Anda di halaman 1dari 24

PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA: ARTIKEL ILMIAH

PENELITIAN KETERKAITAN KASUS EFEKTIVITAS UNDANG-


UNDANG DARI SEGI PEMERATAAN PEMBANGUNAN

Nama Kelompok : Stufenbau

Nomor Kelompok : 08

Anggota Kelompok : Ukhti Dyandra, Andini Astarianti, Justin

Alexander Halim, Nicholas Glenn Dimas,


Mohammad Akila Wargadalem, Ashilla
Ghinayya Sidiqqa, Mutiara Chairunissa, Saniya
Fatharani, Namira Adjani, Rafi Damar, Gianty
Rusita

Penerimaan Mahasiswa Baru


Fakultas Hukum Universitas Indonesia
2018
Depok

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Secara universal, undang-undang akan selalu direvisi untuk mengikuti


perkembangan zaman dan memenuhi kebutuhan manusia yang kian kompleks.
Tentunya, bukanlah hal yang mustahil jika undang-undang yang telah dirancang
dengan penuh pertimbangan dan kajian oleh para legislator tidak seefektif yang
diharapkan oleh masyarakat dalam penerapan dan pemberlakuannya. Oleh karena itu,
tujuan hukum yang ingin dicapai kadangkala terganggu oleh rintangan-rintangan di
dalam lapangan yang belum terhitung dalam pembuatan undang-undang tersebut dari
segala macam jenis faktor, dimana pemerintah gagal dalam mengidentifikasi
kebutuhan setiap daerah dan dalam rangka pemenuhannya.

Walaupun undang-undang ditetapkan secara menyeluruh dan mengikat


terhadap seluruh warga negara tanpa pengecualian, yang berarti berlaku secara
nasional dalam konteks se-Indonesia, namun pada realitanya situasi dan kondisi
dimana hukum tersebut dibuat dan disahkan, yaitu di satu tempat, tidak sama dengan
area pemberlakuannya, yaitu di seluruh Indonesia, negara kepulauan dengan 34
provinsi berbeda dan tingkat kesejahteraan yang juga berbeda. Indonesia merupakan
negara yang sangat besar dalam jumlah pulau dan wilayah, serta rakyat yang sangat
banyak yang mana membuatnya harus mampu memenuhi seluruh fasilitas dan
pelayanan yang dibutuhkan oleh rakyat. Adapun pelayanan yang dimaksud mulai dari
pelayanan kesehatan, pendidikan, dan lain sebagainya. Namun, tidak jarang negara
justru lalai dalam menyediakan pelayanan bagi masyarakat dan juga di sisi lain lalai
dalam menegakkan keadilan bagi rakyatnya, yang mana tercermin dalam kasus yang
akan menjadi pokok bahasan dalam kajian ini.

1
Menurut pasal 28H UUD 1945, hukum menyatakan bahwa negara wajib
memenuhi berbagai macam hak warga negaranya mulai dari (1) Hak untuk hidup
sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang
baik dan sehat, Hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan, (2) Hak untuk mendapat
kemudahan dan perlakuan khusus guna mencapai persamaan dan keadilan, (3) Hak
atas jaminan sosial, (4) Hak atas milik pribadi yang tidak boleh diambil alih
sewenang-wenang oleh siapapun1. Namun, pada penerapannya, negara belum mampu
menjamin hak-hak tersebut secara keseluruhan sehingga keadilan yang diharapkan
masyarakat justru bertolak belakang dengan apa yang direalisasikan. Fasilitas umum
yang tidak merata di masyarakat, tenaga pendidikan yang kurang, tenaga medis yang
tidak memadai sampai ke daerah-daerah kecil, aksesibilitas yang menyulitkan warga
di daerah terpencil, hukum yang tidak memperhatikan aspek kondisi dan keadilan,
dan lain sebagainya, adalah beberapa dari sekian banyak kegagalan pemerintah dalam
memenuhi hak warga negaranya.

Ketidakseimbangan upaya penegakan hukum dengan pembangunan yang juga


tidak merata, tercermin dalam kasus Misran yang diangkat sebagai contoh yang
penulis anggap sebagai studi kasus yang terandalkan dalam mendemonstrasikan
ketidakmerataan yang masih menjadi sebuah masalah terkait pembuatan undang-
undang. Kasus Misran seolah memberi isyarat bahwa pemerintah lalai dalam
memberikan jaminan kesehatan bagi masyarakat. Misran merupakan seorang perawat
yang bertugas pada sebuah daerah di pedalaman Kalimantan Timur, Kuala Samboja.
Misran diduga melakukan pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 39 Tahun
2009 tentang kesehatan melarang perawat berpraktik kemarfasian di luar keahlian dan
kewenangan, karena telah memberikan resep obat kepada masyarakat desa yang
membutuhkan pertolongannya.

Menurut UU Nomor 39 Tahun 1999 Pasal 39 yang berbunyi “Setiap orang


berhak untuk mendirikan serikat pekerja dan tidak boleh dihambat untuk menjadi
anggotanya demi melindungi dan memperjuangkan kepentingannya serta sesuai

1 Republik Indonesia. Undang-Undang Dasar 1945 tentang Warga Negara. Bab X pasal 28H

2
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”2Tidak seharusnya Misran dijatuhi
hukuman penjara karena sulit bagi masyarakat di pedalaman untuk mendapatkan
tenaga medis yang dapat memberikan mereka pertolongan, ditambah Misran sudah
mengabdi selama 18 tahun di daerah tersebut, dan Misran memberikan resep agar
masyarakat bisa mendapatkan pengobatan untuk kesembuhan raganya.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana kronologis berjalannya kasus Misran?


2. Apa dampak hukum yang muncul dari kasus Misran?
3. Apa penyebab utama dari terjadinya kasus Misran?
4. Apa solusi jangka panjang yang dapat dilakukan terkait kasus sejenis dengan kasus
Misran?
5. Bagaimana sikap kita sebagai mahasiswa hukum dalam menyikapi kasus seperti
ini?

C. Tujuan

Meningkatkan kesadaran masyarakat akan kondisi kesehatan di daerah 3T


(terluar, tertinggal, terpencil) karena belum semua masyarakat menikmati kondisi
kesehatan yang baik, hal ini dikarenakan belum adanya distribusi pelayanan
kesehatan yang merata di Indonesia. Masyarakat di daerah 3T kondisinya sulit
dijangkau,sehingga masyarakat yang tinggal di daerah 3T belum bisa mendapatkan
layanan kesehatan yang baik. Kemudian memaparkan keadaan yang sesungguhnya
mengenai kurangnya sumber daya terutama SDM khususnya di bidang kesehatan di
daerah 3T. Kurangnya sumber daya manusia merupakan salah satu penyebab kondisi
kesehatan yang kurang baik di daerah 3T. Tanpa adanya tenaga ahli seperti dokter,
perawat dan lainnya, tidak ada orang yang bisa memberikan pengobatan. Pemaparan

2 Pasal 39 UU Nomor 39 Tahun 1999

3
bersifat positif untuk meningkatkan kesadaran pemerintah dalam meningkatkan
kualitas pelayanan kesehatan masyarakat.

Lalu mendiskusikan konflik antara penyediaan kesehatan dan batas


kewenangan seorang penyedia kesehatan. Karena tidak adanya tenaga ahli, muncul
mantri yang memberikan pengobatan pada warga. Mantri adalah juru rawat kepala
atau pembantu dokter.3 Adanya mantri yang memberikan pelayanan kesehatan kepada
masyarakat memudahkan masyarakat untuk mendapatkan pengobatan. Namun,
mantri dianggap tidak memiliki kewenangan untuk memberikan pengobatan sehingga
mantri dipidana. Terjadi konflik antara masyarakat yang membutuhkan mantri untuk
menikmati pelayanan kesehatan dengan mantri yang tidak boleh memberikan
pengobatan karena bukan wewenangnya. Setelah itu, meninjau undang-undang dan
membahas efektivitas undang-undang tersebut menurut latar belakang, penerapan dan
kondisi lapangan dalam kasus Misran

D. Manfaat PKM AI kasus Misran

Terdapat beberapa manfaat dari studi kasus berikut, agar dapat


mengeksploitasi kelemahan dari undang-undang kesehatan & kefarmasian yang
berlaku. Dengan adanya kajian kasus misran, dapat diperoleh kelemahan dari undang-
undang sehingga akan memunculkan solusinya. Kemudian sosialisasi mengenai kasus
Misran kepada masyarakat. Adanya kasus misran ini, akan menyadarkan masyarakat
untuk selalu memperhatikan hukum yang berlaku. Lalu Meningkatkan dukungan
untuk revisi undang-undang yang lebih memenuhi 3 tujuan hukum yaitu kepastian
hukum, pemanfaatan dan keadilan. Dalam undang-undang tersebut pengobatan hanya
boleh diberikan dari tenaga kedokteran atau kefarmasian, akan tetapi tidak semua
daerah mendapat tenaga kerja tersebut. karena itu perlu ada revisi sehingga
masyarakat bisa mendapat pelayanan kesehatan dengan baik. Lalu menarik perhatian
dari otoritas yang berwenang untuk membekali daerah 3T dengan sumber daya yang

3 Pengertian mantri https://kbbi.web.id/mantri diakses pada 17 Agustus 2018

4
memadai. Keterbatasan tenaga kerja ahli membuat daerah 3T jarang menikmati
pelayanan kesehatan yang baik. Dengan adanya kajian ini dapat menarik perhatian
pemerintah atau lembaga lainnya untuk menempatkan sumber daya yang memadai.

BAB II: METODE

A. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan tidak dilakukan langsung di tempat kejadian yaitu di


pedalaman di desa di Kalimantan dikarenakan jarak dan waktu yang tidak
memungkinkan untuk melakukan observasi langsung. Tempat penelitian dilakukan di
Perpustakaan Universitas Indonesia dengan dikerjakan bersama-sama dan
menghabiskan waktu selama 3 hari yaitu, hari Rabu, 15 Agustus 2018, Kamis, 16
Agustus 2018 dan Jumat, 17 Agustus 2018

B. Metode Pengumpulan Data

Metode yang kami gunakan untuk penelitian ini adalah Penelitian Deskriptif.
Menurut Suryabrata (1983), Penelitian Deskriptif bertujuan untuk membuat
deskripsi secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta dan sifat populasi atau
daerah tertentu. Dalam penelitian deskriptif, peneliti menjelaskan beberapa fakta yang
didapat lalu kami menginterpretasikan fakta tersebut. Penelitian deskriptif yang kami
lakukan berupa studi kasus. Selain itu, kami juga menggunakan Pendekatan
Kualitatif. Pendekatan Kualitatif berupa pendekatan yang berupa kata - kata tentang
seseorang dan tidak dapat dilakukan dengan perhitungan statistik atau tabel & grafik.

C. Teknik Pengumpulan Data

5
Penelitian ini merupakan hasil dari riset dari sumber-sumber yang sudah ada
sebelumnya (pre-existing resources) , oleh karena itu riset yang dilakukan dapat
digolongkan sebagai riset sekunder sebagaimana ketentuan pengambilan data
ditempuh murni dari referensi data yang telah dikemukakan di berbagai sumber yang
kredibel dan berbobot secara substansi. Teknik pengumpulan data tersebut
merupakan teknik yang menurut para penyusun penelitian ini paling ampuh
menimbang bahwa topik yang dipilih merupakan topik yang jika dilakukan melalui
riset primer maka akan memerlukan sumber daya yang melebihi anggaran dan
ketersediaan yang melampaui kemampuan para penyusun penelitian ini. Wawancara
dan sumber eksternal lainnya seperti kuesioner, focus group discussion, dan polling
juga tidak dapat dilakukan karena alasan praktik yang tidak memungkinkan atau
relevansi yang kurang dengan penelitian tersebut.

BAB III: HASIL DAN PEMBAHASAN

Misran, seorang mantri desa yang merupakan seorang PNS dan Kepala
Puskesmas Pembantu Kuala Samboja serta merupakan seorang perawat menjadi satu
– satunya harapan bagi kelurahan Kuala Samboja, Kabupaten Kutai Kertanegara,
Provinsi Kalimantan Timur. Faktanya, Misran merupakan satu – satunya tenaga
kesehatan yang berada di kelurahan tersebut. Misran merupakan Tenaga Kesehatan
berstatus Pegawai Negeri Sipil yang ditugaskan oleh Pemerintah Kabupaten/Dinas
Kesehatan pada Puskesmas Pembantu (Pustu) sebagai Pimpinan Puskesmas dan/atau
tenaga keperawatan di daerah terpencil, tidak ada tenaga medis (dokter) dan tenaga
kefarmasian (apoteker/asisten apoteker) di Kabupaten Kutai Kertanegara, sehingga
seluruh pelayanan kesehatan terhadap warga dibebankan kepada Misran. Melayani
pasien menjadi tanggung jawab Misran sebagai tenaga kesehatan satu – satunya di
kabupaten tersebut karena tuntutan di bidang kesehatan dalam masyarakat setempat
sangat lah tinggi. Lokasi yang terpencil serta jarak yang jauh dari rumah sakit yang

6
berada di kota dan butuh waktu dua jam untuk mencapai rumah sakit tersebut menjadi
tantangan yang besar bagi Misran untuk melayani masyarakat. Sumber daya manusia
berupa tenaga kesehatan menjadi tantangan tersendiri, faktanya bahwa tidak ada
dokter di kelurahan tersebut sehingga Misran sebagai Kepala Puskesmas Pembantu
Kuala Samboja harus turun tangan dalam berkontribusi bagi masyarakat setempat.
Misran bekerja dalam bidangnya selama delapan belas tahun lamanya, pengalaman
demi pengalaman ditempuhnya sehingga Misran dipercaya oleh masyarakat setempat.

Awal peristiwa dimulai dari Misran memberikan resep obat penyembuh rasa
sakit kepada pasien. Tiba – tiba, tanpa pemberitahuan, pada tanggal 4 Maret 2009,
Misran ditangkap oleh Kepolisian Republik Indonesia Kalimantan Timur kemudian
Misran dibawa ke Mapolda Kalimantan Timur dengan tuduhan memberikan resep
tanpa keahlian. Misran ditahan selama delapan hari dalam sel, setelah itu Misran
diberikan status tahanan luar. Kemudian jaksa dan pihak kepolisian kabupaten Kutai
Kartanegara melanjutkan proses penyidikan kasus ini hingga membawa kasus ini
menuju meja hijau. Pada tanggal 13 Oktober 2009, pihak Kejaksaan Negeri
Tenggarong di Pengadilan Negeri Tenggarong menuntut Misran dengan tuntutan
sepuluh bulan penjara dan denda lima juta rupiah. Keputusan hakim Pengadilan
Negeri Tenggarong yang diketuai oleh Bahuri dengan hakim anggota Nugraheni
Maenasti dan Agus Nardiansyah pada tanggal 19 November 2009 mengadili
menjatuhkan putusan terhadap Misra sanksi pidana penjara selama tiga bulan dan
sanksi pidana denda sebanyak dua juta rupiah serta subsider satu bulan penjara.
Hakim menjatuhkan hukuman berdasarkan Undang – Undang Nomor 32 Tahun 1992
Tentang Kesehatan Pasal 82 Ayat (1) dan Pasal 63 Ayat (1). Pada tanggal 13 Oktober
2009 Pemerintah Indonesia mencabut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992
tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 100,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 3495) dan mengganti dengan
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

Akibat peristiwa ini, Misran merasa bahwa Undang – Undang tentang


Kesehatan sangatlah memberatkan perawat – perawat yang ada di seluruh Indonesia

7
khususnya daerah – daerah terpencil yang tidak mempunyai tenaga kesehatan yang
memadai. Fakta nya bahwa Undang –Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan Pasal 108 Ayat 1 dan Pasal 190 Ayat 1 tidak hanya menyerang perawat,
tetapi juga menyerang tenaga kesehatan lainnya selain dokter. Pada tanggal 10
Februari 2010, Misran bersama 8 mantri desa lainnya di Kalimantan Timur meminta
Mahkamah Konstitusi untuk melakukan Pengujian Undang-Undang (Judicial Review)
terhadap Undang - Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Pasal 108 ayat
(1) beserta penjelasannya dan Pasal 190 ayat (1). Kemudian Mahkamah Konstitusi
menelusuri pengajuan Judicial Review oleh Misran dan 8 mantri desa lainnya.
Mahkamah Konstitusi kemudian melakukan persidangan perbaikan permohonan pada
tanggal 5 April 2010 terkait dalil – dalil permohonan Misran. Lalu pada tanggal 6
Mei 2010, Mahkamah Konstitusi membuat persidangan terkait keterangan dari
berbagai pihak mengenai permohonan Misran, seperti dari pemerintah, saksi-saksi
dari Misran, Pihak Terkait Ikatan Apoteker Indonesia, Persatuan Perawat Nasional
Indonesia, dan Ikatan Dokter Indonesia.

Keterangan dari pemerintah mengenai permohonan ini adalah bahwa Pasal


108 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan adalah
dimaksudkan untuk mempertimbangkan secara hati-hati dan saksama akan bahaya
yang dapat timbul dalam penggunaan obat yang tidak sesuai peruntukannya karena
itu adalah tepat jika obat yang dipergunakan untuk masyarakat harus diberikan oleh
orang yang mempunyai kompetensi, keahlian, dan kewenangan untuk memberikan
obat tersebut. tenaga kefarmasian merupakan tenaga yang berwenang untuk
melakukan pekerjaan kefarmasian.4 Pekerjaan Kefarmasian sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan
kewenangan untuk itu. Pemerintah mengatakan apabila permohonan Pemohon
dikabulkan maka akan menimbulkan kekosongan hukum (rechtsvacuum) dan
kekacauan tentang pengaturan praktik kefarmasian, dapat menimbulkan peredaran,
perolehan, maupun pendistribusian obat-obatan dilakukan oleh pihak-pihak yang

4 Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian,
Pasal 1 Ayat (3)

8
tidak bertanggung jawab, kemudian perlindungan dan pengawasan terhadap
masyarakat atas penggunaan obat-obatan menjadi tidak terjamin, bahwa sudah
sewajarnya apabila pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan,
yang tidak memberikan dan mengutamakan pertolongan terhadap keselamatan jiwa
manusia dalam keadaan darurat tersebut diberikan sanksi hukum. Karena hal
demikian bertentangan dengan hak-hak setiap orang (masyarakat) untuk memperoleh
pelayanan kesehatan sebagaimana diamanatkan dan dijamin oleh konstitusi.
Pemerintah memberikan pernyataan bahwa permohonan pengujian Pasal 190 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, adalah tidak tepat dan
tidak relevan, bahkan jika permohonan dikabulkan menurut Pemerintah justru dapat
merugikan hak-hak masyarakat untuk memperoleh jaminan, perlindungan dan
pelayanan kesehatan pada saat darurat atau terjadi bencana.5

Menurut Ikatan Dokter Indonesia, Bahwa Pasal 108 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2009 sudah sesuai atau tidak bertentangan dengan UUD 1945,
tetapi seharusnya diikuti dengan penjelasan yang memadai di bagian penjelasan atau
dalam peraturan pelaksanaanya. Sebagian besar penemuan/pengembangan obat di
dunia ini ditemukan oleh dokter, farmasis, dokter gigi, dan dokter hewan dalam
proses menemukan obat tersebut ada proses penyimpanan, mengembangkan dan
penelitian bahan obat maupun obat tradisional. Sehingga seharusnya dokter, dokter
gigi maupun dokter hewan pun mempunyai wewenang terhadap obat mulai dari
menyimpan, menyerahkan, penelitian dan pengembangan obat baik ada maupun tidak
ada tenaga kefarmasian. Akan tetapi dalam penjelasan Pasal 108 maupun dalam
peraturan pelaksananya (Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009) hal ini tidak
tercantum, yang tercantum hanya tenaga kefarmasian. Padahal filosofi tenaga
kefarmasian adalah merubah/meracik sediaan farmasi dan pelayanan atas resep
dokter. Kemudian penjelasan Pasal 108 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2009 maupun Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tidak dijelaskan jenis obat
yang dimaksud dalam pasal tersebut, di Indonesia obat terbagi menjadi obat bebas,

5 Republik Indonesia, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 12/PUU-VIII/2010, hlm. 14

9
obat bebas terbatas, obat keras (daftar G), obat psikotropika dan obat narkotika.
Tenaga kesehatan seperti perawat maupun bidan mempunyai kewenangan
menyimpan obat bebas dan obat bebas terbatas. Seharusnya jenis obat serta tenaga
kesehatan mempunyai kewenangan yang tercantum dalam Penjelasan Pasal 108 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 maupun Peraturan Pemerintah Nomor 51
Tahun 2009 tetapi hal tersebut tidak tercantum. Akibat tidak tercantumnya jenis obat
tersebut, masyarakat, dokter, dokter gigi, dokter hewan, perawat maupun bidan dapat
terancam hukuman pidana. Konklusi yang ditarik oleh Ikatan Dokter Indonesia
adalah bahwa Ikatan Dokter Indonesia mengharapkan ada perubahan pada Penjelasan
Pasal 108 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 maupun Peraturan
Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009, sehingga pelayanan kesehatan terhadap
masyarakat tidak terganggu serta tenaga kesehatan yang melayaninya dapat
terlindungi oleh hukum.6

Menurut Ikatan Apoteker Indonesia, bahwa permohonan pengujian Pasal 108


ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Ikatan Apoteker
Indonesia mengusulkan untuk tetap tidak merubah atau menambah pasal yang
bersangkutan karena akan berakibat sangat luas yaitu praktik kefarmasian termasuk
pembuatan distribusi pelayanan penerbitan obat dapat dilakukan oleh setiap orang
dan tidak perlu mengacu kepada standar ilmu pengetahuan, profesi, etika atau moral
dan sekaligus tidak menjamin pasien memperoleh hak dasarnya dalam hak
memperoleh pelayanan kesehatan terbaik yang dimungkinkan.7

Persatuan Perawat Nasional Indonesia mengemukakan bahwa fakta empiris


dan yuridis tentang Undang-Undang Kesehatan merugikan perawat. Fakta di
lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar puskesmas induk dan hampir di seluruh
puskesmas terutama di daerah-daerah yang terpencil dipimpin seorang perawat dan
tenaga kesehatan yang bertugas di daerah terpencil, atau sangat terpencil, perbatasan
adalah tenaga perawat karena pemerintah belum mampu mendayagunakan dan

6 Ibid., hlm. 16
7 Ibid., hlm. 17

10
menempatkan tenaga medis yaitu dokter dan kefarmasian yang rasional di daerah
tersebut. Kemudian PPNI memaparkan bukti hasil penelitian Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Indonesia dan Departemen Kesehatan Republik Indonesia
tahun 2005 di Puskesmas kota dan desa 92% perawat melakukan diagnosa medis dan
93% perawat membuat resep. PPNI mengatakan bahwa pemberlakuan Pasal 108 ayat
(1) dan penjelasannya Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 merugikan hak
konstitusional para perawat dan juga berpotensi merugikan hak konstitusional seluruh
tenaga keperawatan yang bertugas di daerah terpencil yang tidak ada dokter, tidak ada
apotik, tenaga apoteker di seluruh wilayah Indonesia. Penjelasan Pasal 108 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 merupakan alasan pembenaran bagi seluruh
tenaga keperawatan di seluruh Indonesia untuk melakukan pekerjaan kefarmasian,
namun kewenangan tersebut dibatasi untuk memberikan obat bebas dan obat bebas
terbatas padahal dalam situasi darurat dan proses rujukan tidak bisa dilaksanakan
karena terkendala faktor kondisi geografis di wilayah, biaya, tenaga, jarak, dan
ketersediaan sarana transportasi.8

Beberapa keterangan dari saksi seperti DPRD Kabupaten Kutai Kartanegara,


Trisno Widodo, bahwa beliau kebingungan karena menurut keterangan Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten Kutai Kartanegara apa yang telah dilakukan oleh para perawat
sudah sesuai dengan juknis dan aturan yang dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan
tetapi menurut aparat penegak hukum baik polisi, kajati, dan pengadilan bahwa apa
yang selama ini dilakukan perawat bertentangan dengan hukum, yaitu melanggar
Undang-Undang Kesehatan. Kemudian keterangan dari saksi H. Abdul Jalal bahwa
Bahwa Pasal a quo tidak bisa diterapkan secara ideal di lapangan khususnya di
Kalimantan Timur yang mana asisten apoteker dan apoteker tidak ada di puskesmas
induk dan pembantu. Ketua Dewan Pertimbangan Persatuan Perawat Kalimantan
Timur, Edy Sukamto, mengatakan bahwa perawat seharusnya tidak mengerjakan
selain pekerjaannya. Tetapi di Kalimantan Timur melakukan pelayanan masyarakat
adalah untuk melindungi masyarakat tetapi pemerintah hendaknya juga

8 Ibid.

11
memperhatikan perawat yang bekerja atas dasar regulasi yang memang masih
berlaku9

Pada Rapat Permusyawaratan Hakim yang dihadiri oleh sembilan Hakim


Konstitusi yang diketuai oleh Moh. Mahfud MD, diputuskan bahwa Pasal 108 Ayat
(1) Undang – Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan bertentangan dengan
UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai bahwa tenaga kesehatan tersebut adalah tenaga
kefarmasian, dan dalam hal tidak ada tenaga kefarmasian, tenaga kesehatan tertentu
dapat melakukan praktik kefarmasian secara terbatas, antara lain, dokter dan/atau
dokter gigi, bidan, dan perawat yang melakukan tugasnya dalam keadaan darurat
yang mengancam keselamatan jiwa dan diperlukan tindakan medis segera untuk
menyelamatkan pasien. Kemudian penjelasan Pasal 108 Ayat (1) UU Nomor 36
Tahun 2009 tentang Kesehatan dianggap melanggar UUD 1945 dan dinyatakan tidak
memiliki hukum yang mengikat.10

Akibat dari putusan MK terkait kasus ini, Misran dan seluruh perawat di
Wilayah Indonesia yang tertinggal dapat dengan tenang memberikan pelayanan
kesehatan kepada masyarakat yang membutuhkan pertolongan medis. Kasus ini
disorot oleh banyak media dan diperbincangkan oleh masyarakat termasuk orang
yang bekerja di bidang kedokteran, kefarmasian, keperawatan, dan tentunya bidang
hukum. Misran dipanggil oleh banyak acara televisi, salah satu nya acara Mata Najwa
yang dipandu oleh Najwa Shihab. Banyaknya media yang meliput kasus ini
merupakan sarana bagi Misran untuk menyampaikan pesan bagi masyarakat
terutama perawat – perawat yang telah berusaha berkontribusi bagi masyarakat dalam
bentuk pelayanan kesehatan untuk tetap tenang dan tetap menjalankan kewajiban
sebagai tenaga kesehatan. Tentu hal ini menjadi pembelajaran bagi semua pihak
terkait ketidakmerataan sumber daya manusia dan apakah hukum dapat memfasilitasi
orang – orang di wilayah tertinggal yang berjuang untuk berkontribusi bagi
masyarakat setempat.

9 Ibid., hlm. 18
10 Ibid.,

12
Penyebab utama terjadinya masalah ini adalah ketidakmerataan
pembangunan. Terdapat banyak faktor yang menghambat pemerataan pembangunan
di Indonesia, salah satunya adalah luas wilayah daratan Indonesia yang mencapai
1.922.570 km² dan luas perairannya 3.257.483 km². 11 Hal ini membuat wilayah timur
terhambat untuk dilakukannya pembangunan karena pembangunan berpusat di
wilayah barat Indonesia terutama pulau Jawa. Karena wilayah laut Indonesia yang
luas, pengiriman sumber daya makanan, bahan bakar minyak, hingga tenaga ahli atau
sumber daya manusia lebih sulit untuk dilakukan. Walaupun kini terdapat banyak
sarana untuk melakukan hal itu semua termasuk kapal, tetapi untuk meraih wilayah –
wilayah terpencil merupakan masalah baru. Indonesia terdiri dari banyak sekali suku,
baik suku dalam maupun suku luar. Saat ini, masih ada banyak suku – suku dalam
dan desa di Indonesia yang susah untuk dijangkau karena terbatasnya transportasi dan
keadaan alam sekitar masih sangat membahayakan bagi orang untuk menjangkaunya
tanpa bantuan. Lokasi – lokasi desa yang terdapat di dalam hutan – hutan, rawa, dan
tengah pulau menyebabkan lokasi sulit untuk diraih. Masyarakat – masyarakat
setempat tidak dapat mengandalkan rumah sakit karena jarak dari desa mereka
menuju rumah sakit sangatlah jauh dan butuh berjam – jam untuk sampai ke lokasi
sedangkan banyak dari masyarakat yang membutuhkan pertolongan pertama di
bidang kesehatan. Keterbatasan sumber daya manusia di bidang kesehatan
menyebabkan sulitnya dibangun rumah sakit atau tempat – tempat yang menunjang
kesehatan di daerah – daerah terpencil karena kurangnya tenaga medis di Indonesia.

Penyebab kedua terjadinya hal ini adalah hukum di Indonesia belum


sepenuhnya memihak kepada keadilan. Keadilan adalah sifat (perbuatan, perlakuan,
dan sebagainya) yang adil.12 Definisi keadilan tentu bersifat subjektif karena setiap
hukum mempunyai parameter keadilan yang berbeda. Namun, berbeda jika hukum
yang dibentuk tidak dapat melindungi hak asasi dari warga negara. Dalam kasus ini,

11 Badan Pusat Statistik Indonesia, “Luas Daerah dan Jumlah Pulau Menurut Provinsi 2002 - 2016”,
diakses dari https://www.bps.go.id/statictable/2014/09/05/1366/luas-daerah-dan-jumlah-pulau-
menurut-provinsi-2002-2016.html, pada tanggal 17 Agustus 2018 pukul 19.59 WIB
12 KBBI, “Keadilan”, diakses dari https://kbbi.web.id/adil, pada tanggal 17 Agustus 2018 Pukul 20.02
WIB

13
pembentukan Pasal 108 Ayat (1) dan Pasal 190 Ayat (1) Undang – Undang Nomor 36
Tahun 2009 tentang Kesehatan sebelum di amandemen oleh Mahkamah Konstitusi,
tidak dapat melindungi hak asasi tenaga kesehatan selain farmasi dan dokter.
Faktanya, setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan
mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh
pelayanan kesehatan.13 Jika dalam undang – undang yang diperbolehkan untuk
memberikan resep obat dan sejenisnya adalah tenaga kefarmasian 14, maka hal ini sulit
diterapkan di Indonesia wilayah timur karena di wilayah timur, tenaga kefarmasian
dan apoteker sangatlah jarang. Seperti yang dijelaskan oleh Persatuan Perawat
Nasional Indonesia, bahwa hasil penelitian Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Indonesia dan Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 2005 di
Puskesmas kota dan desa 92% perawat melakukan diagnosis medis dan 93% perawat
membuat resep. Hal ini menjadi parameter bahwa lebih dari 90% perawat di
Indonesia melanggar Pasal 108 Ayat (1) dan Pasal 190 Ayat (1) UU Nomor 36 Tahun
2009 tentang Kesehatan. Hal ini menunjukan bahwa beberapa peraturan di Indonesia
belum dapat memfasilitasi hak asasi bagi warga negara dan pemberlakuan undang –
undang tidak diseimbangi dengan usaha pembangunan sumber daya manusia dalam
kasus ini. Bagaimana tenaga kesehatan sebagai warga negara diwajibkan untuk
melakukan upaya bela negara jika wewenang dalam melakukan pelayanan kesehatan
dibatasi oleh pembuat undang – undang itu sendiri. Terjadi nya dilema yang melanda
masyarakat yang ingin berkontribusi bagi masyarakat dikarenakan hukum yang
berlaku. Tidak hanya di bidang kesehatan, hal ini terjadi di bidang lain contohnya
adalah pendidikan. Kurang nya sumber daya manusia pengajar di wilayah timur
Indonesia menyebabkan masyarakat setempat harus berkontribusi bagi pendidikan
masyarakat setempat, namun faktanya bahwa syarat kualifikasi guru adalah memiliki
ijazah minimal Diploma. Tentunya hal ini tidak dapat diterapkan di wilayah
Indonesia timur terkait sumber daya guru yang sangat kurang. Hal ini terjadi di
beberapa bidang lainnya.

13 Republik Indonesia, Undang - Undang Dasar 1945, Pasal 28H Ayat (1)
14 Republik Indonesia, Undang - Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Pasal 108 Ayat
(1)

14
Penyebab ketiga adalah kurang nya nasionalisme yang tertanam di generasi
ini. Memilih profesi sesuai bidang masing – masing merupakan hak warga negara,
tetapi setiap negara berkewajiban untuk melakukan upaya bela negara dan
berkontribusi bagi negara.15 Manusia mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan
primer, sekunder, dan tersier. Akan tetapi, pada zaman sekarang, sifat nasionalisme
warga negara Indonesia berkurang. Banyak tenaga ahli dan sumber daya manusia
yang memilih untuk bekerja di bidang swasta dan bertujuan untuk mencari
keuntungan sebanyak – banyaknya atau memilih untuk bekerja di luar negeri karena
di Indonesia kurang dihargai. Dalam kasus ini, Tenaga dokter yang sebagian besar
berada di pulau Jawa, melakukan profesinya hanya untuk mementingkan kepentingan
sendiri. Orientasi kerja para dokter di Indonesia masih banyak yang tidak
mementingkan bangsa dan hanya mementingkan diri sendiri. Hal ini tentu sangat
disayangkan karena tenaga medis di Indonesia masih sangatlah kurang. Upaya
pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dokter yang mengabdi di
wilayah Indonesia timur masih sangatlah rendah. Sebagian tenaga kesehatan di
wilayah Indonesia timur menggunakan biaya sendiri demi mengabdi kepada bangsa.
Hal ini sangat disayangkan karena pemerintah bertanggung jawab merencanakan,
mengatur, menyelenggarakan, membina, dan mengawasi penyelenggaraan upaya
kesehatan yang merata dan terjangkau oleh masyarakat. 16 Pemerintah mempunyai
kewajiban untuk memfasilitasi seluruh kegiatan yang bertujuan untuk pembangunan
negara. Akan tetapi realitanya adalah bahwa pemerintah terkait belum dapat
mengimplementasikan undang – undang ini secara keseluruhan. Hal ini tentu
mempengaruhi kurangnya dokter dan tenaga farmasi sehingga dibutuhkan perawat
yang siap sedia dalam masyarakat setempat untuk melayani masyarakat di bidang
kesehatan yang diawasi kegiatan medis nya oleh pemerintah daerah.

Solusi yang dapat dilakukan untuk mencegah agar kasus seperti kasus Misran
tidak terjadi lagi dalam jangka waktu panjang merupakan tugas dan tanggung jawab
bersama, tidak hanya pemerintah, tetapi juga kita sebagai warga negara Indonesia.

15 Republik Indonesia, Undang - Undang Dasar 1945, Pasal 27 Ayat (3)


16 Republik Indonesia, Undang - Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Pasal 14 Ayat (1)

15
Hal pertama yang dapat dilakukan dari pemerintah adalah mengupayakan pemerataan
kesehatan dan pendidikan. Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas
pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang baik.17 Usaha konkret yang
telah dilakukan oleh pemerintah adalah adanya program KKN bagi mahasiswa
kedokteran untuk melakukan pengabdian terhadap bangsa di daerah – daerah yang
tertinggal. Tetapi usaha ini tidak cukup mengingat jumlah warga Indonesia yang tidak
sebanding dengan jumlah tenaga kesehatan yang ada di Indonesia. Pemerintah perlu
meningkatkan upah bagi dokter – dokter dan farmasi yang ingin mengabdi di wilayah
Indonesia timur sehingga dapat memicu para tenaga kesehatan untuk menjadi tenaga
kesehatan di wilayah timur Indonesia. Rotasi kerja dokter antar provinsi menjadi
solusi yang dapat dipertimbangkan bagi Menteri Kesehatan, seperti program
Kementrian Dalam Negeri terkait pemindahan PNS antar provinsi atau daerah.18
Pembangunan di bidang pendidikan tinggi perlu dikembangkan. Dalam memenuhi
syarat dan kriteria tenaga kesehatan19, tentu diperlukan media atau wadah untuk
meraih kualifikasi tersebut agar tenaga kesehatan dapat lebih maksimal dalam
melayani kesehatan masyarakat. Dalam UUD 1945 dijelaskan bahwa negara
memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang – kurangnya 20% dari anggaran
pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kemajuan peradaban serta
kesejahteraan umat manusia.20 Pemerintah dapat membangun universitas negeri baru
di wilayah timur guna memeratakan pendidikan tinggi di wilayah timur, serta
mengadakan transfer tenaga pendidikan tinggi ke wilayah timur Indonesia.

Solusi berikutnya yang dapat dijadikan sebagai pertimbangan adalah


menumbuhkan rasa nasionalisme di tingkat perguruan tinggi. Mahasiswa diberikan
rasa nasionalisme agar mau berkontribusi bagi bangsa. Pemerintah dapat
meningkatkan intensitas program nasionalisme dan masyarakat dapat
mengimplementasikan nilai Persatuan Indonesia dan Keadilan sosial bagi seluruh
17 Republik Indonesia, Undang - Undang Dasar 1945, Pasal 34 Ayat (3)
18 Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2003 tentang
Wewenang Pengangkatan, Pemindahan, dan Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil, Pasal 17 Ayat (1)
19 Republik Indonesia, Undang - Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Pasal 22 Ayat (1)
dan Ayat (2)
20 Republik Indonesia, Undang - Undang Dasar 1945, Pasal 31 Ayat (4)

16
rakyat Indonesia.21 Dalam kasus ini, solusi konkrit yang dapat dilakukan adalah
dengan mengadakan seminar mengenai nasionalisme secara rutin di bidang kesehatan
dan mengayomi para tenaga kesehatan agar ingin memberikan kontribusi bagi bangsa
dalam bentuk tenaga kesehatan di wilayah timur. Selanjutnya, pemerintah terkait
akan melakukan pendataan tenaga kesehatan yang ingin mengabdi di wilayah timur.
Lalu pemerintah akan menjamin keselamatan dan kesejahteraan tenaga medis yang
mendaftar pada program tersebut, kemudian selanjutnya pengaturan teknis dan
seterusnya. Konsep program seperti ini dapat dijadikan langkah awal bagi pemerintah
untuk memeratakan tenaga kesehatan di Indonesia serta menumbuhkan rasa
nasionalisme di bidang kesehatan.

Mengenai kasus Misran, seorang Mantri Desa yang dianggap tidak memiliki
keahlian dan kewenangan dalam melakukan pemberian obat menurut Pasal 108 ayat 1
Undang undang No 36 tahun 2009 ini memberikan pandangan bahwa ketidakadilan
hukum terjadi. Misran yang merupakan tenaga medis yang dirasa sangat dibutuhkan
oleh masyarakat di pelosok desa ini sepatutnya diapresiasi dengan usaha nya. Namun
dengan keterbatasan peraturan yang ada membuat Misran terjerat hukum dimana
undang-undang melihat bahwa Misran bukanlah “..tenaga kesehatan yang
mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan”.22 Disebutkan bahwa yang hanya dapat memberikan pertolongan
kesehatan tertentu adalah dokter. Hal ini dirasa sangat tidak memberi apresiasi bagi
mereka yang belum mendapatkan kewenangan disebut “dokter”. Bukan hanya itu, hal
ini dapat membuat mantri merasa dikriminalisasikan oleh UU tersebut.

Undang-undang tersebut dirasa tidak memberikan pandangan luas mengenai


pelosok desa. Menurut Eddy Halomoan, seorang pengacara Publik LBH Jakarta ,
sebagaimana, pada fakta nya Departemen Kesehatan maupun pemerintah belum
seluruhnya siap dalam adannya struktur medis khususnya di pelosok desa yang sulit
dijangkau. Karena ketidaksiapan dalam tenaga medis itulah, menyebabkan mantri

21 Republik Indonesia, Pancasila, Sila ke-3 dan ke-5


22 Republik Indonesia, Undang - Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Pasal 108 Ayat
(1)

17
atau bidan desa yang selama ini selalu ada di pelosok desa dirasa sangat membantu
bagi masyarakat khususnya pelosok desa dalam hal kesehatan, yang dimana
masyarakat ini sangat membutuhkannya. Pendapat Andi Hamzah, selaku pakar
pidana, berpendapat bahwa yang dilakukan oleh Mantri desa terpencil ini tidak
menyalahi hukum pidana , dikarenakan memang tidak ada orang yang memiliki
wewenang memberikan pertolongan di pelosok desa tersebut.

Namun di sisi lain, pengeluaran UU kesehatan tersebut juga memberikan


perlindungan bagi masyarakat luas. Hal ini juga merupakan upaya kesehatan. Upaya
kesehatan adalah setiap kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan yang dilakukan secara
terpadu, terintegrasi dan berkesinambungan untuk memelihara dan meningkatkan
derajat kesehatan masyarakat dalam bentuk pencegahan penyakit, peningkatan
kesehatan, pengobatan penyakit, dan pemulihan kesehatan oleh pemerintah dan/atau
masyarakat.23

Dengan adanya Kasus Misran ini, menjadi bentuk refleksi terhadap


pemerintah dalam menyiapkan keberadaan tenaga medis yang memiliki kewenangan
lebih banyak di pelosok desa terpencil. Selain itu, pemerintah harus lebih peduli
terhadap keberadaan mantri dan bidan desa dalam bentuk pemberian apresiasi serta
secara berkala memberikan bekal pengetahuan dalam bentuk apapun untuk
mendukung mereka dalam pembantuan kesehatan di pelosok desa. Meskipun begitu,
sebagai mantri dan bidan desa juga berkala dalam pelaporan kesehatan terhadap
pemerintah. Sehingga dari kedua sisi terdapat usaha usaha agar kesehatan desa
terpencil semakin maju dengan koordinasi yang baik diantara keduanya.

Kita sebagai Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia terlebih


mahasiswa hukum itu sendiri, sudah seharusnya peduli terhadap permasalahan
bangsa.24 Tidak hanya itu, tetapi kita patut meneladani sikap berperikemanusiaan dan

23Pasal 1 Ayat 11 UU No 36 tahun 2009

24 Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Pedoman Dasar Ikatan Keluarga Mahasiswa Fakultas
Universitas Indonesia, Pasal 6 Poin ke-5

18
berperikeadilan.25 Dengan kasus Misran ini, kita, sebagai Mahasiswa Hukum,
sepatutnya peduli akan masalah terlebih yang terjadi di pelosok desa sana. Karena hal
ini dapat membuka mata kita bahwa masih terdapat kurangnya keadilan bagi orang
yang sudah melakukan hal baik di tempat yang sulit dijangkau pada orang biasanya.
Selain itu, sepatutnya kita juga memberikan bantuan dukungan untuk Misran yang
sudah melakukan hal baik diluar keterbatasan yang ada. Selain itu, kita juga patut
meneladani sikap Misran yang sudah peduli terhadap sesama nya. Menurut kami, itu
bukan hal mudah dengan keterbatasan yang ada, dari sumber daya manusia hingga
lokasi, melakukan nya tanpa pamrih. Sikap Misran beserta rekan rekan mantri desa
sangatlah harus dicontoh. Sebuah tantangan yang harus diteladani oleh siapapun.

Selain itu dalam PD IKM FH UI disebutkan bahwa mahasiswa harus menjadi


orang yang berintegritas. Berintegritas berasal dari kata integritas yang artinya mutu,
sifat, atau keadaan yang menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi
dan kemampuan yang memancarkan kewajiban dan kejujuran. 26 Berintegritas dapat
dilakukan dengan banyak cara seperti konsisten, bertanggung jawab, dan juga dapat
dipercaya. Menurut kami, kita sebagai mahasiswa harus menjadi orang yang
berintegritas seperti yang dilakukan Misran. Misran termasuk orang yang sangat
berintegritas, walaupun dia bukan sebagai seorang dokter tetapi atas perlakuan yang
Ia berikan untuk membantu masyarakat terutama dalam bidang kesehatan membuat
Misran didatangi oleh masyarakat yang berada di desa tersebut untuk membantu
mereka dalam pengobatan suatu penyakit. Disini membuktikan bahwa Misran sebagai
perawat dapat dipercaya atas itikad baik yang telah Ia lakukan selama ini untuk
membantu masyarakat yang membutuhkan pertolongan medis. Sebagai mahasiswa
kita harus membiasakan diri untuk menjadi orang yang berintegritas, seperti
bertanggung jawab atas tugas yang telah diberikan untuk kita dan konsisten terhadap
apa yang ingin kita lakukan. Dengan membiasakan diri untuk menjadi orang yang
berintegritas kita dapat menjadi orang yang berguna bagi masyarakat dan juga
bangsa,

25 Ibid., Poin ke-6


26 http://kbbi.web.id/integritas (diakses pada tanggal 17 Agustus 2018 pukul 20.41)

19
Yang terakhir yaitu bertanggung jawab. Bertanggung jawab merupakan
perilaku yang harus dimiliki oleh setiap orang. Semakin kita bertambah umur
semakin besar pula tanggung jawab yang kita miliki. Maka dari itu, kita harus belajar
untuk bertanggung jawab sejak kita masih menginjakkan kaki di dunia perkuliahan
ini. Dalam kasus Misran, kita dapat melihat bahwa Misran sangat bertanggung jawab
atas apa yang menjadi tugas nya, yaitu memberikan pertolongan medis kepada
masyarakat di desa tersebut karena tugas beliau sebagai perawat. Yang telah
dijalankan Misran termasuk dalam pertolongan medis yang sangat dibutuhkan oleh
masyarakat setempat, terlebih lagi di desa tersebut tidak banyak tenaga medis yang
ada. Tanggung jawab beliau untuk membantu masyarakat tersebut harus menjadi
contoh yang baik untuk para mahasiswa. Untuk menjadi orang yang berkualitas,
kunci utamanya yaitu harus bertanggung jawab terhadap apapun yang menjadi
kewajiban kita.

IV. KESIMPULAN

Kasus Misran ini membuka pandangan masyarakat bahwa penegakan hukum


juga harus melihat keadaan serta dinamika yang terjadi di masyarakat. Seperti yang
kita ketahui dari kasus ini bahwa penyebab yang paling utama yang menyebabkan
Misran mengeluarkan resep yang bukan kewenangannya adalah karena kurangnya
tenaga medis yang memadai. Penegakan hukum dan pembangunan harus berjalan
berdampingan. Jangan sampai ada keadilan yang dilukai akibat lambatnya
pembangunan di satu sisi, namun di sisi lain penegakan hukum melaju dengan
secepat-cepatnya tanpa memperhatikan keadaan.

Penegakkan hukum yang menjatuhkan hukuman kepada Misran tidak salah,


selama pembangunan yang terjadi di Indonesia merata. Namun melihat kenyataannya,
keadaan di seluruh negeri ini jika kita lihat satu per satu masih jauh dari kata merata
itu sendiri. Misran yang niatnya membantu menyehatkan dan mensejahterakan
penduduk desanya pun malah harus dijatuhkan hukuman penjara.

20
Sesuai yang dikatakan Gustav Radbruch bahwa tujuan hukum adalah
keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan. Radbruch melahirkan teori ini di negara
yang menerapkan sistem hukum Civil Law dimana seringkali keadilan diciderai atas
nama kepastian hukum, kepastian hukum diciderai atas nama keadilan, kemanfaatan
diciderai atas nama kepastian hukum dan sebaliknya. Memang inilah polemik yang
sering terjadi di negara yang menerapkan sistem hukum Civil Law dimana hukum
yang dijalankan seringkali bersifat kaku dan tidak melihat dinamika zaman dan
situasi. Itu merupakan konsekuensi negatif dari kodifikasi hukum yang kaku yang
hanya mempertimbangkan sedikit variabel. Oleh karena itu, dalam teorinya Radbruch
juga mengatakan bahwa keadilan haruslah diprioritaskan di atas kepastian hukum dan
kepastian hukum harus diprioritaskan di atas kemanfaatan.

Beruntungnya dalam kasus ini Misran mendapatkan nasib baik karena


Judicial Review-nya dikabulkan Mahkamah Konstitusi. Judicial Review inilah yang
menyelamatkan tenaga-tenaga medis termasuk perawat dan lainnya seperti Misran
dapat terus membantu dan mengusahakan kesehatan orang-orang di sekitarnya. Bagi
kami, perilaku mulia mereka berperan besar untuk kesejahteraan rakyat negara ini,
maka kami sangat merasa Judicial Review ini merupakan langkah yang paling tepat.

Namun sebenarnya, kasus Misran ini hanyalah puncak dari gunung es. Di
Indonesia sendiri banyak kasus-kasus yang menjadi polemik karena antara keadilan
dan penegakan hukum seringkali bertabrakan seperti misalnya kasus Fidelis yang
dipenjara karena menanam ganja demi mengobati istrinya.

Kedepannya kami mengharapkan pembangunan akan selalu sejalan dengan


penegakkan hukum. Menurut kami, hukum sangat perlu ditegakkan untuk mencegah
agar kekacauan tidak terjadi. Namun hal itu tidak akan berjalan maksimal tanpa
meratanya pembangunan yang ada. Penegakan hukum malah hanya akan
meningkatkan rasa ketidakadilan pada rakyat di kota kecil yang belum mengalami
pembangunan sebaik rakyat di kota besar. Sehingga, jelas bahwa pemerataan
pembangunan sama pentingnya dengan penegakkan hukum yang ada.

21
V. DAFTAR PUSTAKA
1. Republik Indonesia. Undang-Undang Dasar 1945 tentang Warga Negara. Bab
X pasal 28H
2. Republik Indonesia, Undang - Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia Pasal 39

22
3. Republik Indonesia, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 12/PUU-
VIII/2010
4. Republik Indonesia, Undang - Undang Dasar 1945, Pasal 28H Ayat (1)
5. Republik Indonesia, Undang - Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan, Pasal 108 Ayat (1)
6. Republik Indonesia, Undang - Undang Dasar 1945, Pasal 27 Ayat (3)
7. Republik Indonesia, Undang - Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan, Pasal 14 Ayat (1)
8. Republik Indonesia, Undang - Undang Dasar 1945, Pasal 34 Ayat (3)
9. Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9
Tahun 2003 tentang Wewenang Pengangkatan, Pemindahan, dan
Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil, Pasal 17 Ayat (1)
10. Republik Indonesia, Undang - Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan, Pasal 22 Ayat (1) dan Ayat (2)
11. Republik Indonesia, Pancasila, Sila ke-3 dan ke-5
12. Pengertian “Mantri” https://kbbi.web.id/mantri
13. Badan Pusat Statistik Indonesia, “Luas Daerah dan Jumlah Pulau Menurut
Provinsi 2002 - 2016”
https://www.bps.go.id/statictable/2014/09/05/1366/luas-daerah-dan-jumlah-
pulau-menurut-provinsi-2002-2016.html
14. KBBI, “Keadilan”, diakses dari https://kbbi.web.id/adil
15. Pengertian “Integritas” http://kbbi.web.id/integritas

23

Anda mungkin juga menyukai