DISUSUN OLEH :
HUSNI KAMALUDDIN
NIM. SYA. 520718002
DOSEN PENGAMPUH
H. MUHAMMAD ARAFAH IDRUS, MH
JURUSAN SYARIAH
SEMESTER IV
2. Tujuan Perkawinan:
Adapun tujuan dari perkawinan adalah untuk memenuhi petunjuk
agama dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis, sejahtera dan
bahagia.5 Sedangkan menurut Imam al Ghozali yang dikutip oleh Abdul Rohman
Ghozali, tujuan perkawinan adalah:6
a. mendapatkan dan melangsungkan keturunan
b. memenuhi hajat manusia untuk menyalurkan syahwat dan
menumpahkan kasih sayang
c. memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan
kerusakan
1
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat. (Jakarta: Prenada Media Group, 2003) hal. 8
2
Ibid., hal. 10
3
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum
Islam ( Bandung: Citra Umbara, 2007) hal. 2
4
Ibid..., hal. 228
5
Ghozali, Fiqh Munakahat..., hal. 22
6
ibid., hal. 22
d. menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima
hak serta kewajiban dan untuk memperoleh harta kekeyaan yang
halal
e. membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang
tentram atas dasar cinta dan kasih sayang.
7
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia. (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000) hal. 76.
8
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1..., hal. 4-7
b. Pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah
mencapai umur 16 (enam belas) tahun (Pasal 7 ayat (1))
c. Harus mendapat izin masing-masing dari kedua orang tua, kecuali dalam hal-
hal tertentu dan calon pengantin telah berusia 21 tahun atau lebih, atau
mendapat dispensasi dari Pengadilan Agama apabila umur para calon kurang
dari 19 dan 16 tahun (Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 7 ayat (2))
d. Tidak melanggar larangan perkawinan sebagaimana yang diatur dalam Pasal
8 yaitu perkawinan antara dua orang yang :
1) Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah ataupun
keatas.
2) Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara
saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara
seorang dengan saudara neneknya
3) Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan
ibu/bapak tiri.
4) Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara
susuan dan bibi/paman susuan
5) Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau
kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari
seorang
6) Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang
berlaku, dilarang kawin.
e. Seseorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak
dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut dalam Pasal 3 ayat (2)
dan Pasal 4 Undang-undang ini (Pasal 9)
f. Suami isteri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan
bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka di antara mereka tidak boleh
dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum masing-masing agama
dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain
(Pasal 10)
g. Seorang wanita yang perkawinannya terputus untuk kawin lagi telah
lampau tenggang waktu tunggu. (Pasal 11)
Syarat-syarat calon mempelai pria adalah:9
a. Beragama Islam
b. Laki-laki
c. Tidak karena dipaksa
d. Tidak beristri empat orang (termasuk isteri yang dalam iddah raj’i)
e. Bukan mahram perempuan calon isteri f. Tidak mempunyai isteri yang haram
dimadu dengan calon isterinya
g. Mengetahui bahwa calon istri itu tidak haram baginya
h. Tidak sedang berihrom haji atau umrah
i. Jelas orangnya
j. Dapat memberikan persetujuan
k.Tidak terdapat halangan perkawinan
9
S Munir. Fiqh Syari’ah. (Solo : Amanda, 2007) hal. 34
10
Ibid., hal. 34
Syarat Wali (orang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dalam suatu
akad nikah):11
a. Dewasa dan berakal sehat
b. Laki-laki.
c. Muslim
d. Merdeka
e. Berpikiran baik
f. Adil
g. Tidak sedang melakukan ihram, untuk haji atau umrah.
Syarat-syarat saksi adalah:12
a. Dua orang laki-laki
b. Beragama Islam
c. Sudah dewasa
d. Berakal
e. Merdeka
f. Adil
g. Dapat melihat dan mendengar
h. Faham terhadap bahasa yang digunakan dalam aqad nikah
i. Tidak dalam keadaan ihrom atau haji
Syarat Ijab Qabul:13
a. Adanya pernyataan mengawinkan dari wali
b. Adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai pria
c. Memakai kata-kata nikah atau semacamnya
d. Antara ijab qabul bersambungan
e. Antara ijab qabul jelas maksudnya
f. Orang yang terikat dengan ijab tidak sedang melaksanakan haji atau umrah
g. Majelis ijab dan qabul itu harus dihadiri oleh minimal 4 orang. calon mempelai
pria atau yanSyarat formal adalah syarat yang berhubungan dengan
formalitas-formalitas mengenai pelaksanaan perkawinan.14
11
Soemiyati. Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan. (Yogyakarta: Liberti, 1982)
hal. 43
12
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta : Kencana, 2006) hal. 83
13
Zainudin Ali. Hukum Perdata Islam Di Indonesia ( Jakarta: Sinar Grafika, 2006) hal. 21
Syarat-syarat formal dijelaskan dalam Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang
Perkawinan Pasal 3 ayat (1) yang berbunyi:15
Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan
kehendaknya itu kepada Pegawai Pencatat di tempat perkawinan akan
dilangsungkang mewakili, wali dari mempelai wanita atau yang mewakili dan 2
orang saksi.
14
Muhamad, Hukum Perdata..., hal. 76.
15
5Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-
Undang Pekawinan
16
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1...., hal. 2
17
Andi Tahir Hamid. Beberapa Hal Baru Tentang Peradilan Agama Dan Bidangnya (Jakarta: Sinar
Grafika, 2005) hal. 18
Maksud dari ketentuan agama dan kepercayaan masing-masing itu termasuk
ketentuan perundang-undangan yang berlaku dalam agamanya dan
kepercayaannya sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam
Undang-Undang ini.
Suatu perkawinan yang dilaksanakan bertentangan dengan ketentuan agama
dengan sendirinya menurut Undang-Undang Perkawinannya dianggap tidak sah
dan tidak mempunyai akibat hukum sebagai ikatan perkawinan.18
1. Al-qur’an
2. Al hadits
3. Ijma ulama
4. Ijtihad
18
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundang-Undangan, Hukum Adat,
Hukum Agama. ( Bandung: Mandar Maju, 1990) hal. 34
Undang Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan diatur pada Bab I tentang
Dasar Perkawinan yang terdiri dari 5 Pasal, yaitu dari Pasal 1 sampai dengan
Pasal 5.
Di dalam Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan mengenai perngertian perkawinan yang menyebutkan bahwa :
“ Ikatan lahir bathin seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
mengenai syarat sahnya suatu perkawinan yang menyebutkan bahwa :
“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayannya itu”
Selain di dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, dasar hukum perkawinan juga terdapat di dalam Pasal 2 sampai
dengan Pasal 10 Kompilasi Hukum Islam. Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam
menyebutkan
“Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat
kuat atau mitsaqon gholiidhan untuk menaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah.” Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam
menyebutkan tujuan dari perkawinan, yang berbunyi “ Perkawinan bertujuan
mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan wa
rahmah.”
Dan di dalam Pasal 4 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan “
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan
Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.”
Perkawinan yang sah menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974 dan Kompilasi
Hukum Islam adalah perkawinan yang dalam pelaksanannya sesuai dengan
hukum agamanya masing-masing, yang berarti di dalam Islam adalah yang
memenuhi segala rukun dan syarat dalam perkawinan. Kemudian tujuan dari
perkawinan itu sendiri adalah untuk membentuk suatu rumah tangga yang
sakidah (tenang/tentram), Mawaddah (cinta/harapan), dan Rahmah (kasih
sayang). Perkawinan atau pernikahan itu adalah sunnatullah artinya perintah
Allah SWT dan Rasulnya, tidak hanya semata-mata keinginan manusia atau hawa
nafsunya saja karena seseorang yang telah berumah tangga berarti ia telah
mengerjakan sebagian dari syariat (aturan) Agama Islam.19
Perkawinan dalam Islam sebagai landasan pokok dalam pembentukan
keluarga. Perkawinan harus dilakukan manusia untuk mencapai tujuan syari’at
yakni kemaslahatan dalam kehidupan.20 Di dalam hukum Islam, dasar-dasar
mengenai perkawinan dapat kita lihat di dalam Al-Quran dan Hadist. Didalam Al-
Quran, dasar-dasar perkawinan diantaranya sebagai berikut :
Surat Ar-Rum ayat 21, disebutkan bahwa :
19
Sidi Nazar Bakri, Kunci Keutuhan Rumah Tangga ( Keluarga Yang Sakinah), Pedoman Ilmu Jaya,
Jakarta, 1993, hlm.3
20
Basiq Djalil, Tebaran Pemikiran Keislaman Di Tanah Gayo, Qolbun Salim, Jakarta, 2007, hlm. 86
belum kuat kawin (sedangkan sudah menginginkannya), berpuasalah karena
puasa itu dapat melemahkan syahwat”
H.R Al-Baihaqi dari sa’ied bin Hilal Allaisyi, menyebutkan bahwa
“Berkawinlah kamu sekalian agar menjadi banyak, karena aku akan
membanggakan kamu sekalian besok dihari kemudian terhadap umat yang
terdahulu”.
E. PENCATATAN PERKAWINAN
Perkawinan adalah ikatan lahir dan bathin antara seorang pria dan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal
1 UU Nomor 1 Tahun 1974).
Pencatatan perkawinan adalah pendataan administrasi perkawinan yang
ditangani oleh petugas pencatat perkawinan (PPN) dengan tujuan untuk
menciptakan ketertiban hukum.
Perkawinan yang sah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan
wajib dilaporkan oleh Penduduk kepada Instansi Pelaksana di tempat
terjadinya peristiwa perkawinan paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak
tanggal perkawinan. Pencatatan perkawinan pada prinsipnya merupakan hak
dasar dalam keluarga. Selain itu merupakan upaya perlindungan terhadap
isteri maupun anak dalam memperoleh hak-hak keluarga seperti hak waris dan
lain-lain.
Sebuah perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu (pasal 2 ayat 1 UU
Perkawinan). Ini berarti bahwa jika suatu perkawinan telah memenuhi syarat
21
https://www.jogloabang.com/pustaka/uu-1-1974-perkawinan
dan rukun nikah atau ijab kabul telah dilaksanakan (bagi umat Islam) atau
pendeta/pastur telah melaksanakan pemberkatan atau ritual lainnya (bagi
yang non muslim), maka perkawinan tersebut adalah sah, terutama di mata
agama dan kepercayaan masyarakat.
Karena sudah dianggap sah, akibatnya banyak perkawinan yang tidak
dicatatkan. Bisa dengan alasan biaya yang mahal, prosedur berbelit-belit atau
untuk menghilangkan jejak dan bebas dari tuntutan hukum dan hukuman
adiministrasi dari atasan, terutama untuk perkawinan kedua dan seterusnya
(bagi pegawai negeri dan ABRI). Perkawinan tak dicatatkan ini dikenal dengan
istilah Perkawinan Bawah Tangan (Nikah Siri).
Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan pula bahwa
tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Dalam penjelasan umum disebutkan bahwa pencatatan perkawinan
adalah sama halnya dengan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan
seseorang misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat
keterangan suatu akta resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan.
Perbuatan pencatatan tidak menentukan sahnya suatu perkawinan, tetapi
menyatakan bahwa peristiwa itu memang ada dan terjadi, jadi semata-mata
bersifat administrative (K. Wantjik Saleh, “Hukum Perkawinan di Indonesia”,
Ghalia Indonesia: Jakarta, 1976, hlm. 16)
Merujuk kepada Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) yang menentukan bahwa suatu
perkawinan harus dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya dan dicatatkan menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku, maka ketentuan ini merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat
dipilih keberlakuannya. Apabila hanya memenuhi salah satu ketentuan saja,
maka peristiwa perkawinan tersebut belum memenuhi unsur hukum yang
ditentukan oleh undang-undang.
Pencatatan perkawinan diatur dalam pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9
tahun 1975 yang menyatakan bahwa:
Pasal 6
Ayat 1: Pegawai Pencatat yang menerima pemberitahuan kehendak
melangsungkan perkawinan, meneliti apakah syarat-syarat perkawinan telah
dipenuhi dan apakah tidak terdapat halangan perkawinan menurut Undang-
undang.
Ayat 2: Selain penelitian terhadap hal sebagai dimaksud dalam ayat (1),
Pegawai Pencatat meneliti pula:
Kutipan Akta Kelahiran atau surat kenal lahir calon mempelai. Dalam hal tidak
ada akta kelahiran atau surat kenal lahir dapat dipergunakan surat keterangan
yang menyatakan umur dan asal-usul calon mempelai yang diberikan oleh
Kepala Desa atau yang setingkat dengan itu;
Keterangan mengenai nama, agama/kepercayaan, pekerjaan, dan tempat
tinggal orang tua calon mempelai;
Izin tertulis/izin Pengadilan sebagai dimaksud dalam pasal 6 ayat (2), (3), (4),
dan (5) Undang-undang, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya
belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun;
Izin Pengadilan sebagi dimaksud pasal 14 Undang-undang; dalam hal calon
mempelai adalah seorang suami yang masih mempunyai isteri;
Dispensasi Pengadilan/Pejabat sebagai dimaksud Pasal 7 ayat (2) Undang-
undang;
Izin kematian isteri atau suami yang terdahuluatau dalam hal perceraian surat
keterangan perceraian, bagi perkawinan untuk kedua kalinya atau lebih;
Izin tertulis dari Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri HANKAM/PANGAB, apabila
salah satu calon mempelai atau keduanya anggota Angkatan Bersenjata; Surat
kuasa otentik atau di bawah tangan yang disahkan Pegawai Pencatat, apabila
salah seorang calon mempelai atau keduanya tidak dapat hadir sendiri karena
sesuatu alasan yang penting, sehingga mewakilkan kepada orang lain.
Misalnya dalam hal terjadi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Jika sang
istri mengadu kepada pihak yang berwajib, pengaduannya sebagai istri yang
mendapat tindakan kekerasan tidak akan dibenarkan. Alasannya, karena sang
isteri tidak mampu menunjukkan bukti-bukti otentik akta pernikahan yang
resmi.
Memudahkan urusan perbuatan hukum lain yang terkait
dengan pernikahan
Akta nikah akan membantu suami isteri untuk melakukan kebutuhan lain yang
berkaitan dengan hukum. Misalnya hendak menunaikan ibadah haji,
menikahkan anak perempuannya yang sulung, pengurusan asuransi kesehatan,
dan lain sebagainya.
Pernikahan yang dianggap legal secara hukum adalah pernikahan yang dicatat
oleh Petugas Pencatat Nikah (PPN) atau yang ditunjuk olehnya. Karenanya,
walaupun secara agama sebuah pernikahan yang tanpa dicatatkan oleh PPN,
pada dasarnya illegal menurut hukum.
Legalitas formal ini memberikan kepastian hukum bagi keabsahan suatu ikatan
perkawinan bagi suami maupun istri, memberikan kepastian hukum bagi anak-
anak yang akan dilahirkan, mengurus Akta Kelahiran anak-anaknya, mengurus
tunjangan keluarga bagi PNS, TNI/POLRI, BUMN/BUMD dan
Karyawan
Swasta, mengurus warisan.
Terjamin keamanannya
Sebuah pernikahan yang dicatatkan secara resmi akan terjamin keamanannya
dari kemungkinan terjadinya pemalsuan dan kecurangan lainnya. Misalnya,
seorang suami atau istri hendak memalsukan nama mereka yang terdapat
dalam Akta Nikah untuk keperluan yang menyimpang. Maka, keaslian Akta
Nikah itu dapat dibandingkan dengan salinan Akta Nikah tersebut yang
terdapat di KUA tempat yang bersangkutan menikah dahulu.
Akibat lebih jauh dari perkawinan yang tidak tercatat adalah, baik isteri
maupun anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut tidak berhak
menuntut nafkah ataupun warisan dari ayahnya.
Pergub No. 93 Tahun 2012 Tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran
Penduduk dan Pencatatan Sipil mengatur secara spesifik sebagai berikut;
Pasal 65
(1) Perkawinan yang sah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan
bagi mereka yang beragama selain Islam wajib dilaporkan oleh pemohon di
Dinas bagi Orang Asing dan di Suku Dinas bagi WNI.
(2) Pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
selambat-Iambatnya 60 (enam puluh) hari sejak tanggal sahnya perkawinan.
(3) Pelaporan peristiwa perkawinan dieatat dalam register akta perkawinan
dan diterbitkan Kutipan Akta Perkawinan.
(4) Sebagai bukti pencatatan perkawinan kepada suami dan istri diberikan
Kutipan Akta Perkawinan.
(5) Penerbitan Kutipan Akta Perkawinan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
diselesaikan selambat-Iambatnya 14 (empat belas) hari kerja sejak tanggal
pencatatan perkawinan.
Pasal 66
Persyaratan untuk pencatatan dan penerbitan Kutipan Akta Perkawinan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) adalah sebagai berikut:
a.Surat Keterangan dari Lurah sesuai domisili yang bersangkutan;
b.Surat pemberkatan perkawinan dari pemuka agama atau surat perkawinan
Penghayat Kepereayaan yang ditandatangani oleh Pemuka Penghayat
Kepereayaan bagi yang terlambat pelaporannya lebih dari 60 (enam puluh) hari
sejak terjadinya perkawinan;
c. KK dan KTP suami dan istri;
d. Foto berwarna suami dan istri berdampingan ukuran 4 x 6 cm sebanyak 5
(lima) lembar;
e. Kutipan Akta Kelahiran suami dan istri;
f. Kutipan Akta Perceraian atau Kutipan Akta Kematian suami/istri bagi mereka
yang pernah kawin;
g. Pencatatan perkawinan yang tidak memiliki bukti perkawinan dikarenakan
perkawinan adat maka pembuktian perkawinannya harus melalui proses
Penetapan Pengadilan Negeri;
h. Legalisasi dari pemuka agama/pendeta/penghayat kepereayaan di tempat
terjadinya perkawinan bagi peneatatan perkawinan yang melampaui batas
waktu;
i. Dua orang saksi yang memenuhi syarat;
j. Bagi mempelai yang berusia di bawah 21 (dua puluh satu) tahun harus ada
izin dari orang tua;
k. Surat Izin Pengadilan Negeri bagi calon mempelai di bawah usia 21 (dua
puluh satu) tahun, apabila tidak mendapat persetujuan dari orang tua;
l. Surat izin Pengadilan Negeri apabila calon mempelai pria di bawah usia 19
(sembilan belas) tahun dan wanita di bawah usia 16 (enam belas) tahun;
m. Surat Keputusan Pengadilan Negeri yang telah mempunyai kekuatan hukum
yang tetap bila ada sanggahan;
n. Dispensasi Camat apabiia pelaksanaan pencatatan perkawinan kurang dari
sepuluh hari sejak tanggal pengajuan permohonan;
o. Kutipan Akta Kelahiran Anak yang akan disahkan dalam perkawinan, apabila
ada;
p. Pengumuman perkawinan;
q. Akta Perjanjian Perkawinan dari Notaris yang disahkan pada saat pencatatan
perkawinan oleh pegawai pencatat pada Dinas dan Suku Dinas;
r. Surat Izin dari Komandan bagi anggota TNI dan POLRI; dan
s. Bagi Orang Asing melampirkan dokumen
1.Paspor;
2.KITAP/KITAS Dokumen dari imigrasi;
3.SKLD Dokumen dari kepolisian;
4.KTP/KKISKTI/SKDS Dokumen pendaftaran Orang Asing dari Dinas; dan
5.Surat Izin dari Kedutaan/Perwakilan dari Negara Asing.
Pasal 67
(1)Tata cara penerbitan Kutipan Akta Perkawinan WNI sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 65 ayat (4) adalah sebagai berikut:
a. Pemohon mengisi dan menandatangani Formulir Pencatatan Perkawinan
dengan melampirkan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 pada
Suku Dinas (F-2.12);
b. Petugas registrasi melakukan verifikasi, validasi data permohonan dan
mengagendakan permohonan pencatatan perkawinan;
c. Petugas registrasi mengumumkan rencana pelaksanaan pencatatan
perkawinan selama 10 (sepuluh) hari kerja pada papan pengumuman bagi yang
pencatatan perkawinannya kurang dari 10 (sepuluh hari) sejak tanggal
pengajuan permohonan harus dilengkapi dengan Dispensasi Camat;
d. Petugas pencatatan perkawinan melakukan pencatatan perkawinan yang
dihadiri oleh kedua orang mempelai dan dua orang saksi sekaligus
melaksanakan pencatatan pengesahan anak apabila ada anak luar kawin yang
disahkan;
e. Petugas pencatatan perkawinan melakukan pencatatan perkawinan
sekaligus pencatatan pengesahan perjanjian perkawinan apabila ada perjanjian
perkawinan yang disahkan;
f. Petugas registrasi melakukan perekaman data perkawinan ke dalam
database dan mencatat pada register akta perkawinan dan Kutipan Akta
Perkawinan dan membuat catatan pinggir pengesahan anak pada register dan
Kutipan Akta Perkawinan orang tua dan akta kelahiran anak;
g. Petugas registrasi mencatat dalam Buku Daftar Pencatatan Perkawinan
(Bk2.02) dan Buku Pengesahan Anak (Bk3.02);
h. Petugas pencatatan perkawinan melakukan pencatatan perkawinan
sekaligus melaksanakan pencatatan pengesahan perjanjian perkawinan apabila
ada perjanjian perkawinan yang disahkan;
i. Petugas registrasi melakukan perekaman data perkawinan ke dalam data
base dan mencatat pada register akta perkawinan dan Kutipan Akta
Perkawinan yang bersangkutan; dan
j. Petugas registrasi mencatat dalam buku daftar perjanjian perkawinan dan
akta perjanjian perkawinan dari notaris disahkan diberi nomor pengesahan dan
ditandatangani oleh Kepala Dinas.
(2) Tata cara penerbitan Kutipan Akta Perkawinan Orang Asing sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 65 ayat (4) adalah sebagai berikut:
a. Pemohon mengisi dan menandatangani Formulir Pencatatan Perkawinan di
Dinas (F-2.12);
b. Petugas registrasi melakukan verifikasi dan validasi data permohonan dan
mengagendakan permohonan pencatatan perkawinan;
c. Petugas registrasi mengumumkan rencana pelaksanaan pencatatan
perkawinan selama 10 (sepuluh) hari kerja pada papan pengumuman;
d. Petugas registrasi melakukan verifikasi, validasi data permohonan dan
mengagendakan permohonan pencatatan perkawinan:
e. Petugas registrasi mengumumkan rencana pelaksanaan pencatatan
perkawinan pada papan pengumuman;
f. Petugas pencatatan perkawinan melakukan pencatatan perkawinan sekaligus
melaksanakan pencatatan pengesahan anak apabila ada anak luar kawin yang
disahkan;
g. Petugas registrasi melakukan perekaman data perkawinan ke dalam
database dan mencatat pada register akta perkawinan dan Kutipan Akta
Perkawinan dan membuat catatan pinggir pengesahan anak pada register dan
Kutipan Akta Perkawinan orang tua dan akta kelahiran anak;
h. Petugas registrasi mencatat dalam Buku Daftar Pencatatan Perkawinan
(Bk2.02) dan Buku Pengesahan Anak (Bk3.02); dan
i. Kepala Dinas menerbitkan register akta dan 2 (dua) Kutipan Akta Perkawinan.
Pasal 68
(1) Pencatatan perkawinan yang dilaksanakan oleh KUA Kecamatan, data hasil
pencatatannya wajib disampaikan kepada Suku Dinas dalam waktu 10
(sepuluh) hari setelah dilaksanakan.
(2) Suku Dinas melakukan perekaman data hasil pencatatan perkawinan oleh
KUA ke dalam database kependudukan.
(3) Data hasil pencatatan KUA sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak
dimaksudkan untuk penerbitan Kutipan Akta Perkawinan.
Pasal 71
Tata cara penerbitan Surat Pelaporan Perkawinan Luar Negeri sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 69 ayat (4) adalah sebagai berikut:
a. Pemohon mengisi dan menandatangani Formulir Pelaporan Pencatatan
Perkawinan Luar Negeri di Dinas (F-2.13);
b. Petugas registrasi Dinas melakukan verifikasi dan validasi data permohonan;
c. Petugas registrasi Dinas mencatat perkawinan luar negeri ke dalam register
perkawinan luar negeri;
d. Petugas registrasi Dinas melakukan perekaman data perkawinan penduduk
di luar negeri ke dalam database;
e. Kepala Dinas menerbitkan Surat Keterangan Pelaporan Perkawinan Luar
Negeri; dan
f. Pemohon menerima Surat Keterangan Pelaporan Perkawinan Luar Negeri
sebagai dasar untuk merubahan dokumen KK dan KTP di Kelurahan.
6. Pencatatan Perkawinan menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2006
Tentang Administrasi Kependudukan.
22
https://estyindra.weebly.com/mkn-journal/pencatatan-perkawinan
agar dapat memberikan pemenuhan hak administratif seperti pelayanan publik
serta perlindungan yang berkaitan dengan dokumen kependudukan tanpa
adanya perlakuan yang diskriminatif.
Undang-Undang Dasar 1945 setelah amandemen ke-empat menjamin setiap
orang berhak untuk membentuk sebuah keluarga dan berketurunan melalui
perkawinan yang sah (pasal 28B). Kemudian pasal 29 ayat (2), negara
menjamin tiap-tiap warga negara untuk menjalankan agama dan
kepercayaannya secara bebas. Berdasarkan hal tersebut, jelas bahwa
perkawinan adalah salah satu hak asasi manusia yang dilindungi Undang-
Undang Dasar dan bersifat non- diskriminatif.
Oleh karenanya banyak pihak yang sengaja mencari celah agar bisa
melaksanakan perkawinan meskipun berbeda agama. Caranya adalah dengan
penyelundupan hukum dengan cara perkawinan dilaksanakan dua kali
menurut masing-masing agama para pihak yang kawin, penundukan pada salah
satu agama, atau melaksanakan perkawinan diluar negeri. Semuanya
mempunyai konsekuensi masing-masing. Sehingga, untuk mencegah adanya
usaha menyeludupkan hukum dengan cara-cara tadi, maka perkawinan beda
agama dicoba diakomodir dengan dibentuknya Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan tersebut.
23
https://estyindra.weebly.com/mkn-journal/pencatatan-perkawinan
Mengenai ketentuan pencatatan perkawinan menurut Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, ketentuan
selengkapnya sebagai berikut:
Pasal 1 angka 17 :
Peristiwa penting adalah kejadian yang dialami oleh seseorang meliputi
kelahiran, kematian, lahir mati, PERKAWINAN, perceraian, pengakuan anak,
pengesahan anak, pengangkatan anak, perubahan nama, dan perubahan
status kewarganegaraan.24
Ketentuan Pencatatan Perkawinan Beda Agama
Apabila diperhatikan lebih lanjut, ada satu pasal yang mengakomodir
pencatatan perkawinan beda agama, yaitu pasal 35 huruf a. Pasal tersebut
ditujukan untuk mengakomodir perkawinan beda agama yang selama ini sulit
dilaksanakan. Tetapi sebenarnya ketentuan tersebut kontroversial dan
mengundang perdebatan. Sebagai contohnya adalah apa yang
dipermasalahkan di bawah ini.
Pasal 35 huruf a Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Adminitrasi
Kependudukan berbunyi: “Pencatatan perkawinan berlaku pula bagi
Perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan.”
24
https://estyindra.weebly.com/mkn-journal/pencatatan-perkawinan
undang, menghapuskan atau membatalkan suatu ketentuan atau bunyi dari
suatu pasal undang-undang yang lain.