Anda di halaman 1dari 9

ASPEK LEGAL DAN ETIK KEPERAWATAN LANSIA

A. ASPEK LEGAL KEPERWATAN GERONTOIK


Aspek legal yaitu peraturan perundang-undangan yang berlaku di : Indonesia UU RI No
13 Th 1998, tentang kesejahteraan lansia (GBHN’98-2003). Undang-undang nomor 4
tahun 1965 tentang Pemberian bantuan bagi Orang Jompo (Lembaran Negara Republik
Indonesia tahun 1965 nomor 32 dan tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
nomor 2747). Salah satu pasalnya berbunyi “seseorang dapat dinyatakan orang jompo
atau lanjut usia setelah yang bersangkutan mencapai umur 55 tahun, tidak mempunyai
pekerjaan atau tidak mencari nafkah sendiri untuk keperluan hidupnya sehari-hari dan
menerima nafkah dari orang lain.”
Undang-undang Nomor 13 tahun 1998 ini berisikan antara lain :
a. Hak, kewajiban, tugas dan tanggung jawab pemerintah, masyarakat dan
kelembagaan.
b. Upaya pemberdayaan.
c. Uaya peningkatan kesejahteraan sosial lanjut usia potensial dan tidak potensial.
d. Pelayanan terhadap Lanjut Usia.
e. Perlindungan sosial.
f. Bantuan sosial.
g. Koordinasi.
h. Ketentuan pidana dan sanksi administrasi.
i. Ketentuan peralihan.
Arah pembangunan : Peningkatan kualitas penduduk lansia untuk mewujudkan integritas
sosial penduduk lansia dengan masyarakat lingkungannya.
a. Hak Lansia
1) Meningkatkan kesejahteraan sosial, meliputi :
a) Pelayanaan keagamaan dan mental spiritual.
b) Pelayanan kesehatan.
c) Kesempatan kerja.
d) Diklat.
e) Kemudahan dan penggunaan fasilitas, serta sarana dan prasarana umum.
f) Mengamalkan dan mentransformasikan kemampuannya ke generasi penerus.\
g) Memberi keteladanan dalam segala aspek kehidupan untuk generasi penerus.
2) Sama dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara.
b. Kebijakan Khusus untuk Lansia
1) PBB NO 045/206 TH 1991 ; 1 Oktober “International Day For The Elderly’.
2) PERGERI (The Indonesian Society Of Gerontology, 14 Desember 1984).
3) GBHN 1993 : Lansia dapat didayagunakan untuk pembangunan.
4) HALUN : Mulai Th 1996, 29 Mei 1945, Radjiman Widiodiningrat (Lansia) :
“Perlu falsafah Negara (Pancasila), pandangan jauh ke depan dan wawasan luas.

B. ETIK KEPERAWATAN GERONTIK


Kode Etik dalam Praktik Keperawatan :
a. Tanggung jawab terhadap klien.
b. Tanggung jawab terhadap tugas.
c. Tanggung jawab terhadap sesama perawat.
d. Tanggung jawab terhadap profesi keperawatan.
e. Terhadap pemerintah, bangsa dan tanah air.
Hal yang Perlu Diperhatikan oleh Perawat berkaitan dengan kode etik :
a. Perawat harus memberikan rasa hormat kepada klien tanpa memperhatikan suku, ras,
golongan, pangkat, jabatan, status sosial, masalah kesehatan.
b. Menjaga rahasia klien.
c. Melindungi klien dari campur tangan pihak lain yang tidak kompeten, tidak etis,
praktik illegal.
d. Perawat berhak menerima jasa dari hasil konsultasi dan pekerjaannya.
e. Perawat menjaga kompetensi keperawatan.
f. Perawat memberikan pendapat dan menggunakannya.
g. Kompetensi individu serta kualifikasi dalam meberikan konsultasi.
h. Berpartisipasi aktif dalam meningkatkan standar professional.
i. Perawat melakukan kolaborasi dengan profesi kesehatan lain atau ahli dalam rangka
meningkatkan pelayanan kesehatan yang dibutuhkan oleh masyarakat termasuk
lansia.
1. STANDAR GERONTOLOGI
Standar keperawatan gerontologi menurut American Nursing Association (ANA) adalah
a. Standar I : organisasi pelayanan keperawatan gerontologi.
Yaitu semua pelayanan keperawat gerontologi harus direncanakan, diorganisasi dan
dilakukan oleh seorang eksekutif perawat (has baccalaureate or master’s preparation
and experience in gerontological nursing and administrasion of long-term care
services or acute-care services for older patients)
b. Standar II : Teori
Perawat disini harus berpartisipasi dalarn rnengernbangkan dan melakukan
percobaan percobaan yang didasari oleh teori untuk mengambil keputusan klinik.
Perawat juga mengunakan konsep teontik yang digunakan sebagai petunjuk untuk
melaksanakan praktek keperawatan gerontologi yang lebih efektif.
c. Standar III : Pengumpulan data
Status kesehatan pada klien dikaji secara terus menerus dengan komprehensive,
akurat dan sistematis. Informasi yang didapatkan selama pengkajian kesehatan harus
dapat dipecahkan dengan mengunakan pendekatan dan interdisipliner team kesehatan
termasuk didalamnya lansia dan keluarga.
d. Standar IV: diagnose keperawatan.
Perawat dengan mengunakan data yang telah diperoleh untuk menentukan diagnose
keperawatan yang tepat sesuai dengan prioritasnya.
e. Standar V: perencanaan dan kontinuitas dan pelayanan
Perawat mengembangkan perencanaan yang berhubungan dengan klien dan orang
lain yang berkaitan. Untuk mencapai tujuan dan prioritas dan perencanaan perawatan
sesuai dengan yang dibutuhkan oleh klien, perawat dapat mengunakan terapeutik,
preventif, restoratif dan rehabilitasif. Perencanaan peraatan ini bermanfaat untuk
membantu klien dalam mencap[ai dan mempertahankan tingkat kesehatan, kejahtera,
kualitas hidup yang yang tinggi (optimal ) dan serta mati dalam keadaan damai.
f. Standar VI : Intervensi
Perencanaan pelayanan yang telah ada digunakan sebagai petunjuk dalarn
membenkan intervensi untuk mengembalikan fungsi dan mencegah terjadinya
komplikasi dan ‘excess disability’ pada klien.
g. Standar VII: Evaluasi
Perawat harus melakukan evalusai secara terus menerus terhadap respon klien dan
keluarga terhadap intervensi yang telah diberikan. Disamping itu evaluasi juga
digunakan untuk menentukan . tingkat keberhasilannya dan mengevaluasi kembali
data dasarnya, diagnosanya dan perencanaannya.
h. Standar VIII: Kolaborasi Interdisipliner
Kolaborasi perawat dengan disiplin ilmu yang lain (team kesehatan) sangat penting
dilakukan dalam membenkan pelayanan kesehatan terhdap klien ( lansia). Hal ini
dapat dilakukan dengan mengadakan pertemuan yang rutin untuk menentukan
perencanaan yang tepat sesuai dengan perubahan kebutuhan yang ditemukan pada
klien.
i. Standar IX : Research
Perawat harus ikut berpartisipasi dalam rnengernbangkan penelitian untuk
memperkuat pengetahuan dibidang keperawatan gerontoogi, menyebarluaskan hasil
penelitian yang diperolehnya dan digunakan dalam praktek keperawatan.
j. Standar X: Ethics
Perawat rnengunakna kode etik keperawatan (ANA) sebagai petunjuk etika dalam
mengambil keputusan didalam praktek.
k. Standar XI : Professional Development
Perawat harus mempunyai asumsi bahwa perkembangan dan kontribusi profesionalisme
keperawatan merupakan tanggung jawabnya dan sangat berkaitan erat dengan
perkembngan interdisiplin ilmu yang lain. Dalam hal ini perawat juga harus mampu
mengevaluasi perkembangan dalam praktek kualitas yang diberikan.

2. PENGERTIAN ETIK KEPERAWATAN LANSIA


Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dituliskan bahwa arti etika adalah
ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral
(akhlak). Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) etik merupakan
kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak, nilai mengenai benar dan salah
yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
Menurut undang-undang nomor 38 tahun 2014, Keperawatan didefinisikan sebagai
kegiatan pemberian asuhan kepada individu, keluarga, kelompok atau masyarakat, baik
dalam keadaan sakit maupun sehat.
Sedangkan menurut undang-undang no 13 tahun 1998 kategori lansia adalah yang
berusia 60 , WHO menyebutkan bahwa kategori lansia adalah yang berusia 65-70 tahun.
Jadi dapat disimpulkan bahwa Etik Keperawatan Lansia adalah pola perilaku yang
dilakukan seorang perawat dalam memberkan pelayanan keperawatan pada usia lanjut.
3. PERINSIP ETIK
Beberapa prinsip etika yang harus dijalankan dalam pelayanan pada penderita usia lanjut
adalah (Kane et al, 1994, Reuben et al, 1996) :
a. Empati : istilah empati menyangkut pengertian : ”simpati atas dasar pengertian yang
dalam”. Dalam istilah ini diharapkan upaya pelayanan geriatri harus memandang
seorang lansia yang sakit denagn pengertian, kasih sayang dan memahami rasa
penderitaan yang dialami oleh penderita tersebut. Tindakan empati harus dilaksanakan
dengan wajar, tidak berlebihan, sehingga tidak memberi kesan over-protective dan
belas-kasihan. Oleh karena itu semua petugas geriatrik harus memahami peroses
fisiologis dan patologik dari penderita lansia.
b. Yang harus dan yang ”jangan” : prinsip ini sering dikemukakan sebagai non-
maleficence dan beneficence. Pelayanan geriatri selalu didasarkan pada keharusan
untuka mngerjakan yang baik untuk pnderita dan harus menghindari tindakan yang
menambah penderita (harm) bagi penderita. Terdapat adagium primum non nocere
(”yang penting jangan membuat seseorang menderita”). Dalam pengertian ini,
upaya pemberian posisi baring yang tepat untuk menghindari rasa nyeri, pemberian
analgesik (kalau perlu dengan derivat morfina) yang cukup, pengucapan kata-kata
hiburan merupakan contoh berbagai hal yang mungkin mudah dan praktis untuk
dikerjakan.
c. Otonomi : yaitu suatu prinsip bahwa seorang inidividu mempunyai hak untuk
menentukan nasibnya, dan mengemukakan keinginannya sendiri. Tentu saja hak
tersebut mempunyai batasan, akan tetapi di bidang geriatri hal tersebut berdasar pada
keadaan, apakah penderita dapat membuat putusan secara mandiri dan bebas. Dalam
etika ketimuran, seringakali hal ini dibantu (atau menjadi semakin rumit ?) oleh
pendapat keluarga dekat. Jadi secara hakiki, prinsip otonomi berupaya untuk
melindungi penderita yang fungsional masih kapabel (sedanagkan non-maleficence
dan beneficence lebih bersifat melindungi penderita yang inkapabel). Dalam berbagai
hal aspek etik ini seolah-olah memakai prinsip paternalisme, dimana seseorang
menjadi wakil dari orang lain untuk membuat suatu keputusan (mis. Seorang ayah
membuat keuitusan bagi anaknya yang belum dewasa).
d. Keadilan : yaitu prinsip pelayanan geriatri harus memberikan perlakuan yang sama
bagi semua penderita. Kewajiban untuk memperlakukan seorang penderita secara
wajar dan tidak mengadakan pembedaan atas dasar karakteristik yang tidak relevan.
e. Kesungguhan Hati : yaitu suatu prinsip untuk selalu memenuhi semua janji yang
diberikan pada seorang penderita.

4. INFORMED CONSENT
Lansia mempunyai hak untuk membuat keputusan setelah mendapatkan informasi yang
jelas tentang perawatan dan pengobatannya kecuali jika mereka telah ditentukan oleh
pengadilan sebagai orang yang tidak mempu atau tidak kompeten untuk membuat
keputusan seperti itu. Untuk memperoleh persetujuan tindakan penyedia layanan
kesehatan harus mendiskusikan unsur- unsur berikut dengan pasien.
a. Jenis prosedur yang akan dilakukan
b. Risiko material dan bahaya yang terkandung dalam prosedur
c. Hasil yang dapat diharapkan
d. Alternatif yang tersedia bila ada
e. Konsekuensi bila tidak dilakukan tindakan
Permenkes No. 585 tahun 1989 tentang informed consent, Pasal 1: persetujuan yang
diberikan oleh pasien atau keluarga atas dasar penjelasan mengenai tindakan medik yang
dilakukan terhadap pasien tersebut.
Permenkes No. 8 tahun 1998 tentang perlindungan konsumen, Pasal 4 : pasien berhak
atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan jasa.

Hak Lansia
Pasal 5 Undang-Undang 13 Tahun 1998 Tentang Kesejahteraan Lanjut Usia
a. Lanjut usia mempunyai hak yang sama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara
b. Sebagai penghormatan dan penghargaan kepada lanjut usia diberikan hak untuk
meningkatkan kesejahteraan sosial yang meliputi:
a) Pelayanan keagamaan dan mental spiritual.
b) Pelayanan kesehatan.
c) Kesempatan kerja.
d) Pelayanan pendidikan dan pelatihan.
e) Kemudahan dan penggunaan fasilitas, serta sarana dan prasarana umum.
f) Kemudahan dalam layanan dan bantuan hukum
g) Perlindungan sosial
h) Bantuan sosial
c. Bagi lanjut usia tidak potensial mendapatkan kemudahan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) kecuali huruf “c” huruf “d” dan huruf “h”
d. Bagi kita lanjut usia potensial mendapatkan kemudahan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) kecuali huruf “g”

5. PERATURAN YANG BERKAITAN DENGAN KESEJAHTERAAN LANSIA


a. Undang-undang No.39 tahun 1999 tentang HAM, Pasal 42: setiap warga negara yang
berusia lanjut, cacat fisik dan atau cacat mental berhak memperoleh perawatan,
pendidikan, pelatihan dan bantuan khusus atas biaya negara, untuk menjamin
kehidupan yang layak sesuai dengan martabat kemanusiaan, meningkatkan rasa
percaya diri dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara.
b. Undang-undang No 23 tahun 1992 tentang kesehatan, Pasal 19: kesehatan manusia
usia lanjut diarahkan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan dan
kemampuannya agar tetap produktif dengan bantuan pemerintah dalam upaya
penyelenggaranya.
c. Undang-undang No. 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan usia lanjut, Pasal 14:
pelayanan kesehatan dimaksudkan untuk memeliharan dan meningkatkan derajat
kesehatan dan kemampuan usia lanjut agar kondisi fisik, mental dan sosialnya dapat
berfungsi secara wajar melalui upaya penyuluhan, penyembuhan dan pengembangan
lembaga.
d. Peraturan Pemerintah No 43 tahun 2004: pelaksanaan upaya peningkatan
kesejahteraan sosial usia lanjut.

1. Kebijaksanaan sosial dan Pelayanan Terhadap Orang Usia Lanjut.


Persoalan Lansia belum merupakan prioritas penting di negara kita, malah
dalam urutan prioritas penggunaan dana dapat dikatakan rendah sekali.
Kebijaksanaan harus diteruskan untuk membatasi jumlah panti Werdha dalam
jumlah minimal, karena keterbatasan dana untuk mengelolanya. Dalam pada itu “day
centers” (karang weda) dan pusat-pusat rehabilisasi sebaiknya didirikan sebanyak
mungkin, baik oleh pemerintah maupun oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM).
DepKes sedang merencanakan untuk melengkapi perawatan usia lanjut (Geriatri
atau Gerontologi) berkaitan dengan apa yang disebut “ sistem perawatan keluarga”
(semacam posyandu).
Alternative lain adalah perawatan lansia yang “ Hospital Based “ yang sudah
terkenal di negara-negara industri, dilengkapi Dokter Ahli Geriatri, “ Community
Care Nurse “, pekerja sosial medis, psikiater, fisioterapi dan lain-lain.
Di Indonesia, pada saat ini direncanakan untuk menempatkan praktek-praktek
Geriatri di bagian penyakit dalam bersama-sama dengan PRU dan dokter ahli syaraf /
jiwa dan keahlian atau bidang yang lain. Dinegara-negara majupun banyak orang-
orang yang masih harus antri untuk mendapatkan tempat dalam panti
Lingkungan hidup ditengah keluarga yang telah dibicarakan diatas adalah
yang terbaik, namun banyak juga para lansia ini yang masih senang hidup sendiri. Hal
ini terutama terjadi dinegara-negara industri maju. Maka dari itu haruslah dapat
diupayakan keamanan sekeliling rumah atau flat (rumah susun) orang-orang tersebut.
Dalam rumah susun para lansia harus mendapatkan prioritas menempati lantai bawah.
Perlu juga dipikirkan fasilitas dekat dengan transportasi umum yang biasanya merka
bergantung (Brocklehurst, 1987).
2. Macam Pelayanan Untuk Para Lanjut Usia Yang Ada di Indonesia.
a) Panti werdha (sasana tresna werdha) dan karang werdha (day-care centers) yang
non panti mulai bermunculan di kota-kota besar di Indonesia. Pemberian
paketperkakas – pertukangan pernah diberikan /dibagikan oleh DepSos, untuk
menaikan pendapatan dan ketrampilan orang lanjut usia, peningkatan gizi
lansia, pelayanan bantuan untuk mengurus tempat tinggal, membersihkan,
mencuci, masak, dan sebagainya (home-care nursing, home-help service ) dapat
dijalankan oleh LSM atau relawan-relawan di sekeliling rumah tersebut.
b) Pemberian potongan harga, pajak, ongkos transportasi dan sebagainya, mulai
banyak diberikan ( Boedhi-Darmojo, 1997).
c) Meskipun secara garis besar telah dimuat dalam UU.13/1998 mengenai
kesejahteraan para lanjut usia, peraturan pelaksanaannya, dalam bentuk
peraturan-peraturan pemerintah semacam MEDICARE dan MEDICAID di
USA dan negara-negara industri maju lainnya perlu diadakan.
d) Mengenai pelayanan dalam bidang kesehatan dari posyandu lansia(masih dalam
fase “ pilot project”) sampai perawatan-perawatan dalam unit Geriatri di Rumah
Sakit.
e) Untuk para lansia pada saat-saat akhir akan menghadap ilahi, biasanya pihak
keluarga yang mengurusnya, tetapi akan lebih baik apabila para ulama /
rohaniawan dapat selalu mendampinginya. Alangkah baiknya bila hal ini dapat
dipersiapkan oleh Rumah Sakit, perkumpulan kematian dan sebagainya.

Anda mungkin juga menyukai