Anda di halaman 1dari 2

CATATAN PINGGIR “BRW” TENTANG SEMA 3/2023

Mahkamah Agung RI telah memberlakukan SEMA No. 3 Tahun 2023 tentang Pemberlakuan
Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2023 Sebagai Pedoman Pelaksanaan
Tugas Pengadilan. Tulisan singkat ini terbatas hendak hendak menyoroti “Rumusan Hukum
Kamar Perdata”, Sub 1 Perdata Umum, yang dalam rumusannya menyatakan : “Lembaga swasta
Indonesia dan atau perseorangan Indonesia, yang mengadakan perjanjian dengan pihak asing
dalam Bahasa asing yang tidak disertai dengan terjemahan Bahasa Indonesia tidak dapat
dijadikan alasan pembatalan perjanjian, kecuali dapat dibuktikan bahwa ketiadaan terjemahan
Bahasa Indonesia karena adanya iktikad tidak baik oleh salah satu pihak”. Beberapa catatan
sebagai berikut:

1. Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA), termasuk - namun tidak terbatas - SEMA No. 3
Tahun 2023 kedudukannya hanya berlaku sebagai “Pedoman”, bukan sebagai peraturan
yang bersifat imperative. Oleh karena itu, secara tertantive SEMA tersebut “dapat diikuti”,
namun “dapat pula tidak diikuti”, sejalan dengan prinsip kemerdekaan Hakim dalam
memeriksa dan memutus setiap perkara, sesuai karakteristik dan keunikan masing
masing. Dalam banyak kasus, Hakim pemeriksa perkara, baik di tingkat pertama maupun
banding, dalam putusannya telah mengabaikan SEMA, dengan membuat alasan dan
pertimbangannya sendiri.

2. Norma Pasal 31 ayat (1) UU No.2 Tahun 2009 jo. Pasal 4 ayat (1) & (2) Perpres No. 63
Tahun 2009 sudah sangat jelas, tegas, dan bersifat imperative, sebagaimana terbaca
dalam frasa “wajib” dalam kaitannya dengan perjanjian yang melibatkan : “….lembaga
swasta Indonesia atau perseroangan warganegara Indonesia”. Sehingga, apabila suatu
perjanjian “dibuat hanya dalam Bahasa Asing”, tanpa disertai dengan terjemahan
resminya dalam “Bahasa Indonesia”, maka menurut pendapat saya perjanjian tersebut
adalah “batal demi hukum”, karena tidak memenuhi salah satu syarat obyektif sahnya
perjanjian, yakni syarat kausa yang halal (syarat ke-4) Pasal 1320 BW jo. Pasal 1337 BW
jo. Pasal 31 ayat (1) UU No.2 Tahun 2009 jo. Pasal 4 ayat (1) & (2) Perpres No. 63 Tahun
2009.

3. Dalam pengalaman prakteknya, Mahkamah Agung pernah mengadili kasus semacam itu,
yaitu Perkara No. 1572 K/Pdt/2015 (PT Bangun Karya vs Nine AM Ltd), Perkara No. 601
K/Pdt/2015 (PT. Bangun Karya vs Nine AM Ltd), dan Perkara No. 3395 K/Pdt/2019 (PT
Jasa Angkasa Semesta vs PT Gatari Air Srvice) yang secara konsisten dalam putusan
putusannya menyatakan bahwa perjanjian yang salah satu pihaknya Lembaga swasta
Indonesia namun perjanjiannya hanya dibuat dalam Bahasa Asing dan tidak disertai dalam
Bahasa Indonesia, maka perjanjian demikian itu batal demi hukum. Putusan tersebut
bernilai sebagai “landmark decision” karena merupakan putusan yang pertama kali
dijatuhkan terkait dengan batalnya perjanjian yang dinilai melanggar UU Bahasa.
4. SEMA No. 3 Tahun 2023 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar
Mahkamah Agung Tahun 2023, Sub 1 Perdata Umum, menurut pendapat saya,
substansinya bertentangan dengan Pasal 1320 BW syarat ke 4jo. Pasal 1337 BW jo. Pasal
31 ayat (1) UU No.2 Tahun 2009 jo. Pasal 4 ayat (1) & (2) Perpres No. 63 Tahun 2009.
Adapun frasa dalam SEMA tersebut : “……………….kecuali dapat dibuktikan bahwa
ketiadaan terjemahan Bahasa Indonesia karena adanya iktikad tidak baik oleh salah satu
pihak”, sangat berlebihan dan samasekali tidak mendasar, oleh karena norma Pasal 1320
BW unsur ke-4 jo. Pasal 1337 BW jo. Pasal 31 ayat (1) UU No.2 Tahun 2009 jo. Pasal 4
ayat (1) & (2) Perpres No. 63 Tahun 2009 samasekali tidak mensyaratkan ada-tidaknya
iktikad tidak baik dari salah satu pihak dalam pembuatan perjanjian hanya dalam Bahasa
Asing. Frasa “wajib” mengandung makna sebagai keharusan yang tidak dapat disimpangi,
apalagi kemudian “diplintir” dengan persoalan “itikad baik”.

5. Menurut pendapat saya, MA melalui SEMA tersebut telah menambahkan hal hal baru
(yang tidak diperlukan) terhadap norma yang rumusanya sudah sangat jelas, tegas dan
imperative tersebut. Bukankah telah dikenal dan berlaku prinsip universal “Presumptio
Iures et de Iure”, bahwa setiap orang “dianggap tahu” adanya hukum i.c. UU. Sehingga
dalam setiap pembuatan suatu perjanjian yang pihak pihaknya tunduk pada system
hukum yang berlainan, maka masing masing pihak dianggap tahu, dan memang harus
tahu, bagaimana pengaturan hukum negara dari mitra berkontraknya. (BRW,
29/12/2023).

Anda mungkin juga menyukai