Anda di halaman 1dari 27

HUKUM PERDATA INTERNASIONAL

Definisi

Prof. Mochtar Kusumaatmadja berpendapat


bahwa Hukum Perdata Internasional ialah keseluruhan kaidah dan asas hukum yang mengatur
hubungan perdata yang melintasi batas negara. Dengan perkataan lain, hukum yang mengatur
hubungan hukum perdata antara para pelaku hukum yang masing-masing tunduk pada hukum
perdata (nasional) yang berlainan.

Prof. Sunaryati Hartono


Dalam HPI Indonesia telah terjadi pertentangan istilah (Contraditio in Termins), maksudnya bahwa
seolah-olah ada hukum perdata yang berlaku di semua negara padahal hukum perdata tersebut
(HPI) berlaku di Indonesia. Padahal HPI adalah hukum nasional dan yang internasional adalah
hubungan-hubungan atau peristiwaperistiwanya. Yang dimaksud dengan “internasional” adalah
karena dalam hubungan /peristiwa hukum tersebut mengandung unsur asingnya (foreign element).

apakah dengan sebutan “internasional” di belakang istilah HPI, bidang hukum ini dapat
dikategorikan sebagai bagian dari Hukum Internasional (publik), ataukah sebagai bagian dari hukum
nasional suatu negara?
HPI pada dasarnya merupakan bagian dari Hukum Nasional suatu negara.
Artinya :
- HPI merupakan salah satu subbidang hukum dalam sebuah sistem hukum nasional yang bersama-
sama dengan sub-sub bidang hukum lain seperti hukum keperdataan, hukum dagang, hukum
pidana, dan sebagainya, membentuk suatu sistem hukum nasional yang utuh;
- Suatu sistem hukum negara seharusnya diperlengkapi dengan suatu sistem HPI nasional yang
bersumber pada sumber-sumber hukum nasional, tetapi yang khusus
dikembangkan untuk memberi kemampuan pada sistem hukum itu untuk menyelesaikan perkara-
perkara yang mengandung unsur asing.

Menurut sudargo gautama Hukum perdata internasional adalah

Keseluruhan peraturan dan keputusan hukum yang menunjukan stelsel hukum manakah yang
beralaku atau apakah yang merupakan hukum , jika hubungan hubungan dan peristiwa peristiwa
antara warga negara dalam satu negara dan satu waktu tertentu , memperlihatkan titik titik
pertalian dengan srelsel stelsel dan kaidah kaidah hukum yang berbeda dalam lingkugnan lingkungan
kuasa tempat dan soal soal

Kesimpulannya
HPI adalah aturan aturan hukum nasional yang dibuat untuk mengatur peristiwa peristiwa atau
perkara perkara yang mengandung unsur asing
Asas Asas HPI

Asas Dasar HPI


1. Asas Lex Rei Sitae (Lex Situs), yang berarti perkara-perkara yang menyangkutbenda-benda tidak
bergerak (immovables) tunduk pada hukum dari dimana benda itu berada/terletak.

2. Asas Lex Domicilii yang menetapkan bahwa hak dan kewajiban perorangan harus diatur oleh hukum
dari tempat seseorang berkediaman tetap. Yang menjadi persoalan, dalam hukum Romawi
kedudukan seseorang dapat dikaitkan dengan dua titik taut, yaitu

- kewarganegaraan (origo) yang dapat ditentukan karena tempat orang tua (ayah / ibu), adopsi,
penerimaan atau pemilihan;
- Domicili adalah komunitas yang telah dipilih seseorang sebagai tempat kediaman tetap.
Perbedaan titik taut ini menyebabkan adanya persoalan tentang hukum mana yang harus
digunakan. Hukum Origo atau Domicili ?

3. Asas Lex Loci Contractus yang menetapkan bahwa terhadap perjanjian-perjanjian (yang melibatkan
pihak-pihak warga dari propinsi yang berbeda) berlaku hukum dari tempat pembuatan perjanjian

Asas Personal HPI

1. Asas yang menetapkan bahwa hukum yang berlaku dalam setiap perkara atau proses penyelesaian
sengketa hukum adalah hukum personal dari pihak tergugat;
2. Penetapan kemampuan untuk membuat perjanjian bagi seseorang harus dilakukan berdasarkan
hukum personal dari masing-masing pihak.
3. Proses pewarisan harus dilangsungkan berdasarkan hukum personal dari pihak pewaris
4. Peralihan hak milik atas benda harus dilaksanakan sesuai dengan hukum dari pihak transferor.
5. Penyelesaian perkara tentang perbuatan melanggar hukum harus dilakukan berdasarkan hukum dari
pihak pelaku perbuatan yang melanggar hukum.
6. Pengesahan suatu perkawinan harus dilakukan berdasarkan hukum dari pihak suami.

Teori Statuta
(1) Statuta personalia yaitu statuta-statuta yang berkenaan dengan kedudukan hukum atau status
personal orang
(2) Statuta realia yaitu statuta-statuta yang berkenaan dengan status benda.
(3) Statuta mixta yaitu statuta-statuta yang berkenaan dengan perbuatan-perbuatan hukum (jenis
statuta ini dilengkapi oleh para ahli Post Glossators lainnya karena dianggap sesuai dengan
kebutuhan).
Ruang Lingkup Hukum Perdata Internasional

a. HPI = Rechtstoepassingsrecht (yang tersempit)


Hukum Perdata Internasional hanya terbatas pada masalah hukum yang diberlakukan
(rechtstoepassingrecht). Di sini yang dibahas hanyalah masalah masalah yang berkenaan dengan
hukum yang harus diberlakukan. Hal-hal lain yang berkenaan dengan kompetensi hakim, status
orang asing, dan kewarganegaraan tidak termasuk bidang HPI. Sistem semacam ini dianut oleh HPI
Jerman dan Belanda.

b. HPI = Choice of Law + Choice of Jurisdiction (yang lebih luas)


Menurut sistem ini, HPI tidak hanya terbatas pada persoalan-persoalan conflict of law (tepatnya
choice of law), tetapi termasuk pula persoalan conflict of jurisdiction (tepatnya choice of jurisdiction),
yakni persoalan yang bertalian dengan kompetensi atau wewenang hakim. Jadi HPI tidak hanya
menyangkut masalah hukum yang diberlakukan, tetapi juga hakim manakah yang berwenang.
Sistem HPI yang lebih luas ini dikenal di Inggris, Amerika Serikat, dan negara-negara Anglo Saxon
lainnya.

c. HPI = Choice of Law + Choice of Jurisdiction + Condition des Etrangers (yang lebih luas lagi)
Dalam sistem ini HPI tidak hanya menyangkut persoalan pilihan hukum dan pilihan forum atau
hakim, tapi juga menyangkut status orang asing (condition des etrangers = statuutlingen = statuut).
Sistem semacam ini dikenal di negaranegara latin, yaitu Italia, Spanyol, dan negara-negara Amerika
Selatan.

d. HPI = Choice of Law + Choice Jurisdiction + Condition des Etrangers + Nationalite (yang terluas)
Menurut sistem ini HPI menyangkut persoalan pilihan hukum, pilihan forum atau hakim, status
orang asing, dan kewarganegaraan (nasionalite). Masalah kewarganegaraan ini menyangkut
persoalan tentang cara memperoleh dan hilangnya kewarganegaraan. Sistem yang sangat luas ini
dikenal dalam HPI Perancis, dan juga dianut kebanyakan penulis HPI

Unsur Unsur Asing


1. Andrew warga negara amerika menikah dengan tini warga indonesia dan dilaksankan di
indonesia

2. Aji warga negara indonesia dan selly Warga negara amerika menikkah di hongkong
Unsur asing: Tempat dilangsungkannya perkawinan

3. Acha WNI membuat surat wasiat di singapura


Unsur asing: Tempat dilakukan tindakan hukum

4. Albert warga belanda menandatagani kontrak jual beli mebel dengan WNI di indonesia
Unsur Asing: salah satu pihak bekewarganegaraan asing sehingga hukum dari ngara mana
yang berlaku atas kontrak tersebut
Titik Taut

Berdasarkan pendekatan tradisional, proses penyelesaian perkara HPI sebenarnya dimulai dengan
evaluasi terhadap titik-titik taut (primer) dan setelah melalui kualifikasi fakta, konsep titik taut
kembali digunakan (dalam arti sekunder) dalam rangka menentukan hukum yang akan diberlakukan
dalam perkara HPI yang bersangkutan. Titik taut atau titik pertalian adalah hal-hal atau keadaan
yang menyebabkan berlakunya suatu stelsel hukum

Titik pertalian Primer


Yaitu fakta-fakta di dalam sebuah perkara atau peristiwa hukum yang menunjukkan bahwa peristiwa
hukum itu mengandung unsur-unsur asing dan karena itu bahwa peristiwa hukum yang dihadapi
adalah peristiwa HPI dan bukan peristiwa hukum intern

Intinya: dalam titik taut primer itu dilihat apakah persitiwa hukum tersebut ada unsur asingnya atau
tidak

Titik pertalian primer adalah faktor-faktor atau keadaan-keadaan atau sekumpulan fakta yang
melahirkan atau menciptakan hubungan HPI. Titik taut pembeda adalah unsusr internasional
 Intinya Menentukan HPI atau tidak
 Titik pertalian primer adalah faktor-faktor atau keadaan-keadaan atau sekumpulan fakta
yang melahirkan atau menciptakan hubungan HPI

Faktor Faktor yang termasuk titik taut pertalian primer


1. kewarganegaraan (nasionalitas)
Perbedaan kewarganegaraan di antara para pihak yang melakukan suatu hubungan hukum
akan melahirkan persoalan HPI. Misalnya : seorang warga negara Indonesia menikah dengan
warga negara Belanda, atau seorang warga negara Indonesia melakukan suatu transaksi jual
beli dengan seorang warga negara Jerman.
2. Domisili >> pengertian de jure
Persoalan domisili dapat juga menjadi faktor penting timbulnya persoalan HPI. Misalnya :
seorang warga negara Inggris (Albert) yang berdomisili di negara Yunani melangsungkan
perkawinan dengan warga negara Inggris (Bertha) yang berdomisili di negara Perancis.
3. Tempat kediaman (residence) >> pengertian de facto
Dalam common law system, dibedakan antara domisili dan tempat kediaman (residence),
karena kediaman lebih mengacu pada tempat kediaman sehari-hari.
Persoalan tempat kediaman seseorang juga dapat melahirkan masalah HPI. Misalnya : dua
orang warga negara Malaysia yang berkediaman sementara di Indonesia melangsungkan
pernikahan di Indonesia.
4. Tempat kedudukan badan hukum
Badan hukum sebagai subyek hukum juga memiliki kebangsaan dan tempat kedudukan
(legal seat). Umumnya kebangsaan badan hukum ditentukan berdasarkan tempat (atau
negara) di mana pendirian badan hukum tersebut di daftarkan.

Titik pertalian Sekunder


Titik pertalian sekunder adalah faktor-faktor atau sekumpulan fakta yang menentukan hukum mana
yang harus digunakan atau berlaku dalam suatu hubungan HPI. Yang termasuk dalam titik pertautan
sekunder adalah :
(1) Tempat terletak benda (lex situs / lex rei sitae)
(2) Tempat dilangsungkannya perbuatan hukum (lex loci actus)
(3) Tempat dilangsungkannya atau diresmikan perkawinan (lex loci celebrationis)
(4) Tempat ditandatanganinya kontrak (lex loci contractus)
(5) Tempat dilaksanakannya perjanjian (lex loci solutionis / lex loci executionis)
(6) Tempat terjadinya perbuatan melawan hukum (lex loci delicti commisi)
(7) Pilihan hukum (choice of law); menurut Sudargo Gautama ada kemungkinan titik taut
sekunder jatuhnya bersamaan dengan titik taut primer yaitu :
(8) Kewarganegaraan
(9) Bendera kapal dan pesawat udara
(10) Domisili
(11)Tempat kediaman
(12) Tempat kedudukan badan hukum.

Tahap Perkara HPI


Secara Tradisional, tahap-tahap pemeriksaan suatu perkara HPI:

1. TPP yaitu untuk mengetahui suatu perkara HPI (titik taut pembeda), serta menentukan
pengadilan mana yang berwenang.

2. Tahap kualifikasi, dilakukan menurut Lex Fori

3. TPS dilakukan menurut Lex Fori, yaitu menentukan hukum mana yang harus berlaku? —
merupakan Lex Causae (titik taut pembeda)
Kadang-kadang Lex Fori, tetapi kadang-kadang Lex Causae ditentukan oleh, misalnya:
* Tempat/letak benda tetap : Lex Situs
* Tempat terjadinya perjanjian : Lex Loci Contractus
* Tempat pelaksanaan perjanjian : Lex Loci Solutionis
* Tempat terjadinya perkawinan : Lex Loci Celebrationis
* Tempat tinggal terakhir/tempat asal : Lex Domicilii

4. Lex Causae diketahui melalui kualifikasi dan penentuan perkara HPI, maka Lex Causae
digunakan, kecuali kalau Lex Causae itu memberikan hasil yang:
a. bertentangan dengan ketertiban umum Lex Fori, maka Lex Fori-lah yang berlaku, atau
b. demikian pula, apabila Lex Causae tidak mengatur persoalan HPI yang bersangkutan.

5. Renvoi
Persoalan lain yang timbul dalam proses mencari Lex Causae adalah apa yang diartikan
“Hukum Asing”.

R.H. Graveson berpendapat bahwa upaya penyelesaian perkara HPI ada 3 hal yang perlu
diperhatikan, yaitu:
(1) titik-titik taut apa sajakah yang dipilih oleh sistem HPI tertentu yang dapat diterapkan pada
sekumpulan fakta yang bersangkutan?
(2) berdasarkan hukum manakah, di antara pelbagai sistem hukum yang relevan dengan
perkara, titik-titik taut itu akan ditentukan. Hal ini perlu diperhatikan karena faktor-faktor
yang sama mungkin secara teoritis diberi interpretasi yang berbeda di dalam pelbagai sistem
hukum
(3) setelah kedua masalah tadi diselesaikan, barulah ditetapkan bagaimana pertautan itu
dibatasi oleh sistem hukum yang akan diberlakukan (lex causae)
Status Personal
Status personal adalah kondisi atau keadaan suatu pribadi dalam hukum yang diberikan / diakui oleh
negara untuk mengamankan dn melindungi lembagalembaganya.

Status personal ini meliputi hak dan kewajiban, kemampuan dan ketidakmampuan bersikap tindak
dibidang hukum, yang unsur-unsurnya tidak dapat berubah atas kemauan pemiliknya. Walaupun
terdapat perbedaan mengenai status personal ini, pada dasarnya status personal adalah kedudukan
hukum seseorang yang umumnya ditentukan oleh hukum dari negara di mana ia dianggap terikat
secara permanen.

Ada 2 (dua) aliran, yaitu:


1) Aliran personalitas:
yaitu menggunakan prinsip nasionalitas, jadi yang diterapkan adalah hukum nasionalnya.
Prinsip ini umumnya digunakan oleh negara-negara yang menganut tradisi civil law system
(Eropa Kontinental), sehingga points of contact-nya adalah personalia, artinya”Semua orang
takluk pada hukum nasionalnya di mana ia berada”;
2) Aliran teritorialitas:
yaitu menggunakan prinsip domisili, jadi yang diterapkan adalah hukum domisilinya. Prinsip
ini umumnya digunakan oleh negara-negara yang menganut tradisi common law system,
sehingga points of contact-nya adalah territorial, artinya”Semua orang yang berada di
dalam wilayah negara takluk pada hukum negara itu”.

Prinsip yang mendasari


(1) Asas Nasionalitas (Kewarganegaraan)
Berdasarkan asas ini, status personal seseorang ditetapkan berdasarkan hukum kewarganegaraan
(lex patriae) orang itu. Asas ini juga digunakan dalam pasal 16 Algemene Bepalingen van Wetgeving
(AB) yang secara teoritis masih berlaku di Indonesia
Ada dua asas utama yang dapat digunakan untu menentukan kewarganegaran seseorang, yaitu :
 Asas Tempat Kelahiran (Ius Soli);
Kewarganegaraan seseorang ditentukan oleh tempat kelahirannya. Misalnya seseorang
dilahirkan di negara X maka ia merupakan warga negara dari negara X tersebut.
 Asas Keturunan (Ius Sanguinis);
Kewarganegaraan seseorang ditentukan berdasarkan keturunannya. Misalnya seseorang
yang lahir di Belanda dari kedua orang tuanya yang mempunyai kewarganegaraan Indonesia,
maka yang bersangkutan menjadi warga negara Indonesia.
Ruang lingkup status personal
 Perkawinan
 Pembatalan perkawinan
 Perceraian
 Perwalian
 Kewenangan melakukan perbuatan hukum
Kelebihan
 Cocok untuk perasaan hukum sesorang artinya untuk orang indonesia lebih cocok dengna
hukum indonesia
 Lebih permanen
 Membawa kepastian yang lebih banyak
Contoh negara yang menggunakan: indonesia ,italia ,prancis dan belgia

2. Asas Teritorialitas (Domisili);


status personal seseorang ditetapkan berdasarkan hukum tempat dimana ia tinggal
Asas domisili (domicile) yang dimaksudkan disini hendaknya diartikan sesuai dengan konsep yang
tumbuh di dalam sistem-sistem hukum common law, dan yang umumnya diartikan sebagai
permanent home atau “tempat hidup seseorang secara permanen”. berdasarkan hukum domicile
(hukum tempat kediaman permanen) orang itu. yang dimaksud dengan domisili adalah “negaraatau
tempat menetap yang menurut hukum dianggap sebagai pusat kehidupan seseorang (centre of
life)”.
(contohnya jika si orang inggris berdomisili di indonesia maka mengikuti hukum indonesia)
(lebih ke tinggal tetap)

Konsep domicile pada dasarnya dapat dibedakan ke dalam 3 (tiga) pengertian, yaitu :
 Domicile of Origin, yaitu tempat kediaman permanen seseorang karena kelahiran orang itu
di tempat tertentu56. Bagi anak sah, domicile of origin-nya adalah negara dimana ayahnya
berdomisili pada saat ia (sang anak) dilahirkan. Sedangkan bagi anak tidak sah, domisili
ibunyalah yang menentukan. Domisili sang ayah tersebut dapat berupa domicile of choice
atau domicile of origin. Dalam hal sang ayah mempunyai domicile of choice, maka domisili
tersebut merupakan domicile of origin sang anak. Jika sang ayah tidak pernah memperoleh
domicile of choice, maka domicile of origin sang ayahlah yang menentukan
 Domicile of Dependence (Domicile by Operation of the Law), yaitu tempat kediaman
permanen seseorang karena kebergantungannya pada orang lain, misalnya : anak-anak di
bawah umur akan mengikuti domicile orang tuanya, atau istri mengikuti domicile suaminya.
 Domicile of Choice, yaitu tempat kediaman permanen seseorang yang dipilih orang itu atas
dasar kemauan bebasnya58. Untuk memperoleh domicile of choice menurut sistem hukum
Inggris diharuskan untuk memenuhi persyaratan, yaitu :
- Kemampuan (capacity)
- Tempat kediaman (residence)
- Hasrat (intention).
Kelebihan
 Hukum dimana yang bersangkutan hidup
 Prinsip nasionalitas seringkali memerlukan bantuan domisili
 Cocok untuk negara dengan pluralisme hukum
 Hukum domisili seringkali sana dengan hukumnya hakim
 Prinsip domisili menolong apabila prinsip nasionalitas tidak dapat dilaksanakan.
 Hukum domisili cocok untuk diterapkan untuk negara yang wargannya sebgaian besar dari
para imigran

Contoh negara yang menggunakan: Inggris ,skotlandia, brazil


1) Pasal 16 A.B. berbunyi: (tentang status personal)
“De wettelijke bepalingen betreffende den staat en de voegdheid der personen blijven verbindend
voor ingezetenen van Nederlandsch-Indie, wanneer zij zich buiten’s lands bevinden.”
Terjemahannya: “Bagi penduduk Hindia-Belanda peraturan-peraturan perundang-undangan
mengenai status dan wewenang seseorang tetap berlaku terhadap mereka, apabila mereka ada di
luar negeri.”
Pasal ini sesuai dengan statuta personalia, yang mencakup:
1. Peraturan mengenai hukum perorangan (personenrecht). Termasuk hukum kekeluargaan.
2. Peraturan-peraturan mengenai benda yang tidak tetap (bergerak).

(status personal bedasar kewarganegaraanya asas nasional aktif)


(warga negara asing status personalnya ikut kewarganegaraanya)

2) Pasal 17 A.B. berbunyi: (tentang lex rei sitae)


“Ten opzigte van onroerende goederen geldt de wet van het land of plaats, alwaar die goederen
gelegen zijn”.
Terjemahannya: “Terhadap benda-benda tetap (tidak bergerak) berlaku perundang-undangan
negara atau tempat dimana benda-benda itu terletak.”
Pasal ini berdasarkan statuta realia, jadi tidak seluruh hukum kekayaan akan tetapi hanya yang
mengenai benda tidak bergerak hukum yang berlaku tetapsama, siapapun pemiliknya. Dasar yang
dipakai dalam peraturan-peraturan tentang benda tidak bergerak ini oleh pembuat undang-undang
lebih ditekankan pada bendanya, bukan pada pemiliknya. Tempat atau letak suatu benda tidak
bergerak merupakan titik taut yang menentukan hukum yang harus diberlakukan menurut azas lex
rei sitae.
Untuk benda tetap (benda tidak bergerak), asas umum yang diterima di dalam HPI menetapkan
bahwa status benda-benda tetap berdasarkan asas lex rei sitae / lex situs atau hukum dari tempat
benda berada / terletak. Asas ini juga dianut di Indonesia seperti yang dimuat dalam pasal 17
Algemeene Bepalingen van Wetgeving.

3) Pasal 18 A.B. berbunyi:


De vorm van elke handeling wordt beoordeelg naar de wetten van het land of the plaats, alwaar
die handeling is verright.
Bij de toepassing van dit en van het voorgaan de artikel moet steeds worden acht gegeven op
het verschil, hetwelk de wetgeving daarstelt tussen Europeanan en Inlanders
Terjemahannya:
1. “Bentuk dari setiap perbuatan dinilai menurut perundang-undangan negara dan tempat
perbuatan itu dilakukan’
2. Dalam melaksanakan pasal ini dan yang sebelumnya selalu harus diperhatikan
perbedaan yang oleh undang-undang diadakan antara orang Eropa dan Indonesia asli

http://ammarlaw.blogspot.com/2011/10/ulasan-singkat-mengenai-sumber-hukum.html

Lex Fori: Lex fori adalah pilihan aturan hukum.


Lex cause:
Sumber Sumber Hukum HPI
 Tertulis
 Tidak tertulis

Ketentuan Hukum Perdata Internasional dalam Sistem Hukum Nasional


Ada 3 (tiga) ketentuan pokok HPI, yaitu:

-Pasal 16 AB: Status wewenang seseorang harus dinilai menurut hukum nasionalnya (LEX PATRIAE).
Jadi seorang WNI, di manapun ia berada tetap terikat hukumnya sendiri mengenai status dan
wewenang. Demikian juga secara analogi, terhadap orang asing pun mengenai status dan
wewenang harus dinilai menurut hukumnya sendiri.

-Pasal 17 AB: mengenai benda tetap harus dinilai menurut hukum dari negara/tempat di mana benda
tetap itu terletak (LEX RESITAE).

-Pasal 18 AB: bentuk tindakan hukum dinilai menurut hukum di mana tindakan itu dilakukan (LOCUS
REGIT ACTUM)

Ketentuan mandiri:
Kadang-kadang penerapan hukum asing untuk persoalan tertentu dirasakan tidak menjamin
kepastian hukum, sehingga pembuat undangundang mengadakan peraturan tersendiri yang
langsung menyelesaikan persoalan tersebut, tanpa menunjuk kepada suatu sistem hukum tertentu.
Ketentuan seperti ini disebut KETENTUAN MANDIRI (OWN RULE).

Mengatur secara detail /kondisi kondisi yang mengatur ttg unsur asing /hal hal yang berhubungan
dengan HPI

Sifat ketentuan mandiri itu ialah:


1) menentukan sendiri hukum yang harus diperlakukan;
2) tidak mengindahkan ketentuan asing yang mungkin ada mengenai materi yang diatur
(mungkin sama, mungkin pula berbeda);
3) tidak identik dengan ketentuan intern.

Contoh:
Seorang WNI yang berada di luar negeri membuat testament (surat
wasiat). Hukum mana yang diterapkan?

BW membuat ketentuan mandiri, yang dimuat dalam Pasal 945 ayat (1) BW, yang isinya: “ Seorang
WNI yang berada di luar negeri tidak diperbolehkan membuat testament melainkan dengan akta
otentik dan dengan mengindahkan tertib cara yang lazim di negara di mana testament dibuat”. Jadi
apapun isinya ketentuan asing itu, testament mutlak harus dibuat dalam bentuk otentik, hanya saja
formalitas-formalitas yang harus dipenuhi ialah ketentuan yang berlaku di negara yang
bersangkutan.

Ketentuan penunjuk:
Pada umumnya dengan cara penunjukkan kepada sesuatu sistem hukum tertentu, baik nasional
maupun asing. Ketentuan inilah yang dinamakan KETENTUAN PENUNJUK (REFERENCE RULE)
Contoh,pasal 16,17, dan 18 AB
Peraturan perundang undangan
1. UU no 1 tahun1974
2. UU NO 12 Tahun 2006 ttg kewarganegaraan RI
3. BW
4. UU NO 30 tahun 1999 ttg arbitrase dan penyelsaian sengketa
5. UU no 25 yahun 2007 ttg penanaman modal
6. UU No 23 tahun 2002 ttg perlindungna anak dan PP No 54 thaun 2007 ttg pengangkatan
anak
7. Pasal 16,17,18 AB

Pola Berpikir yuridik HPI

1) Hakim menghadapi persoalan hukum dalam wujud sekumpulan fakta hukum yang
mengandung unsur asing (foreign elements) dan harus menentukan apakah merupakan
persoalan HPI.
Hakim menyadari adanya fakta di dalam perkara yang menunjukkan adanya keterkaitan antara
perkara ini dengan tempat-tempat asing (tempat di luar wilayah negara forum). Fakta ini dalam
HPI disebut TPP.
Menghadapi suatu perkara HPI, maka hakim tidak dapat mengabaikan kemungkinan bahwa Lex
Fori bukanlah satu-satunya sistem hukum yang diberlakukan, artinya ada kebutuhan untuk
menentukan sistem hukum manakah di antara sistem-sistem hukum yang relevan, yang harus
diberlakukan
2) Hakim harus menentukan ada/tidaknya kewenangan yurisdiksional forum untuk mengadili
perkara yang bersangkutan.
Hakim harus menetapkan forum memiliki kewenangan yurisdiksional untuk memeriksa
perkara. Untuk menentukan hakim harus berpegang pada kaidah-kaidah dan asas-asas Hukum
Acara Perdata Internasional yang berlaku dan merupakan bagian dari sistem HPI Lex Fori..

3) Menemukan TPS di dalam kaidah/asas/aturan HPI Lex Fori yang dianggap tepat.
Bila perkara jelas merupakan perklara HPI dan pengadilan telah mempunyai kewenangan untuk
mengadili, maka persoalan berikutnya: bagaimanakah Lex Causae ini harus ditetapkan?

Pada tahap ini pengadilan harus dapat menentukan TPS yang bersifat menentukan dan yang
akan menunjuk ke arah Lex Causae.

Hakim harus menemukan TPS yang tepat di dalam kaidah/aturan/ asas HPI yang tepat dan
relevan dengan pokok perkara yang sedang dihadapi. Kaidah/asas HPI yang dimaksud tentunya
kaidah/asas/ aturan HPI Lex Fori.

Dalam tahap ini, hakim dihadapkan pada kenyataan akan berurusan dengan sekumpulan
kaidah/asas/aturan HPI yang beraneka ragam dan berlaku dalam pelbagai bidang hukum dan
untuk pelbagai kategori perkara, dan di sini hakim harus dapat menetapkan satu kaidah HPI
yang relevan dan tepat untuk perkara yang dihadapi/

4) Mencari dan menemukan kaidah HPI yang tepat melalui tindakan kualifikasi fakta dan
kualifikasi hukum.
Untuk dapat menetapkan kaidah HPI yang tepat di antara berbagai kaidah HPI di dalam lex fori,
hakim harus terlebih dahulu menentukan kategori yuridik dari sekumpulan fakta yang
dihadapinya sebagai perkara hukum.
Misalnya: sebagai perkara status anak, kedudukan ahli waris, wanprestasi (ingkar janji) dalam
perjanjian, keabsahan kontrak, kedudukan isteri atas harta warisan, dan sebagainya. Upaya ini
disebut tindakan kualifikasi fakta, yang pada dasarnya merupakan upaya untuk menentukan
kategori yuridik dari sekumpulan fakta yang dihadapi dalam perkara dan menentukan
kualifikasi hukum dari pokok perkara berdasarkan kategori yuridik yang dikenal hakim
(biasanya berdasarkan kategori yang dikenal dalam lex fori).

Di dalam HPI, khususnya dalam pendekatan tradisional, persoalan kualifikasi ini lebih kompleks
dibandingkan dengan kualifikasi di bidang hukum intern, karena hakim akan menghadapi
berbagai sistem hukum yang memiliki sistem kualifikasinya masing-masing.

Hasil proses kualifikasi adalah hakim dapat menentukan kategori perkara, pokok persoalan
(isu) hukum atau pokok perkara yang sedang dihadapi.

Contoh: Hakim Indonesia mengkualifikasikan fakta yang dihadapi dalam perkara dan
berdasarkan kualifikasi hukum yang dikenal dalam hukum Indonesia (lex fori), perkara harus
dikualifikasikan sebagai gugatan wanprestasi, bukan gugatan perbuatan melanggar hukum.

5) Menentukan kaidah HPI Lex Fori yang relevan dalam rangka penunjukan ke arah Lex Causae.
Sesudah hakim menetapkan kategori yuridik pada perkara yang dihadapinya melalui tindakan
kualifikasi, maka berikutnya hakim menetapkan kaidah HPI yang tepat untuk digunakan dalam
rangka penunjukkan ke arah lex causae.

Contoh: Sejalan dengan contoh pada angka 4 di atas, dianggap saja kaidah HPI yang harus
digunakan dalah kaidah HPI lex fori tentang pelaksanaan perjanjian

Umumnya rumusan kaidah atau asas HPI, maka kaidah ini akan merupakan kaidah penunjuk
yang akan memuat titik taut sekunder yang harus digunakan. Kaidah semacam ini disebut
choice of law rule atau kaidah kolisi.

Contoh: Kaidah HPI tentang pelaksanaan perjanjian yang rumusan sebagai berikut: masalah-
masalah hukum yang timbul dari pelaksanaan suatu perjanjian (hasil kualifikasi) harus diatur
berdasarkan hukum dari tempat di mana perjanjian itu dilaksanakan (titik taut sekunder).

6) Memeriksa kembali fakta-fakta dalam perkara dan mencari TPS yang harus digunakan untuk
menunjuk ke arah Lex Causae.
Sesudah titik taut sekunder yang harus digunakan dapat diketahui berdasarkan kaidah HPI
tertentu, maka hakim akan memeriksa kembali fakta-fakta perkara (terutama titik tautnya) dan
menemukan fakta mana yang harus dianggap sebagai titik taut sekunder
Contoh: Sejalan dengan contoh-contoh dalam butir-butir sebelumnya, dianggap saja hakim
harus menemukan fakta tentang di mana tempat pelaksanaan perjanjian yang dimaksud dalam
perkara yang sedang dihadapi.

Bila titik taut sekunder itu telah ditemukan, maka hakim dapat tiba pada kesimpulan bahwa
hukum dari tempat/negara yang ditunjuk oleh kaidah HPI itulah yang harus diberlakukan
sebagai lex causae.

Contoh: Andaikan fakta dalam perkara menunjukkan bahwa tempat pelaksanaan perjanjian
ternyata adalah di Jepang, maka hukum Jepanglah yang harus dianggap sebagai lex causae,
artinya kaidahkaidah hukum perdata intern Jepanglah yang akan digunakan untuk
menyelesaikan perkara hukum yang sedang dihadapi
7) Menyelesaikan perkara dengan menggunakan kaidah-kaidah hukum intern dari Lex Causae.
Dengan ditemukannya lex causae sebenarnya tugas HPI pada dasarnya telah selesai, dan hakim
akan menyelesaikan perkara dengan menggunakan kaidah-kaidah hukum intern dari lex causae
itu.
Contoh: Hakim akan memutus perkara tentang wanprestasi dalam pelaksanaan perjanjian
dalam contoh di atas, dengan menggunakan kaidah-kaidah hukum di dalam hukum perdata
Jepang.

Versi pak Dian


1. Langkah 1
- Unsur asing bisa jadi lebih dari 1
- Menghadapi persoalan hukum dalam wujud sekumpulan fakta hukum yang
mengandung unsur unsur asing(foreign element) hakim harus menentukan apakah
perkara tersebut merupakan persoalan HPI beserta konsekuensinya
2. Langkah 2
- Penentuan ada atau tidaknya kompentensi atau kewenangan yurisdiksional forum untuk
memeriksa, mengadili dan memutus perkara yang bersangkutan
- Ttg lex fori
- Apakah hakim atau pengadilan memiliki kompentisi untuk mengadili

3. Langkah 3
- Menentukan sistem hukum intern negara mana atau apa yang harus diberlakukan untuk
menyelesaikan perkara atau menjawab persoalan hukum yang mengandung unsur unsur
asing itu (menentukan lex causa bagi perkara yang bersangkutan)
- Hakim harus memnentukan sistem hukum mana yang digunakan ,ataukah hukum snediri
atau hukum negara lain yang bersangkutan

4. Langkah 4
- Menyelesaikan perkara dengan menggunakan atau memberlakukan kaidah kaidah
hukum intern dari lex causa

Teritorial vs personalitas
- Domisili lebih mengedepankan teritorial daripada hukum negara individunnya
- Semua orang yang berada di wilayah hukumnya tunduk pada hukum yang berlaku di
wilayah tersebut
Asas-Asas HPI Untuk Penentuan Status Badan Hukum
Peningkatan intensitas kegiatan perdagangan internasional dewasa ini mengakibatkan semakin
banyak pendirian badan hukum, seperti perusahaan Perseroan Terbatas (PT) oleh pihak asing atau
pihak lokal yang mengadakan kerjasama patungan (joint venture). Sehubungan dengan pendirian
badan hukum itu masalah yang timbul adalah sistem hukum mana yang dapat digunakan untuk
menetapkan dan mengatur status kewenangan yuridis suatu badan hukum yang mengandung
elemen asing.

Badan hukum di sini adalah suatu perkumpulan atau organisasi yang oleh hukum diperlakukan
seperti seorang manusia, yaitu sebagai pengemban hak dan kewajiban, dapat memiliki kekayaan
sendiri, dapat menggugat dan digugat di muka pengadilan. Perusahaan yang menurut hukum
Indonesia yang sekarang tergolong sebagai perusahaan yang berbadan hukum adalah Perseroan
Terbatas (PT), Perusahaan Perseroan (Persero), dan Koperasi.

Dalam teori dan praktek HPI berkembang beberapa doktrin atau asas yang dapat digunakan untuk
menentukan status badan hukum, yaitu :
a. Asas Kewarganegaraan atau Domisili Pemegang Saham
Asas ini beranggapan bahwa status badan hukum ditentukan berdasarkan hukum dari
tempat di mana mayoritas pemegang sahamnya menjadi warga negara (lex patriae) atau
berdomisili (lex domicile).

Asas atau doktrin ini dianggap sudah kurang menguntungkan karena kesulitan untuk
menetapkan kewarganegaraan atau domisili dari mayoritas pemegang saham, terutama bila
komposisi kewarganegaraan atau domisili yang beraneka ragam (beberapa negara).

b. Asas Centre of Administration / Business


Asas ini beranggapan bahwa status dan kewenangan yuridik suatu badan hukum harus
tunduk pada kaidah-kaidah hukum dari tempat yang merupakan pusat kegiatan administrasi
badan hukum tersebut.

Teori ini menghendaki agar hukum dari tempat dimana suatu badan hukum memusatkan
kegiatan bisnis atau manajemennya harus digunakan untuk mengatur status yuridik badan
hukum yang bersangkutan. Asas ini umumnya diterima di negara-negara yang menganut
sistem hukum Eropa Kontinental seperti Italia, Spanyol, Perancis, Swiss, Jerman, dan
Belanda.
Kelebihan:
- Bahwa mayoritas pemegang saham, resorces akan terpusat disana , maka lebih pas dan
mudah dalam menyelesaikan problem problem jika timbul sengketa

Kekurangan
- Sulit menentukan kedudukan menajemen ekfektif, karena headquaters nya bisa banyak
tidak terpusat di satu negara
- Dari sisi kepentingan negara sedang berkembang yang berkedudukan sebagai negara
tuan rumah (host countries) dalam kegiatan penanaman modal asing, maka penggunaan
asas itu dianggap tidak menguntungkan, karena umumnya perusahaan-perusahaan asing
yang menanamkan modal memiliki perusahaan induk di luar negeri.
c. Asas Place of Incorporation
Asas ini beranggapan bahwa status dan kewenangan badan hukum sebaiknya ditetapkan
berdasarkan hukum dari tempat badan hukum itu didirikan / dibentuk.

 Bergandengn dengna kedudukan statuair, karena seketika ia berdiri ia harus didaftarkan


pada kantor pencatanan (indoensia di kemenkumham)

Dengan demikian, perusahaan-perusahaan yang dalam pengoperasiannya di suatu negara


yang memiliki unsur-unsur asing (karena penyertaan modal asing, klasifikasi hukum sebagai
perusahaan PMA) haruslah didirikan berdasarkan hukum dari negara tuan rumah dan
tunduk pada hukum negara tersebut.

Asas ini dianut di Indonesia (dan umumnya negara-negara berkembang) sebagai reaksi
terhadap penggunaan asas Centre of Administration / Siege Social.

Undang-undang penanaman modal yang baru, yaitu Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007
tentang Penanaman Modal pada Pasal 5 dinyatakan:
(1) Penanaman modal dalam negeri dapat dilakukan dalam bentuk badan usaha yang
berbentuk badan hukum, tidak berbadan hukum atau usaha perseorangan, sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan;
(2) Penanam modal asing wajib dalam bentuk perseroan terbatas berdasarkan hukum
Indonesia dan berkedudukan di dalam wilayah negara Republik Indonesia, kecuali
ditentukan lain oleh undangundang;

Kelebihannya:
Alasan-alasan tentang dianutnya doktrin inkorporasi adalah:
(1) Bahwa sesuai dengan logika hukum jika suatu badan hukum juga tunduk pada
hukum di mana formalitas-formalitas untuk pendiriannya dilangsungkan sehingga
suatu badan hukum hanya akan mendapat status dari satu sistem hukum tertentu
saja. Dengan demikian, di kemudian hari seyogyanya inilah yang akan menjadi status
personilnya.
(2) Bahwa doktrin ini memberikan kepastian hukum, karena hukum inkorporasi ini
mudah ditentukan dengan jalan meneliti anggaran dasar, dokumen-dokumen
pembentukan, pendaftaran-pendaftaran dalan register tertentu dan lainlain.
(3) Doktrin inkorporasi ini pun tidak akan menimbulkan kesukaran, jika suatu badan
hukum berpindah tempat kedudukannya, karena hal-hal yang berkaitan dengan
status badan hukum tidak akan berubah atau terganggu dengan pindahnya tempat
kedudukan itu.

Kelemahannya
-
d. Asas Centre of Exploitation
Asas ini beranggapan bahwa status dan kedudukan badan hukum harus diatur berdasarkan
hukum dari tempat perusahaan itu memusatkan kegiatan operasional, eksploitasi, atau
kegiatan produksi barang maupun jasa.

Kelemahan
Teori ini mengalami kesulitan bila dihadapkan pada suatu perusahaan (multinasional) yang
memiliki bidang usaha/bidang eksploitasi dan/atau memiliki pelbagai anak
perusahaan/cabang yang tersebar di pelbagai tempat di dunia.

Bila perusahaan induknya mengalami persoalan hukum yang berkaitan dengan eksistensi
yuridisnya (misalnya pailit, merger, akuisisi, dan sebagainya), maka akan timbul persoalan
hukum kompleks yang menyangkut perusahaanperusahaan turunannya di pelbagai negara di
dunia (cabang atau anak perusahaan) yang tunduk pada hukum dari pelbagai negara yang
beraneka ragam.

Yang rata rata dianut


Mengenai titik taut manakah yang harus dipergunakan untuk status personal badan hukum
secara garis besarnya, di dunia ada 2 (dua) macam ukuran, yaitu: Negara dengan tradisi
common law system meletakkan titik berat pada hukum dari negara didirikannya badan
hukum (place of incorporation), sedangkan negara dengan tradisi civil law system
menitikberatkan pada hukum dari negara di mana faktor pusat manajemen berkedudukan
(centre of administration/ siege social).

Alasan pro prinsip inkorporasi (place of incorporation) adalah:


(1) prinsip ini sesuai dengan logika hukum bilaman suatu badan hukum ini ditaruh pula
di bawah hukum di mana formalitas formalitas untuk pendiriannya telah
dilangsungkan;
(2) berdasarkan alasan praktis, hukum inkorporasi ini mudah ditentukan secara pasti
melalui anggaran dasarnya, dokumendokumen pembentukan, pendaftaran dalam
register tertentu, dan sebagainya;

Alasan pro prinsip kantor pusat efektif (centre of administration/ central office) adalah:
(1) titik taut tempat kedudukan efektif dari suatu badan hukum dipergunakan adalah
demi kepentingan para pihak dan juga dalam kepentingan lalu-lintas;
(2) prinsip siege social adalah stabil dan dengan demikian membawa sifat yang
permanen, tak mudah berubah-ubah.
Bagaimana dengan indonesia?
Teori yang berlaku di indoensia masih belum jelas, cenderung incoorporation dan center of
bussines
Namun indonesia memiliki ketentuan dalam uu penanaman modal yang mana ada
ketentuan tentang perusahaan luar negeri yang mau berinvesasi harus punya kantor badan
usaha yang berkdudukan di indonesia
- Supaya bisa kena pajak

Menurut sudargo gautama: tunduk pada badan hukum didirikan, akan tetapi jika badan
hukum tersebut beraktivitas di indonesia maka akan berlaku hukum indonesia

Outline Pembahasan Kuliah


 Status Personal Badan Hukum
 Nasionalitas Badan Hukum
 Teori Teori Titik aut badan Hukum
- Teori Incoorporation
- Teori real seat
 Pro dan Kontra penetuan Titik taut badan Hukum

Kewarganegaraan Badan Hukum


 Apakah Badan Hukum memiliki kewarganegaraan?
 Niedrer berpendapat bahwa pengertian kewarganegaraan tidak dapat memecahkan
persoalan persoalan pengakuan badan hukum
 Kegel : sepanjang itu dapat kita membedakan apakah suatu badan hukum termasuk disini
atau disana , tetapi bukan berarti badan hukum memiliki kewarganegaraan

Artinya : badan hukum tidak memiliki status kewarganegaraan .Lantas apa yang harus
dilakukan ? sehingga lahirlah teori Status personal Badan Hukum
1. Incoorporation
2. Tempat kedudukan yang efektif

Pro dan Kontra


- Keuntungan utama dari doktrin inkorporasi adalah mudah untuk menentukan yurisdiksi
yang menjadi subjek perusahaan (pro)
- tidak perlu melakukan evaluasi faktual terhadap lokasi setiap kegiatan bisnis, di mana
suatu perusahaan yang didirikan dapat dengan mudah dan obyektif didirikan.(pro)
- Mungkin lebih sulit bagi negara di mana perusahaan didirikan tetapi tidak memiliki
kegiatan ekonomi untuk memiliki wawasan yang diperlukan tentang urusan perusahaan
untuk mempertahankan tingkat kontrol yang sama, daripada untuk negara tempat
kedudukan yang sebenarnya.(cons)
Kualifikasi

Melalui proses kualifikasi untuk menata sekumpulan fakta dalam peristiwa hukum tersebut untuk
kemudian didefinisikan dan ditempatkan dalam suatu kategori yuridik tertentu dalam kaitannya
dengan pengambilan keputusan hukum atas persoalan hukum tersebut (menurut buku bayu seto
halaman 92)

Di dalam HPI, kualifikasi menjadi lebih penting lagi karena berkaitan dengan adanya kewajiban
untuk memilih salah satu sistem hukum yang relevan dengan kasus yang dihadapi
Kualifikasi dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu:
 Kualifikasi Fakta (Classification of facts)
Proses kualifikasi yang dilakukan terhadap sekumpulan fakta yang dihadapi dalam sebuah
peristiwa hukum untuk ditetapkan menjadi satu atau lebih peristiwa atau masalah hukum
sesuai dengan sistem klasifikasi kaidahkaidah hukum yang berlaku di dalam suatu sistem
hukum tertentu.
 Kualifikasi Hukum (Legal Classification)
Penetapan tentang penggolongan/pembagian seluruh kaidah hukum di dalam sebuah sistem
hukum ke dalam pembidangan, pengelompokan atau kategori hukum tertentu.

Di bidang HPI kualifikasi ini selalu diperlukan, bahkan sangat menonjol dibandingkan dengan
kualifikasi di bidang hukum intern. Hal ini disebabkan karena hukum asing kadang-kadang
melakukan kualifikasi yang berlainan dengan hukum kita.

Permasalahan
Masalah-masalah khas tersebut sebenarnya bisa dipersempit menjadi 2 (dua) masalah utama dalam
problem kualifikasi di bidang HPI, yaitu:
(1) Adanya kesulitan untuk menentukan ke dalam kategori apa sekumpulan fakta dalam sebuah
perkara harus digolongkan, mengingat adanya perbedaan-perbedaan kualifikasi di atas?
(2) Apa yang harus dilakukan bila dalam suatu perkara HPI tersangkut lebih dari satu sistem
hukum, dan karena masing-masing sistem hukum mengkualifikasikan sekumpulan fakta
secara berbeda, maka perbedaan ini juga dapat menimbulkan perbedaan dalam putusan
akhir perkara (Konflik Kualifikasi).

Pentingnya Kualifikasi
Landmark case , kasus bartolo

Pokok Perkara:
(1) Sepasang suami-isteri warga negara Inggris, berdomisili di Malta (jajahan Inggris) dan
melangsungkan pernikahan mereka di Malta.
(2) Setelah pernikahan, meraka pindah tetap dan berdomisili di Aljazair (jajahan Perancis), dan
memperoleh kewarganegaraan Perancis.
(3) Semasa hidupnya di Pernacis, suami membeli sebidang tanah produktif di Perancis.
(4) Suami meninggal dunia, dan setelah itu isteri menuntut ¼ (seperempat) bagian dari hasil
produksi tanah ;
(5) Perkara diajukan di Pengadilan Perancis (Aljazair).
Beberapa titik taut (connecting factors) yang nampak menunjukkan, bahwa:
(1) Inggris (Malta) adalah Locus Celebrationis, sehingga hukum Inggris relevan terhadap kasus
ini sebagai Lex Loci Celebrationis.
(2) Perancis (Aljazair) adalah domisili setelah perkawinan (matrimonial domicile),
kewarganegaraan setelah mereka pindah, situs di mana benda (tanah) terletak, dan tempat
perkara diajukan. Karena itu Hukum Perancis relevan terhadap perkara ini, secara berurutan
sebagai Lex Domicilii Matrimonium, Lex Patriae, Lex Situs, dan Lex Fori.

Proses Penyelesaian Perkara:


(1) perkara adalah perkara HPI karena adanya unsur asing di antara fakta-fakta perkara, dan
karena itu hakim harus menetapkan hukum apa yang seharusnya berlaku (lex causae);
(2) Hakim melihat, baik dalam hukum Inggris maupun hukum Perancis, adanya 2 (dua) kaidah
HPI yang pada dasarnya sama, yaitu bahwa:
a. Masalah Pewarisan Tanah harus tunduk pada hukum dari tempat di mana tanah
terletak, berdasarkan asas Lex Rei Sitae,
b. Masalah Tuntutan Janda atas hak-haknya terhadap Harta Perkawinan (matrimonial
rights) harus diatur oleh hukum dari tempat di mana para pihak berdomisili pada saat
perkawinan diresmikan (Lex Loci Celebrationis).
Persoalan Bagi Hakim:
(1) Sekumpulan fakta seperti dalam kasus ini, bagi hukum Perancis (lex fori) harus
dikualifikasikan sebagai masalah Pewarisan Tanah, sedangkan
(2) berdasarkan hukum Inggris (lex loci celebrationis) perkara semacam ini dikualifikasikan
sebagi perkara hak-hak janda atas harta perkawinan (matrimonial rights).
(3) Persoalan kualifikasi berdasarkan hukum Perancis (lex fori) atau berdasarkan hukum Inggris
(hukum asing) akan membawa pengaruh terhadap proses penyelesaian sengketa, sebab
hakim menyadari bahwa:
a. Bila perkara dikualifikasikan sebagi perkara pewarisan tanah (berdasarkan lex fori), maka
kaidah HPI Perancis akan menunjuk ke arah hukum intern Perancis sebagi Lex Causae,
dan berdasarkan hukum Perancis, tuntutan janda akan ditolak, sebab berdasarkan
hukum Perancis, seorang janda tidak berhak memperoleh bagian dari harta warisan
b. Bila perkara dikualifikasikan sebagai perkara Matrimonial Rights (berdasarkan hukum
Inggris), maka kaidah HPI Perancis akan menunjuk ke arah hukum intern Inggris sebagai
lex causae, dan berdasarkan hukum Inggris, tuntutan janda akan dikabulkan, sebab
berdasarkan hukum intern Inggris seorang janda memiliki hak atas hasil tanah itu
sebagai bagian dari harta perkawinan.
Teori Kualifikasi
1. Teori Kualifikasi Lex Fori (menurut hakim)
Teori ini beranggapan bahwa kualifikasi harus dilakukan berdasarkan hukum dari pengadilan yang
mengadili perkara (lex fori) karena sistem kualifikasi adalah bagian dari hukum intern lex fori
tersebut.
Menurut pendirian ini, pengertian-pengertian hukum dalam kaidahkaidah HPI harus dikualifikasikan
menurut dan sesuai dengan pengertian hukum intern-materiil dari hukumnya hakim sendiri.

Kelebihan
Kebaikan dari teori ini adalah bahwa kaidah-kaidah hukum lex fori paling dikenal oleh Hakim,
sehingga perkara lebih mudah diselesaikan.

Kelemahannya
adakalanya menimbulkan ketidak adilan, karena kualifikasi dijalankan dengan menggunakan ukuran-
ukuran yang tidak terlalu sesuai dengan sistem hukum asing yang seharusnya diberlakukan, atau
bahkan dengan ukuran-ukuran yang tidak dikenal oleh sistem hukum asing tersebut.

Di dalam Teori Kualifikasi Lex Fori terdapat pengecualian yaitu:


1) Apabila perkara yang dihadapi menyangkut penentuan hakikat suatu benda sebagai benda
tetap atau benda bergerak, kualifikasi dilakukan berdasarkan ukuran-ukuran yang dikenal
dalam Lex Situs ( Hukum tempat dimana benda terletak).
2) Apabila perkara menyangkut kontrak-kontrak yang dibuat melalui korespondensi
(interabsentes), penentuan tentang saat dan sah tidaknya pembentukan kontrak harus
dilakukan berdasarkan lex loci contractus ( hukum dari tempat pembuatan kontrak) yang
ditetapkan secara objektif.

2. Teori Kualifikasi Lex Cause


Maksud dari teori ini adalah guna menentukan kaidah HPI mana dari lex fori yang paling erat
kaitannya dengan kaidah hukum asing yang mungkin diberlakukan

Kualifikasi dilakukan menurut sistem hukum dari mana pengertian itu berasal misalnya hakim Inggris
menyelidiki berlakunya H. Italia maka ia harus menggunakan kualifikasi H. Italia.

Teori ini merupakan perluasan dari Lex Fori, yang beranggapan bahwa proses kualifikasi dalam
perkara Hukum Perdata Internasional dijalankan sesuai dengan sistem serta ukuran-ukuran dari
keseluruhan sistem hukum yang berkaitan dengan perkara tersebut.

Teori ini beranggapan bahwa kualifikasi harus dilakukan sesuai dengan sistem serta ukuran dari
keseluruhan hukum yang bersangkutan dengan perkara. Tindakan kualifikasi dimaksudkan untuk
menentukan kaidah HPI mana dari lex fori yang erat kaitannya dengan hukum asing yang seharusnya
berlaku.

Penentuan ini harus dilakukan dengan mendasarkan diri pada hasil kualifikasi yang dilakukan dengan
memperhatikan sistem hukum asing yang bersangkutan. Setelah kategori yuridis dari suatu peristiwa
hukum ditetapkan dengan cara itu, baru dapat ditetapkan kaidah HPI yang mana dari lex Fori yang
akan digunakan untuk menunjuk ke arah Lex Causae.
Kelemahan
lex causae tidak/belum diketahui sebelum ditemukan ketentuan penunjuknya. Sedangkan ketentuan
penunjuk mana yang akan diterapkan tergantung dari kualifikasi
http://hukumperdatainternational2014.blogspot.com/2014/12/kualifikasi.html
Contoh kasus antonio bartolo
3. Teori Kualifikasi Bertahap
Teori ini bentitik tolak dari keberatan terhadap teori kualifikasi Lex Causae karena kualifikasi tidak
mungkin di lakukan berdasarkan hukum yang seharusnya berlaku justru hukum yang hendak di
berlakukan itulah yang masih harus ditentukan dengan bantuan proses kualifikasi.

Penentuan Lex Causae dalam perkara HPI hanya dapat dilakukan melalui proses kualifikasi dengan
bantuan titik-titik taut, dan pada tahap penemuan Lex Causae kualifikasi mau tidak mau harus di
lakukan berdasarkan Lex Fori terlebih dahulu demi keadilan dan ketelitian dalam proses penentuan
kaidah hukum yang akan digunakan untuk menyelesaikan perkara. Kualifikasi bertahap ini dibagi
menjadi dua tahapan yaitu:

1) Tahap Pertama (Kualifikasi Primer)


Disebut juga qualification arsten grades, primary classification, qualificatie in de eerste graad.
Kualifikasi ini dijalankan pada saat hakim harus menentukan kaidah HPI atau choice of law rule (Lex
Fori) yang akan digunakan untuk titik taut penentu. Kualifikasi ini dilakukan dalam rangka
menetapkan Lex Causae yang harus dilaksanakan, berdasarkan Lex Fori. Proses kualifikasi dengan
mendasarkan diri pada sistem kualifikasi intern yang dikenal pada Lex Fori.

Inti: Kualifikasi primer ini digunakan untuk mencari atau menemukan hukum yang harus
dipergunakan (lex causae). Untuk dapat menemukan hukum yang seharusnya dipergunakan itu,
harus dilakukan kualifikasi berdasarkan lex fori. Kaidah-kaidah HPI lex fori harus dikualifikasikan
menurut hukum materiil hakim yang mengadili perkara yang bersangkutan (kaidah internal lex fori).
Pada tahap ini dicari kepastian mengenai pengertian-pengertian hukum, seperti domisili, pewarisan,
tempat dilaksanakannya kontrak. Berdasarkan kualifikasi demikian inilah akan ditemukan hukum
yang seharusnya dipergunakan (lex causae). Lex causae yang ditemukan itu bisa berupa hukum
asing, juga bisa lex fori sendiri.

2) Tahap Kedua ( Kualifikasi Sekunder)


Disebut juga qualification zweiten grades, secondary classification, qualificatie in de graad. Kualifikasi
ini dijalankan setelah kualifikasi lex causae di tetapkan kategori kaidah atau aturan hukum intern lex
causae yang akan digunakan untuk menyelesaikan perkara. Jika sudah diketahui hukum yang
seharusnya diberlakukan adalah hukum asing, maka dilakukan kualifikasi lebih lanjut menurut
hukum asing yang sudah ditemukan itu, dan semua fakta harus dikualifikasikan kembali berdasarkan
sistem kualifikasi yang ada pada Lex Causae.

Inti: Apabila sudah diketahui hukum yang seharusnya diberlakukan itu adalah hukum asing, maka
perlu dilakukan kualifikasi lebih jauh menurut hukum asing yang sudah ditemukan itu. Pada tahap
kedua ini, semua fakta dalam perkara harus dikualifikasikan kembali berdasarkan sistem kualifikasi
yang ada pada lex causae.

4. Teori Kualifikasi Analitis/ Otonom


Kualifikasi otonom pada dasarnya menggunakan metode perbandingan hukum untuk membangun
sistem kualifikasi yang berlaku secara universal. Kualifikasi yang dilakukan secara otonom ini terlepas
dari salah satu sistem hukum tertentu,

Menurut Rabel untuk mewujudkan hal tersebut haruslah digunakan metode perbandingan hukum
dalam rangka membentuk pengertian-pengertian HPI yang dapat diterima di mana saja. Tujuannya
untuk menciptakan suatu sistem HPI yang sangat utuh dan sempurna serta yang berisi konsep-
konsep dasar yang bersifat mutlak.
Kualifikasi dilakukan terlepas dari salah satu sistem hukum tertentu, artinya dalam Hukum Perdata
Internasional seharusnya ada pengertian hukum yang khas dan berlaku umum serta bermakna sama
dimanapun di dunia ini.

Meskipun teori kualifikasi ini sulit untuk dijalankan, akan tetapi hal yang dapat ditarik sebagai
pelajaran adalah cara pendekatan/sikap seperti itu perlu dibina dalam HPI, meskipun seseorang akan
mengualifikasikan sekumpulan fakta berdasarkan Lex Fori sekalipun. Artinya, konsep-konsep HPI
jangan diartikan hanya berdasarkan pengertian Lex Fori belaka akan tetapi harus juga didasarkan
pada prinsip-prinsip yang dikenal secara universal dengan memperhatikan konsepsi-konsepsi di
dalam sistem hukum asing yang dianggap hampir sama( dengan analogi/analogous)

5. Teori Kualifikasi Berdasarkan Tujuan HPI


Teori ini bertitik tolak pada pandangan bahwa setiap kaidah HPI harus dianggap memiliki suatu
tujuan HPI tertentu yang hendak di capai dan tujuan-tujuan yang hendak dicapai melalui HPI
haruslah di letakkan dalam konteks kepentingan HPI, yaitu:
a) Keadilan dalam hubungan internasional;
b) Kepastian hukum dalam hubungan bermasyarakat;
c) Ketertiban dalam hubungan internasional;
d) Kelancaran lalu lintas hubungan internasional.

Lex causae hukum yang seharusnya berlaku


Lex fori hukum tempat diajukannya perkara/ hukum bedasarkan pengadilan yang mengadili
Renvoi
Definisi
Penunujukan kembali atau penunjukan lebih lanjut oleh kaidah kaidah HPI dari suatu system
hukum asing yang ditunjuk

Renvoi akan timbul bilamana hukum asing yang ditunjuk lex fori menunjuk kembali kepada
lex fori tadi, atau kepada sistem hukum yang lain. Setelah sekumpulan fakta dalam suatu
perkara HPI dikualifikasikan, kemudian dicari titik-titik taut yang dapat memberikan
petunjuk tentang hukum mana yang akan berlaku terhadap kasus atau perkara yang
bersangkutan

Latar belakang renvoi


- Teori tentang Penunjukan Kembali/Renvoi. Renvoi timbul dikarenakan adanya perbedaan
prinsip dari negara-negara dalam menentukan status personal warganegaranya
- Karena tidak ada keseragamanan dalam menyelesaikan masalah masalah hpi di negara
negara di dunia
 Muncul ketika para pihak tidak menentukan pilihan hukumnya

Dalam prakteknya, ada 3 macam skema penunjukan kembali

1. Single Renvoi
merupakan skema yang melakukan penunjukan terhadap kaidah hukum asing hanya
sekali penunjukan. Yaitu penunjukan yang bersifat gesamt (penunjukan terhadap
kaidah intern dan kaidah HPI) dan sachnormen (Penunjukan terhadap kaidah intern
saja). Skema ini dianut oleh Negara-negara Eropa Kontinental Contoh Yurisprudensi
terkenal dalam pembahasan single renvoi adalah Kasus Forgo.13
2. Double Renvoi
atau Foreign Court Doctrine merupakan skema renvoi yang dianut di negara-negara
Anglo Saxon, terutama Inggris. Dalam praktek pengadilan di Inggris, hakim akan
duduk seolah-olah berada di kursi pengadilan negaara asing (consider himself sitting
in the foreign court). Dalam skema double renvoi ini, akan ada dua kemungkinan
yaitu hakim Inggris berhadapan dengan negara yang menerima teori Renvoi
(kemungkinan I) dan hakim Inggris berhadapan dengan negara yang menolak teori
Renvoi (kemungkinan II)
3. Penunjukan lebih jauh
merupakan skema renvoi yang melibatkan tiga atau lebih sistem hukum. Contoh
Yurisprudensi dari penunjukan lebih jauh adalah pada Kasus Oom n Nicht (Paman
dan Kemenakan).
Dalam HPI Tradisional dikenal 2 (dua) jenis Single-Renvoi:
a. Remission (Penunjukan Kembali), yaitu proses renvoi oleh Kaidah HPI asing kembali
ke arah Lex Fori;
b. Transmission (Penunjukkan lebih lanjut), yaitu proses renvoi oleh Kaidah HPI asing ke
arah suatu sistem hukum asing lain.

Penggunaan Renvoi
Renvoi harus digunakan sebagai alat bagi hakim untuk merekayasa penentuan lex causae
kearah sisrem hukum yang dianggap memberikan putusan yang dianggapnya terbaik
(daripada diselesaikan denga hukum asing mending pake hukum negara saya)

Alasan Penggunaan renvoi


- Apabila hakim hendak memberlakukan sistem hukum lain selain dari lex causae yang
seharusnya bedasarkan penunjukan kaidah HPI lex fori
- Apabila kaidah kaidah HPI dari lex fori dan sistem hukum asing yang seharusnya
beralku tidak menggunakan titik taut sekunder yang sama
- Apabila fakta fakta dalam perkara memungkinkan penunjukan kembali/lebih lanjut
oleh kaidah HPI asing kembali kearah lex fori’

Hukum asing
Jika menurut sautu ketentuan HPI harus diberlakukan hukum suatu negara lain, maka timbul
pertanyaan:
1. Apa yang dimaksud hukum negara asing itu
2. Apakah hukum asing itu hanya hukum intern negara yang bersangkutan saja atau
lebih luas lagi, yaitu termasuk juga kaidah-kaidah HPI-nya?

Untuk memperjelas uraian tersebut, Sudargo Gautama memberikan contoh sebagai


berikut: bilamana hakim Indonesia berdasarkan ketentuan HPI indonesia telah menyatakan
bahwa hukum yang berlaku terhadap perkara yang ia periksa atau adili adalah hukum
Inggris, maka timbul persoalan atau pertanyaan apakah yang diartikan dengan hukum
inggris itu? Dalam hal ini dapat terjadi dua kemungkinan.
1) Hukum intern (domestic law = municipal law = local law) Inggris yang berlaku di
Inggris untuk hubungan-hubungan hukum sesama orang Inggris; atau
2) Di dalamnya termasuk pula ketentuan-ketentuan HPI Inggris, jadi termasuk pula
ketentuan choice of law.
Bilamana kita hanya menunjuk pada hukum intern saja, orang Jerman menyebutnya sebagai
sachnormen, penunjukkannya dinamakan sachnormverweisung. Bilamana yang dimaksud
dengan hukum asing itu adalah seluruh sistem hukum (jadi termasuk ketentuan HPI-nya)
disebut kollisionsnormen, penunjukkannya dinamakan gesamtverweisung.

Sachnormverweisung
Penunjukan kearah kaidah kaidah hukum intern (sachnormn) dari sautu sistem hukum
tertentu
Kalau penunjukkan hukum asing itu, hanya ketentuan hukum materiil asing dinamakan
SACHNORMVERWEISUNG;

Gesamtnverweisung
Peunujukan kearah keseluruhan system hukum tertentu, yang artinya prima factie adalah
kaidah kaidah HPI (kolisinnormen) dari system hukum tersebut
Sedangkan kalau menunjuk pada keseluruhan ketentuan hukum asing (yaitu ketentuan materiil
intern dan HPI) dinamakan GESAMTNORMVERWEISUNG.

Revnoi terjadi ketika hakim menggunakan gesamtnverweisung artinya hakim melakukan


penunjukan ke seluruh system hukum

Dengan demikian penunjukan kembali dapat dibagi dua, yaitu :


1) Penunjukan kembali (simple renvoi atau remission); dan
2) Penunjukan lebih lanjut atau penunjukan lebih jauh (transmission atau renvant the
second degree)

https://slideplayer.info/slide/12007326/
Kasus Patino vs Patino
Kasus posisi
 Kasus ini tentang Sepasang suami istri warga negara bolivia mengajukan
permohonan untuk perceraian
 Pernikahan mereka dilakukan dan diresmikan di spanyol
 Permohonan perceraian diajukan di pengadilan perancis
Fakta Hukum
 Kaidah HPI perancis menetapkan bahwa :perkara perkara yang menyangkut status
personal harus ditentukan bedasarkan prinsip kewarganegaraan para pihak
 Kaidah HPI bolivia menetapkan bahwa :perkara tentang ‘pemenuhan atau penolakan
terhadap permohonan perceraian “harus dilakukan bedsarkan hukum dari tempat
perkawinan diresmikan (lex loci celebrationis)
 Kaidah Hukum intern spanyol menutup kemungkinan untuk pelaksanaan perceraian
terhadap perkawinan yang resmi dilaksanakan berdasarkan hukum spanyol
Proses penyelesaian perkara
 Hukum perancis, pertama tama menggunakan kaidah HPI lex fori untuk menentukan
hukum yang seharusnya berlaku dan bedasarkan prinsip kewarganegaraan,
kemudian kaidah HPI perancis menunjuk kearah hukum Bolivia bedaasarkan (asas
nasionalitas dimana status personal seseorang ditetapkan berdasarkan hukum
kewarganegaraan)
 Penunjukan kearah hukum Bolivia oleh hakim perancis ternyata dimaksudkan
sebagai gesamtverweisung kearah kaidah HPI bolivia
 Kaidah HPI bolivia ternyata menunjuk kearah tempat dimana perkawinan
dilangsungkan dan dicatatakan (locus celebratonis) dan dalam hal ini adalah spanyol.
Penunjukan dari bolivia ke arah hukum spanyol inilah yang merupakan renvoi ke
arah sistem hukum ketiga (dan tidak kembali kearah lex fori)
 Hakim perancis kemudian menganggap bahwa penunjukan ini sebagai
sachnormverweisung ke arah hukum intern spanyol
 Sehingga atas dasar tersebut, hakim perancis kemudian memberlakukan hukum
intern spanyol dan menolak permohonan cerai yang bersangkutan dan pola berpikir
yang digunakan hakim perancis ini mengambarkan proses renvoi dalam arti
Transmission (penunjukan lebih lanjut) yang mana merupakan skema renvoi yang
melibatkan tiga atau lebih sistem hukum

Pelajari
-gesam
- sachnorm
Open BAAR Order

Ukuran Ketertiban Umum:


- Rumusannya sulit
- Bersifat kasuistis
- Tidak ada konsepesi mengenai ketertiban umum
- Ukurannya sangat dipengaruhi pada
1. Waktu
2. Kebudayaan
3. Falsafah kenegaran
4. Tempat
5. Situiasi politik

Konsepesi Ketertiban Umum


DI perancis:
- Segala sesuatu yang membenarkan diterapkannya hukum perancis di dalam
persoalan persoalan hukum perdata internasional diangap sebagai ordre public
- Akibatknya hukum perancis yang diterapkan )penerapan hkum asing tidak
diindahkan)
Di jerman
- Penggunaan openbaare orde dianggap sebagai perkeculian , tidak sebgai sesuatu
yang lazim

Konsepsi ketertiban umu di indonesia


- Pasal 23 AB
Undang undang yang menyangkut keteriban umum dan kesusilaan tidak dapat
ditiadakan kekuasaan beralkunya oleh tindakan tindakan dan perjanjian apapun
- Safety value
- Absolute necessary: dibatasi, diterapkan apabila perlu

Penyelendupan Hukum
- Mengingkari hukum secara tidak halal
- Pengingkaran hukum

Syarat penyeledundupan Hukum


Syarat subyektif
- Sengaja
Syarat obyektif
- Kewajiban untuk mentaati uu atau hukum sendiri bagi yang bersangkutan

Cara kerja ketertiban umum


- Positiven weikung
 ketentuan penunjuk (exPsal 16 ab....) tidak sampai bekerja
penerapan ketentuan forum secara mutlak
yang diberlakukan pasti hukum lex fori atau hukum lex fori

Contoh :
1. Ganti rugi karena pembatalan janji kawin
2. Larangan perkawinan Nazi –Jerman

- Negativen Wirkung
ketentuan penunjuk dibiarkan bekerja lebih dahulu
kemudian dinilai efeknya

Contoh:
1. WN Arab saudi tinggal di belanda dan menikah lagi dengna WN arab di belanda

UTS ksisi ksisi

- Kasus posisi berkaitan dengn ahukum ornag dan keluarga atau harta benda,
ataupun perjnajian
- Ada 2 atau 3 soal dimana semuanya analisa dan jebakan
- Ingat cara kerja HPI
1. Harus menentukan ini kasus hpi atau bukan, karena kalau bukan merupakan
HPI maka pake ketentuan tentag pake hukum materiil idnonesia

- Bagaimana anda merekayasa jika sebagai hakim (kasus renvaoi)


- Open baar order
-

Anda mungkin juga menyukai