta perlindungan yang berkaitan dengan dokumen kependudukan tanpa
adanya perlakuan yang diskriminatif.
Undang-Undang Dasar 1945 setelah amandemen ke-empat menjamin setiap
orang berhak untuk membentuk sebuah keluarga dan berketurunan melalui
perkawinan yang sah (pasal 28B). Kemudian pasal 29 ayat (2), negara
menjamin tiap-tiap warga negara untuk menjalankan agama dan
kepercayaannya secara bebas. Berdasarkan hal tersebut, jelas bahwa
perkawinan adalah salah satu hak asasi manusia yang dilindungi Undang-
Undang Dasar dan bersifat non- diskriminatif.

Ada yang menganggap bahwa tidak diakomodirnya perkawinan beda agama


dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan adalah tidak
sesuai dengan penegakkan hak asasi manusia, apalagi kenyataan membuktikan
bahwa negara yang rakyatnya sangat heterogen seperti Indonesia, sering
terjadi perkawinan beda agama, meskipun jika dilaksanakan itu tidak sah
menurut undang-undang perkawinan. Hal itu berkaitan dengan sifat manusia
yang kadang punya seribu satu macam keinginan. Maka dengan berbagai latar
belakang tersebut, dibentuklah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006
tentang Administrasi Kependudukan.

Melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 khususnya pasal 35


huruf a, hukum positif di Indonesia membuka kemungkinan pengakuan
terhadap perkawinan beda agama di Indonesia, dengan cara memohon
penetapan pengadilan yang menjadi dasar dapat dicatatkannya perkawinan
beda agama di Kantor Catatan Sipil. Keabsahan perkawinan akan dinilai oleh
Hakim Pengadilan Negeri dimana permohonan diajukan.
Perlindungan dan pengakuan atas status pribadi dan status hukum setiap
peristiwa kependudukan dan semua peristiwa penting yang dialami oleh
penduduk yang berada di dalam wilayah Indonesia, adalah diberikan oleh
negara. Perkawinan merupakan satu peristiwa penting berkaitan dengan status
hukum seseorang, dan merupakan hak sipil warga negara. Pencatatan
perkawinan adalah tindakan administratif dan bukan syarat sahnya
perkawinan, tetapi tetap sangat penting untuk dilakukan, karena merupakan
bukti autentik terhadap status hukum seseorang. Wujudnya adalah berupa
buku nikah atau akta perkawinan, yang menunjukkan perkawinan telah benar-
benar terjadi dan sah secara hukum.23

Persoalannya, meskipun setiap perkawinan harus dicatatkan, tetapi undang-


undang mewajibkan perkawinan itu harus disyahkan oleh agama terlebih
dahulu. Ini dikarenakan, sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974, Indonesia tidak lagi mengenal apa yang disebut sebagai perkawinan sipil.
Perkawinan di Indonesia harus dilaksanakan dengan tata cara menurut agama
para pihak yang melaksanakan perkawinan. Konsekuensi dari ketentuan ini,
pencatatan perkawinan menjadi persoalan tersendiri, sebab tidak semua
pasangan yang akan melaksanakan perkawinan, agamanya sama. Ada
pasangan yang agamanya berbeda, sehingga menimbulkan kesulitan, karena
undang-undang melarang perkawinan beda agama, sementara mereka kadang
tetap pada agamanya masing- masing. Tanpa adanya pengesahan dari otoritas
agama, otoritas KUA dan otoritas catatan sipil sebagai lembaga pencatat
perkawinan tidak dapat mencatat perkawinan tersebut.

Oleh karenanya banyak pihak yang sengaja mencari celah agar bisa
melaksanakan perkawinan meskipun berbeda agama. Caranya adalah dengan
penyelundupan hukum dengan cara perkawinan dilaksanakan dua kali
menurut masing-masing agama para pihak yang kawin, penundukan pada salah
satu agama, atau melaksanakan perkawinan diluar negeri. Semuanya
mempunyai konsekuensi masing-masing. Sehingga, untuk mencegah adanya
usaha menyeludupkan hukum dengan cara-cara tadi, maka perkawinan beda
agama dicoba diakomodir dengan dibentuknya Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan tersebut.

23
https://estyindra.weebly.com/mkn-journal/pencatatan-perkawinan
Mengenai ketentuan pencatatan perkawinan menurut Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, ketentuan
selengkapnya sebagai berikut:

Pasal 1 angka 17 :
Peristiwa penting adalah kejadian yang dialami oleh seseorang meliputi
kelahiran, kematian, lahir mati, PERKAWINAN, perceraian, pengakuan anak,
pengesahan anak, pengangkatan anak, perubahan nama, dan perubahan
status kewarganegaraan.24
Ketentuan Pencatatan Perkawinan Beda Agama
Apabila diperhatikan lebih lanjut, ada satu pasal yang mengakomodir
pencatatan perkawinan beda agama, yaitu pasal 35 huruf a. Pasal tersebut
ditujukan untuk mengakomodir perkawinan beda agama yang selama ini sulit
dilaksanakan. Tetapi sebenarnya ketentuan tersebut kontroversial dan
mengundang perdebatan. Sebagai contohnya adalah apa yang
dipermasalahkan di bawah ini.
Pasal 35 huruf a Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Adminitrasi
Kependudukan berbunyi: “Pencatatan perkawinan berlaku pula bagi
Perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan.”

Penjelasannya bahwa yang dimaksud dengan perkawinan yang ditetapkan oleh


pengadilan adalah perkawinan yang dilakukan antar umat yang berbeda
agama.
Ada pendapat yang menyatakan bahwa sampai dengan pasal 35 dan 36
dari undang-undang ini, dapat dimengerti dan dapat diterima akal. Tetapi
menjadi janggal kalau membaca penjelasan pasal 35 a, yang bunyinya tidak
bisa diterima bila dihubungkan dengan pasal 2 ayat 1 dan pasal 8 huruf f
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Ungkapan yang dikemukakan diatas,
memperlihatkan bahwa suatu penjelasan atas suatu pasal dari suatu undang-

24
https://estyindra.weebly.com/mkn-journal/pencatatan-perkawinan
undang, menghapuskan atau membatalkan suatu ketentuan atau bunyi dari
suatu pasal undang-undang yang lain.

Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 berbunyi:
”Perkawinan


adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu.”

Dalam Penjelasan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974


terhadap perumusan pasal 2 diatas: tidak ada perkawinan diluar hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Yang dimaksud dengan
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan
perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan
kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain
dalam Undang-undang ini.
Sedangkan bunyi penjelasan pasal 35 huruf a Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2006 mengizinkan perkawinan beda agama dan mendaftarkannya.
Masyarakat dan rakyat Indonesia telah mengetahui dan memaklumi,
bahwa, sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, suatu
perkawinan diantara pasangan yang berbeda agama adalah dilarang, tetapi
dengan adanya penjelasan dari pasal 35 huruf a Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2006, seakan-akan perkawinan beda agama dibolehkan asal melalui
penetapan pengadilan. Ini merupakan kontroversi yang ada diantara peraturan
perundang-undangan yang mengatur masalah pencatatan perkawinan. Tetapi
meskipun ada kontroversi dan ada yang memperdebatkan ketentuan pasal 35
huruf a Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan tersebut, namun ketentuan itu telah menjadi hukum positif di
Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai