Anda di halaman 1dari 34

HUKUM PERDATA INTERNASIONAl

BAB I

A. PENGERTIAN HUKUM PERDATA INTERNASIONAL :


Hukum perdata internasional : seperangkat kaidah hukum
nasional yang mengatur peristiwa atau hubungan hukum yang
mengandung unsure –unsure transnasional (asing).
PERSAMAAN DAN PERBEDAAN HI DAN HPI:
Sama-sama mengatur hub atau persoalan yang melintasi batas
Negara.
Perbedaannya terletak pada sifat hukum hub atau persoalan
yang diaturnya (obyeknya).
Sumber HI berdasarkn pasal 38 statuta Mahkamah
Internasional.
Sumber HPI adalah hukum nasional.
Jadi yang internasional adalah hubungan-2 nya, sedangkan
kaidah-2 HPI adalah hukum perdata nasional.

MASALAH-MASALAH POKOK HPI.

(1). Hukum yang harus diberlakukan dalam suatu perkara yang


mengandung elemen asing (choice of law).
(2). Kewenangan pengadilan yang mengadili perkara tersebut
(yurisdiction).
(3). Pengakuan dan pelaksanaan putusan peradilan asing
(recognition of enforcement of judgment).

C. SIFAT HUKUM PERDATA INTERNASIONAL : - HPI hanya


dianggap sebagai penunjuk kepada hubungan-hubungan
internasional artinya ada unsure luar negerinya.
- Hakim dalam memberlakukan hokum pada ksus HPI berkisar pada
penetapan HUKUM NASIONAL, HUKUM ASING dan HUKUM
ISTIMEWA (traktat).

- Sumber HPI bukanlah hokum yang bersifat supra nasional tetapi tiap
Negara yang merdeka dan berdaulat mempunyai system hokum HPI
sendiri.

- Untuk menangani kasus HPI setiap Negara dalam system hokum


perdatanya mengatur sendiri bagaimna cara menangani dan
menyelesaikan kasus HPI.

- Jadi dalam pengertian internasional dalam HPI bukan berarti bahwa


sumber HPI adalah internasional tetapi hanya kasusnya yang
mempunyai unsur2 asing sedangkan sumber HPI adalah tetap
nasional.

D. SUMBER HPI INDONESIA :

Di Indonesia kaidah2 hukum perdata internasional tidak terkumpul


dalam suatu undang-undang biasanya kaidah HPI tersebar dalam
berbagai peraturan atau undang-undang.

Sumber HPI Indonesia sejak sebelum tahun 1945 sampai sekarang


dapat kita temukan dalam kaidah2 sebagai nerikut :

1. Dalam AB (Algemene Bepalingen Van Wetgeving)


Pasal 16 : Ketentuan2 perundang2an mengenai status dan
wewenang dari orang2 tetap mengikat untuk warga Negara
Indonesia , jikalau berada di Luar Negeri.
Akan tetapi apabila mereka kini menetap di Negara lain mereka
mempunyai tempat tinggal maka meraka tunduk pada
perundang-undangan yang berlalaku di tempat itu.
Pasal 17 : Berkenaan dengan benda2 tidak bergerak berlaku
undang-undang dari Negara atau tempat dimana benda tidak
bergerak tersebut berada.
Pasal 18 : Bentuk dari pada tiap perbuatan ditentukan oleh
undang-undang dari Negara atau tempat dimana perbuatan itu
telah dilakukan.
2. Dalam UU No 1/1974 ( pasal 57 s/d 62).
3. Dalam UU No. 5/1960 (UUPA). ( pasal 9 (1), 21(1 s/d 4), pasal 30
(1,2). Pasal 36 (1,2), pasal 42 , dan pasal 45.

E. RUANG LINGKUP HPI :

1. HPI dalam arti sempit hanya terbatas pada masalah hukum yang
diberlakukan. Hal-hal yang berkenaan kompetensi hakim, status
orang asing dan kewaranegaraan tidak termasuk bidang HPI.

2. HPI dalam arti yang lebih luas tidak terbatas pada persoalan choice
of law, tetapi termasuk persoalan yang bertalian dengan kompetensi
hakim.

3. yang lebih luas lagi HPI tidak hanya menyangkut pilihan hukum dan
pilihan forum tetapi juga mnyangkut status orang asing.

4. yang terluas HPI termasuk menyangkut pilihan hukum, status


forum, status orang asing dan kewarganegaraan.
BAB II

SEJARAH PERKEMBANGAN HUKUM PERDATA INTEERNASIONAL

A. AWAL PERKEMBANGAN HUKUM PERDATA INTERNASIONAL.

Pada masa Romawi berkembang azas-azas yang dilandasi prinsip


atau azas territorial , yang dewasa ini dianggap sebagai azas HPI yang
penting , misalnya :

(1). Asas Lex Rei Sitae (Lex Situs), yang menyatakan bahwa hukum
yang harus diberlakukan atas suatu benda adalah hukum dari
tempat dimana benda tersebut berada atau terletak.

(2). Asas Lex Loci Contractus, yang menyatakan bahwa terhadap


perjanjian-perjanjian yang bersifat HPI berlaku kaidah-kaidah
hukum dari tempat pembuatan perjanjian.

(3). Asas Lex Domicilli, yang menyatakan bahwa hukum yang


mengatur hak serta kewajiban perorangan adalah hukum dari
tempat seseorang berkediaman tetap.

B. MASA PERTUMBUHAN ASAS PERSONAL (Abad 6 – 10 M).

Beberapa asas HPI yang tumbuh pada masa tersebut yang


dewasa ini dapat dikatagorikan sebagai asas HPI yang berasas
personal, misalnya :

(1). Asas yang menetapkan bahwa hukum yang berlaku dalam suatu
perkara adalah hukum personal dari pihak tergugat.

(2). Asas yang mnyatakan bahwa kemampuan untuk melakukan


perbuatan hukum seseorang ditentukan oleh hukum personal
orang tersebut. Kapasitas para pihak dalam suatu perjanjian
harus ditentukan oleh hukum personal masing-masing pihak.

(3). Asas yang menyatakan bahwa masalah masalah pewarisan harus


diatur berdasarkan hukum personal si pewaris.

(4). Pengesahan suatu perkawinan harus dilakukan berdasarkan


hukum personal sang suami.

D.SEJARAH PERKEMBANGAN HPI DI INDONESIA.

Sumber hokum di Indonesia terutama terdapat dalam pasal 16 ;


17 dan 18 stbl 1847 no 23 yang merupakan pengoperan dari statute
personalia ; statute realia dan statute mixta.

1. Statute personalia : Statuta-statuta yang berkenaan dg


kedudukan hukum atau status personal orang.
2. Statute realia : statute-statuta yg berkenaan status benda.
3. Statute mixta : statute-statuta yg berkenaan dg perbuatan2 hk.

Perkembangan HPI di Indonesia dewasa ini mengalami


kemajuan yang pesat.

Untuk itulah , maka dituntut adanya pengadaan/pencetakan


ahli-ahli hukum yang timbul di bidang Hukum Perdata Internasional
tersebut.
BAB III

BEBERAPA PRANATA HUKUM PERDATA INTERNASIONAL

Beberapa Pranata HPI :

A. TITIK –TITIK PERTALIAN ATAU TITIK-TITIK TAUT DALAM HPI.


PENGERTIAN :
Menurut Sudargo Gautama , titik taut atau titik-titik pertalian
adalah hal-hal atau keadaan yang menyebabkan berlakunya
suatu stelsel hukum.

Apakah titik-titik taut itu ?

Titik-titik taut /Pertalian adalah


- sekumpulan fakta perkara HPI
- yang menunjukkan pertautan antara perkara dengan suatu
tempat (Negara) tertentu,
- dan relevansi antara perkara yang bersangkutan dengan sistem
hukum di tempat itu.
Contoh :

- Seorang warga Negara Jerman , yang


- sehari-hari berdomisili di Inggris,
- meninggal di Perancis.
- meninggalkan sejumlah warisan di Italia, Inggris dan Jerman.
- Sebelum meninggal Ia membuat testamen untuk mengatur
pembagian harta warisannya.
- Testamen dibuat di Perancis.
- Ketika para ahli waris bersengketa mengenai pembagian waris
itu, maka mereka sepakat untuk mengajukan perkara di
Pengadilan Jerman.
Contoh di atas menunjukkan adanya kaitan antara fakta-fakta
yang ada di perkara dengan suatu tempat /Negara dan juga sistem
hukum Negara-negara tertentu.

Misalnya :

1. Kewarga negaraan pihak pewaris (Jerman).


2. Tempat kediaman tetap(domisili) pewaris (Inggris).
3. Letak benda (Situs Rei) di Italia , Inggris dan Jerman.
4. Tempat perbuatan hukum dilakuakan (pembuatann testamen)
di Perancis.
5. Tempat perkara diajukan di Jerman.

Di dalam HPI dikenal dua macam titik pertalian: , yaitu titik


pertalian primer (titik taut pembeda) dan titik pertalian sekunder
(titik taut penentu).

B.Titik-Titik Pertalian Primer (Titik Taut Pembeda).

Titik-titik pertalian primer (TPP) adalah factor-faktor atau


keadaan-keadaan atau sekumpulan fakta yang melahirkan atau
menciptakan hubungan HPI.

Faktor-faktor yang termasuk dalam TPP adalah sebagai berikut:

1. Kewarganegaraan;
2. Bendera kapal dan pesawat udara;
3. Domisili (domicile);
4. Tempat kediaman (residence);
5. Tempat kedudukan badan hukum (legal seat); dan
6. Pilihan hukum dalam pilihan intern.
Titik-titik pertalian primer merupakan alat bagi untuk mengetahui
apakah suatu perkara atau perselisihan merupakan perkara HPI.

Ad. 1. Kewarganegaraan

Perbedaan kewarganegaraan diantara para pihak yang


melakukan suatu hubungan hukum akan melahirkan persoalan HPI.
Misalnya : seorang warga Negara Indonesia menikah dengan
warganegara belanda, atau seorang warganegara Indonesia
melakukan suatu transaksi jual beli dengan seorang warga Negara
jerman.

Ad. 2. Bendera Kapal dan Pesawat Udara

Dalam arti luas, kapal bermakna:

- kendaraan air dalam bentuk dan jenis apapun,


- yang digerakan dengan tenaga mekanik, tenaga angin, atau
ditenda,
- termasuk kendaraan dibawah permukaan air,
- serta alat apung dan bangunan terapung yang tidak berpindah-
pindah.

Sedangkan di dalam Pasal 1 Angka 5 UU No. 15 Tahun 1992 tentang


pesawat udara didefenisikan sebagai : setiap alat yang dapat terbang
di atmosfer karena gaya angkat dari reaksi udara. Dengan demikian
pesawat udara itu antara lain bisa mencakup pesawat terbang dan
helicopter.

Bendera kapal dan pesawat udara menunjuk kepada tempat di mana


suatu kapal atau pesawat udara didaftarkan untuk memperoleh
kebangsaan dan menetapkan hukum mana yang menguasai kapal
atau pesawat udara itu.

Hukum bendera kapal atau pesawat udara tersebut menunjukan


kebangsaan kapal atau pesawat udara itu.

Kebangsaan kapal atau pesawat udara ditentukan berdasarkan


dinegara mana kapal atau pesawat udara itu di daftarkan.

Karena bendera atau kebangsaan kapal atau pesawat udara berbeda


dengan kebangsaan (kewarganegaraan) pihak-pihak yang
bersangkutan dengan kapal atau pesawat udara dapat menimbulkan
persoalan HPI.

Ad. 3. Domisili (Domicile)

Persoalan domisili dapat juga menjadi faktor penting timbulnya


persoalan HPI. Misalnya : Seorang warganegara Inggris (A) yang
berdomisili di Negara Y melangsungkan perkawinan dengan warga
Negara Inggris (B) yang berdomisili di negara X.

Ad. 4. Tempat Kediaman

Persoalan tempat kediaman sesorang juga dapat melahirkan


masalah HPI. Misalnya : Dua orang warganegara Malaysia yang
berkediaman sementara di Indonesia melangsungkan pernikahan di
Indonesia.

Ad. 5. Tempat Kedudukan Badan Hukum

Sebagaimana halnya manusia, badan hukum sebagai subjek


hukum juga memiliki kebangsaan dan tempat kedudukan (legal seat).
Badan hukum ditentukan berdasarkan tempat (atau Negara) dimana
pendirian badan hukum tersebut didaftarkan.

Ada beberapa pengusaha Indonesia yang mendirikan perusahaan di


Negara lain, misalnya di Hongkong. Walaupun semua pemegang
saham adalah warganegara Indonesia, namun karna didirikan
berdasarkan hukum Hongkong, maka perusahaan berbadan hukum
tsb harus runduk kepada hukum Hongkong.

Ad. 6. Pilihan Hukum Interen

Contoh : Dua orang WNI di Jakarta mengadakan transaksi jual beli


barang-barang bahan suatu pabrik yang barangnya diimpor dari
Inggris. Dalam kontrak jual beli itu dinyatakan, bahwa perjanjian jual
beli itu diatur oleh hukum Inggris. Krena adanya pilihan hukum oleh
para pihak yang menutup kontrak jual beli kearah hukum yang
berlainan dari hukum nasional mereka, akan melahirkan hubungan
HPI.

C.Titik-titik Pertalian Sekunder (Titik Tau Penentu)

Titik-titik pertalian sekunder (TPS) adalah factor-faktor atau


sekumpulan fakta yang menentukan hukum mana yang harus
digunakan atau berlaku dalam suatu hubungan HPI. Termasuk dalam
TPS adalah sebagai berikut:

1. Tempat terletaknya benda (lex situs = lex rei sitae);


2. Tempat dilangsungkannya perbutan hukum (lex loci actus)
3. Tempat dilangsungkannya atau diresmikannya perkawinan (lex
loci celebrationis);
4. Tempat ditandatanganinya kontrak (lex loci contractus);
5. Tempat dilaksanakannya perjanjian (lex loci solutionis = lex loci
executionis);
6. Tempat terjadinya perbuatan melawan hukum (lex loci delicti
commisi);
7. Pilhan hukum (choice of law); Menurut Sudargo Gautama ada
kemungkinan TPS jatuhnya bersamaan dengan TPP, yaitu:
8. Kewarganegaraan (lex patriae)
9. Bendera kapal (dan pesawat udara)
10.Domisili (lex domicilii)
11.Tempat kediaman; dan
12.Tempt kedudukan badan hukum (legal seats).

Contoh :PT. Abadi Telekomomindo sebuah perusahaan pembuat


peralatan telekomunikasi yang didirikan dan berkedudukan di
Indonesia mendapat kredit dari Bank Sumitomo, Singapura. Sebagai
jaminan bagi kredit tersebut, PT Abadi Telekomomindo
membebankan hak tanggungan atas tanah hak guna bangunan dan
bangunan diatasnya. Tanah dan bangunan tersebut terletak di
Jakarta. Sesuai dengan asas lex rei sitae, maka pengturan
pembebanan hak tanggungan tersebut harus tunduk atau diatur
berdasarkan hukum Indonesia, dalam hal ini UU No. 4 Tahun 1996 jo
UU No. 5 Tahun 1960. Jika ada perselisihan yang menyangkut suatu
perbuatan atau perbuatan melawan hukum, pengaturannya
didasarkan kepada hukum dimana perbuatan hukum atau perbuatan
melawan hukum tersebut dilakukan.

Penyelesaian hukum suatu perselisihan yang menyangkut


kontrak dapat diselesaikan berdasarkan tempat ditandatanganinya
kontrak.
Misalnya PT Pembangunan Jaya Abadi melakukan perjanjian ekspor-
impor dengan Hong Ming Co.Ltd (Singapura), kontraknya
ditandatangani di Jakarta. Jika diikuti titik laut lex loci contractus,
maka hukum yang berlaku terhadap perjanjian tersebut adalah
hukum indonesia.

Jika perjanjian tersebut dilaksanakan di Singapura dan titik laut yang


digunakan adalah lex loci solutionis, maka yang berlaku bagi kontrak
tersebut adalah hukum Singapura.

Jika di dalam suatu kontrak dagang internasional terdapat pilihan


hukum, maka hukum yang berlaku bagi kontrak tersebut haruslah
hukum yang dipilih dan disepakati para pihak.

Misalnya PT Pembangunan Jaya Abadi mengadakan perjanjian


ekspor-impor dengan Hong Ming Co.Ltd. di dalam kontrak tersebut
terdapat kluasul:

“jika terjadi perselisihan yang menyangkut penafsiran dan


pelaksanaan kontrak ini, maka penyelesaiannya didasarkan pada
hukum Singapura”. Hukum Singapura adalah hukum yang dipilih oleh
pihak.

Jika ada kapal yang dimiliki warganegara Indonesia, tetapi


didaftarkan dinegara lain, maka kapal yang bersangkutan adalah
berkebangsaan asing.

Jika kapal-kapal milik badan hukum atau warganegara Indonesia yang


berkebangsaan Negara A membebankan hipotik atas kapal atas kredit
kepada Bank di Indonesia, maka pembebanan hipotiknya harus
dilakukan di Belanda sesuai dengan hukum A.
Menurut R.H. Graveson, dalam menyelesaikan suatu perkara HPI
perlu diperhatikan 3 hal yaitu:

1. Titik laut apa sajakah yang dipilih sistem HPI tertentu yang dapat
diterapkan pada sekumpulan fakta yang bersangkutan.
2. Berdasarkan sistem hukum manakah diantara pelbagai sistem
hukum yang relevan dengan perkara, titik-titik akan ditentukan.
Hal ini perlu diperhatikan karena factor-faktor ynag sama
mungkin secara teoritis diberi interprestasi yang berbeda dalam
pelbagai sistem hukum.
3. Setelah kedua masalah tadi ditetapkan barulah ditetapkan
bagaimana prtautan itu bibatasi oleh sistem hukum yang akan
diberlakukan (lex causae).

Titik taut penentu tersebut diatas tentunya tidak digunakan


semuanya dalam suatu kasus tertentu. Misalnya ada perselisihan
yang mengangkut suatu kontrak dengan internasional, tentu tidak
semua titik laut penentu itu digunakan, harus dipilih salah satu.
Pemilihan tersebut harus sesuai dengan kaidah-kaidah hukum yang
ada.

Jika didalam kontrak tersebut ada pilihan hukum, maka hukum


yang harus digunakan haruslah sesuai dengan hukum yang dipilh par
pihak. Jika diantara kontrak itu tidak ada pilihan hukumnya, maka
harus dicari titik penentu lainnya, misalnya tempat ditandatanganinya
kontrak dan tempat dilangsugkannya kontrak. Penggunaan titik laut
selain pilihan hukum tersebut harus didasarkan pada hukum yang
berlaku. Jika kasus tersebut diadili di Indonesia, maka pengadilan
sesuai dengan pasal 18 AB harus menggunakan hukum tempat atu
Negara dimana kontrak tersebut dilaksanakan.
Penggunaan titik taut penentu dakam suatu kasus faktual dapat
diibaratkan dengan hubungan antara kunci (gembok) dan anak kunci.
Kasus atau fakta dapat digambarkan seperti gembok. Titik-titk taut
penentu adalah anak kuncinya. Untuk membuka gembok trersebut
tersedia banyak anak kunci. Tidak semua anak kunci tersebut cocok
atau dapat membuka gembok tersebut. Harus dicari dan dipilih salah
satu anak kunci yang paling cocok.

Perkara HPI dapat dijelaskan melalui tahapan penyelesaian perkara


HPI:

1. Pertama-tama harus ditemukan dulu titik-titik taut primer dalam


rangka menentukan apakah peristiwa hukum yang dihadapi.
2. Setelah hal tersebut di atas ditentukan, langkah berikutnya
adalah melakukan kualifikasi fakta berdasarkan lex fori.
Kualifikasi fakta ini dilakukan untuk menetapkan kategori yuridis
perkara yang dihadapi.
3. Setelah kategori yuridis ditentukan, langah berikutnya adalah
penentuan kaidah HPI mana dari lex fori yang harus digunakan
untuk menetukan lex causae. Pada tahap ini sebenarnya orang
menentukan titik taut sekunder apa yang bersifat menentukan
(decisive) berdasarkan kaidah HPI lex fori.
4. Setelah lex causae ditentukan, maka dengan menggunakan titik-
titik taut yang dikenal lex causae, hakim berusaha menetapkan
kaidah-kaidah hukum internal apa yang akan digunakan untuk
menyelesaikan perkara.
5. Apabila brdasarkan titik taut dari lex causae hakim telah dapat
menentukan kaidah hukum internal/material apa yang harus
diberlakukan, maka barulah perkara dapat diputuskan
BAB IV

STATUS PERSONAL DALAM HUKUM PERDATA INTERNASIONAL

A.Pengertian Status Personal.


Status personal : kondisi atau keadaan suatu pribadi dalam
hukum yang diberikan /diakui oleh Negara untuk mengamankan atau
melindungi lembaga-lembaganya. Jadi status personal adalah
kedudukan hukum seseorang yang umumnya ditentukan oleh hukum
dari Negara dimana ia dianggap terikat secara permanen.

B.Cara Menentukan Status Personal.

Contoh : Kalau ada seorang warga Negara Inggris yang berumur


22 tahun berdiam di Hungaria, kemudian orang tersebut akan
melakukan hubungan hukum , seperti membuat perjanjian perdata,
yang memerlukan persyaratan usia dewasa , maka apakah hukum
yang berlaku untuk ukuran orng dewasa tersebut menurut hukum
Inggris ( yaitu hukum dari orang yang bersangkutan , karena ia warag
Negara Inggris) atau hukum Hungaria yaitu tempat/Negara dimana
orang itu berdiam atau bertempat tinggal waktu ia membuat
perjanjian tersebut. Karena kalau menurut hukum Inggris dia sudah
dewasa (di Inggris usia dewasa adalah 21 tahun), sedangkan kalau
menurut hukum Hungaria dia belum dewasa (karena usia dewasa
menurut hukum Hungaria adalah 24 tahun).

Secara garis besar ada dua prinsip atau aliran dalam


menentukan status personal , yaitu :

(1).Aliran Nasionalitas atau kewarganegaraan (Lex Ptrioae).


Aliran ini mengkaitkan status personal seseorang kepada hukum
nasionalnya. Dengan kata lain , untuk menentukan status personal
suatu pribadi berlaku hukum nasionalnya.

(2).Aliran Teritorial atau Domisili (Lex Domicilii).

Aliran ini memakai hukum domisili sebagai titik tautnya. Status


personal suatu pribadi tunduk pada hukum dimana ia berdomisili.

C.Prinsip Kewarganegaraan.

Negara yang berpegang kepada prinsip kewarganegaraan


(nationality) menentukan status personal dari seseorang baik warga
negaranya maupun warga Negara asing ditentukan oleh hukum
perdata nasional mereka sesuai dengan kewarganegaraan orang yang
bersangkutan. Jadi menurut prinsip ini , dalam contoh di atas , maka
hukum Inggrislah yang harus diberlakukan. Berarti orang tersebut
harus dinyatakan sudah dewasa (capacity to act) untuk melakukan
perbuatan hukum.

Ada beberapa alasan yang mendukung prinsip kewarganegaraan


ialah :

1. Prinsip ini paling cocok untuk perasaan hukum seseorang


Dengan prinsip kewarganegaraan ini terlaksanalah adaptasi
kepada perasaan hukum dari pada yang bersangkutan. Hukum
nasional yang dihasilkan oleh warga Negara dari suatu Negara
tertentu ini lebih cocok bagi warga Negara yang bersangkutan.
Pembuat hukum nasional ini lebih kenal kepada kepribadian dan
dari warga negaranya sendiri.
2. Lebih Permanen dari hukum domisili
Prinsip kewarganegaraan lebih mantap daripada prinsip
domisili. Karena kewarganegaraan tidak demikian mudah
berubah-ubah seperti halnya domisili (tempat kediaman).
Sedangkan personil yang termasuk kepada pengaturan
hubungan keluarga memerlukan stabilitas (kemantapan,
permanent) sebanyak mungkin.
3. Prinsip kewarganegaraan membawa kepastian lebih banyak
Kewarganegaraan membawa kepastian hukum , karena
pengertian kewarganegaraan lebih mudah diketahui daripada
domisili seseorang. Hal ini disebabkan karena adanya peraturan-
peraturan kewarganegaraan ini diatur cara-cara memperoleh
dan kehilangan kewarganegaraan suatu Negara.

D.Prinsip Domisili

Negara yang berpegang kepada prinsip domisili menentukan


bahwa status personal dari seseorang baik warganegara maaupun
asing ditentukan oleh hukum perdata yang berlaku di Negara tempat
kediaman orang tersebut.

Jadi menurut prinsip ini dalam contoh di atas, orang tersebut


belum bisa dinyatakan dewasa, sebab berlaku hukum Hungaria
hukum tempat orang tersebut berdiam. Menurut hukum perdata
Hungaria, orang tersebut belum mencapai usia dewasa, karena belum
berumur 24 tahun.

Negara-negara yang menganut prinsip domisili adalah :

Di Eropa : Inggris, Scotlandia, Norwegia, Denmark, Iceland. Di Amerika


: Amerika Serikat, Brazilia, Argentina, Bolivia, Paraguay, Peru,
Uruguay, Nicaragua, Guatimala.
Alasan-alasan yang dikemukakan oleh yang setuju dengan prinsip
domisili adalah sebagai berikut :

1, Hukum Domisili adalah hukum dimana yang bersangkutan


sesungguhnya hidup, Tempat sehari-hari ia hidup , sudah sewajarnya
jika hukum tempat itulah yang dipakai untuk menentukan status
personalnya. Orang tersebut bukan aja mencocokkan diri terhadap
kebiasaan-kebiasaan, bahasa, pandangan social dimana ia hidup,
tetapi juga ketentuan-ketentuan hukum dari Negara yang
bersangkutan yang mengenai status personalnya. Orang-orang di
sekitarnya juga akan memperoleh lebih banyak kepastian hukum
apabila berhubungan dengan orang asing tersebut ditempat
kdiamannya

2.Prinsip kewarganegaraan sering memerlukan bantuan domisili.

Prinsip kewarganegaraan sering tidak dapat dilaksanakan


dengan baik tanpa dibantu prinsip domisili. Misalnya kalau terdapat
perbedaan kewarganegaraan dalam suatu keluarga, antara suami,
istri dan anak. Hal ini terutama yang terjadi di akhir-akhir ini dimana
pihak istri mempunyai hak yang sama dengan suami.

3.Hukum domisili sering sama dengan hukum Hakim.

Diajukannya suatu perkara dihadapan hakim dari tempat tinggal


para pihak atau pihak tergugat yang merupakan pegangan utama
untuk menentukan kompetensi yuridiksi hukum, dalam banyak hal
hukum domisili ini bersama dengan hukum sang hakim.Untuk
kepentingan para pihak sendiri, bahwa sedapat mungkin seorang
hakim memakai hukumnya karena seorang hakim tentunya lebih
mengenal hukum nasionalnya daripada hukum asing.
4.Prinsip Domisili cocok untuk Negara-negara dengan pluralism
hukum.

Prinsip domisili dapat dipergunakan dengan baik dalam Negara-


negara yang struktur hukumnya tidak mengenal persatuan hukum.
Jika ada pluralisme atau aneka warna hukum dalam suatu Negara ,
prinsip kewarganegaraan tidak dapat di pakai dengan baik, perlu
dibantu oleh prinsip domisili.

5.Domisili menolong di mana prinsip kewarganegaraan tidak dapat


dilaksanakan. Kadang-kadang prinsip kewarganegaraan tidak dapat
dilaksanakan karena orang tersebut tidak berkewarganegaraan
(apatride), atau mempunyai lebih dari satu kewarganegaraan
(bipatride, multipatride).

6.Demi kepentingan adaptasi dan assimilasi dari para imigran.

Agar supaya dapat dipercepat proses adaptasi dan assimilasi


dari orng-orang asing, maka sebaiknya Negara imigrasi memakai
prinsip domisili. Dengan demikian dapat dicegah adanya kelompok
orang-orang asing yang tetap mempertahankan hubungan dengan
Negara asalnya , dan taraf lebih luas mempunyai ikatan-ikatan
dengan Negara asal mereka.

E. Prinsip Yang Dianut Di Indonesia.

Di Indonesia pada zaman Hindia Belanda mula-mula dianut


prinsip domisili. Namun sejak tahun 1915, Stbl. No. 299 yo. No. 642
diadakan diadakan perubahan dan dianut prinsip kewarganegaraan
seperti yang terdapat dalam pasal 16 AB. Ketentuan menganut prinsip
kewarganegaraan apa yang terdapat dalam pasal AB tersebut sampai
sekarang masih berlaku, tidak diadakan perubahan.
Gautama (1977:85,86) berpendapat bahwa untuk Republik
Indonesia sebaiknya dianut prinsip domisili, dengan alasan sebagai
berikut :

1. Alasan praktis, bahwa dengan pemakaian prinsip domisili


dapat diperkecil berlakunya hukum asing. Pemakaian prinsip
nasionalitas mempunyai mempunyai pembawaan bahwa
hukum asing akan lebih banyak dipergunakan.
2. Dalam acara berperkara lazimnya dipergunakan BW untuk
golongan Eropa dan Timur Asing , tanpa memperhatikan lebih
jauh apakah orang tersebut berstatus WNA atau WNI.
3. Praktek hukum sekarang ini adalah sejalan dengan praktek
hukm dan administrasi hukum antara lain dari Balai Harta
Peninggalan , dimana ternyata sejak tahun 1915 kita
menganut prinsip kewarganegaraan , masih saja domisili yang
dianggap menentukan hukum yang berlaku tanpa
menghiraukan status warga Negara atau asing.
4. Indonesia sekarang ini boleh dikatakan belum mempunyai
cukup bahan bacaan untuk mengetahui dengan baik akan
hukum asing. Ahli-ahli tentang hukum asing yang mungkin
dapat didengar sebagai expert oleh pengadilan belum
tersedia.
5. Di Indonesia sekarang masih banyak pluralism hukum.
Adanya pluralism hukum intern merupakan factor yang
membuat kita condong untuk memakai prinsip domisili.
6. Indonesia hingga beberapa waktu yang lalu merupakan
Negara imigrasi. Banyak orang-orang asing yang berada disini.
7. Sebagai Negara imigrasi , maka secepat mungkin RI
hendaknya melakukan assimilasi pada orang-orang asing.
8. Indonesia dianggap terletak dalam suasana lingkungan
Negara-negara tetangga yang memakai prinsip domisili.
Dimana Naegara-negara ini tergabung dalam Commonwealth
seperti Australia, India, Pakistan, Singapura, Malaysia,
terpengaruh oleh sistem HPI yang berdasarkan prinsip
domisili untuk status personil.
Namun Gautama (1977:87) di bagian lain menulis : “
Menurut pendapat kami sebaiknya Republik Indonesia memakai
juga prinsip domisili. Tetapi perlu juga ditambahkan bahwa kami
tidak menolak untuk pemakain prinsip nasionalitas bagi sistem
HPI Indonesia. Hanya harus dijaga jangan sampai prinsip
nasionalitas ini dipakai secara kaku , hingga membawa kepada “
yuridisch chauvinism”.
Sedangkan Wiryono Prodjodikoro (1979:23) berpendapat
bahwa prinsip domisili sudah sepatutnya dianut di Negara yang
penduduknya sebagian besar terdiri dari golongan-golongan
orang yang berasal dari bermacam Negara, seperti Amerika
Utara dan Amerika Selatan. Sedangkann dalam suatu Negara
yang penduduknya hanya sedikit adanya orang asing, maka
sebaiknya dianut prinsip kewarganegaraan.
BAB V

KUALIFIKASI DALAM HUKUM PERDATA INTERNASIONAL

A. Pengertian Kualifikasi.
Kualifikasi dapat dikatakan sebagai penterjemahan dari fakta-
fakta sehari-hari kedalam kategori hukum tertentu, sehingga dapat
diketahui arti yuridisnya.
Contoh : Jika Penggugat merasa dirugikan oleh tindakan penguasa
yang mengingkari janjinya untuk memberikan fasilitas-fasilitas
tertentu sebagai pejabat Negara di kemudian hari sedangkan
penggugat telah memenuhi permintaanya untuk terlebih dahulu
menyerahkan sejumlah uang , tetapi penguasa tersebut mengingkari
janjinya. Apakah gugatan diatas dapat dikualifikasikan sebagai
masalah wan prestasi atau perbuatan melawan hukum.
B. Macam-macam kualifikasi di dalam HPI.
Di dalam HPI dikenal adanya 2 (dua) macam kualifikasi :
1. Kualifikasi fakta (Classification of facts) Kualifikasi fakta
adalah kualifikasi yang dilakukan terhadap sekumpulan fakta
dalam suatu peristiwa hukum.
2. Kualifikasi hukum (Classification of law) Kualifikasi hukum
adalah penggolongan /pembagian seluruh kaidah hukum
kedalam pengelompokan /pembidangan kategori hukum
tertentu yang telah ditetapkan sebelumnya.
Beberapa hal yang menyebabkan rumitnya persoalan kualifikasi HPI :
1. Pelbagai sistem hukum menggunakan terminology hukum
yang sama atau serupa, tetapi untuk menyatakan hal yang
berbeda.
Misalnya , Istilah Domisili berdasarkan hukum Indonesia yang
berarti tempat kediaman sehari-hari, dibandingkan dengan
pengertian domisili dalam hukum Inggris, yang dapat berarti
domicile of origin, domicile of dependence atau domicile of
Choice.
2. Pelbagai sistem hukum mengenai konsep/lembaga hukum
tertentu yang ternyata tidak dikenal di dalam sistem hukum
lain.
Misalnya, Lembaga Trust yang khas dikenal di dalam tradisi
common law, tidak dikenal di dalam hukum Indonesia.
3. Pelbagai sistem hukum menyelesaikan perkara-perkara
hukum yang secara factual sama tetapi dengan menetapkan
kategori yuridik yang berlainan.
Misalnya seorang janda yang menuntut sebagaian dari hasil
tanah peninggalan suaminya, menurut hukum waris dianggap
sebagai pewarisan, sedangkan menurut hukum Inggris
dikategorikan sebagai persoalan harta perkawinan.
4. Pelbagai sistem hukum mensyaratkan sekumpulan fakta yang
berbeda-beda , untuk menetapkan adanya suatu peristiwa
hukum yang pada dasarnya sama.
Misalnya, Untuk menetapkan terjadinya peralihan hak milik
dituntut adanya fakta yang berbeda-beda.
5. Pelbagai sistem hukum menempuh proses/prosedur yang
berbeda-beda untuk mewujudkan atau menentukan hasil
atau status hukum yang pada dasarnya sama.
Misalnya, Status hukum yang dikehendaki adalah sahnya
sebuah kontrak bilateral. Dalam hukum Inggris, harus
dipenuhi persyaratan consideration, sedangkan menurut
hukum Indonesia persyaratan kontrak cukup dipenuhi bila
para pihak sepakat mengenai barang, harga dan persyaratan
perjanjiannya.
Macam-macam teori kualifikasi kalu dilihat dari kemungkinan
melakukannya dalam kaitannya dengan peristiwa HPI adalah sebagai
berikut :
1. Teori kualifikasi lex fori.
2. Teori kualifikasi lex causae.
3. Teori kualifikasi bertahap.
4. Teori kualifikasi analitik/Otonomi.
5. Teori kualifikasi HPI.
(1). Teori kualifikasi lex fori.
Teori ini bertitik tolak pada anggapan bahwa kualifikasi harus
dilakukan berdasarkan hukum dan pengadilan yang mengadili perkara
HPI , karena sistem kualifikasi adalah bagian dari hukum intern lex fori
tersebut.
Franz Kahn, mengatakan bahwa kualifikasi hars dilakukan
berdasarkan lex fori , karena alasan-alasan :
1. Kesederhanaan, karena bila kualifikasi dilakukan dengan
menggunakan lex fori, maka pengertian , batasan dan konsep-
konsep hukum yang digunkan dalam penyelesaian perkara
adalah pengertia-pengertian yang paling dikenal oleh hakim.
2. Kepastian , karena pihak-pihak yang berperkara telah
mengetahui terlebih dahulu sebagai peristiwa atau hubungan
hukum apakah perkara mereka akan dikualifikasikan beserta
segala konsekwensi yuridisnya.
(2). Teori Kualifikasi Lex Causae.
Teori ini beranggapan bahwa proses kualifikasi dalam perkara
dijalankan sesuai dengan sistem serta ukuran-ukuran dari
keseluruhan sisitem hukum yang berkaitan dengan perkara.
Tindakan kualifikasi ini dimaksudkan untuk menentukan kaidah
HPI mana dari lex fori yang paling erat kaitannya dengan kaidah-
kaidah asing yang mungkin diberlakukan.
Penentuan ini harus dilakukan dengan mendasarkan diri dari hasil
kualifikasi yang dilakukan dengan memperhatikan sisitem hukum
asing yang bersangkutan.
Setelah kategori yuridis dari suatu peristiwa hukum ditetapkan,
dengan cara itu barulah dapat ditetapkan kaidah HPI yang mana dari
lex fori yang akan digunakan untuk menunjuk kearah lex causae.
BAB VI
DOKTRIN TENTANG PENUNJUKAN KEMBALI
( RENVOI )

Renvoi adalah Penunjukan Kembali atau Penunjukan lebih lanjut


oleh Kaidah – kaidah HPI dari suatu sistem hukum asing yang ditunjuk
oleh kaidah HPI lex fori.
Renvoi timbul akibat dari adanya status personal yang ditentukan
menurut prinsip nasionalitas dan prinsip domisili.
Perlu disadari sepenuhnya bahwa doktrin Renvoi harus digunakan
sebagai alat bagi hakim untuk merekayasa penentuan Lex Causae kea
rah sistem hukum yang dianggap akan memberikan putusan yang
terbaik.
Dari penjelasan diatas, masih dapat diajukan pertanyaan lain yaitu :
Bilamana suatu forum dapat dikatakan menerima atau menolak suatu
penunjukan kembali melalui proses renvoi ? “
Dalam hal proses Renvoi dijalankan oleh Hakim, maka beberapa hal
yang mungkin terjadi adalah :
- Bila kaidah HPI suatu sistem hukum ( lex fori )menunjuk kearah
suatukaidah-2 hukum intern dari suatu sistem hukum tertentu dan
penunjukan itu disebut Sachnormverweisung maka dapat
disimpulkan bahwa hakim telah menolak Renvoi.
- Bila kaidah HPI suatu sistem hukum (lex fori) menunjuk kearah
seluruh sistem hukum tertentu, maka penunjukan ini dianggap
sebagai Gesamtverweisung dan apabila sistem hukum asing itu
menunjuk kembali kearah Lex Fori atau menunjuk lebih lanjut ke
arah sistem hukum ketiga. Penunjukan inilah yang disebut dengan
proses Renvoi.
- Tetapi bila hakim (Lex Fori ) menganggap bahwa penunjukan
kembali (atau lebih lanjut) dianggap sebagai
sachnormenverweisung dan mengarah pada kaidah-kaidah hukum
intern Lex Fori, maka pengadilan dalam hal ini dianggap telah
menerima renvoi.

CONTOH – CONTOH KASUS SINGLE – RENVOI

1. The Forgo Case ( 1879 )


Kasus Posisi :
a. Forgo adalah seorang warga Negara Jerman ;
b. Forgo menetap di Prancis sejak berusia 5 (lima) tahun, tanpa
berupaya memperoleh tempat kediaman resmi (domicile) di
Prancis;
c. Forgo meninggal di Prancis tanpa meninggalkan testamen
(abintestatis);
d. Forgo adalah seorang anak liar kawin (illegitimate child);
e. Ia meninggalkan sejumlah benda-benda bergerak di Prancis;
f. Tuntutan atas pembagian harta peninggalan Forgo diajukan
oleh saudara – saudara kandungnya di Pengadilan Prancis.

Fakta Hukum :
a. Hukum Perdata intern Jerman menetapkan bahwa Saudara-
saudara kandung dari seorang anak luar kawin tetap berhak
untuk menerima harta peninggalan dari anak luar kawin yang
bersangkutan;
b. Hukum Perdata intern Prancis menetapkan bahwa Harta
peninggalan dari seorang anak luar kawin jatuh ke tangan
Negara;
c. Kaidah HPI Jerman menetapkan bahwa Pewarisan benda-
benda bergerak harus tunduk pada hukum dari tempat
dimana pewaris bertempat tinggal sehari-sehari (habitual
residence);
d. Kaidah HPI Prancis menetapkan bahwa Persoalan pewarisan
benda-benda bergerak harus diatur berdasarkan hukum dari
tempat dimana Pewaris menjadi warga Negara.

Masalah Hukum :
Berdasarkan hukum manakah ( Prancis atau Jerman ) status
harta peninggalan benda-benda bergerak milik Forgo harus
diatur ?

Proses Penyelesaian Perkara :


a. Pada tahap pertama Pengadilan Prancis menggunakan kaidah
HPI-nya dan menunjuk kea rah Hukum Jerman sebagai
hukum dari tempat Pewaris menjadi warga Negara.
b. Penunjukan ke arah Hukum Jerman ini ternyata dianggap
sebagai Gesamtverweisung, sehingga termasuk kaidah-
kaidah HPI Jerman;
c. Kiadah HPI Jerman mengenai pewarisan benda-benda
bergerak menunjuk kea rah habitual residence pewaris. Jadi,
dalam hal ini kaidah HPI Jerman Menunjuk Kembali ke arah
Hukum Prancis sebagai Lex Domicilii Forgo ;
d. Hakim Prancis menganggap penunjukan kembali ini sebagai
Sachnormverweisung kea rah hukum intern Prancis ( dalam
HPI sikap Hakim Prancis ini disebut “Menerima Renvoi”;
e. Berdasarkan anggapan itu, Hakim Prancis lalu
memberlakukan kaidah hukum waris intern Prancis (Code
Civil ) untuk memutus perkara, dan menetapkan bahwa harta
peninggalan Forgo jatuh ke tangan Negara Prancis.

Catatan :
- Perbedaan yang terjadi antara pemberlakuan hukum Prancis
dan hukum Jerman untuk memutus perkara bukanlah
sekedar merupakan masalah teoritik saja, melainkan juga
dapat menghasilkan keputusan perkara yang berbeda.
- Bila hukum intern Prancis diberlakukan (akibat renvoi), maka
harta peninggalan forgo jatuh ke tangan Negara Prancis,
sedangkan bila hukum intern Jerman yang diberlakukan
( seandainya hakim tidak menjalankan renvoi) maka harta
peninggalan Forgo jatuh ke tangan saudara-saudara kandung
Forgo.
- Kasus Forgo diatas menggambarkan proses Renvoi dalam
arti Remission atau Penunjukan Kembali.

2. Kasus Harta Peninggalan Schneider ( 1950 )


Kasus Posisi :
- A seorang warga Negara Amerika Serikat, berdomicile di
Negara bagian New York dan berasal dari Swiss.
- A meninggal di New York dan meninggalkan sebuah tanah
dan rumah di Swiss.
- Tanah di Swiss sebenarnya telah dijual, dan uang hasil
penjualanya telah ditransfer ke New York, tetapi untuk
kepentingan proses pewarisan tetap dianggap sebagai Benda
Tetap ( immovable).
- A meninggalkan sebuah testamen yang mewariskan
tanah/hasil penjualan tanah itu kepada pihak-pihak ketiga
( beneficiaries) yang bukan ahli waris menurut garis
keturunan (heirs).
- Para ahli waris (heirs) menggugat testamen dan mengklaim
hak-haknya atas tanah di Swiss sebagai ahli waris menurut
undang-undang.
- Gugatan diajukan di Pengadilan New York.

Fakta-fakta Hukum :
a. Hukum intern Swiss mengkualifikasikan perkara sebagai
perkara tentang kedudukan ahli waris menurut undang-
undang dalam pewarisan testamenter ;
b. Hukum intern New York mengkualifikasikan perkara
sebagai perkara pewarisan tanah melalui testamen;
c. Kaidah HPI New York menetapkan bahwa untuk perkara-
perkara pewarisan benda-benda tetap, maka hukum yang
diberlakukan adalah hukum dari tempat dimana benda
berada;
d. Kaidah HPI Swiss menetapkan bahwa status dan
kedudukan ahli waris dalam proses Pewarisan
testamenter harus tunduk pada hukum dari tempat
dimana Pewaris memiliki kewarganegaraannya yang
terakhir;
e. Kaidah hukum Intern Negara Bagian New York
menetapkan bahwa seorang pewaris testamenter dapat
dengan sah mewariskan kekayaanya kepada pihak-pihak
ketiga (beneficiaries), bahkan juga bila ia mengabaikan
kedudukan ahli-ahli warisanya (heirs);
f. Kaidah hukum intern Swiss menetapkan bahwa seorang
pewaris tidak dapat mewariskan kekayaannya melalui
tetamen dengan mengabaikan bagian bagian dari para
ahli waris menurut undang-undang (legitieme portie).

Proses Penyelesaian Perkara :

a. Walupun tanah telah dijual dan hasil penjualanya telah


ditransfer ke New York, hakim New York pertama-tama
mengkualifikasikan perkara berdasarkan hukum New York
(lex fori) sebagai perkara pewarisan benda tetap, dan
berdasarkan kaidah HPI New York, perkara ini harus
tunduk pada Hukum Swiss berdasarkan asas Lex Rei Sitae
( Di sini berlangsung penunjukan pertama ).
b. Hakim New York kemudian mengkualifikasikan perkara
beradasarkan hukum Swiss dan menganggapnya sebagai
perkara tentang kedudukan ahli waris menurut undang-
undang dalam pewarisan tetamenter. Penunjukan kea rah
Hukum Swiss itu ternyata merupakan gesamtverweisung
kearah kaidah HPI Swiss.
c. Kaidah HPI Swiss menetapkan bahwa kedudukan ahli
waris dalam pewarisan testamenter harus diatur
berdasarkan hukum dari tempat di mana pewaris
memiliki kewarganegaraanya yang terakhir. Jadi, kaidah
HPI Swiss dianggap akan menunjuk kembali kea rah New
York.
d. Hakim New York kemudian menganggap bahwa
penunjukan kembali oleh kaidah HPI Swiss itu sebagai
Sachnormverweisung kea rah hukum intern New York,
dan memutuskan bahwa tana/hasil penjualan tanah akan
dibagikan sesuai amanat yang ada di dalam testatemen.
e. Gugatan para ahli waris (heirs) ditolak.
BAB VII

PERSOALAN PENDAHULUAN

Pengertian : Persoalan Pendahuluan adalah suatu persoalan atau


permasalahan hukum yang harus dipecahkan atau ditetapkan terlebih
dahulu sebelum putusan akhir.

Contoh:
1. Dalam perkara waris (persoalan pokok), maka sebelumnya
ditentukan dulu apakah perkawinan dari si pewaris sah.
2. Dalam perkawinan yang kedua seorang harus diselidiki apakah
perkawinan yang sebelumnya itu sah
Persyaratan Pendahuluan.
1. Masalah utama berdasarkan kaidah HPI lex fori seharusnya diatur
berdasarkan hukum asing.
2. Dalam perkara harus ada masalah pendahuluan atau susider yang
menyangkt suatu unsure asing yang dapat timbul secara terpisah
dan dapat diatur oleh kaidah HPI lain secara independen.
3. Kaidah HPI yang diperuntukan bagi masalah pendahuluan akan
menghasilkan kesimpulan yang berbeda dengan masalah utama.
Cara-cara peenyelesaian pendahuluan.
1. Setelah lex causae untuk penyelesaian pokok ditetapkan
berdasarkan kaidah HPI lex fori , masalah pendahuluan ditentukan
berdasarkan hukum yang sama dengan lex causae tadi.
2. Terlepas dari system hukum apa yang merupakan lex causae
hakim menggunakan lex fori untuk menentukan persoalan
pendahuluan.
3. Ada pendapat lain , bahwa penetapan hukum seharusnya
persoalan pendahuluan harus ditetapkan secara kasuistik dengan
memperhatikan hakekat perkara.

Anda mungkin juga menyukai