Anda di halaman 1dari 3

Selanjutnya, ada sekurang-kurangnya dua asas HPI tentang hokum kontrak yang diturunkan dari

asas locus regit actum, yaitu :

 Berkaitan dengan keabsahan dari pembuatan perjanjian, yang di dasarkan pada hokum
dari tempat perjanjian tersebut disepakati dan dibuat ( asas lex loci contractus ); dan
 Berkaitan dengan pelaksanaan perjanjian, yang harus tunduk pada hokum dari tempat di
mana perjanjian tersebut dilaksanakan ( asas lex loci solutionis ).

Untuk menetapkan status dan tanggung jawab yang terbit dari perbuatan hokum sesuai UU
umumnya digunakan asas lex loci actus. Sementara itu, terhadap perbuatan melawan hokum
sekurang-kurangnya dapat diturunkan dua asas penting, yaitu :

 Bentuk atau kategori hokum dari sebuah perbuatan melawan hokum harus ditentukan
berdasarkan hukum di mana perbuatan melawan hukum itu dilakukan ( asas lex loci
delicti commissi ) ; dan
 Hukum dari tempat munculnya kerugian langsung dari perbuatan melawan hukum
tersebut ( asas lex loci damni ).

Walau demikian, Indonesia masih belum memiliki kaidah HPI khusus berkaitan dengan
perjanjian dan perbuatan melawan hukum sebagaimana yang dijabarkan di atas. Dengan
demikian, pasal 18 AB ini adalah satu-satunya asas umum yang memayungi juga kaidah HPI
untuk kontrak dan perbuatan melawan hukum.

Di dalam praktik hukum di Indonesia terkait masalah kontraktual, asas lex loci contractus telah
diaplikasikan oleh Pengadilan Negeri Medan untuk menentukan hak dan kewajiban dari pihak-
pihak dalam perjanjian utang piutang yang disepakati di cina. Asas ini juga diterapkan untuk
menentukan akibat hukum dari perjanjian penghibahan yang dilakukan secara sepihak, yang
dibuat di Saudi Arabia, walaupun objek dari perjanjian tersebut adalah sebidang tanah yang
terletak di Jakarta. Di dalam kasus lain, asas lex loci solutionis telah diterapkan untuk
menentukan akibat hukum dari sebuah perjanjian ekspor impor karena penarikan dan persetujuan
pembayaran telah dilakukan di London. Mengingat, baik asas lex loci contractus lex maupun loci
solutionis telah digunakan di dalam putusan-putusan hakim di Indonesia ( meskipun kedua asas
tersebut tidak dimuat secara tegas di dalam perundang-undangan ), pertanyaannya adalah :
bagaimana hakim Indonesia mempertimbangkan untuk menerapkan asas lex loci contractus lex
atau asas loci solutionis di dalam menentukan hukum yang seharusnya berlaku terhadap sebuah
kontrak ? Mereka menerapkan “subjective test” terhadap isi perjanjian, melalui analisis dan
penyimpulan mengenai kehendak tersirat para pihak ( intentions of the parties ) di dalam
perjanjian mengenai hukum yang hendak diberlakukan atas kontrak mereka yang harus
didasarkan pada pengujian kasus demi kasus.
Berkaitan dengan perbuatan melawan hukum, asas lex loci delicti commissi telah diterapkan di
dalam kasus kelalaian dari seorang pekerja golongan penduduk Eropa yang bekerja di Hindia
Belanda untuk meneliti aturan-aturan keamanan kerja. Walaupun korban dari kelalaian tersebut
adalah sebuah perusahaan Eropa, kasus tersebut diputus berdasarkan hukum dari Negara di mana
kelalaian tersebut terjadi. Oleh karena itu, kasus ini kemudian diputus dengan menggunakan
hukum adat. Harus di perhatikan bahwa asas lex loci delicti dan asas commissi lex loci damni di
dalam praktik telah dikecualikan oleh hukum dari pihak yang mengalami kerugian ( the law of
the injuring party ). Contoh di atas menggambarkan bahwa tangung jawab dari seorang supir
bumiputra yang menyebabkan orang lain mengalami kerugian telah diselesaikan dengan
menggunakan hukum adat sekalipun kerugian diderita oleh perusahaan Eropa.

F. KESIMPULAN

1. HPI merupakan bagian dari hukum perselisihan. Inti dari hukum perselisihan adalah
serangkaian asas hukum, kaidah hukum, atau peraturan yang berfungsi untuk menentukan
hukum yang seharusnya berlaku untuk menyelesaikan perkara jika di dalam perkara tersebut
ternyata terkait pada lebih dari satu sistem hukum/kaidah hukum/peraturan. Sedangkan HPI
adalah bagian dari hukum perselisihan yang memiliki kekhasan (titik taut primer) berupa adanya
unsur asing (foreign element) di dalam masalah hukum yang dihadapinya.

2. Penyelesaian perkara hukum perselisihan ( termasuk juga penyelesaian perkara HPI ) harus
dilakukan dengan menggunakan metode hukum perselisihan. Metode ini melibatkan pranata
hukum yang disebut sebagai titik taut dan kualifikasi. Tujuan dari penggunaan metode ini adalah
untuk menentukan hukum yang seharusnya berlaku ( the proper law/ the governing law/lex
causae ) dari perkara.

3. HPI di Indonesia tumbuh sejak masa pemerintahan Hindia Belanda. Cikal bakal HPI dalam
konteks Negara jajahan adalah dalam bentuk hukum antargolongan. Lahirnya hukum
antargolongan ini adalah karena adanya pasal 131 AB Indonesia yang membagi penduduk di
Hindia Belanda ke dalam tiga golongan penduduk, yakni Eropa atau yang disamakan, Timur
Asing, dan bumiputra. Masing-masing golongan penduduk itu tunduk pada sistem hukum yang
berbeda. Golongan penduduk Eropa atau yang disamakan tunduk pada hukum perdata Barat;
golongan penduduk Timur Asing tunduk pada hukum adat masing-masing. Hubungan
antargolongan penduduk itu melahirkan peristiwa hukum antargolongan. Sejak Indonesia
merdeka, pengelompokan berdasarkan golongan penduduk ini menjadi tidak relevan, mengingat
Indonesia dan Belanda kemudian sama-sama berkedudukan sebagai Negara merdeka yang
berkedaulatan. Oleh karena itu, hubungan hukum antara orang-orang Belanda dan Indonesia itu (
dan hubungan hukum lain yang memiliki sifat transnasional ) diatur dengan hukum perdata
internasional.
4. Indonesia tidak memiliki peraturan yang secara komprehensif mengatur kaidah HPI. Hingga
saat ini, peraturan utama yang dipergunakan untuk menyelesaikan perkara HPI termuat di dalam
pasal 16-18 Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesie. Ketiga pasal tersebut mengatur
tentang hukum yang dipergunakan untuk menyelesaikan masalah status dan kewenangan
personal ( berdasarkan asas kewarganegaraan ) ; status hukum benda tetap ( berdasarkan asas lex
situs ) ; dan status hukum dari suatu perbuatan hukum/hubungan hukum ( berdasarkan asas lex
loci actus ). Ketiga pasal itulah yang hingga saat ini menjadi pasal dasar untuk menyelesaikan
masalah-masalah HPI. Sedangkan kaidah HPI dari beberapa masalah transnasional yang bersifat
khusus ( misalnya, perkawinan di luar negeri ) diatur secara khusus di dalam peraturan-peraturan
teknis terkait ( misalnya Undang-Undang Perkawinan ) .

Anda mungkin juga menyukai