Anda di halaman 1dari 9

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PEMBATALAN PERKAWINAN

DIPENGADILAN AGAMA PADANG PANJANG

Proposal

Oleh :
Nama : Satria Wahyudi
NPM : 16.1000.27.42.01.227
Program Studi : Ilmu Hukum
Program Kekhususan : Hukum Perdata

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUMATERA BARAT
BUKITTINGGI
2022
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan merupakan sebuah ikatan sakral dalam kehidupan setiap

pasangan manusia yang memiliki tujuan untuk mewujudkan rumah tangga

yang bahagia serta meneruskan keturunan. Sakralnya sebuah perkawinan

dikarenakan itu adalah sebuah ibadah dan juga sunnah nabi yang

dilaksanakan atas nama Tuhan serta berlandaskan aturan-aturan agama.

Sebagaimana hal tersebut juga dijelaskan pada pasal 1 Undang-undang

Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang berbunyi:

“Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang

wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)

yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” (Undang-

undang Republik Indonesia, 2007: 1-2).

Untuk mewujudkan tujuan perkawinan, tentunya sangat penting

memaksimalkan peran dan tanggung jawab suami maupun istri, serta

pemahaman suami dan istri tersebut mengenai kewajiban dan haknya masing-

masing. Perkawinan bukan hanya menjadi media untuk merealisasikan apa

yang menjadi syari‟at Allah serta menjadi jalan mencapai kebaikan di dunia

dan di akhirat, namun juga merupakan kontrak perdata sehingga darinya

timbul kewajiban dan hak antara suami dan istri. Maka dari itu, di dalam

ikatan perkawinan perlu adanya komitmen dari kedua belah pihak termasuk

di dalam perwujudan hak dan kewajiban masing-masing.


Dari perkawinan, terbentuklah keluarga yang merupakan unit terkecil di

dalam tatanan masyarakat. Setiap keluarga turut memberi pengaruh dalam

ketertiban masyarakat. Oleh karena itu, ditentukanlah aturan-aturan agar

tertibnya perkawinan supaya tercapainya tata kehidupan masyarakat yang

baik (Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 2001: 117).

Hal-hal yang menyangkut dengan perkawinan telah diatur di dalam hukum

Islam dan hukum negara. Suatu perkawinan dinyatakan sah menurut

agamadan negara apabila terpenuhi segala rukun dan syarat yang ditentukan,

serta tidak melanggar larangan perkawinan. Sebuah perkawinan yang telah

dinyatakan sah tersebut sejatinya harus terus dijaga dan dipertahankan

keberadaannya. Allah berfirman:

Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah

menciptakanmu dari seorang diri yang satu (Adam), dan (Allah)

menciptakan pasangannya (Hawa) dari dirinya; dan dari pada keduannya

Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.

Bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta,

dan peliharalah hubungan kekeluargaan. Sesungguhnya Allah selalu

menjaga daan mengawasi kamu.


Dari penjelasan tersebut dapat dipahami bahwa sebuah perkawinan

bukanlah hal yang main-main. Banyak hal yang harus dipenuhi oleh pihak

yang terkait untuk dapat melangsungkan sebuah perkawinan yang sah. Rukun

dan syarat yang harus dipenuhi tersebut diatur di dalam hukum agama dan

hukum negara. Apabila ternyata suatu perkawinan dilaksanakan dengan tidak

terpenuhi rukun dan syaratnya atau melanggar larangan perkawinan, maka

perkawinan tersebut menjadi tidak sah dan bisa dibatalkan. Perkawinan yang

dinyatakan batal demi hukum dianggap tidak sah atau tidak pernah ada.

Contoh kasus perkawinan batal demi hukum adalah perkawinan

sedarah/senasab, perkawinan sepersusuan, perkawinan tanpa izin poligami

dari istri pertama, sehingga menjadi sebuah keharusan untuk dilakukan

pembatalan perkawinan.

Di dalam Islam, pembatalan perkawinan disebut fasakh. Fasakh dapat

terjadi apabila syarat atau rukun perkawinan tidak terpenuhi, atau adanya hal

lain yang dapat menyebabkan batalnya perkawinan setelah perkawinan

tersebut dilaksanakan. Memfasakh akad nikah artinya membatalkan dan

melepaskan ikatan suami-isteri. Apabila kondisi yang menyebabkan fasakh

jelas, maka tidak perlu menunggu putusan pengadilan. Misalnya, terbukti di

kemudian hari bahwa seorang suami ternyata telah memiliki istri yang sah

dan melakukan perkawinan tanpa izin istri pertama tersebut, maka pasangan

tersebut wajib memfasakh atau difasakh akad nikahnya atas kemauan sendiri

atau pengajuan fasakh oleh pihak-pihak lain yang berkaitan.

Dapat dijumpai seorang suami yang berkeinginan untuk memiliki istri

lebih dari seorang dengan mengemukakan berbagai alasan. Di dalam kondisi


tertentu poligami akan lebih baik dibandingkan dengan berbuat zina. Namun

apabila dilihat dari perpektif masing-masing pihak, bagi pihak laki-laki

tentunya tidak akan ada kerugian bagi mereka untuk berpoligami selama

mereka mampu untuk menjalankannya secara adil. Sementara bagi pihak

perempuan, secara psikologis jarang sekali perempuan yang rela untuk

dipoligami oleh suaminya karena kiranya hampir tidak terdapat hal yang

“menguntungkan” bagi perempuan dari tindakan poligami tersebut.

Peluang bagi seorang suami untuk dapat mempunyai istri lebih dari satu

diatur dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan, yaitu “Pengadilan

dapat mengeluarkan surat izin kepada seorang suami untuk memiliki isteri

lebih dari satu orang apabila dikehendaki oleh pihak yang berwenang.”

Sedangkan syarat untuk memiliki istri lebih dari satu dalam Undang-Undang

Perkawinan diatur dalam Pasal 5 ayat (1), yang berbunyi: Untuk dapat

mengajukan permohonan kepada pengadilan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang ini haruslah dipenuhi syarat-syarat sebagai

berikut:

a) Adanya perjanjian istri atau istri-istri.

b) Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan

keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka

c) Adanya jaminan bahwa suami akan dapat berlaku adil terhadap istri-

istri dan anak-anak mereka

Berangkat dari perspektif kepentingan perempuan, jarang ditemui suami

berpoligami yang mendapat izin dari isteri, terlebih lagi jika isteri tersebut

telah dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri dengan sebaik- baiknya,


tidak mempunyai cacat badan atau sebuah penyakit yang tak dapat

disembuhkan atau tak bisa mempunyai keturunan. Jika dilihat pada Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka seorang suami yang

hendak melaksanakan poligami wajib memiliki surat izin dari Pengadilan

Agama. Adapun pihak pengadilan hanya akan memberikannya jika seluruh

persyaratan yang ditetapkan oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan sudah terpenuhi, diantaranya wajib adanya izin untuk

berpoligami dari isteri pertama. Apabila tidak ada, maka perkawinan tersebut

dapat diajukan pembatalannya sesuai dengan Pasal 24 Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Pembatalan perkawinan dapat berlaku terhadap semua bentuk

perkawinan yang tidak sah, baik sebelum atau sesudah persetubuhan, baik

bersifat nikah bathil ataupun fasid. Hal yang berkaitan dengan pembatalan

perkawinan juga diatur di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan. Secara umum, pembatalan perkawinan dapat diartikan

sebagai dibatalkannya sebuah perkawinan karena terdapat syarat-syarat sah

perkawinan yang tak terpenuhi ketika perkawinan tersebut dilaksanakan. Di

antara penyebab pembatalan perkawinan ada di dalam Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 24 yakni “jika terdapat

suami/istri yang masih mempunyai ikatan perkawinan melakukan perkawinan

tanpa seizin dan sepengetahuan pihak lainnya”. Kondisi tersebut merupakan

alasan dan landasan hukum yang kuat bagi seorang istri yang mengetahui

suaminya telah menikahi orang lain tanpa izin, hingga kemudian dapat

melakukan tindakan hukum berupa pengajuan permohonan untuk membatal-


kan perkawinan yang dilakukan suaminya tersebut dengan wanita lain.

Peristiwa batalnya perkawinan demi hukum terkait tidak adanya izin

poligami dari istri pertama salah satunya penulis temukan di Pengadilan

Agama Padang Panjang. Permohonan pembatalan perkawinan tersebut

diajukan oleh Pemohon (ayah kandung dari istri kedua). Dimana dalam

duduk perkara dalam surat putusan Pengadilan Agama Padang Panjang

bahwasanya Termohon I (suami) dan Termohon II (istri kedua)

melangsungkan pernikahan pada 09 September 2012 yang terdaftar di Kantor

Urusan Agama. Sembilan hari setelah resepsi pernikahan (tepatnya 19

September 2012), seorang perempuan mendatangi Pemohon dan mengaku

sebagai istri sah Termohon I yang dinikahi pada bulan Oktober tahun 2010

serta telah dikaruniai satu orang anak. Sebelum pernikahan antara Termohon I

dan Termohon II berlangsung, semua prosesi adat berlangsung dengan

normal tanpa ada yang disembunyikan atau tipu muslihat dari pihak

Pemohon. Di dalam kelengkapan administrasi pernikahan pun Termohon I

menyatakan bahwa ia memang berstatus tidak sedang memiliki pasangan.

Selanjutnya, setelah istri pertama Termohon I datang memberikan pengakuan

tersebut, ditemukan fakta bahwa Termohon I memang telah melakukan

pemalsuan identitas karena antara Termohon I dan istri pertamanya memang

tercatat secara sah adalah pasangan suami istri, dan sama sekali tidak ada

bukti perceraian serta tidak ada izin poligami, baik dari istri pertamanya

tersebut maupun surat izin dari pengadilan.

Berangkat dari kasus pembatalan perkawinan tersebut, penulis sangat

tertarik untuk mengetahui lebih lanjut tentang bagaimana penerapan putusan


hakim atas batalnya perkawinan tersebut demi hukum, serta perlu

adanya pendalaman dan pengkajian mengenai akibat hukum dari pembatalan

perkawinan tersebut. Bedasarkan hal tersebut perlu penulis mengangkat

sebuah judul tesis terkait permasalahan tersebut, yaitu “Tinjauan Yuridis

Terhadap Pembatalan Perkawinan di Pengadilan Agama Padang

Panjang.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana proses pelaksanaan pembatalan perkawinan di Pengadilan

Agama Padang Panjang menurut Undang-undang?

2. Bagaimana analisis hukum terhadap putusan pembatalan perkawinan di

Pengadilan Agama Padang Panjang?

3. Bagaimana akibat hukum yang ditimbulkan dari pembatalan perkawinan

di Pengadilan Agama Padang Panjang

Anda mungkin juga menyukai