Anda di halaman 1dari 11

BAB I Pendahuluan

a. Latar belakang Melakukan perumusan ketentuan KUHP terhadap suatu perbuatan tindak pidana merupakan suatu hal yang wajib dilakukan oleh seorang hakim agar dapat mempertimbangkan pemidanan yang sesuai dengan perbuatan tindak pidana yang dimaksud. Hal ini mutlak dilakukan oleh hakim, karena tanpa adanya perumusan terhadap suatu perbuatan, maka setiap tindak pidana bisa dikenakan pemidanaan yang dapat mengecewakan pihak korban atau malah memberatkan pihak terdakwa. Perumusan tersebut juga diterapkan sebagai mekanisme dalam upaya pengakuan terhadap hak asasi manusia yang dimiliki oleh setiap orang. Perumusan ini juga menjadi penting, karena dalam setiap perkara pidana kadangkala muncul suatu bentuk perbuatan yang tidak hanya satu perbuatannya, dengan kata lain perbuatan yang dimaksud merupakan hasil dari penggabungan beberapa tindakan. Di samping itu perbuatan tersebut juga terkadang menyebabkan beberapa akibat, sehingga terdakwa bisa dikenakan beberapa sanksi dari pasal yang berbeda-beda. Sehingga tanpa perumusan, terdakwa dimungkinkan mendapat proses hukuman yang sangat memberatkannya. Dan dengan adanya perumusan maka terdakwa bisa dikenakan sanksi sesuai dengan tindakannya itu tanpa mengurangi hak asasi yang dimiliki olehnya. Seperti halnya dalam masalah penggabungan beberapa tindakan atau lebih dikenal dengan istilah samenloop. Dalam mempelajari rumusan di dalam samenloop memang tidak mudah. Diperlukan pemahaman mengenai perkataan feit yang terdapat di dalam rumusan pasal-pasal yang mengatur masalah samenloop itu sendiri1. Rumusan dari samenloop itu sendiri dapat dilihat dalam Bab ke-VI dari Buku ke-1 KUHP atau tegasnya di dalam pasal 63 sampai dengan pasal 71 KUHP, yaitu berkenaan dengan pengaturan mengenai berat ringannya hukuman yang dapat dijatuhkan oleh seorang hakim terhadap

Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung, Citra Aditya Bakti, 1997. Hlm

671

seorang tertuduh yang telah melakukan lebih daripada satu tindak pidana, yang perkaranya telah diserahkan kepadanya untuk diadili secara bersama-sama Hakim dalam menghadapi perkara samenloop harus memperhatikan dengan jelas mengenai fakta-fakta, apakah seorang pelaku telah melakukan hanya satu tindakan pidana atau telah melakukan lebih dari satu tindakan pidana. Apabila pelaku itu hanya melakukan satu tindak pidana dan dengan melakukan tindakan tersebut, tindakannya itu ternyata telah memenuhi rumusan-rumusan dari beberapa ketentuan pidana, atau dengan perkataan lain apabila dengan melakukan satu tindak pidana itu, tertuduh ternyata telah melakukan beberapa tindak pidana, maka dapat disebut eendaadse samenloop atau concursus idealis ataupun apa yang oleh Prof. Van Hamel juga telah disebut sebagai samenloop van strafbepalingen atau gabungan ketentuan-ketentuan pidana.2 Untuk mengetahui seperti apa perumusan ketentuan yang ada mengatur suatu tindak pidana gabungan, maka diperlukan suatu pengkajian berbentuk studi kasus. Pengkajian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana suatu kasus dapat dikategorikan sebagai bentuk pidana gabungan serta bagaimana menentukan jenis tindak pidana gabungan yang terdapat dalam kasus tersebut. Oleh karena itu, dalam kesempatan kali ini penulis mencoba menyusun sebuah makalah mengenai kasus tindak pidana yang berwujud Concursus. Dengan adanya makalah ini diharapkan dapat memberikan penjelasan mengenai tindakan pidana gabungan yang terjadi pada kasus ini. Khususnya pengetahuan tentang unsur yang terdapat dalam kasus sehingga memenuhi unsur dari tindakan pidana gabungan.

Ibid, Hlm 672

b.

Ringkasan Kasus Posisi berniat untuk melakukan pencurian karena tergiur melihat kediaman bidan desa yang mewah.

AST seorang pengangguran warga Desa Pasar Sorkam, Tapanuli Tengah,

AST pada hari Rabu, tanggal 1 April 2009 sekitar pukul 10.00 WIB ia mengamati rumah Dewi syahputri yang berprofesi sebagai bidan desa. AST kemudian memastikan situasi di sekitar rumah bidan desa itu, karena melihat tidak ada aktivitas di dalam rumah AST menyusup ke dalam rumah, Pada saat AST hendak memulai kejahatannya di ruang tamu. AST kepergok dengan bidan. Akibatnya, terjadi perkelahian tidak seimbang antara AST dan bidan. AST menghantam korban dengan benda tumpul hingga bersimbah darah karena kepalanya pecah dan mukanya lembam. Setelah bidan tewas dengan leluasa, AST menjarah harta benda di dalam rumah, seperti telepon seluler, perhiasan dan uang tunai. Hasil kejahatan tersebut digunakannya untuk berfoya-foya. Tanpa ragu, ia membelanjakan uang hasil kejahatan itu untuk membeli sejumlah barang elektronik c. Identifikasi masalah Dalam makalah yang disusun ini penulis merumuskan dua masalah yang menjadi gambaran permasalahan yang terjadi di dalam kasus yang dibahas oleh penulis. Dua masalah tersebut dijabarkan dalam bentuk pertanyaan oleh penulis. 1. Seperti apa unsur-unsur yang terdapat dalam kasus ini sehingga akhirnya kasus ini menjadi tindak pidana yang berbentuk tindak pidana gabungan terkait dengan rumusan pasal yang terdapat pada ketentuan KUHPidana ? 2. Dalam tindak pidana gabungan dikenal 3 macam bentuk. Bagaimanakah bentuk tindak pidana gabungan yang terjadi dalam kasus ini ?

BAB II Pembahasan

A.

Bentuk-Bentuk Sebelum melakukan identifikasi terhadap kasus ini, ada kalanya perlu ditelaah

terlebih dahulu bentuk yang terdapat di dalam tindak pidana gabungan. Penelaahan ini dilakukan supaya dari masing-masing bentuk tindak pidana dapat diketahui perbedaan serta perbandingannya untuk kemudian menjadi arahan untuk mengetahui tindak pidana yang terdapat dalam kasus ini. Tindak Pidana Gabungan memiliki beberapa bentuk, antara lain : 1. Gabungan dalam satu perbuatan (Eendaadse Samenloop/Concursus Idealis) Eendaadse Samenloop3 terjadi apabila seseorang melakukan satu perbuatan, tetapi dengan satu perbuatan itu ia melanggar beberapa peraturan pidana yang berarti ia telah melakukan beberapa tindak pidana.Hal ini diatur dalam pasal 63 KUHP yang bunyinya sebagai berikut: (1) Jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka yang dikenakan hanya salah satu di antara aturan-aturan itu, jika berbeda-beda yang dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat. (2) Jika suatu perbuatan, yang masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang dikenakan. Di antara para sarjana terdapat perbedaan pendapat mengenai apa yang dimaksud dengan satu tindakan. Sebelum tahun 1932, Hoge Raad barpendirian yang ternyata dalam putusannya, bahwa yang dimaksud dengan satu tindakan dalam pasal 63 ayat (1) KUHP adalah tindakan nyata atau tindakan materiil. Taverne4 bertolak pangkal dari pandangan hukum pidana bahwa tindakan itu terdiri dari dua/lebih tindakan yang terdiri sendiri yang mempunyai sifat yang berbeda yang tak ada kaitannya satu sama lain dapat dibayangkan keterpisahan
3 4

Ibid, hlm. 673 Ibid, hlm. 679

masing-masing. Akibat dari pendirian Hoge Raad ini, makna dari pasal 63 ayat (1) menjadi sempit. Hanya dalam hal-hal terbatas masih apat dibayangkan kemanfaatan dari ketentuan pasal tersebut. Pendirian Hoge Raad bersandar kepada sifat atau ciri yang terdapat pada tindakan tersebut, namun belum secara tegas dapat diketahui apa yang dimaksud dengan satu tindakan dan beberapa perbuatan. Modderman mengatakan bahwa dilihat dari sudut badaniah tindakan itu hanyalah satu saja akan tetapi dari sudut rohani ia merupakan pluralitas (ganda). Sedangkan Pompe mengutarakan bahwa apabila seseorang melakukan satu tindakan pada suatu tempat dan saat, namun harus dipandang merupakan beberapa tindakan apabila tindakan itu mempunyai lebih dari satu tujuan atau cukupan. Ketentuan dalam pasal 63 ayat (2) sesuai dengan asas lex spesialis derogat lex general, yang artinya ketentuan khusus mengenyampingkan ketentuan yang umum. Yang dimaksud dengan ketentuan pidana khusus adalah jika pada tindak pidana khusus itu termuat atau tercakup semua unsur-unsur yang ada pada tindak pidana umum, akan tetapi padanya masih ada unsur lainnya atau suatu kekhususan. Pemidanaan dalam hal concursus idealis menggunakan stelsel absorpsi murni yaitu dengan salah satu pidana yang terberat. 2. Gabungan dalam beberapa perbuatan (Meerdaadse Samenloop/concursus realis) Meerdaadse Samenloop5 terjadi apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan, dan tiap-tiap perbuatan tindak pidana sendiri-sendiri dan terhadap perbuatan-perbuatan tadi diadili sekaligus. Hal ini diatur dalam pasal 65, 66, 70 dan 70 bis KUHP. Menurut ketentuan yang termuat dalam KUHP, concursus realis dibedakan antara jenis tindak pidana yang dilakukan. Tindak pidana kejahatan termuat dalam pasal 65 dan 66 KUHP. Sedangkan tindak pidana pelanggaran termuat dalam pasal 70 dan 70 bis. Pasal 65 KUHP mengatur gabungan dalam beberapa perbuatan yang diancam dengan pidana pokok sejenis dan sistem pemidanaan menggunakan sistem
5

Ibid, hlm. 674

absorpsi diperberat. Pasal 66 KUHP mengatur gabungan dalam beberapa perbuatan yang diancam dengan pidana pokok yang tidak sejenis dan sistem pemidanaanya juga menggunakan absorpsi diperberat. Perbedaan antara pasal 65 dan 66 KUHP terletak pada pidana pokok yang diancamkan terhadap kejahatan-kejahatan yang timbul karena perbuatanperbuatannya itu yaitu apakah pidana pokok yang diancamkannya itu sejenis atau tidak. Sedangkan pasal 70 KUHP mengatur apabila seseorang melakukan beberapa pelanggaran atau apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan yang merupakan kejahatan dan pelanggaran. Jika pasal 65 dan 66 menyebutkan tentang gabungan kejahatan dengan kejahatan, pasal 70 memberi ketentuan tentang gabungan kejahatan dengan pelanggaran atau pelanggaran dengan pelanggaran. Dalam hal ini maka kejahatannya dijatuhkan hukumannya sendiri, sedangkan bagi masing-masing pelanggarannya pun dikenakan hukuman sendiri-sendiri dengan pengertian bahwa jumlah semuanya dari hukuman kurungan yang dijatuhkan bagi pelanggaranpelanggaran itu tidak boleh lebih dari satu tahun empat bulan dan mengenai hukuman kurungan pengganti denda tidak lebih dari delapan bulan. Pasal 70 bis menentukan kejahatan-kajahatan ringan dianggap sebagai pelanggaran. Bagi masing-masing kejahatan ringan tersebut harus dijatuhkan hukuman sendiri-sendiri dengan ketentuan bahwa jika dijatuhkan hukuman penjara maka jumlah semua hukuman tidak boleh lebih dari delapan bulan. 3. Perbuatan berlanjut (Voorgezette Handeling)6 Apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan dan beberapa perbuatan itu merupakan tindak pidana sendiri. Tetapi di antara perbuatan itu ada yang hubungan sedemikian eratnya satu sama lain sehingga beberapa perbuatan itu harus dianggap sebagai satu peruatan lanjutan. Hal ini diatur dalam pasal 64 KUHP dan pemidanaannya menggunakan sistem absorpsi.

Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia, Bandung, Refika Aditama,

2003 Hlm. 147

Terdapat beberapa pendapat mengenai perbuatan berlanjut tersebut. Ada sarjana yang memberikan pengertian bahwa perbuatan berlanjut adalah apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan yang masing-masing merupakan delik, tetapi beberapa perbuatan yang masing-masing delik itu seolah-olah digabungkan menjadi satu delik. Sedangkan Simons mengatakan bahwa KUHP yang berlaku sekarang tidak mengenal vorgezette handeling sebagaimana diatur dalam pasal 64 KUHP yang merupakan bentuk gabungan dalam concursus realis. Hanya tentang pemidanaan pasal 64 KUHP menyimpang dari ketentuan pasal 65 KUHP dan 66 KUHP. Menurut pasal 65 KUHP dan 66 KUHP yang dijatuhkan adalah satu pidana yang terberat ditambah dengan sepetiganya. Sedangkan menurut pasal 64 KUHP yang dijatuhkan hanya satu pidana yang diperberat. Oleh karena itu, Simons menganggap pasal 64 KUHP sebagai pengecualian terhadap concursus realis/ meerdaadse samenloop. Adapun ciri-ciri dari perbuatan berlanjut7 adalah: 1. Tindakan-tindakan yang terjadi adalah sebagai perwujudan dari satu kehendak jahat; 2. Delik-delik yang terjadi itu sejenis; dan 3. Tenggang waktu antara terjdinya tindakan-tindakan tersebut tidak terlampau lama. Persoalan mengenai sejauh mana cakupan dari satu kehendak jahat tersebut erat hubungannya dengan delik dolus/ culpa dan delik materil/ formil. Untuk delik dolus dalam hubungannya dengan delik materiil/ formal tidak ada persoalan mengenai cakupan dari sau kehendak jahat tersebut. B. Identifikasi Dalam kasus ini pelaku mempunyai sebuah niat untuk mencuri. Hal ini membuat anggapan bahwa pelaku sebenarnya hanya melakukan satu tindakan pidana. Namun pada faktanya dalam aksinya melakukan pencurian menjadi terhambat. Hal ini disebabkan oleh kepanikan pelaku akibat dipergoki oleh bidan yang bersangkutan. Pelaku menjadi bingung dan akhirnya ia memutuskan untuk
7

Ibid,

melakukan kekerasan pada bidan tersebut untuk tujuan melemahkannya. Sehingga yang perlu diperhatikan dalam kasus ini ketika pelaku melakukan tindakan kekerasan maka pelaku melakukan perbuatan pidana yang tidak sejenis. Upayanya untuk melemahkan ditujukan pada niat awal untuk mencuri barang berharga milik bidan desa. Perbuatan pelaku ini juga bisa disebut dengan istilah perampokan. Sehingga di dalam kasus ini terdapat beberapa fakta hukum yang memenuhi unsurunsur yang mengacu pada concursus realis dan juga perbuatan yang berkelanjutan. Perbuatan terdakwa ini dapat dikategorikan sebagai perbuatan tindak pidana yang berbentuk concursus realis. Dikatakan seperti ini karena pada saat yang bersamaaan pelaku tindak pidana melakukan dua tindakan yang masing-masing perbuatannya memenuhi dua unsur serta rumusan delik yang terdapat dalam masing-masing ketentuan pidananya, sehingga pelaku bisa dikenakan suatu perhitungan sangsi pidana yang dasarnya dalam Pasal 65 ayat 1 KUHP , yang memperikan penjelasan hendaknya dijatuhkan suatu gematigde cummulatie van straffen, seperti yang dimaksud di dalam memori van Toelichting8 terdapat penjelasan yang menegaskan beratnya hukuman itu pada dasarnya selalu dibuat lebih berat sesuai dengan bertambah lamanya atau bertambah beratnya hukuman sendiri. Dua tahun hukuman penjara merupakan hukuman yang lebih berat daripada dua kali satu tahun penjara atau hukuman kurungan Dengan demikian, maka hukuman yang terberat yang dapat dijatuhkan kepada seorang tertuduh yang secara berturut-turut telah melakukan suatu pencurian yang diancam dengan hukuman penjara dan suatu menghilangkan nyawa orang lain yang diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun tahun itu bukanlah hasil penjumlahan keduanya melainkan salah satu hukuman pokok yang berat ditambah dengan sepertiganya, dalam hal ini untuk dua macam tindak pidana yang telah dilakukannya tersebut, perkara tertuduh telah diajukan untuk diadili secara bersama-sama oleh pengadilan. Namun jika lebih cermat lebih seksama lagi kasus ini juga bisa masuk kedalam suatu perbuatan yang berkelanjutan. Hal ini dikarenakan adanya kemiripan antara perbuatan yang berkelanjutan dengan concursus realis. Kemiripan itu meliputi :
8

Lamintang, Op Cit, Hlm. 700

1. Adanya beberapa perbuatan yang dilakukan. 2. Perbuatan itu merupakan tindak pidana yang berdiri sendiri Dan yang menjadi perbedaan antara perbuatan yang berkelanjutan dengan concursus realis adalah : 1. Adanya Jangka waktu antara perbuatan yang satu dengan yang lain berlangsung relatif lama pada concursus realis sedangkan jangka waktu antara perbuatan satu dengan yang lain dalam perbuatan yang berkelanjutan cenderung lebih singkat. 2. Dalam concursus realis subjek atau pelaku kejahatan melakukan suatu perbuatan tindak pidana yang tidak saling berhubungan (tidak memiliki hubungan kausal), sedangkan dalam perbuatan yang berkelanjutan, pelaku melakukan suatu perbuatan berdasarkan alasan-alasan tertentu yang menyebabkan dirinya tidak bisa melakukan perbuatan awal tanpa melakukan perbuatan yang lain. Hal ini sesuai dengan bunyi pasal 64 KUHP yang menegaskan kata hubungan antara perbuatan-perbuatan. Untuk mengetahui sampai di mana eratnya hubungan antar beberapa perbuatan ini tidak ada penjelasan (memorie van toelichting) dari KUHP belanda mengatakan bahwa ini merupakan soal faktual yang penentuannya diserahkan kepada kebijaksanaan pada pelaksana undang-undang9.

Wirjono Prodjodikoro, Op cit

BAB III Penutup


Kesimpulan Kasus ini memiliki beberapa unsur yang memenuhi rumusan suatu tindak pidana gabungan. Hal ini dilihat dari beberapa macam kriteria pokok dalam tindak pidana gabungan yang juga terdapat dalam kasus ini, unsur-unsur tersebut yakni : 1. Adanya beberapa perbuatan yang merupakan tindak pidana, yakni pencurian yang diatur dalam pasal 365 KUHP dengan penghilangan nyawa manusia pasal 338 KUHP. 2. Masing-masing perbuatan yang merupakan tindak pidana dilakukan oleh satu orang pelaku. Atau dengan kata lain pelakunya sama. Dalam kasus ini perbuatan dilakukan oleh Seorang pengangguran yang berinisial AST dan ia telah melakukan dua perbuatan yang merupakan tindak pidana. 3. Ketika diadili dalam pengadilan melalui rumusan-rumusan tertentu sehingga penjatuhan pidana tidak tergantung pada jumlah tindakan pidana yang telah dilakukan.Kemungkinan untuk penjatuhan pidana yang dapat dikenakan kepada pelaku melalui rumusan pemidanaan adalah ancaman hukuman pidana selama 15 Tahun. Dalam kasus ini, terdapat bentuk tindak pidana gabungan yang berkelanjutan. Hal ini dikarenakan adanya unsur-unsur yang memenuhi tindak pidana yang berkelanjutan. Walaupun pada kenyataannya sangat mirip dengan concursus realis namun terlihat dari jangka waktu antara perbuatan satu dengan perbuatan yang lain dilakukan. Dalam kasus ini Rentang waktu pembunuhan bidan dengan pencurian tidak lama. Di samping itu juga antara tindak pidana pembunuhan dengan tindak pidana pencurian memiliki hubungan yang erat. Hubungan itu berlangsung karena adanya motif dari pelaku untuk melemahkan korban sehingga ia bisa leluasa untuk melakukan tindak pidana pencurian. Unsur Jangka waktu dan hubungan antara perbuatan membuat terpenuhinya suatu unsur dari tindak pidana yang berkelanjutan.

Daftar Pustaka [Textbook] Lamintang P.A.F, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung, Citra Aditya Bakti, 1997. Prodjodikoro, Wirjono, Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia, Bandung, Refika Aditama, 2003 [Kasus] Surat Dakwaan, Pengadilan Negeri Tapanuli Tengah, No REG. PERK. PDM23/TAPTENG/EPO/05/09

Anda mungkin juga menyukai