Anda di halaman 1dari 4

TUGAS AKHIR FILSAFAT HUKUM ENAM TEORI DALAM MAZHAB-MAZHAB FILSAFAT HUKUM BESERTA TOKOH-TOKOHNYA Nama : Muhamad Yusuf

Baharuddin NPM : 1006687934 I. Natural Law Thomas Aquinas: Gagasan Thomas Aquinas tentang hukum, dimulai dari asal muasal hukum, yang pada dasarnya bersumber dari 2 tempat : dari wahyu dan dari akal budi manusia. Hukum yang berasal dari wahyu Ilahi disebut ius divinum positivum, sementara yang berasal dari akal manusia terdiri dari beberapa macam, diantaranya ius naturale (hukum kodrat), ius gentium (hukum bangsa-bangsa), dan ius positivum humanum (hukum positif manusiawi). Perihal hukum kodrat, Thomas mendasarkan diri pada gagasan Aristoteles. Semua materi yang ada didunia ini mempunyai tujuan diluar dirinya sendiri. Oleh sebab itu, alam harus dipelihara oleh manusia untuk mencapai tujuan tersebut. Hukum kodrat yang berasal dari akal budi manusia ini terbagi atas 2 golongan. Pertama, hukum kodrat primer, dan kedua, hukum kodrat sekunder.1 II. Mazhab Positivisme Jeremy Bentham: Teori Bentham merupakan teori hukum yang bersifat imperatif, yang didalamnya terdapat konsep-konsep kunci, yaitu: sovereignty, power, and sanction dalam sebuah masyarakat politik. Bagi Bentham penerapan/pelaksanaan hukum merupakan ekstra legal, walaupun ia tidak menyampingkan penggunaan sanksi hukum. Bentham juga melihat bahwa Command dan Sovereign merupakan hukum walaupun Command itu hanya didukung oleh sanksi-sanksi
Antonius Cahyadi, E. Fernando M. Manulang ,Pengantar ke Filsafat Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), hal. 49-50.
1

moral dan agama. Selanjutnya pandangan Bentham membolehkan motif yang memikat, konsep penghargaan. Menurut dia, konsep pernghargaan lebih efektif dari penghukuman. Menurut Bentham tidak ada hukum yang bersifat tidak imperatif maupun tidak permisif. Seluruh hukum memerintahkan atau melarang atau membolehkan bentuk-bentuk tertentu dari perilaku tertentu. Bentham menyadari, bahwa sifat imperatif dari hukum sering disembunyikan, bahwa hukum diekspresikan secara deskriptif, atau lebih jauh, pengacuan terhadap penghukuman sering tersembunyi.2 III. Sosiological Jurisprudence Rudolf von Jhering: Pemikiran hukum Jhering terilhami oleh pemikiran Bentham. Ia memberi tekanan kuat kepada fungsi hukum sebagai instrumen untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Didalam masyarakat terjadi banyak konflik yang tidak terhindarkan. Konflik ini terjadi antara kebutuhan manusia sebagai masyarakat dan kebutuhan manusia sebagai individu. Untuk mendamaikan konflik ini maka negara menjalankan dua metode, yaitu dengan metode pemenuhan kebutuhan dan kedua metode koersi. Ada koersi yang tidak terorganisir (oleh negara) seperti konvensi masyarakat dan etiket bermasyarakat, tetapi hukum merupakan suatu bentuk koersi yang diorganisir oleh negara.3 IV. Historical Jurisprudence Sir Henry James Sumner Maine: Henry Maine adalah ilmuwan yang terpengaruh pendekatan historis Savigny terhadap ilmu hukum. Penelitian Henry Maine difokuskan pada hukum di masyarakat primitif, yang kemudian ditatapkan atau diperbandingkan dengan hukum masyarakat modern. Ia menemukan pola-pola evolusi hukum. Hukum berbeda di masyarakat yang demikian sederhan dan di masyarakat yang sudah maju. Ada korelasi evolutif di masyarakat-masyarakat yang berbeda secara
2 3

Ibid. hal. 59-64. Ibid. hal. 95.

geografis, waktu, dan tempatnya tersebut. Ia melihat misalnya ada pola-pola yang sama antara hukum feodal Inggris dan hukum feodal Romawi. Sumbangan Henry Maine yang paling besar bagi Jurisprudence adalah pemikirannya mengenai pergerakan evolutif hukum dari Status ke Perjanjian ( Status to Contract). Dalam pemikirannya tersebut ia melihat laju perkembangan hukum dan pembuatan hukum dalam beberapa tahapan. Maine menambahkan bahwa tahap-tahap tersebut tidak harus dilalui sedemikian oleh setiap masyarakat. Maine hanya bermaksud untuk menggambarkan kecenderungan umum yang terjadi dalam evolusi perkembangan hukum dan pembuatan hukum.4 V. Mazhab Realisme Hukum Axel Hagerstrom: Menurut Hagerstrom, teori hukum normatif, seperti yang dikembangkan oleh Immanuel Kant, dan pengikutnya Neo-Kantian Hans Kelsen, adalah metafisis. Kerananya pemikiran metafisika merupakan sebuah khayalan belaka. Hukum, menurutnya, merupakan perasaan psikologis yang kelihatan dari rasa wajib, rasa senang mendapat keuntungan, rasa takut akan reaksi dari masyarakat apabila yang bersangkutan tak melakukan tindakan tertentu. Oleh sebab itu, ilmu pengetahuan hukum harus bertitik tolak dari kenyataan-kenyataan empiris yang relevan dalam bidang hukum.5 VI. Pure Theory of Law Hans Kelsen: Teori umum tentang hukum yang dikembangkan oleh Kelsen meliputi dua aspek penting, yaitu aspek statis (nomostatic) dan aspek dinamis (nomodinamic) yang melihat hukum mengatur suatu perbuatan tertentu. The Pure Theory of Law menekankan pada pembedaan yang jelas antara hukum empiris dan keadilan transendental dengan mengeluarkannya dari lingkup kajian hukum. hukum bukan manifestasi dari otoritas super-human, tetapi merupakan suatu teknik sosial yang spesifik berdasarkan pengalaman manusia. The Pure Theory of Law menolak
4 5

Ibid. hal. 147-148. Ibid. hal. 169.

menjadi kajian metafisis tentang hukum. Teori ini mencari dasar-dasar hukum sebagai landasan validitas, tidak pada prinsip meta-juridis, tetapi melalui suatu hipotesis yuridis, yaitu suatu norma dasar, yang dibangun berdasarkan analisis logis berdasarkan cara berpikir yuristik aktual. The Pure Theory of Law berbeda dengan analytical jurisprudence dalam hal The Pure Theory of Law lebih konsisten menggunakan metodenya terkait dengan masalah konsep-konsep dasar, norma hukum, hak hukum, kewajiban hukum, dan hubungan antara negara dengan hukum.6

Jimlly Asshiddiqie dan M. Ali Safaat, Teori Hans Kelsen tentang Hukum, (Jakarta: Penerbit Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006) hal. 9-12.

Anda mungkin juga menyukai