Anda di halaman 1dari 14

KELOMPOK 4

NAMA :
RAJIKA DESTA ( NPM 1701110014 )
DELVIA VARDILA ( 1501110140 )
ALFIANTO ( 1501110163 )
LISA PUTRI ( NPM )
PENCATATAN PERKAWINAN
Perkawinan adalah ikatan lahir dan bathin antara seorang pria dan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa
(Pasal 1 UU Nomor 1 Tahun 1974).\
Pencatatan perkawinan adalah pendataan administrasi perkawinan yang
ditangani oleh petugas pencatat perkawinan (PPN) dengan tujuan untuk
menciptakan ketertiban hukum
Perkawinan yang sah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan wajib dilaporkan oleh Penduduk kepada Instansi Pelaksana di
tempat terjadinya peristiwa perkawinan paling lambat 60 (enam puluh) hari
sejak tanggal perkawinan. Pencatatan perkawinan pada prinsipnya
merupakan hak dasar dalam keluarga. Selain itu merupakan upaya
perlindungan terhadap isteri maupun anak dalam memperoleh hak-hak
keluarga seperti hak waris dan lain-lain.
Pencatatan perkawinan diatur dalam pasal 2 Peraturan Pemerintah
Nomor 9 tahun 1975 yang menyatakan bahwa:

1. Bagi yang beragama Islam pencatatannya oleh pegawai pencatat sebagaimana


dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatat
Nikah, Talak dan Rujuk.
2. Bagi mereka yang bukan Islam, pencatatan dilakukan oleh pegawai pencatat
perkawinan pada Kantor Catatan Sipil.

Dengan kata lain bagi mereka yang melakukan perkawinan menurut


agama Islam, pencatatan dilakukan di Kantor Urusan Agama (KUA), pada
umumnya dilaksanaan bersamaan dengan upacara akad nikah karena petugas
pencatat nikah dari KUA hadir dalam acara akad nikah tersebut. Sedang bagi
yang beragama Katholik, Kristen, Budha, Hindu, pencatatan itu dilakukan di
Kantor Catatan Sipil setelah kedua mempelai melakukan pernikahan menurut
agamanya masing- masing. Misalnya bagi mereka yang memeluk agama
Katholik atau Kristen, terlebih dahulu kedua mempelai melakukan prosesi
penikahan di gereja, dengan membawa bukti (surat kawin) dari gereja barulah
pernikahan tersebut dicatatkan di Kantor Catatan Sipil setempat.
DASAR HUKUM PENCATATAN PERKAWINAN

UNDANG-UNDANG NO 1 TAHUN 1974 Tentang Perkawinan Pasal 2 Ayat


2
Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
UNDANG-UNDANG NO 22 TAHUN 1946 Tentang Pencatatan Nikah,
Nikah, Talak dan Rujuk Pasal 1 Ayat 1
Nikah yang dilakukan menurut agama Islam, selanjutnya disebut nikah,
diawasi oleh Pegawai Pencatat Nikah yang diangkat oleh Menteri Agama
atau pegawai yang ditunjuk olehnya. Talak dan rujuk yang dilakukan
menurut agama Islam selanjutnya disebut talak dan rujuk, diberitahukan
kepada Pegawai Pencatat Nikah.
PP NOMOR 9 TAHUN 1975 Tentang Pelaksanaan UU No 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan Bab II
MANFAAT PENCATATAN PERKAWINAN
Mendapat perlindungan hukum
Memudahkan urusan perbuatan hukum lain yang terkait dengan pernikahan
Legalitas formal pernikahan di hadapan hukum
Terjamin keamanannya

AKIBAT HUKUM TIDAK DICATATNYA PERKAWINAN

Perkawinan Dianggap tidak Sah


Anak Hanya Mempunyai Hubungan Perdata dengan Ibu dan Keluarga Ibu
Anak dan Ibunya tidak Berhak atas Nafkah dan Warisan
PERSYARATAN DAN PROSEDUR PENCATATAN PERKAWINAN
Pencatatan Perkawinan di Daerah

Pasal 65
(1)Perkawinan yang sah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan
bagi mereka yang beragama selain Islam wajib dilaporkan oleh pemohon di
Dinas bagi Orang Asing dan di Suku Dinas bagi WNI.
(2)Pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan selambat-Iambatnya 60 (enam puluh) hari sejak tanggal
sahnya perkawinan.
(3)Pelaporan peristiwa perkawinan dieatat dalam register akta perkawinan
dan diterbitkan Kutipan Akta Perkawinan.
(4)Sebagai bukti pencatatan perkawinan kepada suami dan istri diberikan
Kutipan Akta Perkawinan.
(5)Penerbitan Kutipan Akta Perkawinan sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) diselesaikan selambat-Iambatnya 14 (empat belas) hari kerja sejak
tanggal pencatatan perkawinan
Pelaporan Pencatatan Perkawinan di Luar Negeri
Pasal 69
(1)Perkawinan yang dilangsungkan di luar negeri antar WNI atau WNI dengan Orang
Asing adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara tempat
perkawinan itu dilangsungkan dan tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku di
Indonesia.
(2)Perkawinan WNI atau WNI dengan Orang Asing sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan telah memperoleh akta perkawinan dari lembaga yang berwenang di luar
negeri atau dar! Perwakilan Republik Indonesia setempat, serta wajib dilaporkan oleh
yang bersangkutan, keluarga atau kuasa ke Dinas selambat- lambatnya 30 (tiga
puluh) hari sejak yang bersangkutan kembali ke Indonesia.
(3)Apabila negara setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak
menyelenggarakan pencatatan perkawinan bagi Orang Asing, pencatatan perkawinan
dilakukan pada Perwakilan Republik Indonesia setempat.
(4)Laporan perkawinan di Iuar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan (3)
direkam dalam database kependudukan, dicatat pada daftar register perkawinan luar
negeri dan diterbitkan Surat Keterangan Pelaporan Perkawinan Luar Negeri.
(5)Penerbitan Surat Pelaporan Perkawinan Luar Negeri sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) diselesaikan selambat-Iambatnya 5 (lima) hari sejak tanggal diterimanya
berkas persyaratan secara lengkap.
Ketentuan Pencatatan Perkawinan Beda Agama

Apabila diperhatikan lebih lanjut, ada satu pasal yang mengakomodir


pencatatan perkawinan beda agama, yaitu pasal 35 huruf a. Pasal tersebut
ditujukan untuk mengakomodir perkawinan beda agama yang selama ini
sulit dilaksanakan. Tetapi sebenarnya ketentuan tersebut kontroversial dan
mengundang perdebatan. Sebagai contohnya adalah apa yang
dipermasalahkan di bawah ini.
Pasal 35 huruf a Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Adminitrasi
Kependudukan berbunyi: Pencatatan perkawinan berlaku pula bagi
Perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan.

Penjelasannya bahwa yang dimaksud dengan perkawinan yang ditetapkan


oleh pengadilan adalah perkawinan yang dilakukan antar umat yang
berbeda agama
LARANGAN NIKAH SIRIH
nikah sirri dapat diartikan sebagai pernikahan yang rahasia atau dirahasiakan.
Dikatakan sebagai pernikahan yang dirahasiakan karena prosesi pernikahan
semacam ini sengaja disembunyikan dari public dengan berbagai alasan, dan
biasanya hanya dihadiri oleh kalangan terbatas keluarga dekat, tidak dimeriahkan
dalam bentuk resepsi walimatul ursy secara terbuka untuk umum.
ada 3 (tiga) bentuk atau model nikah sirri yang dilakukan dalam masyakat, yaitu:
Pertama: pernikahan antara seorang pria dengan seorang wanita yang sudah cukup
umur yang dilangsungkan di hadapan dan dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah
namun hanya dihadiri oleh kalangan terbatas keluarga dekat, tidak diumumkan
dalam suatu resepsi walimatul ursy.
Kedua, pernikahan antara seroang pria dan seorang wanita yang masih di bawah
umur menurut undang-undang, kedua-duanya masih bersekolah. Pernikahan ini
atas inisiatif dari orang tua kedua belah pihak calon suami isteri yang sepakat
menjodohkan anak-anak mereka dengan tujuan untuk lebih memastikan
perjodohan dan menjalin persaudaraan yang lebih akrab. Biasanya setelah akad
nikah mereka belum kumpul serumah dulu. Setelah mereka tamat sekolah dan
telah mencapai umur perkawinan, lalu mereka dinikahkan lagi secara resmi di
hadapan PPN yang menurut istilah jawa disebut munggah. Pernikahan semacam
ini pernah terjadi di sebagian daerah di Jawa Tengah pada tahun 1970an ke bawah.
Ketiga, model pernikahan antara seroang pria dan seroang
wanita yang sudah cukup umur menurut undang-undang akan
tetapi mereka sengaja melaksanakan perkawinan ini di bawah
tangan, tidak dicatatkan di KUA dengan berbagai alasan.
Pernikahan ini mungkin terjadi dengan alasan menghemat
biaya, yang penting sudah dilakukan menurut agama sehingga
tidak perlu dicatatkan di KUA. Atau mungkin, pernikahan itu
dilakukan oleh seseorang yang mampu secara ekonomi, akan
tetapi karena alasan tidak mau repot dengan segala macam
urusan administrasi dan birokrasi sehingga atau karena alasan
lain, maka ia lebih memilih nikah sirri saja.
Nikah siri tidak di anjurkan karena tidak memiliki landasan
hukum atau pengakuan negara sehingga rentan terjadi sengketa
tidak berkesudahan.
Meskipun nikah siri sah secara agama, tetapi nikah sirih tersebut
tidak memiliki kekuatan hukum . Dengan tidak adanya
kekuatan hukum , maka baik istri maupun anak berpotensi
menderita kerugian akabit pernikahan tersebut terkait dengan
hal nafkah dan hak warisannya.
Dari sudut pandang hukum yang berlaku di Indonesia,
nikah sirri merupakan perkawinan yang dilakukan tidak
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan
(2) UU No.1/1974 Jo. Pasal 4 dan Pasal 5 ayat (1) dan (2)
KHI, suatu perkawinan di samping harus dilakukan secara
sah menurut hukum agama, juga harus dicatat oleh pejabat
yang berwenang.
Dengan demikian, dalam perspektif peraturan perundang-
undangan, nikah sirri adalah pernikahan yang tidak
mempunyai kekuatan hukum. Perkawinan yang tidak
memiliki kekuatan hukum berdampak yuridis terhadap
hak-hak pelayanan publik oleh instansi yang berwenang
bagi pelakunya. Mereka tidak memperoleh perlindungan
dan pelayanan hukum oleh instansi yang berwenang
sebagaimana mestinya. Perkawinan mereka tidak diakui
dalam daftar kependudukan, bagi anak-anak mereka tidak
dapat memperoleh akte kelahiran dan seterusnya.
Bagi umat Islam Indonesia, ada dua persyaratan pokok yang
harus kita kondisikan sebagai syarat kumulatif, yang menjadikan
perkawinan sah menurut hukum positif, yaitu: pertama,
perkawinan harus dilakukan menurut hukum Islam, dan kedua,
setiap perkawinan harus dicatat. Pencatatan perkawinan
tersebut dilakukan oleh PPN sesuai UU No.22/1946 jo. UU
No.32/1954. Dengan demikian, tidak terpenuhinya salah satu
dari ketentuan dalam pasal 2 tersebut menyebabkan perkawinan
batal atau setidaknya cacat hukum dan dapat dibatalkan.
Berdasarkan logika hukum dari pasal 2 ayat 1 UUP tersebut
dapat ditarik kaidah hukum bahwa sah tidaknya perkawinan
hanya ditentukan oleh ajaran agama, bukan oleh undang-
undang. Dengan demikian yang memiliki otoritas menentukan
sah atau tidaknya suatu perkawinan adalah Syari (pembuat
syariat), bukan manusia atau kelompok manusia, baik melalui
legislasi ataupun yurisprudensi. Dengan demikian perkawinan
yang sah menurut agama maka sah menurut peraturan
perundang-undangan. Tidak ada dikhotomi antara hukum
agama dan hukum negara. Oleh karena itu pemahaman
terhadap ketentuan pasal 2 ayat (1) dan (2) harus bersifat integral
kumulatif, bukan parsial fakultatif.
Islam memandang perkawinan itu lebih dari sekedar
ikatan perjanjian biasa. Dalam Islam, perkawinan itu
merupakan perjanjian yang sangat kuat (mitsaqan
ghalidhan). Dengan kata lain, akad nikah bukanlah
muamalah biasa akan tetapi perjanjian yang sangat
kuat, seperti disebutkan dalam al-Qur'an surat an-
Nisa' ayat 21:
Artinya: Bagaimana kamu akan mengambilnya
kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul
(bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri.
dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari
kamu perjanjian yang kuat.
Pernikahan sirri (pernikahan di bawah tangan) tidak
mempunyai kekuatan hukum. Jadi, pernikahan sirri
merupakan perbuatan hukum yang tidak mempunyai
kekuatan hukum dalam sebuah Negara hukum
bernama Indonesia. Oleh sebab itu masyarakat Islam
Indonesia harus menghindari praktek perkawinan di
bawah tangan atau nikah sirri. Pencatatan perkawinan
adalah wajib hukumnya, bukan saja dipandang dari
sudut pandang hukum positif melainkan juga dalam
perspektif hukum Islam itu sendiri. Dengan demikian
pencatatan perkawinan bukan sekedar merupakan
pelaksanaan hukum administrasi Negara tetapi wajib
secara syari.

Anda mungkin juga menyukai