Anda di halaman 1dari 41

1

HUKUM PERDATA INTERNASIONAL (HPI)

I. DEFINISI, PENGERTIAN, SUMBER-SUMBER HPI DAN MASALAH-


MASALAH POKOK HPI

1. Definisi Dan Pengertian


Untuk mendapatkan gambaran yang jelas mengenai pengertian, ruang
lingkup, serta masalah-masalah pokok yang diatur didalam HPI, maka perlu
di perhatikan beberapa definisi dan pengertian HPI yang dikemukakan oleh
beberapa sarjana dibawah ini :

 Prof. R.H. Graveson berpendapat bahwa :


Conflict of Laws atau HPI adalah bidang hukum yang berkenaan dengan
perkara-perkara yang didalamnya mengandung fakta relevan yang
berhubungan dengan suatu sistem hukum lain, baik karena aspek
teritorialitas atau personalitas, dan karena itu, dapat menimbulkan
masalah pemberlakuan hukum sendiri atau hukum lain biasanya hukum
asing) untuk memutuskan perkara, atau menimbulkan masalah
pelaksanaan yuridiksi pengadilan sendiri atau pengadilan asing.

 Prof. Van Brakel berpendapat bahwa :


HPI adalah hukum nasional yang ditulis (diadakan) untuk hubungan-
hubungan hukum internasional.

 Mr. Sauveplanne berpendapat bahwa :


HPI adalah keseluruhan aturan-aturan yang mengatur hubungan-
hubungan hukum privat yang mengandung elemen-elemen internasional
dan hubungan-hubungan hukum yang memiliki kaitan dengan negara-
negara asing, sehingga dapat menimbulkan pertanyaan apakah
penundukan langsung ke arah hukum nasional dapat selalu dibenarkan.
2
 Dr. Sunaryati Hartono berpandangan bahwa :
HPI mengatur setiap peristiwa/hubungan hukum yang mengandung
unsur asing, baik dibidang hukum publik maupun hukum privat. Karena
inti dari HPI adalah pergaulan hidup masyarakat internasional, maka
HPI dapat disebut dengan Hukum Pergaulan Internasional.

 Prof. Sudargo Gautama berpendapat bahwa :


HPI merupakan keseluruhan peraturan dan keputusan hukum yang
menunjukkan stelsel hukum manakah yang berlaku atau apakah yang
merupakan hukum, jika hubungan-hubungan pada peristiwa-peristiwa
antara warga negara pada suatu waktu tertentu memperlihat-kan titik
pertalian dengan stelsel-stelsel dan kaidah-kaidah hukum, dari dua atau
lebih negara, yang berbeda dalam lingkungan kuasa, tempat, pribadi dan
soal-soal.

Terlepas dari perbedaan-perbedaan yang terdapat dalam pengertian-


pengertian diatas, pada umumnya diterima pandangan bahwa HPI adalah
seperangkat kaidah-kaidah hukum nasional yang mengatur peristiwa atau
hubungan hukum yang mengandung unsur transnasional (unsur-unsur
ekstrateritorial).

2. Sumber-sumber HPI Indonesia


Di Indonesia kaidah-kaidah HPI, seperti kebanya-kan sistem-sistem
hukum lainnya, tidak terkumpul dalam suatu undang-undang. Pasal-pasal
penting berdasarkan teori statuta dan merupakan sumber-sumber HPI
Indonesia terdapat didalam Algemeene Bepalingen Van Wetgeving (S.1847–
23), sebelum kemerdekaan tahun 1945.
 Pasal 16 A.B. berbunyi :
“Bagi penduduk Hindia Belanda, peraturan perundang-undang
mengenai status dan wewenang seseorang tetap berlaku terhadap
mereka, apabila mereka berada di luar negeri”.
(Statuta Personalia)
3

 Pasal 17 A.B. berbunyi :


“Berkenan dengan benda-benda yang tidak bergerak berlaku
undang-undang dari negara atau dari tempat, dimana barang-barang
itu terletak”.
(Statuta relia dan azas lex rei sitae)
 Pasal 18 A.B. berbunyi :
“Bentuk dari tiap perbuatan ditentukan oleh undang-undang dan
negara atau tempat, dimana perbuatan itu lebih dilakukan”.
(Statuta mixta dan azas lex loci actus)

Selain pasal-pasal A.B. tersebut diatas, terdapat pula Pasal 131 dan
163 I.S (Indische Staatsregeling-S). 1925-415 jo 577), yang membedakan
penduduk Indonesia kedalam 3 golongan, yakni :
a. Golongan Eropa dan mereka yang dipersamakan dengan golongan
Eropa, misalnya orang Jepang.
b. Golongan-golongan Timur Asing, masing-masing dengan hukumnya
sendiri.
c. Golongan Bumi Putra (Indonesia asli).
Berdasarkan pembagian termaksud, maka Pasal 131 IS mengandung
kaidah-kaidah penunjuk bahwa bagi penduduk Indonesia:
1) Untuk orang-orang yang berasal dari Eropa, apapun kewarga-
negaraannya, berlaku hukum perdata barat (yang termaksud dalam B.W
dan W.V.K). Demikian juga untuk orang Jepang.
2) Untuk orang-orang yang berasal dari Asia dan Afrika (apapun
kewarganegaraannya)berlaku pula hukum kekayaan dalam B.W dan
W.V.K, kecuali bagi orang-orang yang berdarah Tionghoa untuk siapa
berlaku juga hukum Perdata Barat. (S.1917-129 dan S.1924-556).
3) Untuk orang-orang Indonesia berlaku Hukum Adat, kecuali apabila
mereka tunduk secara suka rela terhadap Hukum Perdata Barat (S.1917-
12, S.2 dan S.3).
4
Peraturan Perkawinan Campuran (Besluit Kerajaan tertanggal 29
Desember 1896 No.23, S.1898-158) menegaskan bahwa perkawinan antara
orang-orang, yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berbeda,
dinamakan perkawinan campuran: pihak perempuan yang melangsungkan
perkawinan campuran mengikuti selama perkawinan itu, status dibidang
hukum publik maupun hukum perdata dari pada suaminya.
Sesudah kemerdekaan tahun 1945, terdapat beberapa peraturan
perundangan yang dapat dijadikan sebagai sumber HPI di Indonesia,
diantaranya adalah:

2.1. Undang-Undang Kewarganegaraan Republik Indonesia (UU No.64


tahun 1958, L.N. 1958 No. 13.
Berdasarkan Undang-undang termasuk keanggotaan negara nasional
dapat ditentukan oleh:
a) Asal (ius sanguinis)
b) Tempat tinggal (ius soli)
c) Kehendak untuk menjadi anggota (warga) negara, yang
menimbulkan kewarganegaraan.

2.2. Undang-Undang Pokok Agraria (UU No. 5 Tahun 1960, L.N. 1960
No.104).
Dengan berlakunya UUPA ini, maka dalam hal yang menyangkut
tanah, ukuran perbedaan tidak lagi dilakukan menurut golongan-
golongan, berdasarkan Pasal 131 I.S, akan tetapi antara warga negara
Indonesia dan orang asing. Ini ternyata dari Pasal 1 (1) jo Pasal 9 (1)
UUPA yang menyatakan:
Pasal 1 (1) : “Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air
dari seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai
bangsa Indonesia”.
Pasal 9 (1) : “Hanya warga negara Indonesia dapat mempunyai
hubungan yang sepenuhnya dengan bumi, air dan ruang
angkasa, dalam batas-batas ketentuan Pasal 1 dan 2.
5
2.3. Undang-undang Perkawinan (UU No.1 Tahun 1974, L.N.1974 No.1,
TLN No. 3019).
Dalam ketentuan Pasal 56 UU No.1 tahun 1974 dijelaskan bahwa
“Perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia antara dua orang
warga negara Indonesia atau seorang warga negara Indonesia dengan
warga negara asing adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang
berlaku di negara dimana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi warga
negara Indonesia tidak melanggar Undang-Undang ini.
Selanjutnya dalam waktu 1 (satu) tahun setelah suami istri itu
kembali di wilayah Indonesia, surat bukti perkawinan mereka harus
didaftarkan di Kantor Pencatatan Perkawinan tempat tinggal mereka.

3. Masalah-Masalah Pokok HPI


Perkembangan HPI sebenarnya didasarkan atas kenyataan adanya
eksistensi dari berbagai sistem hukum di dunia yang sederajat. Setiap
membuat hukum di suatu negara nasional pada dasarnya membentuk hukum
sesuai dengan kebutuhan/situasi yang ada di negaranya.
Masalah-masalah pokok HPI pada prinsipnya menyangkut :
1. Hakim atau badan peradilan manakah yang berwenang menyelesaikan
persoalan-persoalan yuridik yang mengandung unsur asing;
2. Hukum manakah yang harus diberlakukan untuk mengatur dan atau
menyelesaikan persoalan-persoalan yuridik yang mengandung unsur-
unsur asing;
3. Bilamana/sejauh mana suatu pengadilan harus memperhatikan dan
mengikuti putusan-putusan hakim asing dan atau mengakui
hak-hak/kewajiban-kewajiban hukum yang terbit berdasarkan hukum
putusan hakim asing.
Ad.1. Graveson mengatakan bahwa asas-asas HPI berusaha membentuk
aturan-aturan yang dapat digunakan, antara lain untuk membenarkan
pengadilan secara internasional memiliki yurisdiksi untuk mengadili
perkara-perkara tertentu apapun (choice of jurisdiction).
Ad.2. Masalah choice of law atau pemilihan hukum yang seharusnya
berlaku ini pada dasarnya merupakan masalah utama HPI.
6
Ad.3. Masalah termasuk berkaitan erat dengan persoalan apakah suatu
forum asing memiliki kewenangan yurisdiksional dalam memutus
suatu perkara.

II. SEJARAH UMUM PERKEMBANGAN HPI

1. Awal Perkembangan HPI


Pada masa kekaisaran Romawi, pola hubungan internasional dalam
wujudnya yang sederhana sudah mulai nampak dengan adanya hubungan-
hubungan antara :
a. Warga (Cives) Romawi dengan orang-orang asing.
b. Orang-orang asing atau orang-orang yang berhubungan dengan lebih
dari satu daerah di wilayah Romawi, sehingga ia dapat dianggap
sebagai subjek dari beberapa yuridiksi yang berbeda.
Hukum yang diberlakukan oleh para hakim (yang juga dinamakan
“Praetor Paregrinis”, pada dasarnya adalah hukum yang berlaku bagi
para Cives Romawi, yaitu IUS CIVILE, tetapi yang disana sini
disesuaikan untuk kebutuhan pergaulan internasional. Ius Civile yang
diadaptasikan untuk pergaulan yang bersifat internasional itu kemudian
disebut Ius Gentium.
Pada masa Romawi berkembang asas-asas yang dilandasai asas
teritorial, yang dewasa ini dapat dianggap sebagai asas HPI yang penting,
yaitu misalnya:
 Asas Lex Rei Sitae (Lex Situs) yang mengatakan bahwa: Hukum yang
harus diberitahukan atas suatu benda adalah hukum dari tempat benda
terletak/ berada.
 Asas Lex Loci Contractus, yang menyatakan bahwa: Terhadap
perjanjian-perjanjian (yang bersifat HPI) berlaku kaidah-kaidah
hukum dari tempat perbuatan perjanjian.
 Asas Lex Domicilii, yang menetapkan bahwa: hukum yang mengatur
hak serta kewajiban perorangan adalah hukum dari tempat seseorang
berkediaman tetap.
7
2. Masa Pertumbuhan Asas Personal (Abad ke 6-10 Sesudah
Masehi)
Beberapa asas/prinsip HPI yang tumbuh pada masa ini yang dewasa
ini dapat dikategorikan sebagai asas HPI (yang berasas personal)
misalnya :
 Asas yang menetapkan bahwa : Hukum yang berlaku dalam suatu
perkara adalah hukum personal dari pihak tergugat.
 Asas yang menyatakan bahwa : Kemampuan untuk melakukan
perbuatan hukum seseorang ditentukan oleh Hukum Personal orang
tersebut atau kapasitas para pihak dalam suatu perjanjian harus
ditentukan oleh hukum personal dari masing-masing pihak.
 Asas yang menetapkan bahwa : Masalah pewarisan diatur berdasarkan
Hukum Personal dari si pewaris.
 Pengesahan suatu perkawinan harus dilakukan berdasarkan hukum
personal sang suami.

3. Pertumbuhan Prinsip Teritorial (Abad ke 11-12)


Suasana/keadaan masyarakat di Eropa dapat dibedakan ke dalam
dua region, yaitu :
 Di Eropa Utara
Di kawasan ini peralihan dari struktur masyarakat geneaologis ke
masyarakat terotorial tampak dari tumbuhnya unit-unit masyarakat
yang feodalitas, khususnya di wilayah Inggris, Perancis dan Jerman
sekarang.
 Di Eropa Selatan
Transformasi dari asas personal-genealogis ke asas teritorial di
kawasan ini berlangsung bersamaan dengan pertumbuhan pusat-pusat
perdagangan (khususnya di Italia dan sebagainya).

4. Masa Pertumbuhan Teori Statula di Italia (Abad ke 13-15)


Dalam perkembangannya asas teritorial ternyata membutuhkan
peninjauan kembali, khususnya di Italia dengan intensitas hubungan
perdagangan antar kota yang semakin ramai.
8
Pada awal perkembangannya, yang dimaksud dengan Statuta
adalah “Semua kaidah hukum lokal yang berlaku dan menjadi ciri khas
suatu kota (di Italia) yang berbeda dari kaidah-kaidah hukum umum yang
berlaku di seluruh Italia”.
Teori Statuta yang dikembangkan Bartolus dan para Post
Glossators dimaksudkan untuk menyelesaikan perkara-perkara yang
menyangkut perselisihan :
 Diantara kaidah-kaidah hukum lokal dari pelbagai kota di Itali.
 Antara kaidah-kaidah hukum lokal dengan kaidah-kaidah hukum
umum.
Berdasarkan lingkup berlakunya suatu Statuta, orang membedakan
3 kelompok/jenis Statuta, yaitu :
 Statuta Realia
 Statuta Personalia
 Statuta Mixta

5. Teori Statuta di Perancis (Abad ke 16)


Tokoh-tokoh dari pencetus teori Statuta ini adalah Dumolin (1500-
1566) dan D’Argentre (1523-1603).
Dumolin, beranggapan bahwa pengertian Statuta Personalia harus
diperluas rung lingkupnya sehingga mencakup pengertian bahwa:
“Hukum yang seharusnya mengatur suatu perjanjian adalah hukum yang
dikehendaki oleh para pihak”. Jadi perjanjian pada Teori Statuta Bartolus
masuk ke dalam ruang lingkup Statuta Personalia, karena pada
hakekatnya, kebebasan untuk memilih hukum adalah semacam Status
Perorangan.
D’Argentre, dilain pihak beranggapan bahwa yang harus diperluas ruang
lingkupnya adalah pengertian Statuta Realia. Ia beranggapan bahwa
bukan otonomi pada pihak yang harus diutamakan, melainkan Otonomi
Propinsi.

6. Teori Statuta di Negeri Belanda (Abad ke 17-18)


Tokoh-tokoh dari pencetus teori Statuta ini adalah Ulrik (1636-
1694) dan Johannes Voet (1647-1714). Prinsip dasar yang digunakan
9
oleh penganut teori Statuta di Belanda adalah “Kedaulatan Ekslusif
Negara).
Ultrik Huber mengajukan tiga prinsip dasar yang dapat digunakan
untuk menyelesaikan masalah-masalah HPI, yaitu :
1. Hukum dari suatu negara mempunyai daya berlaku yang mutlak,
hanya didalam batas-batas wilayah kedaulatannya saja.
2. Semua orang, baik yang tetap atau sementara, berada didalam wilayah
suatu negara yang berkedaulatan harus sebagai subjek hukum dari
negara itu dan terikat pada hukum negara itu.
3. Berdasarkan alasan SOPAN SANTUN ANTARA NEGARA (Asas
Komitas, Comity)diakui pula bahwa setiap pemerintah negara yang
berdaulat mengakui bahwa hukum yang sudah berlaku di negara
asalnya, akan tetap memiliki kekuatan berlaku dimana-mana sejauh
tidak bertentangan dengan kepentingan subjek hukum dari negara
yang memberikan pengakuan itu.
Johanes Voet beranggapan bahwa : Pada dasarnya tidak ada
negara yang wajib menyatakan bahwa suatu kaidah hukum asing yang
berlaku didalam yurisdiksinya. Bila suatu negara dalam kenyataannya
mengakui suatu kaidah hukum asing, maka hal itu dilakukan hanya demi
sopan santun pergaulan antaar bangsa atau Comitas Gentium.
Salah satu asas yang didasarkan pada teori Comitas, adalah LOCUS
REGIT ACTUM (tempat perbuatan menentukan bentuk perbuatan).

7. Teori HPI Universal (Abad 19)


C.G Van Wachter mengkritik teori Statuta karena ketidakpastian
hukum yang ditimbulkannya. Van Wachter menolak adanya sifat ekstra
teritorialitas suatu aturan karena asumsi teori Statuta bahwa daya berlaku
suatu peraturan hukum lokal dapat menimbulkan kewajiban hukum di
negara asing. Menurut beliau forumlah yang menyediakan kaidah pilihan
hukum (Choice of law rule) atau menetapkan sistem hukum asing mana
yang berlaku dengan asumsi bahwa hukum intern forum hanya biasa
diterapkan pada kasus-kasus lokal saja.
Isi pemikiran Van Wachter yang terpenting adalah upaya untuk
meninggalkan klasifikasi hukum ala teori Statuta dan memusatkan
10
perhatiannya pada upaya penetapan hukum yang seharusnya berlaku
terhadap hubungan hukum (Legal relationship)tertentu. Dalam usaha
menetapkan hukum yang berlaku titik tolak harus dimulai dari Lex Fori,
karena disinilah kedudukan hukum (legal seat) dari hubungan itu dimulai.

III. TEORI-TEORI HPI MODERN

1. Teori Statuta Modern


Berdasarkan teori Statuta Modern, orang berusaha menyelesaikan
sebanyak mungkin persoalan-persoalan HPI dengan menggolongkan atau
mengkategorikan masalah-masalah hukum ke dalam kategori real atau
personal. Masalah-masalah realita, menurut teori ini harus diatur
berdasarkan hukum dan tempat (teritori) yang berkaitan erat dengan suatu
benda atau suatu perbuatan.
Sedangkan masalah-masalah hukum lainnya dikategorikan ke dalam
kategori personalia, bilamana hukum personal para pihak ternyata harus
diberlakukan, tanpa memperhatikan tempat dimana perkara hukum itu
timbul.
Para penganut teori beranggapan bahwa keterbatasan-keterbatasan
semacam itu memang ada, tetapi dalam keadaan semacam itu forum dapat
memberlakukan sistem hukumnya sendiri (Lex Fori), serta
mengesampingkan kemungkinan berlakukannya hukum asing dengan dasar
ketertiban umum (public order).

2. Teori HPI Internasional


Anggapan dasar yang melandasi teori yang dipengaruhi oleh cara
berpikir Von Savigny ini adalah : Perlu adanya asas HPI yang sudah
diterima sebagai kebiasaan dalam pergaulan Internasional dan dapat
dianggap bersifat universal.
Menurut penganut teori ini, HPI adalah : kesatuan sistem yang
dibentuk untuk menyelesaikan sengketa-sengketa yang timbul dari
kenyataan bahwa setiap sistem hukum lokal (municipal law)dapat
menunjukkan pertentangan-pertentangan dengan sistem hukum lokal lain.
11
Graveson berpendapat bahwa yang penting disadari adalah
kenyataan bahwa dibelakang setiap sistem hukum selalu ada kebutuhan
untuk menciptakan suatu pola tingkah laku tertentu untuk menerbitkan
pergaulan manusia yang bersifat Internasional.

3. Teori Teritorial
Teori ini bertitik tolak dari pengertian kedaulatan dalam arti hukum
internasional dan dari pengertian Statuta Realia yang dikembangkan di
negara Belanda.
Prinsip yang didasari teori ini adalah :
“Sistem hukum yang diberlakukan didalam badan peradilan suatu negara
pada dasarnya adalah sistem hukum intern negara itu; sistem-sistem hukum
asing (negara lain) hanya akan diberlakukan dan atau diperhatikan sejauh
penguasa pihak yang berdaulat di negara forum mengizinkannya.”
Prinsip ini tampaknya identik dengan asas yang dikenal dalam
hukum Internasional (Publik) yaitu asas Comitas Bentium. Asas Komitas ini
diajurkan demi terciptanya keadilan saja, khususnya dalam hal ketidak
adilan dapat terjadi apabila hukum asing yang sebenarnya relevan ternyata
diabaikan.
Didalam perkembangannya asas komitas ini diganti kedudukannya
oleh suatu doktrin yang dikenal dengan sebutan Doctrine of Vested Rights.
Doctrin ini pada dasarnya menetapkan bahwa : “Badan peradilan suatu
negara pada prinsipnya tidak pernah memberlakukan hukum asing dalam
arti seperti itu, melainkan hanya berurusan dengan hak-hak yang telah
diperoleh berdasarkan hukum asing tertentu, yang harus dibuktikan sebagai
fakta di depan pengadilan.

4. Teori Hukum Lokal


Teori ini sebenarnya dapat dipandang sebagai usaha untuk
menerapkan teori teritorial secara lebih radikal. Prinsip utama teori ini :
“Tidak ada badan peradilan suatu negara yang menerapkan kaidah-kaidah
hukum negara lain, selain kaidah-kaidah hukum dari sistem hukumnya
sendiri”,.
12
Bila suatu pengadilan mengabulkan suatu tuntutan ganti rugi, maka
keputusan ini semata-mata hanya demi pemenuhan tuntutan kebutuhan
sosial(social convenience) untuk memberikan ganti rugi dengan cara yang
sedekat mungkin dengan aturan semacam itu yang dikenal di negara asing
yang bersangkutan.
Prof. Walter Wheeler Cooke lebih jauh mengatakan bahwa hukum
dalam arti pragmatic sebenarnya lebih dari sekedar ramalan atau predikat
tentang apa yang akan diputuskan oleh seorang hakim. Karena itu konsep-
konsep hukum yang dikenal dalam Lex Fori harus juga digunakan secara
relatif dan fungsional.

5. Teori Relasi Signifikan


Sejalan dengan pandangan umum yang diterima, teori ini
beranggapan bahwa tujuan utama HPI adalah :
1. Mengusahakan keseragaman penyelesaian perkara-perkara HPI.
2. Meningkatkan prediktabilitas penyelesaian perkara-perkara HPI.
3. Mengurangi kecenderungan orang untuk melakukan forum shopping
(yaitu pemilihan forum oleh para pihak dengan tujuan untuk
menghindarkan diri dari pemberlakuan kaidah-kaidah hukum dari forum
yang seharusnya mengadili/perkara).
Dalam penentuan tempat/negara yang dianggap memiliki kaitan yang
paling erat dengan masalah hukum yang sedang dihadapi, teori ini
menganjurkan agar hakim menempatkan diri sebagai forum negara ketiga
yang sama sekali tidak berkepentingan untuk memberlakukan hukumnya
sendiri dalam perkara.

6. Teori Analisis Kepentingan


Yang dimaksud dengan interestes (kepentingan) dalam teori ini
sebenarnya adalah : kepentingan dari setiap negara yang relevan dengan
perkara untuk memberlakukan kaidah-kaidah hukumnya dalam perkara
yang bersangkutan. Adanya kebijaksanaan-kebijaksanaan umum ( policies)
tertentu dibalik pemberlakuan suatu kaidah hukum itulah yang mendasari
kepentingan dari negara yang bersangkutan untuk memberlakukan
hukumnya dalam perkara.
13
Teori ini bertitik tolak dari asumsi bahwa sistem hukum yang pada
dasarnya harus diberlakukan dalam suatu perkara HPI adalah Lex Fori.
Keputusan untuk mengesampingkan Lex Fori dan menggantinya dengan
suatu kaidah hukum asing hanya dapat diambil setelah dilakukan analisis
secara kasuistik, dengan memper-lambangkan berbagai “ policial” dan
“interests” negara-negara lain yang sistem hukumnya relevan dengan
pokok perkara.

7. Beberapa Variasi Teori Analisis Kepentingan


Ada tiga komponen utama teori Ehrenzweig yaitu :
1. True Rules
yaitu kaidah-kaidah HPI yang terbentuk secara faktual di pengadilan-
pengadilan(AS)yang didasarkan pada kebijaksanaan-kebijaksanaan dan
prinsip-prinsip kewajaran/keadilan bagi para pihak yang berperkara.
2. Lex Fori
seandainya tidak dapat disimpulkan adanya “tru rules” yang diterima
umum dalam penyelesaian suatu perkara, maka kaidah hukum intern
Lex Forilah yang harus diberlakukan dalam putusan perkara.
3. The Proper Forum
pihak penggugat dalam suatu perkara perlu diberi suatu keleluasan
untuk memilih forum yang polik hukumnya diduga akan menyebabkan
berlakunya aturan hukum domistik atau asing yang dianggap paling
menguntungkan dirinya. Sedangkan Comparative Impairment Theory
yang dikembangkan oleh Prof. William Baster pada dasarnya
memberikan kewenangan kepada hakim untuk menimbang dan
membandingkan kepentingan negara-negara yang kaidah hukumnya
relevan dalam perkara. Tujuan atau kepentingan internal dari negara-
negara yang tidak terlalu dirugikan seharusnya dikesampingkan atau
dikalahkan oleh kepentingan negara langsung.

8. Choice-Influencing Consideration
Menurut Prof. Leflas, ada beberapa faktor penentu utama yang
mempengaruhi penetapan hukum yang seharusnya berlaku dalam suatu
jenis kasus. Faktor-faktor itu adalah :
14
a. Prediktabilitas hasil/putusan perkara
Faktor penentu ini khususnya penting dalam perkara-perkara yang
menyangkut perjanjian.
b. Pemeliharaan ketertiban antar Negara Bagian atau Internasional.
Faktor ini menjadi penting untuk mendukung kebebasan bergerak
manusia dan barang antara negara bagian atau secara internasional.
c. Penyederhanaan proses penyelesaian perkara oleh pengadilan.
d. Pemberian prioritas pada kepentingan pemerintah dan negara forum.
e. Penerapan aturan hukum yang dianggap lebih baik.
Maksudnya hakim akan cenderung memutus perkara berdasarkan
kaidah-kaidah hukum yang dianggap lebih masuk akal secara sosial-
ekonomis dan sesuai dengan keadaan masa kini.

9. Teori Keadilan
Perbedaan-perbedaan yang ada diantara berbagai teori HPI
sebenarnya muncul karena pengaruh waktu dan tempat yang berbeda. Yang
sebenarnya dibutuhkan dalam HPI adalah suatu prinsip yang selain dapat
memenuhi keutuhan itu, juga prinsip yang tidak begitu terpengaruh oleh
perbedaan dimensi ruang dan waktu.
Teori keadilan dianggap memiliki kualitas semacam itu, sebab titik
tolak dari teori keadilan adalah:
a. Dari segi sosiologis, harus selalu diakui bahwa
kebutuhan secara internasional bagi para pihak dalam hubungan-
hubungan hukum yang bersifat internasional untuk mendapatkan
perlakuan yang wajar (fair) dalam hubungan-hubungan hukum
(perdata) mereka.
b. Dari segi etis, secara tradisional umumnya dapat
diterima bahwa hakekat dari proses pendidikan seorang ahli hukum
(Inggris) adalah agar seorang selalu berusaha melaksanakan dan
mewujudkan keadilan dalam melaksanakan tugas-tugasnya.
c. Dari segi yuridik, seorang hakim pada dasarnya juga
selalu berkewajiban untuk selalu berusaha mewujudkan keadilan dalam
melaksanakan tugas-tugasnya.
15
Teori keadilan tidak pernah menjamin bahwa setiap perkara dapat
diberi landasan teoritik yang solid, karena penjelasan yang mutlakbenar
memang tidak mungkin diberikan terhadap suatu sistem HPI yang
perkembangan-nya lebih banyak bersifat empirik.

IV. KUALIFIKKASI DALAM HPI

Dalam setiap proses pengambilan keputusan yuridik, tindakan


“kualifikasi” merupakan tindakan yang praktis selalu dilakukan. Dengan
“kualifikasi” orang mencoba untuk menata sekumpulan fakta yang dihadapi,
mendefinisikan, serta menempatkannya ke dalam suatu kategori tertentu.
Dalam HPI, masalah kualifikasi ini terasa amat penting artinya sebab
dalam perkara-perkara HPI orang selalu menghadapi kemungkinan
pemberlakuan lebih dari suatu sistem hukum untuk mengatur sekumpulan fakta
tertentu.
Ada beberapa jenis kualifikasi dalam HPI, yaitu :
a. Kualifikasi Hukum
Yaitu Penggolongan / pembagian seluruh kaidah hukum ke dalam
pengelompokan / pembidangan / kategori hukum tertentu yang telah
ditetapkan sebelumnya.
b. Kualifikasi Fakta
Yaitu kualifikasi yang dilakukan terhadap sekumpulan fakta dalam suatu
peristiwa hukum untuk ditetapkan menjadi satu atau lebih peristiwa atau
masalah hukum, berdasarkan kategori hukum dan kaidah-kaidah hukum dari
sistem hukum yang dianggap seharusnya berlaku.
Beberapa hal yang menjadi sebab rumitnya persoalan kualifikasi dalam
HPI antara lain adalah :
1) Berbagai sistem hukum menggunakan terminology yang serupa/sama tetapi
untuk menyatakan hal yang berbeda.
2) Berbagai sistem hukum mengenai konsep/lembaga hukum tertentu yang
ternyata tidak dikenal dalam sistem hukum lain.
3) Berbagai sistem hukum menyelesaikan perkara-perkara hukum yang secara
faktual pada dasarnya sama, tetapi dengan menggunakan kategori yuridik
yang berbeda-beda.
16
4) Berbagai sistem hukum yang mensyaratkan sekumpulan fakta yang berbeda-
beda untuk menetapkan adanya suatu peristiwa hukum yang pada dasarnya
sama.
5) Berbagai sistem hukum menempuh proses/prosedur yang berbeda untuk
mewujudkan/menerbitkan hasil atau status hukum yang pada dasarnya
sama.

1. Kualifikasi Lex Fori


Terdapat anggapan bahwa kualifikasi harus dilakukan berdasarkan
hukum dari pengadilan yang mengadili (Lex Fori), sebab sistem kualifikasi
adalah bagian dari hukum intern forum.
Franz Kahn lebih lanjut beranggapan bahwa kualifikasi dilakukan
berdasarkan Lex Fori karena alasan-alasan :
a. Kesederhanaan (Simplacity), sebab bila kualifikasi
dilakukan berdasarkan Lex Fori maka pengertian/ batasan tentang
hukum yang digunakan adalah pengertian-pengertian yang telah
dikenal oleh hakim.
b. Kepastian (Certainty), sebab orang-orang yang
berkepentingan dalam suatu perkara akan lebih mengetahui terlebih
dahulu sebagai peristiwa hukum apa suatu peristiwa hukum akan
dikualifikasi oleh hakim, beserta segala konsekuensinya.
Bartin menambahkan pandangan sebagai berikut: Kualifikasi harus
dilakukan berdasarkan Lex Fori karena sebenarnya seorang hakim telah
disumpah untuk meneggakan hukumnya sendiri dan bukan sistem hukum
asing manapun.

2. Kualifikasi Lex Casual


Teori ini beranggapan bahwa : setiap kualifikasi sebaliknya
dilakukan sesuai dengan sistem serta ukuran dari keseluruhan hukum yang
bersangkutan dengan perkara. Tindakan kualifikasi dimaksudkan untuk
menentukan kaidah HPI mana dari Lex Fori yang paling erat kaitannya
hukum asing yang seharusnya berlaku.
Sunaryati Hartono berpendapat bahwa: dalam hal kualifikasi
dilakukan berdasarkan Lex Causal, maka kesulitan akan timbul apabila
17
suatu sistem kualifikasi yang lengkap, atau tidak mengenal lembaga
hukum yang dihadapi dalam perkara.

3. Kualifikasi Bertahap
Teori ini bertitik tolak dari keberatan-keberatan terhadap teori
kualifikasi Lex Causal, kualifikasi tidak mungkin dilakukan berdasarkan
Lex Causal saja sebab sistem hukum apa/nama yang hendak ditetapkan
sebagai Lex Causal masih harus ditetapkan lebih dahulu.

4. Kualifikasi Analitis/Otonom
Menurut para penganut teori ini, tindakan kualifikasi terhadap
sekumpulan fakta harus dilakukan secara terlepas dari kaitannya terhadap
suatu sistem hukum lokal/nasional tertentu (Otonom). Artinya, dalam HPI
seharusnya ada pengertian-pengertian (begrid) hukum yang khas dan
berlaku umum serta mempunyai makna yang sama dimanapun di dunia.
Untuk mewujudkan hal tersebut, menurut “Rabel haruslah digunakan
metode perbandingan hukum didalam rangka mencari pengertian-
pengertian HPI yang dapat diberlakukan dimana-mana. Tujuannya :
menciptakan suatu sistem HPI yang utuh dan sempurna serta yang berisi
konsep-konsep dasar yang bersifat mutlak.
Prof. Sudargo Gautama beranggapan walaupun teori kualifikasi ini
sulit dijalankan, tetapi yang dapat ditarik sebagai pelajaran adalah: Cara
pendekatan/sikap seperti itu perlu dibina dalam HPI, walaupun seseorang
akan mengkualifisikan sekumpulan fakta berdasarkan Lex Fori sekalipun.

5. Kualifikasi HPI
Teori ini bertitik tolak dari pandangan bahwa : setiap kaidah HPI
harus dianggap memiliki tujuan tertentu yang hendak dicapai. Apapun
tujuan yang hendak dicapai oleh suatu kaidah HPI haruslah diletakkan
didalam konteks kepentingan HPI yaitu :
 Keadilan dalam pergaulan internasional
 Kepastian hukum dalam pergaulan internasional
 Ketertiban dalam pergaulan internasional
18
 Kelancaran lalu lintas pergaulan internasional.
Hal yang patut diperhatikan adalah kualifikasi selain apa yang telah
dikemukakan diatas yakni tentang: Kualifikasi Masalah Substansial Atau
Prosedural.
Pembedaan masalah ke dalam masalah substansial ( substance)dan
masalah prosedural (procedural) adalah hal yang selalu didasari dalam
perkara-perkara HPI. Masalah substansial berkenaan dengan hak-hak
subjek hukum yang dijamin oleh kaidah hukum objektif, sedangkan
masalah prosedural berkenaan dengan upaya-upaya hukum yang dapat
dilakukan oleh subjek hukum untuk menegakkan hak-haknya yang dijamin
oleh kaidah-kaidah hukum objektif, dengan bantuan pengadilan.
Asas yang umumnya diterima dalam HPI adalah bahwa semua
masalah hukum yang termasuk persoalan prosedural, harus
ditentukan/diatur oleh Lex Fori. Tetapi yang terlebih dahulu harus
dipertanyakan adalah :
 Apakah perkara yang dihadapi forum adalah persoalan substansial atau
prosedural. Untuk menjawab pertanyaan yang terakhir ini, biasanya
digunakan asas bahwa forum tempat perkara diadililah yang harus
menetapkan hal itu berdasarkan kaidah-kaidah HPInya.
 Apakah kaidah hukum intern yang relevan dengan perkara harus,
dikualifikasikan sebagai kaidah hukum formal atau hukum material.
Umumnya diterima pandangan bahwa dalam hal kaidah hukum Lex
Fori adalah kaidah prosedural, maka kaidah hukum itu harus diberlakukan,
walaupun hukum yang seharusnya berlaku adalah hukum asing.

V. TITIK-TITIK TAUT (PERTALIAN)

Setelah pokok masalah dalam perkara (subject matter) dapat diterapkan


melalui kualifikasi, maka umumnya orang harus menentukan hukum apa yang
harus diberlakukan didalam penyelesaian perkara yang bersangkutan. Untuk
itu orang seringkali harus mencari dan menentukan titik taut yang mengkaitkan
pokok perkara dengan sistem hukum atau kaidah hukum tertentu.
19
Prof. Cohn berpandangan bahwa, salah satu objek dari HPI adalah untuk
meletakkan aturan-aturan dalam rangka pemilihan hukum ( rules for the choise
of law).
Choise of Law Rules (aturan-aturan HPI) itu adalah aturan-aturan yang
akan menegaskan hukum apa yang seharusnya mengatur suatu perkara yang
mengandung unsur asing. Usaha pemilihan hukum ini, hampir selalu tergantung
pada titik-titik taut, yang akan menunjukkan sistem hukum apa yang relevan
dengan sekumpulan fakta yang dihadapi.
Disamping kewarganegaraan pihak-pihak yang ber-perkara ( Lex Patrial)
beberapa titik taut yang dianggap penting, menurut Prof. Cohn adalah :
 Lex Loci Actus (hukum dari tempat perbuatan)
 Lex Rei Sitae (hukum dari tempat benda tetap berada)
 Locus Contractus (tempat perbuatan atau pelaksanaan kontrak).
Dalam HPI dikenal 2 macam titik taut, yaitu :
a. Titik-titik Taut Primer
b. Titik-titik Taut Sekunder
Titik-titik Taut Primer : Unsur-unsur dalam sekum-pulan fakta yang
menunjukkan bahwa suatu peristiwa hukum merupakan peristiwa HPI bukan
merupakan hukum intern/ nasional biasa.
Titik Taut Sekunder : Unsur-unsur dalam sekumpulan fakta yang
menentukan hukum manakah yang harus berlaku mengatur peristiwa HPI yang
bersangkutan.
Jenis-jenis titik taut yang dikenal dalam HPI adalah, antara lain :
a. Kewarganegaraan pihak-pihak yang bersangkutan;
b. Domisili, tempat tinggal atau tempat asal orang atau badan hukum;
c. Tempat (situs) suatu benda;
d. Bendera kapal;
e. Tempat perbuatan hukum dilakukan (locus actus);
f. Tempat tumbuhnya akibat perbuatan hukum/tempat pelaksanaan perjanjian
(locus solitionnis);
g. Tempat pelaksanaan perbuatan-perbuatan hukum resmi dan tempat
perkara/gugatan diajukan (locus forum).
Teori yang berkembang di Eropa juga berusaha melihat “kaitan yang
paling signifikan”, khusunya dalam bidang hukum kontrak, berpandangan
20
bahwa penetapan “pertautan” antara suatu perkara hukum dengan suatu tempat
(dari sistem hukum) tertentu lebih baik ditetapkan dengan melihat ke negara
yang merupakan tempat kediaman tetap dari pihak yang harus melaksanakan
prestasi yang paling karakteristik dalam kontrak yang bersangkutan.

VI. DOKTRIN TENTANG PENUNJUKAN KEMBALI (RENVOI)

Suatu kaidah HPI (Choice of law rule) pada dasarnya dibuat untuk
menunjuk kearah suatu sistem hukum tertentu sebagai sistem hukum yang
harus diberlakukan dalam menyelesaikan suatu masalah HPI.
Renvoi hanya mungkin terjadi bila penunjukan oleh kaidah-kaidah HPI
Lex Fori diarahkan ke seluruh sistem hukum asing yang bersangkutan,
termasuk kaidah-kaidah HPI sistem hukum asing itu. “Mungkin terjadi”
maksudnya, hanya terjadi apabila kaidah-kaidah HPI asing itu menunjukkan
kembali ke arah Lex Fori atau menunjuk lagi ke arah suatu sistem hukum
ketiga).
Persoalan berikutnya, mengapa dan untuk apa orang melakukan
penunjukan ke arah kaidah-kaidah HPI dari suatu sistem hukum asing. Ada
yang beranggapan bahwa hal itu dilakukan agar perkara dapat diputuskan
dengan cara sesuai dengan apa yang dilakukan oleh pengadilan dimana perkara
itu seharusnya diadili. Pandangan ini menganggap bahwa Renvoi dilakukan
agar dapat tercipta keseragaman dalam menyelesaikan perkara-perkara HPI,
walaupun orang menghadapi doktrin-doktrin HPI yang berbeda-beda di setiap
negara.
Namun, secara umum dapatlah dikatakan bahwa Renvoi adalah :
penunjukan kembali oleh kaidah-kaidah HPI dari suatu sistem hukum asing
yang ditunjuk oleh kaidah HPI Lex Fori.
Dari HPI tradisional, orang mengenal dua macam kemungkinan Renvoi
(harus dibedakan dari adanya “dua macam kemungkinan”), yaitu :
a. Penunjukan kembali, yaitu penunjukan oleh kaidah HPI
asing kembali ke arah Lex Fori.
21
b. Penunjukan lebih lanjut, yakni kaidah HPI asing yang telah
ditunjuk oleh Lex Fori tidak menunjuk kembali ke arah Lex Fori, tetapi
menunjuk lebih lanjut ke arah suatu sistem hukum asing lain.

VII. KETERTIBAN UMUM DAN HAK-HAK YANG DIPEROLEH

1. Ketertiban Umum
Masalah “Ketertiban Umum” merupakan masalah pokok dalam HPI.
Alasnya dapat dijelaskan bahwa : HPI adalah bidang hukum yang pokok
masalahnya berkisar disekitar kemungkinan pemberlakuan hukum asing
akibat adanya unsur-unsur asing dalam perkara suatu hukum.
Dalam konteks Ketertiban Umum, masalah HPI tersebut dapat
dirumuskan : Apakah berdasarkan kaidah HPI, forum harus selalu
memberlakukan hukum asing didalam yuridiksinya. Jawabannya adalah
tidak selalu demikian, dalam arti bahwa selalu akan ada hal-hal yang dapat
mengesampingkan pemberlakuan hukum asing di dalam wilayah Lex Fori.
Prinsip yang digunakan untuk menetapkan hal itu adalah : “Jika
pemberlakuan hukum asing dapat menimbulkan akibat berupa pelanggaran
terhadap sendi-sendi pokok hukum setempat (Lex Fori), maka hukum asing
itu dapat dikesampingkan dengan dasar “demi kepentingan umum” atau
“demi ketertiban umum”.
Yang masih menjadi masalah adalah : Sejauh mana orang dapat
menggunakan dasar Ketertiban Umum itu untuk mengesampingkan hukum
asing, atau apa ukuran-ukuran yang dapat digunakan sebagai dasar
penggunaan lembaga Ketertiban Umum itu.
Dr. Sunaryati Hartono beranggapan bahwa, apa yang merupakan
“Ketertiban Umum” itu sulit untuk dirumuskan secara jelas, sebab
pengertian itu dapat dipengaruhi oleh waktu, tempat serta filsafat
22
bangsa/negara, dan sebagainya yang berkaitan dengan masyarakat hukum
yang bersangkutan.
Kegel berpendapat bahwa konsep “Ketertiban Umum” pada dasarnya
berkenaan dengan “bagian yang tidak dapat dijamah dari sistem
hukum asing (yang seharusnya berlaku) dapat dikesampingkan, bila
dianggap bertentangan dengan “Untouchablepart” dari Lex Fori itu.
Dari segi penggunaan lembaga “Ketertiban Umum” ini Prof.
Sudargo Gautama menyatakan bahwa lembaga itu haruslah berfungsi
sebagai “rem darurat pada suatu kereta api” yang harus digunakan apabila
benar-benar dibutuhkan saja.
Ahli HPI lain di Amerika Serikat beranggapan bahwa “ Public
Policy” adalah suatu teknik yang dapat digunakan untuk membenarkan
forum dalam menolak klaim yang terbuat berdasarkan hukum asing.
Sebagai suatu teknik, Ketertiban Umum menunjuk pada situasi dimana
forum tidak mengakui suatu tuntutan yang terbit berdasarkan hukum negara
(bagian) lain karena hakekat dari tuntutan itu, dalam arti pengakuan dan
penegakan tuntutan itu akan menyebabkan pelanggaran terhadap prinsip-
prinsip keadilan yang mendasar, konsepsi yang ada tentang moralitaas
yang baik, atau suatu tradisi yang sudah mengakar.
Dalam situasi semacam itulah lembaga “Ketertiban Umum”
membantu hakim sebagai alat untuk menyimpang dari kaidah HPI yang
seharusnya berlaku.
Secara tradisional doktrin-doktrin HPI membedakan dua fungsi dari
lembaga Ketertiban Umum, yaitu :

a. Fungsi Positif
Yaitu untuk menjamin agar aturan-aturan tertentu dari forum tetap
diberlakukan/tidak dikesampingkan sebagai akibat dari pemberlakuan
hukum asing, terlepas dari persoalan hukum mana yang seharusnya
berlaku atau apapun isi kaidah/aturan Lex Fori itu.

b. Fungsi Negatif
23
Yaitu untuk menghindarkan pemberlakuan aturan-aturan hukum asing,
bila pemberlakuan itu akan menyebabkan pelanggaran terhadap konsep-
konsep dasar Lex Fori.

2. Hak-hak Yang Diperoleh


Istilah “Hak-hak Yang Diperoleh” sering kali disebut dengan Right
and Obligations Created Abroad, atau Hak dan Kewajiban hukum yang
diterbitkan di luar negeri.
Yang menjadi pokok masalah ini dalam kaitan ini adalah : “Apakah
hak dan kewajiban hukum yang dimiliki seseorang berdasarkan kaidah-
kaidah hukum dari suatu sistem hukum (asing) tertentu, perlu diakui atau
tidak oleh Lex Fori (Sunarti Hartono).
Prof. Sudargo Gautama beranggapan bahwa dalam HPI masalah
“Vested Right” ini dikemukakan untuk menegaskan prinsip bahwa
perubahan terhadap fakta-fakta tidak akan mempengaruhi berlakunya
kaidah-kaidah hukum yang semula digunakan.
Hak dan Kewajiban Hukum yang telah diperoleh seseorang
berdasarkan suatu kaidah hukum haruslah dihormati siapa saja, termasuk
oleh Lex Fori, kecuali bila pengakuan terhadap hak-hak semacam itu akan
menimbulkan akibat-akibat yang bertentangan dengan kepentingan umum
masyarakat Lex Fori.
Dengan kata lain, “Vested Right” dapat diakui selama tidak
bertentangan dengan “Ketertiban Umum” Lex Fori atau dengan konsep-
konsep tentang “Keadilan” yang ada di Lex Fori.
Kesimpulan yang dapat ditarik dalam pokok pembahasan tersebut
diatas, yaitu :
 Asas Ketertiban Umum dan asas hak-hak yang peroleh sebenarnya
merupakan dua segi dari satu soal yang sama dalam HPI, yaitu
pemberlakuan dan atau pengakuan hukum asing oleh Lex Fori. Hukum
asing/ hak-hak yang peroleh berdasarkan kaidah hukum asing diakui
selama tidak bertentangan/melawan kepentingan hukum/masyarakat
nasional (Lex Fori).
 Bila disatu pihak, asas “Ketertiban Umum” merupakan pengecualian
terhadap keharusan memberlakukan kaidah hukum asing yang
24
seharusnya berlaku (berdasarkan kaidah HPI), maka dilain pihak, asas
“Vested Right” merupakan pengakuan terhadap berlakunya suatu kaidah
hukum asing atau hak-hak yang terbit dirinya.

VIII. PERSOALAN PENDAHULUAN

Masalah “Persoalan Pendahuluan” dalam HPI dapat dirumuskan secara


sederhana sebagai “Suatu persoalan/ masalah hukum yang harus dipecahkan
ditetapkan terlebih dahulu sebelum putusan terakhir atas suatu perkara HPI
yang dihadapi hakim dapat ditetapkan”.
Jadi masalah Incidental Question timbul karena keputusan terhadap
suatu persoalan hukum yang menjadi pokok sengketa tergantung pada
penetapan sah/tidak sahnya suatu hubungan hukum atau persoalan hukum
lain.
Untuk menetapkan adanya suatu “Incidental Question” dalam suatu
perkara perlu dipenuhi 3 syarat, yaitu :
a. Masalah utama, berdasarkan kaidah HPI Lex Fori
seharusnya diatur berdasarkan hukum asing.
b. Dalam perkara harus ada masalah pendahuluan/masalah
subsider yang menyangkut suatu unsur asing, yang sebenarnya dapat
timbul secara terpisah dan dapat diatur oleh kaidah HPI lain secara
independen.
c. Kaidah HPI yang diperuntukkan bagi masalah pendahuluan
itu akan menghasilkan kesimpulan yang berbeda dari kesimpulan yang
akan dicapai, seandainya hukum yang mengatur masalah utama yang
digunakan.
Dalam teori HPI ada tiga pandangan tentang cara penyelesaian
persoalan pendahuluan ini, yaitu :
a. Setelah Lex Causal untuk menyelesaikan masalah pokok
ditetapkan berdasarkan kaidah HPI Lex Fori, maka masalah
pendahuluannya(Vorfragennya) harus ditentukan berdasarkan sistem
hukum yang sama dengan Lex Causal itu.
25
b. Dengan mengabaikan sistem hukum apa yang merupakan
Lex Causal untuk menyelesaikan Vorfrage-nya, tanpa harus menentukan
terlebih dahulu Lex Causal dari haupfrage-nya.
c. Ada pula yang berpendapat bahwa penetapan hukum yang
seharusnya berlaku untuk menyelesaikan ”Incedental Question ” atau
Vorfrage-nya harus ditetapkan secara kasuistis, dengan memperhatikan
hakekat perkara atau kebijaksanaan dan atau kepentingan forum yang
mengadili perkara.

IX. ASAS-ASAS UMUM HPI DALAM BEBERAPA BIDANG HUKUM


PERDATA

1. Pendahuluan
Hubungan-hubungan hukum yang dilakukan antar manusia antar
manusia secara individual dan menerbitkan berbagai hak dan kewajiban
bagi para pelakunya dapat dianggap sebagai hubungan-hubungan hukum
keperdataan.
Secara tradisional, dalam hukum perdataan orang mengklasifikasikan
kaidah-kaidah hukum ke dalam beberapa sub bidang hukum yaitu :
 Bidang hukum tentang subjek hukum
 Bidang hukum tentang keluarga
 Bidang hukum tentang benda
 Bidang hukum tentang perjanjian/perbuatan melawan
 Bidang hukum pewarisan.
Bila dalam pergaulan keperdataan terlibat subjek, objek hak/
kewajiban hukum yang bertalian dengan suatu sistem hukum asing, maka
sebenarnya orang sudah memasukan bidang pembahasan HPI di bidang
hukum perdataan.

2. Asas-asas HPI Tentang Subjek Hukum


Dalam perkembangan teori dan praktek HPI telah tumbuh pelbagai
asas HPI yang pada dasarnya dimaksudkan untuk memberikan jalan keluar
pada masalah: berdasarkan hukum mana, diantara pelbagai hukum yang
26
relevan, status dan kewenangan (status personal) subjek-subjek hukum itu
harus diatur.

2.1. Asas Nasionalitas (Kewarganegaraan)


Berdasarkan asas ini, status personal seseorang ditetapkan
berdasarkan hukum kewarganegaraan (Lex Patrial) orang itu. Asas
ini juga dalam Pasal 16 Algemene Bepalingen Van Wetgeving (AB)
yang secara teoritis masih berlaku di Indonesia.
Beberapa masalah yang mungkin dihadapi bila dalam
penentuan hukum personal seseorang, suatu sistem hukum
menerapkan asas nasionalileit ini secara terlalu ketat.
a. Problem Renvoi dapat timbul bila asas ini hendak diterapkan
seseorang warga negara asing yang berasal dari negara yang
sistem hukumnya menganut asas domicile dalam menentukan
status personal seseorang.
b. Kewarganegaraan seseorang tidak selalu dapat menjamin adanya
kenyataan bahwa secara faktual seseorang menetap di wilayah
negara nasionalnya.
c. Bagi forum, asas ini dapat menimbulkan kesulitan teknis karena
hakim-hakim harus menetapkan status dan kewenangan personal
suatu subjek hukum berdasarkan suatu sistem hukum asing yang
belum tentu dikenalnya.

2.2. Asas Domicile


Asas domicile yang dimaksudkan disini hendaknya diartikan
sesuai dengan konsep yang tumbuh di dalam sistem-sistem hukum
Common Law dan umumnya yang diartikan sebagai Permanent Home
atau “tempat hidup seseorang secara permanen”.
Berdasarkan asas ini status dan kewenangan personal
seseorang ditentukan berdasarkan hukum domicile (hukum tepat
kediaman permanen) orang itu.
Konsep domicile pada dasarnya dapat dibedakan ke dalam tiga
pengertian yaitu :
27
a. Domicile of Origin : yaitu tempat kediaman
permanen seseorang karena kelahiran orang itu di tempat tertentu.
b. Domicile of Dependence : yaitu tempat kediaman
permanen seseorang karena ketergantungan orang itu pada orang
lain.
c. Domicile of Choice : yaitu tempat kediaman
permanen seseorang yang dipilih orang itu atas dasar kemauan
bebasnya.

2.3. Asas Untuk Penentuan Status Badan Hukum


Dalam teori dan praktek HPI berkembang beberapa doktrin atau
asas yang digunakan, yaitu:
a. Asas Kewarganegaraan/Domicile Pemegang Saham
yang beranggapan bahwa status badan hukum ditentukan
berdasarkan hukum dari tempat dimana mayoritas pemegang
sahamnya menjadi warga negara (Lex Patrial) atau berdomicile
(Lex Domicile).
b. Asas Centre of Administration/Business yang
beranggapan bahwa status dan kewenangan yuridik suatu badan
hukum harus tunduk pada kaidah-kaidah hukum dari tempat yang
merupakan pusat kegiatan administrasi badan hukum tersebut.
c. Asas Place of Incorporation yang beranggapan
bahwa status dan kewenangan badan hukum seyogyanya
ditetapkan berdasarkan hukum dari tempat badan hukum itu secara
resmi didirikan/ dibentuk.
d. Asas “Centre of Exploitation” atau “Centre of
Operation” yang beranggapan bahwa status atau kehidupan badan
hukum harus diatur berdasarkan hukum dan tempat perusahaan itu
memusatkan kegiatan operasional, eksploitasi, atau memproduksi
barang.

3. Asas HPI Dalam Hukum Keluarga


Sesuai Pasal 1 Undang-undang No. 1/1974 tentang Perkawinan, maka
perkawinan adalah : ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita
28
sebagai suami–istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

3.1. Pengertian Perkawinan


Secara teoritis dalam HPI dikenal dua pandangan utama yang
berusaha membatasi pengertian “Perkawinan Campuran” yaitu :
a. Pandangan yang beranggapan bahwa suatu
perkawinan campuran adalah perkawinan yang langsung antara
pihak-pihak yang berbeda domicilenya, sehingga terhadap masing-
masing pihak berlaku kaidah-kaidah hukum intern dari sistem
hukum yang berbeda.
b. Pandangan yang beranggapan bahwa suatu
perkawinan dianggap sebagai perkawinan campur-an apabila para
pihak berbeda kewarganegaraan/ nasionalitasnya.

3.2. Validitas Essensial Perkawinan


Asas utama yang berkembang dalam HPI tentang hukum yang
harus digunakan untuk mengatur validitas material suatu perkawinan
adalah :
 Asas Lex Loci Celebrationis yang bermakna bahwa validitas
material perkawinan harus ditetapkan berdasarkan kaidah hukum
dari tempat dimana perkawinan diresmikan/ dilangsungkan;
 Asas yang menyatakan bahwa validitas material suatu perkawinan
ditentukan berdasarkan sistem hukum dari tempat masing-masing
pihak menjadi warga negara sebelum perkawinan dilangsungkan;
 Asas yang menyatakan bahwa validitas material harus ditentukan
berdasarkan sistem hukum dari tempat masing-masing pihak
berdomisili sebelum perkawinan dilangsungkan;
29
 Asas yang menyatakan bahwa validitas material perkawinan harus
ditentukan berdasarkan sistem hukum dari tempat dilangsungkannya
perkawinan (locus celebrationis); tanpa mengabaikan persyaratan
perkawinan yang berlaku didalam sistem hukum para pihak sebelum
perkawinan dilangsungkan.

3.3. Validitas Formal Perkawinan


Pada umumnya pelbagai sistem hukum berdasarkan asas locus
regit actum, diterima asas bahwa validitas formal suatu perkawinan
ditentukan berdasarkan lex loci celebrations.

3.4. Akibat-akibat Perkawinan


Berdasarkan asas yang berkembang didalam HPI tentang akibat-
akibat perkawinan (seperti masalah hak dan kewajiban) suami-istri,
hubungan orang tua dan anak, kekuasaan orang tua, harta kekayaan
perkawinan dan sebagainya) adalah bahwa akibat-akibat perkawinan
tunduk pada :
a. Sistem hukum tempat perkawinan diresmikan (lex
loci celebrations).
b. Sistem hukum dari tempat suami-istri bersama-
sama menjadi warga negara setelah perkawinan.
c. Sistem hukum dari tempat suami istri
berkediaman tetap bersama setelah perkawinan, atau tempat suami
istri berdomicile tetap setelah perkawinan

3.5. Perceraian dan Akibat Perceraian


Beberapa asas HPI menyatakan bahwa berakhirnya perkawinan
karena perceraian serta akibat-akibat perceraian harus diselesaikan
berdasarkan sistem hukum dari tempat :
a. Lex Loci Celebrationis;
b. Gemeeenscappelicke Nationaliteit/Join Natio-nality;
c. Gemeeencappelijke woonplats/domicile of choice
setelah perkawinan;
d. Diajukan gugatan perceraian (Lex Fori).
30
4. Asas-asas HPI Dalam Hukum Benda
beberapa asas HPI yang menyangkut penentuan status benda-benda
bergerak, adalah antara lain menetapkan bahwa status benda bergerak
ditetapkan berdasarkan :
a. Hukum dari tempat pemegang hak atas benda tersebut
berkewarganegaraan.
b. Hukum dari tempat pemegang hak atas benda tersebut
berdomicile.
c. Hukum dari tempat benda terletak (Lex Situs).
Sedangkan status benda tetap berdasarkan asas umum yang diterima
di dalam HPI yang menetapkan bahwa status benda-benda tetap ditetapkan
berdasarkan lex rei sitae atau lex situs atau hukum dari tempat benda
berada/terletak. Asas ini juga dianut didalam Pasal 17 Algeemene
Bepalingen van Wetgeving.

5. Asas-asas HPI Dalam Hukum Perjanjian


Kontrak adalah persetujuan diantara dua orang atau lebih orang yang
berisi sebuah perjanjian atau janji-janji yang bertimbal balik yang diakui
sebagai suatu kewajiban hukum.
Berdasarkan definisi tersebut orang dapat menyatakan bahwa hal-hal
esensial dari suatu kontrak adalah hanya persetujuan ( agreement) dan
kewajiban untuk melaksanakan sesuatu (obligation).
Dalam HPI bidang hukum kontrak merupakan salah satu bidang yang
paling pelik dan paling banyak menimbulkan kontroversi. Namun
demikian, persoalan pokok dibidang ini adalah penentuan “ the proper law
of contract” (hukum yang harus diberlakukan untuk mengatur masalah-
masalah yang ada didalam suatu kontrak).

5.1. Teori Lex Loci Contractus


Asas ini merupakan asas tertua yang dilandasi prinsip locus regit
actum. Berdasarkan asas ini “the proper law of contract” adalah hukum
dari tempat pembuatan kontrak.
Di masa modern teori ini tampaknya sudah tidak memadai lagi,
terutama bila dikaitkan dengan kontrak-kontrak yang antara pihak-
31
pihak yang tidak berhadapan satu sama lain. Semakin banyak kontrak
yang dibuat dengan bantuan sarana komunikasi modern seperti telex,
telegram, facsimile, sehingga penentuan locus contractus menjadi sulit
dilakukan.

5.2. Asas Lex Loci Solutionis


Dengan semakin kecilnya peranan asas lex loci contractus,
maka perhatian banyak dialihkan ke arah sistem hukum dari tempat
pelaksanaan perjanjian (locus solutionis). Asas yang menganggap
bahwa “the proper law of contract” adalah lex loci solutionis ini
sebenarnya merupakan variasi dari penerapan asas locus regit actum
yang beranggapan bahwa tempat pelaksanaan perjanjian adalah tempat
yang lebih relevan dengan kontrak dibandingkan dengan tempat
pembuatan perjanjian, terutama bila disadari bahwa suatu kontrak
walaupun sah di tempat pembuatannya akan tetap unenforceable bila
bertentangan dengan sistem hukum dari tempat pelaksanaan
perjanjian itu. Dalam perkembangannya ternyata asas lex loci
solutionis tidak selalu memberikan jalan keluar yang memuaskan,
terutama bila diterapkan pada kontrak-kontrak yang harus
dilaksanakan di pelbagai tempat yang berbeda.

5.3. Asas Kebebasan Para Pihak


Asas yang ketiga ini sebenarnya merupakan perkembangan
apresiasi terhadap asas utama dalam hukum perjanjian, yaitu asas
bahwa “setiap orang pada dasarnya memiliki kekebasan untuk
mengikatkan diri pada perjanjian”.

6. Asas-asas HPI Tentang Pembuatan Melawan Hukum


Sejalan dengan bunyi Pasal 1365 KUH Perdata, maka perbuatan
melawan hukum disini hendak diartikan sebagai “tindakan yang karena
sifatnya melawan hukum menimbulkan kerugian pada orang lain, dan karena
itu menerbitkan hak pada orang lain untuk menuntut ganti rugi atas
kerugian yang dideritanya”.
32
Persoalan perbuatan melawan hukum ini harus menjadi masalah HPI
bila didalamnya terkandung unsur-unsur asing. Pertautan antara suatu
perbuatan (melanggar) hukum dengan tempat asing dapat terjadi karena :
a. Pelaku perbuatan berdomisili atau berkewarga negaraan
asing;
b. Tindakan dilakukan di wilayah suatu negara asing;
c. Akibat-akibat dari perbuatan timbul di suatu wilayah
asing;
d. Pihak yang dirugikan berdomisili atau berkewarga
negaraan asing.
Masalah-masalah HPI yang dapat timbul dari perkara semacam itu
adalah antara lain :
 Berdasarkan sistem hukum mana penentuan kualitas suatu perbuatan
melawan hukum harus ditentukan.
 Berdasarkan sistem hukum mana penetapan ganti rugi harus ditentukan.

7. Asas-asas HPI Tentang Hukum Pewarisan


Masalah-masalah yuridik yang timbul dari persoalan dan proses
pewarisan sering kali bersumber pada dua masalah pokok yaitu :
a. Adanya tata cara pewarisan yang diatur berdasarkan
undang-undang, dalam hal pewaris tidak menyatakan dengan tegas
keinginannya melalui tesnamen.
b. Adanya keinginan tegas pewaris yang menyatakan
melalui tesnamen, dan yang harus diwujudkan terhadap harta
peninggalannya setelah ia meninggal dunia.
Mengenai persyaratan esensial untuk menentukan validitas suatu
tesnamen umumnya diterima pandangan bahwa hukum yang berlaku adalah
hukum dari tempat pewaris menjadi warga negara atau berdomisili pada
saat tesnamen dibuat, walaupun ada pandangan yang mendukung
pemberlakuan hukum dari tempat pembuatan tesnamen berdasarkan asas lex
loci actus.
Persyaratan formal sahnya suatu tesnamen biasanya ditentukan
berdasarkan hukum kewarganegaraan atau domisili pewaris pada saat
pembuatan tesnamen atau hukum dari tempat pembuatan tesnamen itu.
33
X. YURISDIKSI PENGADILAN DAN ARBITRASE

1. Pengertian
Yurisdiksi pengadilan di dalam HPI merupakan kekuasaan dan
kewenangan pengadilan untuk memeriksa dan menentukan suatu
permasalahan yang dimintakan kepadanya untuk diputuskan dalam setiap
kasus yang melibatkan paling tidak satu elemen hukum asing yang relevan.
Untuk menjalankan yurisdiksi yang diakui secara internasional,
pengadilan suatu negara (provinsi atau negara bagian dalam sistem hukum
negara federal) harus mempunyai kaitan tertentu dengan para pihak atau
atau harta kekayaan yang dipersengketakan.

2. Tipe-Tipe Yurisdiksi Pengadilan


Di dalam sistem hukum common law, terdapat beberapa kategori
yurisdiksi pengadilan. Jika suatu gugatan berkaitan dengan hak-hak atau
kepentingan-kepentingan semua orang mengenai suatu hal atau benda,
pengadilan dapat secara langsung menjalankan kekuasaan-nya terhadap
suatu hal atau benda tersebut meskipun pengadilan mungkin tidak
mempunyai yurisdiksi terhadap orang-orang yang dan kepentingannya
tersebut terpengaruh. Yurisdiksi pengadilan semacam ini disebut yurisdiksi
in rem. Tujuan utama gugatan dalam in rem adalah memenangkan gugatan
mengenai res (benda). Yurisdiksi pengadilan didasarkan Pada lokasi atau
tempat objek yang terletak di dalam wilayah yang akan diberlakukan
yurisdiksi.
Jika gugatan dimaksudkan untuk meminta tanggung-jawab seseorang
atau membebankan kewajiban terhadap seseorang, pengadilan
memberlakukan yurisdiksi in personam dan gugatan tersebut merupakan
gugatan in personam.

3. Kompetensi Absolut dan Relatif


Menurut UU No.14 Tahun 14 Tahun 1970 tentang Pokok Kekuasaan
Kehakiman, kekuasaan kehakiman di Indonesia dilakukan oleh pengadilan
dalam lingkungan:
1. Peradilan Umum;
2. Peradilan Agama;
34
3. Peradilan Militer; dan
4. Peradilan Tata Usaha Negara.
Masing-masing badan peradilan di atas mempunyai tingkatan-
tingkatan dan semuanya berpuncak pada Mahkamah Agung. Masing-masing
badan peradilan mempunyai wewenang untuk menerima dan memeriksa dan
mengadili serta menyelesaikan perkara-perkara jenis tertentu yang mutlak
tidak dapat dilakukan badan peradilan lain. Masing-masing badan peradilan
mempunyai wewenang sendiri-sendiri. Wewenang masing-masing badan
peradilan ini disebut wewenang mutlak (kompetensi absolut).
Setiap tingkat pengadilan pada masing-masing badan peradilan
tersebut juga mempunyai wewenang sendiri-sendiri yang secara mutlak
tidak dapat dilakukan pengadilan tingkatan yang lain. Dalam badan
peradilan umum misalnya, apa yang menjadi wewenang Pengadilan Negeri,
mutlak tidak dapat dilakukan oleh Pengadilan Tinggi dan Mahkamah
Agung.
Pengadilan Negeri sebagai bagian peradilan umum merupakan
pengadilan yang bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara pidana dan perdata pada tingkat pertama. Tugas dan
wewenang Pengadilan Negeri dalam perkara perdata meliputi semua perkara
mengenai hak milik dan hak-hak yang timbul karenanya serta hak-hak
keperdataan lainnya, termasuk penyelesaian masalah yang berhubungan
dengan yurisdiksi volunter (tuntutan hak yang tidak mengandung sengketa),
kecuali apabila dalam undang-undang ditetapkan pengadilan lain untuk
memeriksa, memutus, dan menyelesaikannya, seperti perkara perceraian
mereka yang beragama Islam yang menjadi wewenang Pengadilan Agama.
Setiap pengadilan negeri mempunyai daerah hukumnya sendiri.
Daerah suatu Pengadilan Negeri meliputi wilayah kotamadya atau
kabupaten tempat pengadilan tersebut berada. Daerah hukum inilah yang
menentukan wewenang nisbi (kompetensi relatif) suatu pengadilan negeri
untuk menerima, memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan suatu
perkara perdata.

4. Yurisdiksi Pengadilan yang Mengandung Elemen Asing di Indonesia


35
Di dalam Hukum Acara Perdata yang berlaku dewasa ini di Indonesia
yang pengaturannya terdapat Het Herziene Indonesisch Reglement(HIR) dan
Rechtsreglement Buitengewesten (Rbg) tidak terdapat ketentuan khusus
mengenai kompetensi pengadilan (yurisdiksi) Indonesia dalam mengadili
perkara-perkara perdata yang mengandung elemen asing.
Menurut Pasal 118 ayat (1) HIR, tuntutan atau gugatan perdata
diajukan kepada pengadilan negeri di tempat tergugat bertempat tinggal
(woonp1aats), atau jika tidak diketahui tempat tinggalnya, tempat ia
sebenarnya berada (werkelijk verblijf).
Kemudian jika tergugat lebih dan satu orang dan mereka tidak
tinggal dalam satu wilayah suatu pengadilan negeri, menurut Pasal 118
HIR, gugatan diajukan kepada pengadilan negeri di tempat salah seorang
bertempat tinggal.
Menurut Sudargo Gautama, ketentuan penting yang ada hubungannya
dengan perkara yang bersifat HPI terdapat dalam Pasal 118 ayat (3) HIR
Jika tergugat tidak mempunyai tinggal yang dikenal dan juga tempat tinggal
sebenarnya tidak dikenal, maka gugatan diajukan kepada pengadilan negeri
di tempat penggugat (forum actoris). Kemudian apabila gugatan tersebut
berkaitan dengan benda tidak bergerak (benda tetap), gugatan diajukan
kepada pengadilan negeri dimana benda tetap itu terletak ( forum rei sitae).
Di dalam Pasal 118 ayat (4) terdapat ketentuan yang menegaskan
bahwa jika terdapat pilihan domisili, gugatan diajukan kepada pengadilan
negeri yang telah dipilih tersebut.
Di dalam yurisprudensi Indonesia sering ditemukan perkara-perkara
di mana tergugat tidak mempunyai tempat kediaman yang dikenal di
Indonesia, sehingga prosedur khusus telah di1akukan.
Berkenaan dengan hal ini dapat dikaji ketentuan yang terdapat dalam
pasal 6 sub 8 Reglement op de Burgerlijk Rechtsverordering (RV) mengenai
dagvaarding yang harus disampaikan kepada pihak tergugat yang bertempat
tinggal di luar Indonesia sepanjang mereka tidak mempunyai tempat
kediaman yang dikenal di Indonesia. Tuntutan diserahkan kepada pejabat
kejaksaan pada tempat pengadilan dimana seharusnya perkara diajukan.
Pejabat ini membubuhkan kata-kata gezien dan menandatanganinya serta
36
menyerahkan salinan ekspolit untuk yang bersangkutan kepada pemerintah
Indonesia untuk dikirim.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan, bahwa prinsip
penyampaian gugatan harus dilakukan di tempat tinggal pihak tergugat.
Kewenangan mengadili pertama-tama didasarkan pada asas the basis
presence, yakni pada umumnya yurisdiksi suatu negara diakui meliputi
secara teritorial atas semua orang dan benda yang berada dalam batas-batas
wilayah negaranya. Pengecualiannya adalah berkaitan dengan immunitas
negara berdaulat dan staf diplomatik.
Selain itu principle of effectiveness juga memegang peranan penting,
di samping pertimbangan-pertimbangan untuk memberi perlindungan
sewajarnya terhadap semua orang yang mencari keadilan. Prinsip efektivitas
berarti, bahwa pada umumnya hakim hanya akan memberi putusan yang
pada hakikatnya akan dapat dilaksanakan kelak. Tentunya yang paling
terjamin apabila gugatan diajukan di hadapan pengadilan di mana pihak
tergugat (dan benda-bendanya) berada.

5. Pilihan Forum (Choice of Forum = Choice of Jurisdiction)


Di dalam suatu kontrak dagang internasional, selain dikenal adanya
pilihan hukum (choice of law) juga dikenal adanya pilihan yurisdiksi atau
pilihan forum (choice of jurisdiction atau choice of forum). Pilihan
jurisdiksi ini bermakna, bahwa para pihak di dalam kontrak bersepakat
memilih forum atau lembaga yang akan menyelesaikan perselisihan yang
mungkin timbul diantara kedua belah pihak.
Pada umumnya para pihak dianggap mempunyai kebebasan untuk
memilih forum. Mereka bisa menyimpang dari kompetensi relatif dengan
memilih hakim lain. Akan tetapi, tidak diperkenankan untuk menjadikan
suatu peradilan menjadi tidak berwenang bilamana menurut kaidah-kaidah
hukum intern negara yang bersangkutan hakim tidak berwenang adanya.
Misalnya untuk Nederland tidak dapat dipilih hakim jika menurut hukum
Belanda sama sekali tidak ada hakim Belanda yang relatif berwenang
mengadili perkara itu.
37
Menurut Convention on the Choice of Court 1965, pilihan forum
terbuka untuk perkara perdata atau dagang yang mempunyai sifat
internasional. Pilihan forum tidak berlaku bagi:
1. status atau kewenangan orang atau hukum keluarga, termasuk kewajiban
atau hak-hak pribadi atau finansial antara orang tua dan atau antara
suami dan istri;
2. permasalahan alimentasi yang tidak termasuk dalam butir 1;
3. warisan;
4. kepailitan;
5. hak-hak atas benda tidak bergerak.
Pilihan forum yang dimaksud di atas selain dapat menunjuk kepada
suatu pengadilan di negara tertentu juga dapat menunjuk badan arbitrase
tertentu.
Salah satu contoh pilihan yurisdiksi tersebut dapat dilihat dalam
klausula pilihan yurisdiksi yang terdapat dalam salah satu perjanjian
patungan (joint venture agreement) di bawah mi:

21. Disputes. All disputes, controversies or diffrences which may


arise between the parties out of or in relation to or in connection
with this agreement, or the breach thereof shall be settled by
arbitration in Paris, France, in accordance with the rules of
conciliation and arbitration of the International Chamber of
Commerce at Paris.

Pengadilan atau arbitrase sebelum memeriksa atau mengadili perkara


yang diajukan kepadanya itu terlebih dahulu harus meneliti apakah ia
berwenang mengadili perkara tersebut. Salah satu cara untuk menentukan
berwenang tidaknya ia mengadili perkara yang bersangkutan adalah dengan
meneliti klausula pilihan yurisdiksi yang terdapat dalam kontrak yang
bersangkutan.
Jika para pihak tidak melakukan pilihan yurisdiksi tersebut, maka
dalam hal penentuan ke mana penyelesaian sengketa harus diajukan harus
didasarkan pada kompetensi relatif pengadilan.
38
Bilamana hakim yang mengadili suatu perkara yang mengandung
elemen asing menemui adanya pilihan forum yang menunjuk kepada badan
peradilan lain atau menunjuk pada badan arbitrase lain, tetapi berlainan
kompetensi relatifnya, maka hakim yang bersangkutan hams menyatakan
dirinya tidak berwenang mengadili perkara tersebut. Misalnya dalam sebuah
kontrak ekspor-impor antara pengusaha Indonesia dan Amerika Serikat di
Indonesia, para pihak memilih yurisdiksi District of Court di New York.
Jika terjadi sengketa diantara pihak-pihak, kemudian pengusaha Indonesia
itu mengaju-kan perkaranya kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, maka
seharusnya hakim menyatakan dirinya tidak berwenang mengadili perkara
tersebut.
Demikian juga apabila di dalam kontrak itu para pihak ternyata
memilih forum arbitrase di luar negeri atau di Indonesia, maka perkaranya
tidak dapat diajukan kepada Pengadilan Negeri. Bilamana perkara itu tetap
diajukan kepada Pengadilan Negeri, hakim harus menyatakan dirinya tidak
berwenang.
Bilamana para pihak telah memilih yurisdiksi arbitrase baik melalui
sistem factum de compromitendo maupun akta kompromis, maka arbitrase
memiliki kewenangan atau kompetensi absolut untuk menyelesaikan
perkaranya.
Mahkamah Agung Republik Indonesia telah mengakui hal tersebut di
atas. Hal mi terlihat dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 2924/SIP/1981
tentang perkara antara Ahyu Forestry Company Limited melawan Sutomo
Direktur Utama PT Balapan Jaya, dan Putusan Mahkamah Agung Nomor
33/179 KK/Pdt/1984 tentang perkara PT Arpeni Pratama Ocean Line
melawan PT Shorea Mas.
Pilihan yurisdiksi arbitrase seperti tersebut di atas telah diakui dan
diatur dalam Konvensi New York Tahun 1958 tentang Pengakuan dan
Pelaksanaan Putusan Arbitrase Luar Negeri (Convention on the Recognition
and Enforcement of Foreign Arbitral Awards). Konvensi tersebut telah
diratifikasi Pemerintah Republik Indonesia melalui Keputusan Presiden
(Kepres) Nomor 34 Tahun 1981.
Oleh karena itu, badan-badan peradilan di Indonesia seperti juga
negara lainnya yang terikat pada konvensi tersebut harus pula menyatakan
39
dirinya tidak berwenang mengadili suatu sengketa di mana para pihak telah
menentukan arbitrase sebagai pilihan yurisdiksi mereka.
Pasal 3 UU Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Tahun
1999 menentukan bahwa Pengadilan Negeri tidak berwenang mengadili
sengketa para pihak yang terikat di dalam perjanjian arbitrase.
Di dalam kontrak-kontrak dagang internasional terdapat cenderungan
para pihak untuk memilih arbitrase sebagai pilihan yurisdikdi. Pilihan
tersebut antara lain didasarkan pada keunggulan atau keuntungan
penyelesaian sengketa melalui arbitrase, antara lain berkenan dengan :

1. Kebebasan, kepercayaan, dan keamanan


Arbitrase pada umumnya dipilih pengusaha, pedagang, atau invest
karena memberikan kebebasan dan otonomi yang sangat luas kepada
mereka. Selain itu, secara relatif memberikan rasa aman terhadap
keadaan tidak menentu dan ketidakpastian sehubungan dengan sistem
hukum yang berbeda, juga terhadap kemungkinan putusan hakim yang
berat sebelah melindungi kepentingan (pihak) lokal dan mereka yaitu
terlibat dalam suatu perkara.

2. Keahlian arbitrator (expertise)


Para pihak seringkali memilih arbitrase karena mereka memiliki
kepercayaan yang lebih besar pada keahlian arbiter mengenai
permasalahan yang dipersengketakan dibandingkan dengan
menyerahkannya kepada pengadilan. Mereka dapat mengangkat atau
menunjuk arbiter atau suatu panel arbitrase yang memiliki keahlian
terhadap pokok pemasa1ahan yang dipersengketakan. Hal tersebut tidak
dapat dijamin dalam sistem badan peradilan umum.

3. Cepat dan hemat biaya


Sebagai suatu proses pengambilan keputusan, arbitrase seringkali lebih
cepat, tidak terlalu formal, dan lebih murah daripada proses litigasi di
pengadilan. Putusan arbitrase biasanya ditetapkan bersifat final dan
tidak dapat dibanding.

4. Bersifat rahasia
40
Oleh karena arbitrase berlangsung dalam lingkungan yang bersifat
privat dan bukan bersifat umum, maka arbitrase juga bersifat privat dan
tertutup. Sifat rahasia arbitrase dapat melindungi para pihak dan hal-hal
yang tidak diinginkan atau yang merugikan para pihak akibat
penyingkapan informasi kepada umum. Selain itu, hal ini juga dapat
melindungi mereka dan publisitas yang merugikan dan akibat-akibat,
seperti kehilangan reputasi, bisnis, dan pemicu bagi tuntutan tuntutan
lainnya, yang dalam proses ajudikasi publik dapat mengakibatkan
pemeriksaan sengketa secara terbuka.

5. Bersifat nonpreseden
Di dalam sistem hukum yang prinsip presedennya mempunyai pengaruh
penting dalam pengambilan keputusan mengakibatkan putusan arbitrase
pada umumnya tidak memiliki nilai atau sifat preseden. Para pihak
khawatir akan menciptakan preseden yang merugikan, yang mungkin
dapat mempengaruhi kepen-tingannya di masa mendatang. Karena itu,
untuk perkara yang serupa mungkin saja dihasilkan putusan arbitrase
yang berbeda sebab arbitrase tidak akan memberikan preseden.

6. Kepekaan arbitrator
Walaupun para hakim dan arbiter menerapkan ketentuan hukum untuk
membantu penyelesaian perkara yang mereka hadapi, dalam hal-hal yang
relevan, arbiter akan lebih memberikan perhatian terhadap keinginan,
realitas, dan praktek dagang para pihak. Sebaliknya pengadilan sebagai
lembaga penyelesaian sengketa yang bersifat publik seringkali
memanfaatkan sengketa privat sebagai tempat untuk lebih menonjolkan
nilai-nilai masyarakat. Akibatnya, dalam penyelesaian sengketa privat,
pertimbangan hakim lebih mengutamakan kepentingan umum.
Kepentingan privat atau pribadi dinomorduakan. Sedangkan arbiter pada
umumnya menerapkan pola nilai-nilai sebaliknya.
Di dalam praktek pengusaha asing selain cenderung memilih hukum
negaranya sendiri (pilihan hukum) juga lebih menyukai pilihan forum
arbitrase di luar negeri.
41
Pilihan hukum asing dan pilihan forum arbitrase di luar negeri yang
demikian itu dilatarbelakangi oleh keyakinan bahwa hukum dan pengadilan
di negara berkembang kurang memberikan rasa aman bagi mereka.
Pengusaha asing seringkali khawatir terhadap hukum dan hakim negara
berkembang. Bagi mereka hukum negara berkembang sukar untuk
diketahui. Ibarat orang harus melompat di dalam kegelapan sprong in het
duister atau masuk dalam rimba raya dengan hutan belukar hingga tidak
tahu jalan keluarnya. Mereka takut akan hukum yang tidak diketahui
tersebut. Tetapi, mereka lebih takut lagi kepada hakim yang melaksanakan
hukum yang kurang diketahui.

Anda mungkin juga menyukai