NIM : 02022682024017
MATA KULIAH : HUKUM PERIKATAN
PROGRAM STUDI : MAGISTER KENOTARIATAN
Dalam UUJN pasal 43 ayat (1) menyatakan bahwa akta dibuat dalam bahasa
indonesia, dan dalam penjelasannya menyatakan bahwa bahasa indonesia yang
dimaksud dalam ketentuan ini adalah bahasa indonesia yang tunduk pada kaidah
kalimat bahasa Indonesia yang baku. Namun dalam ayat (4) menyatakan bahwa akta
dapat dibuat dalam bahasa lain yang dipahami oleh notaris dan saksi apabila pihak
yang berkepentingan menghendaki sepanjang undang-undang tidak menentukan lain,
dalam penjelasannya menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “pihak yang
berkepntingan” adalah penghadap atau pihak yang diwakili oleh penghadap.
Jika pasal tersebut dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009,
khususnya pasal 27 juncto pasal 31 ayat (1) secara substansi sangat berbeda, dan
secara normatif tidak sejalan. Berdasarkan UU No. 24 Tahun 2009 pasal 27 juncto
pasal 31 ayat (1) menyatakan wajib “harus dilakukan; tidak boleh tidak
dilaksanakan” menggunakan bahasa Indonesia sedangkan UUJN pasal 43 ayat (4)
menyatakan akta notaris dapat dibuat dalam bahasa lain yang diinginkan oleh para
penghadap dan dimengerti oleh Notaris dan saksi.
Oleh karena itu dengan menggunakan Asas Prefensi Hukum, dalam hal ini UU
No. 24 Tahun 2009 pasal 27 juncto pasal 31 ayat (1) harus ditempatkan sebagai
aturan yang khusus (lex specialis), yang mengatur secara khusus mengenai
penggunaan bahasa Indonesia, maka setiap akta otentik yang dibuat oleh atau
dihadapan Notaris wajib menggunakan bahasa Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam UUJN pasal 43 ayat (1) beserta penjelasannya yaitu bahasa indonesia yang
baku. Dan untuk memperkecil terjadinya konflik norma, maka sebaiknya pasal 43
ayat (4) tersebut dihapus saja pada perubahan UUJN yang baru dengan
memperhatikan asas pembentukan perundang-undangan yang baik sebagaimana
diatur dalam undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan
Perundang-Undangan Bab II dengan Judul Asas Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan.
Mengingat bahasa Indonesia sebagai Bahasa yang dinyatakan sebagai bahasa
resmi negara dalam Pasal 36 Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik
Indonesia Tahun 1945 (UU No. 24 Tahun 2009 Pasal 25 ayat (1)), sebagai jati diri
bangsa, kebanggaan nasional, sarana pemersatu berbagai suku bangsa, serta sarana
komunikasi antar daerah dan antar budaya daerah (Pasal 25 ayat (2)) dan sebagai
bahasa resmi kenegaraan, pengantar pendidikan, komunikasi tingkat nasional,
pengembangan kebudayaan nasional, transaksi dan dokumentasi niaga, serta sarana
pengembangan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan bahasa
media massa (Pasal 25 ayat (3)), sebaiknya akta otentik yang merupakan suatu
dokumen negara diwajibkan menggunakan bahasa Indonesia yang tunduk pada
kaidah bahasa Indonesia yang baku maka pasal 43 ayat (1) seharusnya berbunyi
demikian “Akta wajib dibuat dalam bahasa Indonesia” dan penjelasannya berbunyi
“bahasa indonesia yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah wajib bahasa indonesia
yang tunduk pada kaidah kalimat bahasa Indonesia yang baku.
Dengan ketentuan Pasal 31 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 bahwa bahasa Indonesia wajib digunakan dalam
nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan lembaga negara, instansi
pemerintah Republik Indonesia, lembaga swasta Indonesia atau perseorangan warga
negara Indonesia, maka untuk Akta Notaris, Minuta Akta, Salinan Akta dan Kutipan
Akta wajib menggunakan bahasa Indonesia, sehingga tidak boleh ada Akta Notaris,
Minuta Akta, Salinan Akta dan Kutipan Akta yang tidak menggunakan bahasa
Indonesia.
Subyek dalam perjanjian pemberian lisensi paten adalah paten itu sendiri. Paten
dapat dimiliki oleh seseorang, beberapa orang atau badan hukum yang menemukan
suatu penemuan di bidang teknologi akan tetapi tidak semua penemuan teknologi itu
secara otomatis mendapat paten, karena ada beberapa persyaratan jika seseorang,
beberapa orang atau suatu badan hukum ingin mendapatkan hak paten.
2b). Jelaskan “asas kebebasan berkontrak” seperti apa yang diterapkan dalam
perjanjian lisensi!
Asas kebebasan berkontrak merupakan salah satu asas yang sangat terkenaldi
dalam hukum kontrak. Berdasarkan asas ini suatu pihak dapat dan/atau
tidakmemperjanjikan apa-apa yang dikehendakinya dengan pihak lain. Dengan
perkataan lain, para pihak berhak untuk menentukan apa saja yang diinginkannya dan
sekaligus juga diperkenankan untuk menentukan apa saja yang tidak dikehendaki
untuk dicantumkan dalam perjanjiannya, dan apa yang diperjanjikan itu akan
mengikat para pihak yang menandatangani perjanjian tersebut (Pasal 1338 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata). Namun demikian, penerapan asas kebebasan
berkontrak ini adalah tidak bebas sebebas-bebasnya.
KUHPerdata memberikan hak kepada para pihak untuk membuat dan
melakukan kesepakatan apa saja dengan siapa saja, selama mereka memenuhi syarat-
syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam buku III KUHPerdata tersebut. Setiap
perjanjian yang dibuat dengan sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka
pembuatnya. Rumusan ini dapat kita temukan dalam pasal 1338 ayat (1)
KUHPerdata, yang dipertegas kembali dengan ketentuan pasal 1338 ayat (2)
KUHPerdata yang menyatakan bahwa perjanjian yang telah disepakati tersebut tidak
dapat ditarik kembali secara sepihak oleh salah satu pihak dalam perjanjian tanpa
adanya persetujuan dari lawan pihaknya dalam perjanjian, atau dalam hal-hal di mana
oleh Undang-Undang dinyatakan cukup alasan untuk itu. Secara umum, kalangan
ilmuwan hukum menghubungkan dan memperlakukan ketentuan sebagaimana diatur
dalam pasal 1320 KUHPerdata jo pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata sebagai asas
kebebasan berkontrak dalam Hukum Perjanjian.
Apabila para pihak hanya mendasarkan pada kebebasan berkontrak dan asasini
tidak dibatasi secara rinci dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur
secara khusus tentang lisensi paten, maka klausula-klausula pembatasan-pembatasan
perdagangan (restrictive business practice) masih banyak dicantumkan dalam kontrak
lisensi paten. Kebebasan berkontrak yang didominasi oleh pihak asing sangat jelas
yang memuat beberapa restriksi perdagangan,misalnya pembatasan ekspor, kalusula
grant back, price fixing dan tyin clause. Sedangkan yang kedua, adalah asas itikad
baik, sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 1338 ayat (3)
Bila dikaitkan dengan asas kebebasan berkontrak yang merupakan dasar
pembuatan suatu perjanjian, maka tampak bahwa perjanjian baku (standar) yang
diwujudkan dalam perjanjian lisensi telah mengurangi peran asas kebebasan
berkontrak itu sendiri. Secara rinci kebebasan yang berkurang atau tidak dapat
dilaksanakan itu, khususnya bagi licensee adalah kebebasan untuk menentukan isi
perjanjian.
Dengan memperhatikan uraian di atas, maka upaya untuk membatasi prisip
kebebasan berkontrak seperti yang dikemukakan di atas merupakan upaya yangsia-sia
karena upaya itu hanya mengatur mengenai kemasan dari suatu esensi dan tidak
menyentuh esensinya itu sendiri. Sebagaimana telah diketengahkan bahwa yang
seharusnya dikedepankan adalah prinsip saling menjaga eksistensi para pihak yang
merupakan esensi prinsip kebebasan berkontrak. Apabila prinsip kebebasan
berkontrak dilepaskan dari esensinya, bahwa kebebasan berkontrak merupakan
konsepsi formal masa awal liberalisme dan mengarah kepada suatu perbudakan baru
yang bukan berdasarkan pada ketakmampuan secara ekonomis.
2c). Sebutkan unsur-unsur apa saja yang perlu dituangkan dalam perjanjian
lisensi tersebut ?