I. PENDAHULUAN
Kontrak dapat berupa kontrak nasional dan kontrak internasional. Kontrak
nasional tidak lain adalah kontrak yang dibuat oleh dua individu (subjek hukum)
dalam suatu wilayah negara yang tidak ada unsur asing nya. Sedangkan kontrak
internasional adalah suatu kontrak yang didalamnya ada atau terdapat unsur asing
(foreign element).1
Hal lain yang khas dari kontrak jika dikaitkan dengan masuknya unsur-
unsur asing didalamnya (kontrak transnasional) adalah munculnya elemen pokok
lain yang tidak kalah pentingnya, yaitu unsur kebebasan para pihak untuk
melakukan pilihan hukum (freedom to choose the applicable law).2
Secara singkat yang diartikan dengan istilah pilihan hukum adalah
kebebasan yang diberikan kepada para pihak untuk dalam bidang perjanjian
1
Sudargo Gautama. (1976). Kontrak Dagang Internasional. Bandung: Alumni, h. 7.
(selanjutnya disebut Sudargo Gautama I)
2
Bayu Seto Hardjowahono. (2013). Dasar-Dasar Hukum Perdata Internasional, Buku
Kesatu. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, h. 270.
2
3
Gouwgioksiong. (1965). Hukum Perdata Internasional Indonesia. Jakarta: PT Kinta, h.
3-4.
3
4
Huala Adolf. (2005). Hukum Perdagangan Internasional. Jakarta: Raja Grafindo
Persada, h. 214. (selanjutnya disebut Huala Adolf I)
5
Ibid.
6
Huala Adolf. (2007). Dasar-dasar Hukum Kontrak Internasional, Edisi Revisi.
Bandung: PT refika Aditama, h. 160. (selanjutnya disebut Huala Adolf II)
4
Hal ini menunjukan bahwa tidak ada unifikasi yang diterima umum
mengenai pengertian pilihan hukum. Kemungkinan perbedaan pengertian antara
satu sistem hukum dengan sistem hukum lainnya dapat terjadi.7
Putusan Mahkamah Agung Nomor 1935 K/Pdt/2012 yang menimbang
oleh karena para pihak telah sepakat menggunakan hukum Inggris, maka
Penggugat harus mengajukan gugatan di Pengadilan Inggris, menimbulkan
masalah lain yakni putusan hakim asing tidak dapat dilaksanakan di wilayah
Indonesia.
Ketentuan tersebut diatas erat kaitannya dengan prinsip kedaulatan
teritorial (principle of territorial sovereignty) di mana berdasarkan asas ini
putusan hakim asing tidak bisa secara langsung dilaksanakan di wilayah negara
lain atas kekuatannya sendiri.8
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan tersebut, maka yang
menjadi pokok permasalahannya adalah :
1. Bagaimana implikasi klausula pilihan hukum (choice of law) dan klausula
pilihan forum (choice of forum) terhadap penyelesaian sengketa kontrak bisnis
Internasional ?
2. Bagaimana kewenangan pengadilan di Indonesia mengadili sengketa kontrak
bisnis internasional yang tidak menetapkan secara tegas klausula pilihan
forum ?
3. Bagaimana penerapan hukum oleh majelis hakim terkait kewenangan
mengadili sengketa binis internasional dalam putusan Mahkamah Agung
Republik Indonesia Nomor 1935 K/Pdt/2012 ?
Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui implikasi klausula pilihan hukum (choice of law) dan
klausula pilihan forum (choice of forum) terhadap penyelesaian sengketa
kontrak bisnis Internasional;
2. Untuk mengetahui kewenangan pengadilan di Indonesia mengadili sengketa
kontrak bisnis internasional yang tidak menetapkan secara tegas klausula
pilihan forum;
7
Ibid.
8
Sudargo Gautama. (2007). Hukum Perdata Internasional Indonesia, Jilid III, Bagian 2,
Buku ke-8. Bandung: Alumni, h. 2. (selanjutnya disebut Sudargo Gautama II)
5
9
Ibrahim Johni. (2005). Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif. Malang: Bayu
Media Publishing, h. 336.
10
Muslan Abdurrahman. (2009). Sosiologi dan Metode Penelitian Hukum. Malang:
UMM Press, h. 91.
6
11
Ida Bagus Wyasa Putra. (2000). Aspek-aspek Hukum Perdata Internasional dalam
Transaksi Bisnis Internasional. Bandung: Refika Aditama, h. 91.
12
Muhammad Syaifuddin. (2012). Hukum Kontrak, Memahami Kontrak dalam Perspektif
Filsafat, Teori, Dogmatik dan Praktik Hukum (Seri Pengayaan Hukum Perikatan). Bandung:
Mandar maju, h. 392.
13
Ida Bagus Wyasa Putra. loc.cit.
14
Anita D.A. Kolopaking. (2013). Asas Iktikad Baik Dalam Penyelesaian Sengketa
Kontrak Melalui Arbitrase. Bandung: Alumni, h. 39.
15
Huala Adolf II. op.cit., h. 198.
16
Rachmadi Usman. (2003). Pilihan Penyelesaian Sengketa Di luar Pengadilan.
Bandung: Citra Aditya Bakti, h. 3.
7
17
Ridwan Khairandy. (2007). Pengantar Hukum Perdata Internasional. Yogyakarta: FH
UII PRESS, h. 127.
18
Sudargo Gautama. (1998). Hukum Perdata Internasional Indonesia, Jilid II, Bagian 4,
Buku 5. Bandung: Alumni, h. 233. (selanjutnya disebut Sudargo Gautama III)
19
Sudargo Gautama. (1987). Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia.
Bandung: Binacipta, h. 34. (selanjutnya disebut Sudargo Gautama IV)
20
Huala Adolf II. op.cit., h. 179.
21
Sudargo Gautama III. op.cit., h. 35.
22
Ridwan Khairandy. op.cit., h. 214.
8
pemakaian hukum asing pada umumnya terdiri dari pendirian yang melihat
hukum asing sebagai fakta dan pendirian yang melihat hukum asing sebagai
hukum.23
3. Implikasi Klausula Pilihan Forum (Choice Of Forum) Terhadap
Penyelesaian Sengketa Kontrak Bisnis Internasional
Kewenangan atau kebebasan para pihak untuk menentukan forum
pengadilan yang akan memeriksa dan mengadili sengketa yang lahir dari
pelaksanaan kontrak telah diakui oleh banyak sistem hukum di dunia. Pengakuan
yang sama juga diberikan oleh putusan pengadilan dan bahkan oleh hukum
internasional.24 Akan tetapi, tak diperkenankan untuk menjadikan suatu peradilan
menjadi berwenang bilamana menurut kaidah-kaidah hukum intern negara-negara
bersangkutan hakim itu tidak berwenang adanya.25
Kesepakatan para pihak inilah yang memberikan dan melahirkan
kewenangan atau yurisdiksi kepada forum yang dipilih dan yang akan
menyelesaikan sengketa hukum kontrak di antara para pihak. 26 Klausula ini
mengarahkan para pihak, forum yang harus mereka gunakan untuk menyelesaikan
sengketa hukum kontraknya. Selain itu, bagi forum penyelesaian sengketa hukum
kontraknya sendiri akan diberikan kepastian tentang forum apa dan forum yang
mana yang berwenang menyelesaikan sengketa hukum kontraknya. Jadi, klausula
pilihan forum dapat mencegah terjadinya konflik kewenangan di antara forum
penyelesaian sengketa hukum kontrak.27
Masalah pelaksanaan putusan penyelesaian sengketa (khususnya yang
dibuat di luar negeri) hingga kini masih menjadi suatu masalah yang tidak mudah.
Hal ini disebabkan karena pihak yang kalah di dalam suatu sengketa tidak jarang
merasa keberatan melaksanakan putusan tersebut. Bersamaan dengan itu,
pengadilan di dalam negeri tersebut yang diharapkan dapat membantu proses
pelaksanaan putusan ternyata kurang memberikan respons yang konstruktif.28 Inti
23
Sudargo Gautama. (1998). Hukum Perdata Internasional Indonesia, Jilid II, Bagian 5,
Buku 6. (Bandung: Alumni, h. 177. (selanjutnya disebut Sudargo Gautama V)
24
Huala Adolf II. op.cit., h. 188-189.
25
Sudargo Gautama II, op.cit., h. 233.
26
Muhammad Syaifuddin. op.cit., h. 377.
27
Ibid.
28
Huala Adlof I. op.cit., h. 219.
9
29
Hans Van Houtte. (1995). The Law of International Trade. London: Sweet and Maxwell,
h. 369.
30
Huala Adlof I. op.cit., h. 220.
31
Ibid., h. 223.
32
Muhammad Syaifuddin. op.cit., h. 392.
33
Ibid., h. 395.
10
34
M. Yahya Harahap. (2016). Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan,
Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan. Jakarta: Sinar Grafika, h. 191-192. (selanjutnya
disebut M. Yahya Harahap I)
35
Randang S. Ivan. (2016). "Tinjauan Yuridis Tentang Peranan Identitas Domisili Dalam
Menentukan Kompetensi Relatif Pengadilan, Lex Privatum", Vol. IV/No. 1. Manado: UNSRAT, h.
29.
36
Bayu Seto Hardjowahono. op.cit., h. 186.
37
Ibid.
11
38
Ibid., h. 202.
39
Ibid., h. 15.
40
M. Yahya Harahap I, op.cit., h. 135.
12
41
Ibid., h. 205.
42
Ibid., h. 717.
13
43
Sudargo Gautama II. op.cit., h. 279.
44
Munir fuady. (2000). Arbitrase Nasional, Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis.
Bandung: Aditya Bakti, h. 190.
14
45
Akhmad Ichsan. (1992). Kompendium tentang Arbitrase Perdagangan Internasional
(Luar Negeri). Jakarta: PT Pradnya Paramita, h. 36.
17
46
Huala Adolf II. op.cit., h. 190.
47
John Dunt. (2012). International Cargo Insurance. Routledge: Informa, Chapter 2, Part
2.18.
48
Bayu Seto Hardjowahono. op.cit., h. 186.
49
M. Yahya Harahap I. op.cit., h. 203.
18
50
Sudargo Gautama I, op.cit., h. 117.
51
M. Yahya Harahap I, op.cit., h. 718.
52
Ibid., h. 229.
53
Ibid., h. 235.
19