Anda di halaman 1dari 65

Buku Ajar

Hukum Perdata Internasional

Oleh :
B. Resti Nurhayati

Fakultas Hukum dan Komunikasi


Universitas Katolik Soegijapranata
Semarang
DAFTAR ISI
Kata Pengantar................................................................................................ i
Daftar Isi......................................................................................................... ii
Satuan Acara Perkuliahan................................................................................ v
BAB I Pengertian Hukum Perdata Internasional
1. Pendahuluan................................................................................................. 1
2. Pengertian HPI.............................................................................................. 2
3. Sifat HPI…………………………………………………………………… 4
4. Tiga Masalah Pokok dalam HPI.................................................................... 4
5. Simpulan dan Evaluasi.................................................................................. 5
BAB II Sejarah Perkembangan HPI
1. Pendahuluan………………………………………………………………... 7
2. Sejarah Perkembangan HPI di Indonesia…………………………………… 7
3. Sumber-sumber HPI di Indonesia…………………………………………... 10
4. Simpulan dan Evaluasi……………………………………………………… 12
BAB III Teori-Teori dalam HPI
1. Pebdahuluan………………………………………………………………… 14
2. Teori Statuta Modern……………………………………………………….. 15
3. Teori HPI Internasional……………………………………………………... 16
4. Teori Teritorial………………………………………………………………. 16
5. Teori Hukum Lokal…………………………………………………………. 17
6. Teori Relasi Siginificant…………………………………………………….. 18
7. Teori Analisa Kepentingan………………………………………………….. 19
8. Simpulan dan Evaluasi………………………………………………………. 19
BAB IV Kualifikasi
1. Pebdahuluan………………………………………………………………… 21
2. Pengertian Kualifikasi……………………………………………………….. 22
3. Kualifikasi Lex Fori...………………………………………………………. 23
4. Kualifikasi Lex Causae……………………………………………………... 24
5. Kualifikasi Bertahap………………………………………………………... 24

ii
6. Kualifikasi Analitis/Otonom………………………………………………. 24
7. Kualifikasi HPI………………………………………………………… …. 25
8. Simpulan dan Evaluasi…………………………………………………….. 25
BAB V Titik Taut
1. Pendahuluan………………………………………………………………. 27
2. Pengertian Titik Taut……………………………………………………… 27
3. Titik Pertalian Primer……………………………………………………… 28
4. Titik Pertalian Sekunder……………………………………………………. 28
5. Jenis-Jenis Titik Taut dalam HPI………………………………………….. 28
6. Simpulan dan Evaluasi…………………………………………………….. 30
BAB VI Renvoi
1. Pendahuluan……………………………………………………………….. 32
2. Pengertian Renvoi………………………………………………………….. 32
3. Macam-macam Renvoi…………………………………………………….. 33
4. Foreign Court Theory……………………………………………………... 34
5. Simpulan dan Evaluasi……………………………………….…………….. 35
BAB VII Persoalan Pendahuluan
1. Pendahuluan………………………………………………………………… 37
2. Pengertian Persoalan Pendahuluan…………………………………………. 37
3. Cara-cara Penyelesaian Persoalan Pendahuluan……………………………. 38
4. Pengertian Penyesuaian……………………………………………………… 39
5. Simpulan dan Evaluasi…………………….………………………………… 40
BAB VIII Ketertiban Umum dan Hak-Hak yang Diperoleh
1. Pendahuluan………………………………………………………………… 42
2. Pengertian Ketertiban Umum……………………………………………….. 42
3. Fungsi Ketertiban Umum…………………………………………………… 43
4. Pemakaian Ketertiban Umum………………………………………………. 43
5. Pengertian Hak-hak yang Diperoleh (Vested Right)……………………….. 44
6. Penerapan Doktrin Ketertiban Umum dan Vested Right…………………… 44
7. Hubungan antara Ketertiban Umum dan Hak-hak yang Diperoleh………… 45
8. Simpulan dan Evaluasi……………………………………………………… 45

iii
BAB IX Pilihan Hukum dan Penyelundupan Hukum
1. Pendahuluan……………………………………………………………… 47
2. Pengertian Pilihan Hukum………………………………………………... 47
3. Pembatasan dalam Melakukan Pilihan Hukum…………………………… 48
4. Cara Melakukan Pilihan Hukum………………………………………….. 49
5. Hukum yang Berlaku dalam Kontrak Dagang Internasional……………… 51
6. Pengertian Penyelundupan Hukum………………………………………... 52
7. Akibat Penyelundupan Hukum……………………………………………. 53
8. Simpulan dan Evaluasi……………………………………………………... 53
BAB X AZAS NASIONALITAS DAN DOMISILI
1. Pendahuluan................................................................................................... 55
2. Ruang Lingkup Status Personal..................................................................... 56
3. Pengertian Asas Nasionalitas dan Domisili.................................................... 56
4. Alasan Pendukung Prinsip Nasionalitas……………………………………. 57
5. Alasan Pendukung Prinsip Domisili……………………………………….. 58
6. Simpulan dan Evaluasi……………………………………………………… 60

iv
Buku Ajar Hukum Perdata Internasional
B.Resti Nurhayati, SH.,MHum. – Fakultas Hukum Unika Soegijapranata Semarang

BAB I
PENGERTIAN HUKUM PERDATA INTERNASIONAL

Tujuan Pembelajaran Khusus :


Mahasiswa mampu menjelaskan pengertian, ruang lingkup serta permasalahan-
permasalahan pokok dalam Hukum Perdata Internasional.

Bahasan :
1. Pengertian / definisi Hukum Perdata Internasional
2. Sifat Hukum Perdata Internasional
3. Tiga masalah pokok dalam Hukum Perdata Internasional

A. PENDAHULUAN
Hubungan antar manusia tidak hanya terbatas pada hubungan antara
orang-orang yang memiliki kewarganegaraan yang sama, tetapi juga dengan
orang-orang yang memiliki kewarganegaraan yang berbeda. Hubungan antar
orang di dalam hukum, terlebih hubungan dengan warga negara asing memang
tidak hanya semata-mata merupakan objek hukum internasional yang berada
dalam wilayah hukum publik, tetapi juga masuk dalam wilayah hukum privat.
Di wilayah privatnya, perhubungan antara orang-orang yang berbeda
kewarganegaraannya seringkali timbul kesulitan. Salah satu kesulitan tersebut
adalah karena hukum yang harus diberlakukan menjadi lebih kompleks, yakni
tidak hanya hukum privat atau hukum perdata Indonesia saja, tetapi mungkin juga
diberlakukannya hukum perdata asing, mengingat terdapatnya subjek hukum
asing dalam perkara tersebut. Oleh karena itu menarik untuk mengetahui lebih
lanjut tentang apa yang dimaksud dengan hukum perdata internasional, objek
penelaahan hukum perdata internasional, dan persoalan-persoalan penting apa
yang mungkin muncul dalam hukum perdata internasional.
Sebelum mempelajari bab ini, mahasiwa harus telah menempuh mata
kuliah Hukum Perdata, Hukum Bisnis, dan Hukum Internasional. Mahasiswa
sebaiknya membaca referensi yang dirujuk dalam buku ini serta buku-buku terkait

1
Buku Ajar Hukum Perdata Internasional
B.Resti Nurhayati, SH.,MHum. – Fakultas Hukum Unika Soegijapranata Semarang

untuk memperdalam wawasan. Untuk menjajagi sejauh mana mahasiswa


memahami materi kuliah dan kompetensi dasar yang diharapkan, mahasiswa perlu
mengerjakan tugas-tugas yang diberikan dalam Evaluasi.

B. PENGERTIAN/DEFINISI HUKUM PERDATA INTRENASIONAL


Istilah Hukum Perdata Internasional (HPI) yang digunakan di Indonesia
sekarang ini dapat dikatakan merupakan terjemahan dari istilah :
1. Internationaal Privaat Recht (Belanda)
2. International Private Law/ Conflict of Laws (Inggris)
3. Internationales Privaatrecht (Jerman)
4. Droit International Prive (Perancis)
Istilah dan pengertian Hukum Perdata Internasional masih banyak
diperdebatkan orang. Kritik ataupun keberatan tersebut menurut Sudargo Gautama
(1977 : 2) antara lain bahwa dalam istilah Hukum Perdata Internasional terdapat
contradictio in terminis, yakni karena perdata (yang nasional) tetapi mengapa
terdapat kata ”internasional ” yang berarti terdapat unsur asing di dalamnya.
Mengenai hal ini, Sudargo Gautama menjelaskan bahwa yang internasional adalah
peristiwa-peristiwanya, namun sumbernya tidaklah bersifat internasional tetapi
sumbernya, kaidah-kaidah yang dipakai adalah hukum nasional. Sehingga dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa Indonesia adalah penganut aliran nasionalis.
Mochtar Kusumaatmadja (1990 : 1) menyebutkan bahwa Hukum Perdata
Internasional adalah keseluruhan kaidah dan asas hukum yang mengatur
hubungan perdata yang melintas batas negara. Dengan kata lain, Hukum Perdata
Internasional adalah hukum yang mengatur hubungan hukum perdata antara
pelaku hukum yang masing-masing tunduk pada hukum perdata (nasional) yang
berbeda. Sedangkan Hukum Internasional Publik adalah keseluruhan kaidah dan
asas hukum yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintas batas negara
(hubungan internasional) yang bukan bersifat perdata.
R.H. Graveson (Bayu Seto, 1992 : 4) memberikan definisi Hukum Perdata
Internasional adalah bidang hukum yang berkenaan dengan perkara-perkara yang
di dalamnya mengandung fakta relevan yang berhubungan dengan suatu sistem

2
Buku Ajar Hukum Perdata Internasional
B.Resti Nurhayati, SH.,MHum. – Fakultas Hukum Unika Soegijapranata Semarang

hukum lain, baik karena aspek teritorialitas atau personalitas, dan karena itu, dapat
menimbulkan masalah pemberlakuan hukum sendiri atau hukum lain (biasanya
hukum asing) untuk memutuskan perkara, atau menimbulkan masalah
pelaksanaan yurisdiksi pengadilan sendiri atau pengadilan asing.
Sedangkan van Brakel menyebutkan bahwa Hukum Perdata Internasional
adalah hukum nasional yang ditulis (diadakan) untuk hubungan-hubungan hukum
internasional (Bayu Seto, 1992 : 5).
J.G. Sauveplane (Bayu Seto, 1992 : 5) menyebutkan bahwa Hukum
Perdata Internasional adalah keseluruhan aturan-aturan yang mengatur hubungan-
hubungan hukum privat yang mengandung elemen-elemen internasional dan
hubungan-hubungan hukum yang memiliki kaitan dengan negara-negara asing,
sehingga dapat menimbulkan pertanyaan apakah penundukan langsung ke arah
hukum nasional dapat selalu dibenarkan.
G.C. Chesire (Bayu Seto, 1992 : 5) menyebutkan bahwa Hukum Perdata
Internasional adalah bagian dari hukum yang mulai beroperasi dalam hal pokok
perkara yang dihadapi pengadilan menyangkut suatu fakta, peristiwa, atau
transaksi yang berkaitan erat dengan suatu sistem hukum asing sehingga sistem
hukum asing itu tidak dapat begitu saja diabaikan.
Sudargo Gautama (1987 : 21) merumuskan Hukum Perdata Internasional
sebagai keseluruhan peraturan dan keputusan-hukum yang menunjukkan stelsel-
hukum manakah yang berlaku atau apakah yang merupakan hukum, jika
hubungan-hubungan dan peristiwa-peristiwa antara warga (warga) negara pada
suatu waktu tertentu memperlihatkan titik-titik-pertalian dengan stelsel-stelsel dan
kaidah-kaidah hukum dari dua atau lebih negara, yang berbeda lingkungan-
lingkungan-kuasa-tempat, (pribadi), dan soal-soal.
Secara umum diterima pandangan bahwa Hukum Perdata Internasional
adalah seperangkat kaidah-kaidah hukum nasional yang mengatur peristiwa yang
mengatur peristiwa atau hubungan hukum yang mengandung unsur trans nasional
atau unsur ekstra-teritorial.
Meskipun HPI dan Hukum Internasional publik sama-sama mengatur
hubungan atau persoalan yang melintas batas negara, namun terdapat perbedaan

3
Buku Ajar Hukum Perdata Internasional
B.Resti Nurhayati, SH.,MHum. – Fakultas Hukum Unika Soegijapranata Semarang

antara kedunya. Adapun yang membedakan HPI dengan Hukum Internasional


(publik) adalah pada sifat hukum hubungan atau persoalan yang diatur (objek)
nya.

C. SIFAT HUKUM PERDATA INTERNASIONAL


Terkait dengan pertentangan sebagaimana tersebut di atas, para ahli HPI
dapat dibedakan dalam dua kelompok besar, yakni (1) Aliran Internasionalis, dan
(2) Aliran Nasionalis.
Kaum Internasionalis hendak menganggap bahwa HPI sumber hukumnya
supra nasional. Hal ini berarti bahwa ada satu sistem hukum Perdata Internasional
untuk semua negara-negara di dunia, dan semua negara-negara di dunia harus
tunduk pada satu macam sistem HPI. Hal ini tentu sulit untuk direalisasikan
karena masing-masing negara memiliki kedaulatan dan sistem hukum tersendiri
yang spesifik, sehingga sulit untuk diminta tunduk pada satu sistem hukum yang
sama. Contohnya : konvensi-konvensi yang sudah disepakati di antara para
anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa, namun dalam praktek belum tentu semua
anggota PBB kemudian meratifikasi konvensi tersebut agar berlaku di negaranya.
Kaum Nasionalis adalah kelompok yang berpendapat bahwa HPI
merupakan bagian dari hukum nasional. Tiap-tiap negara-negara yang merdeka
dan berdaulat memiliki sistem HPI nya sendiri-sendiri, sehingga sumber-sumber
HPI adalah hukum nasional belaka.
Dengan demikian, istilah ”internasional” yang terdapat dalam HPI tidak
menunjuk pada sumber hukumnya, tetapi hanya menunjuk pada fakta-faktanya,
materinya, kasus posisinya yang memperlihatkan keterkaitan dengan sistem
hukum asing. Hubungan-hubungannyalah yang bersifat internasional, sedangkan
sumber hukumnya tetaplah bersifat nasional belaka.

D. TIGA MASALAH POKOK DALAM HUKUM PERDATA


INTERNASIONAL
Perkembangan HPI didasarkan pada pengakuan atas eksistensi dari
berbagai sistem hukum di dunia yang sederajat. Tetapi peristiwa-peristiwa HPI

4
Buku Ajar Hukum Perdata Internasional
B.Resti Nurhayati, SH.,MHum. – Fakultas Hukum Unika Soegijapranata Semarang

menunjukkan selalu menampakkan adanya kaitan atau relevansi peristiwa tersebut


dengan lebih dari satu sistem. Menurut Bayu Seto (1992 : 9-11), pertentangan
keadaan ini akan menimbulkan beberapa permasalahan yang dianggap sebagai
masalah pokok dalam HPI, yaitu :
1. Hakim atau badan peradilan manakah yang berwenang menyelesaikan
persoalan-persoalan yuridik yang mengandung unsur asing;
2. Hukum manakah yang harus diberlakukan untuk mengatur dan atau
menyelesaikan persoalan-persoalan yuridik yang mengandung unsur asing;
3. Bilamana/sejauh mana suatu pengadilan harus memperhatikan atau
mengakui putusan-putusan hakim asing dan atau mengakui hak-
hak/kewajiban-kewajiban hukum yang terbit berdasarkan hukum atau
putusan hakim asing.

E. INGAT
 Hukum Perdata Internasional adalah hukum yang mengatur hubungan
hukum perdata antara pelaku hukum yang masing-masing tunduk pada
hukum perdata (nasional) yang berbeda.
 Hubungan-hubungan, fakta, atau materi yang timbul dalam peristiwa
hukum Perdata Internasional memang mengandung unsur asing. Meskipun
terdapat unsur asing, namun Hukum Perdata Internasional bersifat
nasional, karena hukum yang diberlakukan untuk menyelesaikan perkara
tersebut (sumber hukumny) adalah hukum nasional.
 Terdapat tiga persoalan pokok dalam Hukum Perdata Internasional, yakni
mengenai hakim yang berwenang menyelesaikan perkara, hukum yang
harus diterapkan, dan kewenangan yurisdiksional dalam memutus perkara.

F. EVALUASI
1. Jelaskan apakah yang dimaksud dengan Hukum Perdata Internasional?
2. Jelaskan apakah perbedaan dan persamaan antara Hukum Perdata
Internasional dan Hukum Internasional publik?

5
Buku Ajar Hukum Perdata Internasional
B.Resti Nurhayati, SH.,MHum. – Fakultas Hukum Unika Soegijapranata Semarang

3. Jelaskan apakah yang menjadi pangkal pemikiran Kaum Internasionalis


dan Kaum Nasionalis? Apakah pemikiran tersebut dapat dibenarkan?
Berikan argumentasi anda!
4. Jelaskan, apakah yang menjadi pokok permasalahan dalam Hukum Perdata
Internasional? Jelaskan pula apakah yang menjadi latar belakang
timbulnya permasalahan tersebut!

G. DAFTAR PUSTAKA
Bayu Seto 1992, Dasar-Dasar Hukum Perdata Internasional, Citra Aditya Bakti,
Bandung.

Sudargo Gautama 1977, Pengantar Hukum Perdata Internasional, BPHN,


Jakarta.

Sunaryati Hartono 1989, Pokok-Pokok Hukum Perdata Internasional, Binacipta,


Bandung.

Ridwan Khairandy dkk, 1999, Pengantar Hukum Perdata Internasional, Gama


Media Offset, Yogyakarta.

6
Buku Ajar Hukum Perdata Internasional
B. Resti Nurhayati, SH.,MHum. – Fakultas Hukum Unika Soegijapranata Semarang

BAB II
SEJARAH PERKEMBANGAN HUKUM PERDATA INTERNASIONAL

Tujuan Pembelajaran Khusus :


Mahasiswa mampu menjelaskan sejarah perkembangan HPI di Indonesia dan
sejarah umum perkembangan HPI

Bahasan :
1. Sejarah Perkembangan HPI di Indonesia
2. Sumber-sumber HPI di Indonesia
3. Sejarah Umum Perkembangan HPI

A. PENDAHULUAN
Kaidah Hukum Perdata Internasional di Indonesia, tidak terkumpul dalam
satu undang-undang. Sampai saat ini, Indonesia tidak/belum memiliki peraturan
perundang-undangan yang semata-mata mengatur bidang hukum perdata
internasional, tetapi peraturan yang ada terpencar dan tersebar dalam berbagai
peraturan /undang-undang. Contohnya : dalam Undang-Undang tentang
Penanaman Modal Asing, Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan
Dasar Pokok-Pokok Agraria, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, Undang-Undang No. 26 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, dan
sebagainya.
Bahkan dalam undang-undang yang telah disebut di atas, pengaturan itupun
tidaklah disebut secara tegas, tetapi hanya menjadi bagian dan tersebar dalam
undang-undang tersebut. Justru kitalah yang harus menelusuri, mencari,
menafsirkan pasal manakah yang dapat diterapkan atau digunakan untuk
menyelesaikan sebuah peristiwa yang bersifat Hukum Perdata internasional.

B. SEJARAH PERKEMBANGAN HPI DI INDONESIA


Sejarah perkembangan Hukum Perdata Indonesia sebenarnya sudah dimulai
sebelum masa kedatangan Belanda di Indonesia. Sunaryati Hartono (1989 : 1250)

7
Buku Ajar Hukum Perdata Internasional
B. Resti Nurhayati, SH.,MHum. – Fakultas Hukum Unika Soegijapranata Semarang

mengemukakan bahwa dari fakta sejarah, bahwa sejak abad ke-2 Masehi bangsa
yang hidup di kepulauan Indonesia sudah mengadakan pelayaran sampai jauh
keluar batas-batas kepulauan Indonesia. Sejak abad ke-5 orang-orang Indonesia
sudah mempunyai hubungan dengan bangsa-bangsa asing seperti Cina, India,
Portugis, Inggris, dan lain-lain. Hubungan ini dapat dipastikan menimbulkan juga
hubungan-hubungan hokum, seperti jual beli dan pengangkutan (perdagangan
dengan orang asing merupakan suatu kegiatan yang pesat) dan juga perkawinan
campuran (terutama di kalangan orang-orang kraton). Tentunya dalam
perhubungan demikian ada peraturan-peraturan hukumnya, walaupun tidak secara
khusus dalam peraturan tertentu, terlebih karena pada waktu itu Indonesia lebih
mengenal hukum adat
Sunaryati Hartono (1989) memilah sejarah perkembangan Hukum Perdata
Internasional Indonesia dalam pengelompokan kurun waktu sebagai berikut :
1. Zaman Majapahit
Pada zaman Majapahit, perundang-undangan yang ada sudah sangat
terperinci, sehingga tidak banyak tergantung pada kebijaksanaan hakim
semata-mata. Hukum pada zaman Majapahit pada waktu itu coraknya
sangat formil, meskipun dapat dikatakan bahwa pada waktu itu belum
terdapat peraturan-peraturan yang khusus mengatur hubungan-hubungan
yang dapat disamakan dengan hubungan Hukum Perdata Internasional.
Keunggulannya adalah pada saat itu adalah bahwa “administration of
justice” pada waktu itu telah mencapai tingkat yang tinggi. Sebagai contoh
misalnya ada keharusan pencatatan-pencatatan tertentu dalam suatu
hubungan pinjam-meminjam
Dapat pula diduga bahwa perhubungan-perhubungan dagang dengan orang
asing pada masa itu diatur dengan cara yang sama seperti dalam
pertukaran barang-barang atau jual-beli antara penduduk setempat menurut
azas locus regit actum, sehingga dapat dikatakan bahwa untuk hubungan-
hubungan yang dapat dinamakan hubungan Hukum Perdata Internasional
berlaku hukum intern setempat.

8
Buku Ajar Hukum Perdata Internasional
B. Resti Nurhayati, SH.,MHum. – Fakultas Hukum Unika Soegijapranata Semarang

2. Kitab Undang-Undang Amanna Gappa


Amanna Gappa sebenarnya adalah nama Matoa/kepala suku orang Bugis
di daerah Wajo yang hidup sekitar abad ke-17. Dia sebagai Matoa yang
Ketiga menyusun dan membukukan peraturan pelayaran dan perdagangan
yang tak tertulis, dan dipegang teguh oleh orang-orang Wajo pada sekitar
tahun 1676. Ditemukan bukti-bukti yang tertulis di daun lontar tentang hal
itu, dan terdapat beberapa asas dalam Undang-Undang Amanna Gappa
yang berlaku sampai sekarang ini, yaitu :
a. Setiap negeri mempunyai hukumnya sendiri;
b. Setiap negeri mempunyai hakimnya sendiri;
c. Di kapal nahkoda lah yang bertindak sebagai hakim;
d. Di kapal berlaku hukum sang nahkoda;
e. Kapal adalah wilayah hukum negeri sang nahkoda;
f. Perselisihan diselesaikanmenurut hukum yang berlaku di tempat
terjadinya perselisihan (lex loci delicti) dan oleh hakim setempat;
g. Suatu perbuatan dinilai menurut hukum tempat perbuatan itu
dilakukan (lex loci actis).
3. Masa Kedatangan Orang-Orang Barat di Indonesia
Kedatangan bangsa-bangsa barat di Indonesia pada awal mulanya adalah
untuk berdagang. Namun perdagangan tersebut berkembang ke arah
monopoli bahkan kemudian menjajah Indonesia. Pada saat Belanda
berhasil menguasai seluruh wilayah Indonesia, pada waktu itu kekuasaan
mereka sedemikian besar.
Salah satu yang dilakukan oleh Belanda pada waktu itu adalah
membedakan penduduk Indonesia ke dalam tiga golongan penduduk.
Pembedaan golongan penduduk tersebut, berpengaruh terhadap hukum
yang berlaku bagi masing-masing golongan. Namun pemerintah Belanda
bersikap setengah-setengah, yakni dengan memberlakukan beberapa
bagian hukum Barat bagi semua golongan untuk beberapa hal tertentu.
Terkait dengan permasalahan hubungan antara penduduk – yang
seharusnya berbeda kewarganegaraan – atau dengan perkataan lain sesuatu

9
Buku Ajar Hukum Perdata Internasional
B. Resti Nurhayati, SH.,MHum. – Fakultas Hukum Unika Soegijapranata Semarang

yang semestinya merupakan hubungan yang bersifat perdata internasional


maka hubungan yang ada menjadi bersifat Quasi Internasional.

C. SUMBER-SUMBER HPI DI INDONESIA


Sebelum Indonesia merdeka, ada beberapa peraturan yang menjadi sumber
Hukum Perdata Internasional, yaitu :
1. Algemene Bepalingen van Wetgeving/AB (Staatsblaad 1847 no. 23)
Ada beberapa pasal dalam AB yang dapat disebut sebagai sumber
Hukum Perdata Internasional, yakni :
a. Pasal 16 AB yang isinya :
“Bagi penduduk Hindia Belanda*, peraturan-peraturan perundang-
undangan mengenai status dan wewenang seseorang tetap berlaku
terhadap mereka, apabila mereka berada di luar negeri”.
*dengan UU Kewarganegaraan RI ditafsirkan setiap WN RI.
Pasal ini sesuai dengan statuta personalia yang mencakup :
1. Peraturan mengenai hukum perorangan (personenrecht),
termasuk hukum kekeluargaan.
2. Peraturan mengenai benda bergerak (benda tidak tetap)
Peraturan tentang benda bergerak dimasukkan dalam statuta
personalia, karena benda bergerak umunya dapat mengikuti
status dari pemiliknya.
b. Pasal 17 AB yang isinya :
“Terhadap benda-benda tetap (tidak bergerak) berlaku perundang-
undangan negara atau tempat di mana benda-benda itu terletak”.
Pengaturan tentang kebendaan benda tetap disebut pula statuta realia.
Pada pasal ini terkandung asas lex rei sitae, yang artinya bahwa
terhadap benda tetap berlaku hukum tempat dimana benda itu berada.
c. Pasal 18 AB yang isinya :
(1). Bentuk dari setiap perbuatan dinilai menurut per-UU-an Negara
dan tempat perbuatan itu dilakukan.

10
Buku Ajar Hukum Perdata Internasional
B. Resti Nurhayati, SH.,MHum. – Fakultas Hukum Unika Soegijapranata Semarang

(2). Dalam melaksanakan pasal ini dan yang sebelumnya, selalu


harus diperhatikan perbedaan yang oleh undang-undang
diadakan antara orang Eropa dan orang Indonesia asli.
Pengaturan tentang mengatur tentang segi formil dari perbuatan
hukum disebut statuta mixta, sedangkan hukum yang diberlakukan
adalah hukum dari tempat di mana terjadinya perbuatan hukum
tersebut.
2. Indische Staats Regeling (Staatsblaad 1925 no. 415)
Pasal 163 IS membedakan penduduk Indonesia menjadi 3 golongan,
yakni :
a. Golongan Eropa
b. Golongan Timur Asing
c. Golongan Bumi Putera
Pasal 163 IS terkait dengan Pasal 11 AB yang mengatur bagi golongan
Bumi Putera berlaku hukum adapt mereka masing-masing.
3. Larangan Pengasingan tanah (Staatsblaad no. 179)
Staatsblaad ini mengatur bahwa tanah yang tunduk pada Hukum Adat
tetap tunduk pada Hukum Adat, dan tidak boleh dijual kepada mereka
yang tidak tunduk pada Hukum Adat.
Setelah kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945 ada beberapa peraturan
yang dapat menjadi sumber HPI, beberapa yang dapat disebut misalnya :
1. Undang-Undang Kewarganegaraan Republik Indonesia
2. Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan-ketentuan
Dasar Pokok-Pokok Agraria
3. Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal
Asing
4. Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

11
Buku Ajar Hukum Perdata Internasional
B. Resti Nurhayati, SH.,MHum. – Fakultas Hukum Unika Soegijapranata Semarang

D. INGAT
 Hukum Perdata Internasional di Indonesia sebenarnya telah dimulai
sejak masa perkembangan kerajaan-kerajaan di Indonesia, meskipun
dalam bentuk yang masih sangat sederhana. Azas yang berkembang
adalah azas lex fori.
 Pada masa penjajahan Belanda, Hukum Perdata Internasional
Indonesia bersifat quasi internasional. Pada waktu itu ada beberapa
peraturan yang dapat disebut sebagai sumber HPI, yakni AB, IS, dan
sebagainya.
 Setelah kemerdekaan Indonesia, sumber HPI tersebar ke dalam
berbagai undang-undang nasional, sementara beberapa peraturan lain
seperti AB masih tetap digunakan sebagai pedoman.

E. EVALUASI
1. Jelaskan apakah Hukum Perdata Internasional sudah dikenal di
Indonesia sejak zaman berkembangnya kerajaan-kerajaan di nusantara!
Berikan bukti-bukti terkait hal tersebut.
2. Jelaskan apakah yang diatur dalam Kitab Amanna Gappa? Berikan
contohnya!
3. Bagaimanakah sifat/ciri Hukum Perdata Internasional pada masa
kerajaan-kerajaan di Nusantara?
4. Jelaskan apakah yang dimaksud dengan Quasi Internasional!
5. Sebut dan jelaskan beberapa sumber Hukum Perdata Internasional
Indonesia pada pra kemerdekaan Indonesia!
6. Jelaskan bagaimanakah pengaturan Hukum Perdata Internasional
Indonesia setelah kemerdekaan Indonesia!

12
Buku Ajar Hukum Perdata Internasional
B. Resti Nurhayati, SH.,MHum. – Fakultas Hukum Unika Soegijapranata Semarang

F. DAFTAR PUSTAKA
Bayu Seto 1992, Dasar-Dasar Hukum Perdata Internasional, Citra Aditya Bakti,
Bandung.

Sudargo Gautama 1977, Pengantar Hukum Perdata Internasional, BPHN,


Jakarta.

Sunaryati Hartono 1989, Pokok-Pokok Hukum Perdata Internasional, Binacipta,


Bandung.

Ridwan Khairandy dkk, 1999, Pengantar Hukum Perdata Internasional, Gama


Media Offset, Yogyakarta.

13
Buku Ajar Hukum Perdata Internasional
B. Resti Nurhayati, SH.,MHum. – Fakultas Hukum Unika Soegijapranata Semarang

BAB III
TEORI-TEORI HUKUM PERDATA INTERNASIONAL

Tujuan Instruksional Khusus :


Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan teori-teori modern dalam HPI

Bahasan :
1. Teori Statuta Modern
2. Teori HPI Internasional
3. Teori Teritorial
4. Teori Hukum Lokal
5. Teori Relasi siginificant
6. Teori Analisa kepentingan

A. PENDAHULUAN
Perkembangan Hukum Perdata Internasional didukung oleh berbagai teori di
bidang Hukum Perdata Internasional. Teori-teori ini memperlihatkan bagaimana
perkembangan Hukum Perdata Internasional di berbagai tempat. Perkembangan
Hukum Perdata Internasional di berbagai Negara dapat dikatakan dimulai dari
perdagangan dengan orang-orang asing, yang kemudian melahirkan kaidah-kaidah
HPI.
Pada zaman Romawi kuno, menurut bayu seto (1992 : 14) segala persoalan
yang timbul sebagai akibat hubungan natara orang Romawi dengan pedagang asing
diselesaikan oleh hakim yang disebut Praetor peregrines. Hukum yang digunakan
oleh hakim pada dasarnya adalah hokum yang berlaku bagi para cives (warga
Negara) Romawi, yaitu ius civile, yang telah disesuaikan di sana sini untuk
kebutuhan pergaulan internasional Ius civile yang telah diadaptasi untuk hubungan
internasional itu kemudian disebut Ius Gentium. Ius Gentium memuat kaidah-kaidah

14
Buku Ajar Hukum Perdata Internasional
B. Resti Nurhayati, SH.,MHum. – Fakultas Hukum Unika Soegijapranata Semarang

yang dapat dikategorikan ke dalam Ius Privatum dan Ius Publicum. Bagian dari Ius
Gentium yang termasuk Ius Privatum lah yang menjadi cikal bakal HPI, sedangkan
bagian Ius Gentium-nya berkembang menjadi hukum public.
Pada masa Romawi (Bayu Seto, 1992 : 14-15) berkembang azas-azas yang
dilandasi azas territorial, yang dewasa ini dapat dianggap sebagai asas HPI yang
pentingm, yakni :
1. Azas Lex Rei Sitae (Lex Situs) yang menyatakan bahwa : Hukum yang
harus diberlakukan atas suatu benda adalah hukum dari tempat benda
terletak/berada.
2. Azas Lex Loci Contractus, yang menyatakan bahwa : terhadap perjanjian-
perjanjian yang bersifat HPI berlaku kaidah-kaidah hukum dari tempat
pembuatan perjanjian.
3. Azas Lex Domicili, yang menetapkan bahwa : Hukum yang mengatur hak
serta kewajiban perorangan adalah hukum dari tempat seseorang
berkediaman tetap.

B. TEORI STATUTA MODERN


Teori Statuta Modern merupakan perluasan dari teori statuta sebelumnya yang
mengklasifikasikan kaidah hukum ke dalam kategori statuta realia, statuta
personalia, dan statuta mixta.
Berdasarkan teori Statuta Modern (Bayu Seto, 1992 : 29), orang berusaha
untuk menyelesaikan sebanyak mungkin persoalan HPI dengan menggolongkan atau
mengkategorikan masalah-masalah hukum ke dalam kategori real atau personal.
Masalah-masalah Realia menurut teori ini harus diatur berdasarkan hukum dari
tempat (teritori) yang berkaitan dengan benda atau perbuatan. Sedangkan masalah-
masalah hukum lain dikategorikan ke dalam kategori personalia, bilamana hukum
personal para pihak ternyata harus diberlakukan, tanpa memperhatikan tempat
dimana perkara hukum itu timbul.

15
Buku Ajar Hukum Perdata Internasional
B. Resti Nurhayati, SH.,MHum. – Fakultas Hukum Unika Soegijapranata Semarang

Para penentang teori ini berpendapat bahwa pendekatan di atas menimbulkan


suatu kesulitan apabila system hukum suatu Negara mengkualifikasikan sekumpulan
fakta ke dalam kategori realia sedangkan sistem di negara lain menganggapnya
sebagai masalah personalia. Namun terhadap sanggahan ini, para penganut teori
statuta modern beranggapan bahwa keterbatasan-keterbatasan semacam itu memang
ada, tetapi dalam keadaan semacam itu forum dapat memberlakukan hukumnya
sendiri (lex fori) serta mengesampingkan berlakunya hukum asing dengan dasar demi
ketertiban umum (public order).

C. TEORI HPI INTERNASIONAL


Teori ini didasarkan pada pemikiran bahwa dalam hubungan pergaulan antar
bangsa diperlukan adanya kesamaan azas-azas Hukum Perdata Internasional yang
dianggap bersifat universal.
Teori yang dirintis oleh F. Carl von Savigny (Bayu Seto, 1992 : 31) ini
berusaha untuk mempertahankan adanya seperangkat kaidah HPI yang bersifat
universal dan yang akan mengatur serta berlaku bagi semua orang dimanapun juga.
Kesulitan yang dihadapi teori ini adalah kenyataan bahwa prinsip kedaulatan suatu
negara sangat membatasi kemungkinan berlakunya kaidah-kaidah HPI universal
dalam penyelesaian suatu perkara. Bahkan negara-negara tersebut dapat mengabaikan
kaidah-kaidah HPI universal dengan dasar ketertiban umum atau demi kaidah hukum
positif yang bersifat memaksa.

D. TEORI TERITORIAL
Prinsip yang mendasari teori ini adalah bahwa sistem hukum yang
diberlakukan di dalam badan peradilan suatu negara pada dasarnya adalah sistem
hukum intern negara itu. Sistem-sistem hukum asing (negara lain) hanya akan
diberlakukan dan atau diperhatikan sejauh penguasa/pihak yang berdaulat di negara
forum mengizinkannya (Bayu Seto, 1992 : 32).

16
Buku Ajar Hukum Perdata Internasional
B. Resti Nurhayati, SH.,MHum. – Fakultas Hukum Unika Soegijapranata Semarang

Prinsip ini sejalan dengan asas Hukum Internasional Publik yaitu azas
Comitas Gentium (comity of nations/sopan santun antar bangsa) yang dianjurkan
demi keadilan, khususnya dalam hal akan terjadi ketidakadilan apabila hukum asing
yang sebenarnya relevan ternyata diabaikan. Dalam perkembangannya azas ini
diganti dengan azas the doctrine of vested right, yang berpendapat bahwa :
”badan peradilan suatu negara pada prinsipnya tidak pernah memberlakukan
hukum asing dalam arti sebenarnya, mealinkan hanya berurusan dengan hak-
hak yang telah diperoleh berdasarkan hukum asing tertentu, yang harus
dibuktikan sebagai fakta di depan pengadilan”.
Jadi pada prinsipnya, orang bukan mengakui atau memberlakukan hukum
asing, melainkan hanya mengakui (memberi daya laku ekstra teritorial) bagi hak-hak
yang terbit berdasarkan hukum asing. Dengan demikian, maka sebenarnya yang
diberlakukan dalam perkara-perkara HPI bukanlah hukum asing itu sendiri, tetapi
hukum hakim (lex fori).

E. TEORI HUKUM LOKAL


Teori hukum lokal dapat dipandang sebagai teori yang berusaha untuk
menerapkan teori territorial secara lebih radikal. Teori ini mendasarkan prinsip bahwa
tidak ada badan peradilan suatu negara yang menerapkan kaidah-kaidah hukum dari
negara lain, selain kaidah-kaidah hukum dari sistem hukumnya sendiri.
Bayu Seto (1992 : 34) menyebutkan bahwa bila suatu tuntutan ganti rugi,
maka keputusan itu hanya semata-mata hanya demi pemenuhan tuntutan kebutuhan
sosial untuk memberikan ganti rugi dengan cara yang sedekat mungkin dengan aturan
semacam itu yang dikenal di negara asing yang bersangkutan. Jadi pengadilan bukan
memberlakukan, mengakui atau menerapkan hukum asing, tetapi hanya menerapkan
suatu hak yang diciptakannya sendiri, dengan mempertimbangkan kemiripannya
dengan hak atau lembaga hukum sejenis yang dikenal di dalam sistem hukum asing
tertentu.

17
Buku Ajar Hukum Perdata Internasional
B. Resti Nurhayati, SH.,MHum. – Fakultas Hukum Unika Soegijapranata Semarang

F. TEORI RELASI SIGNIFICANT (THE MOST SIGNIFICANT


RELATIONSHIP)
Tokoh teori ini adalah William Reese. Teori ini dikembangkan di dalam
sistem Hukum Perdata Internasional Amerika Serikat (Conflict of Laws). Amerika
Serikat yang memiliki negara-negara bagian, memiliki beberapa kesulitan tersendiri
dalam menjawab masalah perselisihan hukum antar negara bagian. Pendekatan-
pendekatan yang dikembangkan dalam teori ini pada prinsipnya menolak pandangan
tradisional yang menganggap bahwa persoalan-persoalan HPI dapat diselesaikan
dengan kaidah-kaidah HPI tradisional.
Teori ini juga menolak penggunaan titik taut tunggal (single connecting
factors untuk menetapkan tempat terjadinya suatu perbuatan/peristiwa hukum, dan
menganjurkan agar tempat semacam itu dipilih dengan memperhatikan berbagai
faktor berdasarkan beberapa prinsip HPI pada umumnya.
Teori yang merupakan restatement 2d ini (Bayu Seto, 1992 : 339-40)
menyebutkan bahwa dalam proses penetapan tempat atau negara yang memiliki
kaitan paling erat, maka hakim harus memperhatikan titik-titik taut tertentu yang
meliputi :
1. Kebutuhan akan suatu sistem terpadu dalam hubungan-hubungan antar
negara bagian dan internasional (the need of the interstate and
international system);
2. Kebijaksanaan-kebijaksanaan intern dari negara-negara yang terlibat
dalam perkara, berikut kepentingan-kepentingan dari negara-negara itu
pada hasil penyelesaian perkara yang bersangkutan (the relevant policies
of the involved states and their relative interests in the determination of
the particular issue);
3. Kebijaksanaan-kebijaksanaan dari forum (the relevant policies of the
forum);

18
Buku Ajar Hukum Perdata Internasional
B. Resti Nurhayati, SH.,MHum. – Fakultas Hukum Unika Soegijapranata Semarang

4. Prinsip-prinsip dasar dan politik hukum yang mendasari bidang hukum


yang mendasari pokok perkara (the basic policies underlying the
particular field of law);
5. Kepastian, prediktabilitas, serta keseragaman putusan perkara (certainty,
predictability and unformity of result);
6. Kemudahan dan kepraktisan dalam penentuan serta penerapan kaidah-
kaidah hukum yang seharusnya berlaku (ease in the determination and
application of the law to be applied).

G. TEORI ANALISA KEPENTINGAN


Pelopor teori ini adalah Profesor Brainerd Currie. Yang dimaksud dengan
interest (kepentingan) dalam teori ini sebenarnya adalah : kepentingan dari setiap
negara yang relevan dengan perkara untuk memberlakukan kaidah-kaidah hukumnya
dalam perkara yang bersangkutan. Adanya kebijaksanaan-kebijaksanaan umum
(policies) tertentu di balik pemberlakuan suatu kaidah hukum itulah yang mendasari
kepentingan dari negara yang bersangkutan untuk memberlakukan hukumnya dalam
perkara.
Teori ini bertitik tolak dari asumsi bahwa sistem hukum yang pada dasarnya
harus diberlakukan (the applicable law) dalam suatu perkara HPI adalah lex fori.
Keputusan untuk mengesampingkan lex fori dan menggantinya dengan suatu kaidah
hukum asing hanya dapat diambil setelah dilakukan analisis secara kasuistik (case-
by-case approach), dengan mempertimbangkan pelbagai “policies” dan “interests“
negara-negara lain yang sistem hukumnya relevan dengan pokok perkara.

H. EVALUASI
1. Buatlah tiga pertanyaan lengkap dengan jawaban untuk teori-teori tersebut
di atas!
2. Jelaskan berbagai kemungkinan kepentingan dalam teori analisa
kepentingan!

19
Buku Ajar Hukum Perdata Internasional
B. Resti Nurhayati, SH.,MHum. – Fakultas Hukum Unika Soegijapranata Semarang

I. DAFTAR PUSTAKA

Bayu Seto 1992, Dasar-Dasar Hukum Perdata Internasional, Citra Aditya Bakti,
Bandung.

Ridwan Khairandy dkk, 1999, Pengantar Hukum Perdata Internasional, Gama


Media Offset, Yogyakarta.

Sudargo Gautama 1977, Pengantar Hukum Perdata Internasional, BPHN, Jakarta.

Sunaryati Hartono 1989, Pokok-Pokok Hukum Perdata Internasional, Binacipta,


Bandung.

20
Buku Ajar Hukum Perdata Internasional
B.Resti Nurhayati, SH.,MHum – Fakultas Hukum Unika Soegijapranata Semarang

BAB IV
KUALIFIKASI

Kompetensi Dasar:
Mahasiswa mampu menjelaskan dan mengaplikasikan berbagai cara kualifikasi dalam
HPI.

Bahasan :
1. Pengertian Kualifikasi
2. Kualifikasi lex fori
3. Kualifikasi lex causae
4. Kualifikasi Bertahap
5. Kualifikasi Analitis
6. Kualifikasi HPI
7. Kualifikasi masalah Substansial dan Prosedural

A. PENDAHULUAN
Dalam pengambilan keputusan yuridis, tindakan kualifikasi merupakan tindakan
praktis yang selalu dilakukan. Alasannya adalah orang mencoba untuk menata
sekumpulan fakta yang dihadapi, mendefinisikan serta menenmpatkan ke dalam kategori
tertentu.
Ada beberapa istilah lain untuk kualifikasi, seperti :
o Qualification (Perancis)
o Qualification/Characterisierung (Jerman)
o Classification/Characterization (Inggris)
o Qualificatie (Belanda)
Menurut Sunaryati Hartono (1989 : 70-71) masalah kualifikasi dalam Hukum Perdata
Internasional menjadi lebih rumit, karena :
1. Berbagai sistem hukum memberi arti berlainan pada istilah-istilah hukum yang
sama bunyinya. Misalnya : “domicilie” dalam Hukum Belanda berlainan artinya

21
Buku Ajar Hukum Perdata Internasional
B.Resti Nurhayati, SH.,MHum – Fakultas Hukum Unika Soegijapranata Semarang

dengan “domisili” dalam hokum Indonesia dan berlainaan pula artinya dengan
“domicilie” dalam Hukum Inggris.
2. Sistem hukum yang satu mungkin mengenal lembaga hokum yang tidak dikenal
oleh system hukum yang lain. Misalnya : “trust” dalam sistem Hukum Inggris
tidak dikenal oleh sisten hukum Eropa Kontinental. Demikian pula perjanjian
“kempitan” atau “ijon” dalam Hukum Adat tidak dikenal oleh sistem hukum yang
lain. Adopsi orang dewasa misalnya juga tidak dikenal dalam sistem hukum
Belanda atau Inggris, tetapi dikenal dalam hukum Adat Batak dan Bali.
3. Sistem-sistem hokum yang berlainan dapat memberi penyelesaian hokum yang
berbeda-bbeda pula untuk kumpulan fakta-fakta yang sama. Misalnya : Di
Inggris, seseorang yang menyalahi janjinya untuk mengawini wanita harus
membayar ganti kerugian berdasarkan wanprestasi. Sedangkan di Perancis, jika
unsur-unsurnya ada, hal tersebut dapat menimbulkan tindak pidana (delik).
Berbagai permasalahan tersebut memunculkan pertanyaan, berdasarkan sistem hukum
mana/sistem hukum apakah kualifikasi harus dilakukan?

B. PENGERTIAN KUALIFIKASI
Kualifikasi adalah suatu sistem penggolongan peristiwa atau hubungan hukum ke
dalam sistem kaedah-kaedah Hukum Perdata Internasional dan hukum materiil.
Dalam Hukum Perdata Internasional, kualifikasi terasa penting sebab dalam perkara
Hukum Perdata Internasional, orang selalu menghadapi kemungkinan pemberlakuan
lebih dari satu sistem hukum untuk mengatur sekumpulan fakta tertentu.
Di dalam Hukum Perdata Internasional dikenal dua macam kualifikasi, yakni :
1. Kualifikasi Fakta (classification of facts)
Kualifikasi fakta adalah penggolongan yang dilakukan terhadap sekumpulan fakta
menjadi satu atau lebih peristiwa hukum, berdasarkan kategori hukum dan
kaidah-kaidah hukum dari sistem hukum yang dianggap seharusnya berlaku (the
appropriate legal norm).
Proses kualifikasi fakta mencakup langkah-langkah :
a. Kualifikasi sekumpulan fakta dalam perkara ke dalam kategori-kategori
yuridik yang dikenal dalam lex fori.

22
Buku Ajar Hukum Perdata Internasional
B.Resti Nurhayati, SH.,MHum – Fakultas Hukum Unika Soegijapranata Semarang

Contoh : dalam ’perjanjian’ dikenal ’wanprestasi’


b. Kualifikasi sekumpulan fakta ke dalam kaidah/ketentuan hukum yang
seharusnya diberlakukan.
2. Kualifikasi Hukum (classification of law)
Kualifikasi hukum adalah penggolongan/pembagian seluruh kaidah hukum ke
dalam pengelompokan / kategori hukum tertentu yang telah ditetapkan
sebelumnya.
Contoh : Hukum Waris, Hukum Benda, Hukum Perjanjian.

C. KUALIFIKASI LEX FORI


Menurut teori kualifikasi lex fori, kualifikasi harus dilakukan berdasarkan hukum
dari pengadilan yang mengadili perkara, sebab kualifikasi adalah bagian dari hukum
intern forum. Alasannya adalah :
1. Kesederhanaan (simplicity);
2. Kepastian (certainty).
Perkecualian :
1. Persoalan yang menyangkut hakekat suatu benda, kualifikasi berdasarkan lex
situs;
2. Persoalan mengenai kontrak yang dibuat melalui korespondensi, kualifikasi
dilakukan berdasarkan lex loci contractus.
Keuntungan menggunakan kualifikasi lex fori adalah kaidah hukum lex fori paling
dikenal oleh hakim. Sedangkan kelemahan kualifikasi ini adalah menimbulkan
ketidakadilan.

D. KUALIFIKASI LEX CAUSAE


Pendukung teori ini adalah Despagnet, Martin Wolff dan G.C. Chesire. Menurut
para ahli yang mendukung kualifikasi lex cause, kualifikasi sebaiknya dilakukan sesuai
dengan sistem dan ukuran dari keseluruhan hukum yang terkait dengan perkara.
Menurut Ridwan Khairandy (1999 : 54), tindakan kualifikasi dimaksudkan untuk
menentukan kaidah HPI mana dari lex fori yang erat kaitannya dengan hukum asing yang
seharusnya berlaku. Penentuan ini dilakukan dengan mendasarkan system hukum asing

23
Buku Ajar Hukum Perdata Internasional
B.Resti Nurhayati, SH.,MHum – Fakultas Hukum Unika Soegijapranata Semarang

yang bersangkutan. Setelah lembaga hukum tersebut ditetapkan, barulah ditetapkan


kaidah-kaidah hukum apa di antara kaidah-kaidah lex fori yang harus digunakan untuk
menyelesaikan suatu perkara.

E. KUALIFIKASI BERTAHAP
Salah satu pendukung teori ini adalah Schnitzer, yang membedakan 2 tingkat
kualifikasi, yakni :
1. Qualifikation ersten Grades (kualifikasi tingkat pertama)
2. Qualifikation zweiten Grades (kualifikasi tingkat kedua)
Pada kualifikasi tingkat pertama kualifikasi selalu dilakukan menurut lex fori.
Kualifikasi ini dilakukan untuk menemukan lex causenya. Hal ini untuk menjawab Teori
Kualifikasi Lex Cause yang menyatakan bahwa kualifikasi dilakukan menurut lex cause.
Alasanya adalah orang tidak dapat melakukan kualifikasi menurut lex cause apabila lex
causenya sendiri belum diketahui.
Apabila lex cause sudah ditemukan maka barulah dilakukan kualifikasi tahap
kedua, yakni kualifikasi yang dilakukan menurut lex cause.

F. KUALIFIKASI ANALITIS/OTONOM
Kualifikasi terhadap sekumpulan fakta harus dilakukan secara terlepas dari
kaitannya terhadap suatu system hukum nasional tertentu. Tokoh teori ini antara lain
Rabel dan Beckett (Sunaryati Hartono, 1989 : 76), yang mengemukakan bahwa setiap
kaedah hukum harus dibandingkan dengan kaedah-kaedah hukum yang serupa dari
semua sistem-sistem hukum yang dikenal, dengan maksud agar tercipta satu macam
kualifikasi bagi hukum internasional yang universal dan berlaku dimana-mana.
Terhadap pendapat ini, Sunaryati Hartono (1989 : 77) mengingatkan bahwa dalam
praktek ini sulit dilakukan karena tiga hal :
1. Kita tidak mungkin menyelidiki semua system hukum yang berlaku;
2. Setiap sistem hukum mengalami perkembangan baru, sehingga di samping
penyelidikan semua sistem hukum tak mungkin kita lakukan, juga sangat sukar
untuk mengejar perubahan-perubahan hukum ini di segala bidang dan semua
sistem hukum.

24
Buku Ajar Hukum Perdata Internasional
B.Resti Nurhayati, SH.,MHum – Fakultas Hukum Unika Soegijapranata Semarang

3. Seandainya dapat diciptakan suatu sistem yang mencakup dan menggolongkan


semua lembaga-lembaga hukum yang ada itu ke dalam sistem hukum tersebut, itu
hanya mungkin dengan mengubah lembaga-lembaga hukum itu, sehingga kita
hanya mendapat gambaran rata-rata dari lembaga-lembaga hukum itu; dan bukan
gambaran yang sesungguhnya berlaku di setiap negara.

G. KUALIFIKASI HPI
Setiap kaidah Hukum Perdata Internasiona harus dianggap memiliki suatu tujuan
tertentu yang hendak dicapai. Adapun tujuan yang hendak dicapai tersebut :
1. Kepentingan para pihak;
2. Kepentingan pergaulan dan lalu lintas internasional;
3. Ketertiban dan kepastian hukum;
4. Perasaan keadilan dalam masyarakat.
Oleh karena itu masalah bagaimana proses kualifikasi harus dijalankan tidak dapat
ditentukan terlebih dahulu, setelah ditentukan kepentingan Hukum Perdata Internasional
apa yang hendak dicapai.

H. INGAT
 Dalam penyelesaian perkara yang bersifat HPI, kualifikasi penting untuk
dilakukan. Sebaiknya kualifikasi dilakukan secara seimbang, dengan
memperhatikan berbagai sistem hukum yang mungkin berlaku dalam kasus
itu.

I. EVALUASI
1. Jelaskan alasan, mengapa kualifikasi penting untuk dilakukan!
2. Jelaskan apa yang dimaksud dengan kualifikasi hukum dan kualifikasi fakta!
3. Jelaskan berbagai teori tentang kualifikasi dalam perkara HPI!
4. Menurut pendapat anda dari berbagai teori tentang kualifikasi tersebut, yang
manakah yang sekiranya paling tepat dilakukan!

25
Buku Ajar Hukum Perdata Internasional
B.Resti Nurhayati, SH.,MHum – Fakultas Hukum Unika Soegijapranata Semarang

J. DAFTAR PUSTAKA

Bayu Seto 1992, Dasar-Dasar Hukum Perdata Internasional, Citra Aditya Bakti,
Bandung.

Ridwan Khairandy dkk, 1999, Pengantar Hukum Perdata Internasional, Gama Media
Offset, Yogyakarta.

Sudargo Gautama 1977, Pengantar Hukum Perdata Internasional, BPHN, Jakarta.

Sunaryati Hartono 1989, Pokok-Pokok Hukum Perdata Internasional, Binacipta,


Bandung.

26
Buku Ajar Hukum Perdata Internasional
B. Resti Nurhayati, SH.,MHum. – Fakultas Hukum Unika Soegijapranata Semarang

BAB V
TITIK TAUT
Kompetensi Dasar :
Mahasiswa mampu menjelaskan dan menganalisis kasus dengan berdasarkan pada
teori tentang titik taut.

Bahasan :
1. Pengertian titik taut
2. Titik pertalian primer
3. Titik pertalian sekunder

A. PENDAHULUAN
Seorang warga negara Jerman, berdomisili di Inggris, meninggal di
Perancis, meninggalkan warisan di Italia, membuat testamen di Rusia. Salah
seorang ahli warisnya yang berdomisili di Indonesia, mengajukan gugatan kepada
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Contoh kasus tersebut menunjukkan bahwa adanya kaitan antara fakta-
fakta yang ada dalam perkara dengan suatu tempat dan suatu sistem hukum yang
harus atau mungkin digunakan untuk menyelesaikan perkara tersebut. Misalnya
kewarganegaran di pewaris, domisili tetap si pewaris, tempat letak benda, tempat
penetapan testamen, tempat pengajuan perkara. Hal-hal yang menunjukkan
pertautan/kaitan tersebut dalam HPI disebut Titik Taut.

B. PENGERTIAN TITIK TAUT


Ada beberapa istilah yang digunakan untuk menyebut titik taut, yakni
sebagai berikut :
1. Anknopingspunten (Belanda)
2. Connecting factors . point of contact (Inggris)

27
Buku Ajar Hukum Perdata Internasional
B. Resti Nurhayati, SH.,MHum. – Fakultas Hukum Unika Soegijapranata Semarang

Sudargo Gautama (1986 : 24) memberikan definisi titik taut sebagai hal-hal atau
keadaan yang menyebabkan berlakunya suatu stelsel hukum.
Titik taut merupakan suatu bagian yang penting dari Hukum Perdata Internasional,
karena titik taut inilah yang pertama-tama member petunjuk kepada kita bahwa kita
menghadapi persoalan HPI.
Di dalam HPI dikenal dua macam titik pertalian, yaitu titik pertalian primer
(primary points of contact/titik taut pembeda) dan titik pertalian sekunder (secondary
points of contack/titik taut penentu).

C. TITIK PERTALIAN PRIMER


Titik taut primer adalah unsure-unsur dalam sekumpulan fakta yang
menunjukkan bahwa suatu peristiwa hukum merupakan peristiwa Hukum Perdata
Internasional dan bukan merupakan peristiwa hukun intern/nasional biasa.
Atau dengan perkataan lain adalah titik yang membedakan HPI dari peristiwa intern,
sehingga dinamakan Titik Taut Pembeda.
Contoh :
1. Seorang Warga Negara Indonesia menikah dengan orang Jepang.
Kewarganegaraan Jepang yang dimiliki oleh salah satu pihak menunjukkan
peristiwa HPI.
2. Dua orang warga negara Indonesia menikah di Australia. Meskipun keduanya
adalah warga negara Indoensia, tetapi perkawinan yang dilangsungkan di luar
negeri menyebabkan mereka berhadapan dengan HPI.

D. TITIK PERTALIAN SEKUNDER


Titik taut sekunder adalah unsur-unsur dalam sekumpulan fakta yang
menentukan hukum manakah yang harus berlaku untuk mengatur suatu peristiwa
HPI. Oleh karena itu Titik Taut Sekunder biasa dinamakan Titik Taut Penentu.

28
Buku Ajar Hukum Perdata Internasional
B. Resti Nurhayati, SH.,MHum. – Fakultas Hukum Unika Soegijapranata Semarang

E. JENIS-JENIS TITIK TAUT DALAM HPI


Dalam HPI dikenal beberapa jenis titik taut, yakni :
1. Kewarganegaraan fihak-fihak yang bersangkutan;
2. Domicilie, tempat tinggal, tempat asal seseorang atau domisili tempat
kedudukan Badan Hukum;
3. Tempat kedudukan (letak= situs) suatu benda;
4. Bendera kapal;
5. Tempat suatu perbuatan hukum dilakukan (locus actus);
6. Tempat dimana akibat suatu perbuatan timbul/tempat pelaksanaan perjanjian
(locus soulutionis);
7. Tempat perbuatan-perbuatan resmi dilakukan dan tempat perkara/gugatan
diajukan (locus forum);
8. Pilihan hukum (choice of law) yaitu hukum yang dipilih oleh para pihak.
Dari berbagai macam titik taut tersebut, Ridwan Khairandy (1999 : 26)
mengelompokkan sebagai titik taut primer :
1. Kewarganegaraan;
2. Bendera kapal;
3. Domisili (domicile);
4. Tempat kediaman (residence);
5. Tempat kedudukan badan hukum (legal seat);
6. Pilihan hukum dalam hubungan intern.
Sedangkan menurut Sudargo Gautama (1977 : 31) yang termasuk Titik Taut
Sekunder atau penentu adalah :
1. Tempat letak benda (lex situs, lex rei sitae);
2. Tempat dilangsungkannya perbuatan hukum (lex loci actus);
3. Tempat dilangsungkannya atau diresmikannya perkawinan (lex loci
celebrationis);
4. Tempat ditandatanganinya kontrak (lex loci contractus);
5. Tempat dilaksanakannya perjanjian (lex loci solutionis = lex loci executionis);

29
Buku Ajar Hukum Perdata Internasional
B. Resti Nurhayati, SH.,MHum. – Fakultas Hukum Unika Soegijapranata Semarang

6. Tempat terjadinya perbuatan melawan hukum (lex loci delicti commisi);


7. Pilihan hukum (choice of law); Menurut Sudargo Gautama ada kemungkinan
TPS jatuhnya bersamaan dengan TPP, yaitu :
8. Kewarganegaraan (lex patriae);
9. Bendera kapal (dan pesawat udara);
10. Domisili (lex domicilii)
11. Tempat kediaman;
12. Tempat kedudukan badan hukum (legal seats).
Tentunya titik taut tersebut tidak semuanya dipakai dalam sebuah perkara HPI, cukup
dipilih dan digunakan sesuai dengan kaidah-kaidah hukum yang ada.
Mengenai fungsionalisasi titik taut tersebut di dalam suatu perkara HPI dapat
dijelaskan sebagai berikut :
1. Pertama-tama ditentukan titik taut primer untuk menentukan apakah peristiwa
tersebut peristiwa HPI atau bukan;
2. Melakukan kualifikasi fakta berdasarkan lex fori, untuk menetapkan kategori
yuridis perkara yang dihadapi;
3. Setelah kategori yuridis ditentukan, langkah berikutnya adalah penentuan kaidah
HPI mana dari lex fori yang harus digunakan untuk menentukan lex cause. Pada
tahap ini sebenarnya orang menentukan titik taut sekunder apa yang bersifat
menentukan (decisive) berdasarkan kaidah HPI lex fori;
4. Setelah lex cause ditentukan, maka dengan menggunakan titik-titik taut yang
dikenal lex cause, hakim berusaha menetapkan kaidah-kaidah hukum internal apa
yang akan digunakan untuk menyelesaikan perkara;
5. Apabila berdasarkan titik taut dari lex cause hakim telah dapat menentukan
kaidah hukum internal/material apa yang harus diberlakukan, maka barulah
perkara dapat diputuskan.

30
Buku Ajar Hukum Perdata Internasional
B. Resti Nurhayati, SH.,MHum. – Fakultas Hukum Unika Soegijapranata Semarang

F. INGAT
Dalam menyelesaikan suatu perkara HPI, harus ditentukan terlebih dahulu
titik taut primer untuk menentukan apakah peristiwa yang dihadapi termasuk
peristiwa HPI atau bukan. Setelah itu ditentukan titik taut sekunder yang paling tepat
untuk kasus tersebut. Barulah dicari hukum internal/hukum materiil yang harus
diberlakukan.

G. EVALUASI
1. Jelaskan apakah yang kamu ketahui tentang titik taut, ada berapa macam
titik taut, jelaskan masing-masing!
2. Buatlah/carilah sebuah kasus HPI, lalu analisislah titik taut yang ada.
Cari/tentukan mana titik taut primer, mana titik taut sekundernya, dan titik
taut mana yang akan digunakan untuk menyelesaikan kasus tersebut.

H. DAFTAR PUSTAKA

Bayu Seto 1992, Dasar-Dasar Hukum Perdata Internasional, Citra Aditya Bakti,
Bandung.

Sudargo Gautama 1977, Pengantar Hukum Perdata Internasional, BPHN,


Jakarta.

Sunaryati Hartono 1989, Pokok-Pokok Hukum Perdata Internasional, Binacipta,


Bandung.

Ridwan Khairandy dkk, 1999, Pengantar Hukum Perdata Internasional, Gama


Media Offset, Yogyakarta.

31
Buku Ajar Hukum Perdata Internasional
B.Resti Nurhayati, SH.,MHum. – Fakultas Hukum Unika Soegijapranata Semarang

BAB VI
RENVOI

Tujuan Pembelajaran Khusus :


Mahasiswa mampu menjelaskan dan menerapkan renvoi pada kasus HPI.

Bahasan :
1. Pengertian Renvoi
2. Macam-macam Renvoi
3. Foreign Court Theory

A. PENDAHULUAN
Persoalan Renvoi berkaitan dengan persoalan : prinsip nasionalitas dan
domisili, kualifikasi, dan titik taut. Ketiga persoalan itu berkaitan dengan hukum
mana yang akan berlaku dalam suatu peristiwa HPI.
Penggunaan asas/prinsip Nasionalitas dan Domisili yang berbeda oleh
tiap-tiap negara menyebabkan hukum personal yang harus berlaku bagi masing-
masing warga negara juga berbeda. Asas Nasionalitas dan Domisili biasanya
digunakan untuk menentukan satus dan kewenangan personal seseorang. Yang
masuk pada kelompok pengaturan tentang status personal seseorang adalah :
hukum orang, hukum keluarga, dan hukum waris. Indonesia termasuk salah satu
negara yang menganut asas Nasionalitas.

B. PENGERTIAN RENVOI
Renvoi memiliki arti “penunjukkan kembali”.
Untuk menggambarkan terjadinya renvoi dapat digambarkan dengan
ilustrasi sebagai berikut :
Dalam sebuah perkara HPI, hakim yang memeriksa dan mengadili perkara,
setelah menemukan titik taut primer dan sekunder, menunjuk pada sebuah
hukum asing. Ternyata bahwa hukum asing yang ditunjuk oleh hakim tadi
menunjuk kembali pada lex fori. Di sini berarti terjadi “penunjukkan

32
Buku Ajar Hukum Perdata Internasional
B.Resti Nurhayati, SH.,MHum. – Fakultas Hukum Unika Soegijapranata Semarang

kembali”. Namun bisa pula terjadi hukum asing yang ditunjuk oleh hakim
tadi menunjuk lebih lanjut ke sistem hukum asing lainnya. Inilah yang
disebut “penunjukkan lebih lanjut”.
Jadi setelah titik taut diketahui, masih ada persoalan lain, yakni : bagian
manakah dari hukum asing yang harus berlaku? Apakah langsung hukum
intern/hukum domestiknya ataukah lebih luas lagi, termasuk kaidah-kaidah
HPI-nya. Yang dimaksud dengan kaidah HPI adalah kaidah yang dibuat untuk
menunjuk ke arah suatu sistem hukum tertentu sebagai sistem hukum yang harus
diberlakukan dalam menyelesaikan suatu masalah HPI.
Dengan demikian ada dua arti penunjukkan, yakni :
1. Penunjukkan ke arah kaidah hukum intern (domestic law; municipal law;
local law; sachnormen) dari suatu sistem hukum tertentu. Penunjukkannya
dinamakan sachnormenverweisung.
2. Penunjukkan ke arah seluruh sistem hukum, termasuk kaidah-kaidah HPI
dari sistem hukum asing tersebut, ini disebut kollisionnormen.
Penunjukkannya disebut gesamtverweisung.

C. MACAM-MACAM RENVOI
Sehubungan dengan adanya dua macam penunjukkan tersebut di atas,
maka ada dua macam renvoi, yakni :
1. Penunjukkan kembali/Remission/Simple Renvoi
Yakni penunjukkan oleh kaidah HPI asing kembali ke arah lex fori.

Skema :

X Y

33
Buku Ajar Hukum Perdata Internasional
B.Resti Nurhayati, SH.,MHum. – Fakultas Hukum Unika Soegijapranata Semarang

2. Penunjukkan lebih lanjut atau penunjukkan lebih jauh/Transmission/


Renvant the Second Degree.
Kaidah HPI asing yang telah ditunjuk oleh lex fori, menunjuk lebih
lanjut ke arah sistem hukum asing lain.
Skema :

X Y Z

D. FOREIGN COURT THEORY


Foreign Court Theory (FCT) jsering disebut sebagai Double Renvoi atau
Total Renvoi. FCT adalah jenis renvoi yang dikembangkan dan telah lama
diterima dalam sistem hukum di Inggris. FCT ini didasarkan pada pendirian
bahwa hakim Inggris dalam mengadili suatu perkara akan menempatkan diri
seolah-olah sebagai hakim dari forum/pengadilan asing yang sistem hukumnya
telah ditunjuk oleh kaidah HPI Inggris sebagai lex fori.
FCT dilaksanakan dalam dua tahap, yakni :
1. Tahap Pertama
Hakim menentukan terlebih dahulu sistem hukum asing/badan
peradilan mana yang seharusnya mengadili dan menyelesaikan perkara
tersebut (the proper lex fori atau the foreign lex fori atau lex fori
asing). Pada tahap ini kualifikasi dilakukan berdasarkan lex fori.
2. Tahap Kedua
Hakim menempatkan diri sebagai “hakim” dari hakim asing yang telah
ditunjuk (the foreign lex fori). Di sini kembali digunakan titik-titik taut
dan kualifikasi berdasarkan lex fori asing tersebut. Ini merupakan
proses ulangan untuk menentukan lex cause.
Menurut Bayu Seto (1992 : 96), penentuan lex cause dengan
menggunakan lex fori asing itu dapat menimbulkan beberapa
kemungkinan, yaitu :

34
Buku Ajar Hukum Perdata Internasional
B.Resti Nurhayati, SH.,MHum. – Fakultas Hukum Unika Soegijapranata Semarang

a. Kaidah-kaidah HPI lex fori asing menunjuk kembali ke arah lex


fori (dhi, Hukum Inggris);
Skema :
X Y Y X

b. Kaidah-kaidah HPI lex fori asing menunjuk lebih lanjut ke arah


suatu sistem hukum asing lain;
Skema :
X Y Y Z

c. Lex fori (Hukum Inggris) menunjuk kembali ke arah lex fori asing,
dan lex fori asing menerima penunjukkan kembali itu.
Skema :
X Y Y X Y

E. INGAT
1. Renvoi adalah penunjukkan kembali. Renvoi terjadi karena dalam
menentukan status personal seseorang masing-masing negara memiliki
prinsip yang berbeda.
2. Ada dua macam renvoi, yakni penunjukkan kembali dan penunjukkan
lebih lanjut.

F. EVALUASI
1. Jelaskan apakah yang dimaksud dengan “renvoi”!
2. Apakah yang dimaksud dengan Sachnormenverweisung dan
gesamtverweisung. Berikan contoh kasus.
3. Carilah kasus HPI, buatlah analisis, dan selesaikan. Penunjukkan jenis
apakah yang terjadi di situ. (dua macam kasus yang bisa menggambarkan
penunjukkan ekmbali dan penunjukkan lebih lanjut).

35
Buku Ajar Hukum Perdata Internasional
B.Resti Nurhayati, SH.,MHum. – Fakultas Hukum Unika Soegijapranata Semarang

G. DAFTAR PUSTAKA

Bayu Seto 1992, Dasar-Dasar Hukum Perdata Internasional, Citra Aditya Bakti,
Bandung.

Sudargo Gautama 1977, Pengantar Hukum Perdata Internasional, BPHN,


Jakarta.

Sunaryati Hartono 1989, Pokok-Pokok Hukum Perdata Internasional, Binacipta,


Bandung.

Ridwan Khairandy dkk, 1999, Pengantar Hukum Perdata Internasional, Gama


Media Offset, Yogyakarta.

36
Buku Ajar Hukum Perdata Internasional
B. Resti Nurhayati, SH.,MHum. – Fakultas Hukum Unika Soegijapranata Semarang

BAB VII
PERSOALAN PENDAHULUAN DAN PENYESUAIAN

Tujuan Pembelajaran Khusus :


Mahasiswa mampu menjelaskan pengertian persoalan pendahuluan, cara-cara
penyelesaian apabila terjadi persoalan pendahuluan dan penyesuaian.

Bahasan :
1. Pengertian Persoalan Pendahuluan
2. Cara-cara Penyelesaian Persoalan Pendahuluan
3. Pengertian Penyesuaian

A. PENDAHULUAN
Dalam menyelesaikan suatu perkara HPI, terkadang harus ada perkara-
perkara yang mendahului yang harus diselesaikan terlebih dahulu sebelum
menyelesaikan perkara pokoknya.
Di sisi lain, kadang-kadang hakim juga harus melakukan penyesuaian
tentang lembaga-lembaga yang ditemui dalam perkara tersebut, dimana lembaga
tersebut tidak sesuai (isinya) dengan lembaga yang dikenal dalam lex fori.

B. PENGERTIAN PERSOALAN PENDAHULUAN


Bayu Seto (1992 : 117) memberikan definisi ‘persoalan pendahuluan’
sebagai : “suatu persoalan/ masalah hukum yang harus dipecahkan/ditetapkan
terlebih dahulu sebelum putusan terakhir atas suatu perkara HPI yang dihadapi
hakim ditetapkan”.
Chesire (1992 : 117) beranggapan bahwa :
It may be that in case involving private international law, there is not only a main
question before the court, but also ome further subsidiary issue. After the law to
govern the main question has been ascertained by the application of the relevant
rule for the choice of law, a further choice of law rule, may be required to answer
subsidiary question affecting the main issue.

37
Buku Ajar Hukum Perdata Internasional
B. Resti Nurhayati, SH.,MHum. – Fakultas Hukum Unika Soegijapranata Semarang

Masalah persoalan pendahuluan atau incidental question timbul karena


keputusan terhadap suatu persoalan hukum yang menjadi pokok sengketa
(hauptfrage/hoofdraag) bergantung pada penetapan sah/tidaknya suatu hubungan
hukum atau persoalan hukum lain. Persoalannya kemudian adalah : Apakah
persoalan pendahuluan itu akan diatur oleh suatu sistem hukum yang ditetapkan
secara khusus, ataukah diselesaikan dengan berdasarkan sistem hukum yang juga
mengatur masalah utama.(Bayu Seto : 1992 : 118).
Untuk menetapkan adanya suatu persoalan pendahuluan dalam suatu
perkara HPI, menurut Chesire, G.C. (1980 : 54) perlu dipenuhi 3 syarat, yaitu :
1. Masalah utama (main issue) berdasarkan kaidah HPI lex fori seharusnya
diatur berdasarkan hukum asing.
2. Dalam perkara harus ada masalah pendahuluan/subside yang menyangkut
suatu unsur asing, yang sebenarnya dapat timbul secara terpisah dan dapat
diatur oleh kaidah HPI lain secara independen.
3. Kaidah HPI yang diperuntukkan bagi masalah pendahuluan itu akan
menghasilkan kesimpulan yang berbeda dari kesimpulan yang akan dicapai
bila hukum yang mengatur masalah utama yang digunakan.

C. CARA-CARA PENYELESAIAN PERSOALAN PENDAHULUAN


Bayu Seto (1992 :119) menyebutkan ada tiga pandangan tentang cara
penyelesaian persoalan pendahuluan, yaitu :
1. Setelah lex causae untuk penyelesaian masalah pokok ditetapkan
berdasarkan kaidah HPI lex fori, maka masalah pendahuluannya
(vorfrage-nya) harus ditentukan berdasarkan sistem hukum yang sama
dengan lex causae itu.
Cara ini disebut dengan sebutan “cara penyelesaian berdasarkan lex
causae” atau Absorption. Kaidah hukum yang digunakan untuk
menyelesaikan persoalan pendahuluan tergantung pada kaidah hukum
yang digunakan untuk menyelesaikan persoalan pokoknya.

38
Buku Ajar Hukum Perdata Internasional
B. Resti Nurhayati, SH.,MHum. – Fakultas Hukum Unika Soegijapranata Semarang

2. Dengan mengabaikan sistem hukum apa yang merupakan lex causae untuk
menyelesaikan masalah pokok, hakim menggunakan kaidah-kaidah HPI
lex fori untuk menyelesaikan persoalan pendahuluan.
Cara ini disebut “penyelesaian berdasarkan lex fori” atau Repartition,
dan tidak memperhatikan sistem hukum yang akan digunakan untuk
menyelesaikan persoalan pokoknya.
3. Penetapan hukum yang seharusnya berlaku untuk menyelesaikan
persoalan pendahuluan harus ditetapkan secara kasuistis, dengan
memperhatikan hakikat perkara atau kebijaksanaan dan atau kepentingan
forum yang mengadili perkara.

D. PENGERTIAN PENYESUAIAN
Ada beberapa istilah yang merupakan padanan istilah penyesuaian,yakni :
anpassung (Jerman); aanpassing (Belanda); adaptation (Inggris); coordinations
(Perancis).
Hakim seringkali menemukan berbagai kesulitan jika hukum yang harus
dipakai adalah hukum asing yang isinya jauh berbeda dengan pengertian-
pengertian hukum dalam sistem hukum nasional sang hakim. Atau dengan
perkataan lain, hakim menghadapi lembaga yang memiliki istilah sama, tetapi
memiliki pengertian yang berbeda.
Dalam menghadapi persoalan sedemikian, hakim tidak dapat berhenti pada
persamaan istilah-istilah hukumnya saja, tetapi juga perlu memperhatikan apakah
isi-nya.
Satu kasus yang seringkali dijadikan contoh (Sudargo Gautama, 1977) dalam
lembaga penyesuaian adalah kasus anak adopsi Belgia :
 Seorang anak angkat Belgia, dari seorang warga negara Belgia.
 Ayah angkat tersebut mengalami kecelakaan dengan seorang warga negara
Indonesia di Jakarta. Ayah angkat akhirnya meninggal dunia.
 Anak angkat tersebut dengan diwakili oleh ayah biologisnya (kakak korban)
menuntut warga negara Indonesia tersebut di Pengadilan Negeri Jakarta. Ini
mendasarkan pada ketentuan Pasal 1370 KUHPerdata yang menyebutkan

39
Buku Ajar Hukum Perdata Internasional
B. Resti Nurhayati, SH.,MHum. – Fakultas Hukum Unika Soegijapranata Semarang

bahwa : “Anak-anak dari pihak korban dapat mengajukan tuntutan


penggantian kerugian terhadap si pelanggar hukum”.
 Permasalahannya adalah : apakah anak angkat Belgia tersebut dapat
dipersamakan dengan anak sah menurut ketentuan KUHPerdata, sehingga
boleh mengajukan tuntutan penggantian tersebut.
 Dalam kaidah Hukum Belgia anak angkat tidak dapat dipersamakan dengan
status anak sah (atau anak yang diadopsi) menurut Hukum Belanda.
 Tuntutan anak angkat tersebut ditolak, karena pada kasus ini tidak dilakukan
penyesuaian, antara status anak adopsi Belgia dengan apa yang ada di dalam
ketentuan KUHPerdata.

E. INGAT
 Dalam menyelesaikan suatu perkara HPI, ada kemungkinan muncul
berbagai hal/persoalan yang harus diselesaikan lebih dahulu, yang
menimbulkan persoalan menurut hukum mana persoalan pendahuluan itu
mesti diselesaikan.
 Munculnya istilah atau lembaga yang sama atau kadang-kadang istilah yang
tidak dikenal dalam lex fori menimbulkan persoalan, bahwa lembaga atau
istilah itu harus disesuaikan dari segi isi dan bukan hanya sekedar
lembaganya saja.

F. EVALUASI
Buatlah tiga pertanyaan dan jawablah. Pertanyaan tersebut harus mampu
menjelaskan masaloah persolan pendahuluan, penyesuaian dan hubungan
antara keduanya.

G. DAFTAR PUSTAKA

Bayu Seto 1992, Dasar-Dasar Hukum Perdata Internasional, Citra Aditya


Bakti, Bandung.

40
Buku Ajar Hukum Perdata Internasional
B. Resti Nurhayati, SH.,MHum. – Fakultas Hukum Unika Soegijapranata Semarang

Sudargo Gautama 1977, Pengantar Hukum Perdata Internasional, BPHN,


Jakarta.

Sunaryati Hartono 1989, Pokok-Pokok Hukum Perdata Internasional,


Binacipta, Bandung.

Ridwan Khairandy dkk, 1999, Pengantar Hukum Perdata Internasional,


Gama Media Offset, Yogyakarta.

41
Buku Ajar Hukum Perdata Internasional
B. Resti Nurhayati, SH.,MHum. – Fakultas Hukum Unika Soegijapranata Semarang

BAB VIII
KETERTIBAN UMUM DAN HAK-HAK YANG DIPEROLEH

Tujuan Pembelajaran Khusus :


Mahasiswa mampu memahami serta menjelaskan kembali pengertian ketertiban
umum dan vested right.
Mahasiswa mampu memberi pertimbangan pemakaian di antara kedua doktrin
tersebut.

Bahasan :
1. Pengertian ketertiban umum
2. Fungsi ketertiban umum
3. Pengertian hak-hak yang diperoleh (vested right)
4. Penerapan doktrin ketertiban umum dan vested right
5. Hubungan antara ketertiban umum dan vested right

A. PENDAHULUAN
Dalam perkara yang bersifat HPI, memungkinkan diberlakukannya hukum
asing. Namun kadang-kadang pemberlakuan hukum asing atau hak-hak yang
diperoleh berdasarkan hukum asing tidak selalu sesuai dengan sendi-sendi asasi
atau dasar falsafah dari lex fori.

B. PENGERTIAN KETERTIBAN UMUM


Istilah ’ketertiban umum’ di dalam beberapa bahasa asing disebut sebagai :
 Ordre Public (Perancis)
 Openbare Orde (Belanda)
 Public Policy (Inggris)
’Ketertiban Umum’ menjadi pembahasan penting dalam HPI karena lembaga
ini mempunyai sangkut paut yang erat dengan paham-paham asasi dan dasar-
dasar HPI. HPI menyebabkan diberlakukannya hukum asing. Tetapi jika
pemakaian hukum asing tersebut menyebabkan suatu pelanggaran yang sangat

42
Buku Ajar Hukum Perdata Internasional
B. Resti Nurhayati, SH.,MHum. – Fakultas Hukum Unika Soegijapranata Semarang

dari sendi-sendi asasi hukum nasional hakim, pelanggaran terhadap konsepsi yang
ada tentang moralitas yang baik, atau pelanggaran terhadap tradisi yang sudah
mengakar, maka dalam hal-hal tertentu hakim dapat mengesampingkan hukum
asing ini dengan mempergunakan lembaga ketertiban umum.
Tetapi pemakaian lembaga ketertiban umum ini harus hati-hati dan seefisien
mungkin. Sudargo Gautama mengibaratkan pemakaian ketertiban umum ini
seperti pemakaian rem darurat pada kereta api, yang harus digunakan seefisien
mungkin. Pemakaian lembaga ketertiban umum harus dibatasi, karena jika tidak
dibatasi, maka yang selalu berlaku adalah hukum nasional.

C. FUNGSI KETERTIBAN UMUM


Fungsi lembaga ketertiban umum hanya defensif, hanya sebagai pembatas
atau pencegah berlakunya hukum asing yang seharusnya diberlakukan (lex cause),
bilamana pemakaian hukum asing itu menimbulkan pelanggaran terhadap sendi-
sendi asasi hukum nasional. Ketertiban umum tidak dimaksudkan agar kita secara
aktif meniadakan pemakaian hukum asing.

D. PEMAKAIAN KETERTIBAN UMUM


Karena lembaga ketertiban umum lebih berfungsi sebagai pembatas terhadap
berlakunya hukum asing yang bertentangan dengan sendi-sendi asasi hukum
nasional, maka pemakaian lembaga ketertiban umum sebaiknya hanya
dipergunakan apabila benar-benar diperlukan saja.
Tetapi di dalam sistem HPI Inggris (Bayu Seto, 1992 : 108), lembaga
ketertiban umum digunakan dalam hal-hal seperti :
1. Hubungan yang akan dapat mengganggu persahabatan negara forum
dengan negara lain;
2. Hubungan perdagangan dengan musuh;
3. Kontrak-kontrak yang mempengaruhi kebebasan bersaing dalam
perdagangan;
4. Masalah penyelundupan hukum

43
Buku Ajar Hukum Perdata Internasional
B. Resti Nurhayati, SH.,MHum. – Fakultas Hukum Unika Soegijapranata Semarang

E. PENGERTIAN HAK-HAK YANG DIPEROLEH (VESTED RIGHT)


Istilah-istilah yang dikenal untuk menyebut hak-hak yang diperoleh antara
lain :
1. Verkregen rechten (Belanda);
2. Droit acquis (Perancis);
3. Vested Rights; acquired rights; rights and obligations created abroad
(Inggris);
4. Wohlerworworbenen (Jerman).
Menurut Sunarjati Hartono (1989 : 111-112), persoalan-persoalan yang
dicakup oleh hak-hak yang diperoleh ini berkaitan dengan apakah hak-hak dan
kewajiban yang dimiliki seseorang berdasarkan kaidah-kaidah hukum asing
tertentu perlu diakui atau tidak oleh lex fori.
Bila lex fori bersedia mengakui maka berarti dalam perkara tersebut hakim
lex fori melanjutkan keadaan hukum dari yang bersangkutan. Namun bila lex fori
tidak bersedia mengakui – karena bertentangan dengan sendi-sendi asasi, prinsip
moralitas yang baik, atau akan melanggar tradisi yang sudah mengakar, maka
hakim dapat menggunakan lembaga ketertiban umum untuk membatasi hak yang
diperoleh berdasarkan hukum asing tersebut.
Istilah ”hak” di sini mempunyai arti :
1. Hak-hak yang bersifat kebendaan/hukum harta kekayaan;
2. Hak-hak kekeluargaan;
3. Status personil.

F. PENERAPAN DOKTRIN KETERTIBAN UMUM DAN VESTED


RIGHT

Indonesia termasuk negara yang menerima doktrin vested rights. Menurut


Sudargo Gautama, seyogyanya prinsip ”vested right” ini diterima secar terbatas.
Tidak sebagai seluruh bangunan HPI, tetapi hanya sebagai bantuan bagi hakim
dalam memilih hukum yang harus dipergunakan, sebagai pengecualian atas apa
yang menurut kaedah HPI lex fori harus diperlakukan.

44
Buku Ajar Hukum Perdata Internasional
B. Resti Nurhayati, SH.,MHum. – Fakultas Hukum Unika Soegijapranata Semarang

G. HUBUNGAN ANTARA KETERTIBAN UMUM DAN VESTED RIGHT


Fungsi vested rights dapat dianggap sebagai kebalikan dari doktrin ketertiban
umum/ordre public. Sunaryati Hartono (1989 : 120-121) menyebutkan bahwa
apabila kedua doktrin ini diperbandingkan, maka akan didapat hal-hal sebagai
berikut :

No Doktrin Ketertiban Umum Doktrin Vested Rights


1. Hukum asing yang seharusnya Hukum sendiri yang seharusnya
berlaku tidak diberlakukan berlaku, dikesampingkan karena
adanya hak-hak yang telah diperoleh
berdasarkan sistem hukum asing
2. Hukum asing dikesampingkan, Hukum sendiri dikesampingkan demi
demi keadilan lex fori rasa keadilan para pihak
3. Penggunaan yang terlalu sering Menyebabkan melemahnya kekuatan
menyebabkan pergaulan hukum nasional
internasional menjadi terhambat
4. Tidak hanya tentang hak milik dan Berkaitan dengan masalah Hak Milik
status dan status
5. Bertolak dari faham bahwa Mengakui bahwa kepentingan dunia
kepentingan nasional harus internasional dapat dikesampingkan
didahulukan
6. Diadakan demi kepastian hukum Diakui demi kepastian hukum bagi
dalam masyarakat pihak yang bersangkutan dan
masyarakat inetrnasional.
7. Mengesampingkan kwalifikasi Memperhatikan kualifikasi dalam
sistem hukum yang bersangkutan.
8. Orang condong memberlakukan Orang condong mempertahankannya
asas ketertiban umum jika soal apabila soalnya menyangkut
tersebut kepentingan masyarakt/ kepentingan sendiri.
bangsa sendiri
9. Mengesampingkan hak-hak yang Vested rights dapat diterobos oleh
telah diperoleh asas ketertiban umum

H. INGAT
 Doktrin ketertiban umum dan vested rights berkaitan dengan
pemberlakuan/pengakuan terhadap berlakunya hukum asing atau hak
yang diperoleh berdasarkan hukum asing.

45
Buku Ajar Hukum Perdata Internasional
B. Resti Nurhayati, SH.,MHum. – Fakultas Hukum Unika Soegijapranata Semarang

 Hak yang diperoleh berdasarkan hukum asing dapat diakui sepanjang


tidak bertentangan dengan sendi-sendi asasi lex fori; pelanggaran
terhadap konsepsi yang ada tentang moralitas yang baik, atau
pelanggaran terhadap tradisi yang sudah mengakar.
 Ketertiban umum merupakan pengecualian dari pengakuan terhadap
hak yang diperoleh berdasarkan hukum asing.

I. EVALUASI
1. Jelaskan apakah yang dimaksud dengan ketertiban umum dan vested
right! Bagaimanakah tarik ulur di antara keduanya!
2. Cari/buatlah kasus yang dapat menjelaskan penerapan doktrin
ketertiban umum dan vested rights!

J. DAFTAR PUSTAKA
Bayu Seto 1992, Dasar-Dasar Hukum Perdata Internasional, Citra Aditya
Bakti, Bandung.

Sudargo Gautama 1977, Pengantar Hukum Perdata Internasional, BPHN,


Jakarta.

Sunaryati Hartono 1989, Pokok-Pokok Hukum Perdata Internasional,


Binacipta, Bandung.

Ridwan Khairandy dkk, 1999, Pengantar Hukum Perdata Internasional,


Gama Media Offset, Yogyakarta.

46
Buku Ajar Hukum Perdata Internasional
B. Resti Nurhayati, SH.,MHum. – Fakultas Hukum Unika Soegijapranata Semarang

BAB IX
PILIHAN HUKUM DAN PENYELUNDUPAN HUKUM

Tujuan Pembelajaran Khusus :


Mahasiswa mengetahui dan mampu menjelaskan kembali apa yang dimaksud
dengan pilihan hukum dalam kontrak dagang internasional serta penerapannya.
Mahasiswa mengetahui dan mampu menjelaskan kembali apa yang dimaksud
dengan penyelundupan hukum serta akibatnya.

Bahasan :
1. Pengertian Pilihan Hukum
2. Pembatasan dalam Melakukan Pilihan Hukum
3. Cara Melakukan Pilihan Hukum
4. Hukum yang Berlaku dalam Kontrak Dagang Internasional
5. Pengertian Penyelundupan Hukum
6. Hubungan antara Pilihan Hukum dan Penyelundupan Hukum
7. Akibat Penyelundupan Hukum

A. PENDAHULUAN
Pilihan Hukum dan Penyelundupan hukum berkaitan dengan hukum yang
akan diterapkan dalam suatu hubungan antar subjek hukum, khususnya dalam
hubungan yang bersifat perdata internasional. Meskipun keduanya merupakan
‘cara’ yang bisa dipilih atau dilakukan orang, berkenaan dengan hukum yang akan
berlaku dalam peristiwa atau hubungan hukum tertentu, namun keduanya
memiliki aspek dan ciri yang berbeda.

B. PENGERTIAN PILIHAN HUKUM


Ada beberapa istilah lain untuk menyebut pilihan hukum, yakni :
1. Partij-autonomie (Belanda)
2. Choice of law (Inggris)
3. Rechtskeuze (Belanda)

47
Buku Ajar Hukum Perdata Internasional
B. Resti Nurhayati, SH.,MHum. – Fakultas Hukum Unika Soegijapranata Semarang

Pilihan hukum atau ‘choice of law’ biasanya dilakukan dalam hubungan


kontraktual/perjanjian. Yang dimaksud dengan Pilihan Hukum adalah hukum
yang dipilih sendiri oleh para pihak untuk berlaku dalam kontrak di antara
mereka.
Hal ini dimungkinkan karena telah diterimanya secara umum asas
kebebasan berkontrak. Dengan asas kebebasan berkontrak ini para pihak dalam
suatu perjanjian bebas untuk menentukan isi dan bentuk perjanjian, termasuk
bebas pula untuk menentukan hukum apakah yang akan berlaku dalam kontrak
tersebut.

C. PEMBATASAN DALAM MELAKUKAN PILIHAN HUKUM


Pada umumnya, para pihak bebas untuk melakukan pilihan hukum, namun
(Ridwan Khairandy, 1999 : 109) ada beberapa pembatasan yang harus
diperhatikan, yakni :
1. Pilihan hukum tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum;
2. Pilihan hukum tidak mengenai hukum yang bersifat memaksa;
3. Pilihan hukum tidak boleh menjelma menjadi penyelundupan hukum;
4. Pilihan hukum hanya boleh dilakukan dalam bidang hukum perjanjian
saja, kecuali perjanjian kerja.

Pilihan hukum berhubungan dengan beberapa doktrin lain. Sudargo Gautama


(1976 : 172-173) menyebutkan sekurang-kurangnya 2 hal, yakni :
Hubungan antara Pilihan Hukum dengan Ketertiban Umum
 Ketertiban umum merupakan rem darurat yang dapat menghentikan
diberlakukannya hukum asing.
 Ketertiban umum juga merupakan rem darurat terhadap pemakaian
otonomi para pihak (catatan : dalam bentuk pilihan hukum) secara
terlampau leluasa.
Hubungan antara Pilihan Hukum dengan Penyelundupan Hukum
 Pilihan hukum sering disebut echte rechtswahl atau pilihan hukum yang
sesungguhnya. Pada pilihan hukum jalan yang ditempuh adalah memilih di

48
Buku Ajar Hukum Perdata Internasional
B. Resti Nurhayati, SH.,MHum. – Fakultas Hukum Unika Soegijapranata Semarang

antara stelsel-stelsel hukum yang berlaku bagi negara-negara yang


bersangkutan, sehingga pilihannya adalah pilihan yang objektif.
 Penyelundupan hukum disebut pula unechte rechtswahl. Atau pilihan
hukum yang tidak sebenarnya, karena individu mengikuti ketentuan yang
telah dibuatnya sendiri.

D. CARA MELAKUKAN PILIHAN HUKUM


Ada 4 cara untuk melakukan pilihan hukum, yakni :
1. Pilihan Hukum secara Tegas;
2. Pilihan Hukum secara Diam-diam;
3. Pilihan Hukum secara Dianggap.
4. Pilihan Hukum secara Hipotetics.

Ad.1. Pilihan Hukum secara Tegas


Pilihan hukum secara tegas biasanya dilakukan dengan penyebutan secara
tegas dan jelas pada perjanjian tersebut hukum Negara yang dipilih dalam
perjanjian tersebut. Hal tersebut biasanya muncul/dinyatakan dengan kata-kata
yang tegas atau dalam klausula governing law atau applicable law (Ridwan
Khairandy, 1999 : 109) yang isinya menyebutkan :
(1). The validity, construction and performance of this agreement shall be
governed by and interpreted in accordance with the law of Republic
Indonesia.
(2). This agreement shall be governed by and construed in all respects in
accordance with the law of England.

Ad.2. Pilihan Hukum secara Diam-Diam


Pilihan hukum secara diam-diam dapat disimpulkan dari maksud, atau ketentuan-
ketentuan, atau fakta-fakta yang terdapat dalam kontrak tersebut.
Misalnya : jika para pihak memilih domisili pada Kantor Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat, Indonesia, maka dapat disimpulkan bahwa para pihak secara diam-
diam menghendaki berlakunya hukum Indonesia. (Sudargo Gautama, 1977 : 178)

49
Buku Ajar Hukum Perdata Internasional
B. Resti Nurhayati, SH.,MHum. – Fakultas Hukum Unika Soegijapranata Semarang

Ad.3. Pilihan Hukum secara Dianggap


Pilihan hukum secara dianggap merupakan presumption iuris atau suatu
rechtsvermoeden. Ini merupakan pilihan hukum yang dilakukan oleh hakim
dengan mendasarkan pada dugaan/anggapan semata.

Ad.4. Pilihan Hukum secara Hipotesis


Pilihan hukum secara Hipotesis dikenal di Negara Jerman. Sudargo Gautama
(1977 : 180-181) mengatakan bahwa dalam pilihan hukum secara hipotesis, para
pihak tidak ada kemauan untuk memilih sedikitpun, sehingga hakim bekerja
dengan fiksi. Hakimlah yang memilih hukum untuk mereka.

Sebaiknya dalam melakukan pilihan hukum secara tegas, atau sekurang-


kurangnya secara diam-diam, dan bukan pilihan hukum secara dianggap atau
secara hipotesis.
Di Amerika Serikat, pilihan hukum dibatasi pada bidang lex loci contractus dan
loci celebrationis. Pilihan hukum hanya dapat dilakukan dengan “made with a
bonafide intention”. Oleh karena itu pilihan hukum harus :
- Not fictitious.
- Based on a normal relation
- Harus memperlihatkan ‘a natural and vital connection’ atau ‘a substantial
connection’ antara kontrak dan hukum yang dipilih.
Pilihan hukum adalah memilih akibat-akibat dan pelaksanaan perjanjian. Oleh
karena itu tentang sah atau tidaknya kontrak tidak ditentukan oleh hukum yang
dipilih, tetapi ditentukan oleh lex loci contractus. Pada prinsipnya orang boleh
memilih lebih dari satu sistem hukum, dan pilihan juga boleh berubah selama
perjanjian berlangsung. Tentunya hal ini dengan catatan bahwa disepakati oleh
para pihak.

50
Buku Ajar Hukum Perdata Internasional
B. Resti Nurhayati, SH.,MHum. – Fakultas Hukum Unika Soegijapranata Semarang

E. HUKUM YANG BERLAKU DALAM KONTRAK DAGANG


INTERNASIONAL

Dalam kontrak dagang internasional, pilihan hukum tidak selalu mengacu


kepada hukum dari salah satu pihak, tetapi mungkin pada konvensi-konvensi
tertentu, atau pada lex mercatoria.
J.G. Castell dalam Ridwan Khairandy (1999 : 111) menyebutkan bahwa yang
dimaksud dengan Lex Mercatoria adalah :
The customs or usages of international trade, or the rules of law that are
common to all or most of the states engaged in international trade or to
those that connected with the contract.
Adapun norma-norma yang dapat dikatagorikan sebagai lex mercatoria menurut
TRHLJ.Mustil dalam Ridwan Khairandy (1999 : 113) adalah sebagai berikut :
1. Suatu prinsip umum, bahwa kontrak dapat dilaksanakan secara prima facie
jika dilakukan menurut prinsip pacta sunt servanda;
2. Suatu kontrak harus dilaksanakan dengan itikad baik;
3. Suatu kontrak yang dilaksanakan dengan cara menyuap atau dengan cara-
cara lain yang tidak jujur batal demi hukum, atau paling tidak tidak dapat
dilaksanakan;
4. Jika dalam pelaksanaan suatu kontrak terdapat kesulitan yang tidak diduga
sebelumnya, dengan itikad baik hendaknya para pihak melakukan negoisasi
untuk mengatasinya, meskipun kontrak yang bersangkutan memuat klausula
no revision;
5. Para pihak tidak diperkenankan memuat syarat-syarat sepihak dalam
kontrak yang membebaskan dirinya dari kewajiban;
6. Penggantian kerugian untuk pelanggaran kontrak dibatasi hanya sampai
pada konsekuensi-konsekuensi pelanggaran yang dapat dilihat;
7. Pelanggaran kerugian sebagai akibat tidak dialihkannya barang
diperhitungkan dengan memperlihatkan harga pasar dari barang yang
bersangkutan; dan

51
Buku Ajar Hukum Perdata Internasional
B. Resti Nurhayati, SH.,MHum. – Fakultas Hukum Unika Soegijapranata Semarang

8. Pihak yang menderita kerugian akibat pelanggaran kontrak harus


mengambil langkah-langkah wajar untuk menuntut ganti rugi terhadap
pihak yang melanggar kontrak.

F. PENGERTIAN PENYELUNDUPAN HUKUM


Ada beberapa istilah untuk menyebut penyelundupan hukum :
1. Westonduiking (Belanda)
2. Fraude a la loi (Perancis)
3. Fraus legis (Latin)
4. Fraudem legis (Jerman)
5. Fraudulent creation of point of contact (Inggris)
6. Frode alla legge (Italia)
Dalam penyelundupan hukum orang mencoba menghindari
diberlakukannya hukum yang seharusnya berlaku dalam hubungan hukum yang
bersangkutan. Tujuannya tentu saja untuk untuk menghindarkan suatu akibat
hukum tertentu yang tidak dikehendaki atau mewujudkan suatu akibat hukum
yang dikehendaki.
Dengan demikian, penyelundupan hukum terjadi bilamana ada seseorang
untuk mendapatkan berlakunya hukum asing, telah melakukan cara yang tidak
wajar, dengan maksud untuk menghindari pemakaian hukum nasionalnya sendiri.
Salah satu contoh kasus penyelundupan hukum adalah kasus perkawinan
antara Sophia Loren dan Carlo Ponti di Itali (Sudargo Gautama, 1983 : 9).
Perkawinan tidak dapat dilaksanakan di Itali, karena menurut hukum Italia Carlo
Ponti masih terikat perkawinan dengan perempuan lain (meskipun Carlo Ponti
telah bercerai dengan istri sebelumnya), perceraian mereka tidak diakui hukum
Italia yang tidak mengenal adanya perceraian.
Cara yang dipakai oleh Carlo Ponti untuk mengatasi kendala tadi adalah
dengan cara mengubah kewarganegaraannya, menjadi warga negara Perancis.
Dengan cara itu, Carlo Ponti tidak lagi terikat atau tunduk pada yurisduiksi
hukum perkawinan Itali yang memakai prinsip nasionalitas sebagai ukuran titik
taut penentu.

52
Buku Ajar Hukum Perdata Internasional
B. Resti Nurhayati, SH.,MHum. – Fakultas Hukum Unika Soegijapranata Semarang

Kasus ini merupakan contoh nyata, tentang bagaimana orang berusaha


untuk menghindari hukum atau aturan yang seharusnya berlaku dengan ‘cara’ atau
‘metode’ yang dipilih sendiri agar dapat mencapai tujuannya.

G. AKIBAT PENYELUNDUPAN HUKUM


Mengenai akibat penyelundupan hukum, ada berbagai pendapat mengenai
masalah ini. Ada yang berpendapat (Sudargo Gautama, 1983 : 288-299) bahwa
setiap penyelundupan hukum mengakibatkan batalnya perbuatan yang
bersangkutan. Ini didasarkan pada adagium fraus omnia corrumpit,
penyelundupan hukum mengakibatkan batalnya perbuatan itu secara keseluruhan.
Tetapi ada pula yang berpendapat bahwa perbuatan akibat penyelundupan
hukum itu tetap dianggap sebagai perbuatan yang sah. Orang yang melakukan
perbuatan tersebut tidak melakukan sesuatu yang tidak pantas atau perbuatan
melanggar hukum.

H. INGAT
Pilihan hukum dan penyelundupan hukum merupakan cara yang dapat
digunakan orang agar supaya hukum asing tertentu berlaku untuk suatu hubungan
hukum tertentu. Namun kedua cara ini berbanding terbalik satu sama lain.

I. EVALUASI
1. Jelaskan apakah yang dimaksud dengan pilihan hukum dan
penyelundupan hukum?
2. Buatlah perbandingan antara keduanya, dan antara keduanya dengan
lembaga ketertiban umum dan lembaga vested rights!

J. DAFTAR PUSTAKA
Bayu Seto 1992, Dasar-Dasar Hukum Perdata Internasional, Citra Aditya
Bakti, Bandung.

Sudargo Gautama 1977, Pengantar Hukum Perdata Internasional, BPHN,


Jakarta.

53
Buku Ajar Hukum Perdata Internasional
B. Resti Nurhayati, SH.,MHum. – Fakultas Hukum Unika Soegijapranata Semarang

Sudargo Gautama, 1983, Hukum Perdata Internasional Hukum yang Hidup,


Alumni, Bandung.

Sunaryati Hartono, 1989, Pokok-Pokok Hukum Perdata Internasional,


Binacipta, Bandung.

Ridwan Khairandy dkk, 1999, Pengantar Hukum Perdata Internasional, Gama


Media Offset, Yogyakarta.

54
Buku Ajar Hukum Perdata Internasional
B. Resti Nurhayati, SH.,MHum. – Fakultas Hukum Unika Soegijapranata

BAB X
AZAS NASIONALITAS DAN DOMISILI

Tujuan Pembelajaran Khusus :


Mahasiswa mampu menjelaskan kembali apa yang dimaksud dengan asas
nasionalitas dan asas domisili serta aplikasinya dalam contoh kasus.

Bahasan :
1. Ruang Lingkup Status Personal
2. Pengertian Asas Nasionalitas dan Domisili
3. Alasan Pendukung Prinsip Nasionalitas
4. Alasan Pendukung Prinsip Domisili

A. PENDAHULUAN
Status personal menurut Purnadi Purbacaraka dan Agus Brotosusilo (1989 :
15) adalah kondisi atau keadaan suatu pribadi dalam hukum yang diberikan/diakui
oleh negara untuk mengamankan dan melindungi lembaga-lembaganya. Status
personal ini meliputi hak dan kewajiban, kemampuan dan ketidakmampuan bersikap
tindak di bidang hukum, yang unsur-unsurnya tidak dapat berubah atas kemauan
pemiliknya. Sedangkan Sudargo Gautama (1981 : 3) menyatakan bahwa meskipun
terdapat perbedaan mengenai status personal ini, pada dasarnya status personal adalah
kedudukan hukum seseorang yang umumnya ditentukan oleh hukum dari negara
dimana ia dianggap secara permanen.
Mengenai status personal seseorang, terdapat dua prinsip yang berbeda dalam
menentukan pengaturan hukum bagi warga negara atau penduduk yang ada di negara
tersebut, yakni :
1. Negara-negara yang menganut prinsip nasionalitas (ke-warganegaraan);
2. Negara-negara yang menganut prinsip domisili.
Buku Ajar Hukum Perdata Internasional
B. Resti Nurhayati, SH.,MHum. – Fakultas Hukum Unika Soegijapranata

B. RUANG LINGKUP STATUS PERSONAL


Mengenai pengaturan tentang apakah yang termasuk dalam lingkup status
personal, Purnadi Purbacaraka dan Agus Brotosusilo (1989 : 16) menyebutkan bahwa
terdapat tiga konsepsi mengenai hal ini, yakni :
1. Konsepsi Luas
Menurut Konsepsi luas, status personal meliputi berbagai hak-hak hukum
pada umumnya, termasuk permulaan (lahirnya) dan terhentinya
kepribadian, kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum,
perlindungan kepentingan pribadi, persoalan yang berkaitan dengan
hukum keluarga dan waris.
2. Konsepsi yang Agak Sempit
Pada konsepsi yang lebih sempit, seperti halnya yang dianut dalam sistem
hukum Perancis, tidak termasuk sebagai status personal : hukum harta
benda dalam perkawinan, pewarisan, dan ketidakmampuan bertindak di
bidang hukum dalam hal khusus, seperti misalnya : dokter tidak
diperkenankan memperoleh suatu hak yang timbul dari pasiennya.
3. Konsepsi yang Lebih Sempit
Konsepsi yang lebih sempit ini sama sekali tidak memasukkan hukum
keluarga dan waaris dalam jangkauan status personal.

C. PENGERTIAN ASAS NASIONALITAS DAN DOMISILI


Negara-negara yang menganut prinsip nasionalitas berpendapat bahwa seluruh
tatanan hukum yang berlaku di suatu negara berlaku bagi setiap warga negara dari
negara tersebut, dimanapun juga mereka berada.
Negara-negara yang menganut prinsip nasionalitas antara lain : Perancis,
Italia, Belgia, Belanda, Luxemburg, Indonesia, Rumania, Bulgaria, Finlandia,
Portugal, Spanyol, Venezuela, Costa Rica, Cuba.
Prinsip Nasionalitas lebih mengedepankan segi personalitas seseorang. Oleh
karena itu hukum-hukum yang bersangkutan dengan status seseorang adalah erat
Buku Ajar Hukum Perdata Internasional
B. Resti Nurhayati, SH.,MHum. – Fakultas Hukum Unika Soegijapranata

sekali hubungannya dengan orang tersebut. Karena ada ikatan antara orang dengan
hukumnya, maka hukum asal orang tersebut dikaitkan seerat-eratnya kepadanya.
Hukum asal atau hukum nasionalnya tetap mengikuti dimanapun ia pergi.
Negara-negara yang menganut prinsip domisili berpendapat bahwa seluruh
tatanan hukum yang berlaku bagi setiap orang yang berdomisili di negara tersebut.
Negara-negara yang menganut prinsip domisili antara lain : Inggris,
Scotlandia, Afrika Selatan, Quebec, Denmark, Norwegia, Argentina, Brasilia,
Guatemala, Paraguay, Peru.
Prinsip domisili lebih mengutamakan segi teritorialitas daripada hukum. Oleh
karena itu semua hubungan-hubungan dari orang-orang yang berkenaan dengan soal-
soal tentang perseorangan, kekeluargaan, warisan ditentukan oleh tempat berdomisili.
Dengan demikian, setiap orang yang berada di dalam wilayah sesuatu negara
dianggap tunduk di bawah hukum negara tersebut.
Perbedaan di antara kedua prinsip tersebut adalah pada perbedaan
diletakkannya titik berat atas segi personalitas atau segi teritorialitas dari hukum.
Negara-negara Eropa Kontinental cenderung mengedepankan segi personalia,
sedangkan negara-negara Anglosaxon mengutamakan segi teritorial.
Namun ada pula, negara-negara yang hendak memakai hukumnya sendiri
sebanyak mungkin, sehingga prinsip teritorialitas dipakai terhadap semua orang yang
berada di wilayah negara tersebut. Sedangkan prinsip nasionalitas dipergunakan bagi
para warga negara dari negara tersebut yang berada di luar negeri. Sudargo Gautama
menyebutkan beberapa negara yang menggunakan kedua sistem ini secara
bersamaan, seperti : Chili, Equador, Columbia, Peru, El Salvador, Venezuela, dan
Mexico.

D. ALASAN PENDUKUNG PRINSIP NASIONALITAS


Prinsip nasionalitas boleh dikatakan berhadapan dengan prinsip domisili, dan
para pendukungnya memiliki alasan-alasan tersendiri mengapa mereka mendukung
Buku Ajar Hukum Perdata Internasional
B. Resti Nurhayati, SH.,MHum. – Fakultas Hukum Unika Soegijapranata

prinsip tersebut. Beberapa alasan yang dikemukakan oleh para pendukung prinsip
nasionalitas adalah :
1. Prinsip nasionalitas dianggap paling cocok bagi perasaan hukum
seseorang, karena terlaksana adaptasi kepada perasaan hukum dari yang
bersangkutan. Hukum nasional dianggap lebih cocok karena lebih
mengenal kepribadian dan kebutuhan warganegaranya.
2. prinsip nasionalitas lebih permanen daripada hukum domisili, karena
kewarganegaraan tidak sedemikian mudah berubah-ubah seperti domisili,
sedangkan status personil yang termasuk mengatur hubungan
kekeluargaan memerlukan stabilitas sebanyak mungkin.
3. Prinsip kewarganegaraan membawa kepastian lebih banyak, karena
pengertian kewarganegaraan lebih mudah diketahui daripada domisili
seseorang. Meskipun dalam praktek tidak selalu demikian, karena
adakalanya seseorang mempunyai lebih dari satu kewarganegaraan atau
sebaliknya tidak mempunyai kewarganegaraan sama sekali.

E. ALASAN PENDUKUNG PRINSIP DOMISILI


Para pendukung prinsip domisili memiliki alasan yang lain pula, yakni :
1. Hukum domisili ialah hukum dimana seseorang sesungguhnya hidup.
Oleh karena itu sudah sewajarnya jika hukum dari tempat itulah yang
dipakai untuk menentukan status personil seseorang
2. Prinsip kewarganegaraan seringkali memerlukan bantuan prinsip domisili,
misalnya jika ada perbedaan kewarganegaraan dalam satu keluarga.
3. Hukum domisili seringkali sama dengan hukum sang hakim. Hal ini
sebenarnya lebih menguntungkan bagi para pihak, karena hakim tentunya
lebih mengenal hukum nasionalnya daripada hukukm asing.
4. Prinsip domisili cocok untuk negara-negara dengan pluralisme hukum.
Misalnya di Amerika Serikat dengan negara-negara bagiannya.
Buku Ajar Hukum Perdata Internasional
B. Resti Nurhayati, SH.,MHum. – Fakultas Hukum Unika Soegijapranata

5. Prinsip domisili menolong, pada saat dimana prinsip-prinsip


kewarganegaraan tidak dapat dilaksanakan. Misal : dalam hal seseorang a-
patride atau bi-patride.
6. Demi kepentingan adaptasi dan asimilasi dari para imigran.

Penggunaan salah satu prinsip secara ketat dalam praktek menimbulkan


banyak kesulitan. Salah satu jalan keluarnya adalah dengan memakai kompromi atau
jalan tengah antara kedua prinsip tersebut. Asser (Sudargo Gautama, 1977 : m)
memberi solusi agar hukum nasional berlaku terus untuk orang asing selama enam
tahun, setelah itu berlaku hukum dari tempat kediaman/domisili. Sedangkan
Frankestein menganjurkan setiap orang asing yang berada di luar negara asalnya
memperoleh residence permanente setelah tiga (3) tahun. Status personil seseorang
ditentukan oleh domisili statutaire.
Pada mulanya Indonesia menganut prinsip domisili, namun dengan
Staatsblaad 1915 No. 299 diadakan perubahan dengan menerima prinsip
kewarganegaraan sampai saat ini. Menurut Sudargo Gautama prinsip yang sebaiknya
untuk Indonesia adalah prinsip domisili dengan alasan :
1. Praktis, bahwa dengan pemakaian prinsip domisili dapat diperkecil
berlakunya hukum asing.
2. Dalam praktek sehari-hari di muka pengadilan lazim dipergunakan
Burgerlijke Wetboek.
3. Kurangnya bahan bacaan untuk mengetahui hukum asing.
4. Masih terdapat pluralisme hukum.
5. Indonesia merupakan negara Imigrasi, sehingga banyak orang-orang asing
yang terdapat di Indonesia.
6. Indonesia terletak dalam lingkungan suasana negara-negara tetangga yang
memakai prinsip domisili.
Sudargo Gautama mengingatkan, bila hendak mempergunakan prinsip nasionalitas
bagi sistem Hukum Perdata Internasional di Indonesia, harus dijaga supaya jangan
Buku Ajar Hukum Perdata Internasional
B. Resti Nurhayati, SH.,MHum. – Fakultas Hukum Unika Soegijapranata

sampai prinsip tersebut dipakai secara kaku (kombinasi dengan prinsip domisili).
Atau terhadap orang asing yang berdiam di Indonesia dipergunakan prinsip
nasionalitas selama mereka tidak lebih dari dua (2) tahun berdiam di Indonesia.
Selebihnya dipakai prinsip domisili.

F. INGAT
 Azas nasionalitas dan domisili adalah azas yang digunakan untuk menentukan
status personal seseorang.

G. EVALUASI
Buatlah analisis dari sebuah kasus terkait dengan azas nasionalitas dan domisili.

H. DAFTAR PUSTAKA
Bayu Seto 1992, Dasar-Dasar Hukum Perdata Internasional, Citra Aditya Bakti,
Bandung.

Ridwan Khairandy dkk, 1999, Pengantar Hukum Perdata Internasional, Gama


Media Offset, Yogyakarta.

Sudargo Gautama, 1977, Pengantar Hukum Perdata Internasional, BPHN, Jakarta.

Sunaryati Hartono, 1989, Pokok-Pokok Hukum Perdata Internasional, Binacipta,


Bandung.
Buku Ajar Hukum Perdata Internasional
B. Resti Nurhayati, SH.,MHum. – Fakultas Hukum Unika Soegijapranata Semarang

BAB XI
THE MOST SIGNIFICANT RELATIONSHIP

Mahasiswa mengetahui dan mampu mempergunakan doktrin the most sisgnificant


relationship dalam contoh kasus

1. Pengertian the most significant relationship


2. Pendekatan yang digunakan dalam the most significant relationship
3. Penggunaan doktrin dalam kasus

A. PENDAHULUAN
B. PENGERTIAN THE MOST SIGNIFICANT RELATIONSHIP
C. PENDEKATAN YANG DIGUNAKAN DALAM THE MOST
SIGNIFICANT RELATIONSHUIP
D. PENGGUNAAN DOKTRIN DALAM KASUS
E. INGAT
F. EVALUASI
G. DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai