Oleh :
B. Resti Nurhayati
ii
6. Kualifikasi Analitis/Otonom………………………………………………. 24
7. Kualifikasi HPI………………………………………………………… …. 25
8. Simpulan dan Evaluasi…………………………………………………….. 25
BAB V Titik Taut
1. Pendahuluan………………………………………………………………. 27
2. Pengertian Titik Taut……………………………………………………… 27
3. Titik Pertalian Primer……………………………………………………… 28
4. Titik Pertalian Sekunder……………………………………………………. 28
5. Jenis-Jenis Titik Taut dalam HPI………………………………………….. 28
6. Simpulan dan Evaluasi…………………………………………………….. 30
BAB VI Renvoi
1. Pendahuluan……………………………………………………………….. 32
2. Pengertian Renvoi………………………………………………………….. 32
3. Macam-macam Renvoi…………………………………………………….. 33
4. Foreign Court Theory……………………………………………………... 34
5. Simpulan dan Evaluasi……………………………………….…………….. 35
BAB VII Persoalan Pendahuluan
1. Pendahuluan………………………………………………………………… 37
2. Pengertian Persoalan Pendahuluan…………………………………………. 37
3. Cara-cara Penyelesaian Persoalan Pendahuluan……………………………. 38
4. Pengertian Penyesuaian……………………………………………………… 39
5. Simpulan dan Evaluasi…………………….………………………………… 40
BAB VIII Ketertiban Umum dan Hak-Hak yang Diperoleh
1. Pendahuluan………………………………………………………………… 42
2. Pengertian Ketertiban Umum……………………………………………….. 42
3. Fungsi Ketertiban Umum…………………………………………………… 43
4. Pemakaian Ketertiban Umum………………………………………………. 43
5. Pengertian Hak-hak yang Diperoleh (Vested Right)……………………….. 44
6. Penerapan Doktrin Ketertiban Umum dan Vested Right…………………… 44
7. Hubungan antara Ketertiban Umum dan Hak-hak yang Diperoleh………… 45
8. Simpulan dan Evaluasi……………………………………………………… 45
iii
BAB IX Pilihan Hukum dan Penyelundupan Hukum
1. Pendahuluan……………………………………………………………… 47
2. Pengertian Pilihan Hukum………………………………………………... 47
3. Pembatasan dalam Melakukan Pilihan Hukum…………………………… 48
4. Cara Melakukan Pilihan Hukum………………………………………….. 49
5. Hukum yang Berlaku dalam Kontrak Dagang Internasional……………… 51
6. Pengertian Penyelundupan Hukum………………………………………... 52
7. Akibat Penyelundupan Hukum……………………………………………. 53
8. Simpulan dan Evaluasi……………………………………………………... 53
BAB X AZAS NASIONALITAS DAN DOMISILI
1. Pendahuluan................................................................................................... 55
2. Ruang Lingkup Status Personal..................................................................... 56
3. Pengertian Asas Nasionalitas dan Domisili.................................................... 56
4. Alasan Pendukung Prinsip Nasionalitas……………………………………. 57
5. Alasan Pendukung Prinsip Domisili……………………………………….. 58
6. Simpulan dan Evaluasi……………………………………………………… 60
iv
Buku Ajar Hukum Perdata Internasional
B.Resti Nurhayati, SH.,MHum. – Fakultas Hukum Unika Soegijapranata Semarang
BAB I
PENGERTIAN HUKUM PERDATA INTERNASIONAL
Bahasan :
1. Pengertian / definisi Hukum Perdata Internasional
2. Sifat Hukum Perdata Internasional
3. Tiga masalah pokok dalam Hukum Perdata Internasional
A. PENDAHULUAN
Hubungan antar manusia tidak hanya terbatas pada hubungan antara
orang-orang yang memiliki kewarganegaraan yang sama, tetapi juga dengan
orang-orang yang memiliki kewarganegaraan yang berbeda. Hubungan antar
orang di dalam hukum, terlebih hubungan dengan warga negara asing memang
tidak hanya semata-mata merupakan objek hukum internasional yang berada
dalam wilayah hukum publik, tetapi juga masuk dalam wilayah hukum privat.
Di wilayah privatnya, perhubungan antara orang-orang yang berbeda
kewarganegaraannya seringkali timbul kesulitan. Salah satu kesulitan tersebut
adalah karena hukum yang harus diberlakukan menjadi lebih kompleks, yakni
tidak hanya hukum privat atau hukum perdata Indonesia saja, tetapi mungkin juga
diberlakukannya hukum perdata asing, mengingat terdapatnya subjek hukum
asing dalam perkara tersebut. Oleh karena itu menarik untuk mengetahui lebih
lanjut tentang apa yang dimaksud dengan hukum perdata internasional, objek
penelaahan hukum perdata internasional, dan persoalan-persoalan penting apa
yang mungkin muncul dalam hukum perdata internasional.
Sebelum mempelajari bab ini, mahasiwa harus telah menempuh mata
kuliah Hukum Perdata, Hukum Bisnis, dan Hukum Internasional. Mahasiswa
sebaiknya membaca referensi yang dirujuk dalam buku ini serta buku-buku terkait
1
Buku Ajar Hukum Perdata Internasional
B.Resti Nurhayati, SH.,MHum. – Fakultas Hukum Unika Soegijapranata Semarang
2
Buku Ajar Hukum Perdata Internasional
B.Resti Nurhayati, SH.,MHum. – Fakultas Hukum Unika Soegijapranata Semarang
hukum lain, baik karena aspek teritorialitas atau personalitas, dan karena itu, dapat
menimbulkan masalah pemberlakuan hukum sendiri atau hukum lain (biasanya
hukum asing) untuk memutuskan perkara, atau menimbulkan masalah
pelaksanaan yurisdiksi pengadilan sendiri atau pengadilan asing.
Sedangkan van Brakel menyebutkan bahwa Hukum Perdata Internasional
adalah hukum nasional yang ditulis (diadakan) untuk hubungan-hubungan hukum
internasional (Bayu Seto, 1992 : 5).
J.G. Sauveplane (Bayu Seto, 1992 : 5) menyebutkan bahwa Hukum
Perdata Internasional adalah keseluruhan aturan-aturan yang mengatur hubungan-
hubungan hukum privat yang mengandung elemen-elemen internasional dan
hubungan-hubungan hukum yang memiliki kaitan dengan negara-negara asing,
sehingga dapat menimbulkan pertanyaan apakah penundukan langsung ke arah
hukum nasional dapat selalu dibenarkan.
G.C. Chesire (Bayu Seto, 1992 : 5) menyebutkan bahwa Hukum Perdata
Internasional adalah bagian dari hukum yang mulai beroperasi dalam hal pokok
perkara yang dihadapi pengadilan menyangkut suatu fakta, peristiwa, atau
transaksi yang berkaitan erat dengan suatu sistem hukum asing sehingga sistem
hukum asing itu tidak dapat begitu saja diabaikan.
Sudargo Gautama (1987 : 21) merumuskan Hukum Perdata Internasional
sebagai keseluruhan peraturan dan keputusan-hukum yang menunjukkan stelsel-
hukum manakah yang berlaku atau apakah yang merupakan hukum, jika
hubungan-hubungan dan peristiwa-peristiwa antara warga (warga) negara pada
suatu waktu tertentu memperlihatkan titik-titik-pertalian dengan stelsel-stelsel dan
kaidah-kaidah hukum dari dua atau lebih negara, yang berbeda lingkungan-
lingkungan-kuasa-tempat, (pribadi), dan soal-soal.
Secara umum diterima pandangan bahwa Hukum Perdata Internasional
adalah seperangkat kaidah-kaidah hukum nasional yang mengatur peristiwa yang
mengatur peristiwa atau hubungan hukum yang mengandung unsur trans nasional
atau unsur ekstra-teritorial.
Meskipun HPI dan Hukum Internasional publik sama-sama mengatur
hubungan atau persoalan yang melintas batas negara, namun terdapat perbedaan
3
Buku Ajar Hukum Perdata Internasional
B.Resti Nurhayati, SH.,MHum. – Fakultas Hukum Unika Soegijapranata Semarang
4
Buku Ajar Hukum Perdata Internasional
B.Resti Nurhayati, SH.,MHum. – Fakultas Hukum Unika Soegijapranata Semarang
E. INGAT
Hukum Perdata Internasional adalah hukum yang mengatur hubungan
hukum perdata antara pelaku hukum yang masing-masing tunduk pada
hukum perdata (nasional) yang berbeda.
Hubungan-hubungan, fakta, atau materi yang timbul dalam peristiwa
hukum Perdata Internasional memang mengandung unsur asing. Meskipun
terdapat unsur asing, namun Hukum Perdata Internasional bersifat
nasional, karena hukum yang diberlakukan untuk menyelesaikan perkara
tersebut (sumber hukumny) adalah hukum nasional.
Terdapat tiga persoalan pokok dalam Hukum Perdata Internasional, yakni
mengenai hakim yang berwenang menyelesaikan perkara, hukum yang
harus diterapkan, dan kewenangan yurisdiksional dalam memutus perkara.
F. EVALUASI
1. Jelaskan apakah yang dimaksud dengan Hukum Perdata Internasional?
2. Jelaskan apakah perbedaan dan persamaan antara Hukum Perdata
Internasional dan Hukum Internasional publik?
5
Buku Ajar Hukum Perdata Internasional
B.Resti Nurhayati, SH.,MHum. – Fakultas Hukum Unika Soegijapranata Semarang
G. DAFTAR PUSTAKA
Bayu Seto 1992, Dasar-Dasar Hukum Perdata Internasional, Citra Aditya Bakti,
Bandung.
6
Buku Ajar Hukum Perdata Internasional
B. Resti Nurhayati, SH.,MHum. – Fakultas Hukum Unika Soegijapranata Semarang
BAB II
SEJARAH PERKEMBANGAN HUKUM PERDATA INTERNASIONAL
Bahasan :
1. Sejarah Perkembangan HPI di Indonesia
2. Sumber-sumber HPI di Indonesia
3. Sejarah Umum Perkembangan HPI
A. PENDAHULUAN
Kaidah Hukum Perdata Internasional di Indonesia, tidak terkumpul dalam
satu undang-undang. Sampai saat ini, Indonesia tidak/belum memiliki peraturan
perundang-undangan yang semata-mata mengatur bidang hukum perdata
internasional, tetapi peraturan yang ada terpencar dan tersebar dalam berbagai
peraturan /undang-undang. Contohnya : dalam Undang-Undang tentang
Penanaman Modal Asing, Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan
Dasar Pokok-Pokok Agraria, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, Undang-Undang No. 26 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, dan
sebagainya.
Bahkan dalam undang-undang yang telah disebut di atas, pengaturan itupun
tidaklah disebut secara tegas, tetapi hanya menjadi bagian dan tersebar dalam
undang-undang tersebut. Justru kitalah yang harus menelusuri, mencari,
menafsirkan pasal manakah yang dapat diterapkan atau digunakan untuk
menyelesaikan sebuah peristiwa yang bersifat Hukum Perdata internasional.
7
Buku Ajar Hukum Perdata Internasional
B. Resti Nurhayati, SH.,MHum. – Fakultas Hukum Unika Soegijapranata Semarang
mengemukakan bahwa dari fakta sejarah, bahwa sejak abad ke-2 Masehi bangsa
yang hidup di kepulauan Indonesia sudah mengadakan pelayaran sampai jauh
keluar batas-batas kepulauan Indonesia. Sejak abad ke-5 orang-orang Indonesia
sudah mempunyai hubungan dengan bangsa-bangsa asing seperti Cina, India,
Portugis, Inggris, dan lain-lain. Hubungan ini dapat dipastikan menimbulkan juga
hubungan-hubungan hokum, seperti jual beli dan pengangkutan (perdagangan
dengan orang asing merupakan suatu kegiatan yang pesat) dan juga perkawinan
campuran (terutama di kalangan orang-orang kraton). Tentunya dalam
perhubungan demikian ada peraturan-peraturan hukumnya, walaupun tidak secara
khusus dalam peraturan tertentu, terlebih karena pada waktu itu Indonesia lebih
mengenal hukum adat
Sunaryati Hartono (1989) memilah sejarah perkembangan Hukum Perdata
Internasional Indonesia dalam pengelompokan kurun waktu sebagai berikut :
1. Zaman Majapahit
Pada zaman Majapahit, perundang-undangan yang ada sudah sangat
terperinci, sehingga tidak banyak tergantung pada kebijaksanaan hakim
semata-mata. Hukum pada zaman Majapahit pada waktu itu coraknya
sangat formil, meskipun dapat dikatakan bahwa pada waktu itu belum
terdapat peraturan-peraturan yang khusus mengatur hubungan-hubungan
yang dapat disamakan dengan hubungan Hukum Perdata Internasional.
Keunggulannya adalah pada saat itu adalah bahwa “administration of
justice” pada waktu itu telah mencapai tingkat yang tinggi. Sebagai contoh
misalnya ada keharusan pencatatan-pencatatan tertentu dalam suatu
hubungan pinjam-meminjam
Dapat pula diduga bahwa perhubungan-perhubungan dagang dengan orang
asing pada masa itu diatur dengan cara yang sama seperti dalam
pertukaran barang-barang atau jual-beli antara penduduk setempat menurut
azas locus regit actum, sehingga dapat dikatakan bahwa untuk hubungan-
hubungan yang dapat dinamakan hubungan Hukum Perdata Internasional
berlaku hukum intern setempat.
8
Buku Ajar Hukum Perdata Internasional
B. Resti Nurhayati, SH.,MHum. – Fakultas Hukum Unika Soegijapranata Semarang
9
Buku Ajar Hukum Perdata Internasional
B. Resti Nurhayati, SH.,MHum. – Fakultas Hukum Unika Soegijapranata Semarang
10
Buku Ajar Hukum Perdata Internasional
B. Resti Nurhayati, SH.,MHum. – Fakultas Hukum Unika Soegijapranata Semarang
11
Buku Ajar Hukum Perdata Internasional
B. Resti Nurhayati, SH.,MHum. – Fakultas Hukum Unika Soegijapranata Semarang
D. INGAT
Hukum Perdata Internasional di Indonesia sebenarnya telah dimulai
sejak masa perkembangan kerajaan-kerajaan di Indonesia, meskipun
dalam bentuk yang masih sangat sederhana. Azas yang berkembang
adalah azas lex fori.
Pada masa penjajahan Belanda, Hukum Perdata Internasional
Indonesia bersifat quasi internasional. Pada waktu itu ada beberapa
peraturan yang dapat disebut sebagai sumber HPI, yakni AB, IS, dan
sebagainya.
Setelah kemerdekaan Indonesia, sumber HPI tersebar ke dalam
berbagai undang-undang nasional, sementara beberapa peraturan lain
seperti AB masih tetap digunakan sebagai pedoman.
E. EVALUASI
1. Jelaskan apakah Hukum Perdata Internasional sudah dikenal di
Indonesia sejak zaman berkembangnya kerajaan-kerajaan di nusantara!
Berikan bukti-bukti terkait hal tersebut.
2. Jelaskan apakah yang diatur dalam Kitab Amanna Gappa? Berikan
contohnya!
3. Bagaimanakah sifat/ciri Hukum Perdata Internasional pada masa
kerajaan-kerajaan di Nusantara?
4. Jelaskan apakah yang dimaksud dengan Quasi Internasional!
5. Sebut dan jelaskan beberapa sumber Hukum Perdata Internasional
Indonesia pada pra kemerdekaan Indonesia!
6. Jelaskan bagaimanakah pengaturan Hukum Perdata Internasional
Indonesia setelah kemerdekaan Indonesia!
12
Buku Ajar Hukum Perdata Internasional
B. Resti Nurhayati, SH.,MHum. – Fakultas Hukum Unika Soegijapranata Semarang
F. DAFTAR PUSTAKA
Bayu Seto 1992, Dasar-Dasar Hukum Perdata Internasional, Citra Aditya Bakti,
Bandung.
13
Buku Ajar Hukum Perdata Internasional
B. Resti Nurhayati, SH.,MHum. – Fakultas Hukum Unika Soegijapranata Semarang
BAB III
TEORI-TEORI HUKUM PERDATA INTERNASIONAL
Bahasan :
1. Teori Statuta Modern
2. Teori HPI Internasional
3. Teori Teritorial
4. Teori Hukum Lokal
5. Teori Relasi siginificant
6. Teori Analisa kepentingan
A. PENDAHULUAN
Perkembangan Hukum Perdata Internasional didukung oleh berbagai teori di
bidang Hukum Perdata Internasional. Teori-teori ini memperlihatkan bagaimana
perkembangan Hukum Perdata Internasional di berbagai tempat. Perkembangan
Hukum Perdata Internasional di berbagai Negara dapat dikatakan dimulai dari
perdagangan dengan orang-orang asing, yang kemudian melahirkan kaidah-kaidah
HPI.
Pada zaman Romawi kuno, menurut bayu seto (1992 : 14) segala persoalan
yang timbul sebagai akibat hubungan natara orang Romawi dengan pedagang asing
diselesaikan oleh hakim yang disebut Praetor peregrines. Hukum yang digunakan
oleh hakim pada dasarnya adalah hokum yang berlaku bagi para cives (warga
Negara) Romawi, yaitu ius civile, yang telah disesuaikan di sana sini untuk
kebutuhan pergaulan internasional Ius civile yang telah diadaptasi untuk hubungan
internasional itu kemudian disebut Ius Gentium. Ius Gentium memuat kaidah-kaidah
14
Buku Ajar Hukum Perdata Internasional
B. Resti Nurhayati, SH.,MHum. – Fakultas Hukum Unika Soegijapranata Semarang
yang dapat dikategorikan ke dalam Ius Privatum dan Ius Publicum. Bagian dari Ius
Gentium yang termasuk Ius Privatum lah yang menjadi cikal bakal HPI, sedangkan
bagian Ius Gentium-nya berkembang menjadi hukum public.
Pada masa Romawi (Bayu Seto, 1992 : 14-15) berkembang azas-azas yang
dilandasi azas territorial, yang dewasa ini dapat dianggap sebagai asas HPI yang
pentingm, yakni :
1. Azas Lex Rei Sitae (Lex Situs) yang menyatakan bahwa : Hukum yang
harus diberlakukan atas suatu benda adalah hukum dari tempat benda
terletak/berada.
2. Azas Lex Loci Contractus, yang menyatakan bahwa : terhadap perjanjian-
perjanjian yang bersifat HPI berlaku kaidah-kaidah hukum dari tempat
pembuatan perjanjian.
3. Azas Lex Domicili, yang menetapkan bahwa : Hukum yang mengatur hak
serta kewajiban perorangan adalah hukum dari tempat seseorang
berkediaman tetap.
15
Buku Ajar Hukum Perdata Internasional
B. Resti Nurhayati, SH.,MHum. – Fakultas Hukum Unika Soegijapranata Semarang
D. TEORI TERITORIAL
Prinsip yang mendasari teori ini adalah bahwa sistem hukum yang
diberlakukan di dalam badan peradilan suatu negara pada dasarnya adalah sistem
hukum intern negara itu. Sistem-sistem hukum asing (negara lain) hanya akan
diberlakukan dan atau diperhatikan sejauh penguasa/pihak yang berdaulat di negara
forum mengizinkannya (Bayu Seto, 1992 : 32).
16
Buku Ajar Hukum Perdata Internasional
B. Resti Nurhayati, SH.,MHum. – Fakultas Hukum Unika Soegijapranata Semarang
Prinsip ini sejalan dengan asas Hukum Internasional Publik yaitu azas
Comitas Gentium (comity of nations/sopan santun antar bangsa) yang dianjurkan
demi keadilan, khususnya dalam hal akan terjadi ketidakadilan apabila hukum asing
yang sebenarnya relevan ternyata diabaikan. Dalam perkembangannya azas ini
diganti dengan azas the doctrine of vested right, yang berpendapat bahwa :
”badan peradilan suatu negara pada prinsipnya tidak pernah memberlakukan
hukum asing dalam arti sebenarnya, mealinkan hanya berurusan dengan hak-
hak yang telah diperoleh berdasarkan hukum asing tertentu, yang harus
dibuktikan sebagai fakta di depan pengadilan”.
Jadi pada prinsipnya, orang bukan mengakui atau memberlakukan hukum
asing, melainkan hanya mengakui (memberi daya laku ekstra teritorial) bagi hak-hak
yang terbit berdasarkan hukum asing. Dengan demikian, maka sebenarnya yang
diberlakukan dalam perkara-perkara HPI bukanlah hukum asing itu sendiri, tetapi
hukum hakim (lex fori).
17
Buku Ajar Hukum Perdata Internasional
B. Resti Nurhayati, SH.,MHum. – Fakultas Hukum Unika Soegijapranata Semarang
18
Buku Ajar Hukum Perdata Internasional
B. Resti Nurhayati, SH.,MHum. – Fakultas Hukum Unika Soegijapranata Semarang
H. EVALUASI
1. Buatlah tiga pertanyaan lengkap dengan jawaban untuk teori-teori tersebut
di atas!
2. Jelaskan berbagai kemungkinan kepentingan dalam teori analisa
kepentingan!
19
Buku Ajar Hukum Perdata Internasional
B. Resti Nurhayati, SH.,MHum. – Fakultas Hukum Unika Soegijapranata Semarang
I. DAFTAR PUSTAKA
Bayu Seto 1992, Dasar-Dasar Hukum Perdata Internasional, Citra Aditya Bakti,
Bandung.
20
Buku Ajar Hukum Perdata Internasional
B.Resti Nurhayati, SH.,MHum – Fakultas Hukum Unika Soegijapranata Semarang
BAB IV
KUALIFIKASI
Kompetensi Dasar:
Mahasiswa mampu menjelaskan dan mengaplikasikan berbagai cara kualifikasi dalam
HPI.
Bahasan :
1. Pengertian Kualifikasi
2. Kualifikasi lex fori
3. Kualifikasi lex causae
4. Kualifikasi Bertahap
5. Kualifikasi Analitis
6. Kualifikasi HPI
7. Kualifikasi masalah Substansial dan Prosedural
A. PENDAHULUAN
Dalam pengambilan keputusan yuridis, tindakan kualifikasi merupakan tindakan
praktis yang selalu dilakukan. Alasannya adalah orang mencoba untuk menata
sekumpulan fakta yang dihadapi, mendefinisikan serta menenmpatkan ke dalam kategori
tertentu.
Ada beberapa istilah lain untuk kualifikasi, seperti :
o Qualification (Perancis)
o Qualification/Characterisierung (Jerman)
o Classification/Characterization (Inggris)
o Qualificatie (Belanda)
Menurut Sunaryati Hartono (1989 : 70-71) masalah kualifikasi dalam Hukum Perdata
Internasional menjadi lebih rumit, karena :
1. Berbagai sistem hukum memberi arti berlainan pada istilah-istilah hukum yang
sama bunyinya. Misalnya : “domicilie” dalam Hukum Belanda berlainan artinya
21
Buku Ajar Hukum Perdata Internasional
B.Resti Nurhayati, SH.,MHum – Fakultas Hukum Unika Soegijapranata Semarang
dengan “domisili” dalam hokum Indonesia dan berlainaan pula artinya dengan
“domicilie” dalam Hukum Inggris.
2. Sistem hukum yang satu mungkin mengenal lembaga hokum yang tidak dikenal
oleh system hukum yang lain. Misalnya : “trust” dalam sistem Hukum Inggris
tidak dikenal oleh sisten hukum Eropa Kontinental. Demikian pula perjanjian
“kempitan” atau “ijon” dalam Hukum Adat tidak dikenal oleh sistem hukum yang
lain. Adopsi orang dewasa misalnya juga tidak dikenal dalam sistem hukum
Belanda atau Inggris, tetapi dikenal dalam hukum Adat Batak dan Bali.
3. Sistem-sistem hokum yang berlainan dapat memberi penyelesaian hokum yang
berbeda-bbeda pula untuk kumpulan fakta-fakta yang sama. Misalnya : Di
Inggris, seseorang yang menyalahi janjinya untuk mengawini wanita harus
membayar ganti kerugian berdasarkan wanprestasi. Sedangkan di Perancis, jika
unsur-unsurnya ada, hal tersebut dapat menimbulkan tindak pidana (delik).
Berbagai permasalahan tersebut memunculkan pertanyaan, berdasarkan sistem hukum
mana/sistem hukum apakah kualifikasi harus dilakukan?
B. PENGERTIAN KUALIFIKASI
Kualifikasi adalah suatu sistem penggolongan peristiwa atau hubungan hukum ke
dalam sistem kaedah-kaedah Hukum Perdata Internasional dan hukum materiil.
Dalam Hukum Perdata Internasional, kualifikasi terasa penting sebab dalam perkara
Hukum Perdata Internasional, orang selalu menghadapi kemungkinan pemberlakuan
lebih dari satu sistem hukum untuk mengatur sekumpulan fakta tertentu.
Di dalam Hukum Perdata Internasional dikenal dua macam kualifikasi, yakni :
1. Kualifikasi Fakta (classification of facts)
Kualifikasi fakta adalah penggolongan yang dilakukan terhadap sekumpulan fakta
menjadi satu atau lebih peristiwa hukum, berdasarkan kategori hukum dan
kaidah-kaidah hukum dari sistem hukum yang dianggap seharusnya berlaku (the
appropriate legal norm).
Proses kualifikasi fakta mencakup langkah-langkah :
a. Kualifikasi sekumpulan fakta dalam perkara ke dalam kategori-kategori
yuridik yang dikenal dalam lex fori.
22
Buku Ajar Hukum Perdata Internasional
B.Resti Nurhayati, SH.,MHum – Fakultas Hukum Unika Soegijapranata Semarang
23
Buku Ajar Hukum Perdata Internasional
B.Resti Nurhayati, SH.,MHum – Fakultas Hukum Unika Soegijapranata Semarang
E. KUALIFIKASI BERTAHAP
Salah satu pendukung teori ini adalah Schnitzer, yang membedakan 2 tingkat
kualifikasi, yakni :
1. Qualifikation ersten Grades (kualifikasi tingkat pertama)
2. Qualifikation zweiten Grades (kualifikasi tingkat kedua)
Pada kualifikasi tingkat pertama kualifikasi selalu dilakukan menurut lex fori.
Kualifikasi ini dilakukan untuk menemukan lex causenya. Hal ini untuk menjawab Teori
Kualifikasi Lex Cause yang menyatakan bahwa kualifikasi dilakukan menurut lex cause.
Alasanya adalah orang tidak dapat melakukan kualifikasi menurut lex cause apabila lex
causenya sendiri belum diketahui.
Apabila lex cause sudah ditemukan maka barulah dilakukan kualifikasi tahap
kedua, yakni kualifikasi yang dilakukan menurut lex cause.
F. KUALIFIKASI ANALITIS/OTONOM
Kualifikasi terhadap sekumpulan fakta harus dilakukan secara terlepas dari
kaitannya terhadap suatu system hukum nasional tertentu. Tokoh teori ini antara lain
Rabel dan Beckett (Sunaryati Hartono, 1989 : 76), yang mengemukakan bahwa setiap
kaedah hukum harus dibandingkan dengan kaedah-kaedah hukum yang serupa dari
semua sistem-sistem hukum yang dikenal, dengan maksud agar tercipta satu macam
kualifikasi bagi hukum internasional yang universal dan berlaku dimana-mana.
Terhadap pendapat ini, Sunaryati Hartono (1989 : 77) mengingatkan bahwa dalam
praktek ini sulit dilakukan karena tiga hal :
1. Kita tidak mungkin menyelidiki semua system hukum yang berlaku;
2. Setiap sistem hukum mengalami perkembangan baru, sehingga di samping
penyelidikan semua sistem hukum tak mungkin kita lakukan, juga sangat sukar
untuk mengejar perubahan-perubahan hukum ini di segala bidang dan semua
sistem hukum.
24
Buku Ajar Hukum Perdata Internasional
B.Resti Nurhayati, SH.,MHum – Fakultas Hukum Unika Soegijapranata Semarang
G. KUALIFIKASI HPI
Setiap kaidah Hukum Perdata Internasiona harus dianggap memiliki suatu tujuan
tertentu yang hendak dicapai. Adapun tujuan yang hendak dicapai tersebut :
1. Kepentingan para pihak;
2. Kepentingan pergaulan dan lalu lintas internasional;
3. Ketertiban dan kepastian hukum;
4. Perasaan keadilan dalam masyarakat.
Oleh karena itu masalah bagaimana proses kualifikasi harus dijalankan tidak dapat
ditentukan terlebih dahulu, setelah ditentukan kepentingan Hukum Perdata Internasional
apa yang hendak dicapai.
H. INGAT
Dalam penyelesaian perkara yang bersifat HPI, kualifikasi penting untuk
dilakukan. Sebaiknya kualifikasi dilakukan secara seimbang, dengan
memperhatikan berbagai sistem hukum yang mungkin berlaku dalam kasus
itu.
I. EVALUASI
1. Jelaskan alasan, mengapa kualifikasi penting untuk dilakukan!
2. Jelaskan apa yang dimaksud dengan kualifikasi hukum dan kualifikasi fakta!
3. Jelaskan berbagai teori tentang kualifikasi dalam perkara HPI!
4. Menurut pendapat anda dari berbagai teori tentang kualifikasi tersebut, yang
manakah yang sekiranya paling tepat dilakukan!
25
Buku Ajar Hukum Perdata Internasional
B.Resti Nurhayati, SH.,MHum – Fakultas Hukum Unika Soegijapranata Semarang
J. DAFTAR PUSTAKA
Bayu Seto 1992, Dasar-Dasar Hukum Perdata Internasional, Citra Aditya Bakti,
Bandung.
Ridwan Khairandy dkk, 1999, Pengantar Hukum Perdata Internasional, Gama Media
Offset, Yogyakarta.
26
Buku Ajar Hukum Perdata Internasional
B. Resti Nurhayati, SH.,MHum. – Fakultas Hukum Unika Soegijapranata Semarang
BAB V
TITIK TAUT
Kompetensi Dasar :
Mahasiswa mampu menjelaskan dan menganalisis kasus dengan berdasarkan pada
teori tentang titik taut.
Bahasan :
1. Pengertian titik taut
2. Titik pertalian primer
3. Titik pertalian sekunder
A. PENDAHULUAN
Seorang warga negara Jerman, berdomisili di Inggris, meninggal di
Perancis, meninggalkan warisan di Italia, membuat testamen di Rusia. Salah
seorang ahli warisnya yang berdomisili di Indonesia, mengajukan gugatan kepada
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Contoh kasus tersebut menunjukkan bahwa adanya kaitan antara fakta-
fakta yang ada dalam perkara dengan suatu tempat dan suatu sistem hukum yang
harus atau mungkin digunakan untuk menyelesaikan perkara tersebut. Misalnya
kewarganegaran di pewaris, domisili tetap si pewaris, tempat letak benda, tempat
penetapan testamen, tempat pengajuan perkara. Hal-hal yang menunjukkan
pertautan/kaitan tersebut dalam HPI disebut Titik Taut.
27
Buku Ajar Hukum Perdata Internasional
B. Resti Nurhayati, SH.,MHum. – Fakultas Hukum Unika Soegijapranata Semarang
Sudargo Gautama (1986 : 24) memberikan definisi titik taut sebagai hal-hal atau
keadaan yang menyebabkan berlakunya suatu stelsel hukum.
Titik taut merupakan suatu bagian yang penting dari Hukum Perdata Internasional,
karena titik taut inilah yang pertama-tama member petunjuk kepada kita bahwa kita
menghadapi persoalan HPI.
Di dalam HPI dikenal dua macam titik pertalian, yaitu titik pertalian primer
(primary points of contact/titik taut pembeda) dan titik pertalian sekunder (secondary
points of contack/titik taut penentu).
28
Buku Ajar Hukum Perdata Internasional
B. Resti Nurhayati, SH.,MHum. – Fakultas Hukum Unika Soegijapranata Semarang
29
Buku Ajar Hukum Perdata Internasional
B. Resti Nurhayati, SH.,MHum. – Fakultas Hukum Unika Soegijapranata Semarang
30
Buku Ajar Hukum Perdata Internasional
B. Resti Nurhayati, SH.,MHum. – Fakultas Hukum Unika Soegijapranata Semarang
F. INGAT
Dalam menyelesaikan suatu perkara HPI, harus ditentukan terlebih dahulu
titik taut primer untuk menentukan apakah peristiwa yang dihadapi termasuk
peristiwa HPI atau bukan. Setelah itu ditentukan titik taut sekunder yang paling tepat
untuk kasus tersebut. Barulah dicari hukum internal/hukum materiil yang harus
diberlakukan.
G. EVALUASI
1. Jelaskan apakah yang kamu ketahui tentang titik taut, ada berapa macam
titik taut, jelaskan masing-masing!
2. Buatlah/carilah sebuah kasus HPI, lalu analisislah titik taut yang ada.
Cari/tentukan mana titik taut primer, mana titik taut sekundernya, dan titik
taut mana yang akan digunakan untuk menyelesaikan kasus tersebut.
H. DAFTAR PUSTAKA
Bayu Seto 1992, Dasar-Dasar Hukum Perdata Internasional, Citra Aditya Bakti,
Bandung.
31
Buku Ajar Hukum Perdata Internasional
B.Resti Nurhayati, SH.,MHum. – Fakultas Hukum Unika Soegijapranata Semarang
BAB VI
RENVOI
Bahasan :
1. Pengertian Renvoi
2. Macam-macam Renvoi
3. Foreign Court Theory
A. PENDAHULUAN
Persoalan Renvoi berkaitan dengan persoalan : prinsip nasionalitas dan
domisili, kualifikasi, dan titik taut. Ketiga persoalan itu berkaitan dengan hukum
mana yang akan berlaku dalam suatu peristiwa HPI.
Penggunaan asas/prinsip Nasionalitas dan Domisili yang berbeda oleh
tiap-tiap negara menyebabkan hukum personal yang harus berlaku bagi masing-
masing warga negara juga berbeda. Asas Nasionalitas dan Domisili biasanya
digunakan untuk menentukan satus dan kewenangan personal seseorang. Yang
masuk pada kelompok pengaturan tentang status personal seseorang adalah :
hukum orang, hukum keluarga, dan hukum waris. Indonesia termasuk salah satu
negara yang menganut asas Nasionalitas.
B. PENGERTIAN RENVOI
Renvoi memiliki arti “penunjukkan kembali”.
Untuk menggambarkan terjadinya renvoi dapat digambarkan dengan
ilustrasi sebagai berikut :
Dalam sebuah perkara HPI, hakim yang memeriksa dan mengadili perkara,
setelah menemukan titik taut primer dan sekunder, menunjuk pada sebuah
hukum asing. Ternyata bahwa hukum asing yang ditunjuk oleh hakim tadi
menunjuk kembali pada lex fori. Di sini berarti terjadi “penunjukkan
32
Buku Ajar Hukum Perdata Internasional
B.Resti Nurhayati, SH.,MHum. – Fakultas Hukum Unika Soegijapranata Semarang
kembali”. Namun bisa pula terjadi hukum asing yang ditunjuk oleh hakim
tadi menunjuk lebih lanjut ke sistem hukum asing lainnya. Inilah yang
disebut “penunjukkan lebih lanjut”.
Jadi setelah titik taut diketahui, masih ada persoalan lain, yakni : bagian
manakah dari hukum asing yang harus berlaku? Apakah langsung hukum
intern/hukum domestiknya ataukah lebih luas lagi, termasuk kaidah-kaidah
HPI-nya. Yang dimaksud dengan kaidah HPI adalah kaidah yang dibuat untuk
menunjuk ke arah suatu sistem hukum tertentu sebagai sistem hukum yang harus
diberlakukan dalam menyelesaikan suatu masalah HPI.
Dengan demikian ada dua arti penunjukkan, yakni :
1. Penunjukkan ke arah kaidah hukum intern (domestic law; municipal law;
local law; sachnormen) dari suatu sistem hukum tertentu. Penunjukkannya
dinamakan sachnormenverweisung.
2. Penunjukkan ke arah seluruh sistem hukum, termasuk kaidah-kaidah HPI
dari sistem hukum asing tersebut, ini disebut kollisionnormen.
Penunjukkannya disebut gesamtverweisung.
C. MACAM-MACAM RENVOI
Sehubungan dengan adanya dua macam penunjukkan tersebut di atas,
maka ada dua macam renvoi, yakni :
1. Penunjukkan kembali/Remission/Simple Renvoi
Yakni penunjukkan oleh kaidah HPI asing kembali ke arah lex fori.
Skema :
X Y
33
Buku Ajar Hukum Perdata Internasional
B.Resti Nurhayati, SH.,MHum. – Fakultas Hukum Unika Soegijapranata Semarang
X Y Z
34
Buku Ajar Hukum Perdata Internasional
B.Resti Nurhayati, SH.,MHum. – Fakultas Hukum Unika Soegijapranata Semarang
c. Lex fori (Hukum Inggris) menunjuk kembali ke arah lex fori asing,
dan lex fori asing menerima penunjukkan kembali itu.
Skema :
X Y Y X Y
E. INGAT
1. Renvoi adalah penunjukkan kembali. Renvoi terjadi karena dalam
menentukan status personal seseorang masing-masing negara memiliki
prinsip yang berbeda.
2. Ada dua macam renvoi, yakni penunjukkan kembali dan penunjukkan
lebih lanjut.
F. EVALUASI
1. Jelaskan apakah yang dimaksud dengan “renvoi”!
2. Apakah yang dimaksud dengan Sachnormenverweisung dan
gesamtverweisung. Berikan contoh kasus.
3. Carilah kasus HPI, buatlah analisis, dan selesaikan. Penunjukkan jenis
apakah yang terjadi di situ. (dua macam kasus yang bisa menggambarkan
penunjukkan ekmbali dan penunjukkan lebih lanjut).
35
Buku Ajar Hukum Perdata Internasional
B.Resti Nurhayati, SH.,MHum. – Fakultas Hukum Unika Soegijapranata Semarang
G. DAFTAR PUSTAKA
Bayu Seto 1992, Dasar-Dasar Hukum Perdata Internasional, Citra Aditya Bakti,
Bandung.
36
Buku Ajar Hukum Perdata Internasional
B. Resti Nurhayati, SH.,MHum. – Fakultas Hukum Unika Soegijapranata Semarang
BAB VII
PERSOALAN PENDAHULUAN DAN PENYESUAIAN
Bahasan :
1. Pengertian Persoalan Pendahuluan
2. Cara-cara Penyelesaian Persoalan Pendahuluan
3. Pengertian Penyesuaian
A. PENDAHULUAN
Dalam menyelesaikan suatu perkara HPI, terkadang harus ada perkara-
perkara yang mendahului yang harus diselesaikan terlebih dahulu sebelum
menyelesaikan perkara pokoknya.
Di sisi lain, kadang-kadang hakim juga harus melakukan penyesuaian
tentang lembaga-lembaga yang ditemui dalam perkara tersebut, dimana lembaga
tersebut tidak sesuai (isinya) dengan lembaga yang dikenal dalam lex fori.
37
Buku Ajar Hukum Perdata Internasional
B. Resti Nurhayati, SH.,MHum. – Fakultas Hukum Unika Soegijapranata Semarang
38
Buku Ajar Hukum Perdata Internasional
B. Resti Nurhayati, SH.,MHum. – Fakultas Hukum Unika Soegijapranata Semarang
2. Dengan mengabaikan sistem hukum apa yang merupakan lex causae untuk
menyelesaikan masalah pokok, hakim menggunakan kaidah-kaidah HPI
lex fori untuk menyelesaikan persoalan pendahuluan.
Cara ini disebut “penyelesaian berdasarkan lex fori” atau Repartition,
dan tidak memperhatikan sistem hukum yang akan digunakan untuk
menyelesaikan persoalan pokoknya.
3. Penetapan hukum yang seharusnya berlaku untuk menyelesaikan
persoalan pendahuluan harus ditetapkan secara kasuistis, dengan
memperhatikan hakikat perkara atau kebijaksanaan dan atau kepentingan
forum yang mengadili perkara.
D. PENGERTIAN PENYESUAIAN
Ada beberapa istilah yang merupakan padanan istilah penyesuaian,yakni :
anpassung (Jerman); aanpassing (Belanda); adaptation (Inggris); coordinations
(Perancis).
Hakim seringkali menemukan berbagai kesulitan jika hukum yang harus
dipakai adalah hukum asing yang isinya jauh berbeda dengan pengertian-
pengertian hukum dalam sistem hukum nasional sang hakim. Atau dengan
perkataan lain, hakim menghadapi lembaga yang memiliki istilah sama, tetapi
memiliki pengertian yang berbeda.
Dalam menghadapi persoalan sedemikian, hakim tidak dapat berhenti pada
persamaan istilah-istilah hukumnya saja, tetapi juga perlu memperhatikan apakah
isi-nya.
Satu kasus yang seringkali dijadikan contoh (Sudargo Gautama, 1977) dalam
lembaga penyesuaian adalah kasus anak adopsi Belgia :
Seorang anak angkat Belgia, dari seorang warga negara Belgia.
Ayah angkat tersebut mengalami kecelakaan dengan seorang warga negara
Indonesia di Jakarta. Ayah angkat akhirnya meninggal dunia.
Anak angkat tersebut dengan diwakili oleh ayah biologisnya (kakak korban)
menuntut warga negara Indonesia tersebut di Pengadilan Negeri Jakarta. Ini
mendasarkan pada ketentuan Pasal 1370 KUHPerdata yang menyebutkan
39
Buku Ajar Hukum Perdata Internasional
B. Resti Nurhayati, SH.,MHum. – Fakultas Hukum Unika Soegijapranata Semarang
E. INGAT
Dalam menyelesaikan suatu perkara HPI, ada kemungkinan muncul
berbagai hal/persoalan yang harus diselesaikan lebih dahulu, yang
menimbulkan persoalan menurut hukum mana persoalan pendahuluan itu
mesti diselesaikan.
Munculnya istilah atau lembaga yang sama atau kadang-kadang istilah yang
tidak dikenal dalam lex fori menimbulkan persoalan, bahwa lembaga atau
istilah itu harus disesuaikan dari segi isi dan bukan hanya sekedar
lembaganya saja.
F. EVALUASI
Buatlah tiga pertanyaan dan jawablah. Pertanyaan tersebut harus mampu
menjelaskan masaloah persolan pendahuluan, penyesuaian dan hubungan
antara keduanya.
G. DAFTAR PUSTAKA
40
Buku Ajar Hukum Perdata Internasional
B. Resti Nurhayati, SH.,MHum. – Fakultas Hukum Unika Soegijapranata Semarang
41
Buku Ajar Hukum Perdata Internasional
B. Resti Nurhayati, SH.,MHum. – Fakultas Hukum Unika Soegijapranata Semarang
BAB VIII
KETERTIBAN UMUM DAN HAK-HAK YANG DIPEROLEH
Bahasan :
1. Pengertian ketertiban umum
2. Fungsi ketertiban umum
3. Pengertian hak-hak yang diperoleh (vested right)
4. Penerapan doktrin ketertiban umum dan vested right
5. Hubungan antara ketertiban umum dan vested right
A. PENDAHULUAN
Dalam perkara yang bersifat HPI, memungkinkan diberlakukannya hukum
asing. Namun kadang-kadang pemberlakuan hukum asing atau hak-hak yang
diperoleh berdasarkan hukum asing tidak selalu sesuai dengan sendi-sendi asasi
atau dasar falsafah dari lex fori.
42
Buku Ajar Hukum Perdata Internasional
B. Resti Nurhayati, SH.,MHum. – Fakultas Hukum Unika Soegijapranata Semarang
dari sendi-sendi asasi hukum nasional hakim, pelanggaran terhadap konsepsi yang
ada tentang moralitas yang baik, atau pelanggaran terhadap tradisi yang sudah
mengakar, maka dalam hal-hal tertentu hakim dapat mengesampingkan hukum
asing ini dengan mempergunakan lembaga ketertiban umum.
Tetapi pemakaian lembaga ketertiban umum ini harus hati-hati dan seefisien
mungkin. Sudargo Gautama mengibaratkan pemakaian ketertiban umum ini
seperti pemakaian rem darurat pada kereta api, yang harus digunakan seefisien
mungkin. Pemakaian lembaga ketertiban umum harus dibatasi, karena jika tidak
dibatasi, maka yang selalu berlaku adalah hukum nasional.
43
Buku Ajar Hukum Perdata Internasional
B. Resti Nurhayati, SH.,MHum. – Fakultas Hukum Unika Soegijapranata Semarang
44
Buku Ajar Hukum Perdata Internasional
B. Resti Nurhayati, SH.,MHum. – Fakultas Hukum Unika Soegijapranata Semarang
H. INGAT
Doktrin ketertiban umum dan vested rights berkaitan dengan
pemberlakuan/pengakuan terhadap berlakunya hukum asing atau hak
yang diperoleh berdasarkan hukum asing.
45
Buku Ajar Hukum Perdata Internasional
B. Resti Nurhayati, SH.,MHum. – Fakultas Hukum Unika Soegijapranata Semarang
I. EVALUASI
1. Jelaskan apakah yang dimaksud dengan ketertiban umum dan vested
right! Bagaimanakah tarik ulur di antara keduanya!
2. Cari/buatlah kasus yang dapat menjelaskan penerapan doktrin
ketertiban umum dan vested rights!
J. DAFTAR PUSTAKA
Bayu Seto 1992, Dasar-Dasar Hukum Perdata Internasional, Citra Aditya
Bakti, Bandung.
46
Buku Ajar Hukum Perdata Internasional
B. Resti Nurhayati, SH.,MHum. – Fakultas Hukum Unika Soegijapranata Semarang
BAB IX
PILIHAN HUKUM DAN PENYELUNDUPAN HUKUM
Bahasan :
1. Pengertian Pilihan Hukum
2. Pembatasan dalam Melakukan Pilihan Hukum
3. Cara Melakukan Pilihan Hukum
4. Hukum yang Berlaku dalam Kontrak Dagang Internasional
5. Pengertian Penyelundupan Hukum
6. Hubungan antara Pilihan Hukum dan Penyelundupan Hukum
7. Akibat Penyelundupan Hukum
A. PENDAHULUAN
Pilihan Hukum dan Penyelundupan hukum berkaitan dengan hukum yang
akan diterapkan dalam suatu hubungan antar subjek hukum, khususnya dalam
hubungan yang bersifat perdata internasional. Meskipun keduanya merupakan
‘cara’ yang bisa dipilih atau dilakukan orang, berkenaan dengan hukum yang akan
berlaku dalam peristiwa atau hubungan hukum tertentu, namun keduanya
memiliki aspek dan ciri yang berbeda.
47
Buku Ajar Hukum Perdata Internasional
B. Resti Nurhayati, SH.,MHum. – Fakultas Hukum Unika Soegijapranata Semarang
48
Buku Ajar Hukum Perdata Internasional
B. Resti Nurhayati, SH.,MHum. – Fakultas Hukum Unika Soegijapranata Semarang
49
Buku Ajar Hukum Perdata Internasional
B. Resti Nurhayati, SH.,MHum. – Fakultas Hukum Unika Soegijapranata Semarang
50
Buku Ajar Hukum Perdata Internasional
B. Resti Nurhayati, SH.,MHum. – Fakultas Hukum Unika Soegijapranata Semarang
51
Buku Ajar Hukum Perdata Internasional
B. Resti Nurhayati, SH.,MHum. – Fakultas Hukum Unika Soegijapranata Semarang
52
Buku Ajar Hukum Perdata Internasional
B. Resti Nurhayati, SH.,MHum. – Fakultas Hukum Unika Soegijapranata Semarang
H. INGAT
Pilihan hukum dan penyelundupan hukum merupakan cara yang dapat
digunakan orang agar supaya hukum asing tertentu berlaku untuk suatu hubungan
hukum tertentu. Namun kedua cara ini berbanding terbalik satu sama lain.
I. EVALUASI
1. Jelaskan apakah yang dimaksud dengan pilihan hukum dan
penyelundupan hukum?
2. Buatlah perbandingan antara keduanya, dan antara keduanya dengan
lembaga ketertiban umum dan lembaga vested rights!
J. DAFTAR PUSTAKA
Bayu Seto 1992, Dasar-Dasar Hukum Perdata Internasional, Citra Aditya
Bakti, Bandung.
53
Buku Ajar Hukum Perdata Internasional
B. Resti Nurhayati, SH.,MHum. – Fakultas Hukum Unika Soegijapranata Semarang
54
Buku Ajar Hukum Perdata Internasional
B. Resti Nurhayati, SH.,MHum. – Fakultas Hukum Unika Soegijapranata
BAB X
AZAS NASIONALITAS DAN DOMISILI
Bahasan :
1. Ruang Lingkup Status Personal
2. Pengertian Asas Nasionalitas dan Domisili
3. Alasan Pendukung Prinsip Nasionalitas
4. Alasan Pendukung Prinsip Domisili
A. PENDAHULUAN
Status personal menurut Purnadi Purbacaraka dan Agus Brotosusilo (1989 :
15) adalah kondisi atau keadaan suatu pribadi dalam hukum yang diberikan/diakui
oleh negara untuk mengamankan dan melindungi lembaga-lembaganya. Status
personal ini meliputi hak dan kewajiban, kemampuan dan ketidakmampuan bersikap
tindak di bidang hukum, yang unsur-unsurnya tidak dapat berubah atas kemauan
pemiliknya. Sedangkan Sudargo Gautama (1981 : 3) menyatakan bahwa meskipun
terdapat perbedaan mengenai status personal ini, pada dasarnya status personal adalah
kedudukan hukum seseorang yang umumnya ditentukan oleh hukum dari negara
dimana ia dianggap secara permanen.
Mengenai status personal seseorang, terdapat dua prinsip yang berbeda dalam
menentukan pengaturan hukum bagi warga negara atau penduduk yang ada di negara
tersebut, yakni :
1. Negara-negara yang menganut prinsip nasionalitas (ke-warganegaraan);
2. Negara-negara yang menganut prinsip domisili.
Buku Ajar Hukum Perdata Internasional
B. Resti Nurhayati, SH.,MHum. – Fakultas Hukum Unika Soegijapranata
sekali hubungannya dengan orang tersebut. Karena ada ikatan antara orang dengan
hukumnya, maka hukum asal orang tersebut dikaitkan seerat-eratnya kepadanya.
Hukum asal atau hukum nasionalnya tetap mengikuti dimanapun ia pergi.
Negara-negara yang menganut prinsip domisili berpendapat bahwa seluruh
tatanan hukum yang berlaku bagi setiap orang yang berdomisili di negara tersebut.
Negara-negara yang menganut prinsip domisili antara lain : Inggris,
Scotlandia, Afrika Selatan, Quebec, Denmark, Norwegia, Argentina, Brasilia,
Guatemala, Paraguay, Peru.
Prinsip domisili lebih mengutamakan segi teritorialitas daripada hukum. Oleh
karena itu semua hubungan-hubungan dari orang-orang yang berkenaan dengan soal-
soal tentang perseorangan, kekeluargaan, warisan ditentukan oleh tempat berdomisili.
Dengan demikian, setiap orang yang berada di dalam wilayah sesuatu negara
dianggap tunduk di bawah hukum negara tersebut.
Perbedaan di antara kedua prinsip tersebut adalah pada perbedaan
diletakkannya titik berat atas segi personalitas atau segi teritorialitas dari hukum.
Negara-negara Eropa Kontinental cenderung mengedepankan segi personalia,
sedangkan negara-negara Anglosaxon mengutamakan segi teritorial.
Namun ada pula, negara-negara yang hendak memakai hukumnya sendiri
sebanyak mungkin, sehingga prinsip teritorialitas dipakai terhadap semua orang yang
berada di wilayah negara tersebut. Sedangkan prinsip nasionalitas dipergunakan bagi
para warga negara dari negara tersebut yang berada di luar negeri. Sudargo Gautama
menyebutkan beberapa negara yang menggunakan kedua sistem ini secara
bersamaan, seperti : Chili, Equador, Columbia, Peru, El Salvador, Venezuela, dan
Mexico.
prinsip tersebut. Beberapa alasan yang dikemukakan oleh para pendukung prinsip
nasionalitas adalah :
1. Prinsip nasionalitas dianggap paling cocok bagi perasaan hukum
seseorang, karena terlaksana adaptasi kepada perasaan hukum dari yang
bersangkutan. Hukum nasional dianggap lebih cocok karena lebih
mengenal kepribadian dan kebutuhan warganegaranya.
2. prinsip nasionalitas lebih permanen daripada hukum domisili, karena
kewarganegaraan tidak sedemikian mudah berubah-ubah seperti domisili,
sedangkan status personil yang termasuk mengatur hubungan
kekeluargaan memerlukan stabilitas sebanyak mungkin.
3. Prinsip kewarganegaraan membawa kepastian lebih banyak, karena
pengertian kewarganegaraan lebih mudah diketahui daripada domisili
seseorang. Meskipun dalam praktek tidak selalu demikian, karena
adakalanya seseorang mempunyai lebih dari satu kewarganegaraan atau
sebaliknya tidak mempunyai kewarganegaraan sama sekali.
sampai prinsip tersebut dipakai secara kaku (kombinasi dengan prinsip domisili).
Atau terhadap orang asing yang berdiam di Indonesia dipergunakan prinsip
nasionalitas selama mereka tidak lebih dari dua (2) tahun berdiam di Indonesia.
Selebihnya dipakai prinsip domisili.
F. INGAT
Azas nasionalitas dan domisili adalah azas yang digunakan untuk menentukan
status personal seseorang.
G. EVALUASI
Buatlah analisis dari sebuah kasus terkait dengan azas nasionalitas dan domisili.
H. DAFTAR PUSTAKA
Bayu Seto 1992, Dasar-Dasar Hukum Perdata Internasional, Citra Aditya Bakti,
Bandung.
BAB XI
THE MOST SIGNIFICANT RELATIONSHIP
A. PENDAHULUAN
B. PENGERTIAN THE MOST SIGNIFICANT RELATIONSHIP
C. PENDEKATAN YANG DIGUNAKAN DALAM THE MOST
SIGNIFICANT RELATIONSHUIP
D. PENGGUNAAN DOKTRIN DALAM KASUS
E. INGAT
F. EVALUASI
G. DAFTAR PUSTAKA