Anda di halaman 1dari 8

NAMA

NIM
MK

: I GEDE CAHYA WIDIANGGA


: 1403005094 (B)
: HUKUM PIDANA LANJUTAN

Pengertian Deelneming
Deelneming dapat diartikan sebagai terwujudnya suatu tindak pidana yang dilakukan oleh lebih
dari satu orang, yang mana antara orang yang satu dengan yang lainnya terdapat hubungan sikap
batin dan/atau perbuatan yang sangat erat terhadap terwujudnya tindak pidana tersebut.
Sistem Pertanggungjawaban Pada Deelneming
Dari pengertian deelneming di atas dan dikaitkan dengan sistem pertanggungjawaban pidananya,
maka sebelum mengetahui bentuk pertanggungjawabannya, ada dua persoalan yang perlu
dibahas sebelumnya:
a. MENGENAI DIRI ORANGNYA, yaitu orang yang mewujudkan perbuatan yang
bagaimanakah dan atau yang bersikap batin bagaimana yang dapat dipertimbangkan dan dapat
ditentukan sebagai terlibat dalam tindak pidana secara deelneming, sehingga yang bersangkutan
patut dipidana?
b. MENGENAI TANGGUNGJAWAB PIDANA, yaitu apakah mereka para peserta yang terlibat
pada suatu tindak pidana itu akan dipertanggungjawabkan sama ataukah berbeda sesuai dengan
besar/kecilnya
andil
masing-masing
terhadap
terwujudnya
tindak
pidana.
Mengenai persoalan yang pertama (poin a). untuk dapat menentukan keterlibatan seseorang
dalam tindak pidana yang dilakukan secara deelneming, ada dua syarat yang harus dipenuhi:
Syarat subjektif
Syarat subjektif dibagi menjadi 2:
1) adanya hubungan batin (kesengajaan) dengan tindak pidana yang diwujudkan, artinya
kesengajaan dalam berbuat diarahkan pada terwujudnya tindak pidana.
2) Adanya hubungan batin (kesengaaan dengan mengetahui) antara dirinya dengan peserta
lainnya dan bahkan dengan apa yang dilakukan oleh dia dan peserta lainnya.
Syarat objektif ialah bahwa perbuatan orang tersebut memiliki hubungan dengan terwujudnya
tindak pidana, atau dapat dikatakan juga bahwa wuud perbuatan orang tersebut secara objektif
ada perannya/pengaruh positif baik besar atau kecil, terhadap terwujudnya tindak pidana.

Mengenai persoalan yang kedua (poin b), yakni sistem pertanggungjawaban pidananya.
Mengenai deelneming, dalam ilmu hukum pidana dikenal 2 sistem pertanggungjawaban pidana,
yaitu:
a. Doktrin pertanggungjawaban pidana hukum Romawi, bahwa setiap orang yang terlibat
bersama-sama kedalam suatu tindak pidana dipandang dan dipertanggungjawabkan secara sama
dengan orang yang sendirian (dader) melakukan tindak pidana, tanpa dibedakan baik atas
perbuatan yang dilakukannya maupun atas sikap batinnya.
b. Doktrin pertanggungawaban pidana hukum Italia, masing-masing orang yang bersama-sama
terlibat kedalam tindak pidana dipandang dan dipertanggungjawabkan berbeda-beda, yang berat
ringannya disesuaikan dengan bentuk dan luasnya wujud perbuatan masing-masing orang
terhadap tindak pidana yang terjadi.
Dari dua doktrin pertanggungawaban pidana tersebut, hukum pidana Indonesia mengadopsi
kedua-duanya, yang lazim disebut sistem campuran. Dikatakan demikian, karena sebagaimana
diketahui bahwa dalam hukum pidana Indonesia yang diatur dalam KUHP, deelneming
dikelompokkan kedalam 2 kelompok, yaitu 1) para pembuat (mededader) diatur dalam Pasal 55
KUHP dan 2) pembuat pembantu (medeplichtige) diatur dalam Pasal 56 KUHP. Terhadap para
pembuat (mededader) orang-orang yang terlibat di dalamnya ancaman pertanggungjawaban
pidananya disamakan, sedangkan terhadap para pembuat pembantu (medeplichtige) ancaman
pertanggungjawaban pidananya lebih ringan dari pada para pembuat (mededader), yakni menurut
Pasal 57 ayat (1) KUHP disebutkan bahwa dalam hal pembantuan, maksimum pidana pokok
terhadap kejahatan dikurangi sepertiga.
Bentuk-Bentuk Deelneming
Sebelum membahas mengenai bentuk-bentuk penyertaan, perlu diperhatikan rumusan Pasal 55
dan 56 KUHP. Rumusan Pasal 55 berbunyi:
(1) Dipidana sebagai pembuat tindak pidana:
1. mereka yang melakukan, yang menyuruh lakukan, dan yang turut serta melakukan;
2. mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan
atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan,
sarana atau keterangan sengaja menganurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.
(2) Terhadap penganjur, hanya perbuatan, yang sengaja diajurkan sajalah yang diperhitungkan,
beserta akibat-akibatnya.
Dari kedua pasal tersebut (Pasal 55 dan 56) tersebut, dapat diketahui bahwa menurut KUHP
penyertaan itu dibedakan dalam 2 kelompok.
1. pertama adalah kelompok yang disebut sebagai para pembuat (mededaer), (Pasal 55 KUHP)
yaitu:
a. yang melakukan (plegen) orangnya (pleger)
b. yang menyuruh melakukan (doen plegen) orangnya (doen pleger)
c. yang turut serta melakukan (mede plegen) orangnya (mede pleger)
d. yang menganjurkan (uitlokken) orangnya (uitlokker).

2. kedua, yaitu orang yang disebut sebagai pembuat pembatu (medeplichtige) (Pasal 56 KUHP),
yakni:
a. pemberian bantuan pada saat pelaksanaan kejahatan dan
b. pemberian bantuan sebelum pelaksanaan kejahatan.
PARA PEMBUAT (MEDEDAER)
A) Yang melakukan (plegen) orangnya (pleger)
Namun dari berbagai pendapat para ahli dan dengan pendekatan praktik dapat diketahui bahwa
untuk menentukan seseorang sebagai yang melakukan (pleger)/pembuat pelaksana tindak pidana
secara penyertaan adalah dengan 2 kriteria: 1) perbuatannya adalah perbuatan yang menetukan
terwujudnya tindak pidana, 2) perbuatannya tersebut memenuhi seluruh unsur tindak pidana.
B) Yang menyuruh melakukan (doen plegen) orangnya (doen pleger)
Pada umumnya para ahli hukum merujuk pada keterangan yang ada dalam MvT WvS Belanda,
yang berbunyi bahwa yang menyuruh melakukan adalah dia juga yang melakukan tindak
pidana, tapi tidak secara pribadi melainkan dengan perantara orang lain sebagai alat di dalam
tangannya apa bila orang lain itu melakukan perbuatan tanpa kesengajaan, kealpaan atau tanpa
tanggungjawab, karena sesuatu hal yang tidak diketahui, disesatkan atau tunduk pada
kekerasan.
Orang lain sebagai alat di dalam tangannya Yang dimaksud dengan orang lain sebagai alat di
dalam tangannya adalah apabila orang/pelaku tersebut memperalat orang lain untuk melakukan
tindak pidana. Karena orang lain itu sebagai alat, maka secara praktis pembuat penyuruh tidak
melakukan perbuatan aktif
Ada tiga konsekuensi logis, terhadap tindak pidana yang dilakukan dengan cara memperlalat
orang lain:
-Terwujudnya tindak pidana bukan disebabkan langsung oleh pembuat penyuruh, tetapi Oleh
perbuatan orang lain (manus ministra)
-Orang lain tersebut tidak bertanggungjawab atas perbuatannya yang pada kenyataannya telah
melahirkan tindak pidana
-Manus ministra ini tidak boleh dijatuhi pidana, yang dipidana adalah pembuatan penyuruh.
-Tanpa kesengajaan atau kealpaan Yang dimaksud dengan tanpa kesengajaan atau tanpa kealpaan
adalah perbuatan yang dilakukan oleh orang yang disuruh (manus ministra) tidak dilandasi oleh
kesengajaan untuk mewujudkan tindak pidana, juga terjadinya tindak pidana bukan karena
adanya kealpaan, karena sesungguhnya inisiatif perbuatan datang dari pembuat penyuruh,
demikian juga niat untuk mewujudkan tindak pidana itu hanya berada pada pembuat penyuruh
(doen pleger).
-Karena tersesatkan Yang dimaksud dengan tersesatkan disini adalah kekeliruan atau
kesalahpahaman akan suatu unsur tindak pidana yang disebabaklan oleh pengaruh dari orang
lain dengan cara yang isinya tidak benar, yang atas kesalahpahaman itu maka memutuskan
kehendak untuk berbuat. Keadaan yang menyebabkan orang lain itu timbul kesalah pahaman itu
adalah oleh sebab kesengajaan pembuat penyuruh sendiri.

-Karena kekerasan Yang dimaksud dengan kekerasan (geweld) di sini adalah perbuatan yang
dengan menggunakan kekerasan fisik yang besar, yang in casu ditujukan pada orang,
mengakibatkan orang itu tidak berdaya.
C) Yang turut serta melakukan (mede plegen) orangnya (medepleger)
Tentang siapa yang dimaksud dengan turut serta melakukan (medepleger), oleh MvT dijelaskan
bahwa yang turut serta melakukan ialah setiap orang yang sengaja berbuat (meedoet) dalam
melakukan suatu tindak pidana. Penelasan MvT ini, merupakan penjelasan yang singkat yang
masih membutuhkan penjabaran lebih lanjut.
Dari berbagai pandangan para ahli tentang bagaimana kategori untuk menentukan pembuat
peserta (medepleger), maka dapat ditarik kesimpulan bahwa untuk menentukan seseorang
sebagai pembuat peserta yaitu apabila perbuatan orang tersebut memang mengarah dalam
mewujudkan tindak pidana dan memang telah terbentuk niat yang sama dengan pembuat
pelaksana (pleger) untuk mewujudkan tindak pidana tersebut.
Perbuatan pembuat peserta tidak perlu memenuhi seluruh unsur tindak pidana, asalkan
perbuatannya memiliki andil terhadap terwuudnya tindak pidana tersebut, serta di dalam diri
pembuat peserta telah terbentuk niat yang sama dengan pembuat pelaksana untuk mewujudkan
tindak pidana.
D) Yang menganjurkan (uitlokken) orangnya (uitlokker).
Orang yang sengaja mengajurkan, seperti juga pada orang yang menyuruh lakukan (doen pleger)
tidak mewujudkan tindak pidana secara materil, tetapi melalui orang lain. Pasal 55 ayat (1) ke-2
Pengertian Gabungan (Perbarengan) Tindak Pidana
Yang dimaksud dengan perbarengan atau gabungan ialah terjadinya dua atau lebih tindak
pidana oleh satu orang dimana tindak pidana yang dilakukan pertama kali belum dijatuhi pidana,
atau antara tindak pidana yang awal dengan tindak pidana berikutnya belum dibatasi oleh suatu
keputusan hakim. Pada pengulangan juga terdapat lebih dari satu tindak pidana yang dilakukan
oleh satu orang. Perbedaan pokoknya adalah bahwa pada pengulangan tindak pidana yang
dilakukan pertama atau lebih awal telah diputus oleh hakim dengan mempidana pada si pembuat,
bahkan telah dijalaninya baik sebagian atau seluruhnya. Sedangkan pada perbarengan syarat
seperti pada pengulangan tidaklah diperlukan.
Perbarengan tersebut dapat dikatakan apakah merupakan dasar pemberat pidana atau
peringan pidana, tergantug pada hal yang menjadi dasar pandangannya terhadap peristiwa
konkrit tertentu, tidak bersifat general untuk segala kejadian. Bila semata-mata dilihat dari
pandangan bahwa hanya dijatuhkan satu pidana kemudian dapat diperberat, tanpa melihat disana
ada beberapa tindak pidana, maka disini perbarengan dapat dianggap sebagai pemberatan pidana.

Akan tetapi apabila dilihat semata-mata ada beberapa tindak pidana, tetapi hanya dijatuhkan
satu pidana saja yakni terhadap aturan pidana yang terberat ancaman pidananya, walaupun
dengan dapat ditambah sepertiga yang terberat (seperti pasal 65) maka tampaknya pada
perbarengan tidak ada pemberatan pidana. Seperti orang yang dua kali melakukan pembunuhan
yang masing-masing diancam 15 tahun, yang artinya untuk dua kali pembunuhan itu dapat
dijatuhi pidana berjumlah 30 tahun. Namun karena ketentuan perbarengan dia tidak dijatuhi
pidana penjara dua kali, akan tetapi ditambah sepertiganya yaitu 20 tahun.
Berbeda dengan pengulangan yang tidak mengatur mengenai ketentuan umumnya, hal
perbarengan dimuat ketentuan umumnya dalam bab VI (pasal 63-71) KUHP. Peraturan mengenai
perbarengan pada dasarnya ialah suatu ketentuan mengenai bagaiamana cara menyelesaikan
perkara dan menjatuhkan pidana ( system penjatuhan pidana) dalam hal apabila satu orang telah
melakukan lebih dari satu tindak pidana dimana semua tindak pidana itu belum diperiksa dan
diputus oleh pengadilan.
Konkritnya ketentuan perbarengan itu mengatur dan menentukan mengenai; cara menyidangkan
atau memeriksa (meyelesaikan) perkara dan cara atau system penjatuhan pidananya terhadap
satu orang orang pembuat yang telah melakukan tindak pidana lebih dari satu yang semuanya
belum diperiksa dan diputuskan oleh pengadilan.
Mengenai cara menyelesaikan perkara demikian, undang-undang menghendaki ialah dengan
memberkas beberapa tindak pidana itu dalamm satu berkas perkara dan menyidangkannya dalam
satu perkara oleh satu Majlis Hakim, dan tidak dipecah-pecah menjadi beberapa perkara dengan
menyidangkannya sendiri-sendiri oleh beberapa majlis hakim. Perwujudan dari kehendak
undang-undang ini juga terdapat dalam pasal 141 KUHP atau dulu pasal 250 ayat (14) HIR.
Ada dua alasan Pembentuk Undang-undang dalam hal menghendaki agar beberapa tindak
pidana ini diadili secara serentak dan diputus dalam satu putusan pidana dan tidak dijatuhkan
sendiri-sendiri dengan memperhitungkan sepenuhnya ancaman pidana pada masing-masing
tindak pidana yang dilakukan, artinya agar tindak pidana tindak pidana dalam perbarengan itu
tidak dipidana sepenuhnya sesuai tindak pidananya masing-masing:
a) Pertimbangan psychology, maksudnya ialah bahwa menjalani pidana satu kali dalam waktu
yang lama dirasakan lebih berat dari pada menjalani pidana dua kali dalam jumlah yang sama.
b) Pertimbangan dari segi kesalahan si pembuat, maksudnya ialah kesalahan si pembuat dalam
melakukan tindak pidana berikutnya dipandang lebih ringan daripada kesalahan dalam hal
melakukan tindak pidana yang pertama. Pertimbagan ini dikemukakan beerhubung dengan
adanya anggapan bahwa penjatuhan pidana pada dasarnya adalah suatu peringatan oleh Negara
kepada si pembuat tentang kesalahannya karena melakukan suatu tindak pidana.
B. Bentuk-bentuk Perbarengan
Undang-undang membedakan menjadi tiga bentuk perbarengan: perbarengan peraturan
(pasal 63) dengan menggunakan sistem hisapan atau absorbsi, perbuatan berlanjut (pasal 64),
perbarengan perbuatan (pasal 65-71).

1) Perbarengan Peraturan (Concursus Idialis / Eendaadse Samenloop)


Perbarengan peraturan (concursus idealis) yaitu suatu perbuatan yang masuk kedalam lebih dari
satu aturan pidana. System pemberian pidana yang dipakai adalah system absorbsi. Jadi misalnya
terjadi pemerkosaan di jalan umum, maka pelaku dapat diancam dengan pidana penjara 12 tahun
menurut pasal 285, dan pidana penjara 2 tahun 8 bulan menurut pasal 281. dengan system
absorbsi, maka diambil yang terberat, yaitu 12 tahun penjara. Terwujudnya apa yang disebut
dengan perbarengan peraturan pada dasarnya apabila satu wujud perbuatan (een feit) melanggar
lebih dari satu aturan pidana. Pengertian dasar ini sesuai dengan apa yang dirumuskan oleh pasal
63 ayat (1), yang menyatakan Jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana,
maka yang dikenakan hanya salah satu di antara aturan-aturan itu; dan jika berbeda-beda, yang
dikenakan yang memuat ancaman pokok yang paling berat.
Dalam hal perbarengan peraturan dengan rumusannya diatas, yang menjadikan persoalan
besar ialah bukan system penjatuhan pidananya sebagaimana pada kalimat selebihnya dari
rumusan ayat (1) dan rumusan ayat (2) dari pasal 63 itu, tetapi ialah persoalan mengenai suatu
perbuatan (een feit). Hal ini juga terdapat dan sejalan dengan arti perbuatan pada pasal 76 ayat
(1) mengenai asas neb is I idem dalam hukum pidana.
Penjatuhan pidana pada bentuk perbarengan peraturan dengan menggunakan system hisapan,
artinya hanya dipidana terhadap salah satu dari atura pidana itu, dan jika diantara aturan-aturan
pidana itu berbeda-beda ancaman pidananya, maka yang dikenakan adalah terhadap aturan
pidana terberat ancaman pidana pokoknya, dan apabila satu perbuatan itu masuk dalam aturan
pidana umum yang sekaligus masuk dalam aturan pidana khusus, maka yang dikenakan adalah
terhadap aturan pidana khusus itu saja.
Jadi berdasarkan ketentuan pasal 63 mengenai system hisapan pada perbarengan peraturan
ini, dapat dikenakan pada tiga kemungkinan, yaitu:
1. pada perbarengan peraturan dari tindak pidana dengan ancaman pidana pokok yang sama
berat.
2. pada perbarengan peraturan dari beberapa tindak pidana dengan ancaman pidana
pokoknya tidak sama berat.
3. pada perbarengan peraturan di mana satu perbuatan masuk atau diatur dalam suatu aturan
pidana umum yang sekaligus masuk aturan pidana yag khusus.
2) Perbuatan Berlanjut (Voortgezette Handeling)
Mengenai perbuatan berlanjut ini diatur dalam pasal 64 yang rumusannya adalah sebagai berikut:
(1) Jika antara beberapa perbuatan, meskipun masing-masing merupakan kejahatan atau
pelanggaran, ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu
perbuatan berlanjut (voortegezette handeling), maka hanya dikeakan satu aturan pidana jika
berbeda-beda, yang dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang berat.
(2) Begitu juga hanya dikenakan satu aturan pidana, jika orang dinyatakan salah melakukan
pemalsuan atau perusakan mata uang, dan menggunakan barang yang dipalsu atau yang dirusak
itu.

(3) Akan tetapi, jika orang melakukan kejahatan-kejahatan tersebut dalam pasal 364, 373, 379
dan 407 ayat 1, sebagai perbuatan berlanjut dan nilai kerugian yang ditimbulkan jumlahnya lebih
dari Rp.25,- maka ia dikenai aturan pidana tersebut dalam pasal 362, 372, 378, da 406.
Berdasarkan rumusan ayat 1 tadi, dapat ditarik unsur-unsur dari perbuatan berlanjut, yaitu:
a. adanya beberapa perbuatan, meskipun berupa pelanggaran ataupun kejahatan;
b. antara perbuatan yang satu dengan yang lain terdapat hubungan yang sedemikian rupa
sehingga harus dipandang sebagai perbuatan yang berlanjut
3) Perbarengan Perbuatan (Concursus Realis / Meerdaadse Samenloop)
Yang dimaksud dengan gabungan beberapa beberapa perbuatan ialah apabila seseorang
melakukan beberapa perbuatan, perbuatan-perbuatan mana berdiri sendiri dan masing-masing
merupakan pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan pidana yang berupa kejahatan atau
pelanggaran yang mana belum ada yang dijatuhkan hukuman oleh pengadilan dan akan diadili
sekaligus oleh pengadilan.
KUHP menyinggung concursus realis itu dalam pasal 65 dan 66: ,,gabungan dari beberapa
perbuatan, yang masing-masing harus dipandang sebagai perbuatan tersendiri-sendiri dan yang
masing-masing menjadi kejahatan. Berdasarkan apa yang ditentukan dalam kedua pasal ini,
maka VOS (hal. 312) membuat definisi sebagai berikut: concursus realis terjadi dalam hal
beberapa fakta-fakta, yang harus dipandang sebagai perbuatan tersendiri-sendiri dan yang
masing-masing merupakan peristiwa pidana, dilakukan oleh satu orang dan diantara waktu
terjadinya masing-masing fakta itu tidak diputuskan hukuman terhadap salah satu fakta-fakta
tersebut. Berdasarkan rumusa ayat 1 pasal 65 dan 66, maka dapat disimpulkan bahwa masingmasing tindak pidana-tindak pidana dalam perbarengan perbuatan itu satu sama lain adalah
terpisah dan berdiri sendiri. Inilah cirri pokok dari perbarengan perbuatan.
C. Sistem Pemberian Pidana / Stelsel Pemidanaan
1. Concursus Idealis (pasal 63).
a). Menurut ayat 1 digunakan system absorbsi, yaitu hanya dikenakan satu pidana pokok yang
terberat.
b). Apabila Hakim menghadapi pilihan antara dua pidana poko sejenis yang maksimumnya sama,
maka menurut VOS ditetapkan pidana pokok dengan tambahan yang paling berat.
c). Apabila menghadapi dua pilihan antara dua pidana pokok yang tidak sejenis, maka penetuan
pidana yang terberat didasarkan pada urut-urutan jenis pidana seperti tersebut dalam pasal 10
(lihat pasal 69 ayat (1) jo pasal 10)
d). Dalam pasal 63 ayat (2) diatur ketentuan khusus yang menyimpang dari prinsip umum dalam
ayat (1), dalam hal ini berlaku adagium lex specialis derogate legi generali
2. Perbuatan berlanjut (pasal 64).
a). Menurut pasal 64 ayat (1), pada prinsipnya berlaku system absorbsi yaitu hanya dikenakan
satu aturan pidana, dan jika berbeda-beda dikenakan satu aturan pidana, dan jika berbeda-beda
dikenakan ketentuan yang memuat ancaman pidana pokok yang terberat.

b). Pasal 64 ayat (2) merupakan ketentuan khusus dalam hal pemalsuan dan perusakan mata
uang.
c). Pasal 64 ayat (3) merupakan ketentuan khusus dalam hal kejahatan-kejahatn ringan yang
terdapat dalam pasal 364 (pencurian ringan), 373 (penggelapan ringan), 379 (penipuan ringan)
dan 407 (1) (perusakan barang ringan) yang dilakukan sebagai perbuatan berlanjut.
Apabila nilai kerugian yang timbul dari kejahatan-kejahatn ringan yang dilakukan sebagai
perbuatan berlanjut itu lebih dari Rp. 250,- maka menurut pasal 64 ayat (3) dikenakan aturan
pidana yang berlaku untuk kejahatan biasa. Berarti yang dikenakan adalah pasal 362 (pencurian),
372 (penggelapan), 378 (penipuan) atau 406 (perusakan barang).
3. Concursus Realis (pasal 65 s/d 71).
a) Untuk concursus realis berupa kejahatan yang diancam pidana pokok sejenis, berlaku pasal 65
yaitu hanya dikenakan satu pidana dengan ketentuan bahwa jumlah maksimum pidana tidak
boleh lebih dari maksimum terberat ditambah sepertiga.
b) Untuk concursus realis berupa kejahatan yang diancam pidana pokok tidak sejenis berlaku
pasal 66 yaitu semua jenis ancaman pidana untuk tiap-tiap kejahatan dijatuhkan, tetapi
jumlahnya tidak boleh melebihi maksimum piudana yang terberat ditambah sepertiga, system ini
disebut system Kumulasi yang diperlunak.
c) Untuk Concursus Realis berupa pelanggaran, berlaku pasal 70 yang menggunakan system
kumulasi.
d) Untuk Concursus Realis berupa kejahatan ringan, khusus untuk pasal 302 (1), 352, 364, 373,
379 dan 482 berlaku pasal 70 bis yang menggunakan system kumulasi tetapi dengan pembatan
maksimum untuk penjara 8 bulan.

Anda mungkin juga menyukai