Anda di halaman 1dari 95

DAFTAR ISI

BAB I : KONSEP DASAR KEPERAWATAN GERONTIK


TOPIK 1
KONSEP KEPERAWATAN GERONTIK
TOPIK 2
PERSPEKTIF KEPERAWATAN GERONTIK
TOPIK 3
ASPEK LEGAL KEPERAWATAN GERONTIK

BAB II : BERPIKIR KRITIS DALAM MANAJEMEN KASUS PADA GERONTIK


TOPIK 1
BERPIKIR KRITIS DALAM MANAJEMEN KASUS PADA GERONTIK

BAB III : PENANGANAN KEJADIAN PELANTARAN PADA LANSIA


TOPIK 1
PENELANTARAN TERHADAP LANSIA

BAB IV : MASALAH KESEHATAN LANSIA DAN SISTEM PELAYANAN


KESEHATAN
TOPIK 1
MASALAH KESEHATAN LANSIA
TOPIK 2
POSYANDU LANSIA
TOPIK 3
PUSKESMAS SANTUN USIA LANJUT
TOPIK 4
PELAYANAN KESEHATAN DI PANTI WERDHA
BAB I
KONSEP DASAR KEPERAWATAN GERONTIK
Peningkatan angka harapan hidup (AHH) di Indonesia merupakan salah
satu indikator keberhasilambangunan di Indonesia. AHH tahun 2014 pada
penduduk perempuan adalah 72,6 tahun dan laki-laki adalah 68,7 tahun.
Kondisi ini akan meningkatkan jumlah lanjut usia di Indonesia yaitu 18,1 juta
jiwa (7,6% dari total penduduk). Pada tahun 2014, jumlah penduduk lanjut usia
di Indonesia menjadi 18,781 juta jiwa dan diperkirakan pada tahun 2025,
jumlahnya akan mencapai 36 juta jiwa. Usia lanjut akan menimbulkan masalah
kesehatan karena terjadi kemunduran fungsi tubuh apabila tidak dilakukan
upaya pelayanan kesehatan dengan baik.
TOPIK 1
KONSEP KEPERAWATAN GERONTIK

Bagaimana kabarnya? Semoga senantiasa sehat dan dan siap mempelajari


topik ini. Perlu Anda ketahui kata gerontik berasal dari kata gerontologi dan
geriatri. Gerontologi adalah cabang ilmu yang membahas tentang proses
penuaan atau masalah yang timbul pada orang lansia. Sedangkan geriatri
berarti berkaitan dengan penyakit atau kecacatan yang terjadi pada lansia.

A. DEFINISI KEPERAWATAN GERONTIK


Keperawatan gerontik adalah suatu bentuk pelayanan profesional yang
didasarkan pada ilmu dan kiat/teknik keperawatan yang bersifat
konprehensif terdiri dari bio-psikososio-spritual dan kultural yang holistik,
ditujukan pada klien lanjut usia, baik sehat maupun sakit pada tingkat
individu, keluarga, kelompok dan masyarakat (UU RI No.38 tahun 2014).
Pengertian lain dari keperawatan gerontik adalah praktek keperawatan
yang berkaitan dengan penyakit pada proses menua (Kozier, 1987).
Sedangkan menurut Lueckerotte (2000) keperawatan gerontik adalah ilmu
yang mempelajari tentang perawatan pada lansia yang berfokus pada
pengkajian kesehatan dan status fungsional, perencanaan, implementasi
serta evaluasi.
Berdasarkan pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa
keperawatan gerontik adalah suatu bentuk praktek keperawatan profesional
yang ditujukan pada lansia baik sehat maupun sakit yang bersifat
komprehensif terdiri dari bio-psiko-sosial dan spiritual dengan pendekatan
proses keperawatan terdiri dari pengkajian, diagnosis keperawatan,
perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.

B. FOKUS KEPERAWATAN GERONTIK


1. Peningkatan kesehatan (health promotion)
Upaya yang dilakukan adalah memelihara kesehatan dan
mengoptimalkan kondisi lansia dengan menjaga perilaku yang sehat.
Contohnya adalah memberikan pendidikan kesehatan tentang gizi
seimbang pada lansia, perilaku hidup bersih dan sehat serta manfaat
olah raga.
2. Pencegahan penyakit (preventif)
Upaya untuk mencegah terjadinya penyakit karena proses penuaan
dengan melakukan pemeriksaan secara berkala untuk mendeteksi
sedini mungkin terjadinya penyakit, contohnya adalah pemeriksaan
tekanan darah, gula darah, kolesterol secara berkala, menjaga pola
makan, contohnya makan 3 kali sehari dengan jarak 6 jam, jumlah porsi
makanan tidak terlalu banyak mengandung karbohidrat (nasi, jagung,
ubi) dan mengatur aktifitas dan istirahat, misalnya tidur selama 6-8
jam/24 jam.
3. Mengoptimalkan fungsi mental.
Upaya yang dilakukan dengan bimbingan rohani, diberikan
ceramah agama, sholat berjamaah, senam GLO (Gerak Latih Otak)
(GLO) dan melakukan terapi aktivitas kelompok, misalnya
mendengarkan musik bersama lansia lain dan menebak judul lagunya.
4. Mengatasi gangguan kesehatan yang umum.
Melakukan upaya kerjasama dengan tim medis untuk pengobatan
pada penyakit yang diderita lansia, terutama lansia yang memiliki resiko
tinggi terhadap penyakit, misalnya pada saat kegiatan Posyandu
Lansia.

C. TUJUAN KEPERAWATAN GERONTIK


1. Lanjut usia dapat melakukan kegiatan sehari–hari secara mandiri dan
produktif.
2. Mempertahankan kesehatan serta kemampuan lansia seoptimal
mungkin.
3. Membantu mempertahankan dan meningkatkan semangat hidup lansia
(Life Support).
4. Menolong dan merawat klien lanjut usia yang menderita penyakit
(kronis atau akut).
5. Memelihara kemandirian lansia yang sakit seoptimal mungkin.
D. TREND ISSUE KEPERAWATAN GERONTIK
Trend issue pelayanan keperawatan pada lansia :
1. Pengontrolan biaya dalam pelayanan kesehatan
a. Diupayakan sesingkat mungkin di pelayanan kesehatan karena
pergeseran pelayanan dari RS ke rumah (home care).
b. Diperlukan perawat yang kompeten secara teknologi & transkultural
c. Pemanfaatan caregiver atau pemberdayaan klien untuk
bertanggung jawab terhadap perawatan dirinya
2. Perkembangan teknologi & informasi
a. Data based pelayanan kesehatan komprehensif,
b. Penggunaan computer-based untuk pencatatan klien,
c. Pemberi pelayanan dapat mengakses informasi selama 24 jam,
d. Melalui internet dapat dilakukan pendidikan kesehatan pada klien
atau membuat perjanjian.
3. Peningkatan penggunaan terapi alternatif (terapi modalitas & terapi
komplementer)
a. Banyak masyarakat yang memanfaatkan terapi alternatif tetapi
tidak mampu mengakses pelayanan kesehatan.
b. Dalam melaksanakan pendidikan kesehatan, perawat sebaiknya
mengintegrasikan terapi alternatif kedalam metode praktik
pendidikan kesehatan tersebut.
c. Perawat harus memahami terapi alternatif sehingga mampu
memberikan pelayanan atau informasi yang bermanfaat agar
pelayanan menjadi lebih baik.
4. Perubahan demografi
a. Pengembangan model pelayanan keperawatan menjadi holistic
model, yang memandang manusia secara menyeluruh,
b. Perawat mempertimbangkan untuk melakukan praktik mandiri,
c. Perawat harus kompeten dalam praktik “home care”,
d. Perawat memiliki pemahaman keperawatan transkultural (berbasis
budaya) sehingga efektif dalam memberikan pelayanan type self
care,
e. Perawat melakukan promosi kesehatan dan pencegahan penyakit
& ketidakmampuan pada penduduk yang sudah lansia,
f. Perawat mampu menangani kasus kronis dan ketidakmampuan
pada lansia,
g. Perawat melakukan proteksi kesehatan dengan deteksi dini &
manajemen kesehatan secara tepat,
h. Mampu berkolaborasi dengan klien, anggota tim interdisipliner
dalam memberikan pelayanan,
i. Mampu mengembangkan peran advokasi .
5. Community-based nursing care
a. Mampu berkolaborasi dalam tim untuk melakukan pelayanan
kesehatan pada lansia,
b. Mampu menggunakan ilmu & teknologi untuk meningkatkan
komunikasi interdisiplin dengan tim dan klien,
c. Mempunyai kemampuan dalam mengambil keputusan sesuai
dengan kode etik keperawatan.
E. FUNGSI PERAWAT GERONTIK
Menurut Eliopoulus (2005), fungsi perawat gerontik adalah:
1. Guide Persons of all ages toward a healthy aging process
(membimbing orang pada segala usia untuk mencapai masa tua yang
sehat).
2. Eliminate ageism (menghilangkan perasaan takut tua).
3. Respect the tight of older adults and ensure other do the same
(menghormati hak orang dewasa yang lebih tua dan memastikan yang
lain melakukan hal yang sama).
4. Overse and promote the quality of service delivery (memantau dan
mendorong kualitas pelayanan).
5. Notice and reduce risks to health and well being (memperhatikan serta
mengurangi resiko terhadap kesehatan dan kesejahteraan).
6. Teach and support caregives (mendidik dan mendorong pemberi
pelayanan kesehatan).
7. Open channels for continued growth (membuka kesempatan lansia
supaya mampu berkembang sesuai kapasitasnya).
8. Listern and support (mendengarkan semua keluhan lansia dan
memberi dukungan).
9. Offer optimism, encourgement and hope (memberikan semangat,
dukungan dan harapan pada lansia).
10. Generate, support, use and participate in research (menerapkan hasil
penelitian, dan mengembangkan layanan keperawatan melalui kegiatan
penelitian).
11. Implement restorative and rehabilititative measures (melakukan upaya
pemeliharaan dan pemulihan kesehatan).
12. Coordinate and managed care (melakukan koordinasi dan manajemen
keperawatan).
13. Asses, plan, implement and evaluate care in an individualized, holistic
maner (melakukan pengkajian, merencanakan, melaksanakan dan
mengevaluasi perawatan individu dan perawatan secara menyeluruh).
14. Link services with needs (memmberikan pelayanan sesuai dengan
kebutuhan).
15. Nurture future gerontological nurses for advancement of the speciality
(membangun masa depan perawat gerontik untuk menjadi ahli
dibidangnya).
16. Understand the unique physical, emotical, social, spritual aspect of
each other (saling memahami keunikan pada aspek fisik, emosi, sosial
dan spritual).
17. Recognize and encourge the appropriate management of ethical
concern (mengenal dan mendukung manajemen etika yang sesuai
dengan tempat bekerja).
18. Support and comfort through the dying process (memberikan dukungan
dan kenyamanan dalam menghadapi proses kematian).
19. Educate to promote self care and optimal independence (mengajarkan
untuk meningkatkan perawatan mandiri dan kebebasan yang optimal).
TOPIK 2
PERSPEKTIF KEPERAWATAN GERONTIK

Perspektif adalah cara pandang dengan menggunakan 3 dimensi atau cara


pandang seseorang yang melihat suatu objek, fenomena dari berbagai sisi/
cara pandang sehingga muncul gambaran 3 dimensi.
 Gerontik : gerontologi + geriatrik
 Gerontologi berasal dari Geros = lansia dan logos = ilmu
 Geriatrik berasal dari kata Geros dan Eatriea. Geros = lansia, Eatriea =
kesehatan.
 Gerontologi adalah cabang ilmu yang membahas/menangani tentang
proses penuaan/masalah yang timbul pada orang yang berusia lanjut.
 Geriatrik berkaitan dengan penyakit atau kecacatan yang terjadi pada orang
yang berusia lanjut.

Keperawatan gerontik adalah suatu bentuk pelayanan professional yang


merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan secar umum dengan
menggunakan ilmu dan seni untuk memberikan kesejahteraan manusia dalam
proses penuaan dan lanjut usia baik bio, psiko, social, cultural, dan spiritual
secara komprehensif.

Menurut Nugroho ( 2000 ) lansia dapat dikelompokan dalam beberapa tipe


yangtergantung kepada karakter, pengalaman hidup, lingkungan dan kondisi
fisik, mental, social dan ekonominya. Dalam pembagian ini dibedakan menjadi
4 tipe :
1. Tipe optimis, santai dan riang (the rocking chairman/women =tipe kursi
goyang)
2. Tipe militan dan serius (the armoured man)
3. Tipe marah-frustasi (the angry man )
4. Tipe putus asa, benci pada diri sendiri dan ingin mati saja (the selfhating
man/women)
A. KLASIFIKASI LANSIA
DEPKES RI membagi Lansia sebagai berikut:
1. Kelompok menjelang usia lanjut (45 – 54 th) sebagai masa VIRILITAS
2. Kelompok usia lanjut (55 – 64 th) sebagai masa PRESENIUM
3. Kelompok usia lanjut (65 th > ) sebagai masa SENIUM

Sedangkan WHO membagi lansia menjadi 3 kategori, yaitu:


1. Usia lanjut : 60 – 74 tahun
2. Usia Tua : 75 – 89 tahun
3. Usia sangat lanjut : > 90 tahun

Menurut UU no.13 tahun 1998 tentang kesejahteraan lansia :


Lansia pada seseorang berusia 60 tahun ke atas. Usia digolongkan atas 3 :
1. Usia biologis, usia yang menunjuk pada jangka waktu seseorang sejak
lahirnya berada dalam keadaan hidup.
2. Usia psikologis, menunjukkan pada kemampuan seseorang untuk
mengadakan penyesuaian-penyesuaian pada situasi yang dihadapinya.
3. Usia sosial, usia yang menunjuk pada peran-peran yang
diharapkan/diberikan masyarakat kepada seseorang sehubungan
dengan usianya

B. PARADIGMA KEPERAWATAN LANSIA


Keperawatan lansia biasa dilakukan secara lansia dan individu, lansia
dan keluarga, lansia sebagai suatu kelompok community dan lansia yang
berada di masyarakat dengan menggunakan upaya promotif, preventif,
restorative dan rehabilitatif.
Paradigma kesehatan tetap memandang bahwa tercapainya kualitas
hidup yang setinggi-tingginya. Sedangkan paradigma keperawatan sebagai
suatu ilmu terdapat 4 konsep utama yaitu :
1. Manusia lansia
2. Lingkungan
3. Kesehatan
4. Keperawatan

1. Manusia (Lansia)
Manusia (lansia) adalah suatu tahapan manusia dalam hidup
secara normal, sebagai tahap terakhir yang mempunyai banyak
permasalahan kesehatan. Secara geologis, proses penuaan akan
menimbulkan penurunan berbagai organ dan system tubuh yang
didukung oleh 3 faktor utama penyebab penuaan yaitu :
a. Teori biological, proses penuaan biologis yang dialami lansia relatif
tidak akan menimbulkan perubahan buruk saat diperlukan
penurunan tingkat ketergantungan fisik yang tinggi.
Berikut ini teori biologis tentang penuaan :
1) Perubahan biologi yang berasal dari dalam(intrinsik)/Teori
Genetika
a) Teori jam biologi (Biological clock theory), Proses menua
dipengaruhi oleh faktor-faktor keturunan dari dalam. Umur
seseorang seolah-olah distel seperti jam.
b) Teori menua yang terprogram (program aging theory), sel
tubuh manusia hanya dapat membagi diri sebanyak 50 kali.
c) Teori Mutasi (somatic mutatie theory), setiap sel pada
saatnya akan mengalami mutasi.
d) The Error Theory, “Pemakaian dan rusak” kelebihan usaha
dan stres menyebabkan sel-sel tubuh lelah (terpakai).
2) Perubahan biologik yang berasalah dari luar/ekstrinsik (Teori
Non Genetika).
a) Teori radikal bebas, meningkatnya bahan-bahan radikal
bebas sebagai akibat pencemaran lingkungan akan
menimbulkan perubahan pada kromosom pigmen dan
jaringan kolagen.
b) Teori imunologi, perubahan jaringan getah bening akan
mengakivbatkan ketidakseimbangan sel T dan terjadi
penurunan fungsi sel-sel kekebalan tubuh, akibatnya usia
lanjut mudah terkena infeksi infeksi, penyakit autoimun, dan
kanker.
b. Teori Psikologik, diantaranya :
1) Maslow Hierareky Human Needs Theory
Teori Maslow mengungkapkan hirarki kebutuhan manusia yang
meliputi 5 hal (kebutuhan biologik, keamanan dan kenyamanan,
kasih sayang, harga diri, aktualisasi diri dan aktualisasi diri.
2) Jung’s Theory of invidualsm
Teori individualism yang dikemukakan Carl Jung (1960)
mengungkapkan perkembangan personality dari anak-anak,
remaja, dewasa muda, dewasa pertengahan hingga dewasa
tua (lansia) yang dipengaruhi baik dari internal maupun
eksternal.
3) Course of Human Life Theory
Chorlotte Buhler juga merupakan penganut teori psikologik
dengungkapkan bawa teori perkembangan dasar manusia yang
difokuskan pada identifikasi pencapaian tujuan hidup
seseorang dalam melalui fase-fase perkembangan.
4) Eight Stages of Life Theory
Teori “Eight Stages of Life” yang dikemukakan Erikson (1950)
adalah suatu teori perkembangan psikososial yang terbagi atas
8 tahap, yang mempunyai tugas dan peran yang perlu
diselesaikan dengan baik :
Tahap I : Masa bayi timbul kepercayaan dasar (Basic trust)
Tahap II : Tahap penguasaan diri (Autonomi)
Tahap III : Tahap inisiatip
Tahap IV : Timbulnya kemauan untuk berkarya
(Industriousness)
Tahap V : Mencari identitas diri (Identy)
Tahap VI : Timbulnya keintiman (Intimacy)
Tahap VII : Mencapai Kedewasaan (Generativity)
Tahap VIII : Memasuki usia lanjut akan mencapai kematangan
kepribadian (ego Integrity), dia merupakan orang
yang memiliki integritas dalam kepribadian
sehingga mampu berbuat untuk kepentingan
umum. Kegagalan pada tahap ini akan
menyebabkan cepat putus asa.
c. Teori Developmental, yang dikemukakan Havighurst (1972) bahwa
masing-masing individu melalui tahap-tahap perkembangan secara
spesifik dan terjadi variasi/perbedaan antara individu satu dengan
lainnya. Tahap perkembangan ini harus dilalui dengan baik
sehingga individu akan merasakan kebahagiaan dan kesuksesan
dalam hidup.
2. Lingkungan
Konsep lingkungan dalam paradigma keperawatan difokuskan pada
lingkungan masyarakat yaitu lingkungan fisik, psikologis, sosial, budaya
dan spiritual.
3. Kesehatan
Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan (jasmani), jiwa
(rohani) dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif
secara sosial dan ekonomis (UU no 23/1992 tentang kesehatan )
a. Secara psikologikal, proses penuaan akan menimbulkan
kehilangan kemampuan berpikir kritis dan kemundurankemampuan
daya pengingat sehingga untuk hubungan interpersonal sangat
dipengaruhi kemampuan emosional, sisa logika dan spiritual serta
juga mood ( perasaan) yang sedang di hadapi lansia.
b. Secara social, lansia sudah mulai tidak mampu untuk bias
mengimbangi kerjasama yang produktif sesame manusia sehingga
jarang keluar rumah dan ada diskriminasi social lingkungan juga
kesalahan perilaku lingkungan terhadap lansia yang mengakibatkan
hubungan social semakin buruk secara umum.
c. Secara spiritual, lansia lebih mengutamakan pendekatan diri
kepada Yang Kuasa sampai mencapai criteria gold age ( usia
emas).
d. Secara cultural, lansia dianggap sebagai warna senioritas yang
mampu memberikan bimbingan, arahan dan ceramah pengalaman
kepada juniornya yang lebih dikenal dengan istilah “ PEKUNDEN”.
Maka ada suatu anecdote bahwa “wong tuo malati” bahwa lansia
sebgai penentu ritual adapt di dalam krisis ritus culture.
e. Secara ekonomi, lansia sebgai beban ekonomi keluarga,
masyarakat dan Negara. Hal ini lebih disebabkan karena
produktifitasnya sudah menurun (pensiun) dengan ditambah kondisi
fisik, biologinya yang sering mengindap banyak penyakit (multiple
diaseas) yang membutuhkan biaya cukup banyak yang bersifat
menahun(kronis) karena disebabkan oleh panyakit degeneratif.
f. Secara pendidikan, dari sisi pendidikan lansia lebih memberikan
suatu pengalaman tetapi karena factor kepikunan secara umum
sudah sulit dimintai pertanggungjawaban secara ilmiah.
g. Secara keamanan, karena kondisi fisik psikososial yang sudah
mengalami penurunan maka lansia membutuhkan keamanan yang
khusus dibanding warga lain.

Karakteristik Penyakit Pada Lansia


a. Saling berhubungan satu sama lain : Penyakit sering multiple
b. Penyakit bersifat degeneratif
c. Berkembang secara perlahan◊ Gejala sering tidak jelas
d. Sering bersama-sama problem psikologis dan sosial
e. Lansia sangat peka terhadap penyakit infeksi akut
f. Sering terjadi penyakit iatrogenik (penyakit yang disebabkan oleh
konsumsi obat yang tidak sesuai dengan

Faktor-faktor yang mempengaruhi ketuaan adalah :


a. Hereditas
b. Nutrisi
c. Status kesehatan
d. Pangalaman hidup
e. LingkunganStress
4. Keperawatan
Keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan profesional sebagai
bagian integral pelayanan kesehatan berbentuk pelayanan biologi,
psikologi, sosial, spiritual dan kultural secara komprehensif yang
ditujukan kepada individu, keluarga dan masyarakat sehat maupun
sakit mencakup siklus hidup manusia.
Asuhan keperawatan diberikan karena adanya kelemahan fisik dan
mental, keterbatasan pengetahuan, serta kurang kemauan menuju
kepada kemampuan melaksanakan kegiatan sehari-hari secara
mandiri. Sebagai suatu profesi, keperawatan memliki falsafah yang
bertujuan mengarahkan kegiatan keperawatan yang dilakukan.

C. MENUA SEHAT
Tujuan hidup manusia itu ialah menjadi tua tetapi tetap sehat (Healty
Aging). Healty Aging artinya menjadi tua dalam keadaan sehat. Healty
Aging dipengaruhi oleh beberapa factor sbb:
1. Endogenic aging, yang dimulai dengan cellular aging, lewat tissue dan
anatomical aging ke arah proses menuanya organ tubuh. Proses ini
seperti jam yang terus berputar.
2. Exogenic factor, yang dapat dibagi dalam sebab lingkungan
(environment ) dimana seseorang hidup dan factor sosio budaya yang
paling tepat disebut gaya hidup (life style). Factor exogenic aging
sekarang lebih dikenal dengan sebutan faktor resiko.
TOPIK 3
ASPEK LEGAL KEPERAWATAN GERONTIK

A. ASPEK LEGAL KEPERAWATAN GERONTIK


Perawat adalah mereka yang memiliki kemampuan dan kewenangan
melakukan tindakan keperawatan berdasarkan ilmu yang dimiliki diperoleh
melalui pendidikan keperawatan (UU RI. No. 36 tahun 2009 tentang
kesehatan). Sedangkan etik secara etimologis, kata etika beras al dari
bahasa Yunani, ethos, yang berarti adat istiadat atau kebiasaan, model
perilaku atau standar yang diharapkan, dan kriteria tertentu untuk suatu
tindakan (Mimin Emi S., 2004; dalam Nindy Amelia, 2013). Untuk menjadi
seorang profesional dewasa yang mampu secara aktif berpapartisipasi
dalam dimensi etik pratik mereka, seorang perawat harus terus
mengembangkan suatu perasaan yang kuat tentang identitas moral
mereka, mencari dukungan dari sumber profesional yang tersedia dan
mengembangkan pengetahuan serta kemampuan mereka dalam bidang
etik. Etika perawatan dihubungkan dengan hubungan antara masyarakat
dan dengan karakter serta sikap perawat terhadap orang lain lerlebih
kepada klien lanjut usia (Perry & Potter,2005).
Beberapa jurnal gerontik membahas tentang isu legal, pengaruh prinsip
etika dan legal pada lansia dan cara mengatasi masalah etik yang terjadi
dikalangan perawat sebagai tenaga penyedia perawatan kesehatan.
Aspek legal yaitu peraturan perundang-undangan yang berlaku di
Indonesia. UU RI No 13 Th 1998, tentang kesejahteraan lansia (GBHN’98-
2003). Undang-undang nomor 4 tahun 1965 tentang Pemberian bantuan
bagi Orang Jompo (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1965
nomor 32 dantambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor
2747). Salah satu pasalnya berbunyi “seseorang dapat dinyatakan orang
jompo atau lanjut usia setelah yang bersangkutan mencapai umur 55 tahun,
tidak mempunyai pekerjaan atau tidak mencari nafkah sendiri untuk
keperluan hidupnya seharihari dan menerima nafkah dari orang lain.”
Undang-undang Nomor 13 tahun 1998 ini berisikan antara lain :
1. Hak, kewajiban, tugas dan tanggung jawab pemerintah, masyarakat
dan kelembagaan.
2. Upaya pemberdayaan.
3. Upaya peningkatan kesejahteraan sosial lanjut usia potensial dan tidak
potensial.
4. Pelayanan terhadap Lanjut Usia.
5. Perlindungan sosial.
6. Bantuan sosial.
7. Koordinasi.
8. Ketentuan pidana dan sanksi administrasi.
9. Ketentuan peralihan.

Arah pembangunan : Peningkatan kualitas penduduk lansia untuk


mewujudkan integritas sosial penduduk lansia dengan masyarakat
lingkungannya.
1. Hak Lansia
a. Meningkatkan kesejahteraan sosial, meliputi :
1) Pelayanaan keagamaan dan mental spiritual.
2) Pelayanan kesehatan.
3) Kesempatan kerja.
4) Diklat.
5) Kemudahan dan penggunaan fasilitas, serta sarana dan
prasarana umum.
6) Mengamalkan dan mentransformasikan kemampuannya ke
generasi penerus.
7) Memberi keteladanan dalam segala aspek kehidupan untuk
generasi penerus.
b. Sama dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara.
2. Kebijakan Khusus untuk Lansia
a. PBB NO 045/206 TH 1991 ; 1 Oktober “International Day For The
Elderly”.
b. PERGERI (The Indonesian Society Of Gerontology, 14 Desember
1984).
c. GBHN 1993 : Lansia dapat didayagunakan untuk pembangunan.
d. HALUN : Mulai Th 1996, 29 Mei 1945, Radjiman Widiodiningrat
(Lansia) : “Perlu falsafah Negara (Pancasila), pandangan jauh ke
depan dan wawasan luas.

B. ISU LEGAL ETIK PADA PERAWATAN LANSIA


Isu legal etik dikalangan tenaga kesehatan terkait perawatan lansia
sangatlah kompleks. Hal ini didukung oleh hasil penelitian jurnal Eropa oleh
A.N Pishchita (2007) tentang isu legal pada lansia, mengatakan bahwa
negara Rusia seperti halnya dengan negara-negara Eropa lainnya
mengacu pada masalah terkini yang berkembang untuk meningkatkan
masa hidup penduduknya. Situasi ini merupakan suatu kebutuhan
mendesak yang perlu di diatasi segera tidak hanya yang berkaitan dengan
penyediaan perawatan medis yang berkualitas tetapi perawatan khusus
untuk perlindungan hak-hak dan kepentingan hukum dari orang tua.
Sesuai dengan undang-undang Federasi Rusia afektif penuaan dan
pasien tua seharusnya menikmati semua hak dan kebebasan sebagai
warga negara yang mampu, namun karena kondisi fisik dan mental mereka,
mereka tidak selalu dapat untuk melaksanakan hak-hak mereka. Undang-
undang Federal "Dasar hukum perawatan kesehatan di Federasi Rusia"
tidak memberikan perwakilan dari kelompok pasien tersebut untuk
mengambil bagian dalam penyediaan perawatan medis. Sekarang undang-
undang Federal Rusia tidak memberikan perlindungan hukum yang
memadai untuk pasien usia lanjut. Selain itu, keluarga pasien tersebut tidak
diberikan hak untuk melindungi kepentingan kesehatan pasien lanjut usia.
Penelitian diatas didukung juga dengan hasil penelitian jurnal
Netherlands yang dilakukan oleh Linda Dauwerse, et. all (2011),
mengemukakan secara sistematis menyelidiki kebutuhan spesifik untuk
dukungan etika dalam perawatan lansia dengan menggunakan desain
metode campuran. Temuan dua survei, dari dua kelompok fokus dan
wawancara 17 orang menunjukkan bahwa ketersediaan dukungan etika
pada lansia sangatlah terbatas. Artinya bahwa kebutuhan etika dalam
praktik keperawatan sangatlah penting, namun prinsip dan nilai-nilai etika
yang diterapkan tidak semuanya diterapkan dalam praktik keperawatan
gerontik.

C. PENGARUH ETIK PADA PERAWATAN LANSIA


Pengaruh prinsip etik dan nilai-nilai etik dapat memberi dampak dalam
keperawatan lanjut usia. Menurut hasil penelitian Lise-Lotte Jonasson,
MSc., et.all (2011), berdasarkan pengamatan pada lansia usia 65 tahun
dan wawancara tindak lanjut dengan 20 perawat dan data dianalisis dengan
analisis komparatif konstan menunjukkan adanya pengaruh etik dalam
perawatan lansia yaitu tiga kategori diidentifikasi berupa pertimbangan,
hubungan, dan perawatan. Kategori-kategori ini membentuk dasar kategori
inti yaitu ''Penguatan''. Dalam upaya penguatan, fokusnya adalah pada
orang yang membutuhkan integritas dan penentuan nasib sendiri yaitu
berupa prinsip otonomi. Pembenaran menempatkan tanggung jawab
khusus pada perawat akan manfaat pasien yang lebih tua melalui
dukungan dan pemberian kekuatan. Pengguatan tawaran lainnya dilakukan
dengan dukungan dan interaksi. Hal ini tidak cukup untuk menjadi
pertimbangan baik (yaitu untuk mendapatkan keuntungan seseorang); dan
juga menuntun perawat harus menghubungkan dan merawat orang tua
(yaitu menunjukkan non-sifat mencelakakan) untuk menguatkan lansia
tersebut. Sehingga hal tersebut dapat meningkatkan etika asuhan
keperawatan. Prinsip keadilan tidak secara khusus diidentifikasi sebagai
tindakan keperawatan pada pasien. Namun, semua pasien lanjut usia
menerima pengobatan, perawatan, dan penerimaan secara setara atau
sama tampa ada perbedaan.
D. CARA MENGATASI PERMASALAHAN NILAI-NILAI ETIK DAN PRINSIP
ETIK DALAM KEPERAWATAN LANSIA
Menurut hasil penelitian jurnal oleh Lise-Lotte Jonasson, MSc., et.all
(2009), berdasarkan penelitiannya mengemukakan tentang cara mengatasi
nila-inilai etik dalam perawatan lansia melalui wawancara dengan 14
keluarga terdekat dilakukan dan data yang dianalisis dengan analisis
komparatif konstan. Empat kategori diidentifikasi: berupa menerima,
menunjukkan rasa hormat, memfasilitasi partisipasi dan menunjukkan
profesi onalisme. Kategori ini membentuk dasar dari kategori inti: 'Menjadi
setuju', berikutnya sebuah konsep diidentifikasi dalam deskripsi kerabat
tentang nilai-nilai etis perawat dan pasien lansia berdasarkan hasil
pertemuan peduli lansia. Artinya bahwa dalam melakukan praktiknya
perawat dipandu oleh nilai-nilai etika, dengan mempertimbangkan pasien
lansia dan keluarga terdekat pasien. Perawat berfokus pada kesejahteraan
pasien lansia sebagai kriteria akhir yang dipengaruhi pula oleh keluarga
terdekat dan pengalaman perawat sehingga dari kondisi ini tampak
terpenuhinya perawatan berkualitas bagi pasien lansia.
Penelitian lain mengenai cara mengatasi etik pada perawatan lansia
oleh Journal S. Van Der Dam, et.all, (2011), berupa dengan dibentuknya
diskusi Moral Case Deliberation (MCD) memberikan kontribusi yang lebih
baik untuk megatasi masalah nilai-nilai etik yang muncul berhubungan
dengan perbedaan perspektif pada kalangan penyedi pelayanan, tenaga
kesehatan, keluarga pasien, dan pasien lansia sendiri. Selain itu, perlu
adanya unsur keterbukaan untuk mengatasi permasalahan-permasalahan
mengenai isu etik khususnya mengenai refleksi moral dalam perawatan
lansia sehari - hari. Sehingga masalah etik tersebut dapat diselesaikan
dengan baik.

E. IMPLIKASI KEPERAWATAN
Semakin meningkatnya isu isu legal dan etik dalam keperawatan lansia
beberapa hasil pe nelitian jurnal merekomendasikan implikasi bagi
keperawatan meliputi dalam pelayanan keperawatan perlu
mengembangkan unsur keterbukaan dan musyawarah antara penyedia
pelayanan, tenaga kesehatan, keluarga dan masyarakat yang nantinya
akan membantu dalam mengatasi masalah etis terkait moral perawat yang
mucul sehari-hari. Selain itu, penerapan nilai-nilai etika, prinsip etika, dan
menghargai oleh perawat akan otonomi lansia sebagai mahluk yang unik
dalam keperawatan gerontik serta mempunyai hak dan kewajiban yang
sama denganpasien lainnya dapat meningkatkan kepekaan perawat pada
pasien lansia.
Untuk dapat mengatasi setiap permasalahan etik dan legal pada
keperawatan gerontik, perawat juga perlu mena namkan prinsip bahwa
pasien lansia merupakan fokus utama dalam melakukan asuhan
keperawatan gerontik. Pasien lansia harus dianggap sebagai bagian yang
rentan dari populasi, dengan langkah-langkah hukum tambahan untuk
melindungi hak-hak mereka sehubungan dengan penyediaan perawatan
kesehatan.
BAB II
BERPIKIR KRITIS DALAM MANAJEMEN KASUS PADA GERONTIK

Dalam keperawatan, berpikir kritis adalah suatu kemampuan bagaimana


perawat mampu berpikir dengan sistematis dan menerapkan standar intelektual
untuk menganalisis proses berpikir. Berpikir kritis dalam keperawatan adalah
suatu komponen penting dalam mempertanggung jawabkan profesionalisme
dan kualitas pelayanan asuhan keperawatan. Berpikir kritis merupakan
pengujian rasional terhadap ide, pengaruh, asumsi, prinsip, argumen,
kesimpulan, isu, pernyataan, keyakinan, dan aktivitas (Bandman dan Bandman,
1988)
Berpikir bukan suatu proses statis, tetapi selalu berubah secara konstan
dan dinamis dalam setiap hari atau setiap waktu. Tindakan keperawatan
membutuhkan proses berpikir, oleh karena itu sangat penting bagi perawat
untuk mengerti berpikir secara umum. Pemikir kritis dalam praktik keperawatan
adalah seseorang yang mempunyai keterampilan pengetahuan untuk
menganalisis, menerapkan standar, mencari informasi, menggunakan alasan
rasional, memprediksi, dan melakukan transformasi pengetahuan. Pemikir kritis
dalam keperawatan menghasilkan kebiasaan-kebiasaan baik dalam berpikir,
yaitu: yakin, kontekstual, perspektif, kreatif, fleksibel, integritas intelektual,
intuisi, berpikir terbuka, refleksi, inquisitiviness, dan perseverance.
Menurut Wilkinson (1992), karakteristik berpikir kritis dalam keperawatan
pada prinsipnya merupakan suatu kesatuan dari berpikir (thinking), merasakan
(feeling), dan melakukan (doing). Mengingat profesi perawat merupakan profesi
yang langsung berhadapan dengan nyawa manusia, maka dalam menjalankan
aktivitasnya, perawat menggunakan perpaduan antara thingking, feeling, dan
doing secara konprehensif dan bersinergi. Perawat menerapkan keterampilan
berpikir dengan menggunakan pengetahuan dari berbagai subjek dan
lingkungannya, menangani perubahan yang berasal dari stresor lingkungan,
dan membuat keputusan penting.
TOPIK 1
BERPIKIR KRITIS DALAM MANAJEMEN KASUS PADA GERONTIK

A. Konsep Berpikir Kritis


1. Pengertian Berpikir Kritis
Berpikir kritis adalah proses mental untuk menganalisis atau
mengevaluasi informasi. Informasi tersebut didapatkan dari hasil
pengamatan, pengalaman, akal sehat, atau komunikasi. Berpikir bukan
merupakan sebuah proses statis; berpikir dapat berubah setiap hari hari
atau bahkan setiap jam. Karna berpikir sangat dinamis (berubah secara
konstan) dan karena semua tindakan keperawatan memerlukan
pemikiran, maka penting untuk memahami secara umum. Penting juga
untuk memahami gaya dan pola unik seseorang serta mengidentifikasi
tentang apa yang membantu seseorang untuk dapat berpikir lebih baik.
Dalam 10 menit sebelum anda mulai membaca teks ini, anda
mungkin telah berpikir, “apakah saya harus membaca sekarang atau
menonton TV?” “apakah saya harus berbaring di tempat tidur atau
duduk dikursi?” “apakah saya harus menggunakan stabilo atau saya
hanya membaca saja?” anda memikirkan jawabannya untuk setiap
pertanyaan tersebut. Bagaimana anda memikirkan jawaban tersebut?
Apakah anda mengingat perkataan guru anda bahwa konsentrasi akan
meningkat jika anda duduk dekat meja? Apakah anda berbaring di atas
tempat tidur karena anda selalu berbaring di atas tempat tidur ketika
sedang belajar? Apakah anda mempertimbangkan semua pilihan dan
berpikir mengenai keuntungan dan kerugiannya sebelum memutuskan
model belajar yang anda gunakan?
Setiap pilihan ini atau kombinasinya memerlukan model berpikir
yang berbeda. Anda mungkin bergantung pada kebiasaan masalalu
atau situasi belajar dilihat sebagai suatu masalah yang harus
diselesaikan. Mungkin anda memutuskan untuk melakukan suatu hal
baru atau berbeda, seperti membaca sembari mengayuh sepeda statis
dan mendengarkan musik. Semua tindakan yang anda lakukan
memerlukan pemikiran, tetapi tidak semua pemikiran sama. Jika anda
seperti sebagian besar masyarakat, anda tidak menghabiskan banyak
waktu untuk memikirkan tentang cara berpikir yang berbeda. Anda
bahkan mungkin tidak berpikir bahwa memikirkan cara berpikir adalah
hal penting. Kami percaya bahwa itu penting. Semakin baik anda
memahami cara berpikir anda, semakin mudah untuk mengembangkan
dan memelihara cara berpikir anda dalam keperawatan.
Definisi berpikir kritis cukup bervariasi, beberapa ahli seperti Paul,
Bandman, Stander mempunyai rumusan berpikir kritis masing–masing.
Menurut Paul (2005) berpikir kritis adalah suatu seni berpikir yang
berdampak pada intelektualitas seseorang, sehingga bagi orang yang
mempunyai kemampuan berpikir kritis yang baik, akan mempunyai
kemampuan intelektualitas yang lebih dibandingkan dengan orang yang
mempunyai kemampuan berpikir yang rendah. Menurut Bandman
(1988), berpikir kritis adalah pengujian secara rasional terhadap ide–
ide, kesimpulan, pendapat, prinsip, pemikiran, masalah, kepercayaan
dan tindakan. Stander (1992) berpendapat bahwa berpikir kritis adalah
suatu proses pengujian yang menitikberatkan pendapat tentang
kejadian atau fakta yang mutakhir dan menginterpretasikannya serta
mengevaluasi pendapat-pendapat tersebut untuk mendapatkan suatu
kesimpulan tentang adanya perspektif atau pandangan baru. Paul
(2005) mengemukakan bahwa berpikir kritis merupakan dasar untuk
mempelajari setiap disiplin ilmu. Suatu disiplin ilmu merupakan suatu
kesatuan sistem yang tidak terpisah sehingga untuk mempelajarinya
membutuhkan suatu ketrampilan berpikir tertentu.
Menurut para ahli (Pery dan Potter,2005), berpikir kritis adalah
suatu proses dimana seseorang atau individu dituntut untuk
menginterfensikan atau mengefaluasi informasi untuk membuat sebuah
penilain atau keputusan berdasarkan kemampuan,menerapkan ilmu
pengetahuan dan pengalaman. Menurut Bandman (1988), berpikir
kritis  adalah pengujian secara rasional terhadap ide-ide, kesimpulan,
pendapat, prinsip, pemikiran,masalah, kepercayaan, dan tindakan.
Menutut Strader  (1992), berpikir kritis adalah suatu proses pengujian
yang menitikberatkan  pendapat atau fakta yang mutahir dan
menginterfensikan serta mengefaluasikan pendapat-pendapat tersebut
untuk mendapatkan suatu kesimpulan tentang adanya perspektif
pandangan baru.
Menurut Ennis (1996) berpikir kritis adalah suatu proses,
sedangkan tujuannya adalah membuat keputusan yang masuk akal
tentang apa yang diyakini atau dilakukan. Berpikir kritis adalah berpikir
pada tingkat yang lebih tinggi, karena pada saat mengambil keputusan
atau menarik kesimpulan merupakan control aktif yaitu reasonable,
reflective, responsible, dan skillful thinking.
Proses berpikir ini dilakukan sepanjang waktu sejalan dengan
keterlibatan kita dalam pengalaman baru dan menerapkan
pengetahuan yang kita miliki, kita menjadi lebih mampu untuk
membentuk asumsi, ide-ide dan membuat kesimpulan yang valid,
semua proses tersebut tidak terlepas dari sebuah proses berpikir dan
belajar.
Definisi para ahli tentang berpikir kritis sangat beragam namun
secara umum berpikir kritis merupakan suatu proses berpikir kognitif
dengan menggabungkan kemampuan intelektual dan kemampuan
berpikir untuk mempelajari berbagai disiplin ilmu dalam kehidupan,
sehingga bentuk ketrampilan berpikir yang dibutuhkan pun akan
berbeda untuk masing–masing disiplin ilmu.
Berpikir berpikir kritis merupakan konsep dasar yang terdiri dari
konsep berpikir yang berhubungan dengan proses belajar dan krisis itu
sendiri sebagai sudut pandang selain itu juga membahas tentang
komponen berpikir kritis  dalam keperawatan yang didalamnya
dipelajari krakteristik, sikap dan standar berpikir kritis, analisis,
pertanyaan kritis, pengambilan keputusan dan kreatifitas dalam berpikir
kritis.
Berpikir kritis adalah proses perkembangan kompleks, yang
berdasarkan pada pikiran rasional dan cermat menjadi pemikir kritis
adalah denominatur umum untuk pengetahuan yang menjadi contoh
dalam pemikiran yang disiplin dan mandiri.
Dalam keperawatan, berpikir kritis adalah suatu kemampuan
bagaimana perawat mampu berpikir dengan sistematis dan
menerapkan standar intelektual untuk menganalisis proses berpikir.
Berpikir kritis dalam keperawatan adalah suatu komponen penting
dalam mempertanggung jawabkan profesionalisme dan kualitas
pelayanan asuhan keperawatan.
2. Komponen Berpikir Kritis
Komponen berpikir kritis terdiri atas standar yang harus ada dalam
berpikir kritis dan elemennya. Menurut Bassham (2002) komponen
berpikir kritis mencakup aspek kejelasan, ketepatan, ketelitian,
relevansi, konsistensi, kebenaran logika, kelengkapan dan kewajaran.
sedangkan menurut Paul dan Elder (2002) selain aspek–aspek yang
telah dikemukakan oleh Bassham perlu ditambahkan dengan aspek
keluasan kemaknaan dan kedalaman dari berpikir kritis.
Pendapat mengenai komponen berpikir kritis juga sangat
bervariasi. Para ahli membuat konsensus tentang komponen inti
berpikir kritis seperti interpretasi, analisi, evaluasi, inference,
explanation dan self regulation (APPA, 1990).
Definisi dari masing–masing komponen tersebut adalah :
a. Interpretasi, kemampuan untuk mengerti dan menyatakan arti atau
maksud suatu pengalaman yang bervariasi luas, situasi, data,
peristiwa, keputusan, konvesi, kepercayaan, aturan, prosedur atau
kriteria.
b. Analysis, kemampuan untuk mengidentifikasi maksud dan
kesimpulan yang benar di dalam hubungan antara pernyataan,
pertanyaan, konsep, deskripsi atau bentuk pernyataaan yang
diharapkan untuk manyatakan kepercayaan, keputusan,
pengalaman, alasan, informasi atau pendapat.
c. Evaluasi, kemampuan untuk menilai kredibilitas pernyataan atau
penyajian lain dengan menilai atau menggambarkan persepsi
seseorang, pengalaman, situasi, keputusan, kepercayaan dan
menilai kekuatan logika dari hubungan inferensial yang diharapkan
atau hubungan inferensial yang aktual diantara pernyataan,
deskripsi, pertanyaan atau bentuk–bentuk representasi yang lain.
d. Inference, kemampuan untuk mengidentifikasi dan memilih unsur-
unsur yang diperlukan untuk membentuk kesimpulan yang
beralasan atau untuk membentuk hipotesis dengan memperhatikan
informasi yang relevan.
e. Explanation, kemampuan untuk menyatakan hasil proses reasoning
seseorang, kemampuan untuk membenarkan bahwa suatu alasan
berdasar bukti, konsep, metodologi, suatu kriteria tertentu dan
pertimbangan yang masuk akal, dan kemampuan untuk
mempresentasikan alasan seseorang berupa argumentasi yang
meyakinkan.
f. Self Regulation, kesadaran seseorang untuk memonitor proses
kognisi dirinya, elemen–elemen yang digunakan dalam proses
berpikir dan hasil yang dikembangkan, khususnya dengan
mengaplikasikan ketrampilan dalam menganalisis dan
mengevaluasi kemampuan diri dalam mengambil kesimpulan
dengan bentuk pertanyaan, konfirmasi, validasi atau koreksi
terhadap alasan dan hasil berpikir (APPA, 1990).
3. Latar Belakang Berpikir Kritis dalam Keperawatan
Saat perawat bertemu klien, perawat akan selalu menggunakan
pemikiran. Misalnya, menggunakan pemikiran untuk mengumpulkan
data dan membuat kesimpulan. Setelah membu at kesimpulan perawat
akan menerapkan prblemsolving dengan melakukan sesuatu
pemecahan masalah guna memenuhi kebutuhan dasar klein.
Penerapan berpikik kritis dalam proses keperawatan diintregrasikan
dalam tahap-tahap proses keperawatan dan digunakan untuk
pengkajian rumusan diaknusis perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi
keperawatan.
a. Berfikir Kritis dalam Tahap Pengkajian dan Diagnosis
Berpikir kritis pada tahap pengkajian adalah proses
pemahaman tentang informasi apa yang dikumpulkan, metode
pengumpulan data yang akan dilakukan, berpikir tentang
kesesuaian informasi, dan membuat suatu kesimpulan tentang
respons klien terhadap kondisi sakitnya.
Perumusan masalah keperawatan merupakan kesimpulan dari
hasil pengkajian dan mengandung dua kategori mendasar, yaitu
kekuatan dan perhatian terhadap masalah kesehatan klien.
Perhatian terhadap masalah meliputi kemampuan perawat untuk
mengatasi masalah secara mandiri, an perlunya keterlibatan profesi
lain dan bekerja sama secara interdisiplin, serta perlu/tidaknya
perawatan klien yang harus dirujuk ke tenaga kesehatan lain.
Dengan demikian, berpikir kritis pada tahap pengkajian meliputi
kegiatan mengumpulkan data dan validasi.
Perumusan diagnosis keperawatan merupakan tahap
pengambilan keputusan yang paling kritis, karena harus
menentukan masalah dan argumentasi secara rasional. Oleh
karena itu, perlu dilatih sehingga lebih tajam dalam
mengidentifikasi  masalah.
b. Berpikir Kritis dalam Tahap Perencanaan
Berpikir dalam perencanaan brarti menggunakan pengetahuan
untuk mengembangkan hasil untuk diharapkan. Selain itu juga
memerlukan keterampilan guna mensintesis ilmu yang dimiliki
untuk memilih tindakan yang tepat. Perencanaan asuhan
keperawatan biasanya ditulis berisikan di mana dan bagaimana
menolong klien berdasarkan responsnya terhadap kondisi penyakit.
Bekerja dengan klien untuk memecahkan masalah yang
dihadapinya adalah hal yang paling prioritas, begitu juga
mengembangkan tujuan perawatan dan bekerja sama dalam
pencapaian tujuannya.
c. Berpikir Kritis dalam Tahap Implementasi
Berfikir kritis pada tahap implementasi tindakan keperawatan
adalah keterampilan dalam menguji hipotesis, karena tindakan
keperawatn adalah tindakan nyata yang menentukan tingkat
keberhasilan untuk mencapai tujuan. Bekerja melalui aktivitas
khusus, yaitu asuhan keperawatan untuk membantu mencapai
tujuan dalam perencanaan keperawatan, akan selalu menggunakan
pikiran tentang apa yang harus dilakukan, kapan, di mana,
mengapa, dan bagaimana intervensi keperawatan itu dilakukan.
d. Berpikir Kritis dalam Tahap Evaluasi
Berpikir kritis dalam tahap evaluasi adalah mengkaji efektivitas
tindakan di mana perawat harus dapat mengambil keputusan
tentang pemenuhan kebutuhan dasar klien, dan memutuskan
apakah tindakan keperawatan perlu diulang. Berpikir dan
kumpulkan informasi tentang respons klien setelah beberapa
tindakan keperawatan dilakukan. Bekerja sama dengan klien dalam
rangka evaluasi tindakan keperawatan adalah sangat penting.
Berpikir kritis dalam tahap evaluasi ini dapat dilakukan dengan
menggunakan model konsep total recall.
4. Karakteristik Berpikir Kritis dalam Keperawatan
Berikut ini adalah karakteristik dari proses berpikir kritis dan
penjabarannya.
a. Konseptualisasi
Konseptualisasi artinya proses intelektual membentuk suatu
konsep. Dan konseptualisasi merupakan pemikiran  abstrak yang
digeneralisasi secara otomatis menjadi simbol-simbol dan disimpan
di dalam otak.
b. Rasional dan Beralasan (reasonable)
Artinya argumen yang diberikan selalu berdasarkan analisis dan
mempunyai dasar kuat dari fakta atau fenomena nyata.
c. Reflektif
Artinya bahwa seorang pemikir kritis tidak menggunakan asumsi
atau persepsi dalam berpikir atau mengambil keputusan, tetapi
akan menyediakan waktu untuk mengumpulkan data dan
menganalisisnya berdasarkan disiplin ilmu, fakta, dan kejadian.
d. Bagian dari suatu sikap
Yaitu bagian dari suatu sikap yang harus diambil. Pemikir kritis
akan selalu menguji apakah sesuatu yang dihadapi itu lebih baik
atau lebih buruk dibanding yang lain, dengan menjawab pertanyaan
mengapa bisa begitu dan bagaimana seharusnya.
e. Kemandirian Berpikir
Seorang pemikir kritis selalu berpikir dalam dirinya, tidak pasif
menerima pemikiran dan keyakinan orang lain, menganalisis
semua isu, memutuskan secara benar, dan dapat dipercaya.
f. Berpikir Kritis Adalah Berpikir Kreatif
Maksudnya yaitu selalu menggunakan ketrampilan intelektualnya
untuk mencipta berdasarkan suatu pemikiran yang baru dan
dihasilkan dari sintesis beberapa konsep.
g. Berpikir Adil dan Terbuka
Yaitu mencoba untuk berubah, dari pemikiran yang salah dan
kurang menguntungkan menjadi benar dan lebih baik. Perubahan
dilakukan dengan penuh kesabaran dan kemauan, kemudian
hasilnya disosialisasikan beserta argumentasi mengapa memilih
dan memutuskan seperti itu.
h. Pengambilan Keputusan Berdasarkan Keyakinan
Berpikir kritis digunakan untuk mengevaluasi suatu argumentasi
dan kesimpulan, mencipta sesuatu pemikiran baru dan alternatif
solusi tindakan yang akan diambil.
5. Cara Berpikir Kritis Yang Baik
a. Mengenali Masalah ( Defining and dlarifying problem)
1) Mengidentifikasi isu-isu atau permasalahan pokok.
2) Membandingkan kesamaan dan perbedaan-perbedaan.
3) Memilih informasi yang relevan.
4) Merumuskan /memformulasikan masalah.
b. Menilai informasi yang relevan
1) Menyeleksi fakta, opini, hasil nalar/judgment.
2) Mengecek konsistensi.
3) Mengidentifikasi asumsi.
4) Mengenali kemungkinan faktor stereotip.
5) Mengenali kemungkinan emosi, propaganda, salah penafsiran
kalimat.
6) Mengenali kemungkinan perbedaan informasi orientasi nilai dan
ideologi.
c. Pemecahan Masalah / Penarikan kesimpulan
1) Mengenali data-data yang diperlukan dan cukup tidaknya data.
2) Meramalkan konsekuensi yang mungkin terjadi dari
keputusan/pemecahan masalah/kesimpulan yang diambil.
6. Model dari Berpikir Kritis
Dalam berpikir kritis terdapat beberapa model, yaitu:
a. Ingatan Total (T)
Berarti mengingat atau mempelajari beberapa fakta atau
tempat dan bagaimana cara untuk menemukannya ketika
dibutuhkan. Fakta-fakta ini disimpan dalam ingatan atau pikiran,
baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang. Memori
merupakan suatu proses yang kompleks. Beberapa orang dapat
mengingat banyak fakta-fakta yang tampaknya asing tanpa
berupaya keras, sementara orang lain harus berupaya keras.
b. Kebiasan (H)
Kebiasaan adalah pendekatan berpikir yang sering kali diulang
sehingga menjadi sifat alami kedua. Kebiasaan menghasilkan cara-
cara yang dapat diterima dalam melakukan segala hal. Kebiasaan
memungkinkan seseorang melakukan suatu tindakan tanpa harus
memikirkan sebuah metode dari setiap kali ia akan bertindak. Ada
kebiasaan lain yang asal pemikirannya tidak jelas, ini adalah proses
intuitif. Intuisi sering dijelaskan sebagai sebuah “reaksi dari dalam
diri”. Polanyi (1964) menjelaskan fenomena serupa, yang disebut
“pengetahuan yang diam”, yaitu langkah penemuan pengetahuan
itu tidak dapat diidentifikasikan.
c. Penyelidikan (I)
Penyelidikan adalah memeriksa isu secara sangat mendetail
dan mempertanyakan isu yang mungkin segera tampak dengan
jelas. Apabila anda menggunakan tingkat pertanyaan ini dalam
situasi sosial, anda akan disebut “terlalu memaksa”. Penyelidikan
termasuk menggali dan mempertanyakan segala hal terutama
asumsi pribadi seseorang dalam situasi tertentu. Penyelidikan
berarti tidak menilai sesuatu berdasarkan bentuk luarnya, mencari
faktor-faktor yang kurang jelas, meragukan semua pesan pertama,
dan memeriksa segala sesuatu, walaupun hal tersebut tampak
tidak bermakna.
d. Ide baru dan Kreativitas (N)
Ide baru dan Kreativitas merupakan model berpikir yang sangat
khusus bagi anda. Ide baru dan Kreativitas sangat penting dalam
keperawatan karena merupakan akar dari asuhan yang
diindividualisasi atau asuhan yang sesuai dengan spesifikasi klien.
Banyak hal yang dipelajari perawat yang harus digabungkan,
disesuaikan, dan dikerjakan ulang untuk menyesuaikan dengan
setiap situasi klien yang unik.
e. Mengetahui Bagaimana Anda Berpikir (K)
Mengetahui bagaimana anda berpikir adalah model T.H.I.N.K.
yang terakhir, tetapi bukan tidak penting, berarti berpikir tentang
pemikiran seseorang. Berpikir tentang pemikiran disebut
“metakognisi” sebuah kata yang terdiri dari kata awalan, “meta”,
yang berarti “diantara atau ditengah-tengah dari”, dan “kognisi”,
yang berarti “proses mengetahui”. Apabila anda berada ditengah-
tengah proses mencari tahu, Anda akan mengetahui bagaimana
Anda berpikir. Mengetahui bagaimana anda berpikir tidak
sesederhana seperti yang terdengar. Sebagian besar kita “hanya
berpikir”, kita tidak menghabiskan banyak waktu untuk
merenungkan bagaimana kita berpikir.

B. Konsep Gerontik
1. Definisi Lansia
Lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke
atas. Menua bukanlah suatu penyakit, tetapi merupakan proses
yang berangsur-angsur mengakibatkan perubahan kumulatif,
merupakan proses menurunnya daya tahan tubuh dalam
menghadapi rangsangan dari dalam dan luar tubuh, seperti didalam
Undang-Undang No. 13 tahun 1998 yang isinya menyatakan bahwa
pelaksanaan pembangunan nasional yang bertujuan mewujudkan
masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan
UndangUndang Dasar 1945, telah menghasilkan kondisi sosial
masyarakat yang makin membaik dan usia harapan hidup makin
meningkat, sehingga jumlah lanjut usia makin bertambah. Banyak
diantara lanjut usia yang masih produktif dan mampu berperan aktif
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Upaya peningkatan kesejahteraan sosial lanjut usia pada
hakikatnya merupakan pelestarian nilai-nilai keagamaan dan budaya
bangsa. Menua atau menjadi tua adalah suatu keadaaan yang
terjadi di dalam kehidupan manusia. Proses menua merupakan
proses sepanjang hidup, tidak hanya dimulai dari suatu waktu tertentu,
tetapi dimulai sejak permulaan kehidupan. Menjadi tua merupakan
proses alamiah yang berarti seseorang telah melalui tiga tahap
kehidupan, yaitu anak, dewasa dan tua (Nugroho, 2006).
2. Batasan Lansia
a. WHO (1999) menjelaskan batasan lansia adalah sebagai berikut :
1) Usia lanjut (elderly) antara usia 60-74 tahun,
2) Usia tua (old) :75-90 tahun, dan
3) Usia sangat tua (very old) adalah usia > 90 tahun.
b. Depkes RI (2005) menjelaskan bahwa batasan lansia dibagi
menjadi tiga katagori, yaitu:
1) Usia lanjut presenilis yaitu antara usia 45-59 tahun,
2) Usia lanjut yaitu usia 60 tahun ke atas,
3) Usia lanjut beresiko yaitu usia 70 tahun ke atas atau usia 60
tahun ke atas dengan masalah kesehatan.
3. Ciri–Ciri Lansia
Ciri-ciri lansia adalah sebagai berikut :
a. Lansia merupakan periode kemunduran.
Kemunduran pada lansia sebagian datang dari faktor fisik dan
faktor psikologis. Motivasi memiliki peran yang penting dalam
kemunduran pada lansia. Misalnya lansia yang memiliki motivasi
yang rendah dalam melakukan kegiatan, maka akan mempercepat
proses kemunduran fisik, akan tetapi ada juga lansia yang memiliki
motivasi yang tinggi, maka kemunduran fisik pada lansia akan lebih
lama terjadi.
b. Lansia memiliki status kelompok minoritas.
Kondisi ini sebagai akibat dari sikap sosial yang tidak
menyenangkan terhadap lansia dan diperkuat oleh pendapat yang
kurang baik, misalnya lansia yang lebih senang mempertahankan
pendapatnya maka sikap sosial di masyarakat menjadi negatif,
tetapi ada juga lansia yang mempunyai tenggang rasa kepada
orang lain sehingga sikap sosial masyarakat menjadi positif.
c. Menua membutuhkan perubahan peran.
Perubahan peran tersebut dilakukan karena lansia mulai
mengalami kemunduran dalam segala hal. Perubahan peran pada
lansia sebaiknya dilakukan atas dasar keinginan sendiri bukan atas
dasar tekanan dari lingkungan. Misalnya lansia menduduki jabatan
sosial di masyarakat sebagai Ketua RW, sebaiknya masyarakat
tidak memberhentikan lansia sebagai ketua RW karena usianya.
d. Penyesuaian yang buruk pada lansia.
Perlakuan yang buruk terhadap lansia membuat mereka
cenderung mengembangkan konsep diri yang buruk sehingga
dapat memperlihatkan bentuk perilaku yang buruk. Akibat dari
perlakuan yang buruk itu membuat penyesuaian diri lansia menjadi
buruk pula. Contoh : lansia yang tinggal bersama keluarga sering
tidak dilibatkan untuk pengambilan keputusan karena dianggap
pola pikirnya kuno, kondisi inilah yang menyebabkan lansia menarik
diri dari lingkungan, cepat tersinggung dan bahkan memiliki harga
diri yang rendah.
4. Perkembangan Lansia
Usia lanjut merupakan usia yang mendekati akhir siklus kehidupan
manusia di dunia. Tahap ini dimulai dari 60 tahun sampai akhir
kehidupan. Lansia merupakan istilah tahap akhir dari proses penuaan.
Semua orang akan mengalami proses menjadi tua (tahap penuaan).
Masa tua merupakan masa hidup manusia yang terakhir, dimana pada
masa ini seseorang mengalami kemunduran fisik, mental dan sosial
sedikit demi sedikit sehingga tidak dapat melakukan tugasnya sehari-
hari lagi (tahap penurunan). Penuaan merupakan perubahan kumulatif
pada makhluk hidup, termasuk tubuh, jaringan dan sel, yang
mengalami penurunan kapasitas fungsional. Pada manusia, penuaan
dihubungkan dengan perubahan degeneratif pada kulit, tulang, jantung,
pembuluh darah, paru-paru, saraf dan jaringan tubuh lainnya. Dengan
kemampuan regeneratif yang terbatas, mereka lebih rentan terhadap
berbagai penyakit, sindroma dan kesakitan dibandingkan dengan orang
dewasa lain. Untuk menjelaskan penurunan pada tahap ini, terdapat
berbagai perbedaan teori, namun para ahli pada umumnya sepakat
bahwa proses ini lebih banyak ditemukan pada faktor genetik.
5. Permasalahan Lansia Di Indonesia
Jumlah lansia di Indonesia tahun 2014 mencapai 18 juta jiwa dan
diperkirakan akan meningkat menjadi 41 juta jiwa di tahun 2035 serta
lebih dari 80 juta jiwa di tahun 2050. Tahun 2050, satu dari empat
penduduk Indonesia adalah penduduk lansia dan lebih mudah
menemukan penduduk lansia dibandingkan bayi atau balita.
Sedangkan sebaran penduduk lansia pada tahun 2010, Lansia yang
tinggal di perkotaan sebesar 12.380.321 (9,58%) dan yang tinggal di
perdesaan sebesar 15.612.232 (9,97%). Terdapat perbedaan yang
cukup besar antara lansia yang tinggal di perkotaan dan di perdesaan.
Perkiraan tahun 2020 jumlah lansia tetap mengalami kenaikan yaitu
sebesar 28.822.879 (11,34%), dengan sebaran lansia yang tinggal di
perkotaan lebih besar yaitu sebanyak 15.714.952 (11,20%)
dibandingkan dengan yang tinggal di perdesaan yaitu sebesar
13.107.927 (11,51%). Kecenderungan meningkatnya lansia yang
tinggal di perkotaan ini dapat disebabkan bahwa tidak banyak
perbedaan antara rural dan urban.
Kebijakan pemerintah terhadap kesejahteraan lansia menurut UU
Kesejahteraan Lanjut Usia (UU No 13/1998) pasa 1 ayat 1:
Kesejahteraan adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial
baik material maupun spiritual yang diliputi oleh rasa keselamatan,
kesusilaan, dan ketenteraman lahir batin yang memungkinkan bagi
setiap warga negara untuk mengadakan pemenuhan kebutuhan
jasmani, rohani, dan sosial yang sebaik-baiknya bagi diri, keluarga,
serta masyarakat dengan menjunjung tinggi hak dan kewajiban asasi
manusia sesuai dengan Pancasila. Pada ayat 2 disebutkan, Lanjut Usia
adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 (enam puluh) tahun
keatas. Dan mereka dibagi kepada dua kategori yaitu lanjut usia
potential (ayat 3) dan lanjut usia tidak potensial (ayat 4). Lanjut Usia
Potensial adalah lanjut usia yang masih mampu melakukan pekerjaan
dan/atau kegiatan yang dapat menghasilkan barang dan/atau jasa.
Sedangkan Lanjut Usia Tidak Potensial adalah lanjut usia yang tidak
berdaya mencari nafkah sehingga hidupnya bergantung pada bantuan
orang lain. Bagi Lanjut Usia Tidak potensial (ayat 7) pemerintah dan
masyarakat mengupayakan perlindungan sosial sebagai kemudahan
pelayanan agar lansia dapat mewujudkan dan menikmati taraf hidup
yang wajar.
Selanjutnya pada ayat 9 disebutkan bahwa pemeliharaan taraf
kesejahteraan sosial adalah upaya perlindungan dan pelayanan yang
bersifat terus-menerus agar lanjut usia dapat mewujudkan dan
menikmati taraf hidup yang wajar. Lanjut usia mengalami masalah
kesehatan. Masalah ini berawal dari kemunduran selsel tubuh,
sehingga fungsi dan daya tahan tubuh menurun serta faktor resiko
terhadap penyakit pun meningkat. Masalah kesehatan yang sering
dialami lanjut usia adalah malnutrisi, gangguan keseimbangan,
kebingungan mendadak, dan lain-lain. Selain itu, beberapa penyakit
yang sering terjadi pada lanjut usia antara lain hipertensi, gangguan
pendengaran dan penglihatan, demensia, osteoporosis, dsb. Data
Susenas tahun 2012 menjelaskan bahwa angka kesakitan pada lansia
tahun 2012 di perkotaan adalah 24,77% artinya dari setiap 100 orang
lansia di daerah perkotaan 24 orang mengalami sakit. Di pedesaan
didapatkan 28,62% artinya setiap 100 orang lansia di pedesaan, 28
orang mengalami sakit.
Berdasarkan Undang-Undang No. 36 tahun 2009 tentang
kesehatan, upaya pemeliharaan kesehatan bagi lanjut usia harus
ditujukan untuk menjaga agar tetap hidup sehat dan produktif secara
sosial maupun ekonomis. Selain itu, Pemerintah wajib menjamin
ketersediaan pelayanan kesehatan dan memfasilitasi kelompok lansia
untuk dapat tetap hidup mandiri dan produktif, hal ini merupakan upaya
peningkatan kesejahteraan lansia khususnya dalam bidang kesehatan.
Upaya promotif dan preventif merupakan faktor penting yang harus
dilakukan untuk mengurangi angka kesakitan pada lansia. Untuk
mencapai tujuan tresebut, harus ada koordinasi yang efektif antara
lintas program terkait di lingkungan Kementerian Kesehatan dan
organisasi profesi. Kebijakan Kementerian Kesehatan dalam
pelayanan kesehatan melalui penyediaan sarana pelayanan kesehatan
yang ramah bag lansia bertujuan untuk meningkatkan derajat
kesehatan lansia supaya lebih berkualitas dan berdaya guna bagi
keluarga dan masyarakat. Upaya yang dikembangkan untuk
mendukung kebijakan tersebut antara lain pada pelayanan kesehatan
dasar dengan pendekatan Pelayanan Santun Lansia, meningkatkan
upaya rujukan kesehatan melalui pengembangan Poliklinik Geriatri
Terpadu di Rumah Sakit, dan menyediakan sarana dan prasarana
yang ramah bagi lansia.Kesadaran setiap lansia untuk menjaga
kesehatan dan menyiapkan hari tua dengan sebaik dan sedini mungkin
merupakan hal yang sangat penting. Semua pelayanan kesehatan
harus didasarkan pada konsep pendekatan siklus hidup dengan tujuan
jangka panjang, yaitu sehat sampai memasuki lanjut usia.
Pendapat lain menjelaskan bahwa lansia mengalami perubahan
dalam kehidupannya sehingga menimbulkan beberapa masalah.
Permasalahan tersebut diantaranya yaitu : a. Masalah fisik Masalah
yang hadapi oleh lansia adalah fisik yang mulai melemah, sering terjadi
radang persendian ketika melakukan aktivitas yang cukup berat, indra
pengelihatan yang mulai kabur, indra pendengaran yang mulai
berkurang serta daya tahan tubuh yang menurun, sehingga seringsakit.
b. Masalah kognitif (intelektual). Masalah yang dihadapi lansia terkait
dengan perkembangan kognitif, adalah melemahnya daya ingat
terhadap sesuatu hal (pikun), dan sulit untuk bersosialisasi dengan
masyarakat di sekitar. c. Masalah emosional Masalah yang hadapi
terkait dengan perkembangan emosional, adalah rasa ingin berkumpul
dengan keluarga sangat kuat, sehingga tingkat perhatian lansia kepada
keluarga menjadi sangat besar. Selain itu, lansia sering marah apabila
ada sesuatu yang kurang sesuai dengan kehendak pribadi dan sering
stres akibat masalah ekonomi yang kurang terpenuhi. d. Masalah
spiritual Masalah yang dihadapi terkait dengan perkembangan spiritual,
adalah kesulitan untuk menghafal kitab suci karena daya ingat yang
mulai menurun, merasa kurang tenang ketika mengetahui anggota
keluarganya belum mengerjakan ibadah, dan merasa gelisah ketika
menemui permasalahan hidup yang cukup serius.
6. Tujuan Pelayanan Kesehatan Pada Lansia
Pelayanan pada umumnya selalu memberikan arah dalam
memudahkan petugas kesehatan dalam memberikan pelayanan sosial,
kesehatan, perawatan dan meningkatkan mutu pelayanan bagi lansia.
Tujuan pelayanan kesehatan pada lansia terdiri dari :
a. Mempertahankan derajat kesehatan para lansia pada taraf yang
setinggi-tingginya, sehingga terhindar dari penyakit atau gangguan.
b. Memelihara kondisi kesehatan dengan aktifitas-aktifitas fisik dan
mental
c. Mencari upaya semaksimal mungkin agar para lansia yang
menderita suatu penyakit atau gangguan, masih dapat
mempertahankan kemandirian yang optimal.
d. Mendampingi dan memberikan bantuan moril dan perhatian pada
lansia yang berada dalam fase terminal sehingga lansia dapat
mengadapi kematian dengan tenang dan bermartabat. Fungsi
pelayanan dapat dilaksanakan pada pusat pelayanan sosial lansia,
pusat informasi pelayanan sosial lansia, dan pusat pengembangan
pelayanan sosial lansia dan pusat pemberdayaan lansia.
7. Pendekatan Perawatan Lansia
a. Pendekatan Fisik Perawatan pada lansia juga dapat dilakukan
dengan pendekatan fisik melalui perhatian terhadap kesehatan,
kebutuhan, kejadian yang dialami klien lansia semasa hidupnya,
perubahan fisik pada organ tubuh, tingkat kesehatan yang masih
dapat dicapai dan dikembangkan, dan penyakit yang dapat dicegah
atau progresifitas penyakitnya. Pendekatan fisik secara umum bagi
klien lanjut usia dapat dibagi 2 bagian:
1) Klien lansia yang masih aktif dan memiliki keadaan fisik yang
masih mampu bergerak tanpa bantuan orang lain sehingga
dalam kebutuhannya sehari-hari ia masih mampu
melakukannya sendiri.
2) Klien lansia yang pasif, keadaan fisiknya mengalami
kelumpuhan atau sakit. Perawat harus mengetahui dasar
perawatan klien lansia ini, terutama yang berkaitan dengan
kebersihan perseorangan untuk mempertahankan kesehatan.
b. Pendekatan Psikologis Perawat mempunyai peranan penting untuk
mengadakan pendekatan edukatif pada klien lansia. Perawat dapat
berperan sebagai pendukung terhadap segala sesuatu yang asing,
penampung rahasia pribadi dan sahabat yang akrab. Perawat
hendaknya memiliki kesabaran dan ketelitian dalam memberi
kesempatan dan waktu yang cukup banyak untuk menerima
berbagai bentuk keluhan agar lansia merasa puas. Perawat harus
selalu memegang prinsip triple S yaitu sabar, simpatik dan service.
Bila ingin mengubah tingkah laku dan pandangan mereka terhadap
kesehatan, perawat bisa melakukannya secara perlahan dan
bertahap.
c. Pendekatan Sosial Berdiskusi serta bertukar pikiran dan cerita
merupakan salah satu upaya perawat dalam melakukan
pendekatan sosial. Memberi kesempatan untuk berkumpul bersama
dengan sesama klien lansia berarti menciptakan sosialisasi.
Pendekatan sosial ini merupakan pegangan bagi perawat bahwa
lansia adalah makhluk sosial yang membutuhkan orang lain.
Dalam pelaksanaannya, perawat dapat menciptakan hubungan
sosial, baik antar lania maupun lansia dengan perawat. Perawat
memberi kesempatan seluas-luasnya kepada lansia untuk
mengadakan komunikasi dan melakukan rekreasi. Lansia perlu
dimotivasi untuk membaca surat kabar dan majalah.
8. Prinsip Etika Pada Pelayanan Kesehatan Lansia
Beberapa prinsip etika yang harus dijalankan dalam pelayanan pada
lansia adalah (Kane et al, 1994, Reuben et al, 1996) :
a. Empati: istilah empati menyangkut pengertian “simpati atas dasar
pengertian yang dalam”artinya upaya pelayanan pada lansia harus
memandang seorang lansia yang sakit dengan pengertian, kasih
sayang dan memahami rasa penderitaan yang dialami oleh
penderita tersebut. Tindakan empati harus dilaksanakan dengan
wajar, tidak berlebihan, sehingga tidak memberi kesan over
protective dan belas-kasihan. Oleh karena itu semua petugas
geriatrik harus memahami peroses fisiologis dan patologik dari
penderita lansia.
b. Non maleficence dan beneficence. Pelayanan pada lansia selalu
didasarkan pada keharusan untuk mengerjakan yang baik dan
harus menghindari tindakan yang menambah penderitaan (harm).
Sebagai contoh, upaya pemberian posisi baring yang tepat untuk
menghindari rasa nyeri, pemberian analgesik (kalau perlu dengan
derivat morfina) yang cukup, pengucapan kata-kata hiburan
merupakan contoh berbagai hal yang mungkin mudah dan praktis
untuk dikerjakan.
c. Otonomi yaitu suatu prinsip bahwa seorang individu mempunyai
hak untuk menentukan nasibnya, dan mengemukakan
keinginannya sendiri. Tentu saja hak tersebut mempunyai batasan,
akan tetapi di bidang geriatri hal tersebut berdasar pada keadaan,
apakah lansia dapat membuat keputusan secara mandiri dan
bebas. Dalam etika ketimuran, seringakali hal ini dibantu (atau
menjadi semakin rumit ?) oleh pendapat keluarga dekat. Jadi
secara hakiki, prinsip otonomi berupaya untuk melindungi penderita
yang fungsional masih kapabel (sedangkan non-maleficence dan
beneficence lebih bersifat melindungi penderita yang inkapabel).
Dalam berbagai hal aspek etik ini seolah-olah memakai prinsip
paternalisme, dimana seseorang menjadi wakil dari orang lain
untuk membuat suatu keputusan (misalnya seorang ayah membuat
keputusan bagi anaknya yang belum dewasa).
d. Keadilan: yaitu prinsip pelayanan pada lansia harus memberikan
perlakuan yang sama bagi semua. Kewajiban untuk
memperlakukan seorang penderita secara wajar dan tidak
mengadakan pembedaan atas dasar karakteristik yang tidak
relevan.
e. Kesungguhan hati: Suatu prinsip untuk selalu memenuhi semua
janji yang diberikan pada seorang lansia.
BAB III
PENANGANAN KEJADIAN PELANTARAN PADA LANSIA

Meningkatnya jumlah lansia menyebabkan lansia tidak hanya hidup


lebih lama tetapi juga mengalami berbagai faktor risiko. Berbagai faktor
risiko yang mempengaruhi lansia seperti risiko biologis, risiko perilaku
atau gaya hidup, dan risiko lingkungan. Risiko biologis terkait dengan
meningkatnya usia dan penurunan fungsi organ, risiko perilaku atau
gaya hidup yang ditunjukkan dari kebiasaan perilaku sehat, dan risiko
lingkungan karena adanya perubahan status sosial Umumnya lansia laki-
laki mengalami pengabaian fisik dan lansia perempuan mengalami
pengabaian psikologis. Pengabaian yang terjadi pada lansia dikaitkan
dengan anak yang bekerja dan tidak berkerja, tidak memiliki pasangan
hidup, memiliki persepsi diri yang tidak baik mengenai kesehatan, dan
memiliki ketidakmampuan atau cacat.
TOPIK 1
PENELANTARAN TERHADAP LANSIA

A. PENGERTIAN KEKERASAN
Kekerasan adalah penggunaan kekuatan fisik dan kekuasaan,
ancaman atau tindakan terhadap diri sendiri, perorangan atau sekelompok
orang atau masyarakat yang mengakibatkan atau kemungkinan besar
mengakibatkan memar/trauma, kematian, kerugian psikologis, kelainan
perkembangan atau perampasan hak (Bagong dkk, 2000).
Kekerasan terhadap usia lanjut pada umumnya adalah mengacu pada
salah satu tindakan dari beberapa bentuk penganiayaan dari seseorang
yang memiliki hubungan khusus dengan usia lanjut seperti pasangan,
saudara, anak, teman atau pengasuh di rumah, menurut (NCEA 1998
dalam Mcdonald 2000 ).

B. MACAM-MACAM KEKERASAN TERHADAP USIA LANJUT


Tidak dipungkiri lagi tindak kekerasan sering terjadi dalam kehidupan
masyarakat. Tindak kekerasan seolah-olah telah melekat dalam diri
seseorang guna mencapai tujuan hidupnya. Tidak mengherankan jika
semakin hari kekerasan semakin meningkat dalam berbagai macam dan
bentuk. Kekerasan terhadap usia lanjut di bagi menjadi beberapa tipe
menurut (Anne dan Duggan, 1998) :
1. Kekerasan Psikologis
Ketika usia lanjut diperlakukan secara memalukan. Contohnya bisa
berupa: diancam seperti halnya seorang anak kecil; tidak dianggap di
dalam keluarga dan tidak dihiraukan/diabaikan, atau lain-lain, yang
kesemua itu bisa mengakibatkan luka secara emosional.
2. Kekerasan Seksual
Kekerasan Seksual jika usia lanjut terkena resiko untuk diperkosa;
atau ketika ada tindakan memalukan seperti pemaksaan untuk
membuka baju, dll. Penggunaan bahasa yang tidak layak dan sindiran
berbau seks. Kesemua perilaku itu bisa dikategorikan ke dalam
tindakan kekerasan seksual.
3. Kekerasan Finansial
Hal ini bisa terjadi, ketika seseorang yang bertanggung jawab atas
kondisi keuangan seorang usia lanjut , seperti ; mencuri uangnya,
mencegah usia lanjut untuk mengambil uangnya, buat memenuhi
keperluan perawatan yang dibutuhkan atau bahkan sekedar memenuhi
kebutuhan dasarnya.
4. Kekerasan Fisik
Penggunaan kekuatan mengakibatkan tubuh cedera, sakit fisik,
atau gangguan fisik. Kekerasan fisik mungkin melibatkan tindakan
seperti kekerasan yang mencolok mendorong mencubit mendorong
menampar, menendang dan pembakaran. Mungkin juga termasuk
penggunaan obat yang tidak tepat, pembatasan dalam pemberian
makan dan hukuman fisik.
5. Pengabaian atau Penolakan
Penelantaran juga termasuk kegagalan seseorang yang memiliki
tanggung jawab keuangan untuk memberikan perawatan. Kegagalan
pada bagian dari penyedia layanan untuk memberikan asuhan.
Pengabaian berarti penolakan atau kegagalan untuk menyediakan
kebutuhan hidup seperti makanan, pakaian, obat-obatan, air,
penampungan, kebersihan pribadi, kenyamanan keamanan diri dan
kebutuhan lainnya termasuk dalam tersirat atau disepakati tanggung
jawab untuk usia lanjut.
6. Pengabaian atau Membelot
Seorang individu yang telah mengambil tanggung jawab untuk
memberikan perawatan kepada usia lanjut tetapi tidak melakukan
tanggung jawabnya dengan baik dan benar sehingga membahayakan
kesehatan fisik dan mental usia lanjut.

C. FAKTOR RESIKO KEKERASAN TERHADAP LANSIA


Bagan faktor resiko penyalahgunaan atau sebab-sebab terjadinya
kekerasan terhadap usia lanjut menurut (Lacks, dan Pillemer, 1995) adalah:

Faktor Resiko Mekanisme


Menurunnya kesehatan dan Terbatasnya kemampuan orang tua untuk
fungsional pada usia lanjut mencari bantuan dan membela diri
Kognitif yang menurunan Perilaku agresif atau mengganggu akibat
pada usia lanjut suatu penyakit mungkin dimensia. tingkat
yang lebih tinggi dari pelecehan telah
ditemukan di antara pasien dengan
dimensia
Substansi atau Pelaku suatu waktu kemungkinan
penyalahgunaan mental melakukan penyalahgunaan alkohol atau
pelaku obat-obatan yang menyebabkan
kehilangan kontrol sehingga dapat
menyebabkan perilaku kasar terhadap
usia lanjut
Ketergantungan pelaku pada Pelaku banyak tergantung pada korban
korban dalam hal finansial dan menyalahgunkan
hasil berupa uang oleh seorang kerabat
(terutama anak dewasa) untuk
mendapatkan harta warisan dari orang
tua atau usia lanjut
Pengaturan hidup bersama Orang dewasa yang hidup sendiri jauh
lebih kecil kemungkinannya untuk
disalahgunakan situasi hidup bersama
menyediakan celah yang lebih besar
untuk mendapat tekanan dan konflik yang
mana pada umumnya menjurus dalam
insiden kekerasan terhadap usia lanjut
Faktor eksternal yang Peristiwa kehidupan yang penuh dengan
menyebabkan stres stres dan ketegangan keuangan akan
dapat menimbulkan suatu perbuatan dari
keluarga dan meningkatkan kemungkinan
bahwa pelecehan akan terdeteksi dan
berhenti di samping dukungan sosial
dapat menyangga efek stres
Isos atau isolasi sosial pada usia lanjut dengan sedikit kontak sosial
usia lanjut memungkinkan menjadi korban
pelecehan dan kekerasan
Sejarah kekerasan Khususnya di kalangan pasangan
kekerasan dalam hubungan dapat
memprediksi penyalahgunaan atau
kekerasan terhadap usia lanjut bisa
terjadi di kemudian hari
Mengasuh dengan stress Pengasuh di bawah tekanan besar dari
perawatan terus menerus berada pada
peningkatan risiko untuk menjadi pelaku
yang ini bukan penyebab pelecehan
tetapi menjadi pemicu

D. KEKERASAN TERHADAP USIA LANJUT


Dari penjelasan beberapa teori diatas dapat disimpulkan bahwa
kekerasan pada usia lanjut adalah suatu kondisi ketika seorang usia lanjut
mengalami kekerasan oleh orang lain; yang seringkali dalam banyak kasus,
berasal dari orang-orang yang mereka percayai. Salah satu tindakan
kekerasan yang selama ini sering kita lihat dan dianggap hal yang biasa
bagi sebagian masyarakat adalah tindak kekerasan dalam bentuk
membiarkan atau mengabaikan seorang usia lanjut yang masih
mengerjakan pekerjaan yang tidak sesuai dengan kemampuan fisik
maupun mental usia lanjut tersebut.
Mencegah terjadinya tindak kekerasan pada usia lanjut dan
meningkatkan kesadaran keluarga akan hal ini menjadi suatu tugas yang
cukup sulit dikarenakan keluarga adalah orang yang berperan penting dan
berharga bagi kehidupan usia lanjut itu sendiri sehinga menimbulkan
anggapan bahwa keluarga adalah segalanya sehingga usia lanjut rela
untuk melakukan pekerjaan apapun dengan terpaksa maupun tidak usia
lanjut tetap melakukannya walaupun menyadari dengan fungsi kesehatan
fisik dan mentalnya yang semakin hari semakin menurun.
Keluarga juga berpikir bahwa jika bekerja itu sudah menjadi kemauan
usia lanjut untuk mengisi aktifitas sehari-hari dan sambil membantu
pendapatan keluarga maka keluarga membiarkannya dan tidak
memberikan nasehat apapun bahwa apa yang dilakukan usia lanjut itu akan
mempengaruhi fungsi kesehatan fisik dan mentalnya. Keluarga juga
merasa terbantu dengan apa yang dilakukan oleh usia lanjut tanpa
menyadari dampak yang akan terjadi pada usia lanjut itu sendiri.

E. INDIKASI KEKERASAN TERHADAP USIA LANJUT


Kita dapat mengetahui dari berbagai indikasi yang ditimbulkan dari suatu
tindak kekerasan terhadap usia lanjut dengan memperhatikan beberapa
kondisi berikut menurut (Anne dan Duggan, 1998) :
1. Indikator kekerasan pada fisik
a. Memar (pada daerah permukaan yang kulit bagian tubuh)
b. Laserasi (terutama ke mulut, bibir, gusi, mata, telinga)
c. Lecet, goresan , terkilir, dislokasi, patah tulang
d. Terbakar (ditimbulkan oleh rokok, korek api, besi, perendaman
dalam air panas)
e. Tanda bekas muntah, rambut rontok karena ditarik paksa, cidera
pada bagian mata karena bekas tamparan.
2. Indikator kekerasan seksual
a. Trauma tentang alat kelamin, payudara, rektum, dan mulut,
b. Cedera pada wajah, leher, dada, perut, paha, pantat,
c. Adanya penyakit menular seksual, dan terdapat gigitan manusia
pada bagian tertentu
3. Indikator kekerasan psikologis
a. Demoralisasi, depresi, dan perasaan putus asa / tidak berdaya
b. Terganggu nafsu makan / tidur pola, menangis yang berlarut-larut,
ketakutan berlebihan, agitasi
c. Pengunduran diri tanpa alasan yang tidak jelas dan kebingungan
4. Indikator penyalahgunaan keuangan
a. Ketidakmampuan untuk membayar tagihan, tiba-tiba uang di
rekening tabungan berkurang, kerusakan properti, dan hilangnya
harta tanpa sepengetahuan usia lanjut
b. Tidak ada dana untuk makanan, pakaian, layanan kesehatan,
c. Disparitas antara kondisi hidup dan aset, dan membuat keputusan
keuangan yang dramatis
5. Indikator dari pengabaian
a. Usia lanjut dibiarkan bekerja berat, dehidrasi, malnutrisi
b. Memakai pakaian tidak pantas, usia lanjut terlihat kotor
c. Kebutuhan medis tidak terpenuhi, terpapar dengan berbagai
bahaya atau infeksi penyakit
d. Terpapar dengan berbagai bahaya atau infeksi penyakit
e. Tidak adanya pemberian alat bantu yang dibutuhkan, seperti :
gelas, gigi palsu dll
f. Terdapat luka yang cukup parah di bagian tubuh tertentu
BAB IV
MASALAH KESEHATAN LANSIA DAN SISTEM PELAYANAN KESEHATAN
Pelayanan kesehatan pada lansia diperlukan untuk memelihara dan
mengatasi masalah pada lanjut usia. Dasar hukum pembinaan kesehatan pada
lansia adalah Undang-undang Nomor 13 Tahun 1998 Tentang Kesejahteraan
Lansia, Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2004 Tentang Pelaksanaan
Upaya Peningkatan Kesejahteraan Lansia, Keputusan Presiden Nomor 52
Tahun 2004 Tentang Komisi Nasional Lansia, dan Keputusan Presiden Nomor
93/M Tahun 2005 Tentang Keanggotaan Komisi Nasional Lanjut Usia.
Pelayanan kesehatan yang baik pada lansia bertujuan memperpanjang usia
harapan hidup dan masa produktif, terwujudnya kemandirian dan
kesejahteraannya, terpeliharanya sistem nilai budaya dan kekerabatan bangsa
Indonesia serta lebih mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa.
TOPIK 1
MASALAH KESEHATAN LANSIA

A. PENYAKIT YANG SERING DIJUMPAI PADA LANJUT USIA


Salah satu permasalahan yang dihadapai oleh lanjut usia adalah
masalah kesehatan akibat proses penuaan, terjadinya kemunduran fungsi
sel-sel tubuh (degeneratif), dan menurunnya fungsi sistem imun tubuh
sehingga mucul penyakit-penyakit degeneratif, gangguan gizi (malnutrisi)
penyakit infeksi, masalah kesehatan gigi dan mulut dan lainlain.
Beberapa penyakit yang sering dijumpai pada lanjut usia sebagai
berikut:
1. Pneumonia
Gejala awal berupa penurunan nafsu makan; keluhan akan terlihat
seperti dispepsia. Keluhan lemas dan lesu akan mendominasi disertai
kehilangan minat. Pada keadaan lebih lanjut akan terjadi penurunan
kemampuan melakukan aktivitas kehidupan dasar (ADL) sampai
imobilisasi; dan akhirnya pasien akan mengalami kondisi acute
confusional state (sindrom delirium). Selain itu, pasien juga dapat
muncul ke hadapan dokter dengan keluhan utama instabilitas postural
(sering terhuyunghuyung) atau ‘jatuh’.
Jadi perlu diperhatikan bahwa gejala pneumonia pada lanjut usia
tidak selalu berupa batuk, demam, dan sesak nafas. Dokter dan tenaga
kesehatan lain perlu mewaspadai hal tersebut. Dalam pemeriksaan
laboratorium juga sering kali tidak muncul leukositosis namun hanya
berupa peningkatan persentase sel segmen. Pemeriksaan jasmani
yang teliti akan membantu menegakkan diagnosis dengan
ditemukannya perubahan kesadaran, mungkin ada tanda-tanda
dehidrasi, dan tentu adanya ronki basah pada auskultasi paru-paru.
Dalam pengelolaannya, selain memberikan antibiotik yang adekuat,
intervensi gizi yang memadai, serta rehidrasi yang cukup, perlu pula
dipertimbangkan untuk merujuk pasien ke rumah sakit (sesuai indikasi)
agar dapat dikelola lebih intensif. Pengeluaran dahak yang sulit
merupakan salah satu alasan mengapa pasien perlu dirawat di rumah
sakit. Tindakan fisioterapi dada, inhalasi, drainase postural, serta
melatih batuk yang efisien merupakan beberapa contoh mengapa
rumah sakit dapat berperan lebih besar.
Jika status fungsional pasien masih mandiri, tanpa dehidrasi, dan
asupan makanan masih dapat mencapai 75% dari yang dianjurkan
maka pasien masih dapat dikelola di Puskesmas dengan pemberian
antibiotik adekuat, nutrisi dan cairan yang memadai serta latihan nafas
mau pun latihan batuk yang efektif. Jika dalam tiga hari tidak dijumpai
perbaikan maka pasien harus segera dirujuk ke Rumah Sakit.
2. Penyakit Paru Obstruktif Kronis
Penyakit paru obstruksi kronik dapat disebabkan oleh beberapa
penyakit; namun demikian apa pun penyebabnya harus diupayakan
agar pasien terhindar dari eksaserbasi akut. Beberapa faktor risiko
yang meningkatkan kemungkinan eksaserbasi antara lain infeksi
saluran pernafasan oleh bakteri banal maupun virus influenza.
Gangguan menelan, tersedak, higiene gigi mulut yang buruk akan
meningkatkan risiko masuknya kuman ke saluran nafas. 15
Perawatan saluran nafas yang baik dengan latihan nafas, sekaligus
juga latihan batuk dan fisioterapi dada akan bermanfaat
mempertahankan dan meningkatkan faal pernafasan. Penghentian
merokok, perawatan gigi mulut teratur dan pengendalian asma juga
bermanfaat menurunkan risiko kekambuhan.
Penggunaan obat-obatan pada penyakit obstruksi paru kronis yang
dibutuhkan antara lain; bronkodilator dianjurkan dalam bentuk inhalasi
kecuali pada eksaserbasi dapat menggunakan sediaan oral atau
sistemik, mukolitik diberikan bilamana terdapat dahak yang lengket dan
kental, antibiotik tidak dianjurkan untuk penggunaan jangka panjang
dalam rangka pencegahan eksaserbasi, penggunaan antitusif secara
rutin merupakan suatu kontra indikasi pemberian.
3. Gagal Jantung Kongestif
Hipertensi dan penyakit jantung koroner serta kardiomiopati
diabetikum merupakan penyebab gagal jantung tersering pada lanjut
usia. Gagal jantung dapat dicetuskan oleh infeksi yang berat terutama
pneumonia; oleh sebab itu semua faktor yang meningkatkan risiko
pneumonia harus diminimalkan. Karena pengobatannya kompleks
maka sangat perlumewaspadai efek interaksi di antara obat-obatan
yang digunakan. Hati-hati terhadap efek hiponatremia dan hipokalemia
akibat penggunaan furosemid sehingga pemantauan kadar elektrolit
berkala (setiap 1 hingga 2 bulan) akan membantu mencegah ketidak-
seimbangan elekrolit. Captopril yang diberikan dalam jangka waktu
lama tetap mengandung risiko efek samping batuk dan depresi;
gangguan faal ginjal juga perlu dicermati. Obat amlodipin potensial
menimbulkan edema tungkai pada beberapa kasus sehingga
penggunaannya bersama obat antiinflamasi non-steroid harus sangat
hati-hati.
Gagal jantung kongestif memang dapat menyebabkan imobilisasi
namun demikian agar pasien terhindar dari berbagai penyulit akibat
imobilisasi, maka tetap perlu dilakukan mobilisasi bertahap.
4. Osteoartritis (OA)
Salah satu penyakit degeneratif yang sering menyerang lanjut usia
adalah osteoartritis (OA). Organ tersering adalah artikulasio genu,
artikulasio talo-crural, artikulasio coxae, dan sendi-sendi intervertebrae
(disebut spondiloartrosis). Karena penyakit ini tidak dapat disembuhkan
secara kausatif maka penatalaksanaan simtomatik dan edukasi serta
rehabilitasi menjadi sangat penting. Risiko jatuh akibat nyeri atau
instabilitas postural karena OA genu dan OA talocrural harus selalu
diingat karena mempunyai akibat yang dapat fatal (misalnya fraktur
colum femoris).
Penggunaan obat analgesik parasetamol tetap merupakan lini
pertama; sedangkan anti-inflamasi nonsteroid tetap mempunyai risiko
efek samping gangguan lambung (hingga tukak berdarah) dan ginjal.
Dalam keadaan nyeri hebat obat ini dapat bermanfaat asalkan tetap
diwaspadai efek samping dimaksud; obat antagonis reseptor H2 atau
proton pump inhibitor dapat diberikan untuk mengurangi keluhan
lambung.
Modalitas rehabilitasi medik amat membantu untuk berbagai jenis
keluhan dan spasme otot yang menyertai; namun jika fasilitas tidak
memadai, tentu pasien harus dirujuk ke rumah sakit dengan sarana
yang memadai; bila ada petunjuk senam untuk dilakukan di rumah
sebagai modalitas pendukung tentu akan sangat bermanfaat.
5. Infeksi Saluran Kemih
Gejala awal dapat menyerupai infeksi lain pada umumnya yakni
berupa penurunan nafsu makan; keluhan akan terlihat seperti
dispepsia. Keluhan lemas dan lesu akan mendominasi disertai
kehilangan minat. Pada keadaan lebih lanjut akan terjadi penurunan
kemampuan melakukan aktivitas kehidupan dasar (ADL) sampai
imobilisasi; dan akhirnya pasien akan mengalami kondisi acute
confusional state (= sindrom delirium). Selain itu, pasien juga datang
dengan keluhan utama instabilitas postural (sering terhuyung-huyung)
atau ‘jatuh’. Gejala lain yang penting juga diperhatikan adalah
munculnya inkontinensia urin. Polakisuri walaupun jarang ditemukan
namun masih dapat dijumpai.
Urinalisis pada perempuan Lanjut Usia sering menunjukkan piuria;
hal ini tidak berarti harus segera diobati dengan antibiotik. Asimtomatik
bakteriuria pada Lanjut Usia juga belum merupakan indikasi pemberian
antibiotik. Sebaiknya dilakukan observasi atau pemantauan
pemeriksaan biakan urin (untuk pembuktian infeksi saluran kemih) dan
uji resistensi sebelum memulai pengobatan antibiotik. Dukungan nutrisi
dan keseimbangan elektrolit serta hidrasi yang baik tetap merupakan
butir-butir penting yang harus diperhatikan.
6. Diabetes Melitus
Prevalensi diabetes meningkat seiring pertambahanumur.
Pengendalian gula darah sangat dipengaruhi oleh gaya hidup.
Mengkonsumsi makanan yang mengandung karbohidrat kompleks
dengan jumlah energi tertentu serta mempertahankan aktivitas olah
raga ringan tetap merupakan pilihan utama pengobatan.
Obat hipoglikemik oral diberikan sesuai indikasi dan indeks massa
tubuh. Jika terdapat keraguan akan asupan makanan yang memadai
maka risiko hipoglikemia yang amat berbahaya sebaiknya diingat
sehingga pemberian obat jenis kerja singkat (short acting) akan lebih
sesuai dibandingkan dengan yang bekerja dalam jangka waktu lama
(long acting). Akhir-akhir ini pemberian insulin basal amat dianjurkan
karena memudahkan tercapainya kadar gula yang diinginkan. Jika
terdapat penurunan nafsu makan (misalnya akibat gastroparesis
diabetikum atau akibat infeksi berat) maka suplementasi nutrisi cair
dapat diberikan sesuai keperluan.
7. Hipertensi
Di saat awal penegakan diagnosis, usahakan mengukur tekanan
darah tidak hanya pada posisi berbaring namun juga setidaknya pada
posisi duduk. Pemantauan tekanan darah sebaiknya dilakukan dalam
dua posisi yakni posisi berbaring dan berdiri, setelah istirahat
sebelumnya selama 5 menit. Hal ini untuk menapis adanya hipotensi
ortostatik yang potensial menimbulkan keluhan pusing hingga
instabilitas postural dengan risiko jatuh dan fraktur.
Mengingat adanya arteriosklerosis pembuluh darah besar maka
hipertensi sistolik terisolasi akan banyak dijumpai pada Lanjut Usia.
Panduan pengobatan tidak berbeda dari hipertensi pada umumnya.
Efek samping beberapa jenis obat yang sering dijumpai harus
diwaspadai. Misalnya, depresi pada penggunaan captopril jangka
panjang atau edema tungkai akibat penggunaan amlodipin. Pada
penggunaan furosemid jangka lama sebaiknya dilakukan pemantauan
kadar elektrolit (Na dan K) dalam darah secara teratur.
Agar penatalaksanaan hipertensi pada kelompok Lanjut Usia dapat
berjalan secara optimal, perlu diimbangi dengan penerapan gaya hidup
sehat sebagai perilaku sehari-hari. Dampak modifikasi gaya hidup
terhadap penurunan tekanan darah tinggi sebagai berikut (tabel 1).
Tabel 1. Dampak modifikasi gaya hidup terhadap penurunan tekanan
darah
PERKIRAAN
MODIFIKASI PENURUNAN TEKANAN
DARAH (mmHg)
Batasi konsumsi garam 1 sendok teh
2-8
perhari
Banyak makan sayur dan buah-buahan 8-14
Melakukan aktifitas fisik 30 menit perhari 4-9
Indeks Massa Tubuh; 18,25 – 23 Kg/m 2 5-20
Sumber: The Seventh Report of the Joint National Commitee on
Prevention, Detection, Evaluation and Treatmet of High Blood
Pressure, 2004

Pada kelompok Lanjut Usia perlu diperhatikan bahwa dalam


menurunkan tekanan darah dengan penggunaan obat harus dilakukan
secara bertahap dan hati-hati agar tidak menimbulkan hipotensi
ortostatik.
Bila terjadi peningkatan tekanan darah yang mendadak (sistole
≥180 mmHg dan/atau diastole ≥120 mmHg), dengan atau tanpa terjadi
kerusakan organ target pada penderita hipertensi, segera dirujuk ke
Rumah Sakit.

B. SINDROM GERIATRI
Sindrom geriatri adalah kumpulan gejala atau masalah kesehatan yang
sering dialami oleh seorang pasien geriatri. Sindrom geriatri ini dikenal juga
dengan istilah 14 i yaitu:
1. immobilisasi (berkurangnya kemampuan gerak);
2. instabilitas postural (jatuh dan patah tulang);
3. inkontinensia urin (mengompol);
4. infection (infeksi);
5. impairment of senses (gangguan fungsi panca indera);
6. inanition (gangguan gizi);
7. iatrogenik (masalah akibat tindakan medis);
8. insomnia (gangguan tidur);
9. intelectual impairment (gangguan fungsi kognitif);
10. isolation (isolasi/menarik diri);
11. impecunity (berkurangnya kemampuan keuangan);
12. impaction (konstipasi);
13. immune deficiency (gangguan sistem imun);
14. impotence (gangguan fungsi seksual)

Sindrom geriatri ini sangat penting untuk diketahui oleh tenaga


kesehatan di Puskesmas karena sering merupakan gejala atau tanda awal
dari penyakit yang mendasarinya. Tenaga kesehatan di Puskesmas agar
dapat mengenali sindrom geriatri ini, menelusuri penyebabnya, mencari
keterkaitan antara sindrom dan penyakit yang mendasarinya serta
melakukan penatalaksanaan awal dari sindrom geriatri ini termasuk
pencegahan dari dampak atau komplikasi yang mungkin terjadi.
1. Berkurangnya Kemampuan Gerak (Immobilisation)
Berkurangnya kemampuan gerak yang dikenal dengan istilah
imobilisasi digunakan untuk menggambarkan suatu sindrom penurunan
fungsi fisik sebagai akibat dari penurunan aktivitas dan adanya penyakit
penyerta. Tidak mampu bergerak selama minimal 3 kali 24 jam sesuai
definisi imobilisasi. Immobilisasi seringkali diabaikan dan tidak
ditatalaksana dengan baik sejak awal perawatan, baik di rumah
maupun di rumah sakit.
Luka atau ulkus dekubitus merupakan salah satu masalah yang
ditimbulkan oleh imobilisasi yang seringkali mempersulit perawatan dan
bahkan dapat menimbulkan pemanjangan lama perawatan, tingginya
biaya perawatan dan kematian. Tidak jarang pasien yang mengalami
fraktur femur, penurunan kesadaran dan sakit berat lainnya harus
mengalami imobilisasi lama yang pada gilirannya menimbulkan
berbagai komplikasi seperti ulkus dekubitus, trombosis vena, hipotensi
ortostatik, infeksi saluran kemih, pneumonia aspirasi dan ortostatik,
kekakuan dan kontraktur sendi, hipotrofi otot, dan sebagainya.
Identifikasi dan penatalaksanaan sedini mungkin amat diperlukan
baik pada penyakit penyebab imobilisasi maupun masalah imobilisasi
itu sendiri, sehingga terjadinya komplikasi akibat imobilisasi dapat
dicegah.
2. Jatuh dan Patah Tulang (Instabilitas Postural)
Perubahan cara jalan (gait) dan keseimbangan seringkali menyertai
proses menua. Instabilitas postural dapat meningkatkan risiko jatuh,
yang selanjutnya mengakibatkan trauma fisik maupun psikososial.
Hilangnya rasa percaya diri, cemas, depresi, rasa takut jatuh sehingga
pasien terpaksa mengisolasi diri dan mengurangi aktivitas fisik sampai
immobilisasi.
Gangguan keseimbangan merupakan masalah kesehatan yang
dapat disebabkan oleh salah satu atau lebih dari gangguan visual,
gangguan organ keseimbangan (vestibuler) dan atau gangguan sensori
motor.
Pengasuh/keluarga dan bahkan tenaga kesehatan seringkali
menganggap gangguan cara berjalan dan berkurangnya mobilitas
pasien sebagai perubahaan yang normal pada Lanjut Usia. Sebaliknya,
gangguan cara berjalan sebenarnya sering merupakan gejala penyakit
lain yang dapat disembuhkan. Seiring dengan penuaan, terjadi
penurunan kecepatan cara berjalan sekitar 0,2 % pertahun sampai
dengan usia 63 tahun dan penurunan kecepatan tersebut meningkat
sampai dengan 1,6% per tahun setelah usia 63 tahun.
Ketika seorang Lanjut Usia sampai mengalami fraktur femur, perlu
dipertimbangkan berbagai masalah yang timbul seperti rasa nyeri yang
akan sangat mengganggu kondisi fisik maupun mental, imobilisasi
dengan segala komplikasi seperti yang telah dikemukakan di atas, serta
gangguan asupan makanan dan cairan yang ikut memperburuk
keadaan.
3. Mengompol (Inkontinensia Urin)
Secara umum inkontinensia urin didefinisikan sebagai
ketidakmampuan menahan keluarnya urin atau keluarnyaurin secara
tak terkendali pada saat yang tidak tepat dan tidak diinginkan.
Beberapa penyebab timbulnya inkontinensia urin antara lain adalah
sindrom delirium, immobilisasi, poliuria, infeksi, inflamasi, impaksi
feses, serta beberapa obat-obatan. Inkontinensia urin dapat
menimbulkan masalah kesehatan lain seperti dehidrasi karena pasien
mengurangi minumnya akibat takut mengompol, jatuh dan fraktur
karena terpeleset oleh urin yang berceceran, luka lecet sampai ulkus
dekubitus akibat pemasangan pembalut, lembab dan basah pada
punggung bawah dan bokong. Selain itu, rasa malu dan depresi juga
dapat timbul akibat inkontinensia urin tersebut.
4. Infeksi (Infection)
Penyakit infeksi merupakan penyebab utama mortalitas dan
morbiditas pada lanjut usia. Pasien lanjut usia yang dirawat inap
biasanya disebabkan karena infeksi. Beberapa faktor penyebab
terjadinya infeksi pada lanjut usia adalah adanya perubahan sistem
imun, perubahan fisik (penurunan refleks batuk, sirkulasi yang
terganggu dan perbaikan luka yang lama) dan beberapa penyakit kronik
lain. Infeksi yang paling sering terjadi pada lanjut usia adalah infeksi
paru, saluran kemih dan kulit. Gejala dan tanda infeksi pada lanjut usia
biasanya tidak jelas.
Diantara penyakit-penyakit infeksi, pneumonia merupakan yang
paling sering menyebabkan kematian. Prevalensi pneumonia cukup
tinggi pada Lanjut Usia. Infeksi saluran kemih merupakan tipe infeksi
kedua yang paling sering ditemui pada Lanjut Usia.
Sangat penting bagi tenaga kesehatan yang merawat Lanjut Usia
untuk mengenali gejala dan tanda infeksi pada Lanjut Usia. Selain itu,
pemberian vaksinasi yang sesuai dan meningkatkan status nutrisi
Lanjut Usia juga penting dilakukan sebagai tindakan pencegahan
terhadap penyakit infeksi.
5. Gangguan Fungsi Indera (Impairment Of Senses)
Gangguan fungsi indera merupakan masalah yang sering ditemui
pada Lanjut Usia. Kedua hal tersebut dapat menyebabkan timbulnya
gangguan fungsional yang menyerupai gangguan kognitif serta isolasi
sosial. Untuk itu, sangat penting bagi tenaga kesehatan untuk dapat
mengidentifikasi Lanjut Usia yang mengalami gangguan pendengaran,
gangguan penglihatan, gangguan penciuman gangguan pengecapan
dan gangguan perabaan, mengidentifikasi penyebabnya dan
memberikan terapi yang sesuai. Contohnya saat berkomunikasi dengan
pasien Lanjut Usia yang mengalami gangguan pendengaran perlu
memperhatikan cara berbicara. Berbicaralah jangan terlalu cepat,
intonasi jelas, yakinlah bahwa pasien dapat memperhatikan gerak bibir.
6. Kekurangan Gizi (Inanition)
Kekurangan zat gizi baik zat gizi makro (karbohidrat, lemak dan
protein) maupun zat gizi mikro (vitamin dan mineral) seringkali dialami
orang Lanjut Usia. Gangguan gizi pada Lanjut Usia dapat merupakan
konsekuensi masalah-masalah somatik, fisik atau sosial. Kekurangan
zat gizi energi dan protein terjadi karena kurangnya asupan energi dan
protein, peningkatan metabolik karena trauma atau penyakit tertentu
dan peningkatan kehilangan zat gizi. Asupan energi secara signifikan
menurun seiring proses menua, karena berhubungan dengan
penurunan akitivitas fisik pada Lanjut Usia serta perubahan komposisi
tubuh.
Adanya gangguan mobilisasi (misalnya akibat artritis maupun
strok), gangguan kapasitas aerobik, gangguan input sensor (mencium,
merasakan dan penglihatan), gangguan gigi-geligi, malabsorbsi,
penyakit kronik (anoreksia, gangguan metabolisme) dan obat-obatan
menyebabkan Lanjut Usia mudah mengalami kekurangan zat gizi.
Faktor psikologis seperti depresi dan demensia serta faktor sosial
ekonomi (keterbatasan keuangan, pengetahuan gizi yang kurang,
fasilitas memasak yang kurang dan ketergantungan dengan orang lain)
juga dapat menyebabkan Lanjut Usia mengalami kekurangan zat gizi.
Gizi kurang berhubungan dengan gangguan imunitas, menghambat
penyembuhan luka, penurunan status fungsional dan peningkatan
mortalitas.
7. Masalah Akibat Tindakan Medis (Iatrogenik)
Iatrogenik adalah masalah kesehatan yang diakibatkan oleh
tindakan medis. Polifarmasi merupakan contoh yang paling sering
ditemukan pada Lanjut Usia.
Polifarmasi didefinsikan sebagai penggunaan beberapa macam
obat. Definisi lain dari polifarmasi adalah meresepkan obat melebihi
dari obat yang secara klinis diperlukan atau penggunaan obat lebih dari
lima jenis obat. Polifarmasi mengindikasikan bahwa pasien menerima
terlalu banyak obat, menggunakan obat terlalu lama atau obat dengan
dosis yang berlebihan.
Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan polifarmasi antara
lain masalah penyakit kronik, mendapatkan resep dari beberapa dokter,
kurang baiknya koordinasi perawatan kesehatan, adanya gejala
penyakit yang tidak khas dan penggunaan obat-obatan tambahan untuk
mengatasi efek samping obat-obatan yang sedang digunakan.
8. Gangguan Tidur (Insomnia)
Pasien sering datang dengan masalah insomnia karena :
a. Keluhan sulit masuk tidur.
b. Keluhan tidur gelisah atau tidur yang tidak menyegarkan.
c. Mengeluh sering bangun atau periode bangun yang
d. panjang.
e. Tidak berdaya akibat sulit tidurnya
f. Tertekan (distress) akibat kurang tidur
Insomnia dapat disebabkan oleh gangguan cemas, depresi,
delirium, dan demensia. Gangguan tidur yang kronik seringkali
menyebabkan jiwa pasien tertekan (distress).
9. Gangguan Fungsi Kognitif (Intelectual Impairment)
Gangguan fungsi kognitif yang dikenal dengan istilah Intellectual
Impairment adalah kapasitas intelektual yang berada dibawah rata-rata
normal untuk usia dan tingkat pendidikan seseorang tersebut.
Gangguan fungsi kognitif ini dapat disebabkan oleh sindrom delirium
dan demensia.
Penanganan yang tidak adekuat dari sindrom delirium akan
mengakibatkan berbagai penyulit sesuai penyebab. Penanganan yang
tidak adekuat dari demensia akan mengakibatkan perburukan
intelektual yang cepat, serta potensial menimbulkan beban terhadap
keluarga dan masyarakat.
10. Isolasi (Isolation)
Isolasi adalah menarik diri dari lingkungan sekitar. Penyebab
tersering adalah depresi dan hendaya fisik yang berat. Dalam keadaan
yang sangat lanjut dapat muncul kecenderungan bunuh diri baik aktif
maupun pasif.
11. Berkurangnya Kemampuan Keuangan (Impecunity)
Impecunity mencakup pengertian ketidakberdayaan finansial.
Walaupun dapat terjadi pada kelompok usia lain namun, khususnya
pada Lanjut Usia menjadi sangat penting karena meningkatkan risiko
keterbatasan akses terhadap berbagai layanan kesehatan, pemenuhan
kebutuhan nutrisi, dan asuhan psikososial.
12. Konstipasi (Impaction)
Kesulitan buang air besar (Konstipasi) sering terjadi pada lanjut
usia karena berkurangnya gerakan (peristaltik) usus.
13. Gangguan Sistem Imun (Immune Defficiency)
Gangguan kesehatan yang disebabkan oleh perubahan sistem
imunitas pada Lanjut Usia. Sistem imunitas yang tersering mengalami
gangguan adalah sistem immunitas seluler. Berkaitan dengan hal
tersebut, kejadian infeksi tuberkulosis meningkat pada populasi Lanjut
Usia ini sehingga memerlukan kewaspadaan.
14. Gangguan Fungsi Seksual (Impotence)
Gangguan fungsi ereksi pada laki-laki Lanjut Usia dapat berupa
ketidakmampuan ereksi, ketidakmampuan penetrasi, atau
ketidakmampuan mempertahankan ereksi. Gangguan ini dapat
disebabkan oleh obat-obat antihipertensi, diabates melitus dengan
kadar gula darah yang tidak terkendali, merokok, dan hipertensi lama.
Enam dari 14 i tersebut (yakni : imobilisasi, instabilitas postural,
intelectual impairment dalam hal ini delirium dan demensia, isolasi karena
depresi, dan inkontinensia urin) merupakan kondisi–kondisi yang paling
sering menyebabkan pasien geriatri harus dikelola lebih intensif. Karenanya
keenam kondisi tersebut sering dinamakan geriatric giants. Untuk itu
apabila petugas di Puskesmas menemukan salah satu dari enam tanda
Sindroma Geriatri tersebut harus segera dirujuk ke RS.

C. MASALAH GIZI PADA LANJUT USIA


1. Masalah Gizi pada Lanjut Usia
a. Kurang Energi Kronik
Kurang energi kronik (KEK) merupakan salah satu masalah gizi
pada lanjut usia, dan keadaan KEK merupakan akibat adanya
penyakit kronik, kemiskinan, anoreksia, hidup sendiri, menurunnya
fungsi mental dan fisik termasuk keadaan gigi. Penurunan BB pada
umumnya mendahului keadaan KEK, sehingga penurunan BB juga
digunakan pada penapisan adanya malnutrisi.
The Mini Nutritional Assessment (MNA) merupakan instrumen
untuk mendeteksi adanya risiko malnutrisi ataupun adanya
malnutrisi. Instrumen MNA terdiri dari dua tahap yaitu tahap I: tahap
penapisan/ skrining dan tahap II: penilaian. Apabila nilai/skor pada
tahap I < 11, akan dilanjutkan ke tahap II. Selanjutnya seseorang
diklasifikasi malnutrisi apabila jumlah total skor akhir <17, risiko
malnutrisi apabila rentang skor antara 17-23,5.
Apabila subyek mempunyai masalah malnutrisi perlu dilakukan
intervensi gizi dan selanjutnya dilakukan pemantauan dan evaluasi
penatalaksanaan gizi.
b. Gizi Lebih (Obesitas)
Keadaan gizi lebih perlu untuk dideteksi secara dini (dengan
menghitung indeks massa tubuh), untuk mencegah timbulnya
berbagai masalah kesehatan yang dapat ditimbulkan. Khususnya
obesitas sentral dapat secara mudah diketahui dengan mengukur
lingka pinggang. Bila didapatkan nilai >90 cm pada laki-laki dan >80
cm pada perempuan dikategorikan sebagai obesitas sentral.
Obesitas adalah penumpukan lemak yang berlebihan di dalam
jaringan adiposa tubuh sehingga menimbulkan masalah kesehatan.
distribusi lemak yang berlebihan di suatu bagian tubuh, contohnya
obesitas sentral, yaitu penumpukan lemak di daerah
abdominal/obesitas sentral, juga dihubungkan dengan risiko
penyakit degeneratif tertentu.
Obesitas disebabkan adanya ketidakseimbangan energi yaitu
asupan energi lebih tinggi daripada energi yang dikeluarkan. Hal ini
menyebabkan peningkatan cadangan energi dan BB. Banyak faktor
yang menyebabkan ketidakseimbangan energi, di antaranya faktor
kebiasaan makan yang berlebih, genetik dan aktivitas fisik yang
kurang.
Pada Lanjut Usia, keadaan obesitas maupun kurang gizi tingkat
berat dapat mengakibatkan penurunan fungsi fisik yang lebih berat
dibandingkan mereka dengan status gizi baik; kedua hal tersebut
dapat mengakibatkan terjadi fraility atau kelemahan, dan mereka
yang tergolong lemah mempunyai risiko tinggi untuk tergantung
pada orang lain, jatuh, mengalami luka dan lain–lain.
Untuk menjaga berat badan dalam batas-batas normal,
seseorang harus berada dalam keseimbangan energi, yaitu jumlah
asupan kalori sama dengan kalori yang dikeluarkan. Selain itu,
asupan vitamin dan mineral harus terdapat dalam jumlah cukup
sesuai kebutuhan tubuh. Bila kandungan energi makanan yang
dikonsumsi lebih sedikit daripada energi yang keluar, maka
cadangan tubuh digunakan untuk mencukupi kekurangan energi
yang terjadi, sehingga BB menurun. Sebaliknya jika kita
mengkonsumsi makanan lebih banyak daripada yang dibutuhkan
tubuh, kelebihan hasil metabolismenya akan disimpan sebagai
cadangan energi terutama di jaringan adiposa dan BB akan
meningkat.
c. Anemia
Menurut World Health Organization (WHO) dikategorikan
sebagai anemia apabila kadar hemoglobin/Hb<13 g/dl pada laki-laki
dan Hb<12 g/dl pada perempuan.
Berbagai penyakit yang terdapat pada kelompok Lanjut Usia
dapat menyebabkan terjadinya anemia. Keadaan tersebut
merupakan hal yang sering ditemukan, dan merupakan faktor yang
mempengaruhi kualitas hidup. Salah satu penyebab anemia adalah
asupan yang kurang memadai dari zat gizi yang berperan pada
pembentukan Hb.
Pengetahuan mengenai penyebab anemia yang ditemukan
penting untuk diketahui agar dapat dilakukan pencegahan maupun
terapi yang sesuai.
2. Kebutuhan energi dan gizi
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi pemberian gizi pada
Lanjut Usia yaitu adanya perubahan fisiologik, penyakit penyerta, faktor
sosial seperti kemiskinan, psikologik (demensia depresi) dan efek
samping obat.
a. Energi
Kebutuhan energi menurun dengan meningkatnya usia (3% per
dekade). Pada Lanjut Usia hal tersebut diperjelas disebabkan
adanya penurunan massa otot (BMR ↓) dan penurunan aktivitas
fisik. Berdasarkan Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG)
tahun 2004; laki-laki 2050 Kal dan perempuan 1600 Kal.
Untuk perhitungan yang lebih tepat dapat digunakan
persamaan Harris Benedict ataupun rumus yang dianjurkan WHO.
Secara praktis dapat digunakan perhitungan berdasarkan rule of
thumb.
b. Protein
Dianjurkan kecukupan antara 0,8-1 g/kgBB/hari (10-15%) dari
kebutuhan energi total.
c. Karbohidrat
Dianjurkan asupan karbohidrat antara (50-60%) dari energi total
sehari, dengan asupan karbohidrat kompleks lebih tinggi daripada
karbohidrat sederhana. Konsumsi serat dianjurkan 10-13 g per
1000 kalori (25g/hari ~ 5 porsi buah dan sayur). Buah dan sayur
selain merupakan sumber serat, juga merupakan sumber berbagai
vitamin dan mineral.
d. Lemak
Dianjurkan + 25% dari energi total per hari, dan diutamakan
berasal dari lemak tidak jenuh.
e. Cairan
Pada Lanjut Usia masukan cairan perlu diperhatikan karena
adanya perubahan mekanisme rasa haus, dan menurunnya cairan
tubuh total (dikarenakan penurunan massa bebas lemak).
Sedikitnya dianjurkan 1500 ml/hari, untuk mencegah terjadinya
dehidrasi, namun jumlah cairan harus disesuaikan dengan ada
tidaknya penyakit yang memerlukan pembatasan air seperti gagal
jantung, gagal ginjal dan sirosis hati yang disertai edema maupun
asites.
f. Vitamin
Vitamin mempunyai peran penting dalam mencegah dan
memperlambat proses degeneratif pada Lanjut Usia. Apabila
asupan tidak adekuat perlu dipertimbangkan suplementasi; namun
harus dihindari pemberian megadosis.
Tabel 2. Kebutuhan vitamin larut lemak
A (RE) D (mcg) E (mg) K (mcg)
Laki-laki >65 th 600 15 15 65
Perempuan >65 th 500 15 15 55
Sumber: WNPG VIII, 2004
Tabel 3. Kebutuhan vitamin larut air
Ribo As.
Thia Niaci B12 C
flavi Folat B6
min n (mcg (mg)
n (mcg (mg)
(mg) (mg) )
(mg) )
Laki-laki >65 th 1,0 1,3 16 2,4 400 1,7 90
Perempuan >65
1,0 1,1 14 2,4 400 1,5 75
th
Sumber: WNPG VIII, 2004
Beberapa vitamin perlu mendapat perhatian khusus
dikarenakan sering terjadi defisiensi (vitamin B12, D) dan sifat
sebagai antioksidan (vitamin C dan E).

Tabel 4. Kebutuhan beberapa mineral


Ca P Fe Zn I Se
(mg) (mg) (mg) (mg) (mcg) (mcg)
Laki-laki >65 th 800 600 13 13,4 150 30
Perempuan >65
800 600 12 9,8 150 30
th
Sumber: WNPG VIII, 2 004

Beberapa mineral yang perlu mendapat perhatian khusus


antara lain 1) Ca, kemampuan absorpsi Ca menurun baik pada laki-
laki maupun perempuan. 2) defisiensi Zn mengakibatkan gangguan
imun dan gangguan pengecapan (yang memang menurun pada
Lanjut Usia). 3) defisiensi Cu dapat mengakibatkan anemia. 4) Se,
karena bersifat antioksidan. Agar dapat terpenuhi seluruh
kebutuhan perlu diperhitungkan kebutuhan energi dan nutrien
sesuai dengan kebutuhan tubuh (kuantitatif) dan mengandung
seluruh nutrien (kualitatif) yang dikenal sebagai menu makanan
seimbang, dan untuk mencapai hal tersebut perlu
penganekaragaman makanan yang dikonsumsi.
3. Penatalaksanaan masalah gizi lanjut usia
Penatalaksanaan gizi bagi lanjut usia di Puskesmas dianjurkan dalam
empat tahap yaitu :
a. Penapisan/skrining menggunakan MNA
b. Diagnosis masalah gizi
1) Sangat kurus
2) Kurus
3) Gemuk
4) Obesitas
c. Intervensi gizi
1) Penyuluhan gizi seimbang
2) Rujukan
d. Pemantauan dan evaluasi penatalaksanaan gizi.

D. MASALAH KESEHATAN MENTAL


1. Depresi
Depresi adalah perasaan sedih dan tertekan yang menetap.
Perasaan tertekan sedemikian beratnya sehingga yang bersangkutan
tak dapat melaksanakan fungsi sehari–hari. Lanjut Usia sering
menderita depresi karena banyak mengalami kehilangan seperti
kehilangan pekerjaan, kehilangan kemampuan fisik, kehilangan harga
diri, kematian atau kehilangan pasangan hidup/ kerabat/ keluarga
dekat, kepergian anak-anak.
Pasien mungkin mengemukakan kesepian, kehilangan sesuatu
yang dicintai (lost of love object), ada perasaan kosong/hampa,
pesimis, kuatir masa depan, tak ada kepuasaan hidup, merasa
hidupnya tidak bahagia, satu atau lebih gejala fisik (lelah, nyeri).
Penyidikan lanjutan akan menunjukkan depresi atau kehilangan
minat akan hal-hal yang menjadi kebiasaannya. Iritabilitas (cepat
marah, cepat tersinggung) kadang-kadang merupakan masalah yang
dikemukakan. Skrining depresi dapat dilakukan dengan instrumen
Geriactric Depresion Scale (GDS).

Penatalaksanaan Depresi
a. Konseling pasien dan keluarga :
1) Identifikasi adanya stres sosial atau problem kehidupan yang
akhir-akhir ini dialami.
2) Indentifikasi suicide idea atau ide bunuh diri.
Tanyakan tentang risiko bunuh-diri. Apakah pasien sering
berpikir tentang kematian atau mati? Apakah pasien
mempunyai rencana bunuh-diri yang khas? Apakah ia telah
membuat rencana yang serius untuk percobaan bunuh-diri di
masa lalu? Apakah pasien bisa yakin untuk tidak bertindak
menurut ide bunuh-diri? Supervisi/pengawasan yang ketat oleh
keluarga atau teman, atau hospitalisasi mungkin diperlukan.
Tanyakan tentang risiko mencederai orang lain.
Rencanakan kegiatan jangka pendek yang memberikan pasien
kesenangan atau membangkitkan kepercayaan diri.
1) Dorong pasien untuk berfikir positif untuk mengatasi rasa
pesimis dan kritik-diri, tidak bertindak atas dasar ide pesimistik
dan tidak memusatkan pada pikiran negatif atau bersalah.
2) Fokuskan pada langkah kecil yang khas, yang dapat diambil
oleh pasien untuk mengurangi atau mengatasi problem dengan
lebih baik. Hindari keputusan yang besar atau perubahan pola
hidup.
3) Jika ada gejala fisik, bicarakan hubungan antara gejala fisik
dengan suasana perasaan.
4) Sesudah ada perbaikan, rencanakan dengan pasien tindakan
yang harus diambil jika tanda kekambuhan terjadi.
b. Informasi yang perlu untuk pasien dan keluarga
1) Depresi adalah penyakit yang lazim serta dapat dicegah dan
diobati.
2) Depresi bukan merupakan kelemahan atau kemalasan; pasien
berupaya keras untuk mengatasi, tetapi dia tidak berdaya.
3) Penderita dengan depresi mempunyai kecenderungan untuk
melakukan percobaan bunuh-diri dibandingkan kelompok
masyarakat lain.
c. Pertimbangkan konsultasi (rujukan) jika pasien menunjukkan:
1) Risiko bunuh-diri atau bahaya terhadap orang lain secara
bermakna/menonjol;
2) Gejala psikotik;
3) Depresi bermakna yang bertahan sesudah tindakan
pengobatan di atas.
2. Demensia
Demensia adalah kondisi kemerosotan mental yang terus menerus,
makin lama makin buruk (progresif) meliputi penurunan daya ingat akan
hal yang baru saja terjadi, kemunduran kemahiran berbahasa,
kemunduran intelektual, perubahan perilaku dan fungsi–fungsi otak
lainnya sehingga mengganggu aktifitas sehari–hari. Demensia dapat
terjadi pada Lanjut Usia karena penyakit alzheimer, stroke berulang,
trauma kepala, dan gangguan faal tubuh (hormonal, nutrisi, defisiensi
vitamin) alkohol dan lain – lain.
Demensia merupakan kehilangan kemampuan daya ingat dan daya
pikir lainnya sehingga dapat menyebabkan masalah tingkah laku
misalnya menjadi gaduh gelisah, pencuriga, dan emosi yg meledak-
ledak.
Dua jenis demensia yang tersering terjadi adalah demensia tipe
alzheimer dan demensia vaskuler (pasca"stroke"). Keluhan utama pada
pasien demensia yaitu pasien sering lupa hal-hal yang baru terjadi,
tampak bingung, apatis atau murung, tetapi biasanya pasien tidak
menyadari dirinya kehilangan kemampuan daya ingat sehingga ia bisa
marah- marah atau menuduh orang karena kelupaannya. Adakalanya
keluarga mengenali perubahan perilaku dan penurunan daya
ingat/daya pikir pasien tapi kadang-kadang keluarga menyangkal atau
justru memperhebat gejala pasien.
Umumnya keluarga mencari pertolongan bukan karena kegagalan
daya ingat, tetapi karena perubahan kepribadian atau perilaku seperti
marah, agitasi, curiga (paranoid), berdelusi/waham (isi pikir yang salah,
tidak sesuai realitas dan tidak bisa dikoreksi), halusinasi, apatis,
depresi, tidak bisa tidur, tidak kenal tempat tinggalnya atau tersesat di
jalan.
Pada tahap demensia berat pasien menjadi seperti kanak-kanak
lagi mengompol dan buang air besar sembarangan (inkontinensia)
serta tidak bisa menunda kemauan. Ia menjadi sangat tergantung pada
orang lain untuk menopang aktivitas kehidupan sehari-hari seperti
mandi, makan, buang air dan sebagainya. Higiene perorangan yang
buruk pada pasien Lanjut Usia bisa mempermudah terjadinya infeksi.
Kehilangan daya ingat dapat mengakibatkan penelantaran diri seperti
kurang gizi dan higiene buruk.

Penatalaksanaan Demensia
a. Konseling pasien dan keluarga
1) Monitor kemampuan pasien untuk melaksanakan tugas sehari-
hari secara aman.
2) Jika kehilangan daya ingat hanya ringan, pertimbangkan
penggunaan alat bantu mengingat atau pengingat.
3) Hindari penempatan pasien di tempat atau situasi yang asing
4) Pertimbangkan cara untuk mengurangi stres pada mereka yang
merawat pasien (misalnya, kelompok saling membantu).
Dukungan dari keluarga lain yang juga merawat anggota
keluarga dengan demensia bisa bermanfaat
5) Bicarakan rencana tentang wasiat, warisan dan keuangan
(masalah hukum)
6) Bila sesuai, bicarakan pengaturan tentang dukungan di rumah,
masyarakat atau program rawat-siang, atau penempatan
pemondokan.
7) Agitasi yang tak terkendali mungkin memerlukan perawatan di
rumah sakit
b. Informasi yang perlu untuk pasien dan keluarga
1) Demensia sering dijumpai pada usia tua dan harus dicari
penyebabnya
2) Kehilangan daya ingat dan kebingungan bisa menyebabkan
problem perilaku (misalnya, agitasi, kecurigaan, letupan
emosional).
3) Kehilangan daya ingat biasanya berkembang lambat, tetapi
perjalanannya sangat bervariasi.
4) Penyakit fisik atau stres mental (depresi) bisa meningkatkan
kebingungan dan mempengaruhi turunnya fungsi kognitif.
5) Berikan informasi yang tersedia dan uraikan sumber
pertolongan yang ada di masyarakat (asosiasi Alzheimer,
support group, family meeting)
6) Upayakan intervensi non obat dahulu untuk mengatasi gejala
sebelum mempertimbangkan pemberian obat (modifikasi
lingkungan, analisis situasi dan hindari aktivitas yang memicu
gejala, mengunjungi day care)
c. Pertimbangkan untuk dirujuk apabila mengalami gejala:
1) Agitasi tak terkendali; perselisihan dalam keluarga
2) Onset mendadak perburukan daya ingat atau bahasa atau
fungsi kognitif lainnya
3) Penyebab demensia yang bisa dikoreksi dan memerlukan
pengobatan spesialistik (misalnya hidrosefalus tekanan normal,
hematoma subdural, gangguan tiroid, tumor otak).
4) Pertimbangkan untuk merawat pasien di rumah sakit, jika
perawatan intensif dibutuhkan.
3. Delirium
Delirium adalah suatu kebingungan akut yang ditandai dengan
disorientasi, bicara ngelantur, gelisah, sulit mengalihkan perhatian,
ketakutan dan lain-lain yang disebabkan oleh gangguan metabolisme di
otak akibat gangguan metabolik/infeksi/trauma kepala/efek samping
obat dan sebagainya.
Keluhan Utama
 Keluarga mungkin minta pertolongan sebab pasien bingung/ bicara
kacau atau agitatif atau sama sekali pasif.
 Pasien mungkin tampak tidak kooperatif atau ketakutan.
Penatalaksanaan Delirium
a. Konseling pasien dan keluarga
1) Ambil tindakan untuk mencegah pasien mencederai diri sendiri
atau orang lain (misalnya: singkirkan obyek berbahaya, batasi
pasien bila perlu).
2) Kontak yang mendukung dengan orang yang dikenal bisa
mengurangi kebingungan.
3) Sesering mungkin mengingatkan soal waktu dan tempat untuk
mengurangi kebingungan.
4) Hospitalisasi diperlukan karena ada agitasi atau karena
penyakit fisik yang menyebabkan delirium.
b. Informasi yang perlu untuk pasien dan keluarga
Perilaku atau pembicaraan yang aneh merupakan gejala suatu
penyakit fisik.
c. Pertimbangkan untuk merujuk apabila :
1) Penyakit fisik yang memerlukan pengobatan spesialistik
2) Agitasi yang tak terkendali
4. Insomnia
Kebiasaan atau pola tidur Lanjut Usia dapat berubah, yang
terkadang dapat mengganggu kenyamanan anggota keluarga lain yang
tinggal serumah. Perubahan pola tidur dapat berupa tidak bisa tidur
sepanjang malam, sering terbangun pada malam hari sehingga Lanjut
Usia melakukan kegiatannya pada malam hari. Bila hal ini terjadi,
carilah penyebab dan jalan keluar sebaik–baiknya.
Penyebab dapat berupa keadaan sebagai berikut :
a. Kurangnya kegiatan fisik dan mental sepanjang hari, sehingga
mereka masih semangat sepanjang malam
b. Tertidur sebentar-sebentar sepanjang hari
c. Gangguan cemas dan depresi
d. Tempat tidur dan suasana kamar kurang nyaman
e. Sering kencing pada waktu malam karena banyak minum pada
malam hari
f. Infeksi saluran kencing
Pasien sulit masuk tidur dan/atau mempertahankan tidur, sulit
tertidur lagi setelah terbangun, kadang-kadang menjadi tidak berdaya
akibat dari sulit tidurnya. Dampak kurang tidur, distress.

Penatalaksanaan Insomnia
a. Cari underlying disease insomnia (depresi, demensia, cemas)
b. Konseling pasien dan keluarga
1) Pertahankan kebiasaan tidur secara teratur dengan:
a) Relaksasi pada sore hari.
b) Mulai tidur dan bangun pagi pada jam yang sama setiap
hari, jangan terlalu mengubah jadual tidur pada malam
minggu.
c) Bangun pada waktu yang sama di pagi hari walaupun
malam harinya sulit tidur.
d) Hindari tidur siang karena hal ini dapat mengganggu tidur
malam harinya.
e) Lakukan latihan relaksasi untuk menolong pasien masuk
tidur
f) Anjurkan pada pasien untuk menghindari minum kopi dan
alkohol.
2) Bila pasien tidak bisa tertidur dalam waktu 20 menit, anjurkan
untuk bangun dari tempat tidur dan mencobanya kembali
setelah merasa mengantuk.
3) Olahraga pada pagi atau siang hari dapat menolong pasien
tidur nyenyak.
c. Informasi yang perlu untuk pasien dan keluarga :
1) Problem tidur yang temporer adalah hal yang lazim pada saat
stres atau menderita penyakit fisik.
2) Jumlah tidur yang normal sangat bervariasi dan biasanya
menurun sesuai dengan meningkatnya usia.
3) Perbaikan kebiasaan tidur (tanpa obat tidur) adalah terapi yang
paling baik.
4) Kekhawatiran tentang tidak bisa tidur dapat memperburuk
keadaan insomnia.
5) Alkohol dapat menolong untuk memulai tidur, tapi dapat
menyebabkan tidur gelisah dan bangun terlalu pagi.
6) StimuLansia (misalnya kopi dan teh) dapat menyebabkan atau
memperburuk insomnia.
d. Pertimbangkan konsultasi:
1) Jika diduga gangguan tidur lebih kompleks (misalnya
narkolepsi, "sleep apnoea").
2) Jika insomnia berlanjut menetap walaupun hal di atas sudah
dilaksanakan.
5. Gangguan Cemas
Mula-mula pasien memperlihatkan gejala fisik yang berkaitan
dengan ketegangan (seperti sefalgia, jantung yang berdebar keras)
atau dengan insomnia. Anamnesis lebih lanjut akan menampilkan ciri
khas gangguan cemas yang menyeluruh yaitu kecemasan dan
kekhawatiran yang berlebih, hampir tiap hari tentang sejumlah peristiwa
atau aktivitas.
Penatalaksanaan Gangguan Cemas
a. Konseling pasien dan keluarga
1) Bantu pasien mengenali, menghadapi dan menantang
kekhawatiran yang berlebihan agar dapat mengurangi gejala
anxietas.
2) Kenali kekhawatiran yang berlebihan atau pikiran yang
pesimistik (misalnya ketika cucunya terlambat pulang 5 menit
dari sekolah, pasien mengkhawatirkan akan kemungkinan
mengalami suatu kecelakaan).
3) Diskusikan cara menghadapi kekhawatiran yang berlebihan ini
pada saat pemunculannya (misalnya ketika pasien mulai
khawatir, ia dapat mengatakan pada dirinya, saya mulai
terperangkap dalam kekhawatiran lagi. Cucu saya hanya
terlambat beberapa menit saja dari sekolah dan segera akan
tiba di rumah. Saya tidak akan menelpon sekolahnya untuk
mencari informasi, kecuali ia terlambat satu jam).
4) Dukung motivasi pasien mempraktekkan metode relaksasi
harian untuk mengurangi gejala fisik dari ketegangan.
5) Dorong pasien untuk mengikuti aktivitas dan latihan yang
menyenangkan, dan mengulang aktivitas yang pernah
menolong di masa lalu.
6) Metode pemecahan masalah yang terstruktur (structured
problem-solving methods) dapat menolong pasien untuk
menatalaksana masalah kehidupan atau stres saat ini yang
dapat menambah gejala anxietas.
7) Kenali peristiwa-peristiwa yang mencetuskan kekhawatiran
yang berlebihan.
8) Bicarakan apa yang akan dilakukan pasien untuk mengatasi
situasi ini. Kenali dan perkuat hal-hal yang berhasil mengatasi
situasi.
9) Latihan fisik yang teratur sering menolong.
b. Informasi yang perlu untuk pasien dan keluarga
1) Stres dan rasa khawatir keduanya mempunyai efek fisik dan
mental.
2) Belajar untuk mengurangi efek stres (bukan pengobatan
sedatif) merupakan pertolongan yang paling efektif.
Bila gangguan cemas berlangsung lebih dari 3 bulan dilakukan
rujukan ke rumah sakit.
E. MASALAH KESEHATAN GIGI DAN MULUT
Kehilangan gigi pada lanjut usia merupakan salah satu penyebab
menurunnya kualitas kesehatan lanjut usia. Kehilangan gigi akan sangat
berpengaruh terhadap penyerapan dan metabolisme zat gizi yang diserap
oleh tubuh sehingga tubuh tidak mengalami kekurangan gizi.
Permasalahan proses menua pada individu seperti perubahan normal
fisik dan perubahan abnormal pada fisik lanjut usia juga merupakan faktor
yang dapat mempengaruhi tingkat kebutuhan Lanjut usia terhadap
perawatan kesehatan gigi dan mulut, dikarenakan adanya dampak proses
menua pada rongga mulut yaitu pada gigi dan mulut, jaringan periodontal,
tulang alveolar dan mandibula, mukosa, neuromuskular, saliva, Temporo
Mandibular Joint (TMJ) pada Lanjut Usia dengan jumlah gigi asli yang
sedikit lebih rentan menderita kelainan sendi, fungsi bicara, dan
pengunyahan.
Masalah kesehatan gigi dan mulut yang sering terjadi pada lanjut usia
adalah:
1. Karies gigi dan karies pada akar gigi.
2. Keausan email dan dentin (disebabkan proses penuaan atau bruxisem)
3. Gingivitis dan periodontitis (disebabkan keterbatasan dalam
keterampilan membersihkan gigi)
4. Edentulous (gigi hilang) mengakibatkan dukungan pada wajah
berkurang sehingga tinggi wajah berkurang, kerutan wajah tampak jelas
wajah tampak lebih tua.
5. Xerostomia (mulut kering) mengakibatkan karies, halitosis candidiasis,
penelanan terganggu dan retensi gigi tiruan.
Untuk melakukan pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut perlu
dilakukan secara periodik, karena tak jarang berkembangnya jamur dan
timbulnya tumor pada stadium dini. Hal ini biasanya terjadi pada orang yang
berusia di atas 50 tahun, maka penanggulangannya harus tetap
memperhatikan pendekatan holistik dan pelayanan yang komprehensif.
Prinsip Penatalaksanaan
1. Pencegahan: penyuluhan, kontrol plak, periksa berkala
2. Pemeliharaan:
a. Sikat gigi teratur dan benar.
b. Hindari luka pada rongga mulut.
c. Obat kumur antiseptik.
d. Pemeliharaan Gigi Tiruan (buka gigi tiruan pada saat tidur dan
ditaruh pada gelas berisi air bersih kemudian ditutup dan digunakan
kembali pada saat bangun tidur)
e. Diet seimbang untuk kesehatan gigi dan mulut.
f. Kontrol periodik pada sisa gigi yang ada ke dokter gigi yang
merawat atau ke fasilitas pelayanan kesehatan gigi.
Upaya kesehatan gigi masyarakat untuk kelompok lanjut usia
adalah peningkatan pengetahuan untuk meningkatkan kemampuan dan
peran masyarakat dalam menjaga kesehatan gigi-mulut dengan
integrasi pada upaya promotif dan preventif lainnya.
3. Target
Meningkatkan kesadaran, kemauan, kemampuan pada lanjut usia
dalam menjaga kesehatan gigi dan mulut
4. Ruang lingkup
Pelaksanaan kegiatan upaya kesehatan gigi dan mulut masyarakat di
posyandu lanjut usia.
5. Pelatihan
a. Peningkatan upaya kesehatan gigi dan mulut yang diarahkan pada
pendidikan dan pelatihan dengan menggunakan pendekatan
geriatri atau geriodontologi
b. Kader untuk lanjut usia diarahkan pada upaya pada pelaksanaan di
posyandu lanjut usia dan home visit pada perawatan kesehatan
masyarakat (perkesmas)
c. Pelatihan geriatric pada dokter gigi.
F. MASALAH KESEHATAN REPRODUKSI
1. Menopause
Menopause disebut juga klimaterik atau perubahan hidup dan
merupakan pertanda berakhirnya bagian kehidupan reproduksi pada
diri seorang perempuan. Menopasue mulai pada berbagai taraf usia,
berbeda-beda antara satu perempuan dengan lainnya. Biasanya terjadi
pada usia sekitar 50 tahun. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian tahun
2007 secara cross sectional dari 1.350 perempuan menopause
Indonesia berumur 40-60. Rata-rata umur perempuan menopause di
Indonesia adalah 48 ± 5,3 tahun.
Pada fase ini indung telur mulai berhenti bereaksi terhadap Folicle
Stimulating Hormone (FSH) dan Luteinizing Hormon (LH) yang
berakibat :
a. Produksi hormon estrogen dan progesteron dari indung telur mulai
berkurang
b. Dinding dalam rahim menipis sehingga terjadi perubahan pola haid
c. Rahim dan indung telur mulai mengecil.
Gejala-gejala yang timbul :
a. Gejala psikologis berupa rasa lesu, sakit kepala, pusing, tidak
bisatidur, perasaan suram, cepat tersinggung, sukar memusatkan
pikiran, cemas, dan depresi
b. Semburan atau rasa panas (hot flush) dan banyak berkeringat
c. Jantung berdebar-debar
d. Sukar menarik nafas panjang
e. Selera makan tidak menentu, sering mengeluah gangguan
pencernaan
f. Perubahan pola haid
g. Mengeringnya vagina dan timbul rasa gatal
Tindakan penanganan :
a. Pengobatan dengan suplementasi hormon, perlu konsultasi terlebih
dahulu dengan dokter spesialis obstetri dan ginekologi
b. Masalah psikologis yang timbul biasanya tidak memerlukan
pengobatan karena gejala tersebut sewaktu-waktu bisa hilang
c. Bila gangguan sangat berat, pertimbangan untuk pemberian obat
anti depresi atau anti cemas
d. Pengaturan diet
e. Bila hubungan seksual tergangu karena keringnyavvagina
dianjurkan penggunaan krim atau minyakvpelumas.
2. Andropause
Istilah andropause pada laki-laki masih merupakan sesuatu hal
yang baru dan belum terbiasa didengar bahkan sebagian orang
meragukan adanya keluhan yang timbul berkaitan dengan penurunan
fungsi hormon androgen pada laki-laki berusia diatas 55 tahun.
Namun beberapa penelitian telah mendapatkan bahwa penurunan
fungsi testosterone pada laki-laki di usia lebih dari 50 tahun, terkait
dengan beberapa gejala seperti penurunan keinginan seksual/libido,
kekurangan tenaga, penurunan kekuatan otot, sedih dan sering marah
tanpa sebab yang jelas, berkurangnya kemampuan ereksi, mudah
mengantuk dan lain sebagainya.
Pada laki-laki berusia diatas 55 tahun akan terjadi penurunan
beberapa hormon yaitu testosterone, Dehidroepiandrosteron (DHEA),
Growth Hormone (GH), Melatonin, Insulin Like Growth Factors (IGF).
Akibat berkurangnya hormone dan beberapa factor tersebut akan
menimbulkan beberapa keluhan.
Ada sepuluh kriteria yang dapat dipakai untuk menilai apakah
seseorang sudah andropause atau belum, yang disebut 10 kriteria
ADAM yaitu :
a. Penurunan keinginan seksual (libido)
b. Kekurangan energi atau tenaga
c. Penurunan kekuatan atau ketahanan otot
d. Penurunan tinggi badan
e. Berkurangnya kenyamanan dan kesenangan hidup
f. Sedih dan atau sering marah tanpa sebab yang jelas
g. Berkurangnya kemampuan ereksi
h. Kemunduran kemampuan olahraga
i. Tertidur setelah makan malam
j. Penurunan kemampuan bekerja
Jika mengalami keluhan nomor 1 s/d 7 atau berbagai kombinasi
dari empat atau lebih keluhan, maka pasien ini adalah laki-laki
andropause.
Tindakan penanganan :
a. Pengobatan dengan suplementasi hormon, perlu konsultasi terlehi
dahulu dengan dokter spesialis obstetri dan ginekologi.
b. Masalah psikologis yang timbul biasanya tidak memerlukan
pengobatan karena gejala tersebut sewaktuwaktu bisa hilang.
c. Pemberian Multivitamin. Dianjurkan pemberian multivitamin seperti
vitamin B, C dan E yang dapat dimanfaatkan sebagai antioksidan.
Dapat ditambah dengan vitamin D3 untuk mencegah osteoporosis.
d. Pemberian Kalsium 800 – 1000 mg per hari, dapat bermanfaat
untuk osteoporosis.
3. Kehidupan Seksual
Seks sering dianggap abnormal atau tabu untuk dibicarakan pada
masa usia lanjut. Akan tetapi hal ini perlu dibahas agar kita
mendapatkan pengertian yang tidak menyesatkan. Kemampuan
hubungan seksual dapat bertahan sampai orang mencapai Lanjut Usia
dengan derajat penurunan berbeda-beda antara satu dengan yang lain.
Keadaan ini tergantung pada perubahan-perubahan faali dari
masingmasing orang, misalnya penurunan hormon serta
penyakitpenyakit yang menyertai.
Seks merupakan hal yang biasa dan normal juga pada Lanjut Usia.
Rasa cinta dan kasih sayang antara pasangan masih tetap dibutuhkan
sampai masa Lanjut Usia.
Bila kondisi kesehatan masih baik dan Lanjut Usia masih hidup
berpasangan, maka :
a. Kehidupan seksual dapat diupayakan sampai masa lanjut usia
b. Hubungan seksual secara teratur membantu mempertahankan
kemampuan seksual
c. Bila kemampuannya berkurang pada Lanjut Usia, jangan cemas
akan hal itu karena merupakan perubahan yang alami
TOPIK 2
POSYANDU LANSIA
Pos Pelayanan Kesehatan Terpadu (Posyandu) adalah kegiatan kesehatan
dasar yang diselenggarakan dari, oleh dan untuk masyarakat yang dibantu oleh
petugas kesehatan. Posyandu merupakan kegiatan swadaya dari masyarakat
di bidang kesehatan atau UKBM (Upaya Kesehatan Berbasis Masyarakat) yang
dibentuk berdasarkan inisiatif dan kebutuhan masyarakat.

A. PENGERTIAN POSYANDU LANSIA


1. Posyandu Lansia adalah pos pelayanan terpadu di suatu wilayah
tertentu dan digerakkan oleh masyarakat agar lansiayang tinggal
disekitarnya mendapatkan pelayanan kesehatan.
2. Posyandu Lansia merupakan pengembangan dari kebijakan
pemerintah untuk memberikan pelayanan kesehatan bagi lansia yang
diselenggarakan melalui program Puskesmas dengan melibatkan peran
serta para lansia, keluarga, tokoh masyarakat dan organisasi sosial.
3. Posyandu Lansia merupakan suatu fasilitas pelayanan kesehatan yang
berada di desa/kelurahan bertujuan untuk meningkatkan kesehatan
masyarakat khususnya lansia.
4. Posyandu lansia adalah wahana pelayanan yang dilakukan dari, oleh,
dan untuk lansia yang menitikberatkan pada pelayanan promotif dan
preventif tanpa mengabaikan upaya kuratif dan rehabilitatif.
5. Posyandu lansia merupakan upaya kesehatan lansia yang mencakup
kegiatan pelayanan kesehatan bertujuan untuk mewujudkan masa tua
yang bahagia dan berdayaguna.

B. SASARAN POSYANDU LANSIA


1. Sasaran langsung
a. Kelompok pra usia lanjut (45-59 tahun)
b. Kelompok usia lanjut (60 tahun keatas)
c. Kelompok usia lanjut dengan resiko tinggi (70 tahun ke atas)
2. Sasaran tidak langsung
a. Keluarga dimana usia lanjut berada
b. Organisasi sosial yang bergerak dalam pembinaan usia lanjut
c. Masyarakat luas

C. TUJUAN POSYANDU LANSIA (MATRA, 1996).


1. Tujuan Umum
Meningkatkan derajat kesehatan lansia untuk mencapai masa tua yang
bahagia & berdaya guna dalam kehidupan keluarga dan masyarakat.
2. Tujuan khusus
a. Meningkatkan kesadaran lansia untuk membina sendiri
kesehatannya
b. Meningkatkan kemampuan & peran serta masyarakat dalam
mengatasi masalah kesehatan lansia secara optimal
c. Meningkatkan jangkauan pelayanan kesegatan lansia
d. Meningkatnya jenis dan mutu yankes lansia

D. JENIS PELAYANAN KESEHATAN DI POSYANDU LANSIA (DEPKES RI,


2005).
1. Pemeriksaan kemandirian dalam melakukan aktifitas sehari-hari,
2. Pemeriksaan status mental
3. Pemeriksaan status gizi
4. Pengukuran tekanan darah dan denyut nadi
5. Pemeriksaan Hb sahli
6. Pemeriksaan gula darah
7. Pemeriksaan protein urine
8. Pelaksanaan rujukan ke Puskesmas, apabila ditemukan kelainan pada
pemeriksaan butir a-g
9. Penyuluhan kesehatan baik di dalammaupun di luar kelompok melalui
kunjungan rumah lansia dengan resiko tinggi terhadap penyakit dan
konseling lansia
10. Kunjungan rumah oleh kader disertai petugas kesehatan dalam rangka
kegiatan Keperawatan Kesehatan Masyarakat (Perkesmas) untuk
lansia dengan resiko tinggi terhadap penyakit.
11. Pemberian PMT (pemberian makanan tambahan)
12. Kegiatan olah raga untuk lansia

E. MEKANISME PELAKSANAAN KEGIATAN POSYANDU LANSIA


(DEPKES RI, 2005)
Pelaksanaan kegiatan dengan menggunakan sistem lima meja yaitu:
1. Meja 1: Pendaftaran
Lansia datang berkunjung ke Posyandu lansia dan mendaftarkan
diri lansia, sendiri atau disertai pendamping dari keluarga atau kerabat,
lansia yang sudahterdaftar di buku register langsung menuju meja
selanjutnya yakni meja 2.
2. Meja 2: Pelayanan Kesehatan oleh Kader
Kader melakukan pengukuran tinggi badan, berat badan, dan tekanan
darah pada lansia.
3. Meja 3: Pencatatan (Pengisian Kartu Menuju Sehat)
Kader melakukan pencatatan di KMS lansia meliputi : Indeks
Massa Tubuh, tekanan darah, berat badan, tinggi badan lansia.
4. Meja 4: Penyuluhan kesehatan oleh Petugas Kesehatan dari
Puskesmas, Dinas kesehatan, Kementrian kesehatan, atau Instansi lain
yang bekerja sama dengan Posyandu Lansia.
Penyuluhan kesehatan perorangan berdasarkan KMS dan
pemberian makanan tambahan, ataupun materi mengenai tindakan
promotif dan preventif terhadap kesehatan Lansia.
5. Meja 5: Pelayanan medis
Pelayanan oleh tenaga professional yaitu petugas dari
Puskesmas/kesehatan meliputi kegiatan: pemeriksaan dan pengobatan
ringan untuk preventif, rehabilitatifdan kuratif.
Pelaksanaan Posyandu Lansia dibantu oleh kader kesehatan. Kader
Lansia adalah seorang tenaga sukarela dari, oleh dan untuk masyarakat,
yang bertugas membantu kelancaran pelayanan kesehatan. Keberadaan
kader sering dikaitkan dengan pelayanan rutin di posyandu.Kader
kesehatan dapat dibentuk sesuai dengan keperluan untuk menggerakkan
partisipasi masyarakat atau sasarannya dalam program pelayanan
kesehatan.
Tugas kader kesehatan lansia adalah sebagai berikut :
1. Tugas sebelum hari buka Posyandu (H - Posyandu) yaitu tugas – tugas
persiapan oleh kader agar kegiatan pada hari buka Posyandu berjalan
dengan baik.
a. Menyiapkan alat dan bahan : timbangan, tensimeter, stetoskop,
KMS, alat peraga, obat-obatan yang dibutuhkan, bahan/materi
penyuluhan dan lain-lain.
b. Mengundang dan menggerakkan masyarakat, yaitu memberitahu
para lansia untuk datang ke Posyandu, serta melakukan
pendekatan tokoh yang bisa membantu memotivasi masyarakat
(lansia) untuk datang ke Posyandu
c. Menghubungi kelompok kerja (Pokja) Posyandu yaitu
menyampaikan rencana kegiatan kepada kantor desa dan meminta
memastikan apakah petugas sektor bisa hadir pada hari buka
Posyandu.
d. Melaksanakan pembagian tugas : menentukan pembagian tugas
diantara kader Posyandu baik persiapan dan pelaksanaan.
e. Pelaporan Posyandu Lansia ke Puskesmas setiap bulan dan tahun
dalam Buku Pedoman Pemeliharaan Kesehatan (BPPK)Usia Lanjut
atau catatan kondisi kesehatan yang lazim digunakan di
Puskesmas.
2. Tugas pada hari buka Posyandu (H Posyandu) yaitu berupa tugas-
tugas untuk melaksanakan pelayanan 5 meja.
a. Menyiapkan alat pemeriksaan kesehatan secara berkala :
pendataan, screening, pemeriksaan kesehatan, pengobatan
sederhana, pemberian suplemen vitamin, PMT
b. Menyiapkan sarana untuk olahraga
c. Menyiapkan sarana untuk kegiatan keterampilan bagi lansia
:kesenian, bina usaha
d. Menyiapkan sarana untuk bimbingan pendalaman agama
e. Pengelolaan dana sehat
f. Melakukan pencatatan (pengisian KMS) bersama petugas
kesehatan
TOPIK 3
PUSKESMAS SANTUN USIA LANJUT

Puskesmas adalah suatu unit pelaksana fungsional yang berfungsi sebagai


pusat pembangunan kesehatan, pusat pembinaan peran serta masyarakat
dalam bidang kesehatan serta pusat pelayanan kesehatan tingkat pertama
yang menyelengarakan kegiatan secara menyeluruh , terpadu dan
kesinambungan pada suatu masyarakat yang bertempat tinggal dalam suatu
wilayah tertentu.

A. PENGERTIAN PUSKESMAS SANTUN LANSIA


Puskesmas santun lansia adalah puskesmas yang melaksanakan
pelayanan kesehatan kepada pra Lansia dan lansia yang meliputi
pelayanan promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif yang lebih menekankan
unsur proaktif, kemudahan proses pelayanan, santun, sesuai standart
pelayanan dan kerjasama dengan unsur lintas sektor. Program Lansia tidak
terbatas pada pelayanan kesehatan klinik, tetapi juga pelayanan kesehatan
di luar gedung dan pemberdayaan masyarakat.

B. CIRI – CIRI PUSKESMAS SANTUN LANSIA


1. Memberikan pelayanan yang baik, berkualitas & sopan :
a. Lansia kemampuan fisiknya sangat terbatas dan gerakan lamban
b. Kesabaran dalam menghadapi lansia
c. Kemauan & kemampuan untuk memberikan penjelasan scr tuntas
d. Melayani lansia sesuai prosedur yang berlaku
e. Menghargai lansia dengan memberikan pelayanan yg sopan santun
2. Memberikan kemudahan dalam pelayanan kepada lansia
a. Menghindari antrian yang berdesakan perlu didahulukan karena
kondisi fisik lansia
b. Kemudahan : Loket pendaftaran tersendiri,Ruang konseling
tersendiri (terpisah), Mendahulukan pelayanan disesuaikan kondisi
setempat
3. Memberikan keringanan / bebas biaya pelayanan kesehatan bagi
Lansia Gakin
a. Lansia yang sudah pensiun / tidak bekerja
b. Keterbatasan dana untuk mencukupi biaya hidup / kebutuhan
kesehatannya
c. Berikan keringanan / bebas biaya pelayanan di Puskesmas
4. Memberikan dukungan / bimbingan padalansia dalam memelihara dan
meningkatkan kesehatannya agar tetap sehat dan mandiri
a. Lakukan penyuluhan kesehatan, gizi dan tetap berperilaku hidup
sehat
b. Anjurkan tetap beraktifitas sesuai kemampuan serta menjaga
kebugarannya dengan olahraga /senam
c. Anjurkan tetap melakukan dan mengembangkan
hobi/kemampuannya terutama usaha ekonomi produktif
d. Anjurkan melaksanakan aktifitas secara bersama dengan
kelompoknya : pengajian, kesenian, rekreasi dll dengan harapan
merasakan kebersamaan dan saling berbagi
5. Melakukan pelayanan kesehatan secara proaktif untuk dapat
menjangkau sebanyak mungkin sasaran lansia di wilayahnya
a. Melakukan fasilitasi dan pembinaan kelompok lansia dengan
deteksi dini, pemeriksaan kesehatan dan tinjauan pada saat
kegiatan
b. Bagi lansia yang dirawat di rumah dilakukan kunjungan rumah utk
perkesmas
c. Pelayanan kesehatan di Pusling/kunjungan luar gedung
6. Melakukan kerjasama lintas program dan lintas sektoral dengan azas
kemitraan dalam rangka untuk pembinaan dan meningkatkan kualitas
hidup lansia
a. Kesehatan mental dan sosial (Depsos, Kemenag)
b. Peningkatan peran keluarga dan masyarakat (PKK, Depsos)
c. Koordinasi dan menggalang kerjasama dengan dinas terkait (Tim
Pokjatap)
C. MANAJEMEN PUSKESMAS SANTUN LANSIA
1. Perencanaan
a. Kesepakatan antara staf Puskesmas tentang pembinaan kegiatan
Usia lanjut (Usila) : Penanggung jawab, Koordinator , dan
Pelaksana kegiatan pelayanan kesehatan Usia Lanjut (Usila)
b. Pengumpulan data dasar
c. Pendekatan & kerjasama lintas sektoral
2. Pelaksanaan
Prosedur yang diberikan adalah kemudahan dan kenyamanan lansia :
a. Loket khusus
b. Ruang pelayanan khusus dan semua fasilitas untuk memudahkan
pelayanan Usia Lanjut (Usila)
c. (kursi khusus, koridor dengan pegangan dan jalan yang tidak terlalu
licin/terjal, toilet dengan pegangan, dll)
3. Monitoring
Monitoring melalui pengamatan langsung di Puskesmas, pengamatan
meliputi : pelaksanaan kegiatan dibandingkan dengan rencana, Adanya
hambatan/ masalah, kinerja petugas.
4. Evaluasi
Evaluasi melalui :
a. Melakukan Wawancara
b. Pengamatan Langsung
c. Penelitian Khusus
TOPIK 4
PELAYANAN KESEHATAN DI PANTI WERDA

Semakin tua umur seseorang maka persentase untuk mengalami kesulitan


dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari juga meningkat. Kondisi ini akan
meningkatkan ketergantungan lansia untuk memenuhi kebutuhannya. Lansia
yang memiliki keluarga dan tinggal bersama, semua permasalahan yang terjadi
akan dapat dibantu oleh keluarga. Namun karena suatu hal lansia tidak memiliki
keluarga atau memiliki keluarga tetapi tidak mampu merawat dan memenuhi
kebutuhannya, maka lansia akan tinggal di Panti Werdha.

A. KONSEP PANTI WERDHA


1. Pengertian Panti Werdha
Panti Werdha merupakan unit pelaksana teknis di bidang
pembinaan kesejahteraan sosial lansia yang memberikan pelayanan
kesejahteraan sosial bagi lansia berupa pemberian penampungan,
jaminan hidup seperti pakaian, pemeliharaan kesehatan, pengisian
waktu luang termasuk rekreasi, bimbingan sosial mental serta agama
sehingga mereka dapat menikmati hari tua diliputi ketentraman lahir
dan batin.
2. Tujuan Panti Werdha
a. Tujuan Umum
Tercapainya kualitas hidup & kesejahteraan para lansia yang layak
dalam tata kehidupan masyarakat, bangsa dan negara berdasarkan
nilai-nilai luhur budaya bangsa sehingga mereka dapat menikmati
hari tuanya dengan tenteram lahir batin.
b. Tujuan Khusus
1) Memenuhi kebutuhan dasar pada lansia
2) Memenuhi kebutuhan rohani pada lansia
3) Memenuhi kebutuhan keperawatan dan kesehatan lansia
4) Memenuhi kebutuhan ketrampilan pada lansia
5) Meningkatnya peran serta keluarga dan masyarakat dalam
upaya pemeliharaan kesehatan lansia dipanti werdha
3. Sasaran pembinaan di Panti Werdha
a. Lanjut usia : Berusia 60 tahun ke atas, tidak berdaya mencari
nafkah sendiri untuk kelangsungan hidupnya, tidak mempunyai
keluarga dan atau memiliki keluarga tetapi tidak mampu
memelihara lansia tersebut.
b. Keluarga
c. Masyarakat
d. Instansi terkait sepertiDepartemen Agama (Depag), Dinas
Kesehatan (Dinkes), Pemerintah Daerah (Pemda), dan lain-lain.

B. JENIS PELAYANAN DI PANTI WERDHA


1. Upaya promotif
Upaya untuk menggairahkan semangat hidup dan meningkatkan
derajat kesehatan lansia agar tetap berguna, baik bagi dirinya,
keluarga, maupun masyarakat.
Kegiatannya berupa:
a. Penyuluhan kesehatan danatau pelatihan bagi petugas panti
mengenai hal-hal: Masalah gizi dan diet, perawatan dasar
kesehatan, keperawatan kasus darurat, mengenal kasus gangguan
jiwa, olahraga, teknik-teknik berkomunikasi.
b. Bimbingan rohani pada lansia, kegiatannya antara lain :Sarasehan,
pembinaan mental dan ceramah keagamaan,pembinaan dan
pengembangan kegemaran pada lansia di panti werdha.
c. Rekreasi
d. Kegiatan lomba antar lansia di dalam atau antar panti werdha.
e. Penyebarluasan informasi tentang kesehatan lansia di panti
maupun masyarakat luas melalui berbagai macam media.
2. Upaya preventif
Upaya pencegahan terhadap kemungkinan terjadinya penyakit-
penyakit yang disebabkan oleh proses penuaan dan komplikasinya.
Kegiatannya adalah sebagai berikut:
a. Pemeriksaan berkala yang dapat dilakukan dipanti oleh petugas
kesehatan yang datang ke panti secara periodik atau di Puskesmas
dengan menggunakan KMS lansia.
b. Penjaringan penyakit pada lansia, baik oleh petugas kesehatan di
puskesmas maupun petugas panti yang telah dilatih dalam
pemeliharaan kesehatan lansia.
c. Pemantauan kesehatan oleh dirinya sendiri dengan bantuan
petugas panti yang menggunakan buku catatan pribadi.
d. Melakukan olahraga secara teratur sesuai dengan kemampuan dan
kondisi masingmasing.
e. Mengelola diet dan makanan lansia penghuni panti sesuai dengan
kondisi kesehatannya masing-masing.
f. Meningkatkan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
g. Mengembangkan kegemarannya agar dapat mengisi waktu dan
tetap produktif.
h. Melakukan orientasi realita, yaitu upaya pengenalan terhadap
lingkungan sekelilingnya agar lansia dapat lebih mampu
mengadakan hubungan dan pembatasan terhadap waktu, tempat,
dan orang secara optimal.
3. Upaya kuratif
Upaya pengobatan bagi lansia oleh petugas kesehatan atau
petugas panti terlatih sesuai kebutuhan.
Kegiatan ini dapat berupa hal-hal berikut ini:
a. Pelayanan kesehatan dasar di panti oleh petugas kesehatan atau
petugas panti yang telah dilatih melalui bimbingan dan pengawasan
petugas kesehatan/puskesmas.
b. Perawatan kesehatan jiwa.
c. Perawatan kesehatan gigi dan mulut.
d. Perawatan kesehatan mata.
e. Perawatan kesehatan melalui kegiatan di Puskesmas.
f. Rujukan ke rumah sakit, dokter spesialis, atau ahli kesehatan yang
diperlukan.
4. Upaya rehabilitatif
Upaya pemulihan untuk mempertahankan fungsi organ seoptimal
mungkin. Kegiatan ini dapat berupa rehabilitasi fisik, mental dan
vokasional (keterampilan). Kegiatan ini dilakukan oleh petugas
kesehatan dan petugas panti yang telah dilatih.

C. FASE-FASE PELAKSANAAN KEGIATAN DI PANTI WERDHA


1. Fase orientasi
Melakukan pengumpulan data pada lansia secara individu atau
kelompokdan situasi dan kondisi Panti Werdha. Data yang dikumpulkan
adalah sebagai berikut :
a. Data Identitas panti dan sejarah pendirian
b. Situasi dan kondisi panti dalam pencapaian tujuan, visi, misi dan
motto panti
c. Sarana dan prasarana pelayanan keperawatan dipanti
d. Sumber Daya Manusia (SDM) Panti
e. Fasilitas pendukung pelayanan keperawatan
f. Faktor pendukung lain yang dapat digunakan sebagai pencapaian
tujuan
b. Data kesehatan lansia : Data ttg penyakit yang diderita, gejala yang
dirasakan, observasi kondisi fisik dan mental lansia
2. Fase identifikasi
Setelah data terkumpul pada fase orientasi, maka dapat
disimpulkan masalah kesehatan yang terjadi pada lansia di Panti.
Kemudian merencanakan tindakan yang akan dilakukan untuk
mengatasi masalah yang terjadi pada lansia.
3. Fase intervensi
Melakukan tindakan sesuai dengan rencana, misalnya memberikan
penyuluhan kesehatan, konseling, advokasi, kolaborasi dan rujukan
4. Fase resolusi
Pada fase resolusi yang dilakukan adalah menilai keberhasilan
tindakan pada fase intervensi dan menentikan perkembangan kondisi
pada lansia.

Anda mungkin juga menyukai