1. Hukum Perseorangan
Di dalam hukum perdata perkataan “orang” (person)
merupakan subjek hukum sebagai pendukung hak dan
kewajiban. Subjek hukum itu terdiri atas manusia dan
badan hukum.
Didalam hukum perseorangan terdapat hukum kelurga,
hukum kelurga adalah serangkaian peraturan-peraturan
yang timbul untuk mengatur pergaulan hidup
kekeluargaan. Pembahasan tentang hukum kelurga
meliputi :
a Hubungan kelurga
Pengertian keluarga dalam arti sempit adalah kesatuan
masyarakat terkecil yang terdiri suami, istri, dan anak
yang berdiam dalam satu tempat tinggal. Keluarga
dalam arti luas adalah keluarga yang terdiri atas orang-
orang yang mempunyai hubungan karena perkawinan
dan karena pertalian darah.
Hubungan keluarga adalah hubungan dalam kehidupan
keluarga, yang terjadi karena hubungan perkawinan dan
karena hubungan darah. Hubungan keluarga karena
perkawinan disebut juga dengan hubungan semenda,
seperti mertua, ipar, anak tiri, menantu. Sedangkan
hubungan keluarga karena pertalian darah seperti
bapak, ibu, nenek, puyang (lurus ke atas), anak, cucu,
cicit (lurus ke bawah), saudara kandung, dan anak-anak
saudara kandung (ke samping).
Hubungan darah adalah pertalian darah antara orang
yang satu dengan orang yang lain karena berasal dari
leluhur yang sama. Hubungan darah itu terdiri atas dua
macam, yaitu: (1) hubungan darah garis lurus ke atas
yang disebut dengan leluhur, dan hubungan darah garis
ke bawah yang disebut dengan keturunan, (2) serta
hubungan darah menurut garis ke samping, yakni
pertalian darah antara orang bersaudara dan
keturunannya.
b. Perkawinan
Perkawinan menurut KUH Per (BW) adalah hubungan
keperdataan antara seorang pria dan seorang wanita
dalam hidup bersama sebagai suami istri. Adapun
menurut Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan No.1
Tahun 1974 menyebutkan bahwa, "perkawinan ialah
ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami istri".
c. Kekuasaan orang Tua
menurut Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974,
telah diatur dalam Pasal 45 ayat (1), Pasal 47 ayat (1),
dan Pasal 48.
Pasal 45 ayat (1): Kedua orang tua wajib memelihara
dan mendidik anak -anak mereka sebaik-baiknya.
Pasal 47 ayat (1): Anak yang belum mencapai umur 18
(delapan belas) tahun atau belum pernah
melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan
orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari
kekuasaannya.
Pasal 48: Orang tua tidak diperbolehkan memindahkan
hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang
dimiliki anaknya yang belum berumur 18 (delapan belas)
tahun atau belum melangsungkan perkawinan kecuali
apabila kepentingan anak itu menghendakinya.
d. Kekuasaan Terhadap Harta
Menurut Pasal 35 ayat (1), dan (2) Undang-Undang
Perkawinan Tahun 1974 menjelaskan bahwa:
1. Harta benda yang diperoleh selama perkawinan
menjadi harta Bersama.
2. Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri
dan harta benda yang diperoleh masing-masing
sepanjang para pihak tidak menentukan lain
e. Perwalian
Anak yatim piatu atau anak yang belum dewasa yang
tidak dalam kekuasaan orang tua, diperlukan
bimbimbingan dan pemeriharaan. Dalam hal ini perlu
ditunjukan wali yaitu orang atau perkumpulan yang
akan menyelenggarakan keperluan anak.
Dalam Undang-undang perkawinan UU NO.1 Tahun
1974 pada pasal 51 menyebutkan bahwa :
1. Wali dapat ditunjuk oleh satu orang tua yang
menjalankan kekuasaan orang tua, sebelum ia
meninggal, dengan surat wasiat atau dengan lisan di
hadapan 2 (dua) orang saksi.
2. Wali sedapat-dapatnya diambil dari kelurga anak
tersebut atau orang lain yang sudah dewasa
berpikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik.
3. Wali wajib mengurus anak yang di bawah
penguasaannya dan harta bendanya sebaik-baiknya
dengan menghormati agama dan kepercayaan anak
itu
4. Wali wajib membuat daftar harta benda anak yang
berada dibawah kekuasaannya pada waktu memulai
jabatannya dan mencatat semua perubahan-
perubahan harta benda anak atau anak-anak itu,
5. Wali bertanggung jawab tentang harta benda anak
yang berada di bawah perwaliannya serta kerugian
yang di timbulkan karena kesalahan atau
kelalaiannya.
F. Asas- Asas Perkawinan
Di dalam undang-undang perkawinan UU No 1 tahun
1974 terdapat beberapa asas perkawinan, yaitu :
1. Perkawinan monogami
2. Kebebasan kehendak
3. Pengakuan kelamin secara kodrati
4. Tujuan perkawinan
5. Perkawinan kekal
6. Perkawinan menurut hukum agama
7. Perkawinan terdaftar
8. Kedudukan suami istri seimbang
9. Poligami sebagai pengecualian
10.Batas minimal usia kawin
11.Membentuk keluarga sejahtera
12.Larangan pada pembatalan perkawinan
13.Tanggung jawab perkawinan dan penceraian
14.Kebebasan mengadakan janji perkawinan
15.Pembedaan anak sah dan anak tidak sah
16.Perkawinan campuran
17.Penceraian di persulit
18. Hubungan dengan pengadilan
g. putusnya perkawinan dan akibatnya
putusnya perkawinan menurut ketentuan pasal 38 UU
perkawinan adalah (a) kematian, (b), perceraian, (c)
keputusan pengadilan.
Adapun syarat-syarat perkawinan menurut UU Perkawinan
adalah sebagai berikut:
1. Adanya persetujuan kedua calon mempelai (Pasal 6 (1)).
2. Adanya izin orang tua/pengadilan jika belum berumur 21
tahun (Pasal 6 (2)).
3. Pria sudah berumur 19 tahun, wanita berumur 16 tahun
(Pasal 7 (1).
4. Tidak ada larangan perkawinan (Pasal 8).
5. Tidak terikat dalam satu perkawinan (Pasal 9).
6. Tidak bercerai untuk kedua kalinya dengan suami/istri
yang sama (Pasal 10).
7. Bagi janda, sudah lewat waktu tunggu (Pasal 11 (11))
8. Tidak ada yang mengajukan pencegahan (pasal 13)
9. sudah memberitahu kepada pegawai pencatat perkawinan
10 hari sebelum di langsungkan perkawinan (pasal 3 PP.no 9
thn 1975 tentang pelaksanaan uu no 1 thn 1974 tenteng
perkawinan )
Adapun alasan perceraian menurut ketentuan pasal 19 PP no
9 thn 1975 tentang pelaksanaan uu perkawinan adalah sbb:
1. Salah satu pihak berbuat zina, atau menjadi pemabuk,
penjudi, dan sebagainya yang sukar disembuhkan.
2. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 thn
berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alas an
yang sah, atau karena hal lain diluar kemampuannya
3. Salah satu pihak mendapatkan hukuman penjara 5 thn
atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan
berlangsung
4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau
penganiyayaan barat yang membahayakan pihak yang
lain
5. Asalah satu pihak mendapat catat badan atau penyakit
dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya
sebagai suami istri
6. Antar suami istri terus menerus menjadi perselisihan
dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup
rukun lagi dalam rumah tangga
Adapun akibat perceraian terdapat 3 masalah yang
perlu diperhatikan yaitu sbb :
1. Terhadap anak dan istri ( pasal 41 uu perkawinan )
2. Terhadap harta perkawinan ( pasal 37 uu
perkawinan)
3. Terhadap status
Tentang Benda
Benda menurut ilmu pengetahuan hukum dapat diartikan
secara luas dan sempit. Secara luas benda diartikan sebagai
segala sesuatu yang dapat dimiliki oleh orang, dan benda
dalam arti sempit adalah segala benda yang dapat dilihat.
Kata benda di dalam bahasa Belanda adalah zaak. Di dalam
Pasal 499 KUH Per disebutkan bahwa, "menurut paham
undang-undang yang berasal dari kebendaan ditemukan,
tiap-tiap barang dan tiap-tiap hak, yang dapat dikuasai oleh
hak milik". Dalam literatur hukum, zaak diterjemahkan
dengan benda. Oleh karena itu, benda termasuk barang
berwujud dan barang tidak berwujud (hak).
Hukum benda adalah keseluruhan aturan hukum yang
mengatur tentang benda.
Menurut undang-undang membagi benda-benda itu kedalam
beberapa macam, yaitu:
a. benda yang dapat diganti (contoh: uang) dan yang tidak
dapat diganti (contoh: seekor kuda);
b. benda yang dapat diperdagangkan (praktis tiap barang
dapat diper dagangkan) dan yang tidak dapat
diperdagangkan atau "di luar perdagangan" (contoh:
jalan-jalan dan lapangan umum);
c. benda yang dapat dibagi (contoh: beras) dan yang tidak
dapat dibagi (contoh: seekor kuda);
d. benda yang bergerak (contoh: perabot rumah) dan yang
tak bergerak (contoh: tanah)."