PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Allah SWT telah membekali dengan naluri syahwat terhadap kesenangan
dunia. Dari berbagai naluri yang dikaruniakan kepada manusia, naluri terhadap lawan
jenis bisa dikatakan sebagain syahwat terbesar yang ada dalam dirinya.
Kecenderungan ini sebelumnya juga telah ada dalam Al-Qur’an ketika Allah
menempatkan kecintaan laki-laki pada wanita dan sebaliknya, mendahului kecintaan
manusia kepada yang lainnya. Setiap manusia pasti mendambakan hal yang namanya
pernikahan, baik itu pria ataupun wanita, karena manusia itu diciptakan untuk
berpasang-pasangan dan pernikahan itu adalah suatu yang sangat sakral sehingga
orang terkadang harus berfikir seribu kali dalam memepersiapkan pernikhanannya.
Perkawinan juga merupakan bagian hidup yang sakral, karena harus
memperhatikan norma kaidah dalam bermasyarakat. Serta dengan berbagai macam
alasan yang bisa dibenarkan perkawinan sering dilakukan dalam berbagai macam
model seperti kawin bawa lari, kawin bawah tangan dan juga kawin kontrak sehingga
muncullah kawin yang skarang paling popular dimasyarakat yakni kawin sirri.
Perkawinan yang tidak dicatatkan ini adalah perkawinan yang dilakukan berdasarkan
aturan agama atau adat istiadat dan tidak dicatatkan di kantor pegawai pencatatan
nikah (KUA).
Adapun masalah pencatatan perkawinan yang tidak dilaksanakan tidaklah
menggangu keabsahan suatu perkawinan yang telah dilaksanakan sesuai hukum
islam. Karena sekedar menyangkut aspek administratif. Hanya saja jika suatu
perkawinan tidak di catatkan, maka suami-istri tersebut tidak memiliki bukti otentik
bahwa mereka telah melaksanakan suatu perkawinan yang sah. Akibatnya, dilihat
dari aspek yuridis, perkawinan tersebut tidak diakui pemerintah, sehingga tidak
mempunyai kekuatan hukum.
B. Permasalahan
Dalam makalah ini, permasalahan yang dibahas mengenai akibat hukum nikah siri
terhadap kedudukan anak di tinjau menurut undang-undang nomor 1 tahun 1974?
BAB II
PEMBAHASAN
C. Perkawinan Siri
Kata ”siri” menurut Aberan, khususnya dalam asas-asas perkawinan dari
segi etimologi yang berasal dari bahasa Arab sirra, israr yang secara harfiah
mengandung arti rahasia.1 Kawin siri menurut artinya adalah nikah yang
dilakukan secara sembunyi-sembunyi atau rahasia. Adapun nikah siri dalam
kitab-kitab fiqih tidak dikenal istilah nikah siri. Istilah ini lebih popular secara
lokal dalam fiqih perkawinan di Indonesia.
Nikah siri dalam konteks masyarakat di Indonesia sering dimaksudkan
yaitu perkawinan yang dilaksanakan secara sembunyi-sembunyi, tanpa
mengundang orang luar selain dari kedua keluarga mempelai, kemudian tidak
mendaftarkan perkawinannya kepada Kantor Urusan Agama (KUA) bagi orang
muslim dan Kantor Catatan Sipil bagi nonmuslim, sehingga perkawinan mereka
tidak mempunyai legalitas formal dalam hukum positif di Indonesia sebagaimana
yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Perkawinan yang dilakukannya tersebut selama rukun dan syaratnya terpenuhi
sesuai Hukum agama maka perkawinannya adalah sah dan isteri serta hasil
keturunannya berhak atas warisan jika suaminya meninggal dunia, namun
perkawinannya tidak mempunyai kekuatan hukum di mata negara atau standy in
judicio.
1
Aberan, “Asas-asas Perkawinan Menurut Islam”, Dalam Jurnal Kanun No.38 Tahun XIV
April 2004, (Banda Aceh: FH. Universitas Kuala, 2004), hlm. 215.
Dengan demikian dalam proses kawin siri yang dilaksanakan adalah rukun
atau wajib nikahnya saja, sedangkan sunah nikah tidak dilaksanakan, khususnya
mengenai pengumuman perkawinan atau yang disebut waliyah/perayaan. Dengan
demikian orang yang mengetahui pernikahan tersebut juga terbatas pada kalangan
tertentu saja.
Perkawinan ini biasanya terungkap ketika banyak orang mempertanyakan,
ada pasangan berlainan jenis sudah hidup bersama dalam satu keluarga.
Belakangan baru diketahui bahwa pasangan bersangkutan menikah, dan di
nikahkan oleh Kiyai atau Ulama atau orang yang dipandang telah mengetahui
hukum-hukum munakahat (pernikahan).
Menurut Dadang Hawari, riwayat pernikahan siri zaman dahulu berbeda
dengan zaman sekarang, dahulu belum ada negara dan belum ada administrasi
yang mengaturnya. Namun kini, segala urusan termasuk pernikahan sudah diatur
dan harus tercatat secara resmi. Di samping itu, bukan hanya untuk kepentingan
negara melainkan juga demi menjaga kehormatan wanita.
Dalam Pasal 3 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dinyatakan, bahwa
seorang pria hanya boleh memiliki satu istri dan demikian sebaliknya. Kalaupun
pria tersebut hendak menikah lagi untuk yang kesekian kalinya, dalam Pasal 4
diatur, bahwa ada syarat bagi si pria untuk melakukannya, syarat tersebut antara
lain harus mendapatkan izin pengadilan setempat, kemudian si istri tidak dapat
melahirkan keturunan, tidak bisa melakukan kewajiban sebagai seorang istri, serta
memiliki cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan. Kalaupun
kemudian semua syarat itu terpenuhi, dalam Pasal 5 juga diatur bahwa pernikahan
tersebut juga harus mendapat izin sang istri. Selain itu, ada kepastian bahwa
suami mampu menjamin kebutuhan istri dan anak mereka, serta suami bisa
berlaku adil kepada istri dan anak-anak mereka. Persyaratan inilah yang harus
dipenuhi oleh pria-pria yang akan menikah lagi. Namun karena dirasa sulit dan
merepotkan, banyak pria yang demi untuk menikah lagi, pada akhirnya membuat
keterangan palsu atau menikah kucing-kucingan. Inilah yang menurut Dadang
Hawari menjadi alasan haramnya nikah siri.
2
Martiman Projohamidjojo, Tanya Jawab UU Perkawinan dan Peraturan Pelaksanaan,
(Jakarta: Pradnya Paramita, 1991) hlm. 37.
merupakan hukum hidup, maka Pasal 280 KUHPerdata sekedar mengenai
pengakuan anak oleh ibunya harus dianggap sudah tidak berlaku.
Undang-undang Perkawinan menyatakan bahwa anak yang lahir diluar
kawin hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.
Artinya, si anak tidak mempunyai hubungan hukum terhadap ayahnya, baik yang
berkenaan dengan biaya kehidupan dan pendidikannya maupun warisannya. Bagi
mereka yang tunduk kepada hukum perdata, atas persetujuan ibu, seorang bapak
dapat melakukan pengakuan anak.3
Masalah pengakuan dan pengesahan anak luar kawin dalam Undang-
Undang No.1 tahun 1974 Tentang Perkawinan tidak diatur sehingga dalam
masalah pengakuan dan pengesahan masih mengacu pada Kitab Undanng-
Undang Hukum Perdata Barat. Pengakuan anak merupakan pengakuan yang
dilakukan oleh bapak atas anak yang lahir di luar perkawinan yang sah menurut
hukum.
Pada dasarnya, pengakuan anak bisa dilakukan oleh ibu maupun bapak,
tetapi karena berdasarkan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Pasal 43 yang pada
intinya menyatakan bahwa anak yang lahir di luar perkawinan tidak mempunyai
hubungan perdata dengan ayahnya, maka untuk mendapatkan hubungan perdata
yang baru seorang ayah dapat melakukan pengakuan anak. Inti dari Pasal 43
Undang-Undang No.1 Tahun 1974 maka dapat dilihat adanya persamaan antar
Undang-Undang No.1 tahun 1974 dengan konsep Hukum Islam, persamaannya
adalah seorang anak luar kawin secara langsung mempunyai hubungan hukum
dengan ibunya dan keluarga ibunya saja.
Akibat dari pengakuan anak di luar perkawinan oleh bapaknya adalah
bahwa anak yang diakui oleh bapaknya mempunyai hubungan keperdataan,
3
Tim Lbh-Apik, “Pengakuan Anak Luar Kawin”, terdapat disitus
http://www.lbh-apik.or.id/fac-39.htm,diakses Tanggal 30 Juli 2001,hlm .1
artinya anak memperoleh kedudukan yang lebih tinggi daripada kedudukan anak
di luar perkawinan yang tidak diakui dan apabila anak diakui oleh bapaknya, si
anak akan mendapat nama dari bapaknya (nama keluarga).
Pada intinya Undang-Undang No.1 tahun 1974 Tentang Perkawinan
memang tidak mengenal istilah pengakuan dan pengesahan anak luar kawin,
sehingga mengenai ketentuan yang mengatur tentang pengakuan dan pengesahan
anak luar kawin masih mengacu pada pasal-pasal di dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (BW) yaitu diatur dalam pasal 281 sampai dengan 286.
B. Saran
1. Di harapkan kepada seluruh masyarakat khususnya yang ada di Pohuwato, jangan
sekali-kali melakukan perkawinan yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-
undangan karena akan menimbulkan ketidak pastian hukum, dalam hal ini yang
disebut perkawinan siri yang tentunya banyak merajalela dikalangan masyarakat
saat ini.
2. Mengingat banyaknya nikah siri di kalangan masyarakat, khususnya di daerah
Pohuwato, maka kepada Pemerintah kiranya dapat lebih aktif dalam melakukan
penyuluhan-penyuluhan hukum tentang nikah siri dan dampaknya bagi anak.
Karena dampak dari pernikahan ini sangatlah merugikan khususnya buat anak
yang dilahirkan dari pernikahan siri nantinya.
3. Karena pada realitanya perkawinan siri ini susah untuk di hilangkan pada
kebiasaan masyarakat populer saat ini ataupun akan datang, di tambah lagi sudah
terbitnya putusan MK No 46/PUU-VIII/2010 mengenai revisi Undang-Undang
No 1 Tahun 1974 pasal 43 ayat 1. Maka diharapkan kepada aparat pemerintah
agar dapat membuat aturan yang pasti mengenai perkawinan siri.
DAFTAR PUSTAKA
Aberan, “Asas-asas Perkawinan Menurut Islam”, Dalam Jurnal Kanun No.38 Tahun
XIV April 2004, (Banda Aceh: FH. Universitas Kuala, 2004), hlm. 215.
D.Y. Witanto, Hukum Keluarga Hak Dan Kedudukan Anak Luar Kawin: Pasca
Keluarnya Putusan MK Tentang Uji Materiil UU Perkawinan. (Jakarta: Prestasi
Pustaka, 2012), hlm. 106-107.
TUGAS
HUKUM PERKAWINAN ISLAM
TINJAUAN TERHADAP
PERKAWINAN YANG SAH DAN PERKAWINAN SIRI
OLEH:
SEPTIO J PRABOWO
3014210405
KELAS : B
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PANCASILA
JAKARTA
2015