NPM : 1806219482 Prodi : Reguler Filsafat Hukum – The Role of Nusantara
Kontribusi telah diberikan Indonesia dalam perjalanan awal terbentuk hukum
internasional awal abad ke – 17 melalui doktrin hukum mare liberum milik Hugo Grotius mengenai perdagangan bebas yang memiliki pengaruh terhadap perkembangan hukum maritim internasional dan perdagangan internasional. Perlawanan penduduk Indonesia terhadap regulasi WTO menunjukkan bahwa adanya praktik perdagangan bebas memunculkan ketidasamaan nilai dan prinsip dengan nilai di Indonesia. Perselisihan antara doktrin Grotius tentang mare liberum dan mare clausum Freitas dalam perkembangan hukum internasional modern di awal abad ketujuh belas sangat ditentukan oleh posisi kebebasan dan keberadaan kedaulatan di antara komunitas India Timur. Grotius menyatakan dalam perjanjiannya bahwa ada entitas politik terorganisir di Hindia Timur yang dia anggap merdeka dan berdaulat. Doktrin dominan, mare liberum, membuka jalan bagi pembentukan kebebasan navigasi dan perdagangan, serta penggabungan praktik perdagangan bebas ke dalam doktrin hukum. Jelas bahwa Grotius tidak menciptakan rezim perdagangan bebas; melainkan, itu adalah pernyataannya tentang keadaan budaya nyata di wilayah Hindia Timur. Grotus lebih menyukai individualisme daripada komunalisme. Filsafat dipengaruhi oleh kebajikan Protestan yang dinilai dari materialisme suatu aspek bukan cita – cita moral. Landasan liberalisme, menurut Max Weber, adalah etika protestan yang merupakan sumber utama budaya hukum barat. Kapitalisme adalah mekanisme eksploitasi. Hubungan sosial dan hukum di antara penduduk - yang diikat oleh hukum adat -, telah dilakukan berdasarkan keharmonisan sosial. Menurut Soepomo, keharmonisan antara hukum adat Indonesia ada dalam budaya hukum yang lebih menghargai komunalisme daripada nilai-nilai individualisme, bahwa hukum adat lebih melekat pada romantisme daripada nilai-nilai rasionalisme. Tradisi budaya mereka terdiri dari cita-cita seperti komunalisme, romantisme, dan spiritualisme. Bagi masyarakat Indonesia, bertindak dengan cara yang bertentangan dengan budaya hukumnya sangatlah menantang. Tidak mengherankan bahwa masyarakat telah disosialisasikan, jika tidak dilembagakan, selama beberapa dekade. Dengan adanya kriminalisasi dalam peraturan perdagangan multilateral berbasis WTO, maka terdapat beberapa cara untuk mengatasi masalah tersebut, antara lain adalah memperjuangkannya untuk hukum perdagangan multilateral yang lebih adil. Hukum internasional yang adil harus dapat mengakomodasi kepentingan masyarakat barat dan timur. Jika hukum internasional yang adil, perdagangan bebas ingin dicapai, normanya harus mampu menyerap nilai-nilai budaya hukum asli Indonesia, dari mana lembaga perdagangan bebas asli dan praktik sehari- hari berasal.