Anda di halaman 1dari 7

Nama : Dominiqy Injili

NIM : 217221038

Kelas : TPA IV

1. Dalam pasal 1868 KUHPerdata, suatu akta otentik harus memenuhi persyaratan-persyaratan
sebagai berikut:

1. Akta itu harus dibuat oleh atau di hadapan seorang pejabat umum.
2. Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang.
3. Pejabat umum oleh atau di hadapan siapa akta itu dibuat, harus mempunyai wewenang
untuk membuat akta itu

2. - Akta otentik memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna karena tidak memerlukan
penambahan alat bukti lainnya dengan kata lain akta otentik memiliki kekuatan pembuktian
secara lahiriah, Formal dan materiil sesuai ketentuan berdasarkan Pasal 1886 KUH Perdata.
Sempurna berarti hakim tidak memerlukan alat bukti lain untuk memutus perkara selain
berdasarkan alat bukti otentik dimaksud. Sedangkan mengikat berarti hakim terikat dengan
alat bukti otentik kecuali dapat dibuktikan sebaliknya.

- Akta Notaris harus memberikan kepastian bahwa suatu kejadian dan fakta tersebut dalam akta
betul-betul dilakukan oleh Notaris atau diterangkan oleh pihak-pihak yang menghadap pada
saat yang tercantum dalam akta sesuai dengan prosedur yang sudah ditentukan dalam
pembuatan akta. Jika aspek formal dipermasalahkan oleh para pihak , maka harus dibuktikan
dari formalitas akta , yaitu harus dapat membuktikan ketidakbenaran hari, tanggal, bulan, tahun
, pukul menghadap, membuktikan ketidakbenaran mereka menghadap, membuktikan
ketidakbenaran apa yang dilihat, disaksikan dan di dengar oleh Notaris, juga harus dapat
membuktikan ketidak benaran pernyataan atau keterangan para pihak yang
diberikan/disampaikan di hadapan Notaris.
3. Hukum perkawinan merupakan bagian dari Hukum Islam yang memuat ketentuan-
ketentuan tentang hal ihwal perkawinan, yakni bagaimana proses dan prosedur menuju
terbentuknya ikatan perkawinan, bagaimana cara menyelenggarakan
akad perkawinan menurut hukum, bagaimana cara memelihara ikatan lahir batin yang telah di
ikrarkan.
-Perkawinan menurut hukum adat; Perkawinan adalah salah satu peristiwa yang sangat penting
dalam kehidupan masyarakat adat, sebab perkawinan bukan hanya menyangkut kedua
mempelai, tetapi juga orang tua kedua belah pihak, saudara-saudaranya, bahkan keluarga
mereka masing-masing. Dalam hukum adat perkawinan itu bukan hanya merupakan peristiwa
penting bagi mereka yang masih hidup saja. Tetapi perkawinan juga merupakan peristiwa yang
sangat berarti serta yang sepenuhnya mendapat perhatian dan diikuti oleh arwah-arwah para
leluhur kedua belah pihak.

-Menurut hukum Islam; perkawinan merupakan sunnatullah sebagaimana firman Allah dalam
surat Yasin ayat 36. perkawinan merupakan perjanjian suci (sakral) untuk mencapai satu niat,
satu tujuan, satu usaha, satu hak, satu kewajiban, satu perasaan.

-Menurut Kompilasi Hukum Islam; Pasal 2 menjelaskan bahwa: Perkawinan menurut hukum
Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat miitsaqan ghaliizhan untuk menaati
perintah Allah dan melakukannya merupakan ibadah.

-Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, Pasal 1 menyatakan: Perkawinan ialah


ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa.

-KUHPerdata tidak memberikan pengertian mengenai perkawinan. Perkawinan dalam hukum


Perdata sesuai dengan Pasal 26 adalah undang-undang memandang soal perkawinan hanya
dalam hubungan perdata, maksudnya adalah perkawinan hanya merupakan ikatan lahiriah
antara pria dan wanita, unsur agama tidak dilihat.

4.Izin Kawin yaitu untuk perkawinan yang calon suami atau calon isteri belum berumur 21
tahun dan tidak mendapat Izin dari orangtuanya.

Dasar perlunya izin kawin (melangsungkan perkawinan) ialah Pasal 35 dan Pasal 71 KUHPdt.
“Untuk mengikat diri dalam perkawinan, anak-anak yang belum dewasa harus memperoleh
izin dari ke-dua orang tua mereka”.

Pencegahan atau stuiting adalah suatu usaha yang digunakan untuk menghindari/membatalkan
perkawinan sebelum perkawinan itu berlangsung karena bertentangan dengan ketentuan
undang-undang.

Tujuannya adalah untuk menghindari suatu perkawinan yang dilarang hukum agamanya dan
kepercayaannya serta perundang-undangan yang berlaku.

Pencegahan perkawinan dapat dilakukan apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-
syarat untuk melangsungkan perkawinan. Selain itu pencegahan perkawinan dapat pula
dilakukan apabila salah seorang dari calon mempelai berada di bawah pengampuan, sehingga
dengan perkawinan tersebut nyata-nyata mengakibatkan kesengsaraan bagi calon mempelai
lainnya.
Penolakan perkawinan adalah penolakan pelaksanaan perkawinan yang dilakukan oleh
Pegawai Pencatat Perkawinan (PPN) karena tidak terpenuhinya syarat-syarat untuk
melangsungkan suatu perkawinan”.

Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan menentukan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan perkawinan yang dimaksud
dalam UUP tersebut adalah pencatatan peristiwa perkawinan yang dilakukan di lembaga
pencatatan yang telah di bentuk oleh pemerintah. Pemerintah mengatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Pasal 2 bahwa perkawinan yang dilakukan oleh orang Islam
di catatkan di Kantor Urusan Agama (KUA).

Adakalanya perkawinan tidak dicatat karena pegawai pencatat perkawinan menolak untuk
melaksanakan perkawinan tersebut karena ada alasan-alasan yang menurut PPN, perkawinan
tersebut tidak dapat dilaksanakan. Akibat hukum yang ditimbulkan dari perkawinan yang tidak
dicatat ini lebih banyak yang merugikan dibandingkan manfaat yang didapat.

PPN dapat menolak perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita. Seperti ditentukan
dalam Pasal 21 UUPerkawinan. Dari pasal tersebut dapat kita ketahui bahwa Pegawai Pencatat
Perkawinan (PPN) mempunyai hak untuk menolak melangsungkan suatu perkawinan apabila
perkawinan diketahui terdapat syarat-syarat perkawinan yang belum dipenuhi yang telah diatur
dalam UUPerkawinan.

Arti pembatalan perkawinan ialah tindakan Pengadilan yang berupa putusan yang menyatakan
perkawinan yang dilakukan itu dinyatakan tidak sah (no legal force ordeclared void), sehingga
perkawinan tersebut dianggap tidak pernah ada (never existed).

Dari pengertian tersebut, dapat ditarik beberapa kesimpulan :

1. Bahwa perkawinan dianggap tidak sah (no legal force).


2. Dengan sendirinya dianggap tidak pernah ada (never existed).
3. Laki-laki dan perempuan yang dibatalkan perkawinannya tersebut dianggap tidak
pernah kawin.

Dengan demikian, pembatalan perkawinan berbeda dengan pencegahan perkawinan dan


perceraian. Pencegahan perkawinan merupakan tindakan agar perkawinan tidak terlaksana
(perkawinan belum terjadi). Perceraian merupakan pembubaran perkawinan yang sah dan telah
ada (perkawinan itu sudah terjadi), baik atas persetujuan bersama atau atas permintaan salah
satu pihak. Sedang pada pembatalan perkawinan, bahwa perkawinan itu telah terjadi akan
tetapi di belakang hari baru diketahui terdapat kekurangan-kekurangan yang menyangkut
persyaratan yang ditentukan oleh aturan perundang-undangan. Dengan kata lain, perkawinan
tersebut mengandung cacat formil dan materiil, sehingga karenanya perkawinan tersebut dapat
dibatalkan.

Pasal 30 sampai dengan Pasal 35 KUHPdt tentang larangan perkawinan:

• Antara mereka yang satu dan lain bertalian keluarga dalam garis lurus ke atas dan ke
bawah, baik karena kelahiran yang sah atau tidak sah karena Perkawinan (Pasal 30
KUHPdt);
• Antara mereka yang bertalian keluarga dalam garis menyimpang antara saudara pria
dan saudara wanita yang sah atau tidak sah (Pasal 30 KUHPdt);
• Antara ipar pria dan ipar wanita karena perkawinan sah atau tidak sah, kecuali si suami
atau si istri yang mengakibatkan periparan sudah meninggal atau jika karena keadaan
tidak hadirnya suami atau istri, terhadap istri atau suami yang ditinggalkannya, oleh
hakim diizinkan untuk kawin dengan orang lain (Pasal 31 ayat 1e KUHPdt);
• Antara paman atau paman orang tua dan anak wanita saudara atau cucu wanita saudara,
seperti juga bibi atau bibi dari orang tua dan anak pria saudara atau cucu pria dari
saudara yang sah atau tidak sah.
• Dalam hal adanya alasan penting, Presiden berkuasa meniadakan larangan dalam pasal
ini dengan memberikan dispensasi (Pasal 31 [2e]).

5. Macam-macam harta benda perkawinan yang diketahui

Wahjono Darmabrata dan Surini Ahlan Sjarif, harta benda perkawinan menurut UUP terbagi
atas:

1. Harta bersama adalah harta yang diperoleh sepanjang perkawinan berlangsung sejak
perkawinan dilangsungkan hingga perkawinan berakhir atau putusnya perkawinan
akibat perceraian, kematian maupun putusan Pengadilan. Harta bersama meliputi: a.
Harta yang diperoleh sepanjang perkawinan berlangsung; b. Harta yang diperoleh
sebagai hadiah, pemberian atau warisan apabila tidak ditentukan demikian; c. Utang-
utang yang timbul selama perkawinan berlangsung kecuali yang merupakan harta
pribadi masing-masing suami-istri. (Pasal 29 ayat (1) UUP).
2. Harta pribadi adalah harta bawaan masing-masing suami-istri yang merupakan harta
tetap di bawah penguasaan suami-istri yang merupakan harta yang bersangkutan
sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian kawin. Dengan kata lain, harta pribadi
adalah harta yang telah dimiliki oleh suami-istri sebelum mereka melangsungkan
perkawinan. Harta pribadi meliputi: a. Harta yang dibawa masing-masing suami-istri
ke dalam perkawinan termasuk utang yang belum dilunasi sebelum perkawinan
dilangsungkan; b. Harta benda yang diperoleh sebagai hadiah atau pemberian dari pihak
lain kecuali ditentukan lain; c. Harta yang diperoleh suami atau istri karena warisan
kecuali ditentukan lain; d. Hasil-hasil dari harta milik pribadi suami-istri sepanjang
perkawinan berlangsung termasuk utang yang timbul akibat pengurusan harta milik
pribadi tersebut. (Pasal 36 ayat (2) UUP).
3. Harta warisan merupakan harta bawaan yang sepenuhnya dikuasai oleh suami atau istri,
sehingga harta warisan tidak dapat diganggu gugat oleh suami atau istri. Jika terjadi
perceraian maka harta warisan (dari orangtua) tetap ada di bawah kekuasaan masing-
masing (tidak dapat dibagi).

6. Ketentuan bubarnya harta bersama (gono-gini) diatur dalam Pasal 126 KUHPdt, “harta
gono-gini bubar demi hukum:

• Karena kematian.
• Karena perkawinan atas izin hakim setelah suami atau istri tidak ada.
• Karena perceraian.
• Karena pisah meja dan ranjang.
• Karena pemisahan harta.

7. Perjanjian Kawin menurut KUHPdt adalah antara calon suami dan isteri menghendaki
adanya penyimpangan terhadap persatuan harta kekayaan perkawinan, hal ini dapat dilihat
dalam Pasal 119 KUHPdt yang menyatakan bahwa mereka dapat membuat akta perjanjian
kawin yang dapat ditemui dalam Pasal 139 KUHPdt.

Perjanjian perkawinan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan


adalah perjanjian tertulis yang dibuat oleh kedua pihak atas persetujuan bersama pada waktu
atau pada saat perkawinan berlangsung yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan
mengenai kedudukan harta dalam perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak
ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut

perjanjian perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam adalah perjanjian tertulis yang dibuat
oleh kedua calon mempelai pada waktu atau pada saat perkawinan berlangsung yang disahkan
oleh Pegawai Pencatat Nikah mengenai kedudukan harta dalam perkawinan.

8. Terjadinya perjanjian kawin biasanya dilatarbelakangi oleh faktor sosiologis maupun faktor
yuridis:

• Faktor Sosiologi; karena adanya perbedaan status sosial dan status ekonomi.
• Faktor Yuridis; agar perempuan dapat bertindak keluar untuk dirinya sendiri; untuk
melindungi harta milik perempuan ; Pasal 35 UUP menganut harta terpisah di mana
bawaan adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak
menentuan lain.
• Memisahkan harta kekayaan antara pihak suami dengan pihak istri sehingga harta
kekayaan mereka tidak bercampur. Jika mereka bercerai nanti maka harta dari masing-
masing pihak otomatis terlindungi dan tidak ada perebutan mengenai harta gono gini.
• Jika ada hutang dimasing-masing pihak maka akan menjadi tanggungjawab masing
masing pihak itu sendiri.
• Jika ada salah satu pihak ingin menjual harta kekayaannya maka tidak diperlukan ijin
dari pasangan hidupnya untuk menjual harta kekayaan miliknya.
• Jika salah satu pasangan ingin mengajukan agunan kredit maka tidak diperlukan ijin dari
pasangan hidupnya untuk menjaminkan asset yang dimilikinya tersebut.

9. Perjanjian kawin yang sudah dibuat tidak dapat dirubah kembali, tetapi diberikan
kemungkinan untuk melakukan perubahan yang hanya dapat dilakukan sekali selama
perkawinan berlangsung. Perubahan didahului dengan pengumuman kepada pihak ketiga,
apabila pihak ketiga tidak keberatan dengan perubahan tersebut sampai dengan jangka
waktu pengumuman berakhir, maka setelah perjanjian kawinnya diubah, harus didaftarkan
ke Panitera Pengadilan Negeri agar berlaku kepada pihak ketiga.

Persatuan harta kekayaan yang telah dibubarkan dengan suatu akta pemisahan harta kekayaan,
dapat dipulihkan kembali ke keadaan semula sebelum adanya pemisahan dengan suatu Akta
Otentik pula yang disetujui oleh suami isteri tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 196
KUHPdt.

Pasal 197 KUHPdt kemudian mengatur bahwa setelah adanya pemulihan kembali, maka segala
urusan dipulangkan kembali dalam keadaan sediakala, seolah-olah tidak pernah ada
pemisahan.

Sama halnya seperti pemisahan harta kekayaan, dalam rangka pemulihan kembali juga harus
dilakukan pengumuman terlebih dahulu untuk mengetahui apakah ada pihak ketiga yang
keberatan atau tidak. Selama pengumuman tersebut dilangsungkan, maka baik pihak suami dan
isteri tidak boleh memasukkan harta mereka kedalam harta persatuan terlebih dahulu.

Apabila telah dilakukan pemisahan harta kekayaan, ternyata mereka merasa tidak cocok
dengan adanya pemisahan, maka dapat dipulihkan kembali ke keadaan semula menjadi harta
gono-gini, tetapi pemulihannya harus mendapat persetujuan suami dan dibuat dalam Akta
otentik sebagaimana diatur dalam Pasal 96 KUHPdt.

Dengan adanya pemulihan, maka semua urusan dikembalikan ke keadaan semula dan seolah-
olah tidak ada pemisahan, diatur dalam Pasal 197 KUHPdt.

Untuk pemulihan tersebut harus diumumkan kepada pihak ketiga, apakah merugikan pihak
ketiga. Apabila jangka waktu pengumuman berakhir dan tidak ada keberatan dari pihak ketiga,
maka pemulihannya baru dapat dilakukan (Pasal 198 KUHPdt).

10. Perkawinan yang dilangsungkan berdasarkan hukum agama saja tidak boleh untuk
membuat Akta Perjanjian Kawin, maka Langkah-langkah yang harus diambil pasangan
tersebut adalah mendaftarkan Perkawinannya di Kantor Catatan Sipil / Kantor Urusan Agama,
lalu mendaftarkan Perjanjian Perkawinannya

11. Seorang suami dapat mengajukan penyangkalan terhadap anak yang dilahirkan dengan
beberapa alasan yaitu:

1. Jika anak tersebut lahir sebelum 180 (seratus delapan puluh hari) sejak perkawinannya
dilangsungkan, namun sangkalan tersebut tidak boleh mengandung keadaan: Jika suami
sebelum perkawinan telah mengetahui akan mengandungnya si isteri, Jika ia telah ikut
hadir ketika akta kelahiran dibuat dan akta itupun ditandatangani atau membuat
pernyataan darinya bahwa ia tidak dapat menandatanganinya, jika si-anak tidak hidup
saat dilahirkan.
2. Jika si suami dapat membuktikan bahwa ia sejak 180 (seratus delapan puluh) sampai
300 (tiga ratus) hari sebelum lahirnya anak itu, baik karena perpisahan maupun sebagai
akibat suatu kebetulan berada dalam suatu kedaan ketidakmungkinan yang nyata untuk
mengadakan hubungan dengan isterinya, namun terhadap ketidakmampuannya yang
nyata si suami tidak dapat mengingkari bahwa anak itu adalah anaknya.
3. Jika si suami dapat membuktikan bahwa anak tersebut merupakan hasil perzinaan
isterinya dengan laki-laki lain, yang kelahiran anak tersebut disembunyikan darinya dan
si suami dapat membuktikan bahwa ia bukan bapak dari anak tersebut.
4. Jika anak tersebut dilahirkan 300 (tiga ratus hari) setelah hari keputusan perpisahan
meja dan ranjang memperoleh kekuatan hukum yang tetap dengan tidak mengurangi
hak isterinya untuk mengemukakan segala peristiwa yang kiranya sanggup dibuktikan
bahwa si suami lah bapak dari anak tersebut.

12. Hukum waris merupakan suatu bidang yang erat kaitannya dengan hukum keluarga karena
berkaitan dengan masalah harta benda selama hidupnya seseorang di dunia. Hukum waris
memuat aturan-aturan yang mengatur tata cara atau bagaimana proses pemberian harta benda
baik berupa piutang ataupun utang (jika ada) untuk keturunannya, keluarga, saudara serta
orang-orang yang ditunjuk baik karena adanya hibah wasiat atau wasiat dari si pewaris. Oleh
karena itu, istilah hukum waris mengandung pengertian yang meliputi kaidah-kaidah dan asas-
asas yang mengatur proses beralihnya harta benda dan hak-hak serta kewajiban-kewajiban
seseorang yang meninggal dunia.

Hukum kewarisan mengenai harta peninggalan seseorang baru berlaku apabila telah meninggal
dunia. Sebelum harta peninggalan dibagikan, selalu diawali dengan penentuan siap-siapa yang
akan menjadi ahli waris dari harta peninggalan seorang yang meninggal dunia itu.

Apabila sebuah warisan tidak dipersengketakan, dengan kata lain segenap ahli waris rukun-
rukun saja dan semuanya dengan hati terbuka berbagi warisan secara baik-baik, penuh
pengertian dalam suasana kekeluargaan, maka segala sesuatu dapat berjalan lancar sehingga
tidak menimbulkan masalah.

Anda mungkin juga menyukai