Anda di halaman 1dari 5

‘Disparitas Putusan’ dan ‘Pemidanaan yang Tidak Proporsional’

Dalam memperberat dan meringankan hukuman, harus ada dasar pertimbangan hakim yang
jelas.
MYS
Dibaca: 12822 Tanggapan: 0
BERITA TERKAIT

 MA Gagas Sita Jaminan untuk Perkara Korupsi


 Independensi Hakim Jangan Disalahgunakan
 MA Akui Banyak Kebijakannya Belum Terimplementasi

Disparitas putusan hakim pidana adalah masalah yang telah lama menjadi pusat perhatian
kalangan akademisi, pemerhati dan praktisi hukum. Disparitas putusan dianggap sebagai isu
yang mengganggu dalam sistem peradilan pidana terpadu, dan praktek disparitas tak hanya
ditemukan di Indonesia. Ia bersifat universal dan ditemukan di banyak negara.

Disparitas putusan mungkin saja ikut berpengaruh pada cara pandang dan penilaian
masyarakat terhadap peradilan. Ia dapat dilihat sebagai wujud ketidakadilan yang
mengganggu. Tetapi apa sebenarnya disparitas putusan itu? Dalam bukunya Sentencing and
Criminal Justice (2005: 72), Andrew  Ashworth mengatakan disparitas putusan tak bisa
dilepaskan dari diskresi hakim menjatuhkan hukuman dalam suatu perkara pidana.

Di Indonesia, disparitas hukuman juga sering dihubungkan dengan independensi hakim.


Model pemidanaan yang diatur dalam perundang-undangan (perumusan sanksi pidana
maksimal) juga ikut memberi andil. Dalam menjatuhkan putusan, hakim tidak boleh
diintervensi pihak manapun. UU No. 48 Tahun 2009tentang Kekuasaan Kehakiman
menyebutkan hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa
keadilan yang hidup dalam masyarakat. Hakim juga wajib mempertimbangkan sifat bak dan
jahat pada diri terdakwa.

Dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia,
Harkristuti Harkrisnowo (2003: 7) menyatakan disparitas putusan berkenaan dengan
perbedaan penjatuhan pidana untuk kasus yang serupa atau setara keseriusannya, tanpa alasan
atau pembenaran yang jelas.

Ada banyak faktor yang menyebabkan terjadinya disparitas putusan. Tetapi pada akhirnya
hakimlah yang paling menentukan terjadinya disparitas. Misalnya, ada dua orang yang
melakukan tindakan pencurian dengan cara yang sama dan akibat yang hampir sama.
Meskipun hakim sama-sama menggunakan pasal 362 KUHP, bisa jadi hukuman yang
dijatuhkan berbeda.

Namun independensi hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana bukan tanpa batas. Eva
Achjani Zulfa, dalam buku Pergeseran Paradigma Pemidanaan  (2011: 33), mengatakan ada
asas nulla poena sine lege yang memberi batas kepada hakim untuk memutuskan sanksi
pidana berdasarkan takaran yang sudah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.
Meskipun ada takaran, masalah disparitas akan tetap terjadi karena jarak antara sanksi pidana
minimal dan maksimal dalam takaran itu terlampau besar.
Proses pembentukan peraturan perundang-undangan ikut berpengaruh karena ketiadaan
standar merumuskan sanksi pidana. Disparitas putusan sejak awal ‘dimungkinkan’ karena
aturan hukum yang disusun pemerintah dan DPR membuka ruang untuk itu.

Menghapuskan sama sekali perbedaan putusan hakim untuk kasus yang mirip tak mungkin
dilakukan. Selama ini, upaya yang dilakukan adalah meminimalisir disparitas dengan cara
antara lain membuat pedoman pemidanaan (sentencing guidelines). Amerika Serikat,
Finlandia, Swedia dan Selandia Baru termasuk negara yang sudah mengadopsi dan
menerapkan pedoman pemidanaan tersebut.

Hakim-hakim Indonesia pun sebenarnya sudah menyadari persoalan disparitas itu. Meskipun
berat ringannya hukuman menjadi wewenang hakim tingkat pertama dan banding, tetapi
dalam beberapa putusan, hakim agung mengoreksi vonis itu dengan alasan pemidanaan yang
tidak proporsional.

Sekadar contoh bolehlah disebut putusan Mahkamah Agung  No. 662K/Pid/1992 (JPU vs
Abdullah bib Tatoto dkk), dan putusan No. 1168 K/Pid/2000 (JPU vs Margono Kusuma
Widagdo dan Sri Endah Soekardi). Dalam dua putusan ini, Mahkamah Agung membatalkan
putusan pengadilan karena menaikkan hukuman penjara tanpa pertimbangan dan alasan yang
cukup terperinci. Dalam putusan kedua, misalnya, Mahkamah Agung melihat disparitas
hukuman antara yang hanya turut serta dengan pelaku utama mengedarkan uang palsu.

Rujukan lain yang menyinggung langsung pemidanaan yang tidak proporsional adalah
putusan MA No. 143K/Pid/1993. Majelis hakim agung dipimpin M. Yahya Harahap
mempertimbangkan bahwa pada dasarnya berat ringannya hukuman adalah kewenangan
judex facti. Pemidanaan dapat menjadi kewenangan hakim tingkat kasasi jika pidana yang
dijatuhkan tidak sesuai dengan cara melakukan tindak pidana dikaitkan dengan luasnya
dampak yang diakibatkan perbuatan terdakwa. Begitu pula jika pidana yang dijatuhkan tidak
memenuhi tujuan penegakan hukum pidana sebagai tindakan edukasi, koreksi, prevensi dan
represi bagi masyarakat dan pelaku.

“Meskipun tujuan pemidanaan terhadap seseorang bukan sebagai balas dendam, namun
pemidanaan tersebut harus benar-benar proporsional dengan prinsip edukasi, koreksi,
prevensi dan represi,” demikian penggalan pertimbangan majelis hakim agung.

Penjatuhan hukuman yang proporsional adalah penjatuhan hukuman yang ‘sesuai dengan
tingkat keseriusan kejahatan yang dilakukan. Pada intinya, proporsionalitas mensyaratkan
skala nilai untuk menimbang dan menilai berat ringannya pidana dikaitkan dengan tindak
pidananya. Nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat sert5a budaya cenderung
menjadi determinan dalam menentukan peringkat sanksi yang dipandang patut dan tepat
dalam konteks historis tertentu (Harkrisnowo, 2003: 12). Penelusuran Harkristuti
Harkrisnowo menemukan fakta bahwa asas proporsionalitas sudah dirumuskan pada kitab-
kitab hukum zaman Indonesia kuno.

Menurut Eva Achjani Zulfa (2011: 37-38), ide tentang penjatuhan pidana yang proporsional
berkembang menjadi gagasan untuk membuat suatu pedoman pemidanaan yang mampu
mereduksi subjektivitas hakim dalam memutus perkara.
Diskresi hakim sangat mungkin disalahgunakan Sehingga pedoman pemidanaan dianggap
sebagai jalan terbaik membatasi kebebasan hakim. Pedoman pemidanaan itu, kata Asworth
(2005: 101), harus ‘a strong and restrictive guideline’.

KUHP sebenarnya sudah memuat sejumlah pedoman, seperti Pasal 14a, pasal 63-71, dan
Pasal 30. Selain itu, RUU KUHP sudah guidelines yang wajib dipertimbangkan hakim dalam
menjatuhkan putusan, yaitu: kesalahan pembuat tindak pidana, motif dan tujuan melakukan
tindak pidana, sikap batin pembuat tindak pidana, apakah tindak pidana dilakukan berencana,
cara melakukan tindak pidana, sikap dan tindakan pelaku setelah melakukan tindak pidana,
riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi pelaku, pengaruh pidana terhadap masa depan
pelaku, pengaruh pidana terhadap masa depan korban atau keluarga korban, maaf dari
korban/keluarga, dan pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan.

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt524a2ce258cb5/disparitas-putusan-dan-pemidanaan-
yang-tidak-proporsional

Disparitas Penjatuhan Pidana dalam Satu


Kesatuan Perkara yang Sama Sebagai
Salah Satu Alasan Kasasi
 
0
 
0
 
Rate This

Perkara ini menarik karena terdakwa didakwa telah melanggar Pasal 114 ayat (1) UU No 35
Tahun 2009 tentang Narkotika atau melanggar Pasal 112 ayat (1) UU No 35 Tahun 2009
tentang Narkotika atau melanggar Pasal 132 ayat (1) jo Pasal 114 ayat (1) UU No 35 Tahun
2009 tentang Narkotika. Terdakwa yang saat itu sedang bersama temannya yang menjadi
saksi (yang juga jadi terdakwa dalam perkara yang terpisah) menerima permintaan dari
seseorang untuk mencari shabu – shabu. Lalu Terdakwa menanyakan apakah ada shabu
kepada temannya tersebut, dan lalu temannya tersebut mencarikan dan mendapatkan penjual
shabu.

Terdakwa lalu bertemu yang calon pembeli dan mendapatkan uang dari pembeli sebesar 400
ribu untuk membeli shabu, dan uang itu lalu diserahkan kepada temannya setelah itu
terdakwa bersama – sama temannya pergi menemui penjual shabu. Sesampainya di tempat
tujuan, teman terdakwa menemui penjual shabu dan lalu kembali lagi untuk mengantarkan
shabu tersebut kepada calon pembeli dan ditengah jalan lalu terdakwa bersama temannya
tertangkap oleh polisi.

Terdakwa lalu dijatuhi hukuman dengan pidana penjara selama 5 (lima) tahun dikurangi
selama dan membayar denda sebesar Rp.1.000.000.000,-(satu milyar rupiah) Subsidair 4
(empat) bulan penjara. Namun terdakwa tidak diterima diputus pidana sebesar itu karena
temannya yang juga jadi terdakwa dihukum dengan pidana penjara selama 3 tahun 6 bulan.
Terdakwa lalu banding dan putusan banding menguatkan putusan pada tingkat pertama. Pada
tahap kasasi putusan ini dikoreksi oleh Mahkamah Agung.

Mahkamah Agung melalui Putusan No 2217 K/Pid.Sus/2011 mengkoreksi putusan tersebut


dengan mengubah hukuman terdakwa menjadi 3 tahun 6 bulan dengan pertimbangan sebagai
berikut:

 Bahwa judex facti mempertimbangkan meskipun pidana dalam perkara a quo tidak
sesuai dengan perkara sebelumnya yang serupa yng diadili oleh Pengadilan Negeri
yang sama/dilingkungan Pengadilan Tinggi yang sama, perkara sejenis, motifnya
sama, karenanya patut dijatuhi pidana tidak terlalu mencolok, di mana perkara
terdahulu telah dijatuhi pidana 2 (dua) tahun dan 6 (enam) bulan dan diperberat oleh
Pengadilan Tinggi yang sama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan karena itu patut jika
perkara Pemohon Kasasi/Terdakwa sama dengan perkara terdahulu ;
 Bahwa alasan Pemohon Kasasi/Terdakwa menggunakan perkara Reg. No.2208
K/Pid.Sus/2011 atas nama Terdakwa SUHARYANTO sebagai dasar alasan untuk
meminta adanya keringanan pidana dapat dibenarkan, sebab perkara tersebut
merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan meskipun dalam pemberkasan
adminitrasi perkara tidak dilakukan splitsing dengan perkara a quo ;
 Bahwa meskipun dalam perkara a quo tidak dirumuskan adanya ketentuan Pasal 55
ayat (1) ke-1 KUHPidana bukan berarti tidak ada hubungan atau terlepas sama sekali.
Bahwa kedudukan Pemohon Kasasi/Terdakwa dalam perkara a quo adalah sebagai
pembeli sedangkan kedudukan Terdakwa SUHARYANTO dalam perkara Reg.
No.2208 K/Pid.Sus/2011 adalah sebagai penjual Shabu-Shabu ;
 Bahwa Terdakwa SUHARYANTO dalam perkara Reg. No.2208 K/Pid.Sus/ 2011
telah diterapkan ketentuan Pasal 114 ayat (1) Undang-Undang No.35 Tahun 2009,
sama dengan perkara a quo, namun pidana penjara yang dijatuhkan terhadap Pemohon
Kasasi/Terdakwa lebih berat yaitu pidana penjara selama 5 (lima) tahun, sehingga
dapat dikatakan telah terjadi disparitas pemidanaan ;
 Bahwa perkara Reg. No.2208 K/Pid.Sus/2011 di mana Terdakwanya dihukum pidana
penjara 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan) sedangkan Pemohon Kasasi/Terdakwa dipidana
penjara selama 5 (lima) tahun, hal ini merupakan suatu diskriminasi atau ketidak
adilan dalam menjatuhkan pidana ;
 Bahwa dari segi karakteristik perbuatan Pemohon Kasasi/Terdakwa, bahwa terdapat
berbagai alasan pertimbangan yang dapat menjadi dasar untuk menjatuhkan pidana
lebih ringan sesuai dengan perkara Reg. No.2208 K/Pid.Sus/2011 ;
 Bahwa sejalan alasan tersebut terdapat alasan yang dapat meringankan Pemohon
Kasasi/Terdakwa yaitu ternyata tujuan Pemohon Kasasi/Terdakwa untuk membeli
Shabu tersebut adalah untuk digunakan bersama dengan saksi Wahyu Tri Hasan,
apalagi Pemohon Kasasi/Terdakwa membeli dalam jumlah yang sangat kecil 0,141
gram

http://anggara.org/2012/11/07/disparitas-penjatuhan-pidana-dalam-satu-kesatuan-perkara-yang-
sama-sebagai-salah-satu-alasan-kasasi/

Penelitian ini mengkaji tentang disparitas penjatuhan pidana oleh hakim terhadap kasus-kasus
narkotika. Didasari oleh keprihatinan terhadap bebasnya peredaran gelap narkotika di Indonesia
yang sudan sampai pada titik yang membahayakan kelangsungan hidup bangsa dan ketahanan
nasional karena sasarannya adalah generasi penerus bangsa. Untuk itulah pemerintah dan
masyarakat menyatakan perang terhadap peredaran gelap narkotika tersebut, serta menghimbau
agar pelakunya dihukum seberat beratnya. Tapi dalam kenyataannya seringkali terjadi disparitas
pemidanaan antara pelaku tindak pidana narkotika yang satu dengan yang lainya, padahal di antara
keduanya hampir tidak dapat diperbandingkan, sehingga menimbulkan ketidakadilan terhadap
perlakuan pemidanaan apalagi bagi pelaku tindak pidana narkotika yang dihukum lebih berat. Tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pengaturan hukum narkotika di Indonesia,
selanjutnya untuk mengetahui faktor-faktor penyebab terjadinya disparitas penjatuhan pidana
narkotika oleh hakim dan dampak yang ditimbulkannya, serta untuk mengetahui bagaimana
kebijakan hukum pidana yang tepat dalam rangka mengeleminir terjadinya disparitas penjatuhan
pidana tersebut. Disparitas penjatuhan pidana ini merupakan penelitian hukum normative dan
sosiologis, dengan pertimbangan untuk menginventarisasi dan mengukur tingkat singkronisasi
peraturan perundang-undangan di bidang narkotika mengenai disparitas pemidanaan, baik itu dari
segi komponen struktural, substantif dan kultural serta untuk menemukan upaya penyelesaian yang
nantinya diharapkan dapat direkomendasikan sebagai kebijakan hukum pidana. Penelitian ini
dititikberatkan pada studi kepustakaan, sehingga data sekunder atau bahan pustaka lebih
diutamakan dari data primer dan juga data empiris yang berasal dari para responden. Berdasarkan
hasil penelitian terlihat seringkali terjadi disparitas pemidanaan oleh hakim dalam kasus-kasus
narkotika yang cenderung mengabaikan nilai-nilai keadilan. Adapun faktor-faktor penyebab
terjadinya disparitas pemidanaan adalah karena peraturan perundang-undangan itu sendiri,
kurangnya sumber daya aparat penegak hukum, opini publik terhadap sistem peradilan yang kolusif
dan adanya pertimbangan tentang diri terdakwa. Disparitas pemidanaan ini juga dapat menimbulkan
dampak yang positif dan dampak negatif bagi pelaku tindak pidana narkotika itu sendiri maupun bagi
masyarakat. Dalam rangka mengeleminir terjadinya disparitas pemidanaan, perlu kiranya digunakan
kebijakan hukum pidana baik melalui sarana penal maupun sarana non penal. Penggunaan sarana
penal di sini dititikberatkan pada pembuatan peraturan perundang-undangan yang memiliki unsur-
unsur keadilan, kegunaan dan kepastian hukum. Sedangkan penggunaan sarana non penal lebih
dititikberatkan pada perubahan struktur kelembagaan, substansi hukum serta peningkatan budaya
hukum ataupun moral aparat hukum. Berdasarkan uraian di atas sasaran yang ingin dicapai dalam
rangka mengeleminir terjadinya disparitas pemidanaan adalah diharapkan adanya standar
pemidanaan yang tegas terhadap klasifikasi perbuatan pidana dengan melihat berat atau ringannya
delik, cara delik itu dilakukan, peranan pelaku dalam delik tersebut, keadaan pribadi dari diri pelaku,
ukuran terhadap berat atau ringannya barang bukti, dan lain-lain. Kemudian juga dipersempitnya
jarak antara pidana minimal dan maksimal, adanya pengawasan yang lebih ketat terhadap kinerja
aparat hukum khususnya kepada hakim oleh pihak-pihak yang berwenang untuk itu. Sehingga pada
akhirnya dapat mencegah terjadinya disparitas pemidanaan yang tidak reasonable

Anda mungkin juga menyukai