Anda di halaman 1dari 4

Nine AM Ltd.

Dan PT Bangun Karya Pratama Lestari (BKPL) batal demi hukum

MA dalam putusannya telah menguatkan 2 (dua) putusan pada tingkat peradilan sebelumnya
yaitu pada Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor 48/PDT/2014/PT.DKI tertanggal 7 Mei
2014 dan putusan pada Pengadilan Negeri Jakarta Barat No. 451/PDT.G/2013/PN.JKT.BRT
tertanggal 20 Juni 2013, yang menyatakan Perjanjian Kredit antara Nine AM Ltd dan BKPL
tertanggal 23 April 2010 batal demi hukum.

Pada tahun 2010, antara Nine AM Ltd., dengan BKPL telah mengadakan kesepakatan yang
termuat dalam Loan Agreement tertanggal 23 April 2010. Berdasarkan Perjanjian tersebut
BKPL menerima pinjaman dana dari Nine AM Ltd. senilai US$ 4.422.000,-. Perjanjian
tersebut dibuat dalam bahasa Inggris tanpa ada penjelasannya dalam bahasa
Indonesia.untuk menjamin terlaksanannya perjanjian tersebut, BKPL memberikan jaminan
fidusia berupa 6 unit truk caterpillar model 775 off highway kepada Nine AM Ltd, yang
termuat dalam Akta Perjanjian Jaminan Fidusia atas Benda, No. 33 tertanggal 27 April
2010, yang dibuat dihadapan Popie Savitri Martosuhardjo Pharmanto, S.H., Notaris dan
PPAT di Jakarta. Berbeda dengan perjanjian pokoknya, perjanjian jaminan fiducia tersebut
dibuat dalam bahasa Indonesia.

Setelah kontrak tersebut berjalan 2 tahun yaitu pada tahun 2012, BKPL mengajukan gugatan
kepada Nine AM Ltd., dengan tuntutan Loan Agreement tertanggal 23 April 2010 batal demi
hukum karena Loan Agreement tersebut dibuat dalam bahasa inggris tanpa ada
terjemahannya dalam bahasa Indonesia. Menurut BKPL, hal tersebut bertentangan dengan
UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara serta Lagu
Kebangsaan (UU Bahasa). BKPL menyatakan Loan Agreement tersebut tidak memenuhi
syarat sahnya perjanjian sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (KUHPerdata) jo. Pasal 1335 jo. Pasal 1337 KUHPerdata

Sesuai dengaan ketentuan UU, Kewajiban menggunakan bahasa Indonesia di dalam


perjanjian memang telah diatur tegas di dalam UU Bahasa. Bahasa merupakan sarana
berkomunikasi antar manusia dan banyak digunakan dalam kegiatan bisnis, politik dan
sebagainya. Penggunaan bahasa juga terkait dalam penyusunan kontrak yang dibuat oleh para
praktisi hukum. Secara umum Kontrak yang dibuat (lisan atau tertulis) menggunakan bahasa
yang dimengerti oleh para pihak, baik bahasa internasional, bahasa nasional ataupun bahasa
daerah. Bahasa (Hukum) Kontrak merupakan bahasa yang biasa dipergunakan (nasional,
internasional atau daerah) sesuai dengan tata kaidah bahasa yang bersangkutan yang
mengikat para pihak yang bertransaksi dan dapat dieksekusi. Bahasa yang paling aman bagi
para pihak yang berkontrak adalah bahasa yang paling dimengertinya. Artinya, bila para
pihak yang berkontrak tersebut adalah orang Indonesia, seharusnyalah kontrak tersebut
dirancang dalam bahasa Indonesia, karena bahasa Indonesialah bahasa yang paling mudah
untuk dipahaminya. Penggunaan bahasa Inggris pun ataupun bahas lainnya sesuatu yang
harus dilakukan menurut persetujuan diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-
undang.
Notaris selaku praktisi hukum yang terkait dengan penyusunan kontrak juga wajib
menggunakan bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa dalam akta Notaris di atur dalam Pasal
43 UUJN – P yaitu :

Akta wajib dibuat dalam bahasa Indonesia. Dalam hal penghadap tidak mengerti bahasa yang
digunakan dalam akta, Notaris wajib menerjemahkan atau menjelaskan isi akta itu ke dalam
bahasa yang dimengerti oleh penghadap. Jika para pihak menghendaki, Akta dapat dibuat
dalam bahasa asing. Dalam hal pembuatan Akta, Notaris wajib menterjemahkannya ke dalam
bahasa Indonesia. Apabila Notaris tidak dapat menerjemahkan atau menjelaskannya, akta
tersebut diterjemahkan atau dijelaskan oleh seorang penerjemah resmi. Dalam hal terdapat
perbedaan penafsiran terhadap isi Akta, maka yang digunakan adalah Akta yang dibuat dalam
bahasa Indonesia.

Pasal 43 ayat (1) UUJN – P telah mewajibkan bahwa akta Notaris dibuat dalam bahasa
Indonesia. Penggunaan kata wajib berarti jika tidak dilaksanakan akan ada sanksinya,
ternyata UUJN – P tidak mengatur sanksinya, artinya kewajiban tanpa sanksi jika
dilanggar.

Hal ini perlu dikaitkan pula dengan Pasal 31 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 disebutkan bahwa :

(1) Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang
melibatkan lembaga negara, instansi pemerintah Republik Indonesia, lembaga swasta
Indonesia atau perseorangan warganegara Indonesia.

(2) Nota kesepahaman atau perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang
melibatkan pihak asing ditulis juga dalam bahasa nasional pihak asing tersebut dan/atau
bahasa Inggris.

BaikAkta (Notaris) maupun Perjanjian wajib dibuat dalam bahasa Indonesia dan dari segi
formalitas harus mengikuti ketentuan yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata tentang
Syarat Sahnya Perjanjian. Akta juga merupakan perjanjian yang dibuat berdasarkan
kaidah-kaidah tertentu, jika semua kaidah secara formal, matreril dan lahir dipenuhi, maka
akta tersebut akan mengikat mereka yang membuatnya dan para ahliwaris yang mendapatkan
keuntungan dari akta atau perjanjian tersebut

Salah satu pangkal persoalan hukum yang mencuat adalah pada kata ‘wajib’ dalam
rumusan UU Bahasa. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (versi 1990), lema
‘wajib’ mengandung arti ‘harus dilakukan’, ‘tidak boleh tidak dilaksanakan’, ‘tidak
boleh ditinggalkan’. Bisa juga mengandung arti ‘sudah semestinya’, atau ‘harus’

Bagi sebagian praktisi hukum, penggunaan kata ‘wajib’ dalam norma hukum
mengandung konsekuensi sanksi. Sanksi memperlihatkan sisi hukum yang
memaksa (dwingend recht). Kalau kewajiban tidak dijalankan, maka ada sanksinya.
Tetapi dalam kamus, makna ‘wajib’ tak dihubungkan dengan sanksi.

UU Bahasa, UUJN, dan sejumlah peraturan lain menggunakan kata ‘wajib’. Masalah
timbul karena tidak ada ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi jika pasal-pasal yang
mengatur kewajiban itu dilanggar. Sama halnya jika dibuat rumusan norma ‘anak
wajib menghormati orang tua’, dan tidak ada sanksi pidana, misalnya, jika si anak
tak menghormati orang tuanya.

Bagaimana dengan UUJN? UU ini mewajibkan akta dibuat dalam bahasa Indonesia,
tetapi dengan tetap membuka peluang pengecualian. Pasal 43 ayat (3) UUJN
menyebutkan akta bisa dibuat dalam bahasa asing jika para pihak menghendaki.
Artinya, kehendak para pihaklah yang menentukan. Kehendak para pihak adalah
esensi dari sebuah kontrak. Namun, ayat (4) Pasal 43 yang sama mewajibkan
notaris menerjemahkan akta ke dalam bahasa Indonesia jika akta itu –sesuai
kehendak para pihak—dibuat dalam bahasa asing.

Rumusan semacam itu, yakni kewajiban berbahasa Indonesia dalam dokumen


hukum, bukan tanpa manfaat. Ketua Ikatan Alumni Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, Ahmad Fikri Assegaf, meyakini rumusan itu lambat laun akan
memperkaya bahasa Indonesia hukum. Sebab, mau tidak mau, akan banyak
dokumen hukum berbahasa asing–seperti perjanjian dan akta—yang harus
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Penerjemahan itu sedikit banyak
mendorong munculnya bahasa Indonesia hukum yang baku, yang lama kelamaan
diterima kalangan hukum. “Itu akan akan memperkaya bahasa Indonesia hukum,”
ujar Fikri kepada hukumonline.

Selain itu, kewajiban menggunakan bahasa Indonesia dalam dokumen hukum akan
berdampak pada jasa penerjemahan. Lambat laun, penerjemah tersumpah akan
berkembang sebagai profesi pendukung bagi kalangan praktisi hukum.

Tantangan di 2016
Hukumonlinesudah menyelenggarakan tiga kali diskusi mengenai masalah bahasa
Indonesia ini dengan mengundang para praktisi, akademisi, dan hakim agung.
Hingga kini masih ada pertanyaan yang penting untuk dijawab ke depan.

Pertanyaan yang paling mengemuka adalah posisi atau kedudukan bahasa sebagai
salah satu syarat untuk membuat perjanjian. Hakim Agung T. Gayus Lumbuun
berpendapat kewajiban penggunaan bahasa Indonesia dalam kontrak merupakan
syarat formil perjanjian. Syarat subjektif perjanjian menurut Pasal 1320 KUH Perdata
meliputi kesepakatan para pihak dan kecakapan para pihak yang membuat
perjanjian. Sedangkan syarat objektifnya adalah suatu hal tertentu dan sebab yang
halal. Menurut Gayus, pengaturan oleh undang-undang tentang formalitas tertentu
yang harus dipenuhi untuk perjanjian formil merupakan pengecualian dari asas
konsensualisme.

Advokat Eri Hertiawan berpendapat solusi yang bisa ditempuh para pihak untuk
mencegah ancaman pembatalan kontrak ke depan adalah bilingual agreement.
Solusi ini penting karena bagaimanapun tetap terbuka peluang bagi salah satu pihak
dalam perjanjian untuk mengajukan pembatalan kontrak ke pengadilan dengan
alasan tidak paham isi perjanjian berbahasa asing.

Pertanyaan lain adalah mengenai bahasa daerah. Selama ini fokus perdebatan
terlalu bermuara pada bahasa asing. Bagaimana jika perjanjian dibuat dalam bahasa
daerah yang dipakai kelompok masyarakat di Indonesia? Apakah suatu perjanjian
dapat dibatalkan hanya karena menggunakan bahasa daerah? Bukankah Konstitusi
mengakui keberadaan bahasa daerah?

Jadi, persoalan pembatalan kontrak karena alasan bahasa masih sangat mungkin
menjadi perdebatan pada tahun-tahun mendatang.

Anda mungkin juga menyukai