Abstract
The formulation of norms related to criminal threats is basically maximum. This creates a
disparity in the judge's decision. This disability can cause a sense of injustice (substantive
justice) for the convicted person. The formulation of the problem is, what is the factor causing
the occurrence of criminal disparity in the criminal imprisonment carried out by the judge and
what is the basis of the judge's judgment in deciding criminal penalties in the trial ?. The
research method used is normative and empirical methods in relation to substantive justice. The
results of the research show that in deciding the case the judge is subject to Article 197 of the
Criminal Procedure Code, namely the judge must have his own judgment in determining the
weight or severity of the sentence to be imposed on the defendant, through material evidence in
court to support the conclusion in the judge's judgment. At present the judiciary in Indonesia is
still using the method of sentencing based on trial hearings only. This causes a court decision
issued by the judge to have a difference between one decision and another decision called
criminal disparity.
Abstrak
Rumusan norma yang berkaitan dengan ancaman pidana pada dasarnya bersifat maksimum. Hal
tersebut menimbulkan ruang disparitas putusan hakim. Disapritas tersebut dapat menimbulkan
rasa ketidakadilan (keadilan substantif) bagi terpidana. Rumusan masalahnya adalah, apa yang
menjadi faktor penyebab terjadinya disparitas pidana dalam penjatuhan pidana yang dilakukan
oleh hakim dan apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam memutus perakara
pidana didalam persidangan?. Metode penelitian yang digunakan adalah metode normatif dan
empiris dalam kaitannya dengan keadilan substantif. Hasil penelitian menunjukan dalam
memutuskan perkara hakim tunduk pada Pasal 197 KUHAP, yaitu hakim harus memiliki
pertimbangannya sendiri didalam menentukan berat atau ringannya hukuman yang akan
dijatuhkan kepada terdakwa, melalui pembuktian materil dipersidangan untuk mendukung
kesimpulan dalam pertimbangan hakim. Saat ini peradilan di Indonesia masih menggunakan
metode penjatuhan hukuman berdasarkan pemeriksaan persidangan saja. Hal ini menyebabkan
putusan pengadilan yang dikeluarkan oleh hakim terdapat perbedaan antara satu putusan dengan
putusan yang lainnya yang disebut dengan disparitas pidana.
215
Nimerodi Gulo, Ade Kurniawan M., Disparitas Dalam Penjatuhan Pidana
pidana akan melibatkan minimal 3 (tiga) menyebutkan bahwa hakim juga dapat wajib
faktor yang saling terkait, yaitu faktor mempertimbangkan sifat baik dan jahat pada
perundang-undangan, faktor aparat atau diri terdakwa selama persidangan.
penegak hukum, dan faktor kesadaran Peraturan perundang-undangan pidana
hukum(Komisi Yudisial RI, 2014). Faktor yang selama ini dibuat tidak memberikan
perundang-undangan dalam hal ini pedoman pemberian pidana secara tegas
perundang-undangan pidana, meliputi yang menjadi dasar bagi hakim dalam
hukum pidana materil (hukum pidana menjatuhkan pidana kepada terdakwa.
substantif) maupun hukum pidana formil Undang-undang yang ada hanya dijadikan
(hukum acara pidana). Ada dua aspek sebagai pedoman pemberian hukuman
penting dalam keberhasilan penegakkan maksimal dan minimalnya saja. Oleh karena
hukum pidana, yaitu isi atau hasil penegakan itu, pedoman pemberian pidana seharusnya
hukum (substantif justice) dan tata cara secara tegas dicantumkan dalam Undang-
penegakkan hukum (procedural undang, untuk menghindari kesewenang-
justice.(Komisi Yudisial RI, 2014) wenangan yang dilakukan oleh hakim dalam
Indonesia adalah negara hukum yang menjatuhkan putusannya(Wijayanto, 2012).
memberikan kebebasan pada hakim dalam Hal inilah yang sering kali menimbulkan
memutuskan suatu perkara pidana, disparitas dalam penjatuhan pidana yang
maksudnya adalah hakim tidak boleh dilakukan oleh hakim.
mendapat intervensi dari pihak manapun. Disparitas pidana (disparity of
Hakim sebagai pejabat peradilan negara sentencing) adalah penerapan pidana yang
yang berwenang untuk menerima, tidak sama terhadap tindak pidana yang
memeriksa, dan memutus perkara yang sama (same offence) atau terhadap tindak-
dihadapkan kepadanya.Pada hakikatnya tindak pidana yang sifatnya berbahaya dapat
tugas hakim untuk mengadili mengandung diperbandingkan (offences of comparable
dua pengertian, yakni menegakkan keadilan seriousnees) tanpa dasar pembenaran yang
dan menegakkan hukum(Mertokusumo, jelas. Selanjutnya tanpa merujuk “legal
2007). Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang category”, disparitas pidana dapat terjadi
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan pada penghukuman terhadap mereka yang
Kehakiman menyebutkan bahwa hakim melakukan suatu delik secara
wajib menggali, mengikuti, dan memahami bersama(Muladi dan Barda Nawawi Arief,
nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang 1984). Disparitas pemidanaan mempunyai
hidup dalam masyarakat. Pasal 8 ayat (2) dampak yang dalam, karena didalamnya
216
Masalah-Masalah Hukum, Jilid 47 No.3, Juli 2018
217
Nimerodi Gulo, Ade Kurniawan M., Disparitas Dalam Penjatuhan Pidana
218
Masalah-Masalah Hukum, Jilid 47 No.3, Juli 2018
219
Nimerodi Gulo, Ade Kurniawan M., Disparitas Dalam Penjatuhan Pidana
220
Masalah-Masalah Hukum, Jilid 47 No.3, Juli 2018
221
Nimerodi Gulo, Ade Kurniawan M., Disparitas Dalam Penjatuhan Pidana
222
Masalah-Masalah Hukum, Jilid 47 No.3, Juli 2018
223
Nimerodi Gulo, Ade Kurniawan M., Disparitas Dalam Penjatuhan Pidana
tinggi oleh para hakim di Indonesia baik bahasa Latin “Res ludicata” yang berarti
di dalam maupun di luar suatu yang telah diputuskan.
kedinasannya(Mahkamah Agung RI, Black’s Law Dictionary, sixth edition,
2006). merumuskan res judicata sebagai: “A
b. UU Kekuasaan Kehakiman yang ada matter adjudged; a thing judicially acted
Asas kebebasan hakim atau judicial upon or decided; a thing or matter settled
discretionary power dijamin sepenuhnya by judgement. Rule that a final judgement
dalam Pasal 1 UU No.48 Tahun 2009 renderd by a court of competent
Tentang Kekuasaan Kehakiman. jurisdiction on the merits is conclusive as
c. Teori Ratio Decidendi to the rights of the parties and their
Ratio Decidendi atau rationes decidenci privies, an as to them, constitutes an
adalah sebuah istilah latin yang sering absolute bar to a subsequent action
diterjemahkan secara harfiah sebagai involving the same claim, demand or
alasan untuk keputusan itu. Black’s Law cause of action”.
Dictionary menyatakan ratio decidendi (Black’s Law Dictionary, sixth edition,
sebagai “the point in a case which merumuskan res judicata sebagai: “hal
determines the judgement” atau menurut ini diputuskan, hal yang secara hukum
Barron’s Law Dictionary adalah “the ditindaklanjuti atau memutuskan. Sebuah
principle which the case hal atau masalah diselesaikan oleh
establishes.”(Huda, 2016) penilaian. Aturan penilaian akhir yang
d. Teori Dissenting Opinion diberikan oleh pengadilan dengan
Dissenting Opinion menurut H.F yurisdiksi yang kompeten pada manfaat
Abraham Amos adalah perbedaan tentang meyakinkan mengenai hak-hak para
amar putusan hukum dalam suatu kasus pihak dan privat mereka, seperti mereka,
tertentu, dalam masyarakat yang yang merupakan hak yang mutlak untuk
majemuk dan multi kultur, perbedaan bertindak berikutnya melibatkan klaim
tentang pemahaman suatu hukum sudah permintaan atau penyebab tindakan.)
menjadi hal yang biasa(“Pengertian Dan Dari segi empiris, pertimbangan
Konsep Dissenting Opinion,” 2016). kedaan terdakwa meliputi kepribadian,
e. Doktrin Res Judicate Pro Veritate keadaan sosial, ekonomi, dan sikap
Hebetur masyarakat, serta dalam pembuktian fakta di
Res Judicate Pro Veritate Hebetur, lazim persidangan juga dapat mempengaruhi
disingkat Res Judicate berasal dari pertimbangan hakim. Hakim sendiri tidak
224
Masalah-Masalah Hukum, Jilid 47 No.3, Juli 2018
225
Nimerodi Gulo, Ade Kurniawan M., Disparitas Dalam Penjatuhan Pidana
226
Masalah-Masalah Hukum, Jilid 47 No.3, Juli 2018
Bandung: Alumni.
Muladi dan Barda Nawawi Arief. (2005).
Teori-teori Dan Kebijakan Pidana.
Bandung: Alumni.
Mulyadi, L. (n.d.). Seraut Wajah Putusan
Hakim Dalam Hukum Acara Pidana.
Citra Aditya Bhakti.
Pengertian Dan Konsep Dissenting Opinion.
(2016). Retrieved September 20, 2016,
from http://id.shvoong.com/law-and-
politics/administrative-law/2172112
Sudarto. (1981). Kapita Selekta Hukum
Pidana Indonesia. Bandung: Alumni.
Wijayanto, I. (2012). Disparitas Pidana
Dalam Perkara Tindak Pidana Biasa
Di Pengadilan Negeri Kota Semarang,
7, 208.
227