Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

ASPEK ETIK DAN HUKUM PADA LANSIA

DISUSUN :

KELOMPOK 3

1. NIA NUR SAFITRI ( 17320021 )


2. NOBY AMUKTI SUJITO ( 17320022 )
3. PUTRI SALSABILA AZZAHRA ( 17320023 )
4. REKA PUTRI RAHMAWATI ( 17320024 )
5. SEFTILIANI PUTRI AYU ( 17320025 )
6. SILVY RULYANTI HARAHAP ( 17320026 )
7. TANTIKA FEBIOLA ( 17320027 )
8. YESI SANDRA PUSPITA ( 17320028 )
9. YOKKI DIO SANDHIKA ( 17320029 )
10. YURIKA PRASETYA AS ( 17320030 )
11. ZONET DWI LEMBAYUNG ( 17320031 )

FAKULTAS KEDOKTERAN
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS MALAHAYATI
BANDAR LAMPUNG
2020 / 2021
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan penulis kemudahan
dalam menyelesaikan makalah tepat waktu. Tanpa rahmat dan pertolongan-
Nya, penulis tidak akan mampu menyelesaikan makalah ini dengan baik.
Tidak lupa shalawat serta salam tercurahkan kepada Nabi agung Muhammad
SAW yang syafa’atnya kita nantikan kelak.

Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-
Nya, sehingga makalah “ Aspek Etik dan Hukum Pada Lansia ” dapat
diselesaikan. Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah
Keperawatan Gerontik.

Penulis menyadari makalah bertema etik dan hukum pada lansia ini masih
perlu banyak penyempurnaan karena kesalahan dan kekurangan. Penulis
terbuka terhadap kritik dan saran pembaca agar makalah ini dapat lebih baik.
Apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini, baik terkait penulisan
maupun konten, penulis memohon maaf.

Demikian yang dapat penulis sampaikan. Akhir kata, semoga makalah ini
dapat bermanfaat.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Bandar Lampung, 10 November 2020

Kelompok 3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kesadaran masyarakat terhadap hak-hak mereka dalam


pelayanan kesehatan dan tindakan yang manusiawi semakin
meningkat, sehingga diharapkan adanya pemberi pelayanan
kesehatan dapat memberi pelayanan yang aman, efektif dan ramah
terhadap mereka. Jika harapan ini tidak terpenuhi, maka masyarakat
akan menempuh jalur hukum untuk membelahak-haknya.
Kebijakan yang ada dalam institusi menetapkan prosedur yang
tepat untuk mendapatkan persetujuan klien terhadap tindakan
pengobatan yang dilaksanakan. Institusi telah membentuk berbagai
komite etik untuk meninjau praktik profesional dan memberi
pedoman bila hak-hak klien terancam.
Perhatian lebih juga diberikan pada advokasi klien sehingga
pemberi pelayanan kesehatan semakin bersungguh-sungguh untuk
tetap memberikan informasi kepada klien dan keluarganya
bertanggung jawab terhadap tindakan yang dilakukan.
Selain dari pada itu penyelenggaraan praktik keperawatan
didasarkan pada kewenangan yang diberikan karena keahlian yang
dikembangkan sesuai dengan kebutuhan kesehatan masyarakat,
perkembangan ilmu pengetahuan dan tuntutan globalisasi.
Terjadinya pergeseran paradigma dalam pemberian pelayanan
kesehatan dari model medikal yang menitikberatkan pelayanan
pada diagnosis penyakit dan pengobatan ke paradgima sehat yang
lebih holistic yang melihat penyakit dan gejala sebagai informasi
dan bukan sebagai focus pelayanan (Cohen, 2006), maka perawat
berada pada posisi kunci dalam reformasi kesehatan ini. Hal ini
ditopang oleh kenyataan bahwa 40%-75% pelayanan di rumah sakit
merupakan pelayanan keperawatan (Gillies, 2014)
1.2. Rumusan Masalah
1. Apa saja prinsip etika pelayanan kesehatan pada lansia ?
2. Apa saja landasan hukum di Indonesia ?
3. Bagaimana perlindungan hukum untuk lansia ?
4. Apakah euthanasia ?
5. Apa saja arahan keinginan penderita ( advance directive ) ?
6. Apa saja Pemberian Peralatan Perpanjangan Hidup (Life Sustaining Device) ?
7. Apa saja perintah tidak Me – Resusitasi ( PTR ) ?

1.3. Tujuan
1. Mahasiswa mengetahui prinsip etika pelayanan kesehatan pada lansia.
2. Mahasiswa mengetahui prinsip legal etik keperawatan gerontik.
3. Mahasiswa mengetahui landasan hukum di Indonesia
4. Mahasiswa mengetahui euthanasia.
5. Mahasiswa mengetahui arahan keinginan penderita (advance directive).
6. Mahasiswa mengetahui Pemberian Peralatan Perpanjangan Hidup (Life Sustaining
Device)
7. Mahasiswa mengetahui perintah tidak Me – Resusitasi ( PTR ).
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Prinsip Etika Pelayanan Kesehatan Pada Lansia


Beberapa prinsip etika yang harus dijalankan dalam pelayanan pada penderita usia
lanjut adalah (Kane et al, 1994, Reuben et al, 1996) :

1. Empati : istilah empati menyangkut pengertian : ”simpati atas dasar pengertian


yang dalam”. Dalam istilah ini diharapkan upaya pelayanan geriatri harus
memandang seorang lansia yang sakit denagn pengertian, kasih sayang dan
memahami rasa penderitaan yang dialami oleh penderita tersebut. Tindakan
empati harus dilaksanakan dengan wajar, tidak berlebihan, sehingga tidak
memberi kesan over-protective dan belas-kasihan. Oleh karena itu semua petugas
geriatrik harus memahami peroses fisiologis dan patologik dari penderita lansia.
2. Yang harus dan yang ”jangan” : prinsip ini sering dikemukakan sebagai non-
maleficence dan beneficence. Pelayanan geriatri selalu didasarkan pada keharusan
untuka mngerjakan yang baik untuk pnderita dan harus menghindari tindakan
yang menambah penderita (harm) bagi penderita. Terdapat adagium primum non
nocere (”yang penting jangan membuat seseorang menderita”). Dalam pengertian
ini, upaya  pemberian posisi baring yang tepat untuk menghindari rasa nyeri,
pemberian analgesik (kalau perlu dengan derivat morfina) yang cukup,
pengucapan kata-kata hiburan merupakan contoh berbagai hal yang mungkin
mudah dan praktis untuk dikerjakan.
3. Otonomi : yaitu suatu prinsip bahwa seorang inidividu mempunyai hak untuk
menentukan nasibnya, dan mengemukakan keinginannya sendiri. Tentu saja hak
tersebut mempunyai batasan, akan tetapi di bidang geriatri hal tersebut berdasar
pada keadaan, apakah penderita dapat membuat putusan secara mandiri dan bebas.
Dalam etika ketimuran, seringakali hal ini dibantu (atau menjadi semakin rumit ?)
oleh pendapat keluarga dekat. Jadi secara hakiki, prinsip otonomi berupaya untuk
melindungi penderita yang fungsional masih kapabel (sedanagkan non-
maleficence dan beneficence lebih bersifat melindungi penderita yang inkapabel).
Dalam berbagai hal aspek etik ini seolah-olah memakai prinsip paternalisme,
dimana seseorang menjadi wakil dari orang lain untuk membuat suatu keputusan
(mis. Seorang ayah membuat keuitusan bagi anaknya yang belum dewasa).
4. Keadilan : yaitu prinsip pelayanan geriatri harus memberikan perlakuan yang
sama bagi semua penderita. Kewajiban untuk memperlakukan seorang penderita
secara wajar dan tidak mengadakan pembedaan atas dasar karakteristik yang tidak
relevan.
5. Kesungguhan Hati : yaitu suatu prinsip untuk selalu memenuhi semua janji yang
diberikan pada seorang penderita.

2.2. Landasan Hukum di Indonesia


Berbagai perundang-undangan yang langsung mengenai Lanjut Usia atau yang tidak
langsung terkait dengan kesejahteraan Lanjut Usia telah diterbitkan sejak 1965. beberapa di
antaranya adalah :

1. Undang-undang nomor 4 tahun 1965 tentang Pemberian bantuan bagi Orang


Jompo (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1965 nomor 32 dan
tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 2747).
2. Undang-undang Nomor 14 tahun 1969 tentang Ketentuan Pokok Mengenai
Tenaga Kerja.
3. Undang-undang Nomor 6 tahun 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kesejahteraan Sosial.
4. Undang-undang Nomor 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita.
5. Undang-undang Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan nasional.
6. Undang-undang Nomor 2 tahun 1982 tentang Usaha Perasuransian.
7. Undang-undang Nomor 3 tahun 1982 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
8. Undang-undang Nomor 4 tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman.
9. Undang-undang Nomor 10 tahun 1992 tentang PErkembangan Kependudukan dan
Pembangunan keluarga Sejahtera.]
10. Undang-undang Nomor 11 tahun 1992 tentang Dana Pensiun.
11. Undang-undang Nomor 23 tentang Kesehatan.
12. Peraturan Pemerintah Nomor 21 tahun 1994 tentang Penyelenggaraan
Pembangunan Keluarga Sejahtera.
13. Peraturan Pemerintah Nomor 27 ahun 1994 tentang Pengelolaan Perkembangan
Kependudukan.
14. Undang-undang Nomor 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia
(Tambahan lembaran Negara nomor 3796), sebagai pengganti undang-Undang
nomor 4 tahun 1965 tentang Pemberian bantuan bagi Orang jompo.
15. Undang-undang Nomor 13 tahun 1998 ini berisikan antara lain :

1. Hak, kewajiban, tugas dan tanggung jawab pemerintah, masyarakat


dan kelembagaan.
2. Upaya pemberdayaan.
3. Uaya peningkatan kesejahteraan sosial lanjut usia potensial dan tidak
potensial.
4. Pelayanan terhadap Lanjut Usia.
5. Perlindungan sosial.

2.3. Perlindungan Hukum untuk Lansia

Kedudukan, hak dan kewajiban lanjut usia tertuang dalam UUD 1945 Pasal 27 ayat
(2) dan Pasal 28 huruf H ayat (3), Pasal 34 ayat (1) dan (2) yang mengatur mengenai hak-
hak Warga Negara dalam mewujudkan kesejahte- raan sosial. Adapun isu hukum artikel
ini adalah bagaimana konsep state responsibility dalam perlindungan kesejahteraan lanjut
usia dan apakah bentuk perlindungan hukum terhadap lanjut usia. Artikel ini
menggunakan metodologi yuridis normatif, dengan pendekatan peraturan perundang-un-
dangan (statute approach) dan pendekatan konseptual ( conseptual approach).

Kesimpulan pertama, State Responsibility dalam perlindungan kesejahteraan lanjut


usia sering diartikan sebagai tanggungjawab politik. Tanggungjawab politik merupakan
tanggung jawab Menteri atau para pegawai dalam melaku- kan pengawasan dalam setiap
pengambilan kebijakan terhadap perlindungan kesejahteraan lanjut usia kepada Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR), tindak lanjut dari political responsibility dapat diminta
mengundurkan diri atau diberhentikan menjadi Pejabat atau Badan Tata Usaha Negara.
Kesimpulan kedua, bentuk perlindungan hukum terhadap kesejahteraan lanjut usia dalam
rangka pemberdayaan lansia sehat, mandiri dan produktif dengan diaturnya dalam  
ketentuan   peraturan   perundang-undangan   tentang   perlindungan hukum terhadap
kesejahteraan lanjut usia dengan mendasarkan pada akar permasalahan yang terjadi mulai
dari tingkat bottom sampai ke atas.

2.4. Euthanasia
2.4.1. Pengertian Euthanasia
Euthanasia merupakan upaya untuk mengakhiri hidup seseorang ketika
mengalami sakit yangtidak dapat disembuhkan, guna mengakhiri penderitaannya.
2.4.2. Klasifikasi Euthanasia
1. Menurut hukum islam
Dalam hukum Islam, pembunuhan dikenal ada tiga macam, yaitu:
a. Pertama, pembunuhan sengaja (Alqathl al-’amd), suatu perbuatan
yang direncanakandahulu dengan menggunakan alat dengan
maksudmenghilangkan nyawa.

b. Kedua, pembunuhan semisengaja (Al-qathl sibhu al-’amd), suatu


perbuatanpenganiayaan terhadap diri seseorang tidak dengansuatu
maksud membunuhnya, tetapi mengakibatkankematian.

c. Ketiga, pembunuhan karena kesalahan(Al-qathl al-khatta),


pembunuhan yang terjadi karenaadanya kesalahan dan tujuan
perbuatannya (Djazuli,2000:123).

2. Menurut Ilmu Kedokteran


Secara garis besar, euthanasia dikelompokkanke dalam dua kelompok,
yaitu Euthanasia aktif daneuthanasia pasif. Pandangan yang
mengelompokkaneuthanasia sebagai aktif dan pasif mendasarkannyapada cara
euthanasia itu dilakukan.
a. Euthanasia aktif itu merupakan suatu tindakanmempercepat proses dari
kematian, baik itu denganmemberikan suntikan ataupun melepaskan alat-
alatpembantu medika, seperti saluran asam, melepaspemacu jantung atau
sebagainya. Yang termasuk tindakan untuk mempercepat proses kematian
disiniadalah jika kondisi pasien, berdasarkan ukuran danpengalaman
medis itu masih menunjukkan adanyaharapan hidup. Dengan kata lain
yaitu tanda-tandakehidupan masih terdapat pada penderita, ketikatindakan
itu dilakukan.

b. Euthanasia pasif,baik atas permintaan atau pun tidak atas


permintaanpasein. Yaitu ketika dokter atau tenaga kesehatanlain secara
sengaja tidak (lagi) memberikan bantuanmedis yang mana dapat
memperpanjang hidup kepadapasien (dengan catatan bahwa perawatan
rutin yangoptimal untuk mendampingi atau membantu pasiendalam fase
terakhirnya tetap diberikan) (KartonoMuhammad, 1992:31).

3. Pro-Kontra Eutanasia
Muncul kontroversi yang menyangkut isu etika euthanasia (perilaku sengaja
dan sadar mengakhiri hayat seseorang yang menderita penyakit yang tak dapat
disembuhkan) tidak saja santer didiskusikan di kalangan dunia medis, akan tetapi
telah merambah kemana-mana terutama para ulama Islam.
Meskipun di dalam hukum Islam itu belum ada kejelasan atau ketidakpastian
dalam menentukan apakah euthanasia termasuk jarimah (dosa) atau bukan,akan tetapi
dalam hal euthanasia aktif yang dilakukanhanya berdasar inisiatif dokter sendiri tanpa
adanya persetujuan dari pasien. Sekiranya dapat dimasukkan dalam kategori jarimah
pembunuhan, dan pelaku dimungkinkan untuk dihukum sesuai dengan hukum
jarimah yang ada. Pendapat demikian didasarkan atas pertimbangan karena perbuatan
itu telah memenuhi syarat-syarat untuk dapat dilaksanakan dalam qishash,antara lain:
1. Pembunuhan adalah orang yang baligh,sehat, dan berakal.
2. Ada kesengajaan membunuh.
3. Ikhtiyar(bebas dari paksaan).
4. Pembunuh bukananggota keluarga korban.
5. Jarimah dilakukan secaralangsung (Ahmad Azar Basyir, 2001:16).

Antara pembunuhan sengaja dengan euthanasiaaktif ada suatu perbedaan yang


mendasar, meski secara teknis ada persamaan.Dalam pembunuhansengaja, terdapat
suatu maksud atau tujuan yangcenderung pada tindak kejahatan.Sedangkan
dalameuthanasia aktif, pengakhiran hidup pasien dilakukansecara sengaja dan
terencana.Namun pembunuhan ini dilakukan atas kehendak dan permintaan
pasienatau korban kepada dokter yang merawat dan maksudatau tujuan yang terdapat
didalamnya cenderung padasuatu pertolongan, yang dalam hal ini
menolongmeringankan beban yang diderita oleh pasien. Berdasarkan uraian di atas,
berikut ini penulis merumuskan secara singkat poin-poin yang akan menjadi rumusan
masalah, diantaranya yaitu apakah seorang dokter bisa mempraktekkan Euthanasia
untuk meringankan seorang pasien dalam mengakhiri hidupnya dan Sejauh manakah
pandangan agama terhadap terhadap praktek Euthanasia.

2.5. Arahan Keinginan Penderita (Advance Directive)


2.5.1. Pengertian Advance Directive
Advance Directive adalah Instruksi spesifik yang dipersiapkan pada penyakit
serius yang sudah lanjut. Dimaksudkan untuk menuntun pelayan kesehatan
berdasarkan keinginan pasien jika pada suatu saat mereka tidak dapat menyatakan
pilihan perawatan kesehatan yang mereka inginkan untuk masa depan.
Advance Directive adalahdokumen tertulis di mana seseorang dengan jelas
menentukan bagaimana keputusan medis yang mempengaruhi dirinya harus diambil
jika dia tidak mampu untuk melakukannya, atau untuk mengizinkan orang tertentu
untuk membuat keputusan tersebut untuk dirinya
Advance directive dibuat pada saat pasien masih sadar penuh dan dapat
mengambil keputusan secara rasional. Sedapat mungkin instruksi tersebut di
dokumentasikan secara tertulis.

2.5.2. Jenis – jenis Advance Directive


a. Living Will (Surat Wasiat)
Dokumen legal yang ditandatangani oleh pasien yang dilakukan dihadapan
saksi, berisikan instruksi tentang intervensi pelayanan kesehatan yang diinginkan dan
yang tidak diinginkan ketika pasien dalam kondisi terminal atau irreversible dan ia
sudah tidak dapat berkomunikasi dan menyampaikan tentang keinginannya mengenai
perawatan kesehatan.
b. Durable (or special) Medical Power of Attorney
Dokumen legal, dimana pasien menunjuk orang yang diberitanggung jawab
(health care surrogate / proxy) dan diberi kekuatan untuk membuat keputusan
mengenai pelayanan kesehatan jika pasien tersebut sudah tidak dapat membuat
keputusan dan tidak dapat berkomunikasi lagi. Wali tersebut hanya diberi kekuasaan
untuk mengambil keputusan yang berhubungan dengan tindakan medis, ia tidak diberi
kekuasaan untuk membuat keputusan legal dan finansial.

c. Verbal Advance Directive


Merupakan bentuk advance directive yang paling banyak dijumpai. Pasien
menyatakan keinginannya tentang perawatan menjelang akhir kehidupannya kepada
orang-orang terdekatnya, misalnya: keluarga, healthcare provider, teman, dll.

2.5.3. Keuntungan Advance Directive


a. Keuntungan Bagi Pasien:
1. Pasien dapat mengemukakan autonominya.
2. Kebebasan dari pasien untuk menentukan diri terhadap pilihan-pilihan
alternatif terapi berdasarkan informasi yang diberikan oleh health care
provider.
3. Mengurangi kecemasan pasien terhadap tindakan-tindakan perawatan
yang tidak ia inginkan.
4. Mengurangi kecemasan dan rasa bersalah anggota keluarga. Dengan
adanya advance directive dapat membantu mengambil keputusan terbaik
yang sesuai dengan keinginan pasien.

b. Keuntungan Bagi Health Care Provider


1. Mengetahui apa yang diharapkan oleh pasien.
2. Mengurangi tindakan terapi dan intervensi diagnostik yang tidak
diperlukan.
3. Mengurangi biaya perawatan.
4. Mengurangi masalah tentang medikolegal.

Tindakan Dokter Untuk Membantu Pasien dalam Membuat Advance


Directive:
a. Sebaiknya dokter melakukan diskusi advance directive kepada pasien,
terutama pasien penyakit kronis yang memiliki resiko kelemahan fisik dan
mental yang bersifat progresif, agar ia dapat membuat advance
directive sebelum ia menjadi tidak dapat mengambil keputusan.
b. Dalam diskusi ini perlu diperhatikan kapan membicarakan
masalah advance directive. Sebaiknya pembicaraan advance
c. directive dilakukan sebelum mendiskusikan kabar buruk.
2.5.4. Hal yang perlu di perhatikan Advance Directive
a. Pemberian Informasi Kepada Pasien
Seberapa banyak informasi yang dibutuhkan pasien agar mereka
mampu membuat persetujuan yang sah?. Pasal 45 UU Praktik Kedokteran
memberikan batasan minimal informasi yang selayaknya diberikan kepada
pasien, yaitu :
a. Diagnosis dan tata cara tindakan medis
b. Tujuan tindakan medis yang dilakukan
c. Alternatif tindakan lain dan risikonya
d. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan
e. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan

2.6. Pemberian Peralatan Perpanjangan Hidup (Life Sustaining Device)

Salah satu aspek etika yang penting dan tetap controversial dalam pelayanan
geriatri adalah penggunaan perpanjangan hidup, antara lain ventilator dan upaya
perpanjangan hidup yang lain (resusitasi kardio-pulmoner dll). Pada penderita dewasa
muda hal ini sering kali tidak menjadi masalah, karena sering diharapkan hidup
penderita masih akan berlangsung lama bila jiwanya bisa ditolong. Pada usia lanjut
apalagi kalau penyakitnya sudah meluas (advanced) pemberian peralatan tersebut
seringkali diperdebatkan justru merupakan tindakan yang “kejam” (futile treatment).
Dikatakan sebagai "kekejaman fisiologik" bila terapi/tindakan yang diberikan
tidak akan memberikan perbaikan sama sekali pada kesehatan penderita. Kekejaman
kuantitatif bila tindakan atau terapi tampaknya tidak ada gunanya. Kekejaman
kualitatif bila terapi atau tindakan perpanjangan kualitas hidup penderita.
Walaupun sering menimbulkan tanggapan emosional dari keluarga, penghentian
peralatan perpanjangan hidup (ventilator dsb) harus diberi pertimbangan yang sama
dengan pertimbangan apakah alat tersebut perlu dipasang atau tidak. Pemasangan alat
ini tidak dengan sendirinya menghalangi untuk suatu saat menghentikannya bila
dianggap tidak ada gunanya lagi.
2.7. Perintah Tidak Me – Resusitasi (PTR)
Di Indonesia hal ini belum banyak dikenal, akan tetapi di negara-negara maju perintah
do not resuscitate atau yang disingkat DNR merupakan keadaan yang biasa dikerjakan
terutama pada penderita terminal. Perintah seperti ini bisa saja diadopsi di Indonesia, dengan
memperhatikan diagnosis dan keadaan umum penderita. Pada penderita dengan mati batang
otak (MBO) apalagi sebelumnya sudah didiagnosis dalam keadaan penyakit terminal, dokter
harus berani mengkomunikasikan dengan keluarga kemungkinan PTR, dengan pertimbangan
sosial-ekonomi maupun penderitaan penderita atau keluarganya.
Walaupun demikian harus diperhatikan bahwa perintah tidak me-resusitasi ini tidak
dan bukan merupakan perintah untuk tidak mengerjakan apa-apa. Artinya, upaya untuk
memberikan rasa nyeri dan rasa sangat sesak masih tetap dilakukan walaupun pada saat
terakhir kehidupan penderita.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Etik juga dapat digunakan untuk mendeskripsikan suatu pola atau cara hidup, sehingga
etik merefleksikan sifat, prinsip dan standar seseorang yang mempengaruhi perilaku
profesional. Keperawatan gerontik adalah suatu pelayanan profesional yang berdasarkan ilmu
dan kiat/tekhnik keperawatan yang berbentuk bio-psiko-sosial-spritual dan kultural yang
holistic yang ditujukan kepada klien lanjut usia baik sehat maupun sakit pada tingkat
individu.
Dari kedua pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa etik keperawatan adalah istilah
yang digunakan untuk merefleksikan bagaimana seharusnya manusia berperilaku, apa yang
seharusnya dilakukan seseorang terhadap orang lain khususnya dalam memberikan suatu
pelayanan profesional yang berdasarkan ilmu dan kiat/tekhnik keperawatan yang berbentuk
bio-psiko-sosial-spritual dan kultural yang holistic yang ditujukan kepada klien lanjut usia
baik sehat maupun sakit pada tingkat individu.

3.2. Saran
Dalam pembuatan makalah ini penulis sadar bahwa makalah ini masih banyak
kekurangan dan masih jauh dari kata kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran dari
pembaca sangatlah kami perlukan agar dalam pembuatan makalah selanjutnya akan lebih
baik dari sekarang dan kami juga berharap pengetahuan tentang aspek legal dan etik dapat
terus di kembangkan dan diterapkan dalam bidang keperawatan gerontik.
DAFTAR PUSTAKA

Darmojo, Boedhi, dan Martono, Hadi. Buku Ajar Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut),
Edisi 2. 2000. Balai Penerbit FKUI. Jakarta.

Nugroho, Wahjudi. 2000. Keperawatan Gerontik. Edisi 2. Jakarta: EGC.

R, Rully. 2002. Fasilitas dan Pelayanan Kesehatan Lansia di RSU dalam Perspektif HAM.
Jakarta: Harian Suara Pembaharuan.

SKM, Hardiwinoto, Stiabudi, Tony. Pandaun Gerontologi, Tinjauan Dari Berbagai


Aspek. 2005. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Depkes RI. 2008. Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta

KEPMENKES RI NOMOR: 812/ MENKES/SK/VII/2007 Tentang Kebijakan Perawatan


Palliative Menteri Kesehatan Republik Indonesia

Anda mungkin juga menyukai