Fakultas Hukum
Universitas Indonesia
2020
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
1
Rosyidah Rakhmawati, Hukum Penanaman Modal Indonesia, Bayumedia, Malang, 2003, h.10
2
Sunariyah, Pengantar Pengetahuan Pasar Modal, (Yogyakarta: UUP AMP YKPN, 2003), h.32
3
Leonardo ALcahyo Putra, “Omnibus Law Bisa Dongkrak Investasi 2020”
(https://investor.id/business/kadin-omnibus-law-bisa-dongkrak-investasi-202)/, Diakses pada 22
Februari 2020.
4
Vania Halim, “Regulasi Turunan RUU Omnibus Law Akan Disiapkan oleh Para Menteri”
(https://economy.okezone.com/read/2019/12/27/320/2146648/regulasi-turunan-ruu-omnibus-law-
akan-disiapkan-oleh-para-menteri), Diakses pada 22 Februari 2020.
BAB II
PEMBAHASAN
Seperti yang kita semua ketahui bahwa salah satu latar belakang diciptakannya RUU
Cipta Kerja adalah karena Pemerintah berpandangan bahwasannya kegiatan Investasi sulit
untuk terlaksana dengan maksimal karena pengaturan regulasi yang begitu rumit dan
membutuhkan banyak waktu dan tenaga. Sehingga Investor dalam atau luar negeri enggan
menaruh modal mereka untuk berusaha di dalam wilayah Republik Indonesia. RUU Cipta
Kerja atau yang sekarang ini tengah dikenal dengan nama Omnibus Law salah satunya
mempunyai tujuan untuk mendukung kegiatan berinvestasi dengan mengatur dan mengubah
beberapa hal agar
Pengaturan mengenai hal ini salah satunya diatur dalam Peningkatan Ekosistem Investasi Dan
Kegiatan Berusah. Pasal 7 RUU Cipta Kerja mengatakan bahwasannya: “Peningkatan
ekosistem investasi dan kegiatan berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a
meliputi:
a. penerapan Perizinan Berusaha berbasis risiko;
b. penyederhanaan persyaratan dasar Perizinan Berusaha dan pengadaan lahan;
c. penyederhanaan Perizinan Berusaha sektor; dan
d. penyederhanaan persyaratan investasi.”
Paragrag tntg penyederhanaan
Untuk menelaah lebih dalam lagi mengenai RUU Cipta Kerja maka dalam kesempatan
ini saya akan membahas hal-hal yang diatur didalamnya berkaitan dengan Kemudahan
Berusaha dan Berinventasi jika peraturan ini diundangkan di kemudian hari.
a. Kemudahan Berusaha
Rancangan Undang-undang Cipta Kerja atau yang lebih dikenal dengan Omnibus Law
sedari awal disusun sudah menuai protes terutama oleh para pekerja, pegiat hak asasi manusia,
aktivis perempuan, hingga pencinta lingkungan. Undang-undang sapu jagat itu dituding akan
menghapus banyak ketentuan bagi jaminan perlindungan dan kesejahteraan para pekerja atau
buruh, tetapi lebih banyak menguntungkan para pengusaha. Intinya, beberapa orang
berpendapat bahwasannya apa pun yang dianggap merintangi peluang investasi akan dihapus
dan digantikan dengan ketentuan yang memudahkan investasi. Namun, kita harus menilik
kembali apa-apa yang tengah diusahakan untuk diatur didalam RUU Cipta Kerja mengenai
Kemudahan Berusaha dan apakah ini membawa dampak yang baik atau buruk bagi bangsa ini
kedepannya.
Dalam Pasal 40 ayat (1) Undang-undang No. 32 Tahun 2009 yang tengah berlaku mengatakan
bahwasannya
“(1) Izin lingkungan merupakan persyaratan untuk memperoleh izin usaha dan/atau
kegiatan.
(2) Dalam hal izin lingkungan dicabut, izin usaha dan/atau kegiatan
dibatalkan.
(3) Dalam hal usaha dan/atau kegiatan mengalami perubahan, penanggung jawab usaha
dan/atau kegiatan wajib memperbarui izin lingkungan.”
Dalam ketentuan ini bahwasannya kita dapat mengetahui bahwa pelaku usaha harus
memperoleh izin lingkungan terlebih dahulu sebelum mereka bisa mendapatkan izin usaha dan
kegiatan karena itu merupakan suatu prasyarat yang harus di taati. Hal in tentu saja bertujuan
untuk melindungi ekosistem lingkungan hidup agar tetap terjaga dan terjamin kelestariannya
sebelum sebuah usaha dibangun. Pasal ini berorientasi terhadap lingkungan hidup, namun
kemudian kita dapat menemukan bahwasannya dalam Pasal 23 Angka 19 Omnibus Law atau
RUU Cipta Kerha disebutkan bahwasannya "Ketentuan Pasal 40 dihapus." Jika ketentuan
dalam pasal 40 dihapus, apakah berarti seorang pelaku usaha tidak diwajibkan untuk
mempunyai izin lingkungan untuk memperoleh izin usaha dan kegiatannya? Bukankah jika
begitu maka tujuan awal daripada dibentuknya izin lingkungan sebagai bentuk kepedulian
terhadap kelestarian ekosistem akan sirna? Dengan ini pelaku usaha akan semakin mudah
untuk menjalankan usaha dan enggan untu memperhatikan batasan-batasan mengenai hapusan
izin lingkungan.
Pertama, ketentuan Pasal 1 Ayat 12, upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya
pemantauan lingkungan hidup (UKL-UPL) tidak lagi diperlukan bagi pengambilan keputusan
penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan. Pada Ayat 35 dikatakan bahwasannya ketentuan
yang ada didalamnya dihapus. Namun UUPPLH yang kini masih berlaku sebenarnya diatur
mengenai kewajiban usaha yang tidak wajib UKL-PKL harus memiliki surat pernyataan
kesanggupan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup. Namun ketentuan ini kemudian
dihapus, yang berarti bahwasannya pengusaha tidak lagi diwajibkan untuk mempunyai surat
kesanggupan PPLH. Dimana hal ini bisa menjadi suatu kemudahan bagi pengusaha yang akan
menimbulkan kerugian bagi lingkungan alam sekitar dan terjadi ketidakpastian hukum yang
berlaku. Hal ini akan menyulitkan pengawasan, menghilangkan pula ruang keberatan dan
upaya hukum yang selama ini menjadi checks & balances keputusan-keputusan lingkungan,
dan mereduksi secara signifikan kesempatan masyarakat memperjuangkan haknya (termasuk
mewakili lingkungan) dengan gugatan perizinan5.
Kedua, ketentuan Pasal 20 Ayat 3 dan 5 diubah. Pada Ayat 3, sebelumnya, setiap orang
diperbolehkan untuk membuang limbah ke media lingkungan hidup dengan syarat mendapat
izin dari menteri, gubernur, atau bupati/wali kota. Ketentuan tersebut kemudian diubah dengan
syarat mendapat persetujuan dari pemerintah pusat. Yang dimana pengawasan yang bersifat
delegasi sudah tidak diterapkan lagi. Hal ini mungkin menjadi lebih sederhana bagi pelaku
usaha, namun pengawasan tidak lagi bisa dilakukan secara mendalam mengenai pembuangan
limbah ke media lingkungan.
Dalam hal ini, RUU Cipta Kerja berwacana mengubah sistem perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup yang semula wajib AMDAL, menjadi peraturan berbasis
risiko (risk-based regulation) yang akan menghilangkan kajian dampak lingkungan atas
kegiatan/proyek di suatu lokasi. Padahal, hal itu tidak akan mungkin dilakukan karena
memerlukan data yang sangat banyak. Hal ini seperti yang tertera di Bagian Kedua Penerapan
Perizinan Berusaha Berbasis Risiko Paragraf 1 Umum Pasal 8 ayat (1) yang berbunyi
“Perizinan Berusaha berbasis risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a dilakukan
berdasarkan penetapan tingkat risiko kegiatan usaha.” Kemudian dalam ayat (2) dikatakan
bahwa “Penetapan tingkat risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh berdasarkan
perhitungan nilai tingkat bahaya dan nilai potensi terjadinya bahaya.”
Selanjutnya, dihapuskannya sanksi pidana untuk pelanggaran administrasi juga akan
meningkatkan kerentanan terhadap bencana karena pelanggaran hanya mendapatkan sanksi
administrasi. Sedangkan, ketika terjadi ketikdakpatuhan terhadap sanksi administrasi tersebut
yang berpotensi memperparah kerusakan/pencemaran atau terjadi pengulangan pelanggaran
5
Rahmat Maulana Sidik dkk, “Menakar Isi Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja & UMKM”(
https://igj.or.id/menakar-isi-omnibus-law-cipta-lapangan-kerja-umkm/), Diakses pada 22 Februari
2020.
administrasi, tidak dapat ditegakan menggunakan sanksi pidana, seperti pasal 100 UU
32/2009. Contoh, dalam pasal yang mengatur tentang perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup di RUU Cipta Pasal 98 mengatakan bahwasannya sanksi pidana diringankan
bagi siapa pun, termasuk pengusaha, yang dianggap merusak lingkungan. Sanksinya denda
paling sedikit Rp3 miliar atau paling banyak Rp10 miliar. Padahal, dalam Pasal 98 ayat 1
Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup, perusak lingkungan diancam penjara 3 tahun atau paling lama 10 tahun dan denda Rp3-
10 miliar.
b. Kemudahan Berinvestasi
Dalam hal ini terdapat beberapa pandangan pakar atau ahli hukum mengenai RUU Cipta
Kerja yang tengah digadang-gadangkan untuk segera diundangkan. Maria Farida,
menyampaikan keberatannnya atas rencana pemerintah ingin mempercepat penyederhanan
aturan yang berjumlah puluhan menjadi satu undang-undang (UU) ini. Menurutnya,
mempercepat pembuatan omnibus law membutuhkan kajian yang lebih mendalam. Mulai
proses pemetaan, penyisiran sejumlah UU, hingga mencabut pasal-pasal yang saling tumpang
tindih di berbagai peraturan.8 Dia mengatakan bahwasannya banyak persoalan dalam sistem
regulasi kita yang tumpang tindih, bahkan saling bertabrakan satu UU dengan UU lainnya.
Apalagi, gagasan penerapan omnibus law ini lazim digunakan di negara-negara yang menganut
sistem common law. Dia khawatir keinginan membentuk omnibus law yang mengebu-gebu
tanpa didasari kajian matang dan mendalam berujung sia-sia. Belum lagi, jika omnibus law
diterapkan justru malah menimbulkan persoalan baru dalam sistem penyusunan peraturan
perundang-undangan dan akan terjadi ketidakpastian hukum dan menyulitkan. Dia juga
berpendapat jika ingin mempermudah masuknya investasi, tidak kemudian mengobral agar
asing dapat menguasai aset negara serta merta. Dia mengingatkan mempermudah perizinan
investasi terkait hajat hidup orang banyak yang dikuasai negara berpotensi bertentangan
dengan Pasal 33 UUD Tahun 1945.
Sementara ahli dan pakar hukum laim, Prof. Jimly Asshidique menyarankan seyogyanya
pembentukan omnibus law diarahkan yang lebih luas, menyeluruh, dan terpadu dalam rangka
penataan sistem hukum dan peraturan perundang-undangan berdasarkan Pancasila dan UUD
Tahun 1945. Sebab, selama ini seringkali antar UU dan produk hukum lain (di bawahnya)
mengatur materi muatan yang serupa/sama (tumpang tindih pengaturan). Hal ini menyebabkan
ketidakterpaduan yang ujungnya menyulitkan penerapan di lapangan. dia juga berpendapat
bahwasannya Penerapan ide UU Omnibus Law itu hendaknya tidak hanya terbatas pada
persoalan perizinan dan kemudahan berusaha.9
6
Agus Sahbani, “Plus-Minus Omnibus Law di Mata Pakar”
(https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5e3325327d597/plus-minus-omnibus-law-di-mata-
pakar/)/,Diakses pada 22 Februari 2020.
7
Rahmah Maulana sidik., Omnibus Law: Payung Hukum Menarik Investasi atau Melegitimasi
Eksploitasi?
8
Ibid,.
9
Ibid,.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dewasa ini banyak negara-negara yang melakukan kebijaksanaan yang bertujuan untuk
meningkatkan investasi baik domestik ataupun modal asing. Hal ini dilakukan oleh pemerintah
sebab kegiatan investasi akan mendorong pula kegiatan ekonomi suatu negara, penyerapan
tenaga kerja, peningkatan output yang dihasilkan, penghematan devisa atau bahkan
penambahan devisa. Kendala yang dihadapi Indonesia dalam penanaman modal datang dari
internal maupun eksternal antara lain kesulitan dana/pembiayaan, kesulitan pemasaran, adanya
sengketa atau perselisihan antara pemegang saham, masalah hukum, keamanan dan stabilitas
politik. Solusi dalam penanaman dengan adaya kepastian hukum, penyediaan lahan bahan baku
terjaminnya siatuasi dan kondisi keamanan dalam negeri dan stabilitas politik, tenaga kerja
yang handal, perijinan yang cepat, hilangnya pungutan liar serta infrastruktur yang memadai,
tersedianya pasar market bagi penanam modal. Namun, dalam praktiknya tidak serta merta
apa-apa yang akan diatur didalam RUU ini tidak akan menimbulkan permasalahan dikemudian
hari. Terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan oleh pemerintah kit ajika ingin membuat
suatu regulasi yang berbasis kepastian hukum untuk kenaikan iklim investasi, ataupun
pemenuhan hak-hak warga negara atau asing di bidang penanaman modal.
Untuk dapat menarik investor, maka peraturan atau regulasi mengenai investasi harus
dibuat kondusif. Banyak faktor yang akan dipertimbangkan oleh investor dalam memilih
negara mana yang layak untuk diberi kucuran dana atau untuk menanamankan modal. Investor
mengeluhkan aturan di Indonesia yang tidak efektif dan terlalu menumpuk, tumpang tindih
serta birokrasi berbelit-belit. Tak hanya itu investor juga menilai aturan ketenagakerjaan di
Indonesia juga terlalu kaku dan dikhawatirkan malah akan mempersulit bisnis mereka. Oleh
karena itu, pemerintah membuat gebrakan dengan adanya RUU Cipta Lapangan Kerja yang
saat ini tengah digadangkan. Namun karena ini adalah pertama kalinya Indonesia membuat
Omnibus Law, alangkah baiknya pemerintah tak tergesa-gesa dan kembali meninjau urgensi
secara komprehensif. Hal ini dimaksudkan agar kebijakan yang diambil tepat sasaran dan tidak
merugikan beberapa pihak. Terlebih lagi untuk menjadi suatu penyokong dalam pertumbuhan
negara ini tentu saja masih diperlukan berbagai instrument-instrumen yang akan berpengaruh
juga dalam pertumbuhan ekonomi suatu bangsa.
Saran
1. Poin yang juga harus diperhatikan pemerintah adalah sebaiknya Omnibus Law tidak
perlu menyentuh perubahan yang bersifat prinsipiil dan mendasar serta memiliki
implikasi terlalu besar.
2. Yang terakhir adalah proses yang transparan dan kredibel tetap diperlukan. Dalam
menggadangkan aturan ini, setiap elemen harus dilibatkan agar Omnibus Law ini
benar-benar menjadi payung hukum milik bersama dan bukan golongan tertentu
saja.
DAFTAR REFERENSI
Rahmah Maulana sidik., Omnibus Law: Payung Hukum Menarik Investasi atau Melegitimasi
Eksploitasi?
Rahmat Maulana Sidik dkk, 2020. Menakar Isi Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja &
UMKM. https://igj.or.id/menakar-isi-omnibus-law-cipta-lapangan-kerja-umkm.(22 Februari
2020).
Leonardo ALcahyo Putra 2020. Omnibus Law Bisa Dongkrak Investasi 2020.
(https://investor.id/business/kadin-omnibus-law-bisa-dongkrak-investasi-202)/, 22 Februari
2020).
Halim, Vania, 2020. Regulasi Turunan RUU Omnibus Law Akan Disiapkan oleh Para Menteri.
(https://economy.okezone.com/read/2019/12/27/320/2146648/regulasi-turunan-ruu-omnibus-law-
akan-disiapkan-oleh-para-menteri), 22 Februari 2020).