Anda di halaman 1dari 14

PILIHAN HUKUM DALAM PERJANJIAN DAGANG MULTINASIONAL:

SUATU TINJAUAN HUKUM PERDATA INTERNASIONAL


(PT. Fega Indotama melawan LVMH Fragrances & Cosmetics (Singapore) Pte
Ltd; Putusan PN Jakarta Pusat No. 410/Pdt.G/2011/PN.Jkt.Pst)

Disusun sebagai tugas untuk mata kuliah:


Hukum Perdata Internasional

Oleh:
Sheylla Dwi Lestari (B1A019412)

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS BENGKULU


PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
BENGKULU
DESEMBER 2021
A. PENGANTAR
I. Latar Belakang
Globalisasi kehidupan manusia merupakan suatu fenomena yang tidak bisa
dielakkan lagi seiring dengan perkembangan zaman. Kehidupan masyarakat sudah
meluas dari sebatas komunitas yang tersegregasi berdasarkan lokasi, topografi, dan
kondisi geografis; berkat perkembangan teknologi yang cepat, hubungan interpersonal
dan intrakomunitas telah menembus perbatasan negara, dan kehidupan manusia telah
mengejawantah menjadi suatu komunitas internasional. Terdapat tantangan baru
untuk memberlakukan ketertiban suatu masyarakat internasional yang jamak, dengan
lingkungan, budaya, dan hukum yang berbeda-beda.
Salah satu aspek yang sangat terpengaruh dengan fenomena globalisasi adalah
perekonomian dan perdagangan. Perdagangan antar negara, baik dalam bentuk
hubungan dagang bilateral, multinasional atau internasional, adalah kegiatan yang
kini harus dilakukan oleh suatu negara agar dapat bertahan dan memenuhi kebutuhan
kesehariannya. Karena sebagian besar perekonomian nasional digerakkan oleh pihak
swasta, maka banyak terjadi hubungan antar badan-badan usaha, baik secara individu,
persekutuan, maupun dalam bentuk badan hukum, dari berbagai negara yang
melakukan perdagangan.
Hubungan-hubungan tersebut menghasilkan hubungan hukum. Terjadinya
hubungan hukum antara dua badan usaha dari negara yang berbeda, dimana tiap
negara mempunyai sistem hukum masing-masing yang berbeda, menandakan adanya
aspek dan/atau persoalan hukum perdata internasional yang menjadi persoalan yang
penting bukan hanya dalam aspek ilmu hukum, namun juga krusial dalam jalannya
operasi suatu usaha. Pengusaha, termasuk para pengusaha dalam skala internasional,
juga ingin memastikan efisiensi dan lancarnya jalannya usaha, dan untuk mencapai
hal tersebut badan-badan usaha memperhatikan segala hukum, peraturan, dan
ketentuan tiap daerah dimana suatu perusahaan melakukan bisnisnya.
Hubungan-hubungan tersebut menggambarkan aspek hukum perdata
internasional dalam perdagangan internasional. Hukum perdata internasional
didefinisikan oleh Sudargo Gautama sebagai keseluruhan peraturan dan keputusan
hukum yang menunjukka stelsel hukum manakah yang berlaku atau apakah yang
merupakan hukum, jika hubungan-hubungan dan peristiwa-peristiwa antara warga (-
warga) negara pada suatu waktu tertentu yang memperlihatkan titik-titik pertalian

1
dengan stelsel-stelsel dan kaidah-kaidah hukum dari dua atau lebih negara, yang
berbeda dalam lingkungan, kuasa, tempat, (pribadi), dan soal-soal.1
Salah satu persoalan hukum yang umum terjadi dalam perdagangan adalah
pembentukan perjanjian untuk melakukan perdagangan. Perjanjian ini dapat berupa
perjanjian jual-beli, perjanjian pengangkutan, perjanjian distributor, perjanjian
keagenan atau perjanjian lainnya. Muncul aspek hukum perdata internasional ketika
dua pihak atau lebih yang terhadap tiap pihak berlaku hukum yang berbeda di antara
mereka, membuat suatu perjanjian untuk melakukan bisnis bersama. Muncul
pertanyaan-pertanyaan, seperti hukum apa yang berlaku untuk perjanjian yang mereka
buat, dan bila terjadi suatu sengketa, forum apa yang berwenang untuk mengadili
perkara di antara mereka. Pertanyaan-pertanyaan tersebut merupakan pertanyaan yang
dapat dijawab oleh kaidah-kaidah hukum perdata internasional negara masing-
masing.
Paper ini akan mengupas mengenai aspek hukum perdata internasional dalam
perjanjian antar badan usaha dengan sistem hukum yang berlainan terhadap kedua
pihak tersebut. Dalam hal ini, juga terdapat faktor tambahan, yakni pemilihan
arbitrase sebagai forum penyelesaian sengketa alternatif. Objek analisis dalam paper
ini adalah putusan tingkat pertama, terhadap perkara terhadap perjanjian distribusi
ekslusif antara dua badan hukum dari dua negara dan sistem hukum yang berbeda.
Dari pembahasan dan analisis putusan tersebut, dapat digambarkan kompleksitas
hubungan hukum dalam suatu perjanjian dagang multinasional, aspek-aspek hukum
perdata inernasional dalam perjanjian tersebut, dan bagaimana hukum Indonesia,
dalam hal ini juga termasuk pengadilan Indonesia, mengadili sengketa perjanjian yang
memiliki aspek pilihan hukum dalam konteks hukum perdata internasional.

II. Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan rumusan
masalah (research questions) sebagai berikut:
1. Bagaimanakah aspek-aspek hukum perdata internasional yang dapat
ditemukan di perkara PT. Fega Indotama melawan LMVH Fragrances
& Cosmetics (Singapore) Pte Ltd?

1 Sudargo Gautama, Hukum Perdata Internasional Jilid 1 Buku ke-1, Alumni, 2008.

2
2. Bagaimana hakim mengadili perkara dan menerapkan konsep-konsep
hukum perdata internasional (bila ada)?

III. Metode Penelitian


Bentuk penelitian dalam paper ini adalah penelitian yuridis-normatif, dimana
penelitian ini menggunakan pendekatan identifikasi, dan analisis terhadap prinsip-
prinsip dan konsep-konsep hukum perdata internasional, peraturan perundang-
undangan, dan putusan pengadilan.
Data yang digunakan dalam paper ini adalah data hukum sekunder, dengan
sumber hukum primer, di antaranya adalah putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
Nomor 410/Pdt.G/2011/PN.Jkt.Pst yang merupakan objek analisis paper ini, dan
peraturan perundang-undangan seperti Algemeene Bepalingen, Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dan
sebagainya. Selain itu, digunakan juga sumber hukum sekunder, yang mecakup buku
dan artikel jurnal, di antaranya adalah seri buku Hukum Perdata Internasional
Indonesia oleh Sudargo Gautama.

IV. Struktur Penulisan


Paper ini mempunyai tiga bagian. Bagian pertama (Pengantar) membahas tentang
latar belakang, rumusan permasalahan, dan metode penelitian dalam makalah ini.
Bagian kedua (Pembahasan Putusan) membahas tentang kasus posisi dari putusan,
lalu analisis terhadap perkara tersebut dengan mengaplikasikan teori dan konsep
dalam hukum perdata internasional. Bagian terakhir (Kesimpulan) berisi kesimpulan
dan saran.

3
B. PEMBAHASAN PUTUSAN
I. Kasus Posisi
Putusan yang dianalisis adalah putusan dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
dengan nomor registrasi perkara 410/Pdt/G/2011/PN.Jkt.Pst, yang diputus pada
tanggal 19 Desember 2012. Objek perkara dari rangkaian perkara ini adalah gugatan
perbuatan melawan hukum (onrechmatige gedaad) terhadap sebuah perjanjian
distribusi ekslusif (“Perjanjian Distribusi Ekslusif”) antara PT. Fega Indotama
(“Penggugat”), badan hukum beralamat di Jakarta yang mengajukan gugatan dalam
perkara ini, melawan LVMH Fragrances & Cosmetics (“Tergugat”), badan hukum
perusahaan yang beralamat dan didirikan berdasarkan undang-undang Republik
Singapura.
Dalam surat gugatan, Penggugat menguraikan bahwa Perjanjian Distribusi
Ekslusif memberikan kepada Penggugat hak yang sah sebagai distributor tunggal dan
ekslusif untuk mengimpor, mendistribusikan dan menjual produk-roduk parfum,
make-up dan perawatan kulit dengan merek LVMH Fragrances & Cosmetics da
Christian Dior untuk seluruh wilayah Indonesia. Penggugat juga menyatakan telah
menjalankan semua kewajiban yang tertera dalam Perjanjian Distribusi Ekslusif, yang
mencakup:
1) Secara aktif beriklan mempromosikan pendistribusian produk-pruduk;
2) Memelihara reputasi dan wibawa merek-merek dagang yang bersangkutan;
3) Meningkatkan pangsa pasar Parfums Christian Dior di seluruh wilayah
Indonesia selama dalam jangka waktu perjanjian; dan
4) Mengembangkan / meningkatkan volume penjualan produk-pruduk
Parfums Christian Dior dengan cara- cara yang secara lebih lengkap
diuraikan dalam surat gugatan.
Lalu, dengan surat dari Tergugat tertanggal 31 Mei 2011, Tergugat secara
sepihak memutuskan Perjanjian Distribusi Ekslusif. Penggugat menyatkaan bhawa
pemutusan itu dilakukan tanpa alasan-alasan yang jelas yangdapat
dipertanggungjawabkan, Atas dasr itu, Penggugat mengutip Pasal 1266 dan Pasal
1267 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”). Pasal 1266 KUH
Perdata mengatur tentang syarat batal dalam suatu perjanjian, yang dianggap selalu
ada dalam persetujuan-persetujuan yang bertimbang balik; untuk pembatalan seperti
itu tidak dianggap batal demi hukum, namun pembatalan harus dimintakan kepada
Hakim. Pasal 1267 KUH Perdata memberikan kesempatan bagi pihak yang

4
perikatannya tidak dipenuhi untuk memaksa pihak lain untuk memenuhi perjanjian,
atau menuntut pembatalan perjanjian disertai penggantian biaya kerugian dan bunga.
Atas dasar kedua pasal tersebut, Penggugat menyatakan bahwa Tergugat telah
melakukan perbuatan melawan hukum, pada intinya karena Tergugat telah
memutuskan Perjanjian Distribusi Ekslusif secara sepihak yang melawan hukum, dan
atas dasar itu telah menimbulkan kerugian yang besar kepada Penggugat. Dalam
petitum surat gugatan, Penggugat memohon, antara lain, agar Tergugat membayar
ganti rugi materiil sebesar USD 10.000.000 (sepuluh juta dolar AS), agar Penggugat
dinyatakan sebagai satu-satunya pemegang hak yang sah sebagai Distributor yang
menerima hak tunggal dan ekslusif untuk mengimpor produk dari LVMH Fragrances
& Cosmetics (Singapore) Pte Ltd, dan melarang Tergugat dan/atau orang lain yang
mendapat kuasa darinya dari membuat perjanjian distribusi ekslusif lain dengan pihak
manapun.
Dalam eksepsi yang diajukan oleh Tergugat, Tergugat mengajukan beberapa
poin posita, yang dibagi atas eksepsi kompetensi absolut dan eksepsi pokok perkara.
Dalam eksepsi kompetensi absolut, salah satu poin yang diajukan oleh Tergugat
bahwa Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak berwenang memeriksa perkara
berdasarkan pasal XX Perjanjian Distribusi Ekslusif, UU Arbitrase dan New York
Convention yang telah diratifikasi melalui Keppres 34 Tahun 1981. Tergugat
mengajukan fakta bahwa dalam Perjanjian Distribusi Eksekutif terdapat Pasal XX,
yang mengatur mengenai sengketa pemutusan Perjanjian Distribusi. Pasal tersebut
berbunyi:
“Any disputes or differences arising out of or in connection
with this contract, including any question regarding its existence,
validity, or Termination, shall be referred to and finally resolved by
arbitration in Singapore in accordance with the Arbitration rules of
Singapore International Centre (“SIAC Rules”) for the time being in
force, which rules are deemed to be incorporated by reference to this
clause”
(“Segala sengketa atau perbedaan pendapat yang timbul dari
atau sehubungan dengan perjanjian ini, termasuk segala persoalan
menyangkut keberadaan, keabsahan atau Berakhirnya perjanjian,
wajib diajukan dan diselesaikan secara final melalui arbitrase di
Singapura sesuai dengan Aturan Arbitrase dari Singapore
International Centre (“SIAC Rules”) yang berlaku pada saat itu aturan
mana dianggap sebagai bagian dari Perjanjian ini berdasarkan Pasal
ini”)

5
Pasal tersebut menunjukkan bahwa para pihak dalam Perjanjian Distribusi
Ekslusif telah memperjanjikan di antara mereka, sebagaimana diatur dalam Pasal XX
ini, bahwa dalam hal terjadinya suatu sengketa, sengketa tersebut akan diselesaikan
melalui arbitrase di Singapura. Tergugat menyatakan hal ini bertentangan dengan
ketentuan Pasal 3 dan 11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase,
yang mengatur bahwa Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa
para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase, dan adanya suatu perjanjian
arbitrase tertulis meniadakan hak para Pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa
atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya ke Pengadilan Negeri. Tergugat
juga merujuk kepada beberapa putusan Mahkamah Agung, yakni putusan dengan
nomor 1034K/Pdt/2009 dan 790K/Pdt/2006, yang menegakkan ketentuan UU
Arbitrase tersebut. Selain itu, Tergugat juga merujuk kepada ketentuan Convention on
the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards, yang lebih kerap
dikenal sebagai Konvensi New York, yang mengatur bahwa pengadilan negeri tidak
mempunyai kewenangan atau yurisdiksi untuk memeriksa perkara ketika para pihak
telah sepakat menyelesaikan sengketa ini melalui arbitrase.
Tergugat juga menambahkan dalam eksepsinya, bahwa dalam Pasal XX
Perjanjian Distribusi Eksekutif juga terdapat klausula sebagai berikut:

“This Agreement shall be governed by and construed in


accordance with the laws of Singapore”
(“Perjanjian ini diatur dan harus ditafsirkan menurut ketentuan
hukum Singapura”)

Ketentuan ini menunjukkan bahwa para pihak telah memilih hukum Singapura
sebagai hukum yang berlaku terhadap perikatan di antara mereka. Hal ini
menegasikan posita dari Penggugat yang mendasari klaim mereka atas dasar pasal
1266 dan 1267 KUH Perdata; karena hukum yang berlaku terhadap Perjanjian
Distribusi Ekslusif adalah hukum Singapura, maka kaidah-kaidah hukum Indonesia,
termasuk KUH Perdata, tidak dapat berlaku untuk hal-hal yang berkaitan dengan
Perjanjian Distribusi Ekslusif.
Alasan yang diajukan pada posita terhadap kewenangan absolut sebagaimana
telah diuraikan di atas kembali diulang pada bagian jawaban dan eksepsi terhadap

6
pokok perkara, untuk membuktikan salah satu poin yang diajukan, bahwa tergugat
tidak pernah melakukan perbuatan melawan hukum apapun dalam perkara a quo.
Majelis Hakim yang mengadili perkara setuju dengan posita terhadap
kompentensi absolut Pengadilan Negeri yang diajukan Tergugat. Dalam amar
putusan, Majelis Hakim menyatakan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak
berwenang mengadili perkara, dan menghukum Penggugat untuk membayar ongkos
perkara.

II. Analisa Teori yang Dipakai


Setelah menguraikan kasus posisi dari putusan yang bersangkutan, selanjutnya
akan dianalisis gugatan, eksepsi dan jawaban, pertimbangan Majelise Hakim dan
putusan Majelis Hakim terhadap konsep dan teori Hukum Perdata Internasional.
Analisis akan distruktur pada dua segmen inti, yakni pengidentifikasian titik pertalian
primer (TPP) dan titik pertalian sekunder. Dalam tiap bagian, akan diinkorporasikan
konsep-konsep hukum perdata internasional lain yang terkait, seperti status personal
dan pilihan hukum.
a. Titik Pertalian Primer (TPP)
Untuk mengidentifikasi ada atau tidaknya persoalan hukum perdata
internasional dalam suatu perkara, perlu diidentifikasi ada atau tidaknya titik pertalian
primer (TPP). Kata “titik pertalian” sendiri didefinisikan sebagai hal-hal dan keadaan-
2
keadaan yang menyebabkan berlakunya suatu setlsel hukum. Sejalan dengan
pengertian titik pertalian itu, Sudargo Gautama mendefinisikan TPP sebagai “hal-hal
dan keadaan keadaan yang melahirkan atau menciptakan hubungan HPI” .3 TPP, juga
kerap disebut sebagai titik pembeda, adalah unsur-unsur yang menunjukkan adanya
pertemuan antara dua stelsel hukum atau lebih.
Hal-hal dan keadaan-keadaan yang dapat disebut sebagai TPP antara lain
adalah: kewarganegaraan, bendera dari kapal, domisili, tempat kediaman, tempat
kedudukan, dan pilihan hukum dalam hubungan intern.4

2 Sudargo Gautama, Hukum Perdata Internasional Indonesia, Jilid 2 Bagian 1, Kinta


Djakarta, 1972
3 Ibid.
4 Ibid.

7
Bila teori ini diterapkan untuk menganalisis perkara antara PT. Fega Indotama
dan LVMH Fragrances & Cosmetics (Singapore) Pte Ltd, penulis mengidentifikasi
beberapa TPP, yakni sebagai berikut:
• Status personal badan hukum. Dalam putusan ini, diketahui bahwa
Penggugat adalah perusahaan Indonesia, dan Tergugat adalah badan hukum
perusahaan yang teregistrasi berdasarkan undang-undang Singapura. Dapat
dilihat bahwa kedua pihak merupakan perusahaan yang terdaftar dan
beralamat di dua negara yang berbeda. Hal ini menyebabkan adanya
perbedaan antara status personal badan hukum.
Status personal didefinisikan sebagai kelompok kaidah-kaidah yang
mengikuti seseorang kemanapun ia pergi.
Dalam ilmu hukum perdata internasional, terdapat empat teori status
personal badan hukum yang dikenal:
1. Teori Inkorporasi. Menurut teori ini, suatu badan hukum tunduk
pada hukum di tempat badan hukum tersebut diciptakan, didirikan,
dibentuk, yakni negara yang hukumnya telah diikuti pada waktu
mengadakan pembentukannya.
2. Teori Statutair. Menurut teori ini, suatu badan hukum tunduk pada
hukum dari tempat yang dalam akta pendirian (statute) badan
hukum tersebut dinyatakan sebagai tempat kedudukannya.
3. Teori Manajemen Efektif. Menurut teori ini, suatu badan hukum
tunduk pada hukum dimana operasional bisnis tersebut dijalankan.
Yang perlu diperhatikan adalah perusahaan bisa saja memiliki
organ-organ di luar domisili yang dicantumkan dalam akta
pendiriannya, yang dapat menjadi tempat inti atau titik tumpu
operasional bisnisnya (‘manajemen efektif’). Dalam kondisi
tersebut, menurut teori ini tempat operasional bisnis utamanya
yang menjadi hukum yang berlaku terhadap badan hukum tersebut
4. Teori Kontrol Asing (Foreign Control/Remote Control Theory).
Menurut teori ini, meski suatu badan hukum didirikan dan/atau
dijalankan dari suatu negara, namun bila putusan-puutsan untuk
jalannya operasional usaha dari badan hukum tersebut diputuskan
dari negara lain, maka tempat kedudukan dari badan hukum

8
tersebut merupakan negara dimana keputusan-keputusan tersebut
dibuat.
Dari keempat teori di atas, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas secara implisit melalui diksi menerapkan dua dari
empat teori tersebut, yakni teori statutair (dalam Pasal 5 dan 7) dan teori
manajemen efektif (dalam Pasal 17). Karena forum sengketa dalam putusan
ini adalah di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Majelis Hakim sebagai
penganut lex fori dapat merujuk ke ketentuan Undang-Undang Perseroan
Terbatas, dan menentukan status personal badan hukum dalam perkara ini
dari ketentuan Undang-Undang tersebut.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa status personal dari kedua pihak
dalam perkara ini dapat ditentukan menurut teori statutair, dimana dalam
uraian identifikasi para pihak, khusunya untuk LVMH Fragrances &
Cosmetics (Singapore) Pte Ltd, ditentukan berdasarkan dasar hukum
pendiriannya.
• Tempat kedudukan. Dari alamat yang tertera dalam bagian awal putusan,
diketahui bahwa Penggugat beralamat di Jakarta, sedangkan Tergugat
beralamat di Singapura. Dapat dilihat bahwa kedua badan hukum tersebut
memiliki tempat kedudukan yang berbeda, di negara yang berbeda, dengan
sistem hukum yang berbeda.
• Pilihan hukum dalam hubungan intern. Terkait pilihan hukum akan dibahas
di bagian tentang Titik Pertalian Sekunder.
b. Titik Pertalian Sekunder (TPS)
Penentuan hukum yang berlaku dalam suatu perkara Hukum Perdata
Internasional ditentuak ndengan mengidentifikasi Titik Pertalian Sekunder (TPS).
Sudargo Gautama mendefinisikan TPS sebagai faktor-faktor yang menentukan hukum
manakah yang harus dipilih daripada stelsel-stelsel hukum yang dipertautkan. Karena
fungsinya untuk mengidentifikasi hukum mana yang berlaku, TPS juga kerap disebut
sebagai titik taut penentu.
Dalam kasus PT. Fega Indotama melawan LVMH Fragrances & Cosmetics
(Singapore) Pte Ltd, dapat diidentifikasi bahwa TPS dalam kasus ini adalah pilihan
hukum. Hal ini disebabkan oleh adanya Perjanjian Distribusi Ekslusif, yang mengikat
antara Penggugat dan Tergugat, dimana di dalamnya terdapat klausula pilihan hukum

9
dalam Pasal XX, yang secara tegas telah menyatakan bahwa hukum yang berlaku
untuk perjanjian tersebut adalah hukum Singapura, dan segala sengketa dan
perbedaan pendapat akan diselesaikan melalui arbitrase di Singapura sesuai dengan
SIAC Rules. Selanjutnya akan dikupas lebih lanjut tentang pilihan hukum:
• Pilihan Hukum
Pilihan hukum adalah kebebasan yang diberikan kepada para pihak
dalam bidang perjanjian untuk memeilih sendiri hukum yang hendak
dipergunakan di dalam perjanjian itu. Kewenangan pilihan hukum
terbatas pada bidang hukum kontrak saja. Persoalan pemilihan hukum
ini muncul pada situasi dimana terdapat dua pihak atau lebih yang
melakukan perjanjian yang bersifat internasional.
Dalam ilmu hukum perdata internasional dikenal empat macam pilihan
hukum:
1. Pilihan hukum secara tegas. Pilihan hukum ini terjadi ketika
pilihan hukum dilakukan oleh para pihak yang melangsungkan
kontrak secara jelas, dengan sedemikian banyak perkataan,
mencantumkan bahwa para pihak telah memilih suatu hukum
beserta ketentuan lainnya. Dalam hal ini, pilihan hukum tertera
secara jelas dalam kontrak; tidak ada keraguan tentang maksud
para pihak.
2. Pilihan hukum secara diam-diam. Pilihan hukum ini terjadi bila
maksud para pihak dapat disimpulkan dari tingkah laku atau
perbuatan-perbuatan yang menunjuk kearah hukum yang
dimaksud.
3. Pilihan hukum secara dianggap. Menurut teori ini, pilihan
hukum ini ditarik oleh hakim yang mengadili, dengan dasar
dugaan hukum, yang dijadikan pegangan bahwa para pihak,
meskipun sebenarnya tidak berfikir untuk mengarah ke sistem
hukum tersebut, telah menghendaki berlakunya suatu sistem
hukum tertentu. Contoh dari pilihan hukum secara dianggap ini
adalah penundukan sukarela kepada hukum perdata Eropa yang
diatur dalam Staatsblad 1917 No. 12.
4. Pilihan hukum hipotesis. Pilihan hukum ini tidak jauh berbeda
dengan pilihan hukum secara dianggap. Namun, dalam pilihan

10
hukum hipotesis, para pihak yang terlibat sama sekali tidak ada
kemauan untuk memilih sendiri hukum yang sepatutnya
diperlakukan, sehingga hakim harus berhipotesis untuk
memilih suatu pilihan hukum yang berlaku untuk kontrak yang
mengikat di antara para pihak yang berperkara.
Dalam hal ini, pilihan hukum yang telah disepakati oleh kedua belah
pihak adalah pilihan hukum secara tegas. Hal ini dapat dilihat dari
konstruksi Pasal XX yang tidak menimbulkan keraguan lagi, dengan
diksi yang sangat jelas, bahwa hukum yang berlaku untuk perjanjian
tersebut adalah hukum Singapura, dan segala sengketa dan perbedaan
pendapat akan diselesaikan melalui arbitrase di Singapura sesuai
dengan SIAC Rules.

11
C. KESIMPULAN
Penulis setuju dengan putusan yang dikeluarkan oleh Majelis Hakim
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan terhadap perkara antara PT. Fega Indotama dengan
LVMH Fragances & Cosmetics (Singapore) Pte Ltd. Perjanjian Distribusi Ekslusif
yang menjadi objek perkara sangat jelas, bahwa pilihan hukum secara tegas. Hal ini
dapat dilihat dari konstruksi Pasal XX yang tidak menimbulkan keraguan lagi, dengan
diksi yang sangat jelas, bahwa hukum yang berlaku untuk perjanjian tersebut adalah
hukum Singapura, dan segala sengketa dan perbedaan pendapat akan diselesaikan
melalui arbitrase di Singapura sesuai dengan SIAC Rules. LVMH Fragances &
Cosmetics (Singapore) Pte Ltd, yang dalam perkara ini bertindak sebagai Tergugat,
membawa jawaban dan eksepsi yang rapih dan mengupas hukum, khususnya aspek-
aspek hukum perdata internasional, dengan sangat jelas. Berdasarkan surat gugatan
yang dibentuk oleh PT. Fega Indotama sebagai Penggugat, Penggugat kurang
memerhatikan perjanjian yang dibuat di antara mereka, dan tidak memerhatikan
dampak klausula Pasal XX terhadap kedua belah pihak.
Saran penulis untuk semua pihak yang terlibat dalam kontrak untuk
kedepannya, agar tiap pihak memerhatikan dan mempertimbangkan setiap klausula
dalam perjanjian untuk kedepannya, termasuk hukum perdata internasional, agar
meminimalisir terjadinya permasalahan di antara para pihak yang melakukan
perjanjian.

12
DAFTAR PUSTAKA

Peraturan Perundang-undangan
Indonesia. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
________. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase.

Buku
Gautama, Sudargo. Hukum Perdata Internasional. Alumni, 2008
_______________. Pengantar Hukum Perdata Internasional. Alumni, 2012.
Tan, Cheng Han dan Walter Woon. Walter Woon oon Company Law. Sweet and
Maxwell, 2009.

13

Anda mungkin juga menyukai