Anda di halaman 1dari 11

BAB I

SISTEM HUKUM PERDATA INDONESIA

Hukum perdata (privaat recht) adalah seperangkat atau kaidah hukum yang mengatur
perbuatan/hubungan antar manusia/badan hukum perdata untuk kepentingan pada pihak
sendiri dan pihak-pihak lain yang bersangkutan dengannya, tanpa melibatkan kepentingan
publik/umum/masyarakat yang lebih luas.
Sumber hukum perdata :
1. Undang-undang
a. Kitab undang-undang hukum perdata
b. Undang-undang lain :
1) Undang-undang pokok agraria
2) Undang-undang perkawinan
3) Undang-undang hak tanggungan
4) Undang-undang tenaga kerja
c. Peraturan perundang-undangan tingkat dibawah undang-undang.
2. Hukum adat
3. Hukum Islam
4. Hukum agama lain selain Islam
5. Yurisprudensi
6. Perjanjian yang dibuat antara para pihak
7. Pendapat ahli
8. Traktat, khususnya perkenaan perdata internasional.
Berlakunya ketentuan di zaman Belanda (pasal 131 juncto pasal 163 IS), maka hukum
(termasuk hukum perdata) yang berlaku bagi bangsa Indonesia :
1. Bagi golongan Eropa dan timur asing Tionghoa, berlaku KUH Perdata. Karena
perkembangan Yurisprudensi, KUH Perdata tidak lagi mengikat asal-usul namun
berlaku bagi penduduk Indonesia.
2. Bagi Timur asing lainnya, berlaku hukum adatnya masing-masing.
3. Bagi golongan penduduk Indonesia berlaku hukum adat Indonesia.
KUH Perdata Indonesia merupakan terjemahan dari KUH Perdata Belanda, sedangkan KUH
Perdata Belanda berasal dari kaum KUH Perdata Perancis yang dibuat pada masa Napoleon
Bonaparte (kitab undang-undang Napoleon/Code Napoleon) yang mengambil sumber utama
dari kitab undang-undang hukum Romawi (Corpus Juris Civilis).
Tiga pilar utama kitab Undang-undang Napoleon :
1. Konsep hak milik individual.
2. Konsep kebebasan berkontrak.
3. Konsep keluarga patrilineal.
Dua pendekatan tentang bidang yang termasuk golongan hukum perdata :
1. Pendekatan sebagai sistematika undang-undang.
2. Pendekatan melalui doktrin keilmuan hukum.
Pendekatan sistematika undang-undang sesuai sistematika dari kitab undang-undang hukum
perdata (KUH Perdata) atau BW (Burgerlijke Wetboek), maka dibagi :
1. Hukum tentang orang (personen recht)
2. Hukum tentang benda (zaken recht)
3. Hukum tentang perikatan (verbintenissen recht)
4. Hukum tentang pembuktian dan kadaluarsa (van bewijs en verjaring)
Pendekatan doktrin keilmuan hukum, terdiri dari bidang :
1. Hukum tentang orang (personal law)
2. Hukum keluarga (family law)
3. Hukum harta kekayaan (property law)
4. Hukum waris (heritage law)
Pemerintah Belanda memberlakukan BW di Indonesia waktu dijajah Belanda berdasarkan
asas hukum konkordansi, asas yang memberlakukan hukum dari bangsa penjajah ke negara-
negara jajahannya.
Sampai saat ini berlaku KUH Perdata di Indonesia dalam bidang-bidang tertentu kecuali :
1. Terhadap hal-hal atau pasal-pasal yang dicabut dengan undang-undang, yaitu :
a. Tentang benda tidak bergerak berkenaan dengan tanah telah dicabut dan
diganti dengan undang-undang pokok Agraria.
b. Tentang jaminan hipotik, khususnya objekan tanah, dicabut dan diganti
dengan Undang-undang Tentang HakTanggungan.
c. Tentang perkawinan dan harta perkawinan dicabut diganti Undang-undang
Tentang Perkawinan.
d. Bidang perjanjian perburuhan diganti Undang-undang Tenaga Kerja.
2. Pasal-pasal KUH Perdata tidak berlaku, khususnya yang beragama Islam terhadap
hukum keluarga dan hukum waris.
3. Pasal-pasal KUH Perdata yang dicabut surat edaran Mahkamah Agung No. 3 tahun
1963, menyatakan tidak berlakunya ketentuan :
a. Pasal 108 dan pasal 110 KUH Perdata tentang ketidakcakapan berbuat dari
istri yang bersuami.
b. Pasal 284 ayat (3) tentang pengakuan anak di mana ibu si anak golongan
Indonesia asli.
c. Pasal 1682 KUH Perdata, kewajiban membuat hibah dengan akta notaris, yang
asli disimpan notaris bersangkutan.
d. Pasal 1579 KUH Perdata menentukan pihak menyewakan barang,tidak dapat
menghentikan sewa karena pihak yang menyewakan berkehendak untuk
menggunakan sendiri barang tersebut, kecuali jika diperjanjikan sebaliknya.
e. Pasal 1238 KUH Perdata, mengatur kewajiban kreditor membuat somasi
tertulis sebelum gugatan untuk menagih utang/di laksanakan kewajiban
debitur, ditentukan dengan lewatnya waktu tertentu, debitor dianggap telah
lalai menjalankan kewajibannya.
f. Pasal 1460 KUH Perdatabelum diserahkan dan harga belum dibayar.
g. Pasal 1603x ayat (1) dan (2) menentukan bahwa ada diskriminasi antara orang
Eropa dengan orang Indonesia asli dalam bidang perjanjian perburuhan.
Dikenal dalam sistem hukum Eropa kontinental, termasuk sistem hukum Indonesia karena
berasal dari sistem hukum Belanda. Sebagai konsekuensi logis diberlakukan sistem kodifikasi
atau sistem memusatkan hukum dalam kitab-kitab hukum, semacam Kitab Undang-undang
Hukum Perdata Indonesia. Di negara-negara yang tidak berlaku kodifikasi, seperti negara-
negara yang menganut hukum Anglo Saxon tidak dikenal disiplin hukum perdata secara utuh
sehingga tidak ada namanya hukum perdata yang ada hanyalah pecahan-pecahan seperti
hukum kontrak (contract), hukum benda (property), perbuatan melawan hukum (thort),
hukum perkawinan (mariage), dll.

BAB II
KONSEP HUKUM ORANG, KELUARGA DAN PERKAWINAN

A Hak-hak Perdata dan Kewarganegaraan


Setiap orang memiliki hak keperdataan nya. Tidak ada ada yang dapat dijatuhkan hukuman
menyebabkan kematian perdata atau kehilangan hak kewarganegaraannya.
Anak dalam kandungan di anggap lahir manakala kepentingannya menghendaki. akan tetapi
anak dalam kandungan dilahirkan dalam keadaan telah meninggal dunia dianggap tidak
pernah ada.
Istri yang bersuami dianggap tidak cakap berbuat (tidak dapat melakukan perbuatan hukum)
oleh sistem KUH Perdata (dianggap di bawah umur). Ketentuan muncul karena :
1. KUH Perdata Perancis menganut sistem patrilineal.
2. Menghindari prinsip satu kapal dengan dua nahkoda.
Atas dasar emansipasi gender, ketidakcakapan istri yang bersuami dicabut dengan :
1. Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 1963, antara lain pasal 108 dan pasal
110 KUH Perdatacakapan berbuat dari istri yang bersuami.
2. Undang-undang perkawinan berprinsip suami istri sama-sama cakep berbuat.

B Status Anak
Beberapa golongan secara hukum, yaitu :
1. Anak kandung.
2. Anak tiri.
3. Anak sumbang.
4. Anak angkat.
5. Anak luar kawin yang diakui.
6. Anak luar kawin yang tidak diakui (haram jadah).
Anak kandung adalah anak yang lahir dari suami istri yang telah menikah secara sah.
Anak tiri adalah anak dari istri dari suami yang lain atau anak dari suami dalam
perkawinannya dengan istri yang lain (dalam hukum waris diperlakukan secara berbeda
dengan anak kandung).
Anak sumbang adalah anak yang lahir dari pasangan yang masih saudara dekat (tidak dapat
mewaris, tidak dapat dijadikan anak angkat dan tidak dapat diakui sebagai anak), tetapi
berhak atas nafkah dari orang tuanya.
Anak angkat adalah anak orang lain yang diangkat (diadopsi) menjadi anak sendiri melalui
suatu prosedur “pengangkatan anak”. setelah nya terdapat hubungan hukum yang baru yaitu
hubungan hukum antara anak dengan orang tua, serupa hubungan orang tua kandungnya,
sedangkan hubungan anak dengan orang tua asal/orang tua alam menjadi putus demi hukum.
Tidak mengenal pranata hukum “anak angkat” begitupun KUH Perdata tidak mengatur.
Tetapi diatur dalam S. 1917-129.
Awalnya hanya anak laki-laki menurut hukum dapat dijadikan anak angkat, perkembangan
dalam yurisprudensi membuat anak perempuan pun dapat dijadikan anak angkat.
Hubungan anak dengan orang tua asal atau orang tua alam demi putus hukum atas proses
pengangkatan anak kecuali dalam hal-hal :
1. Hubungan larangan kawin berasal tali kekeluargaan.
2. Ketentuan hukum pidana berkaitan dengan tali kekeluargaan.
3. Kesaksian akta autentik.
Dalam sistem hukum adat kedudukan anak angkat tidak tegas. banyak wilayah hukum adat
memperkenankan anak angkat tidak terputus hubungannya dengan orang tua asal.
Yurisprudensi tentang hukum adat hanya memperkenankan anak angkat mewaris orang tua
angkatnya terhadap harta gono-gini saja tidak terhadap harta lain yang bukan gono gini.
Anak luar kawin adalah lahir dari orang tua tidak menikah secara sah. Dapat diakui anak
ketika orangtuanya kawin secara sah. Apabila tidak dilakukan anak tersebut menjadi anak
luar kawin (yang tidak diakui). hukum mempersamakan anak luar kawin yang diakui dengan
anak kandung yang sah. Tetapi sistem hukum adat maupun hukum Islam tidak mengenal
lembaga “pengakuan anak” sehingga anak-anak tersebut selamanya menjadi anak luar kawin
dan hanya mewaris dari ibu kandungnya.

C Pengertian Perkawinan
Merupakan suatu ikatan lahir dan batin seorang pria wanita sebagai suami istri dengan tujuan
untuk membentuk suatu keluarga (rumah tangga) bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa, dilaksanakan sesuai agama masingmasing, dicatat menurut perundang-
undangan yang berlaku.
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan beserta peraturan pelaksana dari
Undang-undang Perkawinan berlaku bagi selurah rakyat Indonesia, tanpa melihar pada
agama, daerah, asal usul dan lain-lain.
Asas-asas hukum perkawinan di Indonesia :
1. Tujuan perkawinan untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal.
2. Perkawinan dilakukan menurut agama dan kepercayaannya masing-masing. Dengan
demikian, perkawinan tidak sah menurut hukum negara jika perkawinan tidak sah
ditinjau dari kepercayaan masing-masing.
3. Asas monogami, artinya oleh hukum yang berlaku di Indonesia suami hanya
diperkenankan mengawini seorang istri saja tidak boleh lebih pada waktu yang
bersamaan. hal itu bisa dikecualikan asalkan memenuhi syarat-syarat tertentu
termasuk persetujuan istri yang ada dan sesuai agama yang dianut.
4. Diperbolehkan melaksanakan perkawinan dengan syarat kematangan jiwa dan raga
dan umur 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita.
5. perceraian dipersulit karena undang-undang menganggap bahwa tujuan perkawinan
bukan untuk bercerai tapi untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal abadi.
6. Prinsip emansipasi suami dan isteri, kedudukan keduanya seimbang baik dalam
rumah tangga maupun masyarakat.
7. Perkawinan tidak dipersulit karena keterlibatan pengadilan dalam proses perceraian
hanya sekadar untuk menjamin terlaksananya unsur kepastian hukum dan keadilan
bagi pihak suami maupun pihak istri. Syarat kecukupan umur atau dewasa berfungsi
menjamin agar perkawinan menjamin kebahagiaan dan kekekalan.
Syarat-syarat hukum agar seorang laki-laki dapat berpoligami :
1. Dimungkinkan oleh agama.
2. isteri yang sudah ada dan isteri yang tidak dikawini tidak melebihi jumlah yang
digunakan oleh agama yang dianut.
3. Persetujuan dari isteri-isteri yang sudah ada.
4. kepastian suami mampu menjamin keperluan hidup semua isterinya beserta anak-
anak mereka.
5. Jaminan suami akan berlaku adil terhadap semua isteri-isterinya beserta anaknya.
6. Agar pengadilan memberikan izin, salah satu atau lebih dari syarat syarat berikut
harus dipenuhi :
a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai seorang isteri
b. Isteri mendapat atas badan dan/atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
c. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Persetujuan dari istri istri yang sudah ada tidak diperlukan dalam hal-hal sebagai berikut :
1. Apabila tidak mungkin di minta persetujuan dan tidak dapat menjadi pihak dalam
perjanjian.
2. Tidak ada kabar dari istrinya selama sekurang-kurangnya selama 2 tahun.
3. Sebab-sebab lainnya yang dapat disetujui oleh hakim.
Melangsungkan perkawinan dengan 1 orang wanita saj
D. Syarat-syarat Sah Perkawinan
Syarat sahnya perkawinan sehingga dapat mempunyai akibat hukum secara penuh, yaitu :
1. seseorang tidak boleh melangsungkan perkawinan jika agama dan kepercayaan yang
dianutnya melarang perkawinan tersebut.
2. Harus dilakukan atas dasar persetujuan masing-masing calon mempelai.
3. Harus dilakukan setelah calon mempelai berumur 19 tahun bagi pria dan 16 tahun
bagi wanita. Tetapi mereka mempunyai cukup alasan untuk melangsungkan
perkawinan dapat meminta dispensasi perkawinan ke pengadilan yang berwenang
atau pejabat yang ditunjuk kedua orang tua pihak laki-laki maupun wanita.
4. Salah satu pihak belum berumur 21 tahunharuslah mendapat izin pihak kedua orang
tua yang masih berada di bawah umur 21 tahun. Jika salah seorang dari orang tua
tersebut telah meninggal dunia atau tidak mampu menyatakan kehendaknya maka izin
tersebut cukup dimintakan dari orang tuanya yang masih hidup. jika kedua orang
tuanya telah meninggal maka hendaknya bisa diperoleh dari wali yang mempunyai
hubungan garis keturunan lurus ke atas selama masih hidup dan dalam keadaan
mampu menyatakan kehendaknya.
5. Satu orang laki-laki hanya dapat melangsungkan perkawinan dengan satu orang
wanita saja, kacuali memenuhi syarat, alasan dan prosedur untuk beristri lebih dari
satu (berpoligami).
6. Laki-laki hanya dapat melangsungkan perkawinan dengan wanita saja. Perkawinan
sejenis kelamin adalah dilarang oleh hukum.
7. Kecuali ketentuan agamanya menentukan lain, maka seseorang tidak boleh kawin
untuk ketiga kalinya dengan pasangan yang sama. Artinya, jika seseorang telah
bercerai kemudian kawin lagi untuk kedua kalinya dengan pasangan yang sama,
kemudian cerai lagi, maka mereka tidak diperkenankan kawin untuk ketiga kalinya
dengan pasangannya yang sama.
8. Wanita yang perkawinannya sudah putus, tidak boleh kawin lagi sebelum berlalu
masa tunggunya (masa iddah).
9. Perkawinan tidak boleh dilakukan dengan pihak-pihak yang dilarang oleh undang-
undang. Pihak-pihak tersebut:
a. Mereka yang berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah
ataupun ke atas.
b. Mereka yang berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping, yaitu
antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang
dengan saudara neneknya.
c. Mereka yang berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu
atau bapak tiri.
d. Mereka yang berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan,
saudara susuan, dan bibi/paman susuan.
e. Mereka yang berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau
kemenakan dari istri, dalam hal seorang suami beristri lebih dari satu orang.
f. Mereka yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain
yag berlaku, dilarang kawin.
E Pencegahan dan Pembatalan Perkawinan
Sistem hukum perkawinan di Indonesia (dalam Undang undang Perkawinan) dikenal dengan
“pencegahan perkawinan.” Merupakan suatu tindakan dilakukan oleh pengadilan atas
permohonan dari pihak-pihak yang berkepentingan, untuk menghambat atau melarang
dilangsungkannya suatu perkawinan yang akan/atau sedang diproses untuk dilakukannya
perkawinan tersebut, karena alasan bahwa salah satu pihak atau kedus belah pihak tidak
memenuhi persyaratan atau ketentuan untuk melangsungkan perkawinan sesuai perundang-
undangan yang berlaku.
Alasan hukum agar suatu perkawinan dapat dicegah :
1. Salah satu calon mempelai berada di bawah pengampuan sehingga dengan
perkawinan tersebut akan nyata-nyata mengakibatkan kesengsaraan bagi calon
mempelai lainnya dari pihak yang memohon pencegahan perkawinan.
2. Pihak terikat hubungan perkawinan dapat memohon agar dicegah perkawinan
pasangannya dengan pihak lain, kecuali jika perkawinan tersebut dilakukan dalam arti
poligami yang sah sesuai hukum yang berlaku.
3. Jika perkawinan yang akan dilangsungkan tidak memenuhi persyaratan dan ketentuan
lainnya tentang perkawinan.
Berbeda dengan pencegahan perkawinan yang dilakukan sebelum suatu perkawinan resmi
dilangsungkan, suatu pembatalan perkawinan justru dilakukan setelah selesai dilangsungkan
perkawinan.
Dibandingkan pencegahan perkawinan, suatu pembatalan perkawinan jauh lebih rumit dan
mempunyai konsekuensi hukum yang jauh lebih serius dikarenakan mungkin perkawinan
yang akan dibatalkan tersebut sudah lama berlangsung, sudah mempunyai atau sudah
mempunyai harta bersama, ataupun sudah terjadi hal hal yang serius lainnya.
Tindakan hukum pembatalan perkawinan berbeda dengan tindakan hukum “perceraian”
dalam hal ini cerai hidup. Meskipun sama-sama memutuskan perkawinan yang sedang
berlangsung, pembatalan perkawinan dan perceraian terdapat beberapa perbedaan prinsipil :
1. Prinsip pembatalan perkawinan membawa konsekuensi bahwa perkawinan tersebut
secara hukum dianggap tidak pernah ada (jadi berlaku surut), kecuali dalam hal-hal
tertentu saja, yang disebutkan dalam undang-undang. Sedangkan dengan perceraian,
perkawinan oleh hukum dianggap telah ada dengan segala konsekuensinya, tetapi
kemudian bubar/putus di tengah jalan, jadi perceraian tidak membawa efek berlaku
surut.
2. Alasan-alasan yuridis untuk membatalkan perkawinan adalah berkenaan dengan
fakta-fakta yang ada pada saat atau sebelum perkawinan dilangsungkan, sedangkan
alasan-alasan perceraian prinsipnya berhubungan dengan fakta-fakta yang terjadi
setelah berlangsungnya perkawinan.
3. Banyak pihak yang dapat mengajukan permohonan ke pengadilan untuk
dibatalkannya suatu perkawinan, sementara perceraian hanya dapat diajukan oleh
pihak suami atau istri saja.
4. Prosedur pengadilan pembatalan perkawinan lebih sederhana/ singkat, dengan suatu
“penetapan” pengadilan, sementara perceraian prosedurnya lebih rumit/panjang
dengan suatu “putusan” pengadilan (bukan “penetapan” pengadilan).
Yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan adalah sebagai berikut:
1. Suami atau istri.
2. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri.
3. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan.
4. Pejabat yang ditunjuk khusus.
5. Pihak-pihak lain yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap
perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.

F Perjanjian Perkawinan
Dalam hukum perkawinan dikenal “perjanjian kawin.” Yaitu suatu perjanjian tertulis, tetapi
tidak termasuk taklik talak, dibuat secara sukarela di antara para mempelai atau para calon
mempelai sebelum atau pada saat dilangsungkan perkawinan dengan syarat harus
mendapatkan pengesahan dari pegawai pencatat perkawinan. Berlaku juga terhadap pihak
ketiga atau harus dihormati pihak ketiga, yang berisikan tentang hal-hal yang dianggap
penting oleh para pihak yang belum diatur oleh undang-undang atau bahkan terhadap hal-hal
yang menyimpang dari ketentuan undang-undang sepanjang diperbolehkan oleh undang-
undang, agama dan kesusilaan, seperti perjanjian tentang kedudukan anak atau harta benda
selama perkawinan atau setelah putusnya perkawinan.
Konsekuensi-konsekuensi hukum perjanjian kawin :
1. Berlaku ketentuan hukum perjanjian pada umumnya, kecuali hal-hal yang bersifat
khusus dalam perjanjian perkawinan.
2. Mengikat kedua belah pihak (kedua mempelai).
3. Mengikat juga pihak ketiga.
4. Meskipun dibuatnya sebelum perkawinan, pengikatan karena perjanjian perkawinan
tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.
5. Perjanjian perkawinan tidak dapat diubah selama perkawinan berlangsung kecuali
dengan kesepakatan kedua belah pihak dan dengan tidak merugikan pihak ketiga.

G Hak dan Kewajiban Suami Istri


Karena suami dan istri sudah mengikatkan diri dalam suatu ikatan perkawinan sebagai
konsekuensi di antara kedua belah pihak (suami dan istri) timbullah hak dan kewajiban sesuai
hukum yang berlaku. Di antara hak, kewajiban dan kedudukan dari suami yang diatur oleh
hukum adalah sebagai berikut:
1. Suami mempunyai hak, kewajiban dan kedudukan hukum yang seimbang dengan
istrinya
2. Suami adalah cakap berbuat, artinya dia mempunyai kewenangan untuk melakukan
perbuatan hukum.
3. Suami mempunyai kedudukan hukum sebagai kepala rumah tangga. Karena itu, dia
berkewajiban untuk melindungi istri dan anak-anaknya dan memberikan nafkah.
4. Suami (bersama-sama dengan istri) berwenang untuk menentukan tempat kedudukan
bersama.
5. Suami berwenang mengajukan gugatan cerai terhadap istrinya jika istrinya tersebut
melalaikan kewajibannya sebagai istri.
6. Suami berhak untuk menyangkal anak yang dilahirkan oleh istrinya jika suaminya
dapat membuktikan bahwa istrinya telah berzina dengan laki-laki lain, dan anak
tersebut merupakan hasil dari perbuatan perzinaan tersebut.
Sedangkan di antara hak, kewajiban dan kedudukan dari istri yang diatur oleh hukum adalah
sebagai berikut:
1. Istri mempunyai hak, kewajiban dan kedudukan hukum yang seimbang dengan
suaminya.
2. Istri juga cakap berbuat, artinya dia mempunyai kewenangan untuk melakukan
perbuatan hukum. Dalam hal ini perlu dijelaskan bahwa dalam sistem KUH Perdata
(yang berasal dari Belanda), hanya suami yang dianggap cakap berbuat, sedangkan
istri oleh hukum dianggap tidak cakap berbuat.
3. Istri mempunyai kedudukan hukum sebagai ibu rumah tangga, sehingga dia
berkewajiban untuk mengatur urusan rumah tangga dengan sebaik-baiknya.
4. Istri (bersama-sama dengan suami) berwenang untuk menentukan tempat kedudukan
bersama. Istri berwenang untuk mengajukan gugatan cerai terhadap suaminya.
5. Jika suaminya tersebut melalaikan kewajibannya sebagai suami.

H Hak dan Kewajiban Antara Orang Tua dan Anak


Hukum perkawinan mengatur juga tentang hak dan kewajiban yang timbul antara anak
dengan orang tuanya. Karena itu, Undang-undang Perkawinan juga ikut mengaturnya.
Hak dan kewajiban orang tua terhadap anaknya (yaitu terhadap anak kandung, anak angkat
atau anak diakui) atau hak dan kewajiban anak terhadap orang tuanya adalah sebagai berikut:
1. Orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anaknya
2. Orang tua tetap berkewajiban memberikan biaya pemeliharaan anak, meskipun orang
tuanya tersebut sudah dicabut kekuasaannya sebagai orang tua karena alasan:
a. Orang tuanya sangat melalaikan kewajibannya terhadap anak.
b. Orang tuanya berkelakuan buruk sekali.
3. Anak wajib menghormati dan mentaati orang tua.
4. Anak yang sudah dewasa wajib memelihara orang tua dalam garis lurus ke atas jika
orang tuanya memerlukannya.
5. Anak yang belum dewasa (belum berumur 18 tahun dan belum pernah
melangsungkan perkawinan) berhak untuk diwakili oleh orang tuanya untuk
melakukan perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan.
6. Anak yang belum dewasa (belum berumur 18 tahun dan belum pernah
melangsungkan perkawinan) berhak untuk tinggal dalam kekuasaan orang tuanya
selama kekuasaan orang tuanya tersebut belum dicabut
7. Orang tua berkewajiban untuk tidak memindahkan hak atau menggadaikan barang-
barang tidak bergerak milik anaknya yang belum dewasa (belum berumur 18 tahun
dan belum pernah kawin), kecuali apabila kepentingan si anak menghendakinya.

I Hukum Harta Perkawinan


Prinsip dasar tentang harta perkawinan :
1. Harta bawaan ke dalam perkawinan menjadi hak masing-masing pribadi yang
membawa harta tersebut ke dalam perkawinan.
2. Seluruh hasil dari harta bawaan manjadi hak pribadi dari pemilik harta bawaan
tersebut.
3. Seluruh harta yang diperoleh salah satu pihak sebagai warisan, hibah atau wasiat
menjadi hak pribadi dari penerima warisan, hibah atau wasiat tersebut.
4. Seluruh harta yang didapat oleh salah satu pihak atau oleh kedua belah pihak selama
dalam perkawinan (kecuali harta yang diperoleh karena warisan, hibah, atau wasiat)
menjadi milik bersama suami istri (gono gini).
5. Para pihak dapat menentukan sendiri status hartanya dalam perjanjian perkawinan
yang dibuat sebelum perkawinan berlangsung.
Tentang kewenangan bertindak terhadap harta-harta semasa suami dan istri masih dalam
status perkawinan :
1. Terhadap harta pribadinya, masing-masing suami atau istri dapat bertindak sendiri-
sendiri tanpa perlu bantuan dari pihak lainnya.
2. Terhadap harta bersama (gono gini) masing-masing istri atau suami bertindak dengan
persetujuan pihak lainnya.
3. Jika para pihak bercerai hidup, maka harta bersama (gono gini) dibagi sesuai dengan
hukumnya masing-masing, yang umumnya dibagi dua sama besar.

J Tentang Perwalian
Perwalian adalah keadaan di mana karena orang tuanya berhalangan, maka seseorang
ditunjuk untuk mengurus anak di bawah umur untuk menggantikan pengurusan yang
dilakukan oleh orang tuanya tersebut baik terhadap pribadi maupun terhadap harta benda dari
anak tersebut.
Wali ditunjuk dari keluarga dekat dari si anak, tetapi jika sesuai dengan kepantasan, dapat
juga ditunjuk wali dari luar keluarga si anak asal memenuhi syarat-syarat :
1. Dewasa
2. Sehat
3. Adil
4. Jujur
5. Berkelakuan baik.
Kedudukan wali sangat penting bagi si anak, maka hukum membebankan tanggung jawab
hukum kepada wali jika dia salah dalam menjalankan kekuasaan perwaliannya.

K Hukum Tentang Perceraian


Undang-undang mentukan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan pengadilan
melalui suatu gugatan perceraian. Jadi tidak mungkin ada perceraian di luar pengadilan.
Pengadilan yang berwenang untuk perceraian ini adalah pengadilan agama untuk yang
beragama Islam, dan pengadilan negeri untuk yang tidak beragama Islam. Dalam hal ini,
pertama-tama pengadilan akan berusaha mendamaikan di antara suami dan istri yang akan
bercerai tersebut. Jika usaha perdamaian tersebut tidak berhasil, maka para pihak
diperkenankan untuk bercerai setelah cukup alasan bahwa antara suami dan istri tersebut
tidak akan dapat lagi hidup secara rukun sebagai suami istri, di samping harus memenuhi
persyaratan lainnya, yaitu sebagai berikut:
1. Salah saru pihak melakukan zina atau menjadi pemabuk, pemadat. penjudi, dan lain
sebagainya yang sukar disembuhkan.
2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama minimal dua tahun berturut-turut
tanpa izin pihak lainnya dan tanpa alasan yang sah atau karena hal di luar
kemampuannya.
3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara selama minimal lima tahun setelah
perkawinan berlangsung.
4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan
pihak lain.
5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri.
6. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak
ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Undang-undang tidak dapat membenarkan suatu perceraian “by consent”. Dalam hal ini,
tidak diperkenankan suatu perceraian atas suka sama suka atau atas dasar persetujuan di
antara suami dan istri tanpa ada alasan-alasan khusus seperti tersebut di atas.
Suatu perceraian mempunyai konsekuensi-konsekuensi hukum :
1. Baik ayah atau ibu berkewajiban untuk memelihara dan mendidik anak-anaknya.
2. Ayah secara hukum berkewajiban untuk membiayai (memberikan nafkah) kepada
anaknya.
3. Jika dalam kenyataannya ayah tidak dapat memenuhi kewajiban nafkah tersebut,
pengadilan dapat menentukan bahwa ibu juga ikut memiku! Kewajiban nafkah
tersebut.
4. Di samping itu, pengadilan dapat juga mewajibkan bekas suami untuk memberikan
biaya penghidupan dan/atau menentukan suatu kewajiban kepada bekas istri.

Anda mungkin juga menyukai