Anda di halaman 1dari 3

Nama : Faras Ramadhan

NIM : D1A021137
Mata Kuliah : Hukum Perdata Internasional
Dosen Pengampu : H. Zaeni Asyhadie, SH.,M.Hum.

Ujian Tengah Semester


Hukum Perdata Internasional
Soal
1. Sebutkan cara-cara menentukan Status Personal seseorang dalam HPI masing-masing negara
yang ada di dunia.!.
2. Kata “Internasional” dalam Hukum Perdata International tidak menununjukkan adanya
Hukum Perdata yang berlaku secara internasional. Lalu apa makna kata “internasional” dalam
Hukum Perdata Internasional tersebut ?.
3. Apa makna istilah-istilah berikut :
a. Lex Loci Contractus
b. Lex Rei Sitae
c. Lex Loci Delicti
4. Dalam HPI dikenal adanya 2 (dua) Titik Taut, yaitu Titik Taut Primer dan Titik Taut Sekunder.
Jelaskan setelah ada Titik Taut Primer dalam suatu hubungan hukum, apakah akan selalu
diperlukan Titik Taut Sekunder ?. Berikan contoh

Jawaban

1. Terdapat 2 prinsip dalam menentukan Status Personal seseorang dalam HPI, yaitu :
a) Prinsip personalitas/ kewarganegaraan (lex patriae), Aliran personalitas menetukan
bahwa untuk status personel suatu pribadi berlaku hukum personelnya. Dalam arti
kata dimanapun seseorang itu atau dimana Negara manapun seseorang itu berada,
yang berlaku baginya adalah hokum kewarganegaraannya. Jadi kalau orang Indonesia
(WNI) diamanapun di berada Hukum Keperdtaan nasional Indonesia. Prinsip
kewarganegaraan berlaku di negara- negara Eropa kontinental (Civi Law). Termasuk
Negara jajahannya atau bekas jajahannya, termasuk Indonesia.
b) Prinsip teritorialitas/ domisili (lex domocillie), Aliran teritorialitas yang menentukan
bahwa status personel suatu pribadi tunduk pada hukum dinegara mana ia
berdomisilie. Ini berarti kalau orang Malayasia berdomisili di Indonesia maka yang
berlaku baginya adalah Hukum Nasional Indonesia. Prinsip ini berlaku di negara-
negara Anglo Saxon (Common Law), termasuk negaa jajahannya atau bekas Negara
jajahannya.

2. Dalam konteks hukum, kata "internasional" dalam Hukum Perdata Internasional tidak
merujuk pada adanya hukum perdata yang berlaku secara internasional, melainkan merujuk
pada hubungan hukum antara negara-negara yang berbeda dalam konteks perdata.
Hukum Perdata Internasional merupakan cabang dari hukum yang mengatur
hubungan hukum antar negara yang berbeda dalam hal-hal seperti kontrak internasional,
kepemilikan properti, warisan, gugatan perdata, dan lain-lain. Dalam hal ini, kata
"internasional" merujuk pada fakta bahwa hubungan hukum yang diatur oleh Hukum Perdata
Internasional melibatkan pihak-pihak dari negara-negara yang berbeda, yang dapat
memunculkan masalah hukum yang kompleks.
Dalam Hukum Perdata Internasional, pihak-pihak yang terlibat dalam suatu hubungan
hukum dapat memiliki kewarganegaraan dan tempat tinggal yang berbeda, sehingga aturan
hukum yang berlaku dapat bervariasi. Oleh karena itu, Hukum Perdata Internasional
bertujuan untuk memberikan suatu kerangka hukum yang dapat mengatur hubungan hukum
antara pihak-pihak dari negara-negara yang berbeda secara adil dan efektif.
Dalam rangka untuk mencapai tujuan ini, Hukum Perdata Internasional mengandalkan
pada berbagai perjanjian internasional, kebiasaan internasional, dan prinsip-prinsip umum
hukum untuk mengatur hubungan hukum antara negara-negara yang berbeda dalam hal-hal
yang berkaitan dengan perdata. Oleh karena itu, meskipun tidak ada satu hukum perdata yang
berlaku secara internasional, Hukum Perdata Internasional memberikan kerangka hukum
yang jelas dan terstandarisasi untuk mengatur hubungan hukum antara pihak-pihak dari
negara-negara yang berbeda.
3. Istiah-istilah
a. Lex Loci Contractus, yaitu hukum yang berlaku adalah dimana perjanjian itu di tanda
tangani atau di sepakati.
b. Lex Rei Sitae, hukum berlaku dimana benda tidak bergerak berlaku.
c. Lex Loci Delicti, hukum yang berlaku adalah dimana hukum yang melawan hukum itu
berlaku.
4. Tidak selalu diperlukan Titik Taut Sekunder setelah adanya Titik Taut Primer dalam suatu
hubungan hukum. Pada beberapa kasus, Titik Taut Primer sudah cukup untuk menentukan
hubungan hukum antara pihak-pihak yang terlibat. Namun, pada kasus-kasus lain, diperlukan
Titik Taut Sekunder untuk lebih memperjelas dan mengatur hubungan hukum yang terjadi.
Sebagai contoh, jika terdapat kontrak jual beli antara A dan B, maka Titik Taut Primer
dalam hubungan hukum tersebut adalah kesepakatan antara A dan B mengenai harga, jumlah,
dan spesifikasi barang yang akan dibeli. Jika kedua belah pihak sepakat, maka kontrak jual
beli dianggap sah dan berlaku. Namun, jika terdapat sengketa antara A dan B mengenai
kontrak jual beli tersebut, maka diperlukan Titik Taut Sekunder untuk menentukan bagaimana
sengketa tersebut akan diselesaikan. Titik Taut Sekunder dapat berupa peraturan yang diatur
oleh undang-undang atau perjanjian antara A dan B mengenai cara menyelesaikan sengketa
yang timbul. Dalam hal ini, Titik Taut Sekunder memberikan kerangka hukum yang jelas
untuk menyelesaikan sengketa yang muncul dalam hubungan hukum antara A dan B. Dalam
beberapa kasus, Titik Taut Sekunder juga dapat berupa penjelasan lebih lanjut mengenai
kesepakatan antara A dan B. Misalnya, jika dalam kontrak jual beli tersebut terdapat
ketentuan mengenai garansi barang yang dijual, maka Titik Taut Sekunder dapat berupa
penjelasan lebih lanjut mengenai jenis garansi yang diberikan, syarat-syarat yang harus
dipenuhi, dan mekanisme penyelesaian sengketa yang berkaitan dengan garansi tersebut.
Dalam kesimpulannya, apakah Titik Taut Sekunder diperlukan setelah adanya Titik
Taut Primer dalam suatu hubungan hukum tergantung pada kasusnya. Kadang-kadang Titik
Taut Primer sudah cukup untuk menentukan hubungan hukum, namun pada kasus lain
diperlukan Titik Taut Sekunder untuk lebih memperjelas dan mengatur hubungan hukum
tersebut.

Anda mungkin juga menyukai