Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH

HUKUM KELUARGA DI NEGARA MUSLIM


Tentang
PENCEGAHAN PERKAWINAN DALAM HUKUM KELUARGA ISLAM DI
BERBAGAI NEGARA

Disusun Oleh :
HAPIS : 2220040034
Dosen pengampu:
Dr. Muchlis Bahar Lc.M.Ag
Dr.Drs.H. Sobhan M.A

PASCASARJANA (S2) HUKUM KELUARGA


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
IMAM BONJOL PADANG
1444 H/2022 M
PENCEGAHAN PERKAWINAN DALAM
HUKUM KELUARGA ISLAM DI BERBAGAI NEGARA

A. PENDAHULUAN
Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974, bahwa
perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami
istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Lebih legas lagi Kompilasi Hukum Islam
(Inpers No.1 Tahun 1991), menyatakan bahwa Perkawinan menurut Hukum Islam adalah
Pernikahan, yaitu akad yang kuat (mistaqan ghaliza)untuk menaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah, yang bertujuan untuk mewujudkan kehidupan
rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan warahmah (Mukri, 2020). Fikih islam tidak
mengenal adanya pencegahan dalam perkawinan. Akibatnya tidak di temukan kosa kata
pencegahan dalam fikih islam. Berbeda dengan pembatalan, istilah ini telah dikenal
dalam fikih islam dan kata batal itu sendiri berasal dari bahasa arab, Didalam fikih
sebenarnya dikenal dua istilah yang berbeda kendati hukumnya sama yaitu nikah al-fasid
dan nikah al-batil. Aljaziry ada menyatakan bahwa nikah fasid adalah nikah yang tidak
memenuhi salah satu syarat-syaratnya, sedangkan nikah batil adalah apabila tidak
terpenuhinya rukun. Hukum nikah fasid dan batil adalah sama-sama tidak sah.
Undang-Undang Negara Indonesia telah mengatur batas usia perkawinan. Dalam
Undang-undang perkawinan Bab ll Pasal 7 Ayat 1 disebutkan bahwa perkawinan hanya
di izinkan jika pihak pria mencapai umur 19 tahun dan pihak perempuan sudah mencapai
umur 16 tahun.314 Kebijakan pemerintah dalam menetapkan batas minimal usia
pernikahan ini tentunya melalui proses dan berbagai pertimbangan. Hal ini dimaksudkan
agar kedua belah pihak benarbenar siap dan matang dari sisi fisik, psikis dan mental.
Begitu pula di dalam Undang- Undang No.35 Tahun 2014 ratifikasi dari undangundang
no 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak di sebutkan dalam pasal 26 ayat (1) huruf c
bahwa orang tua berkewajiban dan bertanggungjawab untuk mencegah terjadinya
perkawinan pada usia anak (Nurlina, 2018).
Ketentuan batas usia kawin ini seperti disebutkan dalam kompilasi pasal 15 ayat
(1) di dasarkan kepada pertimbangan kemaslahatan keluarga dan rumah tangga
perkawinan. Ini sejalan dengan prinsip yang diletakkan UU perkawinan, bahwa calon
suami istri harus telah masak jiwa dan raganya, agar tujuan perkawinan dapat di
wujudkan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik
dan sehat. Untuk itu harus di cegah adanya perkawinan antara calon suami istri yang
masih di bawah umur.

B. PEMBAHASAN
Pencegahan perkawinan adalah menghindari suatu perkawinan berdasarkan
larangan hukum islam yang diundangkan. Pencegahan perkawinan dilakukan bila tidak
terpenuhi dua persyaratan ini. Pertama, syarat materiil adalah syarat yang berkaitan
dengan pencatatan perkawinan, akta nikah, dan larangan perkawinan. Kedua, syarat
administratif adalah syarat perkawinan yang melekat pada setiap rukun perkawinan, yang
meliputi calon mempelai laki-laki dan wanita, saksi, wali, dan pelaksanaan akad nikahnya
(Mukri, 2020).

1. Indonesia
Pencegahan perkawinan diatur dalam UU No. 1/1974 dalam pasal 13 yang
berbunyi: “Perkawinan dapat dicegah, apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-
syarat untuk melangsungkan perkawinan.” Tidak memenuhi persyaratan seperti yang
dimaksud didalam ayat diatas mengacu kepada dua hal yaitu syarat administratif dan
syarat materiil. Syarat administratif berhubungan dengan administratif perkawinan pada
bagian tata cara perkawinan. Adapun syarat materiil menyangkut hal-hal mendasar
seperti larangan perkawinan (Mukri, 2020).
Perkawinan dapat dicegah bila salah seorang ataupun kedua calon pengantin
masih terikat dalam perkawinan dengan orang lain (pencegahan ini tidak termasuk bagi
suami yang telah mendapatkan dispensasi dari pengadilan untuk berpoligami) dan
seorang bekas istri yang masih dalam keadaan berlaku waktu tunggu (iddah) baginya,
begitu juga dengan mereka yang belum mencapai umur 19 tahun bagi pria dan 16 tahun
bagi wanita dapat dicegah untuk melangsungkan perkawinan kecuali telah mendapat
dispensasi dari pengadilan. Adapun mekanisme yang ditempuh bagi pihak-pihak yang
akan melakukan pencegahan adalah dengan cara mengajukan pencegahan perkawinan ke
pengadilan agama dalam daerah hukum dimana perkawinan itu dilangsungkan dan
memberitahukannya kepada pegawai pencatat nikah. Pencegahan perkawinan dapat
dicabut dengan menarik kembali permohonan pencegahan yang telah dimasukkan ke
pengadilan agama oleh yang mencegah atau dengan putusan pengadilan agama, selama
pencegahan belum dicabut maka perkawinan tidak dapat dilangsungkan, kecuali ada
putusan pengadilan agama yang memberikan dispensasi kepada para pihak yang akan
melangsungkan perkawinan.

2. Turki
Dalam The Turkish Family Law of Cyprus tahun 1951 Pasal 19 dijelaskan, bahwa
suatu pernikahan harus dibatalkan apabila salah satu pihak berada dalam 3 (tiga) kondisi
tertentu dalam (Awaliyah, 2019):
1. Salah satu pihak telah berumah tangga saat menikah
2. Pada saat menikah salah satu pihak menderita penyakit jiwa
3. Termasuk dalam pernikahan yang dilarang
Menurut Taufikurrahman Syahuri mengenai undang-undang perkawinan, negara
Turki telah memformulasikan kedalam sebuah hukum tertulis : Fifty Years Of Personal
Law Reform 1915-1965. Adapun materi muatan hukum keluarga Turki tersebut adalah :
a. Pertunangan
b. Umur pernikahan
c. Larangan perkawinan
d. Resepsi pernikahan
e. Pembatalan perkawinan
f. Pernikahan yang tidak sah
g. Perceraian dan pemisahan
h. Hukum waris

Turki sebagai negara kerajaan Islam yang besar tentu memiliki perhatian serius
terkait pembatalan perkawinan yang diseusikan dengan mazhab tertentu yaitu mazhab
Hanafi. Pada tahun 1915 muncul dua Dekrit Kerajaan Tukri Ustmani yang mereformasi
hukum matrimonial (yang berhubungan dengan perkawinan). Pertama, terkait dengan
perceraian dan pembatalan perkawinan. Dekrit tersebut berisi diperbolehkannya
perempuan mengupayakan pembatalan perkawinan atas dasar ditinggalkan suami atau
karena penyakit yang dideritanya.
Adapun penyebab munculnya dekrit tersebut yaitu, banyak perempuan yang
terbebani dikarenakan tidak dibolehkan membatalkan perkawinan apabila ditinggal suami
atau karena suami menderita penyakit. Hal tersebut berakibat merugikan keberlangsungan
perkawinan dan keturunan. Permbatalan perkawinan dilakukan selain ditinggal pasangan
dan karena penyakit, juga penipuan, salah sangka, pelanggaran terhadap prosedur
perkawinan, pelanggaran terhadap materi perkawinan. Pada masa itu, di Turki terjadi
gejolak politik yang besar sebagai bentuk akan dimulainya masa peralihan dari
kekhalifahan Islam menjadi sekularisme.
Guncangan politik inilah yang kemudian menjadi perhatian kerajaan untuk
membuat dekrit dengan tujuanspesifik pada pembatalan perkawinan dan perempuan
diperbolehkan mengajukannya. Lahirnya Undang-Undang keluarga yang merupakan
bentuk amndemen terhadap undang-undang perkawinan Turki Tahun 1917 yang
mengharamkan poligami, menjadikan suami dan istri berkedudukan sama dalam
perceraian, dan sejak saat itu pembatalan harus dijatuhkan di pengadilan dengan syarat-
syarat tertentu, tidak semata-mata hak prerogatif suami. Akibat Pembatalan Perkawinan
tersebut pada tahun 1933-1965, muncul undang-undang sebagai amandemen undang-
undang sipil Turki 1926 antara lain berkaitan dengan ganti kerugian, dispensasi kawin,
pasangan suami istri diberi kesempatan untuk memperbaiki hubungan ketika pisah
ranjang, juga penghapusan segala bentuk perceraian di luar pengadilan, serta tersedianya
perceraian di pengadilan yang didasarkan pada kehendak masing-masing pihak (Pasal
125-132). Adapun sebeb munculnya amandemen tersebut ialah konsep ganti rugi,
dispensas kawin, perbaikan hubungan ketika bercerai, dan kehendak bercerai yang masih
diluar dari kebutuhan masyarakat.
3. Malaysia
Di Malaysia pembatalan perkawinan dikenal dengan istilah perkawinan sindikasi
diartikan sebagai perkawinan yang terjadi tanpa sepengetahuan atau persetujuan pejabat
instansi pemerintah atau pejabat yang berwenang, baik di dalam negeri maupun di luar
negeri. Potensi pernikahan semacam itu seringkali melanggar hukum Syariah. Penting
bagi seorang pria atau wanita yang ingin menikah untuk mengajukan permohonan untuk
mendaftarkan akta itu ke Catatan Perkawinan dan Rujukan Status Agama Islam di
wilayah tempat tinggal atau menikah. Demikian juga di Sarawak, Hukum Keluarga Islam
Sarawak menyatakan dalam (Fajarwati, 2020):
1. "Jika perkawinan rumah tangga dimaksudkan, masing-masing pihak dari perkawinan
yang direncanakan harus mengajukan ke kantor catatan pendaftaran zakat masjid di
mana wanita itu beriman, dalam bentuk yang 4 ditetapkan untuk keabsahan
pernikahan."
2. Permohonan masing-masing pihak harus diserahkan kepada Pendaftar setidaknya
tujuh hari sebelum tanggal pernikahan yang dijadwalkan, meskipun dalam beberapa
kasus Pendaftar mungkin menyetujui waktu yang lebih singkat.
Dengan mendaftarkan pernikahan ke kedutaan atau konsulat Malaysia di samping
otoritas nasional yang relevan, dapat memiliki pernikahan yang sah di mana saja di dunia.
JAKIM (Badan Kemajuan Islam Malaysia) berusaha untuk membuat hukum konsisten di
seluruh negeri dan memudahkan pihak berwenang untuk menyelidiki penipuan dan
pemalsuan akta nikah. Perkawinan sindikasi (perkawinan tidak sah/di bawah tangan/siri)
adalah ketika seorang laki-laki atau perempuan menikah secara melawan hukum dan
tidak mematuhi peraturan perundang-undangan yang mengatur perkawinan di Malaysia,
khususnya Sarawak.
Akibat dari perkawinan sindikasi adalah pejabat perkawinan tidak menerbitkan
akta perkawinan. Melanggar hukum Malaysia serta pernikahan syara' dianggap sebagai
masalah hukum. Untuk meringankan masalah ini, pernikahan seperti ini membutuhkan
putusan pengadilan Syariah. Berdasarkan Bagian 11 dan 12 dari Undang-Undang yang
sama, pernikahan yang melanggar hukum Malaysia tidak dapat didaftarkan kecuali jika
pernikahan tersebut telah dittangani, disetujui oleh pengadilan Syariah dan diperintahkan
untuk didaftarkan oleh hakim.
BAB III

PENUTUP

1. KESIMPULAN
Pencegahan perkawinan dalam hokum keluarga islam di berbagai Negara di
antaranya Indonesia, turkey, Malaysia yaitu:
a. Indonesia
Pencegahan perkawinan diatur dalam UU No. 1/1974 dalam pasal 13 yang
berbunyi: “Perkawinan dapat dicegah, apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-
syarat untuk melangsungkan perkawinan.” Tidak memenuhi persyaratan seperti yang
dimaksud didalam ayat diatas mengacu kepada dua hal yaitu syarat administratif dan
syarat materiil. Syarat administratif berhubungan dengan administratif perkawinan
pada bagian tata cara perkawinan. Adapun syarat materiil menyangkut hal-hal
mendasar seperti larangan perkawinan.
b. Turki
Menurut Taufikurrahman Syahuri mengenai undang-undang perkawinan, negara
Turki telah memformulasikan kedalam sebuah hukum tertulis : Fifty Years Of
Personal Law Reform 1915-1965. Adapun materi muatan hukum keluarga Turki
tersebut adalah :
a) Pertunangan
b) Umur pernikahan
c) Larangan perkawinan
d) Resepsi pernikahan
e) Pembatalan perkawinan
f) Pernikahan yang tidak sah
g) Perceraian dan pemisahan
h) Hukum waris
c. Malaysia
Di Malaysia pembatalan perkawinan dikenal dengan istilah perkawinan sindikasi
diartikan sebagai perkawinan yang terjadi tanpa sepengetahuan atau persetujuan
pejabat instansi pemerintah atau pejabat yang berwenang, baik di dalam negeri
maupun di luar negeri (Fajarwati, 2020).
DAFTAR PUSTAKA

Mukri, (2020). Pencegahan Dan Pembatalan Perkawinan. Jurnal Persepektif. Vol. 13, No 2

Nurlina, (2018). Pencegahan Perkawinan Di Bawah Umur (Analisis Terhadap Lembaga


Pelaksana Instrumen Hukum Di Kec. Blangkejeren Kab. Gayo Lues). : Jurnal Hukum
Keluarga Dan Hukum Islam. Volume 2 No. 2.

Awaliyah, (2019). Pembatalan Perkawinan Di Indonesia Dan Turki. Fakultas Syariah Dan
Hukum.

Fajarwati, (2020). Perbandingan Konsep Pembatalan Antara Indonesia Dan Malaysia.


Universitas Muhamdiyah Surakarta, Jurusan Hokum Fakultas hukum.

Anda mungkin juga menyukai