Selain pasal-pasal A.B. tersebut diatas, terdapat pula Pasal 131 dan
163 I.S (Indische Staatsregeling-S). 1925-415 jo 577), yang membedakan
penduduk Indonesia kedalam 3 golongan, yakni :
a. Golongan Eropa dan mereka yang dipersamakan dengan golongan
Eropa, misalnya orang Jepang.
b. Golongan-golongan Timur Asing, masing-masing dengan hukumnya
sendiri.
c. Golongan Bumi Putra (Indonesia asli).
Berdasarkan pembagian termaksud, maka Pasal 131 IS mengandung
kaidah-kaidah penunjuk bahwa bagi penduduk Indonesia:
1) Untuk orang-orang yang berasal dari Eropa, apapun kewarga-
negaraannya, berlaku hukum perdata barat (yang termaksud dalam B.W
dan W.V.K). Demikian juga untuk orang Jepang.
2) Untuk orang-orang yang berasal dari Asia dan Afrika (apapun
kewarganegaraannya)berlaku pula hukum kekayaan dalam B.W dan
W.V.K, kecuali bagi orang-orang yang berdarah Tionghoa untuk siapa
berlaku juga hukum Perdata Barat. (S.1917-129 dan S.1924-556).
3) Untuk orang-orang Indonesia berlaku Hukum Adat, kecuali apabila
mereka tunduk secara suka rela terhadap Hukum Perdata Barat (S.1917-
12, S.2 dan S.3).
4
Peraturan Perkawinan Campuran (Besluit Kerajaan tertanggal 29
Desember 1896 No.23, S.1898-158) menegaskan bahwa perkawinan antara
orang-orang, yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berbeda,
dinamakan perkawinan campuran: pihak perempuan yang melangsungkan
perkawinan campuran mengikuti selama perkawinan itu, status dibidang
hukum publik maupun hukum perdata dari pada suaminya.
Sesudah kemerdekaan tahun 1945, terdapat beberapa peraturan
perundangan yang dapat dijadikan sebagai sumber HPI di Indonesia,
diantaranya adalah:
2.2. Undang-Undang Pokok Agraria (UU No. 5 Tahun 1960, L.N. 1960
No.104).
Dengan berlakunya UUPA ini, maka dalam hal yang menyangkut
tanah, ukuran perbedaan tidak lagi dilakukan menurut golongan-
golongan, berdasarkan Pasal 131 I.S, akan tetapi antara warga negara
Indonesia dan orang asing. Ini ternyata dari Pasal 1 (1) jo Pasal 9 (1)
UUPA yang menyatakan:
Pasal 1 (1) : “Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air
dari seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai
bangsa Indonesia”.
Pasal 9 (1) : “Hanya warga negara Indonesia dapat mempunyai
hubungan yang sepenuhnya dengan bumi, air dan ruang
angkasa, dalam batas-batas ketentuan Pasal 1 dan 2.
5
2.3. Undang-undang Perkawinan (UU No.1 Tahun 1974, L.N.1974 No.1,
TLN No. 3019).
Dalam ketentuan Pasal 56 UU No.1 tahun 1974 dijelaskan bahwa
“Perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia antara dua orang
warga negara Indonesia atau seorang warga negara Indonesia dengan
warga negara asing adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang
berlaku di negara dimana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi warga
negara Indonesia tidak melanggar Undang-Undang ini.
Selanjutnya dalam waktu 1 (satu) tahun setelah suami istri itu
kembali di wilayah Indonesia, surat bukti perkawinan mereka harus
didaftarkan di Kantor Pencatatan Perkawinan tempat tinggal mereka.
3. Teori Teritorial
Teori ini bertitik tolak dari pengertian kedaulatan dalam arti hukum
internasional dan dari pengertian Statuta Realia yang dikembangkan di
negara Belanda.
Prinsip yang didasari teori ini adalah :
“Sistem hukum yang diberlakukan didalam badan peradilan suatu negara
pada dasarnya adalah sistem hukum intern negara itu; sistem-sistem hukum
asing (negara lain) hanya akan diberlakukan dan atau diperhatikan sejauh
penguasa pihak yang berdaulat di negara forum mengizinkannya.”
Prinsip ini tampaknya identik dengan asas yang dikenal dalam
hukum Internasional (Publik) yaitu asas Comitas Bentium. Asas Komitas ini
diajurkan demi terciptanya keadilan saja, khususnya dalam hal ketidak
adilan dapat terjadi apabila hukum asing yang sebenarnya relevan ternyata
diabaikan.
Didalam perkembangannya asas komitas ini diganti kedudukannya
oleh suatu doktrin yang dikenal dengan sebutan Doctrine of Vested Rights.
Doctrin ini pada dasarnya menetapkan bahwa : “Badan peradilan suatu
negara pada prinsipnya tidak pernah memberlakukan hukum asing dalam
arti seperti itu, melainkan hanya berurusan dengan hak-hak yang telah
diperoleh berdasarkan hukum asing tertentu, yang harus dibuktikan sebagai
fakta di depan pengadilan.
8. Choice-Influencing Consideration
Menurut Prof. Leflas, ada beberapa faktor penentu utama yang
mempengaruhi penetapan hukum yang seharusnya berlaku dalam suatu
jenis kasus. Faktor-faktor itu adalah :
14
a. Prediktabilitas hasil/putusan perkara
Faktor penentu ini khususnya penting dalam perkara-perkara yang
menyangkut perjanjian.
b. Pemeliharaan ketertiban antar Negara Bagian atau Internasional.
Faktor ini menjadi penting untuk mendukung kebebasan bergerak
manusia dan barang antara negara bagian atau secara internasional.
c. Penyederhanaan proses penyelesaian perkara oleh pengadilan.
d. Pemberian prioritas pada kepentingan pemerintah dan negara forum.
e. Penerapan aturan hukum yang dianggap lebih baik.
Maksudnya hakim akan cenderung memutus perkara berdasarkan
kaidah-kaidah hukum yang dianggap lebih masuk akal secara sosial-
ekonomis dan sesuai dengan keadaan masa kini.
9. Teori Keadilan
Perbedaan-perbedaan yang ada diantara berbagai teori HPI
sebenarnya muncul karena pengaruh waktu dan tempat yang berbeda. Yang
sebenarnya dibutuhkan dalam HPI adalah suatu prinsip yang selain dapat
memenuhi keutuhan itu, juga prinsip yang tidak begitu terpengaruh oleh
perbedaan dimensi ruang dan waktu.
Teori keadilan dianggap memiliki kualitas semacam itu, sebab titik
tolak dari teori keadilan adalah:
a. Dari segi sosiologis, harus selalu diakui bahwa
kebutuhan secara internasional bagi para pihak dalam hubungan-
hubungan hukum yang bersifat internasional untuk mendapatkan
perlakuan yang wajar (fair) dalam hubungan-hubungan hukum
(perdata) mereka.
b. Dari segi etis, secara tradisional umumnya dapat
diterima bahwa hakekat dari proses pendidikan seorang ahli hukum
(Inggris) adalah agar seorang selalu berusaha melaksanakan dan
mewujudkan keadilan dalam melaksanakan tugas-tugasnya.
c. Dari segi yuridik, seorang hakim pada dasarnya juga
selalu berkewajiban untuk selalu berusaha mewujudkan keadilan dalam
melaksanakan tugas-tugasnya.
15
Teori keadilan tidak pernah menjamin bahwa setiap perkara dapat
diberi landasan teoritik yang solid, karena penjelasan yang mutlakbenar
memang tidak mungkin diberikan terhadap suatu sistem HPI yang
perkembangan-nya lebih banyak bersifat empirik.
3. Kualifikasi Bertahap
Teori ini bertitik tolak dari keberatan-keberatan terhadap teori
kualifikasi Lex Causal, kualifikasi tidak mungkin dilakukan berdasarkan
Lex Causal saja sebab sistem hukum apa/nama yang hendak ditetapkan
sebagai Lex Causal masih harus ditetapkan lebih dahulu.
4. Kualifikasi Analitis/Otonom
Menurut para penganut teori ini, tindakan kualifikasi terhadap
sekumpulan fakta harus dilakukan secara terlepas dari kaitannya terhadap
suatu sistem hukum lokal/nasional tertentu (Otonom). Artinya, dalam HPI
seharusnya ada pengertian-pengertian (begrid) hukum yang khas dan
berlaku umum serta mempunyai makna yang sama dimanapun di dunia.
Untuk mewujudkan hal tersebut, menurut “Rabel haruslah digunakan
metode perbandingan hukum didalam rangka mencari pengertian-
pengertian HPI yang dapat diberlakukan dimana-mana. Tujuannya :
menciptakan suatu sistem HPI yang utuh dan sempurna serta yang berisi
konsep-konsep dasar yang bersifat mutlak.
Prof. Sudargo Gautama beranggapan walaupun teori kualifikasi ini
sulit dijalankan, tetapi yang dapat ditarik sebagai pelajaran adalah: Cara
pendekatan/sikap seperti itu perlu dibina dalam HPI, walaupun seseorang
akan mengkualifisikan sekumpulan fakta berdasarkan Lex Fori sekalipun.
5. Kualifikasi HPI
Teori ini bertitik tolak dari pandangan bahwa : setiap kaidah HPI
harus dianggap memiliki tujuan tertentu yang hendak dicapai. Apapun
tujuan yang hendak dicapai oleh suatu kaidah HPI haruslah diletakkan
didalam konteks kepentingan HPI yaitu :
Keadilan dalam pergaulan internasional
Kepastian hukum dalam pergaulan internasional
Ketertiban dalam pergaulan internasional
18
Kelancaran lalu lintas pergaulan internasional.
Hal yang patut diperhatikan adalah kualifikasi selain apa yang telah
dikemukakan diatas yakni tentang: Kualifikasi Masalah Substansial Atau
Prosedural.
Pembedaan masalah ke dalam masalah substansial ( substance)dan
masalah prosedural (procedural) adalah hal yang selalu didasari dalam
perkara-perkara HPI. Masalah substansial berkenaan dengan hak-hak
subjek hukum yang dijamin oleh kaidah hukum objektif, sedangkan
masalah prosedural berkenaan dengan upaya-upaya hukum yang dapat
dilakukan oleh subjek hukum untuk menegakkan hak-haknya yang dijamin
oleh kaidah-kaidah hukum objektif, dengan bantuan pengadilan.
Asas yang umumnya diterima dalam HPI adalah bahwa semua
masalah hukum yang termasuk persoalan prosedural, harus
ditentukan/diatur oleh Lex Fori. Tetapi yang terlebih dahulu harus
dipertanyakan adalah :
Apakah perkara yang dihadapi forum adalah persoalan substansial atau
prosedural. Untuk menjawab pertanyaan yang terakhir ini, biasanya
digunakan asas bahwa forum tempat perkara diadililah yang harus
menetapkan hal itu berdasarkan kaidah-kaidah HPInya.
Apakah kaidah hukum intern yang relevan dengan perkara harus,
dikualifikasikan sebagai kaidah hukum formal atau hukum material.
Umumnya diterima pandangan bahwa dalam hal kaidah hukum Lex
Fori adalah kaidah prosedural, maka kaidah hukum itu harus diberlakukan,
walaupun hukum yang seharusnya berlaku adalah hukum asing.
Suatu kaidah HPI (Choice of law rule) pada dasarnya dibuat untuk
menunjuk kearah suatu sistem hukum tertentu sebagai sistem hukum yang
harus diberlakukan dalam menyelesaikan suatu masalah HPI.
Renvoi hanya mungkin terjadi bila penunjukan oleh kaidah-kaidah HPI
Lex Fori diarahkan ke seluruh sistem hukum asing yang bersangkutan,
termasuk kaidah-kaidah HPI sistem hukum asing itu. “Mungkin terjadi”
maksudnya, hanya terjadi apabila kaidah-kaidah HPI asing itu menunjukkan
kembali ke arah Lex Fori atau menunjuk lagi ke arah suatu sistem hukum
ketiga).
Persoalan berikutnya, mengapa dan untuk apa orang melakukan
penunjukan ke arah kaidah-kaidah HPI dari suatu sistem hukum asing. Ada
yang beranggapan bahwa hal itu dilakukan agar perkara dapat diputuskan
dengan cara sesuai dengan apa yang dilakukan oleh pengadilan dimana perkara
itu seharusnya diadili. Pandangan ini menganggap bahwa Renvoi dilakukan
agar dapat tercipta keseragaman dalam menyelesaikan perkara-perkara HPI,
walaupun orang menghadapi doktrin-doktrin HPI yang berbeda-beda di setiap
negara.
Namun, secara umum dapatlah dikatakan bahwa Renvoi adalah :
penunjukan kembali oleh kaidah-kaidah HPI dari suatu sistem hukum asing
yang ditunjuk oleh kaidah HPI Lex Fori.
Dari HPI tradisional, orang mengenal dua macam kemungkinan Renvoi
(harus dibedakan dari adanya “dua macam kemungkinan”), yaitu :
a. Penunjukan kembali, yaitu penunjukan oleh kaidah HPI
asing kembali ke arah Lex Fori.
21
b. Penunjukan lebih lanjut, yakni kaidah HPI asing yang telah
ditunjuk oleh Lex Fori tidak menunjuk kembali ke arah Lex Fori, tetapi
menunjuk lebih lanjut ke arah suatu sistem hukum asing lain.
1. Ketertiban Umum
Masalah “Ketertiban Umum” merupakan masalah pokok dalam HPI.
Alasnya dapat dijelaskan bahwa : HPI adalah bidang hukum yang pokok
masalahnya berkisar disekitar kemungkinan pemberlakuan hukum asing
akibat adanya unsur-unsur asing dalam perkara suatu hukum.
Dalam konteks Ketertiban Umum, masalah HPI tersebut dapat
dirumuskan : Apakah berdasarkan kaidah HPI, forum harus selalu
memberlakukan hukum asing didalam yuridiksinya. Jawabannya adalah
tidak selalu demikian, dalam arti bahwa selalu akan ada hal-hal yang dapat
mengesampingkan pemberlakuan hukum asing di dalam wilayah Lex Fori.
Prinsip yang digunakan untuk menetapkan hal itu adalah : “Jika
pemberlakuan hukum asing dapat menimbulkan akibat berupa pelanggaran
terhadap sendi-sendi pokok hukum setempat (Lex Fori), maka hukum asing
itu dapat dikesampingkan dengan dasar “demi kepentingan umum” atau
“demi ketertiban umum”.
Yang masih menjadi masalah adalah : Sejauh mana orang dapat
menggunakan dasar Ketertiban Umum itu untuk mengesampingkan hukum
asing, atau apa ukuran-ukuran yang dapat digunakan sebagai dasar
penggunaan lembaga Ketertiban Umum itu.
Dr. Sunaryati Hartono beranggapan bahwa, apa yang merupakan
“Ketertiban Umum” itu sulit untuk dirumuskan secara jelas, sebab
pengertian itu dapat dipengaruhi oleh waktu, tempat serta filsafat
22
bangsa/negara, dan sebagainya yang berkaitan dengan masyarakat hukum
yang bersangkutan.
Kegel berpendapat bahwa konsep “Ketertiban Umum” pada dasarnya
berkenaan dengan “bagian yang tidak dapat dijamah dari sistem
hukum asing (yang seharusnya berlaku) dapat dikesampingkan, bila
dianggap bertentangan dengan “Untouchablepart” dari Lex Fori itu.
Dari segi penggunaan lembaga “Ketertiban Umum” ini Prof.
Sudargo Gautama menyatakan bahwa lembaga itu haruslah berfungsi
sebagai “rem darurat pada suatu kereta api” yang harus digunakan apabila
benar-benar dibutuhkan saja.
Ahli HPI lain di Amerika Serikat beranggapan bahwa “ Public
Policy” adalah suatu teknik yang dapat digunakan untuk membenarkan
forum dalam menolak klaim yang terbuat berdasarkan hukum asing.
Sebagai suatu teknik, Ketertiban Umum menunjuk pada situasi dimana
forum tidak mengakui suatu tuntutan yang terbit berdasarkan hukum negara
(bagian) lain karena hakekat dari tuntutan itu, dalam arti pengakuan dan
penegakan tuntutan itu akan menyebabkan pelanggaran terhadap prinsip-
prinsip keadilan yang mendasar, konsepsi yang ada tentang moralitaas
yang baik, atau suatu tradisi yang sudah mengakar.
Dalam situasi semacam itulah lembaga “Ketertiban Umum”
membantu hakim sebagai alat untuk menyimpang dari kaidah HPI yang
seharusnya berlaku.
Secara tradisional doktrin-doktrin HPI membedakan dua fungsi dari
lembaga Ketertiban Umum, yaitu :
a. Fungsi Positif
Yaitu untuk menjamin agar aturan-aturan tertentu dari forum tetap
diberlakukan/tidak dikesampingkan sebagai akibat dari pemberlakuan
hukum asing, terlepas dari persoalan hukum mana yang seharusnya
berlaku atau apapun isi kaidah/aturan Lex Fori itu.
b. Fungsi Negatif
23
Yaitu untuk menghindarkan pemberlakuan aturan-aturan hukum asing,
bila pemberlakuan itu akan menyebabkan pelanggaran terhadap konsep-
konsep dasar Lex Fori.
1. Pendahuluan
Hubungan-hubungan hukum yang dilakukan antar manusia antar
manusia secara individual dan menerbitkan berbagai hak dan kewajiban
bagi para pelakunya dapat dianggap sebagai hubungan-hubungan hukum
keperdataan.
Secara tradisional, dalam hukum perdataan orang mengklasifikasikan
kaidah-kaidah hukum ke dalam beberapa sub bidang hukum yaitu :
Bidang hukum tentang subjek hukum
Bidang hukum tentang keluarga
Bidang hukum tentang benda
Bidang hukum tentang perjanjian/perbuatan melawan
Bidang hukum pewarisan.
Bila dalam pergaulan keperdataan terlibat subjek, objek hak/
kewajiban hukum yang bertalian dengan suatu sistem hukum asing, maka
sebenarnya orang sudah memasukan bidang pembahasan HPI di bidang
hukum perdataan.
1. Pengertian
Yurisdiksi pengadilan di dalam HPI merupakan kekuasaan dan
kewenangan pengadilan untuk memeriksa dan menentukan suatu
permasalahan yang dimintakan kepadanya untuk diputuskan dalam setiap
kasus yang melibatkan paling tidak satu elemen hukum asing yang relevan.
Untuk menjalankan yurisdiksi yang diakui secara internasional,
pengadilan suatu negara (provinsi atau negara bagian dalam sistem hukum
negara federal) harus mempunyai kaitan tertentu dengan para pihak atau
atau harta kekayaan yang dipersengketakan.
4. Bersifat rahasia
40
Oleh karena arbitrase berlangsung dalam lingkungan yang bersifat
privat dan bukan bersifat umum, maka arbitrase juga bersifat privat dan
tertutup. Sifat rahasia arbitrase dapat melindungi para pihak dan hal-hal
yang tidak diinginkan atau yang merugikan para pihak akibat
penyingkapan informasi kepada umum. Selain itu, hal ini juga dapat
melindungi mereka dan publisitas yang merugikan dan akibat-akibat,
seperti kehilangan reputasi, bisnis, dan pemicu bagi tuntutan tuntutan
lainnya, yang dalam proses ajudikasi publik dapat mengakibatkan
pemeriksaan sengketa secara terbuka.
5. Bersifat nonpreseden
Di dalam sistem hukum yang prinsip presedennya mempunyai pengaruh
penting dalam pengambilan keputusan mengakibatkan putusan arbitrase
pada umumnya tidak memiliki nilai atau sifat preseden. Para pihak
khawatir akan menciptakan preseden yang merugikan, yang mungkin
dapat mempengaruhi kepen-tingannya di masa mendatang. Karena itu,
untuk perkara yang serupa mungkin saja dihasilkan putusan arbitrase
yang berbeda sebab arbitrase tidak akan memberikan preseden.
6. Kepekaan arbitrator
Walaupun para hakim dan arbiter menerapkan ketentuan hukum untuk
membantu penyelesaian perkara yang mereka hadapi, dalam hal-hal yang
relevan, arbiter akan lebih memberikan perhatian terhadap keinginan,
realitas, dan praktek dagang para pihak. Sebaliknya pengadilan sebagai
lembaga penyelesaian sengketa yang bersifat publik seringkali
memanfaatkan sengketa privat sebagai tempat untuk lebih menonjolkan
nilai-nilai masyarakat. Akibatnya, dalam penyelesaian sengketa privat,
pertimbangan hakim lebih mengutamakan kepentingan umum.
Kepentingan privat atau pribadi dinomorduakan. Sedangkan arbiter pada
umumnya menerapkan pola nilai-nilai sebaliknya.
Di dalam praktek pengusaha asing selain cenderung memilih hukum
negaranya sendiri (pilihan hukum) juga lebih menyukai pilihan forum
arbitrase di luar negeri.
41
Pilihan hukum asing dan pilihan forum arbitrase di luar negeri yang
demikian itu dilatarbelakangi oleh keyakinan bahwa hukum dan pengadilan
di negara berkembang kurang memberikan rasa aman bagi mereka.
Pengusaha asing seringkali khawatir terhadap hukum dan hakim negara
berkembang. Bagi mereka hukum negara berkembang sukar untuk
diketahui. Ibarat orang harus melompat di dalam kegelapan sprong in het
duister atau masuk dalam rimba raya dengan hutan belukar hingga tidak
tahu jalan keluarnya. Mereka takut akan hukum yang tidak diketahui
tersebut. Tetapi, mereka lebih takut lagi kepada hakim yang melaksanakan
hukum yang kurang diketahui.