Anda di halaman 1dari 73

RANGKUMAN

HATAH - UTS
Disusun Oleh: Dominique Virgil & Tim (FH UI 2015)

Tim: Nathasha Christina – Alya Nabila – Gamma Alicia – Isella


Safira – Syifa Ulhadira – Gleshya Regita – Rifdah Ufairotul – Keshya
Baby – Kenny Regina – Satria Afif – Farhan Farizky – Johan Sumual
Disusun oleh Dominique Virgil & tim (FH UI 2015)

1. Pengantar HATAH
a. Pluralisme Sistem Hukum di Indonesia
b. Pengertian HATAH Intern dan HATAH Ekstern
c. Ruang Lingkup HATAH
2. Pluralisme Hukum di Indonesia
a. Aneka Golongan Penduduk sebelum kemerdekaan
b. Hukum yang berlaku bagi Golongan Penduduk
c. Golongan Penduduk setelah Proklamasi
3. Titik Pertalian
a. Pengertian
b. Titik Pertalian Primer
c. Titik Pertalian Sekunder
d. Titik Pertalian Lebih Lanjut
4. Status Personal
a. Status Personal Pribadi Kodrati (Prinsip Nasionalitas dan Prinsip
Domisili)
b. Pro-Kontra Prinsip Nasionalitas dan Prinsip Domisili
c. Status Personal Badan Hukum
5. Renvoi
a. Pengertian Renvoi
b. Macam-macam Renvoi
c. Pro-kontra Renvoi
d. Pembahasan cause celebre
6. Kualifikasi
a. Pengertian Kualifikasi
b. Macam-Macam Kualifikasi
c. Pembahasan Cause Celebre
7. Ketertiban Umum dan Penyelundupan Hukum
a. Pengertian Ketertiban Umum
b. Penerapan Ketertiban Umum
c. Pengertian Penyelundupan Hukum
d. Akibat dari Penyelundupan Hukum

2
Disusun oleh Dominique Virgil & tim (FH UI 2015)

PENGANTAR HATAH

Pengertian HATAH Intern dan HATAH Ekstern


HATAH bukan suatu perselisihan atau konflik hukum, tapi sebenarnya tujuan HATAH
adalah untuk memilih salah satu sistem hukum yang bertaut. Jadi, HATAH berkaitan
dengan pilihan antara dua atau lebih hukum yang bertaut satu sama lain.

Peristilahan HATAH:
• Hukum Perselisihan (Bld: Conflictenrecht, Pr: conflits de lois, conflits des
statuts)
• Hukum Collisie (Bld: Collisierecht),
• Hukum Intergentiel, Hukum Antar Golongan (Bld: Intergentielrecht)
• Marginal Law (Ing), Grenzrecht (Jer)
• Hukum Antar Tempat (Bld: Interlocaalrecht), Hukum Antar Adat
• Hukum Antar Waktu (Bld: Intertemporaalrecht)
• Hukum Antar Tata Hukum (Ing: Interlegal Law, Bld: Interrechtsordenrecht,
Tussensrechtsordening)
• Hukum Antar Tata Hukum Intern (Bld: Intern conflictenrecht, Intern
interrechtsordenrecht)
• Hukum Antar Tata Hukum Ekstern, Hukum Perdata Internasional (Ing: Conflict
of Laws, Private International Law, International Private Law)

HATAH Intern, meliputi Hukum Antar Waktu, Hukum Antar Tempat, Hukum Antar
Golongan.
• Pengertian: Keseluruhan peraturan dan keputusan hukum yang menunjukkan
stelsel hukum manakah yang berlaku atau apakah yang merupakan hukum,
jika hubungan-hubungan dan peristiwa-peristiwa antara warga dalam satu
negara, memperlihatkan titik-titik pertalian dengan stelsel-stelsel dan kaidah-
kaidah hukum yang berbeda dalam lingkungan kuasa waktu, tempat, pribadi
dan soal-soal
Sifat “intern” dari HATAH : hubungan dan peristiwa yang terjadi hanya antara
sesama warga negara, tidak ada unsur asing.

3
Disusun oleh Dominique Virgil & tim (FH UI 2015)

Penguraian definisi:
- Terdapat 2 atau lebih stelsel hukum yang bertemu, apakah itu hukum perdata
Barat, atau hukum Islam
- Pertemuan stelsel-stelsel hukum tersebut ditandai dengan adanya titik-titik
pertalian (hal-hal dan keadaan-keadaan yang menyebabkan berlakunya suatu
tata hukum)
- HATAH menentukan stelsel hukum yang berlaku
- HATAH intern tidak memiliki unsur asing
- Stelsel-stelsel hukum yang bertemu memiliki kedudukan yang sama satu
terhadap lainnya, misalnya hukum adat bertemu dengan hukum perdata barat
- Keberlakuan stelsel hukum A, bukan karena stelsel hukum lainnya bersifat
inferior, tetapi karena stelsel hukum A-lah stelsel hukum yang tepat untuk
diberlakukan.
Dalam suatu perkawinan campuran, si perempuan akan mengikuti status
suami. Artinya, kalau misalnya perempuan Eropa menikah dengan laki-laki
yang tunduk pada hukum adat, maka statusnya akan berubah menjadi
pribumi.

Istilah Hukum Antar Tata Hukum diajukan oleh Prof. Sudargo Gautama,

dengan mengikuti istilah:

- “Interlegal Law” dari Alf Ross

- “Interrechtsordenrecht” dari Logemann

- “Tussenrechtsordening” dari Resink

Hukum Antar Waktu: Keseluruhan peraturan dan keputusan hukum yang


menunjukkan hukum manakah yang berlaku atau apakah yang merupakan hukum,
jika hubungan-hubungan dan peristiwa-peristiwa antara warga negara dalam satu
negara dan satu tempat memperlihatkan titik-titik pertalian dengan stelsel-stelsel
dan kaidah-kaidah hukum yang berbeda dalam lingkungan kuasa waktu dan soal-
soal.
Contoh:

4
Disusun oleh Dominique Virgil & tim (FH UI 2015)

Telah terjadi perkawinan antara sepasang muda-mudi keturunan Tionghoa di Jakarta


pada 5 Februari 1975. Pengantin wanita berumur 23 tahun, dan pengantin laki-laki
berumur 28 tahun. Perkawinan tersebut rupanya telah dilakukan tanpa restu kedua
orangtua. Orang tua pengantin wanita tidak setuju, dan mengajukan permohonan ke
Pengadilan Negeri agar perkawinan itu dibatalkan dengan alasan batas umur untuk
menikah tanpa izin orangtua menurut KUHPerdata adalah 30 tahun. Kedua
pengantin berdalih bahwa dengan telah diundangkannya UU No. 1 Tahun 1974 pada
2 Januari 1974 yang menyatakan batas umur menikah tanpa izin orang tua adalah 21
tahun, maka keberatan orang tua tersebut harus ditolak.
Putusan hakim: hakim mengabulkan permohonan orangtua dan membatalkan
perkawinan tersebut dengan alasan: UU No. 1 Tahun 1974 telah diundangkan, namun
UU tersebut belum berlaku. Mengapa? UU No. 1 Tahun 1974 baru berlaku setelah
PP No. 9 Tahun 1975 dikeluarkan, yaitu pada 1 April 1975. Sedangkan, perkawinan
telah berlangsung sebelum keluarnya PP No. 9 Tahun 1975.

Hukum Antar Tempat: keseluruhan peraturan dan keputusan hukum, yang


menunjukkan stelsel hukum manakah yang berlaku atau apakah yang merupakan
hukum, jika hubungan-hubungan dan peristiwa-peristiwa antara warga (-warga)
negara dalam satu negara dan satu waktu tertentu, memperlihatkan titik-titik pertalian
dengan stelsel-stelsel dan kaidah-kaidah hukum yang berbeda dalam lingkungan-
lingkungan kuasa tempat dan soal-soal.
Contoh: perkawinan antara seorang perempuan Minangkabau dengan seorang laki-
laki Jawa; pedagang-pedagang batik di Jogja/Solo yang melakukan jual beli
menggunakan hukum adat setempat karena pada zaman dulu belum berlaku
transaksi modern.

Hukum Antar Golongan: keseluruhan peraturan dan keputusan hukum yang


menunjukkan stelsel hukum manakah yang berlaku atau apakah yang merupakan
hukum, jika hubungan-hubungan dan peristiwa-peristiwa antara warga (-warga)
negara dalam satu negara, satu tempat dan satu waktu tertentu, memperlihatkan
titik-titik pertalian dengan stelsel-stelsel dan kaidah-kaidah hukum yang berbeda
dalam lingkungan-lingkungan kuasa pribadi dan soal-soal.

5
Disusun oleh Dominique Virgil & tim (FH UI 2015)

Contoh:
- perkawinan antara perempuan Bumiputera dengan laki-laki Eropa
- seorang dari golongan Timur Asing Tionghoa menyewa rumah milik seorang
Bumiputera
menggambarkan berlakunya penggolongan penduduk di Indonesia berdasarkan
Pasal 131 jo 163 IS.
HATAH yang sifatnya intern di Indonesia masih relevan untuk dipelajari karena
HATAH Intern mencakup hukum antar agama.

HATAH Ekstern, yaitu Hukum Perdata Internasional.


• Pengertian: keseluruhan peraturan dan keputusan-keputusan yang
menunjukkan stelsel hukum manakah yang berlaku atau apakah yang
merupakan hukum, jika hubungan-hubungan dan peristiwa-peristiwa antara
warga (-warga) negara pada satu waktu tertentu memperlihatkan titik-titik
pertalian dengan stelsel-stelsel dan kaidah-kaidah hukum dari dua atau lebih
negara, yang berbeda dalam lingkungan kuasa tempat, (pribadi), dan soal-
soal.
HATAH Ekstern memiliki unsur asing.
HATAH Ekstern adalah hukum perdata nasional yang memiliki unsur asing, bersifat
internasional, yang nanti akan bergantung pada titik pertalian. Misalnya, ada dua WN
Inggris yang menikah di Indonesia. Maka hukum apa yang berlaku? Hukum yang
berlaku adalah hukum nasional masing-masing.
Perbedaan perdata nasional dan internasional:
- Nasional: sumber hukum nasional
- Internasional: sumbernya dari hukum nasional tapi memiliki unsur asing (misal:
perbedaan kewarganegaraan atau misal perbedaan domisili, atau 2 warga
negara asing yang menikah di Indonesia).
Hukum Internasional Publik vis-à-vis Hukum Perdata Internasional
Hukum Internasional Publik HPI

6
Disusun oleh Dominique Virgil & tim (FH UI 2015)

Pengertian Keseluruhan kaidah dan asas yang Supra.


mengatur hubungan / persoalan
yang melintasi batas negara antara:
- Negara dengan negara
- Negara dengan subyek
hukum bukan negara
- Antar subyek hukum bukan
negara
Sumber Formil:
Hukum 1. Perjanjian Internasional
2. Kebiasaan Internasional
3. Prinsip-prinsip umum yang diakui oleh bangsa-bangsa
beradab
4. Keputusan pengadilan
5. Doktrin
6. Perundang-undangan
Ruang HPI Materiil: hukum pribadi, harta
Lingkup kekayaan, keluarga, waris
HPI Formil: kualifikasi, persoalan
pendahuluan, penyelundupan
hukum, hak-hak yang telah
diperoleh, ketertiban umum,
pilihan hukum, timbal-balik dan
pembalasan, penyesuaian,
pemakaian hukum asing, renvoi,
pelaksanaan putusan hukum
asing.

- Prinsip nasionalitas (dianut oleh negara Eropa continental à Civil Law) dan
domisili (dianut oleh negara common law, misalnya Inggris)
- Renvoi: penunjukkan kembali à WN Inggris ingin menikah di Indonesia.
Indonesia menganut prinsip nasionalitas, maka dalam hal tersebut hukum

7
Disusun oleh Dominique Virgil & tim (FH UI 2015)

yang berlaku adalah hukum nasional WNA tersebut. Namun, Inggris menganut
prinsip domisili (berdasarkan tempat dimana pernikahan dilaksanakan,
makanya berlaku renvoi)
- Pilihan hukum / choice of law: berdasarkan prinsip utama daripada suatu
perjanjian baik nasional maupun internasional.

SKEMA:

W: lingkungan-kuasa-waktu (tijdsgebied)
T: lingkungan-kuasa-tempat (ruimtegebied)
P: lingkungan-kuasa-pribadi (personengebied)
S: lingkungan-kuasa-soal-soal (zakengebied)

Latar Belakang Hukum Antar Tata Hukum di Indonesia


1. Kebhinekaan bangsa Indonesia

8
Disusun oleh Dominique Virgil & tim (FH UI 2015)

a. Cornelis van Vollenhoven dalam adatrecht membagi bangsa Indonesia


ke dalam 19 lingkungan hukum adat
2. Nusantara menjadi daerah tujuan imigrasi bagi banyak bangsa
a. Tionghoa, India, Arab, Eropa
3. Politik hukum penjajah:
a. Pembagian kawula Hindia Belanda ke dalam golongan-golongan rakyat
b. Pemberlakuan Asas Konkordansi
4. Kemerdekaan Indonesia
a. Penghapusan penggolongan pendudukan berdasarkan rasialisme
b. Cita-cita pembentukan Sistem Hukum Nasional

Sumber-Sumber Utama Hukum Perdata Internasional Indonesia:


• Algeemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesie (AB) (Stb 1847 No. 23)
o Pasal 16: Statuta Personal
“Ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang mengenai status dan
wewenang seseorang tetap berlaku bagi kawula negara Belanda,
apabila ia berada di luar negeri. Akan tetapi apabila ia menetap di Negeri
Belanda atau di salah satu daerah koloni Belanda, selama ia
mempunyai tempat tinggal di situ berlakulah mengenai bagian tersebut
dan hukum perdata yang berlaku di sana.”
Mengenai status dan kewenangan WNI terutama dalam bidang hukum
keluarga. Di mana pun ia berada, akan berlaku hukum nasional.
Pasal ini menetapkan prinsip nasionalitas yang digunakan di
Indonesia. Prinsip nasionalitas berarti hukum yang mengatur status
pribadi untuk pribadi kodrati adalah hukum negara tempat dirinya
menjadi warga negara.
o Pasal 17: Statuta Realis (Lex rei sitae)
“Terhadap barang-barang yang tidak-bergerak berlakulah undang-
undang dari negeri atau tempat di mana barang-barang itu berada.”
o Pasal 18: Statuta Mixta (locus regit actum)

9
Disusun oleh Dominique Virgil & tim (FH UI 2015)

§ Bentuk tiap tindakan hukum akan diputus oleh pengadilan


menurut perundang-undangan dari negeri atau tempat, di mana
tindakan hukum itu dilakukan
§ Untuk menerapkan pasal ini dan pasal di muka, harus
diperhatikan perbedaan yang diadakan oleh perundang-
undangan antara orang-orang Eropa dan orang-orang Indonesia.
• Perjanjian-perjanjian internasional: NY Convention, Washington Convention,
dst
• Doktrin à Pendapat ahli terkemuka. Pada umunya, baru menjadi doktrin jika
pendapat sarjana hukum terkemuka itu masuk ke dalam putusan hakim.
• RUU Hukum Perdata Internasional Indonesia

Dasar Keberlakuan AB menurut hukum Positif Indonesia:


- Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945
Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama
belum diadakan yang baru menurut UUD ini.
- Pasal I Aturan Peralihan UUD 1945 (Perubahan keempat):
Segala peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku selama
belum diadakan yang baru menurut UUD ini.

Beberapa Konsepsi Hukum Perdata Internasional


- Konsepsi sempit: hanya mengenai persoalan “Hukum manakah yang berlaku
/ choice of law”
- Konsepsi yang agak luas: meliputi persoalan choice of law dan choice of
jurisdiction / pengadilan mana yang berwenang. Choice of jurisdiction >
Choice of Law. Dianut oleh Inggris.
- Konsepsi yang lebih luas: meliputi persoalan choice of law, choice of
jurisdiction, dan status orang asing
- Konsepsi yang terluas: meliputi persoalan choice of law, choice of jurisdiction,
status orang asing, dan masalah-masalah kewarganegaraan.

PLURALISME HUKUM DI INDONESIA

10
Disusun oleh Dominique Virgil & tim (FH UI 2015)

Kronologis Singkat Perkembangan Hukum di Indonesia


• 1596: armada kapal dagang Belanda sampai di Jawa dengan tujuan mencari
rempah-rempah dan kegiatan perdagangan.
• 1602: Verenigde Oost-Indische Campagnie (VOC) berdiri. Hal ini menjadi
akibat dari tujuan belanda untuk berdagang, dan VOC adalah perusahaan
dagang.
• 1800: 1 Januari, VOC bubar
• 1854: Peraturan tentang Kebijaksanaan Pemerintahan di Hindia Belanda
memberikan hak kepada gubernur Jenderal untuk memberlakukan hukum
perdata Eropa kepada golongan non-Eropa
o Pasal 109 RR:
§ (i) Golongan Eropa, dan yang dipersamakan dengan mereka
(Indonesia Kristen), dan
§ (ii) Golongan Bumiputera, dan yang dipersamakan dengan
mereka (Tionghoa, Arab, Jepang).
• 1855: untuk kepastian hukum bagi Belanda, sebagian BW dan KUHD berlaku
dalam perdagangan Belanda-Tionghoa.
• 1870: Agrarische Wet, S. 1870-55
• 1893: Ordonansi Perkawinan Campuran, S. 1898-158.
• 1899: Orang Jepang masuk ke dalam Golongan Eropa karena dianggap
kompetensi hampir sama dengan orang-orang Eropa.
• 1906: Peraturan Perundang-undangan baru untuk penggolongan penduduk
(untuk berlaku 1 Januari 1920)
• 1917: Pembedaan Golongan Timur Asing Tionghoa dan Golongan Timur Asing
Non-Tionghoa, S. 1917-129
• 1919: BW dan KUHD berlaku bagi Golongan Timur Asing Tionghoa.
• 1920: 1 Januari, berlaku penggolongan baru bagi penduduk:
o (i) Golongan Eropa (Europeanen);
o (ii) Golongan Bumiputer (Inlanders); dan
o (iii) Golongan Timur Asing (Vreemde Oosterlingen)
§ Tionghoa

11
Disusun oleh Dominique Virgil & tim (FH UI 2015)

§ Non-Tionghoa
• 1924: Sebagian hukum perdata Eropa berlaku bagi Golongan Timur Asing
Non-Tionghoa, S. 1924-556.
• 1942: Jepang masuk, dan menyederhanakan sistem peradilan.
• 1945: Indonesia Merdeka.

SEJARAH PENGGOLONGAN HUKUM DI INDONESIA


1. Sebelum Masa Pendudukan Belanda
Sebelum Belanda datang, di Indonesia sudah ada tata hukum (rechtsorde)
sendiri à orang Belanda tidak mengganti tata hukum tersebut, namun juga
tidak tunduk pada tata hukum itu à orang Belanda dan orang bumiputera
tunduk pada tata hukum masing-masing à dualisme tata hukum.
2. Masa Pendudukan Belanda
Hukum yang berlaku bagi orang Belanda di pusat-pusat dagang VOC yang
pertama: hukum yang dijalankan di atas kapal VOC à ada 2 bagian:
a. Hukum Belanda yang kuno (oud-Nederland recht) + asas-asas hukum
Romawi
b. Hukum disiplin (tuchtrecht)
Lama-lama hukum kapal tersebut tidak bisa menyelesaikan semua perkara di
pusat-pusat dagang VOC à 1609: Staten-General di Belanda memberi
kekuasaan untuk membuat peraturan sendiri kepada Gubernur Jendral VOC
di Banten dan Dewan Hindia à maka dibuatlah peraturan di daerah yang
dikuasai VOC. Selain itu, peraturan yang ditetapkan direksi di Belanda yang
disebut Heeren Zeventien (Tujuhbelas Penguasa) juga berlaku. à Peraturan
tersebut diumumkan dalam plakat, namun karena tidak dikumpulkan oleh
VOC, maka tahun 1635 tidak diketahui mana plakat yang masih berlaku dan
mana yang sudah dicabut à Gubernur Jendral van Diemen memerintahkan
Joan Maetsyucker untuk mengumpulkan plakat tersebut dalam himpunan
plakat à 1642: Statuten van Batavia (Statuta Betawi), disahkan oleh Heeren
Zeventien pada 1650 di Negeri Belanda.
Hukum yang berlaku di daerah yang dikuasai VOC:
• Hukum Statuta (yang termasuk Statuta Betawi)

12
Disusun oleh Dominique Virgil & tim (FH UI 2015)

• Hukum Belanda yang kuno


• Asas-asas Hukum Romawi
Hukum yang berlaku untuk orang Indonesia asli adalah hukum adat. Namun,
di daerah sekitar Betawi (Bataviase Ommelanden), orang Indonesia asli dan
timur lain juga ditundukkan pada hukum statuta, hukum Belanda kuno, dan
asas-asas hukum Romawi.
Tahun 1766, dibuat kembali Nieuw Statuten Van Batavia (Statuta Betawi
Baru) à tidak disahkan oleh Heeren Zeventien, namun tetap dijalankan dalam
praktek.
Mr. Hasselaer juga membuat kitab hukum yang memuat hukum adat di daerah
yang dikuasai VOC à di daerah Cerbon, disebut Pepakem Cerbon.
1760: VOC membuat himpunan peraturan hukum Islam mengenai warisan,
nikah dan talak à disebut Compendium Freijer.
Di luar Bataviase Ommelanden, berlaku hukum adat.
1750: dibuat Compendium yang dikenal dengan Kitab Hukum Mogharraer
>> bermaksud memuat hukum pidana Jawa, namun ternyata memuat hukum
pidana Islam. Di daerah Makassar juga disahkan Compendium serupa.
1761: Compendium Haksteen = kitab hukum adat Cina.
1811 – 1814: Belanda dijajah oleh Perancis, di bawah Kekaisaran Napoleon
Bonaparte à Belanda melakukan kodifikasi hukum perdata (Burgerlijk
Wetboek) sebagai pengaruh kodifikasi hukum perdata Perancis à Belanda
membentuk komisi Undang-Undang yang menghasilkan produk hukum di
Indonesia, yaitu:
a. Peraturan Organisasi Pengadilan (Reglement of de Rechterlijk
Organisatie / RO)
b. Ketentuan Umum tentang Perundang-undangan (Algemene Bepalingen
van Wergeving / AB)
c. KUHPerdata (BW)
Pasal 11 AB: bagi orang Indonesia asli dan Timur Asing, berlaku hukum adat
mereka (disebut godsdienstige wetten, volksinstellingen en gebruiken yaitu UU
Agama, lembaga kebudayaan rakyat dan kebiasaan) asal hukum adat tersebut
tidak bertentangan dengan asas-asas keadilan yang diterima hukum.

13
Disusun oleh Dominique Virgil & tim (FH UI 2015)

Pengecualian:
• Secara sukarela mentaati peraturan hukum perdata dan hukum dagang
yang berlaku bagi golongan hukum Eropa
• Karena keperluan hukum mereka memerlukannya, tunduk pada hukum
perdata dan hukum dagang bagi golongan hukum Eropa
• Karena keperluan hukum mereka memerlukannya, tunduk pada hukum
lain
Pasal 11 AB juga menyatakan bahwa hakim harus menggunakan hukum
perdata Eropa (BW) bagi golongan penduduk Eropa dan hukum perdata adat
bagi golongan lain.
1839: dibentuk panitia yang bertugas menyesuaikan Undang-Undang yang
berlaku di Negeri Belanda dengan keadaan istimewa di Indonesia, diketuai
oleh Mr. C. J. Scholten van Oud Haarlem. Kemudian oleh Wichers dibuat
Overgangsbepalingen (Peraturan Peralihan) à kodifikasi hukum privat Eropa
menjadi berlaku pada tahun 1848. à Pasal I Overgangsbepalingen
menerangkan bahwa setelah kodifikasi hukum Eropa berlaku, maka hukum
Belanda yang kuno, hukum Romawi dan semua statuta secara otomatis
diganti oleh peraturan baru tersebut; namun hal itu tidak berlaku bagi hukum
pidana. (hukum pidana VOC masih berlaku)

Tahun 1848: pembedaan golongan rakyat ditetapkan dalam Pasal 6-10 dari
“Algemene Bepalingen van Wetgeving”, yaitu:
a. Orang Eropa
b. Bumiputera
Tidak ada penjelasan siapa orang Eropa dan siapa Bumiputera. Untuk orang
bukan Eropa dan bukan bumiputera, ukuran yang dipakai: agama à yang tidak
beragama Kristen dipersamakan dengan Bumiputera.
Gubernur Jenderal menentukan dalam Pasal 3 “Bepalingen Omtrent de
Invoering van en de overgang tot de nieuwe wetgeving” (S. 1848 No 10) : orang
Indonesia Kristen tetap dianggap sebagai Bumiputera dan tidak dimasukkan
dalam golongan “yang dipersamakan dengan orang Eropa”.

14
Disusun oleh Dominique Virgil & tim (FH UI 2015)

1854: Regelings-Reglement terbentuk à ketentuan sebelumnya diganti


menjadi Pasal 109 RR à pembedaan pokok: Orang Eropa dengan
Bumiputera, namun agama bukan lagi satu-satunya ukuran. Jika
sebelumnya perbedaan golongan dipergunakan kriteria ‘agama’, maka dalam
peraturan yang baru dipergunakan status penjajah sebagai golongan Eropa,
sementara golongan terjajah sebagai golongan Bumiputera.
Pasal 75 RR: mengatur tentang hukum yang berlaku di Hindia-Belanda.

1866: Dibuat kodifikasi hukum pidana bagi golongan hukum Eropa à dengan
Staatsblaad 1866:55 diundangkan KUHP bagi golongan Eropa yang
merupakan terjemahan Code Penal Belanda, yang juga merupakan saduran
Code Penal Perancis.

1872: Dibuat kodifikasi hukum pidana bagi golongan hukum Indonesia asli dan
golongan hukum Timur asing
• Bagi golongan hukum Eropa, sampai tanggal 1 Januari 1867 masih berlaku
hukum pidana VOC, hukum pidana Belanda, dan asas-asas hukum pidana
Romawi.
• Bagi golongan hukum bukan-Eropa, sampai tanggal 1 Januari 1873, masih
berlaku hukum pidana menurut adat

Atas ketentuan UU tahun 1899 S. 202: orang Jepang dimasukkan ke dalam


golongan yang dipersamakan dengan orang Eropa à karena adanya
perjanjian dagang dan pelayaran antara Belanda dan Jepang tahun 1896.

1915: Kodifikasi baru hukum pidana Hindia Belanda à Wetboek van Strafrecht
à mewujudkan unifikasi, yaitu satu hukum pidana bagi semua golongan
rakyat dan golongan hukum dalam wilayah Hindia-Belanda dulu. Berlaku sejak
1918.

1920: Terdapat perubahan dalam RR, yakni membagi penduduk menjadi tiga
golongan, yaitu Eropa, Pribumi dan Timur Asing (Pasal 109 RR)

15
Disusun oleh Dominique Virgil & tim (FH UI 2015)

Tahun 1918, Pemerintah Belanda membentuk Volksraad (Dewan Perwakilan


Rakyat) à diberi kewenangan untuk ikut serta dalam pembentukan UU à RR
diubah menjadi IS.

Tanggal 1 Januari 1926: RR diganti oleh Indische Staatsregeling (IS).

3 golongan rakyat dalam Pasal 163 IS:


1) Orang Eropa, terdiri dari:
a. Semua orang Belanda
b. Bukan orang Belanda, namun berasal dari Eropa
c. Semua orang Jepang
d. Semua orang yang bukan dari Belanda maupun Eropa, namun tunduk
pada hukum kekeluargaan yang asasnya sama dengan hukum
Belanda
e. Anak sah atau yang diakui menurut Undang-Undang dan keturunan
selanjutnya dari orang yang dimaksudkan dalam b,c, dan d, yang lahir
di Hindia Belanda
2) Bumiputera:
a. Orang asli Hindia-Belanda
b. Golongan lain yang meleburkan diri dengan penduduk asli Hindia-
Belanda
3) Orang Timur Asing à semua orang yang bukan Eropa maupun Bumiputera

16
Disusun oleh Dominique Virgil & tim (FH UI 2015)

PASAL 163 IS menyebut:


1. Yang tunduk pada peraturan golongan hukum adat:
a. Orang bumiputera (Indonesia asli), terkecuali mereka yang telah masuk suatu
golongan hukum lain
b. Mereka yang dahulu golongan hukum lain tetapi sejak lama dianggap atau
diterima sebagai orang bumiputera
Hukum adat tidak berlaku bagi seorang Indonesia asli yang beragama Kristen dalam
hal ordonansi telah menentukan hukum lain
2. Yang tunduk pada peraturan golongan hukum Eropa (Barat):
a. Orang Belanda
b. Orang lain yang berasal dari Eropa (misalnya: seorang Jerman, seorang Inggris)
c. Orang Jepang
d. orang lain yang tidak termasuk sub a atau sub b tetapi juga tunduk pada suatu
hukum keluarga yang asas-asasnya dalam garis besar seperti asas-asas hukum
keluarga dalam KUHPerdata (misalnya: seorang Amerika, seorang Australia)
e. Mereka yang lahir sebagai anak sah atau diakui sah sebagai anak dari mereka
yang disebut pada sub-sub 2a, 2b dan 2c, dan keturunan mereka.
3. Yang tunduk pada peraturan golongan hukum adat timur asing: orang Asia lain
(misalnya: orang Cina, Arab, India, Pakistan).
Hukum adat timur asing tidak berlaku bagi seorang Timur Asing yang beragama
Kristen dalam hal ordonansi telah menentukan hukum lain.

Semenjak tanggal 1 Januari 1920, tidak ada lagi 4 golongan (orang Eropa,
orang yang dipersamakan dengan orang Eropa, bumiputera dan orang yang
dipersamakan dengan bumiputera), melainkan hanya 3.
Menurut Pasal 3 ayat 2 dari UU tanggal 31 Desember 1906 S 1907 No. 205:
semua orang, yang bertempat tinggal tetap di Indonesia dan sebelum 1
Januari 1920 termasuk golongan yang dipersamakan dengan Eropa à
sesudah tanggal itu tetap tunduk kepada ketentuan untuk orang Eropa,
selama mereka tidak mencampurkan diri dengan rakyat Indonesia asli à
terjadi diskriminasi.

17
Disusun oleh Dominique Virgil & tim (FH UI 2015)

Pasal 131 IS: membedakan berlakunya hukum bagi masing-masing golongan


penduduk. Memuat ketentuan sebagai berikut1:
1) Hukum perdata, hukum dagang, hukum pidana, hukum acara perdata,
hukum acara pidana, harus diletakkan dalam kitab Undang-Undang atau
dikodifisir (ayat 1)
2) Terhadap golongan Eropa, harus diperlakukan perundang-undangan yang
ada di negeri Belanda dalam bidang Hukum Perdata dan Hukum Dagang
(ayat 2 sub a) à memuat asas konkordansi
Asas Konkordansi untuk memberlakukan Hukum di Belanda bagi
Golongan Rakyat Eropa.
Perkecualian untuk Asas Konkordansi:
o Hukum Khusus yang menyesuaikan keperluan hukum golongan Eropa
dengan keadaan khusus di Indonesia
o Hukum yang berlaku bagi beberapa golongan rakyat secara bersama-
sama (gemmenschappelijk recht)
3) Bagi orang Indonesia asli dan Timur Asing, ketentuan Undang-Undang
Eropa dalam bidang hukum perdata dan hukum dagang dapat
diperlakukan apabila kebutuhan mereka menghendakinya (ayat 2 sub b)
4) Orang Indonesia asli dan Timur asing diperbolehkan menundukkan dirinya
kepada hukum yang berlaku bagi orang Eropa, baik sebagian maupun
seluruhnya (ayat 4)
5) Hukum adat yang masih berlaku bagi orang Indonesia asli dan Timur Asing
tetap berlaku sepanjang belum ditulis dalam Undang-Undang (ayat 6)

Hukum Perdata yang berlaku bagi golongan-golongan warga negara di


Indonesia
1) Golongan bangsa Indonesia asli (Bumiputera)
Berlaku hukum adat, yang sudah berlaku sejak dulu di kalangan masyarakat.
Sudah ada beberapa peraturan perundang-undangan Eropa yang dinyatakan
berlaku untuk bangsa Indonesia, seperti2:


1
C.S.T. Kansil, “Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia”, hlm. 126
2
Ibid.

18
Disusun oleh Dominique Virgil & tim (FH UI 2015)

a. Pasal 1601 – 1603 Burgerlijk Wetboekà perihal perjanjian kerja atau


perburuhan (Stbl. 1879 no. 256)
b. Pasal 1788 – 1791 BW à perihal hutang-hutang dari perjudian
c. Beberapa bagian dari Wetboek van Koophandel, misalnya sebagian
besar dari hukum laut
Di samping itu, ada pula peraturan perundang-undangan yang secara khusus
dibuat oleh Pemerintah Belanda bagi golongan Bumiputera, yaitu:
a. Ordonansi perkawinan bangsa Indonesia kristen (Stbl 1933 no. 74)
b. Ordonansi tentang Maskapai Andie Indonesia atau IMA (Stb 1939 No.
509 jo. 717)
c. Ordonansi tentang Perkumpulan Bangsa Indonesia (Stb 1939 No. 570
jo 717)
Perihal kemungkinan orang Indonesia untuk menundukkan diri kepada
Hukum Perdata Eropa telah diatur lebih lanjut dalam Staatsblaad 1917 No.
12. Ada 4, yaitu:
a. Penundukan pada seluruh Hukum Perdata Barat
b. Penundukan pada sebagian Hukum Perdata Barat yaitu hukum
kekayaan, yang telah dinyatakan pula berlaku bagi golongan Timur
Asing bukan Tionghoa
c. Penundukan pada Hukum Perdata Barat mengenai suatu tindakan
hukum tertentu
d. Penundukan secara diam-diam atau dianggap tunduk pada Hukum
Perdata Barat karena menjalankan tindakan hukum tertentu
2) Golongan Eropa
Berlaku KUHPerdata dan KUHD yang diselaraskan dengan Burgerlijk Wetboek
dan Wetboek van Koophandel yang berlaku di Belanda
3) Golongan Timur Asing
Mula-mula, dalam Staatsblaad 1855 No. 79, hukum perdata Eropa (Burgerlijk
Wetboek dan Wetboek van Koophandel) dinyatakan berlaku untuk semua
orang Timur Asing, dengan kekecualian hukum kekeluargaan dan warisan.
1917: diadakan pembedaan antara golongan Timur Asing Tionghoa dan Timur
Asing bukan Tionghoa.

19
Disusun oleh Dominique Virgil & tim (FH UI 2015)

• Untuk golongan Tionghoa: Staatsblaad 1917 No. 129 = peraturan yang


berlaku adalah seluruh hukum perdata Eropa dengan kekecualian: pasal-
pasal yang mengenai Burgerlijke Stand, upacara-upacara sebelum
pernikahan, dan pengangkatan anak.
• Untuk golongan Timur Asing lainnya: Staatsblaad 1924 No. 556 = berlaku
hukum perdata Eropa dengan kekecualian hukum kekeluargaan dan
hukum warisan (sehingga mereka tunduk pada hukum adat mereka sendiri)

Secara singkat, tentang pembagian hukum yang berlaku berdasarkan golongan


penduduk:
Golongan/ EROPA PRIBUMI TIMUR ASING
HUKUMNYA TIONGHOA NON
TIONGHOA
Perdata Hukum Perdata Hukum Adat Hukum Perdata Hukum
Materiel Eropa (BW dan Eropa (BW dan Adatnya
WvK) Wvk)
Pidana WVS WvS Wvs Wvs
Materiel
Perdata Formil Reglement op de HIR untuk Tidak ada Tidak diatur
Burgerlijke Jawa dan pengaturan
Rechtsvondering Madura

RBg untuk luar


jawa dan
madura
Pidana Formil Reglement op de HIR dan RBg Tidk ada Tidak diatur
Strafvordering pengaturan

Masa Penjajahan Jepang


Setelah pendudukan Jepang di Indonesia, penggolongan masyarakat juga serupa
dengan sebelumnya yaitu pada saat kolonial Belanda. Untuk mengisi kekosongan
hukum, UU No.1 tahun 1942 pasal 3 menyatakan bahwa semua peraturan
perundangan Hindia Belanda berlaku kembali, selama tidak bertentangan dengan

20
Disusun oleh Dominique Virgil & tim (FH UI 2015)

kekuasaan militer Jepang. Hukum yang berlaku saat itu adalah Indische Staatregeling
(IS). Dengan demikian Pasal 131 IS sebagai politik hukum dan menegani
penggolongan penduduk menurut Pasal 163 IS masih berlaku. Untuk golongan
Eropa, golongan Timur Asing Cina, golongan Bumiputera, Timur Asing bukan Cina
yang tunduk secara sukarela kepada hukum perdata Eropa tetap berlaku baginya BW
dan WvK serta aturan yang tidak dikodifikasikan. Sementara bagi golongan
Bumiputera dan golongan Timur Asing bukan Cina yang tidak tunduk secara sukarela
kepada hukum perdata Eropa tetap berlaku aturan-aturan hukum perdata adatnya.
Untuk melaksanakan tata pemerintahan di Indonesia, pemerintahan Jepang
menggunakan undang-undangnya yang disebut “Gunseirei” melalui “Osamu Seirei”.
Osamu Seirei mengatur segala hal yang diperlukan untuk melaksanakan
pemerintahaan melalui peraturan pelaksana “Osamu Kanrei”. “Tomi Kenrei” adalah
sebagai undang-undang darurat atau seperti Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang.

Setelah Kemerdekaan
1946: di wilayah Republik Indonesia Proklamasi à WvS tahun 1915 disesuaikan
sebanyak mungkin dengan keadaan yang seharusnya à mencabut beberapa
ketentuan yang bersifat kolonial. Berlaku 2 kitab undang-undang hukum pidana:
• Di wilayah RI Proklamasi (di pulau Jawa, Madura, Sumatera) yang
merupakan bekas negara RIS dan wilayah bekas Daerah-Pulihan à
berlaku KUHPidana tahun 1946
• Di wilayah RI Proklamasi yang bukan merupakan bekas negara RIS dan
wilayah bekas Daerah-Pulihan à berlaku WvS tahun 1915.
Keberadaan rakyat yang menjadi penduduk, sekaligus WNI secara konstitusional
tercantum di dalam pasal 26 UUD 1945. Penduduk Negara Indonesia dapat
dibedakan menjadi 2 golongan, yaitu golongan warga negara Indonesia (WNI) dan
golongan warga negara asing (WNA). Semua orang baik yang memang berasal dari
Negara Indonesia asli dan orang bangsa asing yang telah disahkan dengan UU
secara sah dikatakan sebagai warga negara Republik Indonesia

21
Disusun oleh Dominique Virgil & tim (FH UI 2015)

Pasal 26 (1) UUD 1945: “Yang menjadi warga negara adalah orang-orang bangsa
Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan UU sebagai warga
negara”
UU No. 3 Tahun 1946 tentang Warga Negara dan Penduduk Negara, ditetapkan di
Yogyakarta pada tanggal 10 April 1946.
UU No. 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan RI.
Instruksi Presidium Kabinet Ampera tanggal 27 Desember 1966 no. 31/1966
menginstruksikan, sambil menunggu dikeluarkannya Undang-Undang Catatan Sipil
yang bersifat Nasional, untuk tidak menggunakan penggolongan-penggolongan
penduduk Indonesia berdasarkan pasal 131 dan 163 Indische Staatsregeling
pada kantor-kantor Catatan Sipil di seluruh Indonesia dan menyatakan kantor-
kantor tersebut terbuka bagi seluruh penduduk Indonesia, sedangkan hanya
dibedakan antara Warga Negara Indonesia (WNI) dan orang asing atau Warga Negara
Asing (WNA).
UU 23/2006 jo. UU No. 24/2013 tentang Administrasi Kependudukan
UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI

Masalah Kewarganegaraan Keturunan Tionghoa


• 1929: Pemerintah RRC tiba-tiba bilang semua orang yang dilahirkan dari
orangtua Tionghoa dimanapun mereka berada dan berapa lama pun
mereka sudah di luar negeri, tetap menjadi warga negara Cina.
• UU No. 3 Tahun 1946 tentang Warga Negara dan Penduduk Negara
• 22 April 1955 ditandatangani di Bandung, Perjanjian RI – RRC mengenai
Dwi Kewarganegaraan antar Menteri Luar Negeri yang kemudian dikenal
dengan Perjanjian Soepomo Chou
• 3 Juni 1955 di Peking dilakukan pertukaran nota antara PM Ali
Sastraatmadja dengan PM Chou En Lai mengenai soal
dwikewarganegaraan RI-RRC. Untuk implementasi pertukaran nota ini,
dilakukan perjanjian pelaksanaan tanggal 15 Desember 1961.

Keberlakuan BW bagi Golongan Penduduk


- Buku I, Bab Kesatu: Tentang menikmati dan kehilangan hak-hak perdata

22
Disusun oleh Dominique Virgil & tim (FH UI 2015)

o “Berlaku bagi Golongan Timur Asing, lain daripada Tionghoa, dan bagi
Golongan Tionghoa.”
- Buku I, Bab Kedua: Tentang akta-akta catatan sipil
o “Tak berlaku bagi Golongan Timur Asing, lain daripada Tionghoa, dan
Golongan Tionghoa.”
- Buku I, Bab Keempat, Bagian Keempat: Tentang melangsungkan perkawinan
o “Tidak berlaku bagi Golongan Timur Asing lain drpd Tionghoa, dan berlaku
bagi Golongan Tionghoa, kecuali pasal 71 No. 6, 74, dan 75.”

TITIK-TITIK PERTALIAN

Titik pertalian: connecting factor; titik taut; points of contact; aanknopingspunten.


Titik pertalian memberi petunjuk bahwa kita berhadapan dengan masalah HATAH
(Titik Pertalian Primer), dan memberikan pemecahan terhadap persoalan HATAH
yang dihadapi, yaitu dengan menentukan hukum mana yang akan berlaku apabila
terdapat dua atau lebih stelsel hukum yang bertaut (Titik Pertalian Sekunder).
Berarti, titik-titik pertalian adalah hal-hal dan keadaan yang menyebabkan berlakunya
suatu stelsel hukum.
Macam-macam Titik Pertalian:
INTERN EKSTERN / HPI
Titik Pertalian Titik Pertalian Titik Pertalian Titik Pertalian
Primer Sekunder Primer Sekunder
1. Para Pihak 1. Pilihan Hukum 1. Kewarganegaraan 1. Kewarganegaraan
atau subyek antar golongan 2. Domisili 2. Domisili
hukum 2. Maksud dari para 3. Tempat Kediaman 3. Tempat Kediaman
2. Tanah pihak 4. Bendera Kapal 4. Bendera Kapal
3. Pilihan a. Bentuk dan isi 5. Tanda 5. Tanda Kebangsaan
Hukum dari perjanjian Kebangsaan Pesawat Udara
(rechtskeuze) b. Sifat daripada Pesawat Udara 6. Tempat Kedudukan
dalam hubungan 6. Tempat (Legal Seat) berlaku
hukum Kedudukan (Legal untuk badan hukum

23
Disusun oleh Dominique Virgil & tim (FH UI 2015)

hubungan 3. Milieu/Lingkungan Seat) berlaku untuk 7. Tempat letaknya


intern a. Kebutuhan badan hukum benda (Lex Rei Sitae)
4. Hakim dari 7. Pilihan Hukum 8. Maksud para pihak
sebagai titik perhubungan dalam Hubungan 9. Locus contractus /
pertalian 4. Kedudukan Intern Lex loci actus
mengenai masyarakat yang 10. Locus solutionis
hukum acara jauh melebihi dari 11. Proper law of the
salah satu pihak contract
5. Masuk dalam 12. Locus delicti (tempat
suasana hukum terjadinya PMH)
pihak yang lain 13. The Most
6. Tanah pada Characteristic
perjanjian- Connection
perjanjian 14. Tempat Diajukannya
obligatoir Proses Perkara

Titik Pertalian Primer: alat-alat pertama bagi pelaksana hukum untuk mengetahui
apakah suatu perselisihan hukum merupakan soal HATAH. Disebut juga titik taut
pembeda (yang diajukan oleh Nyonya Mr. Sukahar-gadis Rohana Badwi).
Titik Pertalian Sekunder: hal-hal atau keadaan-keadaan yang menentukan stelsel
hukum mana yang akan berlaku atau dipilih apabila terdapat dua atau lebih stelsel
hukum yang bertaut atau bertemu. Tidak mungkin ada TPS apabila tidak ada TPP,
karena orang tidak perlu mencari tahu hukum apa yang berlaku apabila tidak ada
suatu persoalan hukum antar-golongan. Disebut juga titik taut penentu.

PENJELASAN:
TITIK PERTALIAN PRIMER HATAH INTERN
1. Para pihak / subyek hukum
Adanya hubungan hukum yang terjadi antara orang-orang dari golongan
berlainan yang tunduk pada hukum perdata yang berlainan pula, membuat
timbulnya masalah hukum antargolongan. Merupakan tanda pertama bagi
pelaksana hukum akan adanya persoalan hukum antargolongan.

24
Disusun oleh Dominique Virgil & tim (FH UI 2015)

Contoh: orang Eropa menikah dengan orang Indonesia; orang Eropa


melakukan jual beli dengan orang Indonesia, dsb.

2. Tanah
Hukum atas tanah terlepas dari hukum orang yang memegangnya.
(Intergentiele grondenregel)
Sebelum UU Pokok Agraria, tidak semua tanah berada di bawah satu macam
sistem hukum, tetapi bermacam-macam sistem hukum. Tanah memiliki status
tersendiri yang terlepas daripada status hukum orang yang mempunyai
hubungan dengan tanah itu.
Atas tanah Indonesia hanya dapat diletakkan hak-hak Indonesia, atas tanah
Eropa (yaitu tanah yang terdaftar menurut Ordonansi Balik Nama S.1834/27)
maka hanya dapat diletakkan hak-hak Barat. Bagi tanah-tanah Barat, ada
sistem Kadaster di kota-kota besar, di mana tanah-tanah didaftarkan di
Kadaster, maka tanah tersebut termasuk lingkungan hukum Barat, maka
hukum perdata (BW) dan WvK yang berlaku. Titel-titel pembuktian atas tanah
ini adalah akte eigendom, akte erfpacht, akte postal, dan sebagainya, yang
dikeluarkan oleh Kadaster.
Apabila para pihak tergolong golongan rakyat yang sama, hubungan
antargolongan pun timbul dikarenakan tanah yang hak-hak atasnya pun
berbeda.
Contoh: dua orang Indonesia memiliki hubungan mengenai sebidang tanah
eigendom, atau seorang Tionghoa memegang sebidang tanah Indonesia.
Dulu Bumiputera boleh memiliki hak Eropa, tapi hukum daripada tanah
tersebut tidak mengikuti bumiputeraà tanah tetap tunduk pada hukum Eropa.
Sehingga dulu ada namanya hukum tanah antar golongan, karena
permasalahan perbedaan ketundukan hukum antara tanah dengan orang yang
mempunyai tanah tersebut.

25
Disusun oleh Dominique Virgil & tim (FH UI 2015)

3. Pilihan Hukum dalam Hubungan Intern (Rechtskeuze)


Dua atau lebih subyek hukum yang berasal dari golongan yang sama
melakukan hubungan hukum yang terhadapnya berlaku hukum bagi golongan
rakyat lainnya.
Walaupun para pihak tunduk pada golongan yang sama, para pihak dapat
memilih hukum yang berbeda dalam melakukan suatu hubungan hukum.
Para pihak dalam suatu kontrak bebas untuk melakukan pilihan, mereka dapat
memilih sendiri hukum yang harus dipakai untuk kontrak mereka.
a. Formele rechtskeuze: diatur oleh peraturan tertulis.
Dua orang Indonesia melakukan transaksi jual-beli, tetapi salah satu
pihaknya telah tunduk pada hukum perdata Eropa (salah satu pihak
tersebut telah memilih / melakukan pemilihan hukum perdata Eropa
yang bersifat tertulis)
Contoh: A dan B tunduk pada hukum adat, tapi karena mereka ingin
mendirikan firma, maka mereka tunduk pada KUHD.
b. Informele rechtskeuze: tidak diatur oleh peraturan tertulis.
Dua orang Tionghoa mengadakan suatu kontrak kempitan.

4. Hakim Sebagai Titik Pertalian mengenai Hukum Acara


Hakim Eropa à Raden van Justitie, Reglement op de Rechtsvordering (Rv)
Hakim untuk golongan rakyat pribumi à Landraden, Herziene Indonesisch
Reglement (HIR).
Dulu penentuan penggunaan RV atau HIR tergantung pada status tergugat,
sehingga hakim dahulu merupakan suatu titik pertautan untuk salah satu
hukum acara perdata.
Pluralisme di lapangan hukum acara dihapuskan oleh UU Dar. No. 1 / 1951
Dalam permasalahan perdata, apakah hakim dapat menimbukan
permasalahan HATAH intern? BISA, dalam hal terdapat pengadilan agama.

TITIK PERTALIAN SEKUNDER HATAH INTERN


1. Pilihan Hukum

26
Disusun oleh Dominique Virgil & tim (FH UI 2015)

Merupakan pilihan hukum antargolongan (intergentiele rechtskeuze), ada 2


atau lebih subyek hukum yang berasal dari golongan rakyat yang berbeda,
melakukan hubungan hukum yang terhadapnya berlaku hukum dari salah satu
golongan rakyat.
Pilihan dari para pihak akan hukum yang berlaku dihormati oleh pembuat UU,
dihormati oleh yurisdprudensi. Berarti para pihak ini boleh memilih sendiri di
bidang hukum perjanjian, hukum yang berlaku untuk perjanjian mereka, dan
ini dibenarkan, diterima.
Contoh: Seorang Indonesia dan Tionghoa mengadakan suatu hubungan
cangkok-indung yang hanya terkenal dalam hukum adat, maka dalam
hubungan antar golongan ini pilihan hukum merupakan TPS.

2. Maksud dari Para Pihak


Maksud para pihak dapat dilakukan secara:
a. Tegas: dengan sedemikian banyak pernyataan / perkataan (uitdrukkelijk) à
kehendak para pihak untuk suatu stelsel hukum tertentu sudah nyata,
ditegaskan secara nyata dalam perjanjian.
b. Diam-diam
o Dengan menarik kesimpulan dari kenyataan-kenyataan terkait
kontrak
o Dengan melihat bentuk dan isi kontrak
Waktu Raad van Justitie di Jakarta tahun 1940 mempertimbangkan
bahwa melihat bentuk dan isi perjanjian mengenai pengleperan kulit
kina antara pembeli Eropa dan penjual Indonesia adalah lebih
beralasan untuk dianggap bahwa para pihak telah menghendaki
berlakunya hukum adat.
o Dengan melihat sifat dari hubungan hukum
Yurisprudensi untuk maksud para pihak secara diam-diam: Putusan
Landraad Penyabungan 1933: Kontrak beli sewa penggilingan beras antara
orang Eropa dan Bumiputera yang mengecualikan keberlakuan Pasal 1266
BW. Artinya, secara diam-diam mereka mengakui untuk memberlakukan
BW.

27
Disusun oleh Dominique Virgil & tim (FH UI 2015)

Yurisprudensi lainnya:
- Putusan Landraad Padang 1930 à kontrak jual beli dengan hak
membeli kembali oleh Nyi Djemaih (penjual) dan Gouw Kim Tong
(pembeli)
- Putusan Landraad Penyabungan 1922
- Perkara Jual Beli MA 1956
- Putusan Landraad Yogyakarta 1929

3. Milieu
Keputusan Landraad Makassar 1925: seorang bumiputera bertempat tinggal
di dalam lingkungan Eropa di tengah-tengah orang Eropa dan Timur Asing,
menyewa rumah dari seorang Eropa membuat kontrak dengan orang Eropa
dan Tionghoa, maka peraturan yang berlaku baginya berkenaan dengan
eksekusi dan hubungan sewa menyewa adalah hukum Eropa.
Milieu merupakan suatu faktor yang dapat menentukan keberlakuan suatu
hukum à surroundings atau environment.
Suasana tempat dilakukannya suatu perbuatan hukum dapat
menentukan hukum yang berlaku untuk perbuatan hukum tersebut.
Contoh yurisprudensi lain: Keputusan dari Residentiegerecht di Bandung
tahun 1940 à hukum adat digunakan untuk kontrak borongan pembuatan
suatu istal kuda oleh seorang pengusaha susu Eropa bernama Stekkinger
kepada seorang pemborong Indonesia, yang bernama Kanta. Hukum adat
digunakan karena Stekkinger hidup di desa di tengah-tengah rakyat petani
Indonesia.
Faktor milieu ini seringkali dipergunakan dalam kombinasi dengan faktor lain
yang merupakan titik taut penentu. Faktor milieu ini juga dapat jalan
bergandengan dengan maksud dari para pihak atau dengan konstruksi masuk
dalam suasana hukum pihak yang lain.
Yurisprudensi lain:
- Keputusan Landraad Makassar 1925
- Landraad Jatinegara 1932

28
Disusun oleh Dominique Virgil & tim (FH UI 2015)

Liong Kim Tjong menyewa rumah di kampung seorang Bumiputera


bernama Jahya. Hukum adat yang berlaku.

4. Kedudukan masyarakat yang jauh melebihi satu pihak


Karena kedudukan salah satu pihak yang lebih tinggi dari pihak lainnya, maka
dapat terjadi bahwa pihak yang lebih tinggi dapat secara leluasa menetapkan
syarat-syarat yang hendak dinyatakan berlaku untuk hubungan bersangkutan.
Pihak yang secara ekonomis lebih lemah harus menerima pembebanan secara
eenzijdig oleh pihak yang mempunyai maatschappelijk overheersende positie
(disebut pihak terutama / voornaamste partij dalam hubungan kontrak).
Contoh:
- pembelian mobil keluaran Lindeteves oleh seorang golongan
Bumiputera. Hukum dari Penjual (hukum Eropa) yang berlaku (RvJ
Jakarta 1937)
- perjanjian pengangkutan antara pribumi dan perusahaan pelayaran
Belanda KPM. Berlaku hukum Eropa. (Mahkamah Agung 1918)
- Misal A seorang yang tunduk pada hukum adat membeli tiket pesawat
KLM, maka disini karena kedudukan KLM secara sosial-ekonomi lebih
tinggi daripada kedudukan A, maka apabila tidak ada pilihan hukum,
yang harus diberlakukan adlh hukum yang diikuti oleh perusahaan KLM

5. Masuk dalam suasana hukum pihak yang lain


orang yang berasal dari satu golongan rakyat lain karena untuk melakukan
suatu perbuatan hukum masuk ke suasana hukum dari golongan rakyat lain.
Apakah telah terjadi pemasukan oleh satu pihak ke suasana hukum pihak lain,
disimpulkan dari kenyataan-kenyataan yang harus ditetapkan hakim dalam
concreto.
Perbedaan “milieu” dengan “masuk ke dalam suasana hukum pihak yang lain”:
• Milieu: tidak ada maksud dan tujuan tertentu untuk menggunakan stelsel
hukum yang berlaku di surroundings orang tersebut.

29
Disusun oleh Dominique Virgil & tim (FH UI 2015)

Contoh: biasanya apabila seseorang telah tinggal atau telah menetap di


lingkungan golongan penduduk yang berbeda dengannya maka hal ini
akan menentukan hukum mana yang berlaku bagi dirinya.
Milieu bersifat tetap.
• Masuk ke dalam suasana hukum pihak yang lain: memang ada maksud
dan tujuan tertentu menggunakan stelsel hukum yang berlaku di
surroundings orang tersebut.
Contoh: Seorang Tionghoa, punya banyak uang dan ingin agar uangnya
berputar. Ia datang ke kota Brebes à melakukan kegiatan ekonomi à jika
ada perselisihan, walaupun orang Tionghoa: menggunakan hukum
masyarakat Brebes karena orang Tionghoa tersebut memiliki niat dan itikad
untuk mendatangi suatu masyarakat untuk maksud dan tujuan tertentu. à
ada dalam suasana masyarakat Brebes.
Orang Tionghoa tersebut ingin melakukan suatu perbuatan hukum,
sehingga masuk ke suasana hukum golongan rakyat lain, yakni rakyat
Brebes yang merupakan bumiputera.
Masuk ke dalam suasana hukum pihak lain bersifat sementara.
Contoh: seseorang yang tunduk pada BW dan tinggal di jakarta hendak
membeli ayam di daerah pedalaman, maka dia harus masuk ke dalam
susasana hukum penjual ayam tersebut, namun setelah ia selesai membeli
ayam dan kembali ke jakarta, maka hukum yang berlaku bagi dirinya
kembali kepada BW (bersifat sementara).
Contoh lainnya: Seorang Bumiputera telah menyerahkan pakannya untuk
dicuci kepada binatu yang dimiliki oleh seorang Tionghoa. Telah diambil
secara paksa tanpa melakukan pembayaran. Muncul hak retensi dari si
pemilik binatu, hakim telah menggunakan BW untuk mengadili perkara ini.

TITIK PERTALIAN PRIMER HATAH EKSTERN (HPI)


1. Kewarganegaraan / Nasionalitas
Mengandung pengertian bahwa yang mengatur status personal dari
seseorang ditentukan dan diatur oleh hukum dari negara tempat ia menjadi
warga negara. Artinya perbedaan kewarganegaraan dari para pihak dalam

30
Disusun oleh Dominique Virgil & tim (FH UI 2015)

suatu peristiwa hukum tertentu akan melahirkan hubungan HPI. Perbedaan


kewarganegaraan menunjukkan adanya pertautan stelsel hukum dari negara
tempat para pihak dinyatakan sebagai warga negara. Maka, perbedaan
kewarganegaraan menunjukkan perbedaan stelsel hukum yang digunakan
oleh masing-masing warga negara.
Contoh: perempuan Indonesia menikah dengan pria Belanda à menandakan
bahwa ini adalah peristiwa HPI, karena adanya perbedaan kewarganegaraan.
Ingat! Pasal 16AB: Prinsip Nasionalitas, yang merupakan salah satu prinsip
yang digunakan untuk menentukan hukum yang berlaku bagi status personal
seorang pribadi kodrati.
Prinsip utama dari kewarganegaraan adalah siapa-siapa yang merupakan
warga-warga dari suatu negara ditentukan secara mutlak oleh negara-negara
yang bersangkutan sendiri.

2. Domisili
Mengandung pengertian bahwa yang mengatur status personal dari
seseorang ditentukan dan diatur oleh hukum dari negara tempat ia berdomisili.
Ciri utama dari domisili adalah hukum dari negara yang dianggap sebagai
pusat kehidupan dari seseorang. Dengan demikian, domisili merupakan titik
taut yang didasarkan pada prinsip territorial. Ciri utama dalam prinsip domisili:
- Setiap orang memiliki domisili
- Satu domisili untuk satu waktu tertentu bagi seseorang
- Perihal penentuan domisili menurut HPI Inggris, ditentukan oleh hukum
Inggris, HPI Australia dengan hukum Australia dan seterusnya.
Contoh: 2 orang Singapura menikah di Indonesia. Domisilinya yang
menentukan bahwa ini adalah kasus HPI.
Prinsip Domisili di Inggris:
- Domicile of Origin: negara dimana ayahnya berdomisili pada saat ia
dilahirkan. Jadi merupakan domisili asal yang diperoleh pada saat ia
lahir, yang mengikuti orang tuanya.
- Domicile of Choice: Domisili yang bisa diperoleh seseorang untuk waktu
tidak tertentu / tidak terbatas, setelah memenuhi syarat-syarat tertentu

31
Disusun oleh Dominique Virgil & tim (FH UI 2015)

yaitu kemampuan, residence, dan hasrat untuk terus menetap di tempat


yang baru.
- Domicile by Operation of Law: berlaku terhadap orang-orang yang
karena hukum “bergantung” pada orang lain. Contoh: anak yang belum
dewasa mengikuti domisili ayahnya, perempuan dalam perkawinan
mengikuti domisili suaminya
Doktrin Domisili:
- Doctrine of Revival: Dengan DoR ini, domicile of origin kembali menjadi
aktif dan serta merta menghapuskan DoC yang telah terbentuk
- Doctrine of Contiuance of Domicile: Domisili yang ada tetap efektif
berlaku sampai yang bersangkutan memperoleh domisili lain.

3. Tempat Kediaman
Tempat kediaman disebut juga residence, atau tempat sesungguhnya
seseorang berada (place of sojurn). Tempat kediaman adalah tempat di mana
sehari-hari yang bersangkutan dianggap mempunyai kediamannya, di mana
rumahnya, di mana ia bekerja. Contoh: 2 orang WN Singapura yang
berkediaman di Indonesia untuk sementara, telah melangsungkan perkawinan
di Indonesia. Karena adanya kediaman mereka di suatu negara yang berbeda
dengan kewarganegaraan mereka, timbullah masalah HPI.
Sama halnya dengan domisili, tempat kediaman ini merupakan kelompok titik-
titik pertalian yang bersifat territorial.

Domisili v. Tempat Kediaman:

Domisili bersifat lebih permanen dibandingkan tempat kediaman. Semua

aktivitas atau hubungan hukum akan menghubungkan kita ke alamat domisili

kita, bukan tempat kediaman. Hal ini karena tempat kediaman bersifat

lebih fleksibel dibandingkan domisili.

Domisili dicantumkan dalam KTP, sementara tempat kediaman merupakan

faktanya keberadan sehari-hari seseorang.

Tempat kediaman merupakan alternative jika domisili seseorang tida

diketahui.

32
Disusun oleh Dominique Virgil & tim (FH UI 2015)

Domisili = de jure, tempat kediaman = de facto.

4. Tempat Kedudukan
Apabila tempat kediaman berlaku untuk perseorangan, maka tepat kedudukan
berlaku bagi badan hukum (legal person, corporation).
Contoh: suatu badan hukum X melakukan kegiatan bisnis di Indonesia, tetapi
badan hukum tersebut didirikan di negara Y.
Teori-teori untuk badan hukum dalam HPI:
- Teori inkorporasi
- Toeri Statutair
- Teori Manajemen Efektif
- Remote / Foreign Control Theory

5. Bendera Kapal
Bendera kapal diibaratkan sebagai kewarganegaraan seseorang. Sebagai
contoh: sebuah kapal berbendera Panama mengangkut penumpang yang
berkewarganegaraan Indonesia. Hubungan yang terjadi antara kapal dan
penumpangnya itu merupakan suatu hubungan HPI.
Prinsip: setiap kapal harus didaftarkan di suatu negara berdasarkan hukum
negara tempat pendaftaran dilakukan. Pendaftaran ini ditunjukkan melalui
keberadaan bendera kapal yang adalah bendera dari negara tempat
pendaftaran dilakukan. Hukum dari negara tempat kapal tersebut didaftarkan
adalah hukum yang mengatur mengenai segala sesuatu terkait kapal tersebut.
Contoh kasus: USS Mercy melakukan kegiatan kemanusiaan di NAD; Kapal
dengan nama MV Callisto berbendera Liberia melakukan pengisian bahan
bakar minyak di Pelabuhan Tanjung Priok

6. Tanda Kebangsaan Pesawat Terbang


Sama halnya dengan kapal, setiap pesawat terbang harus didaftarkan di suatu
negara berdasarkan hukum yang berlaku.

33
Disusun oleh Dominique Virgil & tim (FH UI 2015)

Hukum dari negara tempat pesawat terbang tersebut didaftarkan adalah


hukum yang mengatur mengenai segala sesuatu terkait pesawat terbang
tersebut.

7. Pilihan Hukum dalam Hubungan Intern


Dua orang WNI bertempat tinggal di Kalimantan melakukan jual-beli mesin-
mesin pabrik pengolahan kelapa sawit yang diimpor dari Jerman dan memilih
untuk menggunakan hukum Jerman untuk perjanjian jual beli yang disepakati.
Kewarganegaraan sama à hubungan intern
Domisili atau tempat kediaman sama à hubungan intern
Hubungan hukum yang terjadi, jual beli, diatur oleh hukum Jerman à unsur
asing.
Mengapa hubungan intern yang dianggap sebagai titik pertalian HATAH
Ekstern? Karena sejatinya orangnya memiliki kewarganegaraan yang sama,
domisilinya sama, namun mereka memilih stelsel hukum lain.

TITIK PERTALIAN SEKUNDER HATAH EKSTERN (HPI)


1. Kewarganegaraan / Nasionalitas
Kewarganegaraan juga merupakan bagian dari TPS, yang menentukan hukum
mana yang akan berlaku dalam suatu peristiwa HPI. Kewarganegaraan
sebagai TPS, tidak hanya berlaku bagi masalah hukum keluarga seperti
perkawinan, perceraian, hak asuh anak, harta benda dalam perkawinan,
adopsi, dsb, tetapi berlaku pula dalam hal menentukan kemampuan untuk
bertindak dalam hukum dan asas dalam perkawinan (monogami atau
poligami). Contoh ilustrasi:
- TPP: Seorang wanita WNI menikah dengan seorang pria WN Belanda
di Indonesia
- TPS:
a. Untuk syarat material: berlaku hukum yang mengatur status
personal keduanya à Pasal 16 AB

34
Disusun oleh Dominique Virgil & tim (FH UI 2015)

b. Untuk syarat formal: berlaku hukum dari negara tempat


pernikahan dilangsungkan. à Pasal 18 AB (Lex Loci
Celebrationis)
• Di bidang hukum perkawinan
Contoh: A seorang laki-laki WNI yang sedang bertugas di Perancis ingin
menikah dengan seorang gadis Prancis. Pernikahan dilakukan di Paris.
Agar perkawinan itu sah baik menurut hukum Prancis maka hukum yang
berlaku akan sebagai berikut:
o Syarat formal: ingat Pasal 18 AB: berlaku hukum dimana perbuatan
hukum itu dilakukan. Perkawinan dilakukan di Perancis, maka sesuai
asas ini, perkawinan akan dilakukan menurut hukum Perancis. à
dilakukan di kantor Catatan Sipil setempat.
Oleh karena satu pihak adalah WNI, harus pula memenuhi ketentuan
pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa perkawinan
yang sah harus sesuai dengan agama mereka. Bila keduanya
beragama sama, maka keduanya harus pula melangsungkan
perkawinan sesuai dengan agama mereka. Kalau mereka kembali
ke Indonesia, dalam waktu 1 tahun sekembalinya di Indonesia
perkawinan itu harus dicatatkan di kantor pencatatan perkawinan.
o Syarat materiil: mengenai kewenangan atau kemampuan untuk
menikah. Misalnya tentang batas umur anak menikah, izin orang tua,
dan perkawinan monogami / poligami. Maka, untuk menikah, laki-
laki harus memenuhi batas umur di UU No. 1 Tahun 1974 sementara
perempuan itu harus memenuhi batas umur sesuai UU di Perancis.
• Dalam masalah poligami
Pasal 3 UU No. 1 Tahun 1974: merupakan ketertiban umum Indonesia yang
tidak dapat dikesampingkan dengan berlakunya hukum asing à contoh:
laki-laki Indonesia bila ingin mempunyai istri kedua di luar negeri, maka
agar perkawinan itu sah menurut hukum Indonesia, maka harus ada izin
dari istri pertama dan pengadilan.
• Hak Asuh anak setelah perceraian

35
Disusun oleh Dominique Virgil & tim (FH UI 2015)

Putusan No. 182/Pdt/G/1993/PN.Jkt.Sel. : 2 orang WN Amerika Serikat


yang berdomisili di Jakarta bercerai.

2. Domisili
Contoh: dua orang WN Inggris berdomisili di Jakarta, ingin melakukan kontrak
jual beli atau melangsungkan perkawinan di Jakarta. Dalam hal ini,
kemampuannya untuk bertindak di dalam hukum kontrak maupun menikah
ditentukan oleh hukum dimana dia berdomisili.
Perkembangan bentuk domisili:
- Domisili bersama: berlaku bagi pasangan suami-istri
- Habituelle residence à digunakan terutama dalam persoalan adopsi
dan perwalian anak. Diperhatikan kepentingan terbaik bagi anak dalam
persoalan adopsi.
Contoh: suami istri berWN jerman yang diputus cerai oleh Pengadilan
Indonesia. Pasal 16 AB yang ditafsirkan secara analogis terhadap WNA
à berlaku hukum jerman terhadap suami istri tersebut, termasuk
mengenai pemeliharaan anak

3. Bendera Kapal
Contoh: sebuah kapal milik WNI, dinakhodai oleh WNI, dan berlayar di perairan
Indonesia dengan memakai bendera Panama.
Hukum Bendera Kapal yang akan digunakan.

4. Tanda Kebangsaan Pesawat Udara


5. Tempat Kediaman
Tempat kediaman dapat digunakan sebagai alternative bila domisilinya tidak
diketahui atau belum terbentuk.
Misalnya A, seorang pengusaha asing yang karena bisnisnya tinggal untuk
sementara waktu di Jakarta meninggal dunia. Apabila tidak jelas
kewarganegaraannya dan domisilinya, maka akan digunakan hukum tempat
kediamannya terakhir sebelum meninggal.

36
Disusun oleh Dominique Virgil & tim (FH UI 2015)

6. Tempat Kedudukan Badan Hukum


Ada teori-teori untuk menentukan status personal badan hukum.
7. Tempat Letaknya Benda (Lex Rei Sitae)
Tempat letaknya benda menentukan hukum yang berlaku atas benda tersebut.
Ketentuan ini berlaku untuk benda bergerak maupun tidak bergerak. Sejalan
dengan ketentuan pasal 17AB.
Dahulu, tadinya dalam HATAH Intern maupun HATAH Ekstern, dibedakan
antara benda tetap atau bergerak. Untuk benda bergerak berlaku hukum
Mobilia Sequntur Personan (orang yang memegang hak atas benda tersebut).
Namun, sejak zaman Von Savigny, maka ada perubahan makna bahwa benda
tak bergerak sama dengan benda bergerak.
Contoh:
Seorang WN Jepang ingin meletakkan hipotik atas tanah berikut rumah milik
warga negara Indonesia, di Jakarta. Hukum yang berlaku: hukum Indonesia.

8. Tempat Dilangsungkannya Perbuatan Hukum (Lex Loci Actus), Tempat


Perjanjian Dibuat (Lex Loci Contractus)
Tempat di mana suatu perbuatan hukum dilakukan atau suatu kontrak dibuat,
merupakan pula faktor yang menentukan hukum yang harus diberlakukan.
Contohnya: seorang WNI membuat kontrak di Jakarta dengan suatu
perusahaan Perancis tentang bantuan teknik. Tempat dimana kontrak
dilangsungkan (yaitu Jakarta) adalah faktor yang menentukan tentang hukum
yang harus berlaku.
Contoh lain: seorang pedagang nasional mengadakan kontrak jual beli dengan
perusahaan asing yang berkedudukan di Singapura. Kontrak tersebut ditutup
di Singapura. Apabila tidak ada ketentuan lain (misalnya pilihan hukum) maka
hukum yang berlaku ialah hukum Singapura sebagai hukum daripada tempat
dimana kontrak dilangsungkan.

9. Tempat Dilaksanakannya suatu Perjanjian (Lex Loci Solutionis, Lex Loci


Executionis)

37
Disusun oleh Dominique Virgil & tim (FH UI 2015)

Hukum yang berlaku bagi suatu kontrak adalah hukum dari negara tempat
kontrak dilaksanakan / dieksekusi.
Contoh: kontrak pemasangan PLTA antara pemerintah Indonesia dan
pemerintah Perancis. Kontrak dibuat di Paris, tetapi pelaksanaannya dilakukan
di Indonesia, yaitu di Sigura-gura, Medan atau di Jatiluhur, Jawa Barat. Dalam
hal tidak dilakukan Pilihan Hukum oleh para pihak dalam kontrak tersebut,
hukum yang berlaku untuk kontrak itu menurut teori ini adalah hukum
Indonesia.

10. Proper Law of the Contract


Hukum yang berlaku adalah hukum yang paling banyak memiliki keterkaitan
dengan kontrak tersebut. Misalnya: kontrak perusahaan jepang dan Indonesia,
dilihat dari bahasanya, mata uang pembayarannya, kargonya, dan segala hal
yang memiliki keterkaitan sehingga disebut mencari center of the gravity.

11. The Most Characteristic Connection


Hukum yang digunakan adalah hukum dari pihak yang menjalankan prestasi
yang lebih besar dan berat. Kalau dalam jual beli, dianggap bahwa yang
menjual itu prestasinya lebih besar dari yang membeli. Dengan kata lain, pihak
yang menanggung resiko paling besar dalam suatu kontrak maka hukumnya
akan digunakan bagi kontrak tersebut.
Contoh: pengacara dengan klien. Penggunaan pengacara dari luar, misalnya
Singapura, sehingga hukum yang digunakan adalah hukum si pengacara
tersebut.

12. Locus Delictum (Tempat Terjadinya Perbuatan Melanggar Hukum)


Hukum yang berlaku dalam suatu PMH adalah hukum dari negara tempat PMH
tersebut terjadi.
Contoh: Seorang eksportir Indonesia, menyerahkan hasil buminya kepada
maskapai perkapalan Norwegia untuk diangkut ke London. Hasil bumi
tersebut ternyata secara melawan hukum tidak diserahkan ke alamat pembeli
di London, tetapi telah diturunkan dari kapal di Singapura dan diserahkan

38
Disusun oleh Dominique Virgil & tim (FH UI 2015)

kepada pedagang di Singapura yang tidak berhak menerima barang tersebut.


Karena PMH ini terjadi di Singapura, maka hukum Singapura akan berlaku
untuk PMH tersebut.

13. Maksud Para Pihak


Artinya bahwa kehendak para pihak atau maksud para pihak ini dapat
menentukan hukum yang akan berlaku dalam persoalan HPI. Maksud para
pihak ini dapat berupa pilihan hukum (choice of law), dan hanya berlaku di
bidang hukum perjanjian. Dalam suatu kontrak, para pihak memiliki kebebasan
untuk memilih dan menyepakati hukum yang berlaku bagi kontrak yang
mereka sepakati.
Contoh: dalam kontrak jual beli antara pedagang A dengan pedagang B,
dengan tegas disebutkan bahwa keduanya memilih hukum Cina sebagai
hukum yang berlaku, kalau terjadi sengketa.

14. Tempat Diajukannya Proses Perkara


Untuk segala hal yang termasuk ke dalam hukum acara, hukum dari pada sang
hakim di mana perkara bersangkutan diajukan, merupakan hukum yang
berlaku. Hal ini termasuk juga segala perbuatan formal, misalnya pendaftaran
tanah dalam kadaster (sekarang di BPN), pencatatan haka tau beban tertentu
atas tanah, pendaftaran hak cipta, hak merk, hak paten, maka akan berlaku
hukum di mana hak itu dimohon untuk didaftarkan.

TITIK PERTALIAN LEBIH LANJUT


• Kumulatif
Titik pertalian ini akan dibutuhkan jika untuk menentukan hukum yang
berlaku dalam suatu peristiwa HPI, kita membutuhkan dua atau lebih titik
pertalian.
Contoh: Seorang WNI yang menikah di LN, dia harus tunduk hukum
Indonesia sebagai WNI, namun juga tunduk hukum dimana perkawinan itu
dilangsungkan.
• Alternatif

39
Disusun oleh Dominique Virgil & tim (FH UI 2015)

Terdapat lebih dari satu titik pertalian yang dapat menentukan hukum
yang berlaku. Salah satu dari faktor-faktor yang ada dapat dipilih menjadi
faktor yang menentukan hukum yang berlaku.
• Pengganti / Subsider
Titik pertalian yang dapat digunakan untuk menentukan hukum yang
berlaku bagi suatu peristiwa HPI, bilamana tidak ditemukan titik pertalian
yang dibutuhkan. Contoh: Indonesia menganut prinsip nasionalitas, lalu
kita berhadapan dengan orang yang tidak memiliki kewarganegaraan, maka
di sini dia dapat memilih faktor domisili/tempat kediaman.
• Tambahan
Merupakan titik pertalian yang diperlukan apabila titik-titik pertalian yang
telah ada dalam suatu peristiwa HATAH tidak cukup untuk menentukan
hukum yang berlaku bagi peristiwa HATAH tersebut. Contoh: Terdapat
kasus bipatride: X adalah WN Perancis dan Kanada, hukum yang berlaku
bagi X? Nah di sini perlu tambahan, maka bisa saja muncul konsep domisili.
• Accessoir
Penempatan suatu hubungan hukum di bawah satu stelsel hukum yang
sudah berlaku untuk lain hubungan hukum yang lebih utama.

STATUS PERSONAL

Status personal adalah kumpulan kaidah-kaidah atau norma-norma yang


melekat pada seseorang di manapun dan kemanapun.
Status personal mencakup:
1. Keberadaan suatu subyek hukum
2. Kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum
3. Perlindungan terhadap subyek hukum
4. Hubungan kekeluargaan dan pewarisan

Hukum yang berlaku bagi status personal:


1. Pribadi Kodrati
a. Prinsip Nasionalitas

40
Disusun oleh Dominique Virgil & tim (FH UI 2015)

b. Prinsip Domisili
c. Tempat Kediaman
2. Pribadi Hukum
a. Teori Inkorporasi
b. Teori Statutair
c. Teori Kantor Pusat
d. Teori Kontrol Asing

Status Personal Pribadi Kodrati


Kaidah yang digunakan adalah prinsip nasionalitas, prinsip domisili, dan tempat
kediaman.
1. Prinsip Nasionalitas
Prinsip yang menentukan hukum yang berlaku bagi status personal pribadi
kodrati dari dimana orang tersebut menjadi warga negara. Hukum nasional
orang tersebut yang ditentukan oleh kewarganegaraannya melekat dan
mengikuti kemanapun seseorang pergi.
Latar belakang prinsip ini: menghendaki warga negara yang mengembara ke
luar negeri sedapat mungkin tetap dapat tunduk kepada hukum mereka
sendiri.
Prinsip utama dari kewarganegaraan adalah siapa-siapa yang merupakan
warga-warga dari suatu negara ditentukan secara mutlak oleh negara-negara
bersangkutan sendiri. Contohnya, di Indonesia dilihat dari UU 12/2006 tentang
Kewarganegaraan.
Pasal 16 AB: hukum yang berkenaan dengan status personil mengikuti
seorang kawula negara Belanda (Sekarang WNI) kemanapun ia bepergian
keluar negeri. Prinsip ini berarti bahwa seorang WNI yang berada di luar negeri,
tetap tunduk kepada hukum Indonesia berkenaan dengan status personalnya.

2. Prinsip Domisili
Domisili adalah juga merupakan salah satu prinsip yang digunakan untuk
menentukan hukum yang berlaku bagi status personal seorang pribadi kodrati.

41
Disusun oleh Dominique Virgil & tim (FH UI 2015)

Berdasarkan prinsip domisili, hukum yang mengatur mengenai status personal


seorang pribadi kodrati adalah hukum dari negara tempat dirinya berdomisili.
Semua hubungan-hubungan orang yang berkaitan dengan soal-soal
perorangan, kekeluargaan, warisan atau status personilnya ditentukan oleh
domisilinya.
Prinsip domisili yang dikenal dalam sistem hukum Inggris:
- Domicile of origin
Setiap orang memperoleh suatu domicile of origin pada waktu lahirnya.
Merupakan negara dimana ayahnya berdomisili pada waktu ia
dilahirkan. Jika anak itu tidak sah, maka domisili dari ibu yang
menentukan.
Domicile of origin akan tetap berlangsung sampai terbentuk suatu
domicile of choice. Apabila dilepaskan domicile of choice tanpa
diperoleh suatu domicile of choice baru, maka domicile of origin hidup
kembali. à Domicile of origin berperan sebagai reserve à tampil lagi
jika tidak terdapat domisili lain.
Ada 2 doktrin:
o Doctrine of revival: domicile of origin-lah yang hidup kembali
bilamana seseorang telah melepaskan domisili semulanya tanpa
memperoleh lagi domisili lain (dianut di Inggris)
o Doctrine of continuance of domicile: domisili yang semula
berlangsung hingga yang bersangkutan telah memperoleh suatu
domisili lain (dianut di AS)
Contoh perkara yang terkenal di HPI Inggris: Udny v. Udny
Kolonel Udny, mempunyai domicile of origin Skotlandia. Domicile of choice di
London (hidup selama 32 tahun), kemudian pergi ke Perancis dan berdiam
selama 9 tahun. Di Perancis ia berhubungan dengan seorang perempuan dan
punya anak, kemudian ia pergi ke Skotlandia dan menikahinya, kemudian
menetap. Kaidah hukum yang berlaku pada saat itu: suatu perkawinan hanya
membawa pengesahan dari seorang anak yang dilahirkan terlebih dahulu,
apabila lembaga pengesahan karena perkawinan susulan diakui oleh hukum
dari domisili sang ayah baik pada waktu kelahiran anak itu maupun pada
waktu perkawinan dilangsungkan. Pada waktu perkawinan dilangsungkan

42
Disusun oleh Dominique Virgil & tim (FH UI 2015)

maka domisili Udny adalah Skotlandia. Dan hukum Skotlandia ini memang
mengenal lembaga pengesahan karena perkawinan susulan. Dalam hal ini
tidak ada kesulitan. Yang merupakan persoalan ialah: apakah yang
merupakan domisili dari Udny pada waku sang anak dilahirkan pada tahun
1853? Domisili ini tentunya bukan di Perancis, karena ia ini hanya bertempat
tinggal disana. Yang harus dipilih ialah: salah satu antara domicile of origin
Skotlandia-nya atau domicile of choice Inggrisnya. Jika yang pertama yang
berlaku, maka anak tersebut tidak sah adanya dan karenanya ia tidak dapat
mewarisi.
Menurut House of Lords, maka Kolonel Udny ini, tatkala naik kapal pergi ke
Perancis, telah melepaskan domicile of choice Inggris-nya, karena ia ini telah
meninggalkan Inggris secara animo and facto. Boleh dikatakan bahwa
kemudian, domicile of origin Skotlandia-nya telah hidup kembali, setelah
”tertidur” untuk 32 tahun lamanya.
- Domicile of choice
Untuk memperoleh domicile of choice, diperlukan 3 syarat, yaitu:
o Kemampuan
Orang yang tidak mampu bertindak dalam hukum, seperti anak
belum dewasa orang di bawah pengampuan, atau perempuan
dalam perkawinan tidak dapat memperoleh domicile of choice-
nya sendiri.
o Residence
Kediaman sehari-hari.
o Hasrat (intention) untuk “permanent residence” (animus semper
manendi)
Dalam konsepsi Eropa Kontinental, tidak dibutuhkan adanya
hasrat untuk permanent residence untuk memperoleh domisili;
hanya kemampuan dan residence saja.
Orang bersangkutan harus hendak hidup di dalam negara baru
yang dipilihnya itu untuk waktu yang tidak tertentu dan tidak
terbatas.
- Domicile by operation of law

43
Disusun oleh Dominique Virgil & tim (FH UI 2015)

Suatu domisili yang “dependent” atau bergantung pada domisili orang


lain. Termasuk: anak-aak yang belum dewasa, orang yang berada di
bawah pengampuan.
Dalam HPI Inggris dikenal:
o Anak-anak yang belum dewasa memiliki domisili sang ayah
o Istri memiliki domisili suaminya
Ketentuan lain pada konsep domisili Inggris:
- Setiap orang harus punya domisili
- tidak boleh lebih dari satu domisili
- penentuan domisili seseorang ditentukan oleh lex fori

3. Prinsip Habitual Residence (Tempat Kediaman)


Habitual residence: tempat dimana seseorang telah established on fixed basis,
his permanent or habitual centre of interest, with all the relevant facts being
taken into account for determining such residence.
Faktor-faktor untuk menentukan:
- Duration of stay
- Regularity
- Conditions and reason
- Main center of interest à sudah nyaman atau belum di domisilinya?
- Future intention
Habitual residence awalnya dikaitkan dengan hukum keluarga. Contoh
permasalahan anak, dimana kedua orang tua pisah dan ada perbedaan
kewarganegaraan. Dalam kondisi seperti ini, maka muncul habitual residence
bagi anak, yakni tempat dimana anak tersebut nyaman untuk tinggal.

NASIONALITAS DOMISILI
PRO 1. Paling cocok dengan 1. Hukum dimana seseorang sesungguhnya
perasaan hukum hidup
seseorang à karena 2. Prinsip nasionalitas seringkali
kemanapun perginya membutuhkan prinsip domisili à karena
untuk orang yang stateless, hukum domisili

44
Disusun oleh Dominique Virgil & tim (FH UI 2015)

seseorang, tetap berlaku dapat menjadi prinsip yang diberlakukan


hukum nasional baginya untuk seseorang
2. Lebih permanen dari 3. Prinsip domisili sama dengan hukum sang
hukum domisili à karena Hakim à hakim lebih mengenal hukum
kewarganegaraan nasionalnya daripada hukum asing.
seseorang tidak mudah 4. Cocok untuk negara dengan pluralism
diubah-ubah seperti hukum. Untuk mengetahui hukum perdata
domisili mana yang berlaku bagi seorang warga
3. Lebih banyak membawa negara yang hukumnya plural (setiap
kepastian hukum à daerah berlainan hukum/ada
pengertian penggolongan WNI) maka perlu
kewarganegaraan lebih diperhatikan domisilinya.
mudah diketahui 5. Demi kepentingan adaptasi dan asimilasi
daripada domisili para imigran à mencegah adanya
seseorang, karena kelompok orang / imigran yang
peraturan tentang mempertahankan hubungan mereka dan
kewarganegaraan lebih ikatan dengan negara mereka.
pasti
KONTRA 1. Kurang cocok untuk 1. Tidak cocok untuk perusahaan hukum
negara dengan pluralisme seseorang
hukum 2. Lebih permanen prinsip nasionalitas
2. Masih membutuhkan dibanding prinsip domisili
bantuan prinsip domisili 3. Prinsip nasionalitas membawa kepastian
lebih banyak

Bagaimana pengaturan Indonesia?


Indonesia menganut prinsip nasionalitas berdasarkan Pasal 16 AB. Pasal ini
diinterpretasikan secara analogi terhadap WNA di Indonesia.

Status Personal Pribadi Hukum


Luasnya bidang status personal badan-badan hukum:
1. Bertindak dalam hukum

45
Disusun oleh Dominique Virgil & tim (FH UI 2015)

2. Batas-batas dari kemampuan untuk bertindak dan melakukan perbuatan


hukum
3. Menentukan bilamana kemampuan hukum ini berhenti
4. Sebagai pihak di muka pengadilan
Dasar menentukan ruang lingkup status personal badan hukum:
1. Ada tidaknya badan hukum
2. Kemampuan untuk bertindak dalam hukum
3. Hubungan-hubungannya dengan pihak ketiga
4. Cara-cara pengubahan anggaran dasar dari badan hukum tersebut
5. Berhentinya badan hukum tersebut
Cara menentukan tempat kedudukan badan hukum:
• Teori Inkorporasi
Menyatakan bahwa tempat kedudukan badan hukum adalah tempat dari
badan hukum tersebut didirikan. Apabila badan hukum tersebut
menjalankan bisnisnya bukan di negara tempat ia didirikan, ia akan
dianggap sebagai badan hukum asing di negara yang bersangkutan.
Umumnya dianut oleh negara Anglo Saxon
Contoh: WallMart, Inc. didirikan di negara bagian Delaware, tapi
mempunyai pusat kegiatan usaha di negara bagian Arkansas, maka tempat
kedudukannya adalah tetap di negara bagian Delaware.
• Teori Statutaire
Tempat kedudukan Badan Hukum adalah tempat dimana menurut statuten
Badan Hukum bersangkutan mempunyai kedudukannya. Teori ini juga
menyatakan bahwa tempat kedudukan suatu Badan Hukum berdasarkan
alamat lengkap kantor pusat yang tercantum dalam statuta atau Anggaran
Dasar perusahaan à teori inkorporasi berhimpitan dengan teori statutaire
• Teori Managemen Efektif
Pada prakteknya, perusahaan bisa saja menjalankan bisnisnya, dan
memiliki kantor, pegawai, direksi, pemegang saham di negara selain
negara inkorporasi. Tempat kedudukan suatu badan hukum adalah negara
tempat kegiatan operasional badan hukum tersebut ada.
Kantor pusat administrative adalah:

46
Disusun oleh Dominique Virgil & tim (FH UI 2015)

- The brain of the enterprises


- Real not fictitious
- Everyone can easily check the location of the office
- Tempat direksi bertemu
- Tempat RUPS diselenggarakan
- Tempat perusahaan menjalankan bisnis utamanya
Contoh: Alpen Services Aktiengesellschaft didirikan di Liechtenstein, tapi
karena manajemennya dijalankan dari Frankfurt-Jerman, maka tempat
kedudukannya adalah di Frankfurt-Jerman.
• Foreign Control
Ketika terdapat investasi asing dari negara asing. Contoh: dalam hal suatu
badan hukum didirikan / dijalankan dari negara x, namun pembuat
keputusan untuk operasionalnya diputuskan dari negara y, maka tempat
kedudukan dari badan hukum tersebut adalah negara y.

Pro-Kontra:
Pro Prinsip Pro Prinsip Tempat Kedudukan yang Efektif
Inkorporasi
- Sesuai dengan - Kepentingan para pihak & kepentingan lalu lintas
logika hukum - The brain of an enterprise à real, not fictitious
- Praktis à - Can easily check, since the main administration centre
kepastian hukum can hardly be kept secret
- Kebebasan pilihan hukum
- Stabil à permanen dan tidak berubah-ubah

Bagaimana pengaturan Indonesia?


UU No. 40 tahun 2007 tentang PT
1. Pasal 7: Suatu badan hukum dianggap memperoleh status badan hukumnya
ketika diterbitkan Keputusan Menteri mengenai pengesahan badan hukum
tersebut. TEORI INKORPORASI

47
Disusun oleh Dominique Virgil & tim (FH UI 2015)

2. Pasal 5: Perseroan mempunyai nama dan tempat kedudukan dalam wilayah


negara Republik Indonesia yang ditentukan dalam AD. TEORI STATUTAIR
3. Pasal 17 Ayat (1): Perseroan mempunyai tempat kedudukan di daerah kota
atau kabupaten dalam wilayah negara Republik Indonesia yang ditentukan
dalam AD
4. Pasal 17 Ayat (2): Tempat kedudukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
sekaligus merupakan kantor pusat Perseroan, TEORI MANAJEMEN EFEKTIF

RENVOI (PENUNJUKKAN KEMBALI)

Renvoi terjadi karena adanya aneka macam sistem hukum perdata internasional
dalam status personal seseorang (prinsip nasionalitas dan prinsip domisili). Renvoi
timbul apabila hukum asing yang ditunjuk oleh lex fori (hukum dari pengadilan yang
mengadili perkara), menunjuk kembali ke arah lex fori itu, atau kepada sistem hukum
asing yang lain. Renvoi disebabkan adanya perbedaan prinsip nasionalitas dan
prinsip domisili yang dianut antara negara yang ditunjuk dengan negara yang
menunjuk dalam menentukan sistem hukum mana yang berlaku terhadap suatu
persoalan hukum. Dapat dikatakan pula bahwa renvoi muncul karena bertemunya
prinsip nasionalitas dan prinsip domisili untuk menentukan status personal
(penunjukkan atas prinsip manakah yang akan digunakan untuk menentukan status
personal seseorang).
Renvoi hanya ada di bidang hukum keluarga, namun tidak ada di bidang hukum
kontrak. Mengapa? Karena hukum kontrak punya rezim pilihan hukum yang dijamin
menurut Pasal 1338 BW.
Kalau Indonesia dengan Belanda à tidak akan terjadi renvoi, karena prinsip yang
dianut sama, yaitu asas nasionalitas.
Penunjukan kepada hukum asing:
- Gesamtverweisung: jika menunjuk pada seluruh hukum asing termasuk
di dalamnya kaedah HPI dan hukum materiilnya (hukum intern) à
penerimaan renvoi

48
Disusun oleh Dominique Virgil & tim (FH UI 2015)

- Schahnormverweisung: jika hanya menunjuk pada hukum materiil


(hukum intern) dari sistem hukum asing yang bersangkutan. à
penolakan renvoi
Supranasional atau Nasional?
Ada hubungan yang erat antara teori Renvoi dan persoalan apalah HPI bersifat
supranasional atau nasional. Menurut pandangan mereka yang menganggap HPI
bersifat supranasional maka Renvoi tidak dapat diterima. Menurut pandangan
Supranasional, kaidah2 HPI mempunyai kekuatan hukum dengan tidak
menghiraukan sistem hukum nasional dibawanya. Kaidah-kaidah HPI ini, karena
berasal dari tata tertib hukum yang lebih tinggi daripada tata tertib pembuat undang-
undang nasional. Renvoi hanya boleh diterima bila pandangan HPI sebagai hukum
supranasional telah dilepaskan.

Renvoi dan Kualifikasi


Terdapat kualifikasi hukum asing menjadi:
1. Kaidah intern saja (Sachnormen)
Jika hanya sachnormen suatu negara saja yang hendak diberlakukan, maka
penunjukkan semacam ini dinamakan sachnormeverweisung.
2. Kaidah intern + kaidah HPI (Sachnormen + Kollisionsnormen) = hukum suatu
negara secara keseluruhan.
Jika hukum suatu negara dalam keseluruhannya (+ Kaidah HPI) yang ditunjuk,
maka penunjukkan macam ini dinamakan Gesamtverweisung.
Ada 2 kemungkinan bila dilakukan gesamtverweisung:
- Penunjukkan Kembali: X Y
Jika X menolak penunjukkan kembali, maka X à Y
- Penunjukkan Lebih Jauh: X à Y à Z

Contoh Renvoi Penunjukkan Kembali:


Apabila seorang WN Inggris yang berdomisili di Indonesia, untuk menentukan sudah
dewasa atau belum, atau akan menikah atau akan melakukan tindakan hukum yang
berkaitan dengan personilnya, maka menurut HPI Indonesia (berdasarkan Pasal 16
AB – hkm nasional mengikuti personilnya) yang harus digunakan adalah hukum

49
Disusun oleh Dominique Virgil & tim (FH UI 2015)

Inggris; menurut Hukum Inggris, berdasarkan kaedah-kaedah HPI nya, untuk status
personil yang dipakai adalah hukum dimana domisilinya di Indonesia, maka yang
berlaku adalah hukum Indonesia. Maka, dalam contoh itu, hukum Indonesia
menunjuk hukum Inggris, dan hukum Inggris menunjuk kembali hukum Indonesia.

Contoh Renvoi Penunjukkan Lebih jauh:


Dua WN Swiss (Paman dan saudara sepupu perempuan) berdomisili di Moskow
Rusia dan menikah di Rusia. Menurut HPI Rusia, perkawinan harus berdasarkan
hukum Rusia, menurut HPI Swiss (Psl 7f NAG) perkawinan yang dilakukan di luar
negeri menurut hukum yang berlaku di sana, dianggap sah. Disisi lain hukum intern
(nasional)Swiss (Psl 100 ZGB) perkawinan antara Paman dan sepupu perempuan
dilarang, ketentuan ini tidak berlaku karena perkawinan dilakukan di Luar Negeri, jadi
sebenarnya secara tidak sengaja telah terjadi “penyeludupan hukum”;
Suami istri ini pindah domisili ke Hamburg, terjadi perselisihan pihak istri mengajukan
gugatan cerai, pihak paman (suami) mengajukan permohonan kepada Hakim supaya
perkawinan mereka di Rusia dianggap batal adanya karena melanggar Pasal 100
ZBG Hukum Swiss;
Hakim di Jerman yang mengadili tidak menggunakan pasal 100 ZBG, tetapi hakim
menerima apa yang dinamakan “penunjukan lebih lanjut” (Weiter-verweisung). HPI
Jerman berdasarkan prinsip Nasionalitas menyatakan hukum nasional WN Swiss
yang berlaku bagi WN Swiss tersebut, termasuk penunjukan HPI Swiss (Psal 7f NAG)
yang menunjuk lebih jauh pada hukum dimana perkawinan dilakukan ic hukum Rusia,
maka Hakim Jerman menganggap perkawinan sah, dan “penunjukan lebih jauh”
diterima dalam praktek HPI Jerman.
Maka yang terjadi adalah: hukum Jerman à hukum Swiss à Hukum Rusia
- Rusia : tempat perkawinan dilangsungkan
- Panah pertama : penunjukkan I Gesamtverweisung
- Panah kedua : penunjukkan II Sachnormverweisung

Cause celebre: KASUS FORGO


Forgo WN Bavaria anak luar kawin, sejak kecil s/d meninggalnya bertempat tinggal
di Perancis, meninggalkan harta warisan al: deposito-deposito pada Bank-bank di

50
Disusun oleh Dominique Virgil & tim (FH UI 2015)

Perancis. Menurut hukum Perancis pada waktu itu Forgo dianggap belum
mempunyai domisili di Perancis, ia masih dianggap mempunyai domisili asalnya
(domicile of origin) dimana ia dilahirkan. Forgo tidak meninggalkan surat wasiat,
sehingga warisannya akan jatuh kepada ahli waris ab intestate.
Saudara-saudara kandung Forgo menklaim harta warisan tersebut berdasarkan
ketentuan hukum Bavaria, di lain pihak Pemerintah Perancis berdasarkan hukum
intern (nasional) Perancis yang tidak mengenal warisan anak luar kawin, sehingga
warisan Forgo dianggap harus jatuh kepada Pemerintah Perancis;
Menurut HPI Perancis warisan benda-benda bergerak berlaku hukum domisili asal
(domicile of origin), dhi HPI Perancis menunjuk hukum Bavaria, tetapi HPI Bavaria
menentukan bahwa warisan benda-benda bergerak akan berlaku hukum tempat
tinggal sebenarnya dari si Pewaris, dalam hal ini Hukum Perancis.
Persoalan: apakah penunjukan HPI Perancis kepada Hukum Bavaria, apakah
seluruh hukumnya (termasuk HPI), atau hanya kepada Hukum Intern Bavaria?
- Jika seluruhnya, maka ada penunjukan kembali kepada Hukum
Perancis dan renvoi akan diterima dengan memberlakukan hukum
intern Perancis
- jika hanya kepada hukum Intern Bavaria, maka hukum warisan Bavaria
yang diberlakukan
COUR DE CASSATION dalam putusannya tahun 1878, telah menerima penunjukan
kembali hukum Perancis dan menggunakan hukum Intern Perancis. Warisan Forgo
jatuh ketangan Pemerintah Perancis.
Dalam kasus tersebut:
- menurut hukum Perancis, tidak dikenal adanya pembagian warisan
kepada saudara alamiah anak ALK. Dalam hal ini HPI menunjuk hukum
Bavaria.
- HPI Bavaria à penunjukkan kepada hukum Perancis.
Bavaria: untuk benda bergerak, berdasarkan hukum domisili faktual si
Pewaris.
Penunjukkan pertama bersifat Gesamtverweisung, dan penunjukkan yang kedua
bersifat Sachsnormverweisung. Sehingga yang berlaku hukum intern Perancis.
Hukum prancis Hukum Bavaria

51
Disusun oleh Dominique Virgil & tim (FH UI 2015)

*panah atas : penunjukkan I kepada Hk. Pewaris


* Panah bawah : Penunjukkan II kepada Hk prancis bedasarkan domisili

Double Renvoi à foreign court theory. Konsep yang dianut pengadilan Inggris.
Ketika kasus renvoi masuk ke pengadilan Inggris, maka hakim Inggris akan menjadi
seolah-olah hakim di pengadilan negara lain.
1. Penunjukan I: X à Y
2. Penunjukan II: Y à X (untuk lanjut ke penunjukan III, negara Y harus menjadi
negara yang menerima Renvoi. Yang tidak menerima Renvoi adalah
contohnya Italia.)
3. Penunjukan III: X à Y
Pada penunjukan II bisa terjadi sachnorm-verweisung atau gesamtverweisung.
Apabila Y adalah negara yang menerima Renvoi, maka akan gesamtverweisung.
Apabila Y adalah negara yang menolak Renvoi, maka akan sachnormverweisung.
5 negara yang menolak renvoi: Belanda, Italia, Yunani, Austria, Mesir.

Jika dalam satu kasus HPI, salah satu negara domisili berhadapan dengan 5 negara
tersebut, maka penunjukkan ke negara tersebut sifatnya: sachnormverweisung à
tidak ada penunjukkan kembali, tapi langsung penunjukkan kepada kaidah hukum
intern.
Kalau menerima renvoi à skemanya single renvoi, gesamtverweisung baru
sachnormverweisung
Kalau menolak renvoi à langsung sachnormverweisung.

Contoh kasus:
Re ANNESLEY (Renvoi diterima)
Ny. Annesley WN Inggris, domisili dan meninggal (1942) di Perancis, membuat
testament / wasiat dlm bentuk hukum Inggris, yang mengakibatkan anak laki-lakinya
tidak mendapatkan warisan.
(HPI Inggris Vs HPI Perancis):

52
Disusun oleh Dominique Virgil & tim (FH UI 2015)

HPI Inggris wasiat syah, sedangkan HPI Perancis mengenal adanya “legitima forci”
yang memberikan hak pada sang anak sekurangnya sepertiga bagian harta warisan
dalam kasus ini:
1. Hakim Inggris menggunakan FCD, bertindak seolah hakim Perancis;
2. HPI Perancis (prinsip nasionalitas) menunjuk hukum Inggris;
3. HPI Inggris (prinsip Domisili) menunjuk Hukum Perancis;
dengan menggunakan hukum intern Perancis wewenang Ny. Annesley dalam
membuat surat wasiat dibatasi, maka anak lelakinya mendapatkan warisan
berdasarkan “legitima forci”.

Ross vs Waterfield
Ross (WN Inggris berdomisili di Italia) membuat testamen yang mana anak nya tidak
mendapatkan apa apa. Dimana seluruh warisannya diserahkan kepada Ny. Caroline
Lucy Waterfield (sepupunya). Kemudian anaknya tersebut menggugat ke PN Inggris,
ia meminta legitimate portie sesuai hukum Italia.
Hakim Inggris kembali berkhayal bahwa dia akan duduk sebagaimana hakim Italia.
Karena Italia menolak renvoi, sehingga dia tidak mau ditunjuk kembali, maka bersifat
sachnormverweisung. Sehingga hakim memakai hukum intern Inggris.

Praktek Renvoi di Indonesia


1. Catatan administratif pada Kantor Catatan Sipil tahun 1922 à isi surat
edarannya adalah dalam SE ini dijelaskan sikap apakah yang harus diambil
dari pegawai dalam pernikahan dimana keduanya atau salah satunya adalah
orang asing.
2. Perkara Armenian Nasrani (PN Semarang, 1928)
3. Perkara Pallisemen seorang British India (PN Medan, 1925)

PRO-RENVOI KONTRA-RENVOI
1. Memberi keuntungan praktis 1. Renvoi tidak logis: karena dengan
2. Penunjukkan secara keseluruhan menerimanya akan terjadi suatu
penunjukan kembali secara ad
infinitim (berputar saja)

53
Disusun oleh Dominique Virgil & tim (FH UI 2015)

3. Jangan “plus royaliste que le roi” 2. Penyerahan kedaulatan legislative


(bersifat lebih raja dari raja itu 3. Renvoi membawa ketidakpastian
sendiri) hukum
4. Keputusan yang berbeda 4. Membawa kesukaran-kesukaran
5. Terjadi harmoni dari keputusan-
keputusan

Renvoi di Indonesia
Dalam hukum positif Indonesia belum ada peraturan mengenai Renvoi.
Indonesia menerima renvoi: buktinya? Praktek pengadilan / yurisprudensi, ada 2:
- British – India
- Armenia Nasrani

KUALIFIKASI

Pokok persoalan:
1. Apakah yang diartikan oleh suatu istilah atau terminologi hukum?
2. Bagaimanakan suatu istilah harus dikualifikasikan? Diklasifikasikan?
3. Untuk itu, fakta-fakta harus dimasukkan ke dalam pengertian-pengertian
hukum yang berlaku. à menentukan sistem hokum manakah yang
mendefinisikan pengertian-pengertian yang terdapat dalam kaidah HPI atau
kualifikasi mana yang berlaku.
Permasalahan timbul karena:
1. Polysemy: suatu istilah yang memilik banyak makna atau konsep didalamnya
à a term may express several concepts depending on the contexts which is
used. Contoh: Jus Civile sebagai civil law yang berarti private law atau roman
law yang berlaku bagi roman citizen.
2. Synonymy: beberapa istilah yang memiliki satu makna yang sama.
a. Binomial expressions or legal doublets
Contoh: acknowledge and confess; act and deed; will and testament;
terms and conditions; law and order; null and void
b. Trinomial expressions or legal triplets

54
Disusun oleh Dominique Virgil & tim (FH UI 2015)

Contoh: cancel, annul and set aside; convey, transfer, and set over;
name, constitute and appoint.

Kualifikasi: penggolongan suatu peristiwa atau hubungan hukum yang terjadi ke


dalam sistem kaedah-kaedah hukum perdata internasional dan hukum materiil
nasional.
Dapat dilakukan baik pada lapangan hukum publik, hukum pidana maupun hukum
perdata.

Ada 2 macam kualifikasi:


• Qualification of law: penggolongan atau pembagian semua kaedah-
kaedah hukum yang ada, menurut kriteria yang ditentukan lebih dahulu.
Misalnya pembagian ke dalam hukum perjanjian, hukum penanaman
modal, hukum waris, hukum perseorangan, dan sebagainya.
Bisa juga disebut sebagai penggolongan seluruh kaidah hukum ke dalam
kategori hukum tertentu yang telah ditetapkan sebelumnya.
• Qualification of facts: penggolongan / penyalinan hukum dari fakta-fakta
sehari-hari kedalam istilah hukum, fakta-fakta tersebut dimasukkan
kedalam kotak-kotak hukum / bagian-bagian hukum yang telah tersedia
(kaedah hukum yang bersangkutan). Dengan kata lain, kualifikasi fakta
adalah kualifikasi terhadap sekumpulan fakta dalam suatu peristiwa hukum
untuk ditetapkan menjadi satu atau lebih peristiwa hukum, berdasarkan
kategori hukum dan kaidah hukum dan sistem hukum yang dianggap
berlaku.
Proses kualifikasi fakta mencakup langkah-langkah sebagai berikut:
- Kualifikasi sekumpulan fakta dalam perkara dan mendefinikasikan
peristiwa hukum yang dihadapi itu berdasarkan dan ke dalam
kategori/klasifikasi hukum yang sudah ada dalam sistem hukum
tertentu. Melalui serangkaian upaya menilai dan menyistematisasi
sekumpulan fakta yang dihadapi dalam perkara, orang kemudian
mencoba mendeskripsikan atau medenifisikan peristiwa yang
dihadapinya sebagai satu atau beberapa peristiwa hukum tertentu.

55
Disusun oleh Dominique Virgil & tim (FH UI 2015)

- Kualifikasi sekumpulan fakta yang telah dikualifikasikan tadi dalam


kaidah-kaidah hukum yang dianggap harus berlaku ( The Applicable
Law )

Contoh:
1. Persetujuan Orang Tua untuk Menikah
Apakah persetujuan orang tua merupakan:
a. Bentuk perbuatan hukum/formalities; atau
b. Masalah substantif?
Izin orang tua bagi mereka yang berusia di bawah:
c. Pasal 6 ayat (2) UU No. 1/1974: di bawah 21 tahun
d. Pasal 42 BW: di bawah 30 tahun.
2. Dewasa (1): Hukum Indonesia
• Pasal 830 BW: di atas 21 tahun;
• Pasal 7 UU No. 1/1974: 16 tahun untuk Perempuan, dan 19 tahun untuk
laki-laki;
• Pasal 1 angka 1 UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak dan Pasal 1
angka 26 UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan: di atas 18 tahun.
• Pasal 81 ayat 2 UU 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan:
a. SIM A, B dan D: 17 tahun
b. SIM B1: 20 tahun
c. SIM B2: 21 tahun
3. Dewasa (2) Hukum Asing
Article 233 Ned. BW: Registered partnership.
Article 14 Switzerland Civil Code: has reached the age of 18.
Article 11 People’s Republic of Chine Civil Code: 18 or over shall bea n adult.
4. Perkawinan (2)
Indonesia: Membuat keluarga yang bahagia
Article 30 & 31 Ned. BW:
a. Marriage may be entered into by two persons of a different or of the same
gender.
b. The law consideres a marriage only in its legal civil relationships

56
Disusun oleh Dominique Virgil & tim (FH UI 2015)

c. Man and woman must both have reached the age ot eighteen years in order to
be allowed to enter into a marriage.
5. Perjanjian Perkawinan / Nuptial Agreement / Premptial Agreement / Marital
Agreement
Pasal 29 ayat (1) UU 1/1974: Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan
kedua pihak atas perjanjian bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang
disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan.
Section 1.8.1 Ned. BW: A nuptial agreement may be concluded by the prospective
spouses before their marriage (prenuptial agreement) or during their marriage
(postnuptial agreemnt). A Nuptial agreement must entered into force with a notarial
deed.
The Switzerland Civil Code (Chapter 2): A marital agreement may be concluded before
or after the wedding. The marital agreement must be executed as a public deed and
signed by the parties and, where applicable, by the legal representative.
6. Harta Bersama / Marital Property
Pasal 35 UU Perkawinan: Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi
harta bersama
Section 1.7.1. Ned BW: By operation of law a marital community of property (sama
kaya Indonesia)
Switzerland Civil Code (Chapter 2)
The marital property regime of participation inacquired property comprises the
property acquired during the maariage and the individual property of each spouse.
Under a marital agreement, spises may declare acquired property to be individual
property set aside for professional or business use
7. Locus Contractus
Contract between persons (pihak tidak ada di tempat):
a. Mailbox theory: biasa dipakai oleh negara Anglo Saxon. Jika ada
kontrak yang dilakukan namun para pihak tidak bertemu secara
muka/beda tempat. Contoh: ada seorang pengusaha di Singapura (A)
menawarkan barang dagangannya ke seorang pengusaha yang ada di
London (B). Penawaran yang disampaikan A akhirnya diterima oleh B.
Kemudian B mengirimkan surat penerimaan penawaran ke Singapura.
Berdasarkan Mailbox Theory, Locus Contractus-nya adalah tempat

57
Disusun oleh Dominique Virgil & tim (FH UI 2015)

dimana jawaban atas penerimaan penawaran itu dikirimkan, yang


artinya adalah di London. Karena Locus Contractus di London, maka
Lex Loci Contractus adalah Hukum Inggris.
b. Acceptance theory: biasa dipakai oleh negara Eropa Kontinental.
Contoh: ada pengusaha batik dari Jogja (A), mengirimkan penawaran
batik ke desainer di Paris (B). B setuju untuk membeli 100 kodi batik
Jogja milik A. Berdasarkan Acceptance/Declaration/Arrival Theory,
Locus Contractus-mya adalah tempat diterimanya jawaban atas
penerimaan penawaran itu, yang artinya adalah di Jogja. Karena
Locus Contractus di Jogja, maka Lex Loci Contractus adalah Hukum
Indonesia.
Jika ada perselisihan antara penggunaan kedua teori ini karena kasusnya
adalah hubungan antara Negara Anglo Saxon dan Eropa Kontinental, maka
semua akan bergantung dengan Hakimnya dan dibawa ke muka
Pengadilan mana?
8. Locus Delicti
Dalam hal Locus berbeda, di manakah terjadinya perbuatan melanggar hukum
(tort)?
a. Tempat di mana akibat terjadi? (The Last Event Theory – Amerika
Serikat): tempat di mana akibat hukum itu dirasakan.
b. Tempat di mana PMH terjadi? (The Real Place of the Tort – Perancis):
tempat di mana sebenarnya PMH itu terjadi

Macam-Macam Kualifikasi (Sudargo):


1. Kualifikasi menurut Lex Fori
Kualifikasi dilakukan menurut hukum sang hakim. Pengertian-pengertian
hukum yang dihadapi dalam kaidah-kaidah HPI harus dikualifikasikan menurut
sistem hukum negara sang hakim sendiri.
Pencetus: Franz Khan dan Bartin.
Pengecualian:
• Kualifikasi kewarganegaraan.

58
Disusun oleh Dominique Virgil & tim (FH UI 2015)

Tidak dilakukan menurut hukum dari forum hakim. Menentukan siapa yang
merupakan warga negara dari suatu negara harus ditentukan secara
khusus dan mutlak oleh negara yang bersangkutan sendiri. Dengan kata
lain, Lex Causae yang dipergunakan.
• Kualifikasi mengenai Benda-benda yang bergerak dan tidak bergerak à
ditentukan oleh “lex rei sitae”
• Kualifikasi terhadap maksud para pihak di bidang kontrak à pihak-pihak
bebas menentukan sendiri hukum yang mereka kehendaki
• Jika ada persetujuan-persetujuan antara negara “berupa kovensi-konvensi
mengenai kaidah-kaidah HPI”
• Kualifikasi dari Perbuatan Melanggar Hukum
• Kualifikasi pengertian-pengertian yang digunakan oleh Mahkamah
Internasional
Cara kerja kualifikasi Lex Fori:
• Kualifikasi primer dilakukan menurut Lex Fori
Kualifikasi Primer adalah kualifikasi yang perlukan untuk dapat menemukan
hukum mana yang harus dipergunakan. Untuk dapat menentukan Hukum Asing
manakah yang dipergunakan, harus dipakai kaidah-kaidah HPI Lex Fori.
Memberikan kepastian tentang pengertian-pengertian, i.e. “domisili”, “pewarisan”,
atau “Locus Contractus”
• Kualifikasi Sekunder dilakukan menurut Lex Causae
Kualifikasi Sekunder adalah kualifikasi lebih jauh menurut Hukum Asing yang
sudah ditentukan oleh Kualifikasi primer. Jika ada perbedaan antara Kualifikasi Lex
Causae dengan Kualifikasi lex fori, tidak dapat diubah karena hukum yang sudah
ditentukan sebagai hukum sudah berlaku. Kualifikasi Sekunder tidak dapat
mengurangi penentuan hukum yang harus diberlakukan
2. Kualifikasi menurut Lex Causae
Kualifikasi dilakukan menurut sistem hukum dari mana pengertian ini berasal.
Materinya berdasarkan hukum yang dipilih. Dengan kata lain, kualifikasi
menurut lex causae menyatakan bahwa kualifikasi harus dilakukan sesuai
dengan sistem serta ukuran dari keseluruhan hukum yang bersangkutan
dengan perkara.
3. Kualifikasi secara Otonom

59
Disusun oleh Dominique Virgil & tim (FH UI 2015)

Kualifikasi ini berdasarkan Methodos Comparative (perbandingan hukum).


Kualifikasi ini terlepas dari salah satu sistem hukum tertentu. Pengertian-
pengertian hukum yang dipergunakan dalam kaidah HPI dianggap sebagai
pengertian untuk masalah HPI yang berlaku secara umum.
Kualifikasi ini paling bagus, walaupun sulit, karena dalam kualifikasi ini harus
melaksanakan dulu perbandingan hukum atau menganalisis hukum.

Macam-macam Kualifikasi (Bayu Seto): ada lima, yaitu


1. Kualifikasi Lex Fori
2. Kualifikasi Lex Causae
3. Kualifikasi Bertahap
Bertitik tolak dari keberatan terhadap teori kualifikasi Lex Causae. Kualifikasi
tidak mungkin dilakukan berdasarkan Lex Causae saja, sebab sistem hukum
apa/mana yang hendak ditetapkan sebagai Lex Causae masih harus
ditetapkan terlebih dahulu. Maka proses kualifikasi ada 2 tahap:
• Kualifikasi Tahap Pertama
Dilakukan dalam rangka menemukan lex causae. Dilakukan berdasarkan
Lex Fori. Kaidah-kaidah HPI Lex Fori harus ditentukan melalui kualifikasi
yang juga didasarkan pada kaidah-kaidah internal dari lex fori. Pada tahap
ini orang berusaha mencari kepastian tentang pengertian hukum, untuk
kemudian menetapkan kaidah HPI apa dari lex fori yang akan digunakan
untuk menetapkan Lex Causae.
• Kualifikasi Tahap Kedua
Dilakukan setelah hakim menetapkan sistem hukum yang merupakan lex
causae. Kualifikasi pada tahap ini harus dilakukan berdasarkan lex causae
yang telah ditetapkan.
4. Kualifikasi Analitis / Otonom
5. Kualifikasi HPI
Tokoh: G. Kegel. Adapun tujuan yang hendak dicapai oleh kaidah HPI haruslah
diletakkan dalam konteks kepentingan-kepentingan HPI, yaitu:
• Keadilan dalam pergaulan internasional
• Kepastian hukum dalam pergaulan internasional

60
Disusun oleh Dominique Virgil & tim (FH UI 2015)

• Ketertiban dalam pergaulan internasional


• Kelancaran lalu lintas pergaulan internasional
Karena itu, pada dasarnya masalah bagaimana proses kualifikasi harus
dijalankan tidaklah dapat ditetapkan terlebih dahulu, melainkan merupakan hal
yang baru akan ditetapkan setelah penentuan kepentingan HPI apa yang
hendak dilindungi oleh suatu kaidah HPI tertentu.

Kelebihan dan kekurangan masing-masing kualifikasi:


Kelebihan Kekurangan
Lex Fori 1. Perkara lebih cepat selesai, karena Rasa keadilan yang tidak
hanya menggunakan hukum terpenuhi oleh para pihak, karena
nasional Hakim mengabaikan hukum asing yang
2. Hukum nasional tidak ada semestinya dapat diterapkan
kontaminasi dari hukum asing dalam kasus tertentu.
(kedaulatan negara utuh)
Lex Lebih memenuhi rasa keadilan bagi 1. Perkara lebih memakan waktu

Causae para pihak lama, karena hakim


membutuhkan waktu untuk
mempelajari hukum asing
2. Dapat mengganggu sendi-
sendi hukum nasional

Kualifikasi di Indonesia: sistem Lex fori

Tahap-Tahap Pemeriksaan Suatu Perkara HPI:


1. Menentukan Pengadilan mana yang berwenang memeriksa perkara
HPI;
Penentuan ini didasarkan/dengan bantuan “titik-titik taut primer”. Jika
pengadilan Indonesia yang berhak memeriksa, maka HPI dan Hukum Acara
Indonesia yang akan diberlakukan.
2. Menentukan jenis atau soal apakah peristiwa HPI itu, perkara adopsi, atau
perkawinan atau PMH atau pidana. Pada tahap ini dilakukan kualifikasi dari

61
Disusun oleh Dominique Virgil & tim (FH UI 2015)

fakta-fakta, disini baru diketahui lex forinya, karenanya pengkualifikasian ini


hanya dapat dilakukan menurut lex fori.
3. Dengan berdasarkan lex fori, dicari hukum mana yang berlaku, untuk itu harus
dicari “titik-titik taut sekunder” guna menemukan hukum yang harus berlaku:
lex causae.
a. Kadang-kadang lex causae ini adalah lex fori juga, maka selanjutnya
diteruskan menurut lex fori;
b. Lex causae ditentukan letak benda tak bergerak, maka sistim hukum
yang berlaku lex situs;
c. Ditentukan oleh tempat terjadinya perjanjian (lex loci contractus),
tempat dilangsungkannya perjanjian (lex loci solutionis) atau tempat
terjadinya perkawinan (lex loci celebrationis);
d. Bisa juga lex causae ini ditentukan oleh tempat tinggal terakhitr atau
tempat asal seseorang (lex domicile)
4. Setelah lex causae, maka kualifikasi dan penentuan perkara HPI dilakukan
menurut lex causae, kecuali jika lex causae memberi hasil yang:
a. bertentangan dengan “kepentingan umum lex fori, maka lex fori yang
berlaku, atau
b. lex causae tidak mengatur persoalan HPI yang bersangkutan.
5. Penunjukan kembali (Renvoi)
Dalam mencari lex cause, jika yg dimaksud “hukum asing” seluruh kaedah
hukum asing termasuk kaedah HPI, maka ada kemungkinan HPI asing itu
menunjuk kembali kepada lex fori, atau kepada hukum asing yang kedua /
lainnya, inilah yang disebut persoalan renvoi (penunjukan kembali dan
penunjukan lebih lanjut).

CONTOH KASUS: ANTON V. BARTOLO (THE MALTASE MARRIAGE CASE –


1889)
Pokok perkara:
Sepasang suami istri warga negra Inggris bedomisili di Malta (jajahan Inggris) dan
melangsungkan pernikahan mereka di Malta à Setelah pernikahan, mereka pindah
tetap dan berdomisili di Aljazair (jajahan Prancis) dan memperoleh lewarganegaraan

62
Disusun oleh Dominique Virgil & tim (FH UI 2015)

Prancis à Semasa hidupnya di Prancis, suami membeli sebidang tanah produktif di


Prancis à Suami meninggal dunia dan setelah itu istrinya menuntut ¼ bagian dari
hasil produksi tanah Perkara diajukan di pengadilan Prancis (Aljazair).
Beberapa titik taut (connecting factors) yang tampak diantara sekumpulan fakta
diatas menunjukkan bahwa:
• Inggris (Malta) adalah locus celebrationis[8] sehinga hukum Inggris relevan
terhadap kasus ini lex loci celebrationis
• Prancis (Aljazair) adalah domicilli setelah perkawinan (matrimonial
domicile), kewarganegaraan setelah mereka pindah, situs dimana benda
(tanah) terletak, dan tempat perkara diajukan. Oleh karena itu, hukum
Prancis relevan terhadap perkara ini, secara berurutan, sebagai lex
domicilli matrimonium, lex patriae, lex situs dan lex fori.
Proses perkara penyelesaian:
• Perkara adalah perkara HPI karena adanya unsur asing antara fakta-fakta
perkara dan karena itu hakim harus menetapkan hukum apa yang harus
diberlakukan (lex cause)
• Hakim melihat, baik dalam hukum Inggris maupun hukum Prancis adanya
dua kaidah HPI yang pada dasarnya sama, yaitu bahwa:
o Masalah pewarisan tanah harus tunduk pada hukum dimana tanah
terletak, bedasarkan asas lex rei sitae.
o Masalah tuntutan janda atas hak-haknya terhadap harta perkawinan
(matrimonial right) harus diatur oleh hukum dimana para pihak
berdomisili pada saat perkawinan diresmikan (lex loci celebrationis)/
Persoalan bagi hakim :
• Sekumpulan fakta seperti dalam kasus ini, bagi hukum Prancis (lex fori)
harus dikualifikasikan sebagai masalah pewarisan tanah,
sedangkan bedasarkan hukum Inggris (lex loci celebrationis) perkara
semacam ini dikualifikasikan sebagai perkara hak-hak janda atas harta
perkawinan (matrimonial right)
• Persoalan kualifikasi berdasarkan hukum Prancis (lex fori) atau berdasark
hukum Inggris (hukum asing) akan membawa pengaruh terhadap proses
penyelesaian sengketa sebab hakim menyadari bahwa:

63
Disusun oleh Dominique Virgil & tim (FH UI 2015)

o Jika perkara dikualifikasikan sebagai perkara pewarisan tanah


(berdasarkan lex fori), kaidah HPI Prancis akan akan menunjukkan
kearah hukum intern Prancis sebagai lex cause dan tuntutan akan
ditolak sebab berdasarkan hukum Prancis, seorang janda tidak berhak
mendapatkan bagian dari harta warisan.
o Jika perkara dikualifikasikan sebagai perkara matrimonial right
(berdasarkan hukum Inggris), kaidah hukum Prancis akan menunjuk ke
arah itern Inggris sebagai lex cause, dan berdasarkan hukum Inggris,
tuntutn janda akan dikabulkan sebab berdasarkan hukum itern Inggris
seorang janda memiliki hak atas hasil tanah itu sebagai dari harta
perkawinan.
Penetapan: Pengadilan Prancis akhirnya menetapkan bahwa perkara
dikualifikasikan sebagai masalah harta perkawinan dan memutuskan perkara
berdasarkan lex loci celebrationis (hukum Inggris) serta mengabulkan tuntutan
janda. à menggunakan kualifikasi menurut lex causae

KETERTIBAN UMUM

Beberapa definisi:
1. Gautama: “Kaidah-kaidah hukum asing yang sebenarnya harus diperlakukan
menurut ketentuan-ketentuan hukum perdata internasional Indonesia, tidak
akan dipergunakan, bilamana kaidah-kaidah tersebut bertentangan dengan
ketertiban umum dan kesusilaan baik.”
2. Wirjono Prodjodikoro: “Bahwa sukar sekali untuk mengadakan suatu ukuran
bagi pengertian ketertiban umum. penentuan suatu ukuran ini juga amat
dipersukar oleh kenyataan bahwa pengertian ketertiban umum kini
mengandung anasir-anasir mengenai perasaan, sedangkan penentuan
ukuran adalah hasil pekerjaan pikiran belaka.
3. Goodrich: “Public policy is an extremely vague and general term and it is
well to distuingish the connotation of that phrase as it applies to the purely
internal affairs of a State and it should be used in the Conflict of Laws”

64
Disusun oleh Dominique Virgil & tim (FH UI 2015)

Ketertiban umum: lembaga dalam HPI yang memungkinkan sang Hakim untuk
mengenyampingkan hukum asing yang seharusnya diberlakukan sesuai dengan apa
yang diatur dalam ketentuan HPI, karena dianggap bertentangan dengan sendi-sendi
asasi Hukum Nasional sang Hakim.
à lembaga ketertiban umum merupakan penyimpangan atas apa yang seharusnya
terjadi berdasarkan penerapan HPI suatu negara.

Lembaga ketertiban umum hanya dipakai sebagai tameng dan bukan sebagai
suatu pedang untuk menusuk hukum asing. Dengan kata lain, fungsinya hanya
defensif, hanya sebagai perlindungan, tidak supaya secara aktif kita meniadakan
hukum asing.

Dua fungsi lembaga ketertiban umum dalam HPI:


• Fungsi positif
Yaitu menjamin agar aturan tertentu dari lex fori tetap diberlakukan (tidak
dikesampingkan) sebagai akibat dari pemberlakuan hukum asing yang
ditunjuk oleh kaidah HPI atau melalui proses pendekatan HPI, terlepas dari
hukum mana yang seharusnya berlaku, atau apapun isi kaidah / aturan lex
fori yang bersangkutan.
• Fungsi negative
Yaitu untuk menghindarkan pemberlakuan kaidah-kaidah hukum asing jika
pemberlakuan itu akan menyebabkan pelanggaran terhadap konsep-
konsep dasar lex fori.

Persyaratan ketertiban umum: Hukum asing yang seharusnya diberlakukan harus


benar benar manifestement incompatible (benar-benar sangat menusuk perasaan).

Relativitas dan Aktualitas Ketertiban Umum


1. Faktor Waktu (ratione temporis)
Contoh: seseorang yang berkewarganegaraan Spanyol memilih kembali ke
tempat tinggalnya dulu di Perancis agar dapat bercerai dengan suaminya
(karena hokum di Spanyol pada zaman itu, yang menggunakan prinsip

65
Disusun oleh Dominique Virgil & tim (FH UI 2015)

nasionalitas, tidak memperbolehkan perceraian) dengan menggunakan factor


domisili. Namun, karena faktor waktu, saat ini belum tentu italia masih
memberlakukan hukum tersebut.
2. Factor tempat
Contoh: nyonya Ferrari kemudian kembali lagi ke tempat orang tua nya
(Perancis)
3. Factor intensitas (inlandsbeziehungen): pengaruh terhadap masyarakat
setempat. Contoh kasus: Tembakau Bremen
a. Kalau factor intensitas besar, dampak terhadap masyarakat besar,
maka mungkin teori/ prinsip ketertiban umum dapat dipakai.
b. Banyak dan eratnya hubungan perkara yang bersangkutan dengan
keadaan di dalam negeri si pelaksana hukum.
Konsepsi ketertiban umum bersifat dinamis yang dipengaruhi oleh factor tempat
dan waktu. Perubahan tersebut terkait dengan perubahan pandangan-pandangan
dan aliran-aliran yang hidup dalam suatu masyarakat (faktor politik, ekonomi, sosial,
dll). à pengecualian untuk tindakan yang bersifat barbar.
Aktualitas Ketertiban Umum: setiap Negara mempunyai konsep dan pengertian
masing-masing mengenai ketertiban umum
Oleh karena itu, seringkali lembaga ketertiban umum dikaitkan dengan muatan politis.
à antara lain dalam policy making dari suatu Negara-bangsa. à karena ini, Negara-
negara Anglo-saxon menyatakan ketertiban umum = public policy.

*dari Bu Mutiara:
Ketertiban umum di negara sosialis tidak relevan à menggunakan dualisme:
- Italia – Perancis: ketertiban umum as a sword, not as a shield. à negara
sosialis menggunakan konsep ini.
- Jerman dan Indonesia : ketertiban umum sebagai ‘rem darurat’ à dipakai
seirit mungkin.
- Inggris: act of state doctrine à pihak yudikatif dalam menilai satu tindakan
negara sebagai ketertiban umum atau tidak à melihat eksekutifnya.
Kalau negara tersebut adalah negara merdeka dan berdaulat, maka itu
tidak melanggar ketertiban umum.
Kasus Luther v. Sagor, Kasus Princess Paley Olga v. Weiss

66
Disusun oleh Dominique Virgil & tim (FH UI 2015)

Kalau negara tersebut bukan negara yang merdeka dan berdaulat,


tindakan tsb bisa dianggap melanggar ketertiban umum.
Poligami di negara-negara yang bukan menggunakan hukum Islam: bisa dianggap
bertentangan dengan ketertiban umum.
Poligami di negara-negara hukum Islam: tidak bertentangan dengan ketertiban umum

Beberapa hal yang berkaitan dengan ketertiban umum:


1. Perbudakan
2. Kematian perdata: dimana seseorang tidak dapat bertindak di dalam hukum.
AS punya kematian perdata.
Indonesia tidak mengenal kematian perdata à hakim Indonesia bisa menolak kasus-
kasus yang berkaitan dengan kematian perdata karena Indonesia tidak mengenal itu.
3. Perkawinan poligami
4. Perkawinan sesama jenis
5. Nasionalisasi tanpa ganti rugi
Nasionalisasi masuk kedalam tanggung jawab Negara. Karena masuk tanggung
jawab Negara, maka masuk regulasi Negara. Nasionalisasi adalah pengambilalihan
hak milik pribadi oleh Negara. Nasionalisasi disebut juga dengan eksproriasi.
Nasionalisasi harus diikuti dengan pembayaran ganti rugi. Pada zaman dahulu,
pembayaran ganti rugi, diharapkan memenuhi Adequat, Prompt, dan effectife.
Adequat : sesuai dengan harga pasar, prompt : segera dibayar. Effective: uang nya
ada. Saat ini, pembayaran ganti rugi harus di sesuaikan dengan kemampuan ekonomi
dari pembayar à yang diberlakukan Indonesia adalah presentasi keuntungan bersih
dari hasil penjualan tembakau (dalam kasus tembakau bremen). Konfiskasi adalah
nasionalisasi tanpa ganti rugi à barbaris.

Konsepsi Ketertiban Umum


Niederer membagi 3 macam konsepsi Ketertiban Umum dalam Teori HPI:
1. Konsepsi Romawi (Perancis & Italia)
Perancis: Ordre Public mengandung segala sesuatu yang membenarkan
dipergunakannya hukum sendiri (lex fori) dalam persoalan-persoalan HPI. Kaidah-
kaidah asing yang bentrok dengan kaidah-kaidah Perancis tidak dapat diperlakukan.
Ordre Public tidak dipandang sebagai suatu pengecualian terhadap keberlakuan hukum
asing.

67
Disusun oleh Dominique Virgil & tim (FH UI 2015)

Italia (Mancini): Ordre Public merupakan salah satu dari 3 pilar bangunan HPI:
a. Prinsip Nasionalitas;
b. Ketertiban Umum;
c. Pilihan Hukum.
2. Konsepsi Jerman
Konsepsi Vorbehaltklausel dipandang sebagai suatu pengecualian. Pasal 30 EGBGB
(lama):
Pemakaian dari peraturan asing tidak dimungkinkan apabila pemakaian itu akan
bertentangan dengan kesusilaan baik (Guten Sitten) atau dengan maksud tujuan lain
dari perundang-undangan Jerman”
Pasal 6 Public Policy EGBGB 2015: A provision of the law of another country shall
not be applied where its application would lead to a result which is manifestly
incompatible with the fundamental principles of German law. In particular,
inapplicability ensues, if its application would be incompatible with civil rights.
• Pelanggaran terhadap Gutten Sitten hanya akan dianggap terpenuhi bila kaidah
asing bersangkutan benar-benar secara sangat keras dianggap menusuk perasaan
kesusilaan yang berlaku bagi rakyat Jerman.
• Akan tetapi, sekali-kali tidak dapat orang menganggap ketidaksamaan belaka,
sebagai bertentangan dengan Gutten Sitten.
3. Konsepsi Anglo-Saxon.
Dipergunakan istilah Public Policy;
Politik memegang peranan penting untuk menentukan apakah penggunaan suatu
kaidah/hukum asing akan melanggar Ketertiban Umum
Act of State Doctrine: adalah lebih baik untuk menyerahkan penentuan apakah sesuatu
kaidah asing adalah melanggar paham keadilan kita atau tidak kepada Eksekutif dan
kiranya Yudikatif tidak banyak campur tangan.
a. Luther v. Sagor
b. Princess Paley Olga v. Wiess
4. Konsepsi Sosialis
Lembaga Ketertiban Umum dipandang sebagai “ein polistitshces Korrektiv” untuk
dapat mengesampingkan kaidah-kaidah hukum Soviet yang dipandang merugikan
kepentingan-kepentingan negara-negara kapitalis

68
Disusun oleh Dominique Virgil & tim (FH UI 2015)

Tetapi, bagi hakim Soviet, hanya atas alasan-alasan tertentu dapat dikesampingkan
pemakaian hukum asing, karena dianggap bertentangan dengan Ketertiban Umum
Soviet
Apabila ada kaidah-kaidah asing yang bertentangan dengan prinsip-prinsip utama yang
termaktub dalam UUD Soviet, maka tidak akan dipergunakan oleh hakim Soviet
Art 123 of the Constitution of the Union of Soviet Socialist Republics.
Prinsip Ko-Eksistensi: HPI Soviet selalu berpegangan pada pengakuan kenyataan
bahwa sistem ekonomis kapitalis dan sosialis dapat hidup berdampingan dengan damai.

Ketertiban Umum Internasional dan Ketertiban Umum Nasional


• Ketertiban Umum Internasional
o Ketertiban Umum Ekstern
o Kaidah-kaidah yang bermaksud untuk melindungi kesejahteraan
negara dalam keseluruhannya
o Bersifat sebagai pengecualian pasif
• Ketertiban Umum Nasional
o Ketertiban Umum Intern
o Kaidah-kaidah yang hanya membatasi kebebasan perseorangan
§ Kaidah hukum perdata yang berkenaan dengan perkawinan
o Bersifat membatasi secara aktif

KESIMPULAN
Gautama: Kaidah-kaidah hukum asing yang sebenarnya harus diperlakukan
menurut ketentuan-ketentuan hukum perdata internasional Indonesia, akan
dikesampingkan bilamana kaidah-kaidah tersebut bertentangan dengan ketertiban
umum dan kesusilaan baik.

PENYELUNDUPAN HUKUM

Hubungan penyelundupan hukum dengan ketertiban umum:

69
Disusun oleh Dominique Virgil & tim (FH UI 2015)

Keduanya dipakai agar hukum nasional berlaku dengan mengenyampingkan hukum


asing, selain itu juga mempertahankan hukum nasional terhadap kaidah-kaidah
hukum asing.

Hubungan antara penyelundupan hukumdan ketertiban umum

TIDAK ADA HUBUNGANNYA karena

Ketertiban umum Penyelundupan hukum


1. Dalam ketertiban umum justru 1. Dalam penyelundupan hukum ,
mengesampingkan keberlakuan hukum asing dianggap tidak
hukum asing dalam hukum berlaku karena penerapannya
nasional karena bertentangan dipandang sebagai suatu
dengan sendi asasi hukum penyelundupan hukum.
nasional kita.

2. Bersifat umum 2. Bersifat khusus (harus dilihat


dulu berdasarkan kasus nya
apakah benar hal terssebut
merupakan penyelundupan
hukum) à case by case basis
3. Hukum nasional dianggap 3. Berlakunya hukum nasional
berlaku dan tetap berlaku dianggap tepat pada suatu
peristiwa tertentu

Contoh: WN Swedia melangsungkan perkwainan di Indonesia. Tapi pasangan


tersebut adalah pasangna sesame jenis. Dalam hal yang demikian, karena di
Indonesia tidak mengenal perkawinan sejenis, maka hokum swedia di kesampingkan.
à ketertiban umum

Perbedaan penyelundupan hukum dengan ketertiban umum:


- Ketertiban umum: pada umumnya suatu hukum nasional dianggap
tetap berlaku
- Penyelundupan hukum: hukum nasional tetap berlaku dan dianggap
tepat pada suatu peristiwa tertentu saja, yakni karena ada orang
yang untuk mendapatkan berlakunya hukum asing telah melakukan
suatu tindakan yang bersifat menghindarkan pemakaian hukum
nasional. Di sini terdapat penyelundupan hukum, oleh karena itu
kaidah asing tidak akan digunakan karena pemakaiannya dengan
cara yang tidak dibenarkan.

70
Disusun oleh Dominique Virgil & tim (FH UI 2015)

Sifat penyelundupan hukum:


- Dalam hubungan hukum diberlakukan hukum yang lain dari yang seharusnya
- Tujuannya adalah untuk mewujudkan akibat hukum yang dikehendaki dengan
memberlakukan hukum yang lain tersebut. (atau agar dapat terhindar dari
suatu akibat hukum yang tidak dikehendaki)
- Niatan tidak baik/jahat, tidak jujur/licik
- Titik taut yang harusnya diberlakukan diganti menjadi titik taut yang lain

Teori objektif : tidak disyaratkan ada iktikad buruk untuk menyelundupkan hokum
Teori subjektif : titik berat pada iktikad buruk. à animus fraudandi (ada niat tipu
muslihatnya) à di Indonesia, teori subjektif itu sering disebut juga sebagai niat tipu
muslihat

Akibat Penyelundupan Hukum: Adagium yang terkenal adalah Fraus Omnia


Corrumpt, yang artinya penyelundupan hukum mengakibatkan perbuatan hukum itu
dalam keseluruhannya tidak berlaku.

Contoh Penyelundupan Hukum dalam HATAH INTERN:


Para pihak yang hendak menikah melakukan perubahan nama, serta mengaku telah
melakukan peralihan agama untuk dapat melangsungkan perkawinan mereka tanpa
melalui kesulitan-kesulitan.
Perubahan Agama (Perkara Tjoa Peng An berubah nama menjadi Kartopawiro dan
mengaku telah memeluk agama Islam berusaha menikah lagi sewaktu dia masih
mempunyai istri pertama)
Contoh lainnya:
1. Perkawinan
Contoh: Gretna green story
Tempat untuk mereka yang tidak mempunyai izin dari orang tua. Kalo di Inggris yang
mau menikah tanpa izin orang tua, maka mereka akan pergi ke Gretna green di
Scotlandia. Yang menikahkan adalah blacksmith atau tukang besi, yang istilahnya
sebagai hakim perdamaian bertugas dan bisa meresmikan. Dimulai dari masa 1754.
Perkawinannya sah berdasarkan hokum scotlandia. Pernikahan-pernikahannya
dikatakan sebagai the blacksmith marriage.

71
Disusun oleh Dominique Virgil & tim (FH UI 2015)

2. Perceraian
Kasus Estlandse Naturalisatie (Van A) : Van A (WN Belanda) menikah dengan seorang
perempuan di Cirebon. Ia kemudian mengajukan gugatan cerai. dalam
perceraiannya maka van A tunduk pada ketentuan dalam BW. Namun, dalam
ketentuan BW tidak ada alasan yang sah untuk Van A bisa cerai dengan istrinya,
maksimal hanya pisah meja dan tempat tidur. Maka Van A pergi ke Eslandia dan
menaturalisasi diri menjadi warga Negara Eslandia. Maka sebagai WN Eslandia, ia
mengajukan gugatan cerai di pengadilan Eslandia menggunakan alasan bahwa ia
telah berpisah 3 tahun. Kemudian setelah dinyatakan cerai oleh pengadilan di
Eslandia, Van A menikah lagi di belanda. Oleh karena itu, perceraiannya terjadi secara
sah dluar sepengetahuan istrinya. Istrinya kemudian mengajukan permohonan ggatan
di pengadilan belanda, ia meminta agar kewarganegaraan Eslandia nya dibatalkan,
selanjutnya perkawinan Van A dengan istrinya yang sekarang di batalkan dan dihapus
dari daftar perkawinan di belanda.
Hakim Belanda memutuskan bahwa cara Van A memperoleh kewarganegaraan
Eslandianya dengan cara penyelundupan hokum. Namun, hakim belanda (pengadilan
rechtbang amsterbang) tidak memiliki kewenagnan untuk membatalkan
kewarganegaraan Van A. Putusan ini dikritik oleh Meyers, bahwa harusnya diterima
karena sudah diketahui secara jelas kalo memperoleh WN Eslandia itu dengan cara
penyelundupan hokum. Kemudian menurut hakim, permasalahan ini tidak bisa di
selesaikan dengan lex fori. Dengan demikian, begitu juga dengan perkawinannya,
hakim tidak bisa membatalkannya karena perkawinannya dilakukan berdasarkan Van
A sebagai WN Eslandia.
Dalam kasus kedua terkait dengan sengketa warisan (istri kedua dan anaknya lawan
anak dari istri pertama), hakim belanda dalam memutus perkara, memang Van A
bukan WN Belanda. Walaupun telah dinyatakan bahwa berdasarkan prinsip
nasionalitas di atur oleh WN Eslandia. Namun kemudian hakim belanda melihat
bahwa Van A tidak pernah kembali ke Eslandia, dia tidak pernah mengerti Bahasa
Eslandia. Oleh karena hal tersebut, maka hakim belanda mengatakan hukum yang
berlaku adalah hokum belanda. Walaupun pernikahan sudah secara sah, dan
dicatatkan dalam catatan sipil belanda, namun anaknya terkena dalam ketentuan BW
yagn mengatakan bahwa “anak yang lahir pada waktu ayahnya masih terikat dengan
perkawinan lain, maka anak tersebut berstatus anak zinah dan tidak bisa di ubah
menjadi anak sah. Dengan demikian, anak tersebut tidak bisa mendapatkan waris
dari Van A”.

72
Disusun oleh Dominique Virgil & tim (FH UI 2015)

Prof. Gautama menyatakan bahwa “dalam permasalahan WN selama memenuhi


ketentuan2 hukum, ada satu lagi yang harus di penuhi yaitu suatu proses peralihan
social. Dari proses peralihan social ini akan diliat apakah seseorang itu serius benar2
mau menjadi WN Negara terkait.”
3. Naturalisasi
Kasus Nottebohm (Guatemala vs Lightenstate)
4. Domisili
Kasus Perceraian Zevenburgen.
5. Kontrak
Putusan MA No. 32/PK/PDT/2011: seorang WN Jerman meminjam nama
orang Indonesia yang sepakat membuat perjanjian dimana seakan-akan orang
Indonesia ini berhutang sebidang tanah kepada WN Jerman tersebut. Hakim
mengatakan bahwa karena perjanjiannya adalah penyelundupan hukum, maka
kontraknya dianggap tidak pernah ada à 1320 BW.

73

Anda mungkin juga menyukai