Anda di halaman 1dari 21

1

Tinjauan Yuridis Hubungan Penerapan Choice of Law


Dengan Kewenangan Mengadili oleh Pengadilan (Analisis
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor
1935 K/Pdt/2012)
Charlene Fortuna Tania
Email: Charlenefortuna@gmail.com
Abstract: Almost all business activities are initiated by a contract. It can be either a
national or an international contract. An international contract is a contract which
contains foreign elements. The characteristic of an international contract is the main
element i.e. freedom element for all parties to take choice of law. Choice of law in the
national law of a country does not mean that the judiciary of that country is
automatically authorized to settle any dispute. It means that choice of law is not like
choice of forum. This thesis discusses the problem of choice of law, choice of forum and
the authority of Indonesian judiciary to hear the dispute of an international business
contract; and analyzes the law implementation of the Panel of Judges related to the
authority to hear the international business contract in the ruling of the Supreme Court
No. 1935 K/Pdt/2012.

Keywords: Authority to Hear; Choice of Law; Choice of Forum.

I. PENDAHULUAN
Kontrak dapat berupa kontrak nasional dan kontrak internasional. Kontrak
nasional tidak lain adalah kontrak yang dibuat oleh dua individu (subjek hukum)
dalam suatu wilayah negara yang tidak ada unsur asing nya. Sedangkan kontrak
internasional adalah suatu kontrak yang didalamnya ada atau terdapat unsur asing
(foreign element).1
Hal lain yang khas dari kontrak jika dikaitkan dengan masuknya unsur-
unsur asing didalamnya (kontrak transnasional) adalah munculnya elemen pokok
lain yang tidak kalah pentingnya, yaitu unsur kebebasan para pihak untuk
melakukan pilihan hukum (freedom to choose the applicable law).2
Secara singkat yang diartikan dengan istilah pilihan hukum adalah
kebebasan yang diberikan kepada para pihak untuk dalam bidang perjanjian

1
Sudargo Gautama. (1976). Kontrak Dagang Internasional. Bandung: Alumni, h. 7.
(selanjutnya disebut Sudargo Gautama I)
2
Bayu Seto Hardjowahono. (2013). Dasar-Dasar Hukum Perdata Internasional, Buku
Kesatu. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, h. 270.
2

memilih sendiri hukum yang hendak dipergunakan, dikenal dengan istilah


otonomi-para-pihak.3
Putusan Mahkamah Agung Nomor 1935K/Pdt/2012 memeriksa perkara
perdata dalam tingkat kasasi di mana PT. Pelayaran Manalagi, Termohon Kasasi
dahulu Penggugat/Terbanding, berkedudukan di Surabaya, telah menyepakati dan
terikat atas Perjanjian Asuransi Marine Hull and Machinery Policy Nomor
03.08.05.10.827.00025 dengan PT. Asuransi Harta Aman Pratama, Tbk.,
Pemohon Kasasi dahulu Tergugat/Pembanding, berkedudukan di Jakarta, dengan
objek pertanggungan kapal kargo: KM. Bayu Prima.
KM. Bayu Prima membawa muatan (cargo) dari Pelabuhan Tanjung Perak
Surabaya menuju Pelabuhan Batu Ampar Batam mengalami kebakaran yang
selanjutnya untuk alasan keselamatan dan keamanan Syahbandar memerintahkan
crew untuk meninggalkan kapal dan memerintahkan agar KM. Bayu Prima
dikandaskan (beached). Akibat dikandaskannya KM, Bayu Prima, Tertanggung
mengalami kerugian total (total loss), sehingga Tertanggung klaim total loss
kepada Penanggung.
Penanggung menyatakan menolak klaim yang diajukan oleh Tertanggung.
Oleh karena itu Tertanggung mengajukan gugatan di Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat. Menanggapi gugatan tersebut, PT. Asuransi Harta Aman Pratama, Tbk.,
selaku Tergugat mengajukan eksepsi yang pada pokoknya yakni Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat secara absolut tidak berwenang memeriksa dan mengadili
perkara a quo, melainkan yang berwenang adalah Pengadilan Inggris. Sebab
Penggugat dan Tergugat secara tegas telah sepakat menetapkan perjanjian
asuransi tersebut didasarkan pada hukum Inggris dan praktek yang berlaku di
Inggris.
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menolak eksepsi Tergugat dan
mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian dengan menyatakan perjanjian
Asuransi ini sah dan mempunyai kekuatan hukum, menyatakan Tergugat telah
ingkar janji serta menghukum Tergugat untuk membayar klaim asuransi. Putusan
ini diperkuat oleh putusan Pengadilan Tinggi Jakarta, di mana majelis hakim

3
Gouwgioksiong. (1965). Hukum Perdata Internasional Indonesia. Jakarta: PT Kinta, h.
3-4.
3

berpendapat bahwa Tergugat tidak dapat membedakan mana yang merupakan


pilihan hukum dengan pilihan yurisdiksi karena ini merupakan dua hal yang
berbeda. Meskipun dalam polis disepakati ketentuan hukum inggris yang
mengaturnya, akan tetapi tidak diatur yurisdiksi pengadilan mana yang berwenang
mengadili maka fakta bahwa para pihak adalah orang Indonesia, perjanjian dibuat
dan dilaksanakan di Indonesia, kapal pertanggungan berbendera Indonesia dan
kebakaran terjadi di Indonesia memberikan alasan yang kuat untuk menyatakan
bahwa Pengadilan Indonesia, dalam hal ini, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
berwenang mengadili perkara ini.
Pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasi
dan membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Pusat yang menguatkan
putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, berdasarkan Pasal 1338 KUHPerdata
yakni perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi
yang membuatnya (Pacta Sun Servanda). Oleh karena para pihak telah sepakat
menggunakan hukum Inggris, maka Penggugat harus mengajukan gugatan di
Pengadilan Inggris.
Pilihan hukum yang berlaku ini seharusnya menjadi penentu kepastian
hukum terutama bagi badan peradilan bahwa ia telah menerapkan hukumnya
dengan benar. 4
Pilihan hukum (choice of law, proper law atau applicable law) suatu
hukum nasional dari suatu negara tertentu tidak berarti bahwa badan peradilan
negara tersebut secara otomatis yang berwenang menyelesaikan sengketanya.
Yang terkahir ini disebut juga choice of forum. Artinya, choice of law tidak sama
dengan choice of forum.5 Namun perlu diingat bahwa tidak semua sistem hukum
negara berpandangan demikian. Artinya ada negara-negara tertentu yang
pengadilannya berpendapat bahwa choice of law otomatis berarti pula choice of
forum. Pandangan seperti ini misalnya dianut oleh pengadilan Inggris.6

4
Huala Adolf. (2005). Hukum Perdagangan Internasional. Jakarta: Raja Grafindo
Persada, h. 214. (selanjutnya disebut Huala Adolf I)
5
Ibid.
6
Huala Adolf. (2007). Dasar-dasar Hukum Kontrak Internasional, Edisi Revisi.
Bandung: PT refika Aditama, h. 160. (selanjutnya disebut Huala Adolf II)
4

Hal ini menunjukan bahwa tidak ada unifikasi yang diterima umum
mengenai pengertian pilihan hukum. Kemungkinan perbedaan pengertian antara
satu sistem hukum dengan sistem hukum lainnya dapat terjadi.7
Putusan Mahkamah Agung Nomor 1935 K/Pdt/2012 yang menimbang
oleh karena para pihak telah sepakat menggunakan hukum Inggris, maka
Penggugat harus mengajukan gugatan di Pengadilan Inggris, menimbulkan
masalah lain yakni putusan hakim asing tidak dapat dilaksanakan di wilayah
Indonesia.
Ketentuan tersebut diatas erat kaitannya dengan prinsip kedaulatan
teritorial (principle of territorial sovereignty) di mana berdasarkan asas ini
putusan hakim asing tidak bisa secara langsung dilaksanakan di wilayah negara
lain atas kekuatannya sendiri.8
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan tersebut, maka yang
menjadi pokok permasalahannya adalah :
1. Bagaimana implikasi klausula pilihan hukum (choice of law) dan klausula
pilihan forum (choice of forum) terhadap penyelesaian sengketa kontrak bisnis
Internasional ?
2. Bagaimana kewenangan pengadilan di Indonesia mengadili sengketa kontrak
bisnis internasional yang tidak menetapkan secara tegas klausula pilihan
forum ?
3. Bagaimana penerapan hukum oleh majelis hakim terkait kewenangan
mengadili sengketa binis internasional dalam putusan Mahkamah Agung
Republik Indonesia Nomor 1935 K/Pdt/2012 ?
Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui implikasi klausula pilihan hukum (choice of law) dan
klausula pilihan forum (choice of forum) terhadap penyelesaian sengketa
kontrak bisnis Internasional;
2. Untuk mengetahui kewenangan pengadilan di Indonesia mengadili sengketa
kontrak bisnis internasional yang tidak menetapkan secara tegas klausula
pilihan forum;

7
Ibid.
8
Sudargo Gautama. (2007). Hukum Perdata Internasional Indonesia, Jilid III, Bagian 2,
Buku ke-8. Bandung: Alumni, h. 2. (selanjutnya disebut Sudargo Gautama II)
5

3. Untuk menganalisis penerapan hukum oleh majelis hakim terkait kewenangan


mengadili sengketa binis internasional dalam putusan Mahkamah Agung
Republik Indonesia Nomor 1935 K/Pdt/2012
II. METODE PENELITIAN
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
hukum normatif dengan cara meneliti bahan kepustakaan atau bahan data
sekunder yang meliputi buku-buku serta norma-norma hukum yang terdapat
dalam peraturan perundang-undangan, asas-asas hukum, kaedah hukum dan
sistematika hukum serta mengkaji ketentuan perundang-undangan, putusan
pengadilan dan bahan hukum lainnya yang relevan dengan perumusan penelitian.9
Bersifat deskriptif analitis maksudnya adalah untuk menggambarkan, menjelaskan,
dan menganalisis permasalahan dari setiap temuan data baik primer maupun
sekunder, langsung diolah dan dianalisis untuk memperjelas data secara kategoris,
penyusunan secara sistematis, dan dikaji secara logis.10
Data dalam penelitian ini diperoleh melalui data sekunder yaitu data yang
dikumpulkan melalui studi terhadap bahan kepustakaan. Data sekunder dalam
penelitian ini mencakup :
a. Bahan Hukum Primer, yakni Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Putusan
Mahkamah Agung Nomor 1935 K/Pdt/2012, Undang-Undang Nomor 30
Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS),
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman;
b. Bahan Hukum Sekunder, yakni buku-buku, dokumen resmi, rancangan
undang-undang, tulisan-tulisan ilmiah hukum yang terkait dengan objek
penelitian;
c. Bahan Hukum Tersier, yakni bahan yang isinya memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer maupun sekunder, seperti kamus.
III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

9
Ibrahim Johni. (2005). Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif. Malang: Bayu
Media Publishing, h. 336.
10
Muslan Abdurrahman. (2009). Sosiologi dan Metode Penelitian Hukum. Malang:
UMM Press, h. 91.
6

A. Implikasi Klausula Pilihan Hukum (Choice Of Law) Dan Klausula Pilihan


Forum (Choice Of Forum) Terhadap Penyelesaian Sengketa Kontrak
Bisnis Internasional
1. Penyelesaian Sengketa Kontrak Bisnis Internasional
Sengketa bisnis internasional adalah sengketa bisnis yang timbul dari
hubungan bisnis internasional berdasarkan kontrak. 11
Sengketa hukum kontrak dapat timbul karena terjadinya tuntutan
pembatalan kontrak, pemutusan kontrak secara sepihak, wanprestasi dan
12
perbuatan melawan hukum. Sengketa bisnis internasional selain dapat
menyangkut substansi kontrak juga dapat mengenai hukum yang berlaku
terhadap kontrak tersebut.13
Penyelesaian sengketa yang timbul dari kontrak dapat melalui pengadilan
(by court) dan diluar pengadilan (out of court). Penyelesaian sengketa kontrak
melalui pengadilan dikenal dengan proses adjudikasi/litigasi. 14 Forum pengadilan
adalah forum 'klasik' yang dipilih para pihak. Forum klasik karena forum ini telah
umum dan cukup banyak dipilih para pihak. Pengadilan merupakan refleksi dari
yurisdiksi yudikatif suatu negara berdaulat. Segala peristiwa hukum, termasuk
sengketa kontrak yang terjadi di dalam wilayah suatu negara, pada prinsipnya
15
berada di bawah jurisdiksi negara itu. Kemudian berkembang proses
penyelesaian sengketa melalui kerja sama (kooperatif) di luar pengadilan. 16
Penyelesaian sengketa di luar pengadilan ini umumnya dikenal dengan Alternative
Dispute Resolution (ADR), diatur dalam UU No. 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) (selanjutnya disingkat UU
No. 30 Tahun 1999), yang meliputi kosultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi,
penilaian ahli, dan arbitrase.

11
Ida Bagus Wyasa Putra. (2000). Aspek-aspek Hukum Perdata Internasional dalam
Transaksi Bisnis Internasional. Bandung: Refika Aditama, h. 91.
12
Muhammad Syaifuddin. (2012). Hukum Kontrak, Memahami Kontrak dalam Perspektif
Filsafat, Teori, Dogmatik dan Praktik Hukum (Seri Pengayaan Hukum Perikatan). Bandung:
Mandar maju, h. 392.
13
Ida Bagus Wyasa Putra. loc.cit.
14
Anita D.A. Kolopaking. (2013). Asas Iktikad Baik Dalam Penyelesaian Sengketa
Kontrak Melalui Arbitrase. Bandung: Alumni, h. 39.
15
Huala Adolf II. op.cit., h. 198.
16
Rachmadi Usman. (2003). Pilihan Penyelesaian Sengketa Di luar Pengadilan.
Bandung: Citra Aditya Bakti, h. 3.
7

2. Implikasi Klausula Pilihan Hukum (Choice Of Law) Terhadap


Penyelesaian Sengketa Kontrak Bisnis Internasional
Sesuai dengan asas kebebasan berkontrak, maka para pihak dalam suatu
perjanjian atau kontrak bebas menentukan isi dan bentuk suatu perjanjian,
termasuk untuk menentukan pilihan hukum.17
Pada umumnya pilihan hukum diterima dalam sistem-sistem hukum
perdata internasional negara-negara terbanyak di dunia. Tidak ada keraguan lagi
terhadap penerimaan prinsip kebebasan para pihak untuk memilih sendiri hukum
yang mereka kehendaki. Yang masih dipersoalkan hanya mengenai batas-batas
daripada kebebasan tersebut, sampai sejauh manakah para pihak benar-benar
bebas untuk melakukan pilihan hukum.18
Pembatasan yang pada umumnya diakui dan dikembangkan untuk
menetapkan validitas suatu pilihan hukum, antara lain tidak melanggar ketertiban
umum, hanya di bidang hukum kontrak, harus ada kaitan dengan kontrak yang
bersangkutan, dan tidak untuk menyelundupkan hukum.
Hukum mana yang berlaku untuk suatu perjanjian ditentukan pertama-
tama oleh maksud para pihak, apa yang dikehendaki para pihak, apa yang diingini
para pihak. Ini adalah yang terkenal di dalam bidang Hukum Perdata Internasional
sebagai partijautonomie.19 Sikap pengadilan pada umumnya menghormati pilihan
hukum yang telah disepakati oleh para pihak (the party autonomy doctrine).
Namun prinsip ini hanya akan berlaku apabila hukum yang dipilih tersebut
memiliki hubungan atau kaitan dengan para pihak atau kontrak.20
Pilihan dari para pihak akan hukum yang berlaku dihormati oleh pembuat
Undang-Undang, dihormati oleh yurisprudensi.21 Dalam hal pilihan hukum para
pihak menunjuk pada hukum asing maka hakim harus dapat menggunakan hukum
perdata yang berlaku di negara asing yang bersangkutan. 22 Dasar teoritis dari

17
Ridwan Khairandy. (2007). Pengantar Hukum Perdata Internasional. Yogyakarta: FH
UII PRESS, h. 127.
18
Sudargo Gautama. (1998). Hukum Perdata Internasional Indonesia, Jilid II, Bagian 4,
Buku 5. Bandung: Alumni, h. 233. (selanjutnya disebut Sudargo Gautama III)
19
Sudargo Gautama. (1987). Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia.
Bandung: Binacipta, h. 34. (selanjutnya disebut Sudargo Gautama IV)
20
Huala Adolf II. op.cit., h. 179.
21
Sudargo Gautama III. op.cit., h. 35.
22
Ridwan Khairandy. op.cit., h. 214.
8

pemakaian hukum asing pada umumnya terdiri dari pendirian yang melihat
hukum asing sebagai fakta dan pendirian yang melihat hukum asing sebagai
hukum.23
3. Implikasi Klausula Pilihan Forum (Choice Of Forum) Terhadap
Penyelesaian Sengketa Kontrak Bisnis Internasional
Kewenangan atau kebebasan para pihak untuk menentukan forum
pengadilan yang akan memeriksa dan mengadili sengketa yang lahir dari
pelaksanaan kontrak telah diakui oleh banyak sistem hukum di dunia. Pengakuan
yang sama juga diberikan oleh putusan pengadilan dan bahkan oleh hukum
internasional.24 Akan tetapi, tak diperkenankan untuk menjadikan suatu peradilan
menjadi berwenang bilamana menurut kaidah-kaidah hukum intern negara-negara
bersangkutan hakim itu tidak berwenang adanya.25
Kesepakatan para pihak inilah yang memberikan dan melahirkan
kewenangan atau yurisdiksi kepada forum yang dipilih dan yang akan
menyelesaikan sengketa hukum kontrak di antara para pihak. 26 Klausula ini
mengarahkan para pihak, forum yang harus mereka gunakan untuk menyelesaikan
sengketa hukum kontraknya. Selain itu, bagi forum penyelesaian sengketa hukum
kontraknya sendiri akan diberikan kepastian tentang forum apa dan forum yang
mana yang berwenang menyelesaikan sengketa hukum kontraknya. Jadi, klausula
pilihan forum dapat mencegah terjadinya konflik kewenangan di antara forum
penyelesaian sengketa hukum kontrak.27
Masalah pelaksanaan putusan penyelesaian sengketa (khususnya yang
dibuat di luar negeri) hingga kini masih menjadi suatu masalah yang tidak mudah.
Hal ini disebabkan karena pihak yang kalah di dalam suatu sengketa tidak jarang
merasa keberatan melaksanakan putusan tersebut. Bersamaan dengan itu,
pengadilan di dalam negeri tersebut yang diharapkan dapat membantu proses
pelaksanaan putusan ternyata kurang memberikan respons yang konstruktif.28 Inti

23
Sudargo Gautama. (1998). Hukum Perdata Internasional Indonesia, Jilid II, Bagian 5,
Buku 6. (Bandung: Alumni, h. 177. (selanjutnya disebut Sudargo Gautama V)
24
Huala Adolf II. op.cit., h. 188-189.
25
Sudargo Gautama II, op.cit., h. 233.
26
Muhammad Syaifuddin. op.cit., h. 377.
27
Ibid.
28
Huala Adlof I. op.cit., h. 219.
9

masalahnya adalah dilaksanakan suatu putusan mencerminkan efektivitas suatu


putusan.29
Pelaksanaan putusan melalui APS lebih banyak bergantung kepada iktikad
baik para pihaknya. Hal ini semata-mata karena sifat putusannya yang sejak awal
dilandasi oleh asas konsensuil.30 Putusan arbitrase sudah dapat dilaksanakan sejak
Indonesia meratifikasi Konvensi New York 1958 tentang Pengakuan dan
Pelaksanaan Putusan Arbitrase.
Pengadilan merupakan refleksi kedaulatan negara dalam mengadili sesuatu
sengketa. Oleh karena itu, putusan pengadilan tidak secara otomatis dapat
dilaksanakan di wilayah kedaulatan negara lain. 31
B. Kewenangan Pengadilan Di Indonesia Terhadap Sengketa Kontrak
Bisnis Internasional Yang Tidak Menetapkan Pilihan Forum
1. Wewenang Mengadili (Kompetensi) Pengadilan Negeri Indonesia
Terhadap Sengketa Kontrak
Pengadilan yang berwenang menyelesaikan sengketa hukum kontrak,
menurut Pasal 25 UU No. 48 Tahun 2009, adalah pengadilan negeri sebagai
peradilan umum, yang merupakan badan peradilan yang berada di bawah
Mahkamah Agung. 32
Putusan pengadilan dalam rangka penyelesaian sengketa hukum kontrak,
dilakukan oleh panitera dan juru sita dipimpin oleh ketua pengadilan dengan
memperhatikan nilai kemanusiaan dan keadilan berdasarkan Pasal 54 ayat (2) dan
ayat (3) UU No. 48 Tahun 2009. Yang dimaksud dengan "dipimpin" dalam
ketentuan ini mencakup pengawasan dan tanggung jawab sejak diterimanya
permohonan sampai dengan selesainya pelaksanaan putusan.33
Perkara yang disengketakan meskipun termasuk dalam yurisdiksi absolut
lingkungan peradilan umum, namun kewenangan absolut itu dibatasi oleh
kewenangan relatif Pengadilan Negeri. Jika perkara yang terjadi di luar daerah
hukumnya, secara relatif Pengadilan Negeri tersebut tidak berwenang

29
Hans Van Houtte. (1995). The Law of International Trade. London: Sweet and Maxwell,
h. 369.
30
Huala Adlof I. op.cit., h. 220.
31
Ibid., h. 223.
32
Muhammad Syaifuddin. op.cit., h. 392.
33
Ibid., h. 395.
10

mengadilinya. Apabila terjadi pelampauan batas daerah hukum, berarti Pengadilan


Negeri yang bersangkutan melakukan tindakan melampaui batas kewenangan
(exceeding its power). Tindakan itu berakibat, pemeriksaan dan putusan yang
dijatuhkan dalam perkara itu, tidak sah. Oleh karena itu, harus dibatalkan atas
alasan pemeriksaan dan putusan yang dijatuhkan, dilakukan oleh Pengadilan
Negeri yang tidak berwenang untuk itu.34 Landasan penentuan kompetensi relatif
suatu peradilan merujuk kepada asas-asas yang ditentukan pasal 118 HIR jo 142
RBg Jo 99 Rv.35
2. Kewenangan Mengadili (Kompetensi) Pengadilan di Indonesia Terhadap
Sengketa Kontrak Bisnis Internasional
Penentuan dasar yurisdiksi suatu pengadilan, dalam praktik litigasi
internasional, umumnya dibedakan ke dalam yurisdiksi in personam, in rem, dan
quasi in rem. Menetapkan kewenangan mengadili pengadilan di Indonesia
terhadap sengketa kontrak bisnis internasional harus memperhatikan masalah
prinsip-prinsip yang berkaitan dengan kewenangan mengadili.
Perkembangan modern yang diterapkan pengadilan suatu negara untuk
melaksanakan yurisdiksi atas perkara hukum perdata internasional tidak lagi
didasarkan pada prinsip kedaulatan teritorial atas orang dan benda yang berada di
dalam wilayah negara forum. Prinsip yang semakin banyak digunakan secara
internasional adalah pertimbangan adanya pertautan minimum dan prinsip
kewajaran yang mendasar (minimum contacts and fundamental fairness). 36
Artinya, pengadilan hanya dapat melaksanakan yurisdiksi jika terdapat
pertautan minimum antara tergugat dan negara forum sedemikian rupa sehingga
pihak tergugat akan menerima perlakuan yang wajar dan adil serta yang dewasa
ini membentuk kriteria penentuan ada/tidaknya minimum contacts antara forum
dan perkara sehingga forum dapat mengklaim general jurisdiction atau specific
jurisdiction.37

34
M. Yahya Harahap. (2016). Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan,
Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan. Jakarta: Sinar Grafika, h. 191-192. (selanjutnya
disebut M. Yahya Harahap I)
35
Randang S. Ivan. (2016). "Tinjauan Yuridis Tentang Peranan Identitas Domisili Dalam
Menentukan Kompetensi Relatif Pengadilan, Lex Privatum", Vol. IV/No. 1. Manado: UNSRAT, h.
29.
36
Bayu Seto Hardjowahono. op.cit., h. 186.
37
Ibid.
11

Perkembangan mutakhir menggambarkan upaya harmonisasi internasional,


tampak dari penetapan Principles of Transnational Civil Procedure (2004)
(PTCP). Sekumpulan asas dan aturan-aturan hukum acara perdata transnasional
ini merupakan hasil kolaborasi antara UNIDROIT dan The American Law
Institute, dan jelas merupakan upaya untuk mengharmonisasikan asas dan aturan
hukum acara perdata dalam penyelesaian perkara-perkara perdagangan
transnasional (transnational commercial disputes), meminimalisasi perbedaan-
perbedaan yang selama ini ada antara prinsip-prinsip dan aturan-aturan hukum
acara dalam tradisi Anglo-Amerika (common law) dan tradisi Eropa Kontinental
(civil law).38
3. Kewenangan Pengadilan di Indonesia Dalam Kontrak Bisnis
Internasional yang Tidak Mencantumkan Pilihan Forum
Akibat dari adanya unsur-unsur atau fakta-fakta asing dalam kontrak
bisnis internasional, hakim harus menetapkan terlebih dahulu apakah forum
memiliki kewenangan yurisdiksional (jurisdictional competence) untuk
memeriksa dan memutus sengketa yang dihadapkan kepadanya.
Hakim harus berpegang pada kaidah-kaidah dan asas-asas hukum acara
perdata internasional yang berlaku dan merupakan bagian dari sistem hukum
perdata internasional lex fori, yang berdasarkan mana pengadilan sebuah negara
menetapkan ada tidaknya kompetensi sebuah forum untuk mengklaim yurisdiksi
atas perkara yang bersangkutan.39
Bertitik tolak dari Pasal 100 Rv, jangkauan kewenangan pengadilan
Indonesia, tidak terbatas hanya terhadap warga negara Indonesia saja tetapi
meliputi orang asing atau warga negara asing yang jadi penduduk Indonesia
bahkan yang tidak berdiam di Indonesia (bukan penduduk Indonesia). Mereka
dapat ditarik sebagai pihak tergugat di depan pengadilan atau hakim Indonesia
dengan syarat, sengketa yang timbul bersumber dari perjanjian atau perikatan
yang dilakukan atau dibuat di Indonesia, maupun perjanjian yang dibuat di mana
saja dengan warga negara Indonesia.40 Termasuk kontrak binis internasional yang
tidak mencantumkan pilihan forum namun dilakukan di Indonesia atau di mana

38
Ibid., h. 202.
39
Ibid., h. 15.
40
M. Yahya Harahap I, op.cit., h. 135.
12

saja dengan warga negara Indonesia, dapat digugat dihadapan pengadilan


Indonesia.
Umumnya yurisdiksi suatu negara diakui meliputi secara teritorial atas
semua orang dan benda yang berada dalam batas-batas wilayah negaranya. Dalam
hal fakta-fakta hukum dalam kontrak binis internasional yang tidak
mencantumkan pilihan forum menunjukan faktor-faktor koneksitas yang lebih
kuat terhadap Indonesia maka pengadilan Indonesia memiliki kewenangan
mengadili terhadap kontrak bisnis internasional tersebut.
Pengadilan Indonesia memiliki kewenangan mengadili sengketa kontrak
bisnis internasional yang tidak mencantumkan pilihan forum bila faktor
koneksitas yang dinilai sangat relevan untuk menentukan pengadilan mana yang
lebih layak (the most appropriate), yang bertitik tolak dari kenyataan koneksitas
yang lebih substansial dengan sengketa (the most real and substantial connection
with the disputes) terdiri dari kemudahan dan biaya berperkara (convenience and
expense), ketersediaan (availability) saksi dan dokumen, tempat tinggal para
pihak (the place where the parties reside), tempat kegiatan usaha (the place where
carry on business), dan hukum yang mengatur (governing laws) 41 terdapat di
Indonesia.
4. Kewenangan Dalam Melaksanakan Putusan Pengadilan dan Arbitrase
Luar Negeri
Pilihan forum berupa pengadilan asing, menimbulkan persoalan
sehubungan dengan pelaksanaan putusan pengadilan tersebut di Indonesia.
Pasal 436 Rv menegaskan kecuali undang-undang mengatur sendiri
putusan hakim asing tidak dapat dilaksanakan di dalam negeri Indonesia.
Pasal ini tidak membedakan apakah putusan hakim Asing itu mengabulkan
gugatan yang berisi amar condemnatoir atau menolak gugatan. Secara generalisasi
disamaratakan yaitu setiap putusan hakim asing tidak dapat dieksekusi oleh
pengadilan Indonesia.42
Pendirian ini adalah sesuai dengan asas kedaulatan teritorial (principle of
territorial sovereignty), berdasarkan mana keputusan hakim asing tidak dapat

41
Ibid., h. 205.
42
Ibid., h. 717.
13

secara langsung dilaksanakan dalam wilayah negara lain atas kekuatannya


sendiri.43
Putusan Pengadilan Asing tidak dapat dilaksanakan, namun putusan
arbitrase asing sudah dapat dilaksanakan di Indonesia sejak Indonesia meratifikasi
Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Award 1958
melalui Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981. Para pihak yang bersengketa
juga bebas memilih lembaga Arbitrase yang ada di negara manapun.44
Putusan arbitrse internasional agar dapat diakui dan dilaksanakan
eksekusinya di Indonesia, harus memenuhi persyaratan Pasal 66 UU No. 30
Tahun 1999, yakni:
a. Putusan dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase di suatu negara yang
dengan negara Indonesia terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupun
multilateral, mengenai pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase
internasional;
b. Putusan di maksud terbatas pada putusan yang menurut ketentuan hukum
Indonesia termasuk dalam ruang lingkup hukum perdagangan;
c. Putusan di maksud hanya dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada
putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum;
d. Putusan arbitrase internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah
memperoleh eksekuator dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat; dan
e. Putusan arbitrase internasional di maksud yang menyangkut negara Republik
Indonesia sebagai salah satu pihak dalam sengketa, hanya dapat dilaksanakan
setelah memperoleh eksekuator dari Mahkamah Agung yang selanjutnya
dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Terhadap putusan
Mahkamah Agung yang menerima atau menolak mengakui dan mengeksekusi
putusan arbitrase internasional, tidak dapat diajukan upaya perlawanan apapun.
C. Penerapan Hukum Oleh Majelis Hakim Terkait Kewenangan Mengadili
Sengketa Kontrak Bisnis Internasional Dalam Putusan Mahkamah
Agung Nomor 1935 K/Pdt/2012
1. Duduk Perkara

43
Sudargo Gautama II. op.cit., h. 279.
44
Munir fuady. (2000). Arbitrase Nasional, Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis.
Bandung: Aditya Bakti, h. 190.
14

PT. Asuransi Harta Aman Pratama, Tbk., berkedudukan di Jalan


Balikpapan Raya Nomor 6 Jakarta 10130, selaku Pemohon Kasasi dahulu
Tergugat/Pembanding dan PT. Pelayaran Manalagi, berkedudukan di Surabaya, di
Jalan Karet Nomor 104 Surabaya selaku Termohon Kasasi dahulu
Penggugat/Terbanding; telah menyepakati dan oleh karenanya terikat atas
Perjanjian Asuransi Marine Hull and Machinery Policy Nomor
03.08.05.10.827.00025, dengan objek pertanggungan kapal kargo KM. Bayu
Prima.
KM. Bayu Prima membawa muatan (cargo) dari Pelabuhan Tanjung
Perak Surabaya menuju Pelabuhan Batu Ampar Batam mengalami kebakaran
yang selanjutnya untuk alasan keselamatan dan keamanan Syahbandar
memerintahkan crew untuk meninggalkan kapal dan memerintahkan agar KM.
Bayu Prima dikandaskan (beached).
Akibat dikandaskannya KM, Bayu Prima, Tertanggung mengalami
kerugian total (total loss), sehingga sesuai dengan Polis Marine Hull and
Machinery Policy Nomor 03.08.05.10.827.00025, Tertanggung berhak
mengajukan klaim secara penuh. Untuk itu, Tertanggung mengeluarkan surat
pernyataan penyerahan barang pertanggungan (Notice of Abandonment) yang
pada pokoknya mengajukan klaim total loss kepada Penanggung.
Penanggung menyatakan menolak klaim yang diajukan oleh Tertanggung
dengan alasan penempatan barang yang tidak sesuai dengan rekomendasi yang
diijinkan, jumlah cargo yang diangkut melebihi jumlah yang diijinkan, dan
informasi tahun pembuatan kapal yang tidak sesuai antara Registered Owner yang
tercatat dengan polis.
Bahwa kebakaran dan kelalain dari Nahkoda merupakan salah satu resiko
(peril) yang dilindungi oleh polis. Selain itu juga telah ditunjuk PT. Abadi
Cemerlang sebagai Surveyor dan Poisedon Adjusters (Singapore) Pte. Ltd sebagai
Average Adjuster yang ditugaskan melakukan evaluasi ataupun analisa terhadap
kecelakaan kebakaran tersebut, yang memberikan kesimpulan bahwa klaim
asuransi adalah claimable.
Fakta-fakta hukum :
15

Pemohon Kasasi dahulu Tergugat/Pembanding; PT. Asuransi Harta Aman


Pratama, Tbk., merupakan perusahaan yang didirikan dan berkedudukan di
Indonesia tepatnya di Jalan Balikpapan Raya Nomor 6 Jakarta 1013.
Termohon Kasasi dahulu Penggugat/Terbanding; PT. Pelayaran Manalagi
merupakan perusahaan yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia tepatnya di
Jalan Karet Nomor 104 Surabaya.
Keduanya terikat perjanjian asuransi Marine Hull and Machinery Policy
Nomor 03.08.05.10.827.00025 yang ditandatangani dan dilaksanakan di Indonesia.
Objek pertanggungan merupakan kapal cargo KM. Bayu Prima,
berbendera Indonesia dengan pemilik kapal dan operator adalah PT. Pelayaran
Manalagi.
Gugatan diajukan atas penolakan klaim asuransi terhadap peristiwa
kebakaran yang dialami kapal cargo KM. Bayu Prima yang terjadi di Pelabuhan
Batu Ampar Batam, Indonesia.
Asuransi Marine Hull and Machinery Policy Nomor
03.08.05.10.827.00025 memuat ketentuan pilihan hukum, yakni "This insurance
is subject to english law and practic.".
2. Pertimbangan Hukum (Ratio Decidendi) dan Putusan Majelis Hakim
Pertimbangan Majelis Hakim dalam putusan a quo terhadap kewenangan
mengadili Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, bahwa menurut Majelis Hakim
Tergugat tidak dapat membedakan mana yang merupakan pilihan hukum (choice
of law) dengan pilihan yurisdiksi (choice of yurisdiction) atau pilihan kewenangan
mengadili karena antara pilihan hukum dan pilihan yurisdiksi merupakan dua hal
yang berbeda, khusus dalam perkara a quo meskipun dalam perjanjian polis
asuransi Nomor 03.08.05.10.827.00025 telah disepakati ketentuan hukum Inggris
yang mengaturnya, akan tetapi dalam polis tersebut tidak diatur tentang yurisdiksi
Pengadilan mana yang berwenang mengadili apabila terjadi permasalahan hukum
sehubungan dengan perjanjian polis tersebut, maka pilihan Penggugat yang
memilih Pengadilan mana yang akan memeriksa dan mengadili perkara tersebut
didasarkan pada fakta yang melakukan perjanjian tersebut adalah orang Indonesia
sedangkan perjanjian dibuat dan dilaksanakan di Indonesia, objek
pertanggungannya terhadap kapal berbendera Indonesia, kecelakaan atau
16

kebakaran terjadi di Indonesia, maka Pengadilan yang berwenang untuk


memeriksa dan mengadili sengketa tersebut adalah Pengadilan Indonesia, dalam
hal ini Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang mendasarkan pada Hukum Acara
Perdata yang terdapat dalam HIR karena Penggugat memilih domisili Tergugat
yang berada di Wilayah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (Pasal 118 HIR).
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat ini dikuatkan oleh Putusan
Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor 297/PDT/2011/PT.DKI, dengan pertimbangan
hukum bahwa setelah membaca dan mempelajari dengan seksama berkas perkara
a quo beserta surat-surat yang terlampir didalamnya, salinan resmi putusan sela
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 52/Pdt.G/2010/PN.Jkt.Pst. Tanggal 29
Juli 2010 dan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor
52/Pdt.G/2010/PN.Jkt.Pst. tanggal 21 Oktober 2010, Memori Banding dari
Pembanding semula Tergugat, Kontra Memori Banding dari Terbanding semula
Penggugat, Majelis Hakim Tingkat Banding dapat menyetujui pertimbangan
Majelis Hakim Tingkat Pertama dalam perkara a quo baik dalam putusan sela
maupun dalam putusan akhir, karena pertimbangan tersebut dipandang sudah
tepat dan benar dan diambil alih sebagai pertimbangan Majelis Hakim Tingkat
Banding sendiri dalam memeriksa dan memutus perkara ini.
Pertimbangan Mahkamah Agung pada tingkat kasasi, bahwa para pihak
dalam Polis Asuransi telah sepakat menggunakan hukum Inggris, maka sesuai
dengan kesepakatan tersebut, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak berwenang
memeriksa dan mengadili perkara a quo dan penggugat harus mengajukan
gugatan di Pengadilan Inggris. Hal ini didasarkan pada Pasal 1338 KUHPerdata,
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya (pacta sun servanda).
3. Analisis Penerapan Hukum Oleh Majelis Hakim
Ketentuan hukum privat suatu negara yang mempunyai pengaruh besar
terhadap perkembangan hukum privat Internasional dalam bidang perdagangan
internasional adalah ketentuan mengenai hukum asuransi, dalam hal ini hukum
asuransi laut dari Inggris, Marine Insurance Act 1906.45

45
Akhmad Ichsan. (1992). Kompendium tentang Arbitrase Perdagangan Internasional
(Luar Negeri). Jakarta: PT Pradnya Paramita, h. 36.
17

Putusan Mahkamah Agung Indonesia secara tegas mengakui dan


menerapkan klausula pilihan hukum asing dalam suatu perjanjian. Begitu pula
pertimbangan Mahkamah Agung dalam putusan Nomor 1935 K/Pdt/2012, oleh
karena para pihak dalam Polis Asuransi yaitu antara Penggugat dan Tergugat telah
sepakat menggunakan hukum Inggris maka Penggugat harus mengajukan gugatan
di Pengadilan Inggris, berdasarkan Pasal 1338 KUHPerdata, perjanjian yang
dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi yang membuatnya (pacta
sun servanda).
Meski demikian, prinsip yang diterima umum adalah bahwa pilihan forum
(choice of forum atau choice of jurisdiction) dan pilihan hukum (choice of law)
merupakan dua bidang yang berbeda. Artinya, apabila dalam choice of law para
pihak menentukan hukum Indonesia, tidak serta merta pengadilan yang akan
menangani sengketa adalah pengadilan Indonesia (choice of forum).46
Telah diketahui bahwa fakta kontrak tunduk pada hukum Inggris bukanlah
faktor yang mendominasi, besar kecilnya pengaruh faktor tersebut bergantung
pada persoalan dalam kasus itu sendiri.47 Prinsip yang semakin banyak digunakan
secara internasional adalah pertimbangan adanya pertautan minimum 48 dan
prinsip the most appropriate forum yang berkaitan dengan doktrin forum non
convenient.49
Sejalan dengan kasus dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 1935
K/Pdt/2012, fakta-fakta hukum menunjukan connecting factor yang substansial
yakni baik tergugat, penggugat, objek pertanggungan, pelaksanaan perjanjian dan
kebakaran serta harta kekayaan tergugat berada di Indonesia. Hal ini menunjukan
pengajuan gugatan pada pengadilan Indonesia memberikan kemudahan
ketersediaan saksi dan dokumen serta efisiensi biaya perkara (convenient and
expense efficiency) yang dapat menjadi pertimbangan dan dasar bagi pengadilan
untuk mengklaim yurisdiksi, dengan menerapkan hukum Inggris sebagai pilihan
hukum.

46
Huala Adolf II. op.cit., h. 190.
47
John Dunt. (2012). International Cargo Insurance. Routledge: Informa, Chapter 2, Part
2.18.
48
Bayu Seto Hardjowahono. op.cit., h. 186.
49
M. Yahya Harahap I. op.cit., h. 203.
18

Pertimbangan dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 1935 K/Pdt/2012


menyatakan perkara harus diajukan ke pengadilan Inggris. Namun, putusan asing
tidak dapat dilaksanakan di Indonesia karena prinsip hukum yang lazim dianut
oleh masyarakat internasional adalah prinsip teritorialitas. Menurut prinsip ini,
keputusan suatu pengadilan hanya berlaku di dalam wilayah negaranya sendiri.50
Putusan Inggris nantinya hanya dapat dijadikan dasar hukum pengajuan
gugatan baru pada Pengadilan Negeri sebagai alat bukti tulisan dengan kekuatan
mengikat yang bersifat kasuistik.51 Hal ini memperlihatkan sistem peradilan yang
tidak efektif (ineffective) dan tidak efisien (inefficient). Proses bertele-tele, yang
dililit lingkaran upaya hukum yang tidak berujung. Mulai dari banding, kasasi,
dan peninjauan kembali.52
Hal ini terjadi sebab, pada umumnya kemampuan dan pengetahuan para
hakim menghadapi berbagai kasus hanya bersifat generalis. Kualitas dan
kemampuan profesionalisme mereka pada bidang tertentu sangat minim. Mungkin
juga tidak memahami masalah asuransi perkapalan dan perdagangan internasional.
Sehingga diragukan kemampuan dan kecakapan mereka menyelesaikan sengketa
secara tepat dan benar sesuai dengan asas-asas maupun doktrin dan paradigma
yang berlaku pada sengketa tersebut.53
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
1. Implikasi klausula pilihan hukum (choice of law) dan klausula pilihan forum
(choice of forum) terhadap penyelesaian sengketa kontrak bisnis internasional
adalah dengan adanya pilihan tersebut, dapat diketahui lembaga dan hukum
mana yang digunakan dan memiliki kewenangan untuk memeriksa dan
mengadili sengketa yang timbul dari suatu kontrak bisnis internasional. Sebab
transaksi bisnis internasional menunjukan adanya keterkaitan antara peristiwa
dengan lebih dari satu sistem hukum yang berbeda. Teranglah pilihan hukum
dan forum oleh para pihak dibutuhkan untuk menambah kepastian hukum
dalam hubungan lalu lintas internasional.

50
Sudargo Gautama I, op.cit., h. 117.
51
M. Yahya Harahap I, op.cit., h. 718.
52
Ibid., h. 229.
53
Ibid., h. 235.
19

2. Kewenangan pengadilan di Indonesia terhadap sengketa kontrak bisnis


internasional yang tidak menetapkan pilihan forum menunjuk pada Pasal 118
HIR bahwa gugatan diajukan pada Pengadilan Negeri yang wilayah
hukumnya meliputi tempat tinggal tergugat. Bertitik tolak dari Pasal 100 Rv,
jangkauan kewenangan pengadilan Indonesia, tidak terbatas hanya terhadap
warga negara Indonesia saja tetapi meliputi orang asing bukan penduduk,
bahkan tidak berdiam di Indonesia dapat digugat di hadapan hukum Indonesia
untuk perikatan yang dilakukan di Indonesia atau di mana saja dengan warga
negara Indonesia. Umumnya yurisdiksi suatu negara diakui meliputi secara
teritorial atas semua orang dan benda yang berada dalam batas-batas wilayah
negaranya. Dalam hal fakta-fakta hukum dalam kontrak bisnis internasional
yang tidak mencantumkan pilihan forum menunjukan faktor-faktor koneksitas
yang lebih kuat terhadap Indonesia maka pengadilan Indonesia memiliki
kewenangan mengadili terhadap kontrak bisnis internasional tersebut.
3. Terkait kewenangan mengadili sengketa kontrak bisnis internasional dalam
putusan Mahkamah Agung Nomor 1935 K/Pdt/2012, majelis hakim dari
tingkat pertama sampai dengan kasasi mengakui pilihan hukum asing dalam
suatu perjanjian. Berdasarkan Pasal 1338 KUHPerdata, maka perjanjian yang
dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya (pacta sun servanda). Namun dalam penerapannya majelis
hakim pada tingkat kasasi berbeda pandangan dengan majelis hakim tingkat
pertama dan banding, yang mana majelis hakim tingkat pertama dan banding
memiliki pandangan bahwa pilihan forum (choice of forum atau choice of
jurisdiction) dan pilihan hukum (choice of law) merupakan dua bidang yang
berbeda. Pilihan hukum benar merupakan salah satu connecting factor yang
menentukan kewenangan mengadili suatu pegadilan, namun bukanlah faktor
yang mendominasi, terutama dihadapkan pada fakta hukum lain sebagai faktor
koneksitas yang lebih kuat dan dikaitkan dengan principle of effectiveness.
Maka putusan Mahkamah Agung Nomor 1935 K/Pdt/2012 yang didasarkan
pada pertimbangan para pihak telah sepakat memilih hukum Inggris maka
gugatan harus diajukan di Pengadilan Inggri adalah tidak tepat, sebab fakta-
fakta hukum yang ada seharusnya dapat dijadikan dasar bagi pengadilan
20

Indonesia untuk mengklaim kewenangan mengadili, dengan menggunakan


hukum Inggris sebagai pilihan hukum.
B. SARAN
1. Kontrak bisnis dengan unsur-unsur asing selalu memperlihatkan kesulitan
tertentu baik mengenai hukum maupun forum yang harus dipakai. Oleh karena
itu, mengantisipasi kemungkinan timbulnya perselisihan di kemudian hari,
maka sebaiknya para pihak sejak awal telah menentukan adanya pilihan forum
dan pilihan hukum dalam klausula kontrak yang mereka buat. Para pihak juga
sebaiknya mengetahui dengan pasti apakah forum dan hukum yang dipilihnya
tidak akan merugikan dirinya, baik dari segi kapasitas hakim-hakimnya,
hukum yang akan digunakan, objek eksekusi dan negara tempat eksekusi akan
dilaksanakan, maupun dari segi prinsip yang dianut oleh suatu negara
berkenaan dengan pilihan hukum maupun forum ini.
2. Kompetensi Hakim Indonesia dalam mengadili perkara-perkara perdata yang
memiliki unsur asing selain berpatokan pada pilihan para pihak hendaknya
juga harus berpegang pada prinsip-prinsip hukum acara perdata internasional
yang berkembang dan dipergunakan secara internasional oleh hakim-hakim
pengadilan asing sehingga kita dapat belajar tentang bagaimana keadaan dan
halnya stesel-stesel hukum lain daripada kita sendiri. Dengan demikian kita
dapat terbuka untuk perbaikan-perbaikan atau pengluasan hukum kita sendiri
sesuai dengan alam dan masyarakat serta sistem hukum kita sendiri.
3. Melihat pesatnya perkembangan transaksi binis dalam era globalisasi
hendaknya pemerintah menyusun peraturan perundang-undangan di bidang
hukum perdata internasional guna kepastian hukum dan pedoman bagi hakim
di pengadilan dalam menangani sengketa perdata yang mengandung unsur
asing.
V. DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU
Abdurrahman, Muslan. (2009). Sosiologi dan Metode Penelitian Hukum. Malang:
UMM Press.
Adolf, Huala. (2007). Dasar-Dasar Hukum Kontrak Internasional. Bandung: PT
refika Aditama.
___________. (2005). Hukum Perdagangan Internasional. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
21

Dunt, John. (2012). International Cargo Insurance. Routledge: Informa.


Fuady, Munir. (2000). Arbitrase Nasional, Alternatif Penyelesaian Sengketa
Bisnis. Bandung: Aditya Bakti.
Gautama, Sudargo. (1976). Kontrak Dagang Internasional. Bandung: Alumni.
_______________. (1998). Hukum Perdata Internasional Indonesia, Jilid II
Bagian 4 Buku ke-5. Bandung: Alumni.
_______________. (1998). Hukum Perdata Internasional Indonesia, Jilid II
Bagian 5 Buku ke-6. Bandung: Alumni.
_______________. (2007). Hukum Perdata Internasional Indonesia, Jilid III
Bagian 2 Buku ke-8. Bandung: Alumni.
_______________. (1987). Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia.
Bandung: Binacipta.
Gouwgioksiong. (1965). Hukum Perdata Internasional Indonesia. Jakarta: PT
Kinta.
Harahap, M. Yahya. (2016). Hukum Acara Perdata tentang Gugatan,
Persidangan, Penyitaan,Pembuktian, dan Putusan Pengadilan. Jakarta:
Sinar Grafika.
Hardjowahono, Bayu Seto. (2013). Dasar-Dasar Hukum Perdata Internasional,
Buku Kesatu. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
Houtte, Hans Van. (1995). The Law of International Trade. London: Sweet and
Maxwell.
Ichsan, Akhmad. (1992). Kompendium tentang Arbitrase Perdagangan
Internasional (Luar Negeri). Jakarta: PT Pradnya Paramita.
Johni, Ibrahim. (2005). Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif. Malang:
Bayu Media Publishing.
Khairandy, Ridwan. (2007). Pengantar Hukum Perdata Internasional.
Yogyakarta: FH UII Press.
Kolopaking, Anita D.A. (2013). Asas Iktikad Baik Dalam Penyelesaian Sengketa
Kontrak Melalui Arbitrase. Bandung: Alumni.
Putra, Ida Bagus Wyasa Putra. (2000). Aspek-aspek Hukum Perdata Internasional
dalam Transaksi Bisnis Internasional. Bandung: Refika Aditama.
Syaifuddin, Muhammad. (2012). Hukum Kontrak, Memahami Kontrak dalam
Perspektif Filsafat, Teori, Dogmatik dan Praktik Hukum (Seri
Pengayaan Hukum Perikatan). Bandung: Mandar maju.
Usman, Rachmadi. (2003). Pilihan Penyelesaian Sengketa Di luar Pengadilan.
Bandung: Citra Aditya Bakti.
B. Jurnal
Ivan, Randang S. (2016). "Tinjauan Yuridis Tentang Peranan Identitas Domisili
Dalam Menentukan Kompetensi Relatif Pengadilan, Lex Privatum", Vol.
IV/No. 1. Manado: UNSRAT.

Anda mungkin juga menyukai