Anda di halaman 1dari 20

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Permasalahan

Setiap negara di dunia ini mempunyai perbedaan-perbedaan dalam hal sumber daya alam, letak geografis, iklim, sumber daya manusia, serta keadaan struktur ekonomi dan sosial, yang menciptakan adanya perbedaan barang-barang yang dihasilkan, biaya produksi serta mutu barangnya. Atas dasar hal tersebut terciptalah suatu ketergantungan suatu negara terhadap negara lain dalam bentuk transaksi jual beli yang melewati batas negara. Didasarkan pada perbedaan-perbedaan tersebut, dapat dilihat bahwa tidak ada satu negarapun yang mungkin untuk memproduksi sendiri seluruh barang-barang kebutuhannya. Kemustahilan untuk memproduksi sendiri seluruh kebutuhan tersebut

mengakibatkan ketergantungan antar negara, khususnya dalam bentuk transaksi jual beli antar negara-negara tersebut. Jual beli yang antar negara-negara, yang melewati batas negara termasuk ke dalam ruang lingkup jual beli internasional. Jual beli internasional terlebih dahulu harus dinilai atau ditelusuri apakah hubungan hukumnya termasuk dalam persoalan Hukum Perdata Internasional atau tidak. Suatu hubungan Hukum Perdata Internasional akan lahir bilamana terdapat titik pertalian primer dalam hubungan hukum tersebut.1 Titik pertalian primer (TPP)2 inilah yang kemudian menciptakan adanya suatu unsur asing dalam suatu hubungan hukum. Terdapatnya TPP dalam suatu hubungan hukum jual beli internasional yang dapat berbentuk dalam hal perbedaan kewarganegaraan, perbedaan domisili, perbedaan tempat kediaman, perbedaan pilihan hukum asing dalam hubungan hukum intern,
1

Sudargo Gautama, Hukum Perdata Internasional Indonesia, Buku Kedua, (Bandung: Eresco, 1974), hal. 25. 2 Titik-titik pertalian primer untuk Hukum Perdata Internasional antara lain adalah kewarganegaraan para pihak, bendera kapal, domisili dari para pihak, tempat kediaman para pihak, tempat kediaman para pihak, tempat kedudukan badan hukum dari para pihak, dan pilihan hukum dalam hubungan intern. Ibid., hal. 26-27.

perbedaan tempat kedudukan badan hukum para pihak dalam suatu wilayah negara yang berbeda menyebabkan jual beli internasional termasuk ke dalam suatu persoalan Hukum Perdata Internasional (HPI). Sudargo Gautama, menyatakan bahwa titik pertalian primer memberikan petunjuk kepada kita bahwa apakah sedang terjadi suatu permasalahan HPI atau tidak dalam suatu peristiwa hukum.3 Bila telah terdapat suatu perbedaan-perbedaan yang termasuk ke dalam titik pertalian primer tersebut, dan suatu permasalahan telah diidentifikasikan sebagai permasalahan HPI, maka selanjutnya dapat ditentukan hukum mana yang berlaku atas permasalahan tersebut. Mengenai arti dari istilah Internasional dalam Hukum Perdata Internasional, sebenarnya bukanlah menunjuk pada sumber hukum HPI yang internasional, istilah Internasional hanya menunjuk pada fakta atau materinya yang bersifat internasional.4 Jadi artinya bahwa istilah Internasional pada Hukum Perdata Internasional Indonesia tidak serta merta berarti bahwa sumber hukumnya adalah supranasional, melainkan sumber hukumnya adalah hukum nasional suatu negara belaka. Dengan kata lain bahwa tiap-tiap negara mempunyai Hukum Perdata Internasional-nya sendiri, yang bersumber pada hukum nasionalnya masing-masing. Hal ini dapat pula tersirat dalam buku yang ditulis oleh S.Van Brakel, Grondslagen en beginselen van Nederlansch internationaal privaatrecht, yang menyiratkan hal yang sama yaitu bahwa Hukum Perdata Internasional bersumber pada hukum nasional masing-masing negara, bukanlah bersifat supranasional.5 Hal yang sama berlaku bagi jual beli internasional, bahwa sifat internasional pada istilah ini diartikan bahwa pada jual beli yang demikian bukanlah bersifat supra nasional, melainkan tetap bersumber pada hukum nasional masing-masing negara. Jual beli yang demikian memiliki unsur(-unsur) asing. Unsur-unsur asing yang demikian adalah bahwa subyek hukum dari jual beli tersebut adalah berasal dari negara yang berbeda yang mempunyai yurisdiksi yang berbeda; terdapat pergerakan dari obyek
Sudargo Gautama, Hukum Perdata Internasional Indonesia, Buku Kedua, (Bandung: Eresco, 1974), hal. 25. 4 Sudargo Gautama, Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia, cet. 5, (Bandung: Binacipta, 1987), hal. 3 s.d 5. 5 S. Van Brakel, Grondslagen en beginselen van Nederlands internationaal privaatrecht, cet. 2. (Zwolle: W.E.J. Tjeenk Willink, 1950)
3

transaksi yang melintasi batas suatu negara ke negara lain; atau terjadinya kesepakatan para pihak untuk menundukan jual beli tersebut kepada suatu sistem hukum tertentu (Pilihan Hukum dalam hubungan intern). Dalam pelaksaan jual beli internasional, pertama-tama haruslah dibuat suatu perjanjian atau kontrak, yang dapat berbentuk tertulis maupun lisan, yang penting haruslah terdapat unsur-unsur asing yang telah dituliskan secara singkat diatas. Seiring dengan pesatnya perkembangan jual beli internasional, berakibat kepada terjadinya suatu perkembangan juga pada Hukum Perdata Internasional. Pentingnya transaksi jual beli yang bersifat internasional ini menuntut terjadinya kesepakatan antar Negara dalam bentuk konvensi (perjanjian) internasional yang tujuannya adalah untuk mempermudah arus transaksi jual beli dari permasalahan hukum yang mungkin terjadi akibat adanya perbedaan sistem hukum yang digunakan oleh para pihak. Pada dasarnya, konvensi-konvensi Hukum Perdata Internasional yang mengatur tentang hal mengenai jual beli internasional adalah 1. Convention on the Law Applicable to International Sales of Goods (Konvensi tentang Hukum yang Berlaku untuk Jual Beli Internasional Benda-benda Bergerak), 1955. 2. Uniform Law on the International Sale of Goods (Hukum Uniform Jual Beli Internasional Benda-benda Bergerak), 1964, dan 3. Convention on Contracts for the International Sale of Goods (Konvensi tentang Kontrak-kontrak Jual Beli Internasional), 1980. Sampai saat ini memang belum ada satu dari ketiga konvensi tersebut yang telah diratifikasi oleh Indonesia, sehingga akibatnya ketiganya bukan merupakan kaedah hukum bagi Indonesia. Namun, ketiga konvensi tersebut telah memiliki kekuatan berlaku dan telah digunakan dalam praktek jual beli internasional, sehingga merupakan keuntungan tersendiri apabila Indonesia ikut menggunakan ketentuan-ketentuan yang ada di ketiga konvensi tersebut dalam praktek jual beli internasional di Indonesia yang kemudian dapat mempermudah transaksi jual beli internasional dan membantu menyelesaikan permasalah yang timbul. Pada tahun 1986 diadakan konvensi jual beli internasional yang terbaru, yaitu Convention on the Law Applicable to Contracts for the International Sale of Goods

(Konvensi

tentang Hukum

yang Berlaku

untuk

Kontrak-kontrak Jual

Beli

Internasional), namun konvensi ini belum mempunyai kekuatan berlaku karena belum tercukupinya negara-negara yang meratifikasi konvensi ini. Makalah ini akan meneliti tentang perjanjian mengenai transaksi jual beli yang melewati batas-batas negara dimana tempat kedudukan para pihak yang melakukan perjanjian terletak pada wilayah yurisdiksi negara yang berbeda, serta proses perpindahan obyek perjanjian harus melewati batas negara. Tujuan dari transaksi jual beli internasional (yang obyek perjanjiannya melintasi batas negara) adalah untuk mendapatkan keuntungan dari adanya spesialisasi, selain untuk memperoleh barangbarang kebutuhan yang tidak dapat diproduksi sendiri di dalam negeri akibat keterbatasan kemampuan yang dimiliki negara tersebut.6 Makalah ini akan menganalisis apakah perjanjian jual beli alat berat antara Bauer Technologies Far East Pte. Ltd., dengan PT Masterpancang Pondasi sudah memenuhi unsur-unsur yang diperlukan sehingga perjanjian tersebut dikatakan sebagai perjanjian jual beli internasional atau tidak, dikaitkan dengan konvensi-konvensi jual beli internasional.

1.2. Pokok Permasalahan

Pembahasan dalam makalah individual ini akan dibatasi pada satu perjanjian jual beli internasional yaitu perjanjian jual beli alat berat antara Bauer Technologies Far East Pte. Ltd., dengan PT. Masterpancang Pondasi. Pokok-pokok permasalahan penulisan makalah individual ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana prinsip-prinsip pokok HPI yang terdapat dalam ketentuan Konvensi Jual Beli Internasional 1955, 1964, 1980, dan 1986? 2. Sejauh mana prinsip-prinsip pokok HPI yang terkandung dalam ketentuan Konvensi Jual Beli Internasional 1955, 1964, 1980 diterapkan dalam perjanjian jual beli alat berat antara Bauer Technologies Far East Pte. Ltd., dengan PT Masterpancang Pondasi?
6

Erman Rajagukguk et al., Jual Beli Barang secara Internasional (Jakarta: Elips Project, 1998),

hal. 51.

1.3. Tujuan Penulisan

1. Mencari tahu prinsip-prinsip pokok HPI yang terdapat dalam ketentuan Konvensi Jual Beli Internasional 1955, 1964, 1980, dan 1986. 2. Mencari tahu penerapan prinsip-prinsip pokok HPI yang terkandung dalam ketentuan Konvensi Jual Beli Internasional 1955, 1964, 1980 dalam perjanjian jual beli alat berat antara Bauer Technologies Far East Pte. Ltd., dengan PT Masterpancang Pondasi.

1.4. Kerangka Konsep

Kerangka konsepsional merupakan kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus, yang ingin atau akan ditulis.7 Dalam rangka penulisan makalah ini, akan digunakan beberapa konsep-konsep khusus. Bagian ini ditujukkan untuk memberikan penjelasan mengenai konsep-konsep khusus tersebut demi tercapainya pemahaman yang cukup terhadap penggunaan konsep-konsep ini. Adapun konsep-konsep yang dimaksud adalah: 1. Jual beli yang bersifat internasional adalah jual beli yang dianggap sebagai kebalikan dari jual beli yang hanya bersifat intern, yakni dimana sama sekali tidak ada kontak dengan system hukum luar negeri, sama sekali tak ada foreign element, taka da foreign contact.8 2. Perdagangan internasional merupakan transaksi jual beli (atau imbal beli) lintas Negara, yang melibatkan dua pihak yang melakukan jual beli yang melintasi batasan kenegaraan. Pihak-pihak ini tidaklah harus merupakan pihak-pihak yang berasal dari Negara yang berbeda atau memiliki nasionalitas yang berbeda.

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cet.3, (Jakarta:Universitas Indonesia, 2007),

hal. 19.

Sudargo Gautama, Hukum Perdata Internasional Indonesia, Buku Kedelapan, (Bandung: Penerbit Alumni, 2002), hal. 53.

3. Perjanjian jual beli adalah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan.9 4. Jual beli adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikat dirinya untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan.10

Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), diterjemahkan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, cet. 28, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1996), ps. 1457 10 R. Subekti, Hukum Perjanjian, cet. 12, (Jakarta: Intermasa, 1990), hal. 79.

BAB II ISI

2.1. Tinjauan Umum Perjanjian Jual Beli Internasional

Hukum Perjanjian adalah salah satu bagian penting, bahkan mungkin merupakan bagian terpenting dari Hukum Perdata Internasional, dimana banyak sekali terdapat hubungan-hubungan internasional yang terletak dalam bidang hukum perjanjian ini, terutama dengan tertariknya Indonesia secara langsung dalam pergaulan lalu lintas perdagangan Indonesia.11 Suatu perjanjian melahirkan hubungan hukum antara dua orang yang melakukan perjanjian tersebut. Menurut pasal 1457 KUHPerdata, jual beli adalah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan. Istilah jual beli yang berasal dari istilah koop en verkoop (bahasa Belanda), menunjukkan adanya perbuatan menjual di satu pihak dan perbuatan membeli di pihak lain, yang mana istilah ini menunjukkan suatu perbuatan timbal balik. Dalam hal ini, hal yang harus seorang penjual serahkan kepada seorang pembeli adalah hak milik atas barang, bukan kekuasaan atas barang tersebut. Sedangkan yang harus diberikan oleh sang pembeli adalah membayar sejumlah harga (sudah semestinya harga adalah dalam bentuk uang) yang telah disepakatinya kepada penjual. Pada saat kedua belah pihak telah sepakat mengenai barang dan harga, maka perjanjian jual beli lahir. Perjanjian jual beli internasional yang dibuat oleh para pihak dapat terjadi secara tertulis, maupun lisan. Perjanjian yang dibuat secara tertulis disebut juga dengan kontrak.12Masalah jual beli internasional selalu menarik perhatian para sarjana hokum sejak dahulu, pun halnya dengan para pedagang atau pengusaha industry, badan-badan ilmiah serta organisasi internasional yang mencita-citakan tercapainya unifikasi

Sudargo Gautama, op. cit., hal. 1. J.C.T. Simorangkir, J.T. Prasetyo dan Rudy T. Erwin, Kamus Hukum (Jakarta: Majapahit, 1972), hal. 61.
12

11

hukum.13 Meskipun memang untuk mencapai kesatuan hokum untuk masalah jual beli internasional ini tidaklah mudah. Untuk paling tidak sedikit membantu tercapainya unifikasi hokum dalam hal jual beli internasional ini, telah diadakan beberapa Konvensi HPI yang mengatur tentang jual beli internasional, yaitu: A. Convention on the Law Applicable to International Sales of Goods (Konvensi tentang Hukum yang Berlaku untuk Jual Beli Internasional Benda-benda Bergerak), 1955. B. Uniform Law on the International Sale of Goods (Hukum Uniform Jual Beli Internasional Benda-benda Bergerak), 1964. C. Convention on Contracts for the International Sale of Goods (Konvensi tentang Hukum yang Berlaku untuk Kontrak-kontrak Jual Beli

Internasional), 1986. D. Convention on the Law Applicable to Contracts for the International Sale of Goods (Konvensi tentang Hukum yang Berlaku untuk Kontrak-kontrak Jual Beli Internasional), 1986.

A. Konvensi Jual Beli Internasional 1951, 1955 Convention on the Law Applicable to International Sales of Goods (Konvensi tentang Hukum yang Berlaku untuk Jual Beli Internasional Benda-benda Bergerak) diterima tahun 1951 dan mulai ditandatangani pertama kali pada tanggal 15 Juni 1955 oleh Belgia. Sehingga, konvensi ini sering disebut sebagai Konvensi Jual Beli Internasional 1951, 1955.

1. Pengertian dan luas bidang Konvensi ini berlaku hanya bagi jual beli benda-benda bergerak yang bersifat internasional, namun tidak diatur secara khusus apa sebenarnya pengertian jual beli internasional. Jual beli menjadi bersifat internasional apabila terdapat kontak dengan sistem hukum luar negeri atau terdapat unsur asing, sehingga bidang jual beli
Sudargo Gautama, Indonesia dan Konvensi-konvensi Hukum Perdata Internasional (Bandung: Alumni, 1978), hal. 138.
13

internasional sangat luas menurut konvensi ini. Konvensi ini tidak berlaku untuk jual beli sekuritas; kapal atau pesawat terbang yang didaftarkan; dan jual beli melalui pengadilan atau karena pelaksanaan eksekusi.14

2. Unifikasi hukum Konvensi ini hendak mengatasi kesulitan-kesulitan di bidang HPI mengenai hokum yang harus dipergunakan dalam jual beli internasional, sehingga unifikasi hokum yang dilakukan dalam konvensi ini adalah melalui unifikasi kaedah-kaedah HPI. Konvensi ini mewajibkan negara-negara peserta untuk memasukkan ketentuanketentuan pokok konvensi (pasal 1 s.d. pasal 6) dalam hukum nasional mereka masingmasing,15 akan tetapi memperbolehkan ketentuan konvensi ini dikesampingkan apabila bertentangan dengan ketertiban umum.16

3. Pembentukan kontrak Ketentuan ini menyatakan bahwa Konvensi Jual Beli 1951, 1955 tidak mengatur mengenai masalah pembentukan kontrak.17

4. Pilihan hukum Kebebasan untuk melakukan pilihan hukum diberikan konvensi ini kepada para pihak. Kebebasan melakukan pilihan hukum disimpulkan dari ketentuan pasal 2 alinea pertama konvensi ini yang menyatakan bahwa suatu perjanjian diatur oleh hukum nasional suatu negara yang dipilih para pihak. Pilihan hukum harus dinyatakan secara tegas atau dapat disimpulkan secara jelas berdasarkan isi perjanjian.18

5. Pilihan forum Konvensi ini tidak mengatur mengenai masalah pilihan forum.

14 15

Konvensi Jual Beli 1951, 1955, ps. 1 alinea 2. Ibid, ps. 7. 16 Ibid, ps. 6. 17 Ibid, ps. 5 angka 2. 18 Ibid, ps. 2 ayat (2).

B. Konvensi Jual Beli Internasional 1964 Konvensi ini dihasilkan di Den Haag pada tanggal 2 s.d. 25 April 1964 dalam Konferensi Diplomatik itu. Konvensi Jual Beli 1964 diterima pada tanggal 1 Juli 1964.19 Pada tanggal 31 Desember 1965 konvensi ini ditandatangani oleh 11 negara. Terdapat berbagai salah tafsir antara Konvensi Jual Beli 1951, 1955 dan Konvensi Jual Beli 1964 karena tidak terdapat koordinasi antara keduanya.

1. Pengertian dan luas bidang Pengertian jual beli internasional tidak dirumuskan dalam Konvensi Jual Beli 1964. Konvensi ini berlaku untuk jual beli internasional atas benda bergerak berwujud yang memenuhi 2 (dua) syarat mutlak, yaitu: Syarat subyektif Para pihak mempunyai tempat kediaman di negara yang berbeda pada saat perjanjian jual beli dilangsungkan. Syarat obyektif a) Pada saat perjanjian ditutup, barang-barang obyek perjanjian jual beli harus diangkut atau akan diangkut dari suatu negara ke negara lain; atau b) Perbuatan penawaran dan penerimaan penawaran dilakukan dalam wilayah negara yang berbeda; atau c) Negara tempat pengiriman barang dilangsungkan berbeda dengan negara tenpat dilakukannya penawaran dan penerimaan.

2. Unifikasi hukum Untuk mencapai unifikasi hukum, konvensi ini menggunakan unifikasi seluruh system hukum (kaedah-kaedah materiil) negara-negara yang menandatangani konvensi ini. Negara-negara tersebut wajib untuk menginkorporasikan ketentuan konvensi ke dalam peraturan perundang-undangan nasional mereka.20

19 20

Konvensi Jual Beli 1964, ps. 1 ayat (5). Sudargo Gautama, Hukum Perdata dan Dagang Internasional (Bandung: Alumni, 1980), hal.

234.

10

Sehingga tidak perlu lagi adanya pembuktian terhadap konvensi ini, dan dapat diuji oleh Mahkamah Peradilan tertinggi negara yang bersangkutan apabila timbul sengketa di kemudian hari.

3. Pembentukan kontrak Konvensi ini tidak mengatur mengenai pembentukan kontrak jual beli internasional.21 Namun, menurut ketentuan Konvensi Jual Beli 1964, tidak ada persyaratan formal atau formalitas tertentu dalam pembentukan kontrak.22

4. Pilihan hukum Prinsip pilihan hukum dalam konvensi ini bersifat lebih luas dibandingkan Konvensi Jual Beli 1951, 1955. Para pihak dapat mengesampingkan sebagian atau seluruh konvensi ini. Pilihan hukum baik secara tegas atau diam-diam.

5. Pilihan forum Pilihan forum tidak diatur dalam konvensi ini.

C. Konvensi Jual Beli Internasional 1980 Pada tanggal 10 Maret s.d. 11 April 1980 diadakan konferensi diplomatic PBB di Vienna yang dihadiri oleh 62 negara. Konferensi PBB ini menghasilkan penerimasn Convention on Contracts for the International of Goods (Konvensi tentang Kontrak-kontrak Jual Beli Internasional) yang disebut dengan Konvensi Jual Beli 1980. Konvensi ini dibuka untuk penandatanganan pada tanggal 11April 1980 dan mulai mempunyai kekuatan berlaku sejak tanggal 1 Januari 1988.

1. Pengertian dan luas bidang Konvensi Jual Beli 1980 berlaku untuk jual beli bagi para pihak yang mempunyai tempat usaha di negara yang berbeda:
21 22

apabila negara-negara tersebut adalah peserta konvensi, atau

Konvensi Jual Beli 1964, ps. 8. Ibid, ps. 15.

11

jika kaedah Hukum Perdata Internasional menunjukkan berlakunya hukum negara peserta.23

Keberlakuan konvensi ini tidak memperhatikan kewarganegaraan para pihak, sifat perdata atau dagang para pihak atau kontrak.24 Pengertian goods dan jual beli internasional tidak dirumuskan dalam ketentuan konvensi ini. Konvensi ini berlaku bagi perjanjian penyediaan barang untuk diproduksi apabila pihak penyedia barang berkewajiban menyediakan bagian terpenting yang diperlukan untuk proses produksi tersebut akan tetapi penyediaan tenaga kerja atau jasa lainnya tidak menjadi kewajibannya. Konvensi ini hanya mengatur tentang pembentukan kontrak jual beli internasional serta hak dan kewajiban para pihak yang timbul dari kontrak.

2. Unifikasi hukum Konvensi ini merupakan suatu model kontrak yang dapat dipakai atau dikesampingkan para pihak. UNCITRAL mempergunakan konvensi ini mencapai harmonisasi kaedah-kaedah hukum dagang internasional.

3. Pilihan hukum Berdasarkan pada ketentuan pasal 6 konvensi ini, para pihak dapat meniadakan, menyimpang atau seluruh ketentuan konvensi ini. Hal tersebut berarti para pihak diberi kebebasan untuk menentukan hukum yang berlaku bagi perjanjian jual beli mereka.

4. Pilihan forum Pilihan forum tidak diatur dalam konvensi ini.

D. Konvensi Jual Beli Internasional 1986 Konvensi ini belum memiliki kekuatan berlaku karena negara peserta konvensi belum mencapai lima negara.25

23 24

Konvensi Jual Beli 1980, ps. 1 ayat (1). Ibid, ps. 1 ayat (3). 25 Konvensi Jual Beli 1986, ps. 27 ayat (1).

12

Jika konvensi ini telah memiliki kekuatan berlaku, maka konvensi ini akan menggantikan Konvensi Jual Beli 1951, 1955.

1. Pengertian dan luas bidang Konvensi ini berlaku untuk jual beli antara para pihak yang mempunyai tempat usaha dalam wilayah negara yang berbeda atau melakukan pilihan hukum asing untuk jual beli tersebut. Konvensi ini tidak memberikan definisi dari jual beli internasional. Konvensi ini berlaku bagi perjanjian berdasarkan dokumen (pasal 2 Konvensi Jual Beli 1986), dan perjanjian penyediaan barang yang akan diproduksi asalkan penyediaan bagian terpenting untuk proses produksi menjadi kewajiban pihak penyedia barang dan penyedia barang tidak berkewajiban menyediakan tenaga kerja atau jasa lainnya.

2. Unifikasi hukum Unifikasi hukum yang dilakukan dalam konvensi ini adalah unifikasi dari kaedah-kaedah HPI. Konvensi ini hendak mengatasi kesulitan-kesulitan di bidang HPI tentang masalah hukum yang berlaku untuk kontrak jual beli internasional.

3. Pembentukan kontrak Ketentuan konvensi ini mengatur bahwa pembentukan kontrak tidak memerlukan persyaratan formal.

4. Pilihan hukum Para pihak dapat melakukan pilihan hukum untuk sebagian atau keseluruhan kontrak, asalkan pilihan hukum tersebut dilakukan secara tegas dan jelas baik dalam ketentuan kontrak maupun melalui tindakan para pihak. Jika tidak dilakukan pilihan hukum maka hukum yang berlaku adalah hukum negara dimana penjual mempunyai tempat usaha.

5. Pilihan forum Konvensi ini tidak mengatur mengenai masalah pilihan forum.

13

2.2. Ringkasan mengenai Perjanjian Jual Beli Alat Berat antara Bauer Technologies Far East Pte. Ltd., dengan PT Masterpancang Pondasi

Dalam penulisan makalah individu ini akan dianalisa satu perjanjian jual beli internasional dikaitkan dengan segi-segi Hukum Perdata Internasional dan dikaitkan dengan konvensi-konvensi mengenai jual beli internasional yang ada. Perjanjian yang akan dianalisa adalah perjanjian jual beli alat berat antara sebuah perusahaan asing, yaitu Bauer Technologies Far East Pte. Ltd., dengan perusahaan Indonesia, yaitu PT Masterpancang Pondasi. Perjanjian jual beli internasional yang akan dianalisa dari segi-segi Hukum Perdata Internasional dalam bahasan makalah individual ini adalah Sales & Purchase Agreement KTFAGRSG201010001 antara PT Masterpancang Pondasi, Indonesia, dan Bauer Technologies Far East Pte. Ltd., Singapura.

2.2.1. Sales & Purchase Agreement KTFAGRSG201010001 (terlampir) Perjanjian jual beli ini dibuat antara: Bauer Technologies Far East Pte. Ltd., sebagai penjual, beralamat di 27, Senoko Road, Singapore 758135; dan PT Masterpancang Pondasi, sebagai pembeli, beralamat di Jalan A.M. Sangaji No. 11K, Jakarta Pusat, 10160, Indonesia.

2.2.2. Perihal Perjanjian a. PT Masterpancang Pondasi mengirimkan suatu penerimaan penawaran kepada Bauer Technologies Far East Pte. Ltd. melalui mesin faks. b. Penerimaan penawaran ini perihal keinginan PT Masterpancang Pondasi membeli alat berat (drilling rig dan kelly bar) dan aksesorisnya dari Bauer Technologies Far East Pte. Ltd. dengan kondisi-kondisi tertentu seharga 360.000.00 totalnya. c. Jangka waktu Bauer Technologies Far East Pte. Ltd. untuk menyetujui penerimaan penawaran PT Masterpancang Pondasi adalah 7 (tujuh) hari dan cara penerimaan penawaran dengan menandatangani penawaran dan mengirimkannya kembali kepada PT Masterpancang Pondasi.

14

d. Dalam jangka waktu yang disyaratkan, Bauer Technologies Far East Pte. Ltd. mengirimkan persetujuannya kepada PT Masterpancang Pondasi melalui mesin faks. e. Lahirlah kontrak jual beli internasional antara Bauer Technologies Far East Pte. Ltd. dan PT Masterpancang Pondasi. f. Sampai berakhirnya kontrak jual beli internasional ini, tidak terjadi suatu masalah hukum antara para pihak, perjanjian jual beli internasional antara para pihak berjalan dengan baik.

2.3. Analisa Perjanjian

PT Masterpancang Pondasi beralamat di Jalan A.M. Sangaji No. 11K, Jakarta Pusat 10160, Indonesia. Alamat PT Masterpancang Pondasi ini diasumsikan sebagai tempat kedudukannya, yang kemudian dengan asumsi ini, PT Masterpancang Pondasi berkedudukan di Indonesia. Berdasarkan teori tempat kedudukan secara statutair26, maka hukum yang berlaku bagi PT Masterpancang Pondasi adalah Hukum Indonesia. Bauer Technologies Far East Pte. Ltd. beralamat di 27, Senoko Road, Singapore 75813. Alamat ini diasumsikan sebagai tempat kedudukannya, sehingga dengan asumsi ini, Bauer Technologies Far East Pte. Ltd. Berkedudukan di negara Singapura. Berdasarkan teori tempat kedudukan secara statutair, maka hukum yang berlaku bagi Bauer Technologies Far East Pte. Ltd. adalah Hukum Singapura. Dengan demikian dalam perjanjian antara PT Masterpancang Pondasi dan Bauer Technologies Far East Pte. Ltd. terjadi pertautan dua stelsel hukum yang berbeda. Letak kedudukan para pihak dalam wilayah negara yang berbeda merupakan titik pertalian primer yang menyebabkan perjanjian jual beli menjadi bersifat internasional dan termasuk dalam ruang lingkup persoalan Hukum Perdata Internasional. Berdasarkan Konvensi Jual Beli 1951, 1955, perjanjian ini termasuk dalam ruang lingkup perjanjian jual beli internasional karena bersifat internasional dimana terjadi pertautan dua stelsel hukum yang berbeda. Begitupun halnya dengan Konvensi
Teori statutair menyatakan bahwa hukum yang berlaku bagi suatu badan hukum adalah hukum dari tempat dimana badan hukum yang bersangkutan berkedudukan. Lihat Sudargo Gautama, Hukum Perdata Internasional Indonesia, Buku Ketujuh, cet. 1 edisi ke-2, (Bandung: Alumni, 1995), hal. 337.
26

15

Jual Beli 1964, bahwa perjanjian jual beli ini termasuk kedalam perjanjian jual beli internasional, karena kediaman para pihak di negara yang berbeda dan barang-barang obyek perjanjian, drilling rig dan kelly bar, diangkut dari Singapura ke Indonesia. Berdasarkan Konvensi Jual Beli 1980, perjanjian jual beli ini termasuk dalam ruang lingkup perjanjian jual beli internasional karena tempat usaha para pihak di negara berbeda, serta transaksi jual beli bukan merupakan untuk keperluan pribadi, tidak melalui lelang dan bukan karena pelaksanaan eksekusi. Dalam pembuatan kontrak jual beli internasional ini, para pihak, PT Masterpancang Pondasi dan Bauer Technologies Far East Pte. Ltd. tidak hadir secara bersamaan di suatu tempat tertentu atau dengan kata lain contracts between absent persons. Keadaan ini karena para pihak membuat kontrak dengan cara surat-menyurat menggunakan mesin faks. Menjadi suatu pertanyaan, dimanakah sesungguhnya tempat pembuatan kontrak (locus contractus). Terjadi perbedaan kwalifikasi untuk menentukan hal ini. Dari yang telah diuraikan sebelumnya di perihal perjanjian, PT Masterpancang Pondasi, sebagai pembeli, mengirimkan persetujuannya atas penawaran Bauer Technologies Far East Pte. Ltd. (penerimaan penawaran) dari negara Indonesia. Berdasarkan mail-box theory, tempat pembuatan kontraknya adalah di Indonesia. Sedangkan berdasarkan acceptance theory, teori yang juga dianut Konvensi Jul Beli 198027, maka tempat pembuatan kontraknya adalah di Singapura. Menurut Konvensi Jual Beli 1980, ketika penerimaan penawaran PT Masterpancang Pondasi diterima oleh pemberi penawaran Bauer Technologies Far East Pte. Ltd. maka penerimaan penawaran telah berlaku efektif. Pada saat penerimaan penawaran berlaku efektif maka pembentukan kontrak dianggap selesai, sehingga pembentukan perjanjian jual beli internasional ini dianggap selesai pada saat penerimaan penawaran PT Masterpancang Pondasi diterima oleh Bauer Technologies Far East Pte. Ltd. Terdapatnya dua stelses hukum yang berbeda dalam perjanjian jual beli internasional ini menimbulkan pertanyaan hukum manakah yang berlaku bagi hubungan hukum antara Bauer Technologies Far East Pte. Ltd. dan PT Masterpancang Pondasi.

27

Konvensi Jual Beli 1980, ps. 18 ayat (2).

16

Untuk itu, menurut Prof. Sudargo Gautama, dipergunakanlah titik pertalian sekunder 28. Dalam perjanjian jual beli internasional ini tidak ditemukan hukum mana yang dipilih secara tegas, terlihat bahwa pada dasarnya tidak ada sama sekali kemauan para pihak untuk melakukan suatu pilihan hukum dalam kontrak yang mereka buat, sehingga pilihan hukum29 dari kontrak ini adalah pilihan hukum secara hipotesis. Prof. Sudargo Gautama mengatakan bahwa hukum yang dipilih para pihak dalam perjanjian jual beli internasional hanya mengatur mengenai pelaksanaan dan akibat-akibat perjanjian, bukan mengenai kesahan dan pembentukan perjanjian. Walaupun tidak secara tegas dipilih hukum mana yang berlaku bagi perjanjian jaul beli internasional ini, masingmasing pihak tetap harus mentaati ketentuan memaksa masing-masing negara lainnya yang bersangkutan, berkenaan dengan ekspor atau impor ke luar negeri. Sehingga hal ini meminimalisasi kemungkinan terjadinya sengketa dikemudian hari. Berkaitan dengan pilihan forum, pilihan hukum berbeda dengan pilihan forum. Sehingga meskipun tidak adanya pilihan hukum dalam perjanjian jual beli internasional ini, bukan berarti tidak ada badan peradilan yang dipilih sebagai badan atau forum yang berwenang untuk menyelesaikan masalah yang mungkin timbul. Dalam perjanjian jual beli internasional ini, para pihak melakukan pilihan forum. Para pihak memilih badan arbitrase di Singapura berdasarkan UNCITRAL Arbitration rules, yaitu Singapore International Arbitration Centre. Bila terjadi suatu sengketa dikemudian hari, maka penyelesaian sengketa antara kedua belah pihak diselesaikan sesuai dengan prosedur arbitrase ini, dan keputusan dari arbitrase ini adalah final dan mengikat bagi para pihak. Pelaksanaan dari proses arbitrase ini dilakukan dalam bahasa Inggris.

Titik pertalian sekunder adalah factor-faktor dan keadaan-keadaan yang menentukan hukum manakah yang harus dipilih daripada stelsel-stelsel hukum yang dipertautkan. Lihat Sudargo Gautama, Hukum Perdata Internasional Indonesia, Buku Kedua (Bandung: Eresco, 1986), hal. 22. 29 Lihat Sudargo Gautama, Hukum Perdata Internasional Indonesia, Buku Kelima, cet.2 yang diperbaiki, (Bandung: Alumni, 1992), hal. 28 s.d. 61.

28

17

BAB III PENUTUP

3.1. Kesimpulan

1. Ketidakmampuan negara-negara untuk memenuhi seluruh barang-barang yang menjadi kebutuhan menimbulkan atau mengakibatkan suatu

ketergantungan antar negara-negara tersebut dalam bentuk transaksi jual beli internasional yang melewati batas negara tersebut. Dalam hal ini, istilah internasional tersebut tidaklah menunjuk kepada sumber hukumnya, tetapi menunjuk kepada fakta atau materinya yang bersifat internasional. Sumber hukumnya tetaplah dari hukum nasional suatu negara yang bersangkutan. 2. Perkembangan jual beli internasional yang sangat pesat melahirkan konvensi-konvensi dalam bidang jual beli internasional yang memang membantu meminimalisasi sengketa yang mungkin timbul: Convention on the Law Applicable to International Sales of Goods (Konvensi tentang Hukum yang Berlaku untuk Jual Beli

Internasional Benda-benda Bergerak), 1955. Uniform Law on the International Sale of Goods (Hukum Uniform Jual Beli Internasional Benda-benda Bergerak), 1964. Convention on Contracts for the International Sale of Goods (Konvensi tentang Kontrak-kontrak Jual Beli Internasional), 1980 dan Convention on the Law Applicable to Contracts for the International Sale of Goods (Konvensi tentang Hukum yang Berlaku untuk Kontrak-kontrak Jual Beli Internasional) yang disebut dengan Konvensi Jual Beli 1986. 3. Konvensi Jual Beli 1955, 1964 dan 1980 telah digunakan dalam praktek jual beli internasional, sedangkan Konvensi Jual Beli 1986 berkekuatan berlaku. Saat Konvensi Jual Beli 1986 mempunyai kekuatan berlaku, maka konvensi ini akan menggantikan Konvensi Jual Beli 1955.

18

4. Indonesia belum meratifikasi Konvensi Jual Beli 1955, 1964, 1980 dan 1986. 5. Asas pilihan hukum dianut dalam Konvensi Jual Beli 1955, 1964, 1980 dan 1986. 6. Memang Indonesia belum meratifikasi semua Konvensi Jual Beli tersebut, namun sebagian perjanjian jual beli internasional di Indonesia telah menerapkan prinsip pokok HPI yang terkandung dalam konvensi-konvensi jual beli tersebut yaitu melakukan pilihan hukum. 7. Pilihan forum tidak diatur dalam Konvensi Jual Beli 1955, 1964, 1980, 1986.

19

DAFTAR PUSTAKA

Brakel, S. Van, Grondslagen en beginselen van Nederlands Internationaal Privaatrecht. Cet. 2. Zwolle: W. E. J. Tjeenk Willink, 1950. Convention on Contracts for the International Sale of Goods (Konvensi Jual Beli 1980). Convention on the Law Applicable to Contracts for the International Sale of Goods (Konvensi Jual Beli 1986). Convention on the Law Applicable to International Sales of Goods (Konvensi Jual Beli 1955). Gautama, Sudargo. Hukum Perdata Internasional Indonesia, Buku Kedua. Bandung: Eresco, 1974. _______________. Indonesia dan Konvensi-konvensi Hukum Perdata Internasional. Bandung: Alumni, 1978. _______________. Hukum Perdata dan Dagang Internasional. Bandung: Alumni, 1980. _______________. Hukum Perdata Internasional Indonesia, Buku Kelima. Cet. 2 yang diperbaiki. Bandung: Alumni, 1992. _______________. Hukum Perdata Internasional Indonesia, Buku Ketujuh. Cet. 1 edisi ke-2. Bandung: Alumni, 1995. _______________. Hukum Perdata Internasional Indonesia, Buku Kedepan. Cet. 3. Bandung: Alumni, 1998. Indonesia. Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek). Diterjemahkan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio. Cet. 28. Jakarta: Pradnya Paramita, 1996. Rajagukguk, Erman et al. Jual Beli Barang secara Internasional. Jakarta: Elips Project, 1998. Simorangkir, J. C. T., J. T. Prasetyo dan Rudy T. Erwin. Kamus Hukum. Jakarta: Majapahit, 1972. Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum, Cet.3. Jakarta: Universitas Indonesia, 2007.

20

Anda mungkin juga menyukai