Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Allah SWT telah membekali dengan naluri syahwat terhadap kesenangan
dunia. Dari berbagai naluri yang dikaruniakan kepada manusia, naluri terhadap lawan
jenis bisa dikatakan sebagain syahwat terbesar yang ada dalam dirinya.
Kecenderungan ini sebelumnya juga telah ada dalam Al-Qur’an ketika Allah
menempatkan kecintaan laki-laki pada wanita dan sebaliknya, mendahului kecintaan
manusia kepada yang lainnya. Setiap manusia pasti mendambakan hal yang namanya
pernikahan, baik itu pria ataupun wanita, karena manusia itu diciptakan untuk
berpasang-pasangan dan pernikahan itu adalah suatu yang sangat sakral sehingga
orang terkadang harus berfikir seribu kali dalam memepersiapkan pernikhanannya.
Perkawinan juga merupakan bagian hidup yang sakral, karena harus
memperhatikan norma kaidah dalam bermasyarakat. Serta dengan berbagai macam
alasan yang bisa dibenarkan perkawinan sering dilakukan dalam berbagai macam
model seperti kawin bawa lari, kawin bawah tangan dan juga kawin kontrak sehingga
muncullah kawin yang skarang paling popular dimasyarakat yakni kawin sirri.
Perkawinan yang tidak dicatatkan ini adalah perkawinan yang dilakukan berdasarkan
aturan agama atau adat istiadat dan tidak dicatatkan di kantor pegawai pencatatan
nikah (KUA).
Adapun masalah pencatatan perkawinan yang tidak dilaksanakan tidaklah
menggangu keabsahan suatu perkawinan yang telah dilaksanakan sesuai hukum
islam. Karena sekedar menyangkut aspek administratif. Hanya saja jika suatu
perkawinan tidak di catatkan, maka suami-istri tersebut tidak memiliki bukti otentik
bahwa mereka telah melaksanakan suatu perkawinan yang sah. Akibatnya, dilihat
dari aspek yuridis, perkawinan tersebut tidak diakui pemerintah, sehingga tidak
mempunyai kekuatan hukum.

B. Permasalahan
Dalam makalah ini, permasalahan yang dibahas mengenai akibat hukum nikah siri
terhadap kedudukan anak di tinjau menurut undang-undang nomor 1 tahun 1974?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Perkawinan yang Sah


Sah berarti menurut hukum yang berlaku. Jika perkawinan itu
dilaksanakan tidak menurut hukum yang telah ditentukan maka perkawinan itu
tidak sah. Kalau perkawinan tidak menurut aturan hukum agama berarti
perkawinan tidak sah menurut agama. Begitu pula dengan perkawinan yang tidak
sesuai dengan tertib hukum adat tidak sah menurut hukum adat . Jadi, hal
mengenai sahnya perkawinan bisa menurut peraturan perundang-
undangan,menurut hukum adat dan menurut hukum agamanya. Berikut
pandangan sahnya suatu perkawinan dari ketiga sudut pandang tersebut diatas
1. Menurut hukum agama
Perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan menurut tata cara
yang berlaku dalam agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Budha .
2. Menurut hukum adat
Sahnya perkawinan menurut hukum adat bagi masyarakat hukum adat di
Indonesia pada umumnya bergantung pada agama yang dianut masyarakat
adat bersangkutan. Maksudnya adalah jika telah dilaksanakan menurut tata
tertib hukum agamanya maka perkawinan itu sah menurut hukum adat kecuali
bagi mereka yang belum menganut agama yang diakui oleh pemerintah.
Hanya saja walaupun sudah sah menurut agama kepercayaan yang dianut
masyarakat adat belum tentu sah menjadi warga adat dari masyarakat adat
bersangkutan, contohnya di masyarakat Lampung yang memerlukanu upacara
peresmian perkawinan yang merupakan upacara perkawinan adat.
3. Menurut ketentuan perundang-undangan
a. Sahnya perkawinan menurut perundangan diatur dalam Pasal 2 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang
menyatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut
hukum agama masing-masing. Perkawinan yang sah adalah perkawinan
yang dilaksanakan menurut tata tertib aturan salah satu agama calon
suami/istri .
b. Dalam Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan dikatakan perkawinan dicatat
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan ini
berguna untuk mendapatkan akta nikah yang nantinya digunakan sebagai
pembuktian dan sebagai dasar hukum yang kuat untuk perbuatan hukum
di masa yang akan datang, seperti kelahiran, pewarisan, dll.

B. Prosedur Perkawinan Sah


Bagi penduduk yang beragama Islam, prosesi pernikahan dan pendaftaran
dilakukan di Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan domisili laki-laki atau
perempuan. Berikut prosedur perkawinan sah:
1. Kedua calon mempelai mendaftarkan kehendak melangsungkan perkawinan.
Kehendak ini dilakukan secara lisan atau tertulis oleh calon mempelai atau
orang tua atau walinya (Pasal 4 PP Nomor 9 Tahun 1975). Kehendak ini wajib
dilakukan minimal 10 (sepuluh) hari sebelum upacara perkawinan
dilangsungkan. Namun, hal ini dapat dikesampingkan dengan alasan tertentu
yang dituangkan dalam surat dispensasi dari Camat setempat. Kedua calon
mempelai harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. Menyerahkan fotokopi Kartu Keluarga, Kartu Tanda Penduduk.
b. Memperoleh surat keterangan dari Kelurahan setempat. Surat ini didapat
dari kediaman masing-masing mempelai. Surat-surat ini meliputi:
• N1: Surat Keterangan untuk Nikah
• N2: Surat Keterangan Asal Usul
• N3: Surat Keterangan Persetujuan Mempelai
• N4: Surat Keterangan tentang Orang Tua
• N5: Surat Keterangan Izin Orangtua bilamana calon mempelai wanita
masih berada di bawah 21 tahun tetapi sudah melampaui umur 16 tahun.
Apabila calon istri belum mencapai umur 16 tahun maka meminta
dispensasi dari pengadilan (Pasal 7 ayat (2) UU Perkawinan). Untuk calon
suami yang belum mencapai umur 19 tahun dan masih berada di bawah 21
tahun harus meminta keterangan dispensasi pengadilan (Pasal 7 ayat (2)
UU Perkawinan) yang nantinya akan dilampirkan ke Kantor Urusan
Agama (KUA).
Surat ini didapatkan dengan membawa Surat Pengantar dari RT/RW,
yang menerangkan bahwa kedua calon mempelai itu akan melangsungkan
pernikahan.
c. Pas foto ukuran 2 x 3 sebanyak 3 lembar untuk KUA. Foto calon pasangan
suami istri terpisah.
d. Surat keterangan dari KUA setempat apabila calon mempelai bertempat
tinggal di luar ruang lingkup KUA tempat mereka mendaftar. Untuk laki-
laki disebut surat numpang nikah dan untuk perempuan disebut
rekomendasi.
e. Akta cerai bagi mereka yang telah melangsungkan pernikahan
sebelumnya, baik duda maupun janda.
f. Membuat surat pernyataan belum pernah menikah bagi calon mempelai
yang berusia diatas 23 tahun.
Apabila syarat-syarat ini belum terpenuhi maka akta pernikahan tidak
dapat dibuat. Pasangan yang mendaftarkan kehendak untuk melangsungkan
perkawinan, tetapi selama 3 (tiga) bulan tidak melengkapi persyaratan yang
diperlukan, maka pendaftaran kehendak tersebut dianggap batal demi hukum.
2. Setelah dipenuhinya tata cara dan syarat-syarat pemberitahuan serta tiada
suatu halangan perkawinan, Pegawai Pencatat menyelenggarakan
pengumuman tentang kehendak melangsungkan perkawinan dengan cara
menempelkan pengumuman tentang pemberitahuan kehendak melangsungkan
perkawinan di suatu tempat yangtelah ditentukan. Pengumuman ini berisikan:
a. Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman dari calon
mempelai dan dari orang tua calon mempelai; apabila salah seorang atau
keduanya pernah kawin disebutkan nama isteri dan atau suami mereka
terdahulu;
b. Hari, tanggal, jam dan tempat perkawinan akan dilangsungkan.
3. Setelah 10 (sepuluh) hari pengumuman, maka pernikahan dapat
dilangsungkan. KUA menyiapkan surat-surat nikah dan wali nikah. Wali
nikah terbagi menjadi 2 ( dua ) yaitu:
• Wali yang mempunyai hubungan keluarga, disebut Nashab.
• Wali yang tidak ada hubungan keluarga, misalnya hakim.
Perkawinan tersebut dilakukan dengan tatacara Islam, yaitu dengan ijab kabul,
memberikan mas kawin, serta dihadiri saksi dari kedua belah pihak.
4. Setelah menikah, mereka menandatangani Akta Nikah dan Buku Nikah, yang
telah disiapkan sebelumnya oleh petugas KUA. Akta nikah merupakan arsip
negara, yang dibuat rangkap 2 (dua), yaitu untuk KUA sebanyak 1 (satu) buah
dan 1 (satu) untuk Pengadilan Agama. Buku nikah merupakan kutipan dari
akta nikah. Tanpa adanya buku nikah dan akta nikah dari petugas KUA, maka
penghulu tidak berani menikahkan kedua mempelai sebab pasti ada
persyaratan yang belum dipenuhi.
Bagi pasangan yang melangsungkan pernikahan di KUA, tanda tangan
mereka dibubuhkan di Akta Nikah dan Buku Nikah. Namun, apabila mereka
menikah di tempat lain, seperti masjid, hotel, dan sebagainya maka tanda
tangan dibubuhkan di Daftar Pemeriksaan Nikah. Dengan selesainya tahap ini,
maka perkawinan mereka telah sah dan tercatat dengan resmi.

C. Perkawinan Siri
Kata ”siri” menurut Aberan, khususnya dalam asas-asas perkawinan dari
segi etimologi yang berasal dari bahasa Arab sirra, israr yang secara harfiah
mengandung arti rahasia.1 Kawin siri menurut artinya adalah nikah yang
dilakukan secara sembunyi-sembunyi atau rahasia. Adapun nikah siri dalam
kitab-kitab fiqih tidak dikenal istilah nikah siri. Istilah ini lebih popular secara
lokal dalam fiqih perkawinan di Indonesia.
Nikah siri dalam konteks masyarakat di Indonesia sering dimaksudkan
yaitu perkawinan yang dilaksanakan secara sembunyi-sembunyi, tanpa
mengundang orang luar selain dari kedua keluarga mempelai, kemudian tidak
mendaftarkan perkawinannya kepada Kantor Urusan Agama (KUA) bagi orang
muslim dan Kantor Catatan Sipil bagi nonmuslim, sehingga perkawinan mereka
tidak mempunyai legalitas formal dalam hukum positif di Indonesia sebagaimana
yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Perkawinan yang dilakukannya tersebut selama rukun dan syaratnya terpenuhi
sesuai Hukum agama maka perkawinannya adalah sah dan isteri serta hasil
keturunannya berhak atas warisan jika suaminya meninggal dunia, namun
perkawinannya tidak mempunyai kekuatan hukum di mata negara atau standy in
judicio.

1
Aberan, “Asas-asas Perkawinan Menurut Islam”, Dalam Jurnal Kanun No.38 Tahun XIV
April 2004, (Banda Aceh: FH. Universitas Kuala, 2004), hlm. 215.
Dengan demikian dalam proses kawin siri yang dilaksanakan adalah rukun
atau wajib nikahnya saja, sedangkan sunah nikah tidak dilaksanakan, khususnya
mengenai pengumuman perkawinan atau yang disebut waliyah/perayaan. Dengan
demikian orang yang mengetahui pernikahan tersebut juga terbatas pada kalangan
tertentu saja.
Perkawinan ini biasanya terungkap ketika banyak orang mempertanyakan,
ada pasangan berlainan jenis sudah hidup bersama dalam satu keluarga.
Belakangan baru diketahui bahwa pasangan bersangkutan menikah, dan di
nikahkan oleh Kiyai atau Ulama atau orang yang dipandang telah mengetahui
hukum-hukum munakahat (pernikahan).
Menurut Dadang Hawari, riwayat pernikahan siri zaman dahulu berbeda
dengan zaman sekarang, dahulu belum ada negara dan belum ada administrasi
yang mengaturnya. Namun kini, segala urusan termasuk pernikahan sudah diatur
dan harus tercatat secara resmi. Di samping itu, bukan hanya untuk kepentingan
negara melainkan juga demi menjaga kehormatan wanita.
Dalam Pasal 3 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dinyatakan, bahwa
seorang pria hanya boleh memiliki satu istri dan demikian sebaliknya. Kalaupun
pria tersebut hendak menikah lagi untuk yang kesekian kalinya, dalam Pasal 4
diatur, bahwa ada syarat bagi si pria untuk melakukannya, syarat tersebut antara
lain harus mendapatkan izin pengadilan setempat, kemudian si istri tidak dapat
melahirkan keturunan, tidak bisa melakukan kewajiban sebagai seorang istri, serta
memiliki cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan. Kalaupun
kemudian semua syarat itu terpenuhi, dalam Pasal 5 juga diatur bahwa pernikahan
tersebut juga harus mendapat izin sang istri. Selain itu, ada kepastian bahwa
suami mampu menjamin kebutuhan istri dan anak mereka, serta suami bisa
berlaku adil kepada istri dan anak-anak mereka. Persyaratan inilah yang harus
dipenuhi oleh pria-pria yang akan menikah lagi. Namun karena dirasa sulit dan
merepotkan, banyak pria yang demi untuk menikah lagi, pada akhirnya membuat
keterangan palsu atau menikah kucing-kucingan. Inilah yang menurut Dadang
Hawari menjadi alasan haramnya nikah siri.

D. Sebab-sebab Terjadinya Perkawinan Siri


Kebanyakan orang meyakini bahwa pernikahan siri dipandang sah
menurut islam apabila telah memenuhi rukun dan syaratnya, meskipun
pernikahan tersebut tidak di catatkan resmi. Begitu pula sebaliknya, suatu
perceraian di pandang sah apabila telah memenuhi rukun dan syarat-syaratnya,
meskipun perceraian itu dilakukan di luar siding pengadilan. Akibat kenyataan
tersebut, maka timbul semacam dualism hukum yang berlaku di Negara
Indonesia, yaitu dari satu sisi pernikahan harus dicatatkan di kantor urusan agama
(KUA), namun di sisi lain tanpa dicatatkan pun ternyata tetap sah apabila
memenuhi ketentuan syariat agama.
1. Zina Akibat Ber-Khalwat
Tidak semua orang memiliki kesiapan mental untuk menikah, apalagi
disebabkan oleh factor hubungan seksual di luar nikah (Zina) akibat pacaran
(Khalwat) yang berkepanjangan. Rasa penyesalan atas dosa yang telah
dilakukan serta tuntutan tanggung jawab untuk melanjutkan hubungan kasih
saying, terkadang memaksa seseorang untuk keluar dari kenyataan, meskipun
dengan cara yang terkadang tidak lazim, seperti melakukan pernikahan siri.
Bagi seorang laki-laki pernikahan dapat dijadikan sebagai jalan untuk
membuktikan adanya kasih sayang dan tuntutan rasa tanggung jawab dari
seorang wanita yang baru dikenalnya. Bahkan dengan janji-janji manis untuk
menikah tersebut, tidak sedikit wanita yang tergoda begitu saja untuk
menyerahkan dirinya kepada seorang laki-laki.
Kenyataan menunjukan, bahwa nikah siri sering dijadikan media bagi
sepasang kekasih yang ber-khalwat untuk melegalkan perikatan. Khalwat
(pacaran) adalah perbuatan bersunyi-sunyi antara dua orang mukallaf atau
lebih berlainan jenis yang bukan muhrim tanpa ikatan perkawinan. Karena itu
menurut pandangan syariat, pacaran (khalwat) hukumnya diharamkan.
Adapun yang menjadi dasar hukum bahwa khalwat hukumnya haram adalah
QS. Al Isra : 32 yang artinya: “dan janganlah kamu mendekati zina,
sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji (fahisyah) dan suatu
jalan yang buruk”.
2. Nikah Untuk Bercerai
Biasanya orang yang mempunyai niat menikah tetapi hanya un tuk
sementara waktu (bercerai), ada kecenderungan akan mengambil jalan nikah
siri. Trend nikah siri dijadikan sebagai pilihan, karena dinilai selain lebih
mudah, dari segi prosedur juga dapat membebaskan para pelakunya dari
beban hukum. Akibatnya, mempelai wanita yang seharusnya mendapatkan
perlindungan hukum terkait dengan pelaksanaan hak dan kewajiban dalam
rumah tangga justru menjadi tdak menentu nasibnya. Suatu pernikahan yang
sejak awalnya di niatkan dengan baik bisa saja gagal ditengah jalan, apalagi
pernikahan karena alasan dan tujuan tertentu, misalnya hanya sekadar
menghalalkan nafsu birahi yang muncul sesaat. Apabila nafsu birahi sudah
hilang, maka dengan seenaknya para pelaku nikah siri keluar dari komitmen
mereka. Suami dengan seenaknya meninggalkan istri-anaknya dan menikah
dengan wanita lain. Begitu pula sebaliknya, istri dengan seenaknya
menelantarkan suami dan lari ke pelukan laki-laki lain. Tidak ada kekuatan
hukum Negara yang dapat menghukum mereka, kecuali sebelunya terdaftar
secara resmi.
3. Poligami
Jika dikaitkan, poligami dapat mempunyai hubungan yang erat dengan
nikah siri, terutama ketika makna nikah siri dipahami sebagai pernikahan yang
sembunyi-sembunyi ( tanpa sepengetahuan pemerintah melalui pegawai
pencatat nikah ). Dikatakan berpoligami ( ta’addud zaujat ), apabila seorang
laki-laki menikah lebih dari satu oaring istri pada waktu yang bersamaan.
Pengadilan dapat member izin kepada suami untuk beristri lebih dari
satu orang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Izin dari
peradilan agama dapat diberikan kepada seorang suami yang akan
berpoligami apabila berlaku ketentuan:
a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri
b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan
Namun untuk dapat berpoligami syarat lain yang harus dipenuhi adalah:
a. Adanya persetujuan dari pihak istri, ( baik secara lisan maupun tertulis )
b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-
istri dan anak-anak mereka.
c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan
anak-anak mereka.
Berlakunya peraturan poligami yang mengharuskan adanya
persetujuan dari pihak istri yang mendapatkan pengesahan dari pengadilan
agama, ternyata menyebabkan seseorang yang mempunyai niat untuk
poligami berusaha mengambil jalan pintas dengan melangsungkan pernikahan
secara siri. Melalui pernikahan ini, mereka yakin akan mendapatkan
kemudahan, disamping dapat menghindari dari beban hukum yang mungkin
diterimanya.
E. Kedudukan Anak Dari Perkawinan Siri
Sesuai dengan Pasal 43 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan hanya mengatakan bahwa :
1. Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata
dengan ibunya
2. Kedudukan anak tersebut (1) selanjutnya akan diatur dalam PP.
Menurut Martiman Prodjohamidjojo, yang dimaksud dengan hubungan
hukum anak sah dan anak tidak sah terhadap orang tuanya adalah : “Hubungan
hukum itu ialah hubungan yang ditur oleh hukum, yang mempunyai 2 (dua) segi
yakni: pada satu segi ia merupakan hak dan pada segi pihak lain merupakan
kewajiban.2
Anak yang dilahirkan sebagai akibat perkawinan (anak sah), mempunyai
hubungan hukum atau hubungan keperdataan terhadap ayah dan ibunya. Anak
luar nikah (anak tidak sah) tidak mempunyai hubungan hukum atau hubungan
keperdataan dengan bapaknya. Anak itu hanya mempunyai hubungan hukum atau
keperdataan dengan ibunya yang melahirkan, akan tetapi menurut undang-undang
aneh sekali, agar ada hubungan keperdataan antara anak yang dilahirkan di luar
perkawinan dan ibunya, maka ibu harus mengakui anaknya.
Tanpa pengakuan, maka tidak ada hubungan keperdataan antara anak dan
ibunya, yang berarti bahwa menurut undang-undang anak itu tidak mempunyai
ibu dan bukan anak ibunya”.
Peraturan yang aneh itu bertentangan dengan logika ini berasal dari Kitab
Undang-Undang Perdata Belanda, yang dinegeri Belanda sudah dihapus sejak
tahun 1947. Di Indonesia, karena kitab Hukum Perdata Eropa tidak dianggap
sebagai undang-undang dan ketentuan itu hanya berlaku jika benar-benar

2
Martiman Projohamidjojo, Tanya Jawab UU Perkawinan dan Peraturan Pelaksanaan,
(Jakarta: Pradnya Paramita, 1991) hlm. 37.
merupakan hukum hidup, maka Pasal 280 KUHPerdata sekedar mengenai
pengakuan anak oleh ibunya harus dianggap sudah tidak berlaku.
Undang-undang Perkawinan menyatakan bahwa anak yang lahir diluar
kawin hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.
Artinya, si anak tidak mempunyai hubungan hukum terhadap ayahnya, baik yang
berkenaan dengan biaya kehidupan dan pendidikannya maupun warisannya. Bagi
mereka yang tunduk kepada hukum perdata, atas persetujuan ibu, seorang bapak
dapat melakukan pengakuan anak.3
Masalah pengakuan dan pengesahan anak luar kawin dalam Undang-
Undang No.1 tahun 1974 Tentang Perkawinan tidak diatur sehingga dalam
masalah pengakuan dan pengesahan masih mengacu pada Kitab Undanng-
Undang Hukum Perdata Barat. Pengakuan anak merupakan pengakuan yang
dilakukan oleh bapak atas anak yang lahir di luar perkawinan yang sah menurut
hukum.
Pada dasarnya, pengakuan anak bisa dilakukan oleh ibu maupun bapak,
tetapi karena berdasarkan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Pasal 43 yang pada
intinya menyatakan bahwa anak yang lahir di luar perkawinan tidak mempunyai
hubungan perdata dengan ayahnya, maka untuk mendapatkan hubungan perdata
yang baru seorang ayah dapat melakukan pengakuan anak. Inti dari Pasal 43
Undang-Undang No.1 Tahun 1974 maka dapat dilihat adanya persamaan antar
Undang-Undang No.1 tahun 1974 dengan konsep Hukum Islam, persamaannya
adalah seorang anak luar kawin secara langsung mempunyai hubungan hukum
dengan ibunya dan keluarga ibunya saja.
Akibat dari pengakuan anak di luar perkawinan oleh bapaknya adalah
bahwa anak yang diakui oleh bapaknya mempunyai hubungan keperdataan,

3
Tim Lbh-Apik, “Pengakuan Anak Luar Kawin”, terdapat disitus
http://www.lbh-apik.or.id/fac-39.htm,diakses Tanggal 30 Juli 2001,hlm .1
artinya anak memperoleh kedudukan yang lebih tinggi daripada kedudukan anak
di luar perkawinan yang tidak diakui dan apabila anak diakui oleh bapaknya, si
anak akan mendapat nama dari bapaknya (nama keluarga).
Pada intinya Undang-Undang No.1 tahun 1974 Tentang Perkawinan
memang tidak mengenal istilah pengakuan dan pengesahan anak luar kawin,
sehingga mengenai ketentuan yang mengatur tentang pengakuan dan pengesahan
anak luar kawin masih mengacu pada pasal-pasal di dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (BW) yaitu diatur dalam pasal 281 sampai dengan 286.

F. Hak-hak Anak Akibat Nikah Siri


Status anak di luar nikah dalam sistem Hukum Perdata Barat
(KUHPerdata), sistem Hukum Adat, dan sistem Hukum Islam termasuk dalam
sejumlah ketentuan hukum positif seperti Undang-Undang No. 1 Tahun 1974,
dipandang kurang memberikan perlindungan hukum, anak di luar nikah sebagai
anak yang lahir dari hubungan yang tidak diikat dengan perkawinan yang sah
tidak jarang menjadi korban seperti kasus-kasus pembuangan bayi, penelantaran
bayi, dan lain-lainnya. Padahal, anak, siapapun dan apapun statusnya berhak
untuk hidup dan melanjutkan kehidupannya.
Prinsip pengaturan tentang anak luar kawin dalam hubungan kekeluargaan
dengan ayah dan ibunya mendapat pengaruh yang sangat besar dari asas
perkawinan monogami yang dianut oleh KUHPerdata, sebagaimana diatur dalam
Pasal 27 yang berbunyi: “Pada waktu yang sama seorang lelaki hanya boleh
terikat oleh perkawinan dengan satu orang perempuan saja dan seorang
perempuan hanya dengan satu seorang lelaki saja” dan asas pengakuan mutlak
sebagaimana diatur dalam Pasal 280 KUH Perdata yang berbunyi: “Dengan
pengakuan terhadap anak diluar kawin terlahirlah hubungan perdata antara anak
itu dengan ayah dan ibunya” sehingga hukum perdata barat menganut prinsip
bahwa hubungan keperdataan antara anak luar kawin dengan orang tua
biologisnya tidak terjadi dengan sendirinya, baik kepada ayahnya maupun kepada
ibunya. Prinsip tersebut sangat berbeda dengan konsep yang dianut oleh hukum
Islam maupun hukum perkawinan (Undang-Undang Perkawinan) yang mana
hubungan perdata antara anak luar kawin dengan pihak ibu terjadi secara otomatis
sejak si anak itu lahir.4
Sebagai akibat dari hubungan perdata dengan pihak ibu dan keluarga
ibunya, anak tersebut hanya akan mendapatkan hak waris dari ibu dan keluarga
ibunya saja, termasuk segala bentuk pemeliharaan sampai anak itu dewasa hanya
menjadi tanggungjawab ibunya. Sekilas saja ketentuan tersebut mengandung
ketidakadilan bagi si ibu dan anaknya, karena untuk membenihkan anak tersebut
dalam rahim ibunya pasti ada peran dari pihak laki-laki sebagai ayah biologisnya.
Lalu karena si ayah tidak mengakui atau tidak kawin dengan si perempuan
itu, maka hubungan keperdataannya menjadi terputus dengan si ayah, padahal
hubungan hukum tersebut sangat diperlukan oleh si anak untuk bisa menuntut hak
pemeliharaan yang wajar seperti halnya anak-anak yang lain pada umumnya.
Syarat seorang anak luar kawin untuk bisa mendapatkan hak waris dari
orang tua biologisnya menurut hukum perdata barat sebagaimana diatur dalam
Pasal 872 KUH Perdata adalah jika ia telah diakui oleh orang tua biologisnya
karena KUH Perdata menganut prinsip bahwa hanya mereka yang mempunyai
hubungan keperdataan dengan si pewaris saja yang berhak mewaris. Hubungan
hukum antara anak luar kawin dengan ayah atau ibunya timbul setelah adanya
pengakuan dari ayah dan ibunya tersebut, dalam arti bahwa hubungan hukum itu
hanya ada antara anak luar kawin yang telah mendapat pengakuan dengan ayah
atau ibu yang mengakuinya saja.5
4
D.Y. Witanto, Hukum Keluarga Hak Dan Kedudukan Anak Luar Kawin: Pasca Keluarnya
Putusan MK Tentang Uji Materiil UU Perkawinan. (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2012), hlm. 106-107.
5
Ibid., hlm. 146-147.
G. Kedudukan Anak Setelah Adanya Putusan MK No 46/PUU-VIII/2010
Sebagaimana pada penjelasan sebelumnya, bahwa anak yang dilahirkan
diluar perkawinan yang sah hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya
dan keluarga ibunya. Hal ini sesuai dengan ketentuan Undang-Undang No 1
Tahun 1974 Pasal 43 ayat (1). Namun, Pasal ini dimaknai berbeda setelah adanya
Putusan MK No 46/PUU-VIII/2010 yang dikeluarkan pada tanggal 17 Februari
2012, yang pada pokoknya sebagai berikut:
1. Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) yang menyatakan, “Anak
yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata
dengan ibunya dan keluarga ibunya”, bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang dimaknai
menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan
berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut
hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya;
2. Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) yang menyatakan, “Anak
yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata
dengan ibunya dan keluarga ibunya”, tidak memiliki kekuatan hukum
mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-
laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi
dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah
sebagai ayahnya, sehingga ayat tersebut harus dibaca, “Anak yang dilahirkan
di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga
ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan
berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut
hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan
keluarga ayahnya”;
Putusan diatas, didasarkan pada pertimbangan bahwa pokok permasalahan
hukum mengenai anak yang dilahirkan di luar perkawinan adalah mengenai
makna hukum (legal meaning) frasa “yang dilahirkan di luar perkawinan”. Untuk
memperoleh jawaban dalam perspektif yang lebih luas perlu dijawab pula
permasalahan terkait, yaitu permasalahan tentang sahnya anak. Secara alamiah,
tidaklah mungkin seorang perempuan hamil tanpa terjadinya pertemuan antara
ovum dan spermatozoa baik melalui hubungan seksual (coitus) maupun melalui
cara lain berdasarkan perkembangan teknologi yang menyebabkan terjadinya
pembuahan. Oleh karena itu, tidak tepat dan tidak adil manakala hukum
menetapkan bahwa anak yang lahir dari suatu kehamilan karena hubungan
seksual di luar perkawinan hanya memiliki hubungan dengan perempuan tersebut
sebagai ibunya. Adalah tidak tepat dan tidak adil pula jika hukum membebaskan
laki-laki yang melakukan hubungan seksual yang menyebabkan terjadinya
kehamilan dan kelahiran anak tersebut dari tanggung jawabnya sebagai seorang
bapak dan bersamaan dengan itu hukum meniadakan hak-hak anak terhadap lelaki
tersebut sebagai bapaknya. Lebih-lebih manakala berdasarkan perkembangan
teknologi yang ada memungkinkan dapat dibuktikan bahwa seorang anak itu
merupakan anak dari laki-laki tertentu.
Akibat hukum dari peristiwa hukum kelahiran karena kehamilan, yang
didahului dengan hubungan seksual antara seorang perempuan dengan seorang
laki-laki, adalah hubungan hukum yang di dalamnya terdapat hak dan kewajiban
secara bertimbal balik, yang subjek hukumnya meliputi anak, ibu, dan bapak.
Berdasarkan uraian di atas, hubungan anak dengan seorang laki-laki sebagai
bapak tidak semata-mata karena adanya ikatan perkawinan, akan tetapi dapat juga
didasarkan pada pembuktian adanya hubungan darah antara anak dengan laki-laki
tersebut sebagai bapak. Dengan demikian, terlepas dari soal prosedur/administrasi
perkawinannya, anak yang dilahirkan harus mendapatkan perlindungan hukum.
Jika tidak demikian, maka yang dirugikan adalah anak yang dilahirkan di luar
perkawinan, padahal anak tersebut tidak berdosa karena kelahirannya di luar
kehendaknya. Anak yang dilahirkan tanpa memiliki kejelasan status ayah
seringkali mendapatkan perlakuan yang tidak adil dan stigma di tengah-tengah
masyarakat. Hukum harus memberi perlindungan dan kepastian hukum yang adil
terhadap status seorang anak yang dilahirkan dan hak-hak yang ada padanya,
termasuk terhadap anak yang dilahirkan meskipun keabsahan perkawinannya
masih dipersengketakan.
Oleh karena itu, berdasarkan uraian tersebut di atas maka Pasal 43 ayat (1)
Undang-Undang No 1 Tahun 1974 yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di
luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga
ibunya” harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai
hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki
sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan
teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah,
termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”, dan Pasal 43 ayat (1)
Undang-Undang No 1 Tahun 1974 yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di
luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga
ibunya” adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 secara
bersyarat (conditionally unconstitutional) yakni inkonstitusional sepanjang ayat
tersebut dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat
dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain
menurut hukum mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan menyatakan bahwa
perkawinan itu dikatakan sah jika di catatkan sesuai dengan ketentuan Pasal 2
ayat (2), oleh karena itu nikah siri di anggap tidak sah karena tidak memenuhi
unsure pasal tersebut.
2. Sedangkan menurut Hukum Islam Nikah siri itu dikatakan sah jika telah
memenuhi syarat sahnya perkawinan dan dilaksanakan menurut hukum masing-
masing agama dan kepercayaannyan, hal ini berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Pasal 4 Kompilasi Hukum Islam. Atau dengan
kata lain perkawinan sah menurut hukum islam apabila memenuhi syarat dan
rukun nikah.
3. Sebelum adanya putusan MK No 46/PUU-VIII/2010, anak dari hasil nikah siri
hanya mempunyai hubungan keperdataan dengan ibunya dan keluwarga ibunya.
Sedangkan setelah adanya putusan MK No 46/PUU-VIII/2010, anak dari hasil
nikah siri tidak hanya memiliki hubungan perdata dengan ibu dan keluawarga
ibunya, akan tetapi dapat pula memiliki hubungan keperdataan dengan ayahnya
jika mendapat pengakuan dari ayah biologisnya atau dapat di buktikan dengan
ilmu pengetahuan dan teknologi.

B. Saran
1. Di harapkan kepada seluruh masyarakat khususnya yang ada di Pohuwato, jangan
sekali-kali melakukan perkawinan yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-
undangan karena akan menimbulkan ketidak pastian hukum, dalam hal ini yang
disebut perkawinan siri yang tentunya banyak merajalela dikalangan masyarakat
saat ini.
2. Mengingat banyaknya nikah siri di kalangan masyarakat, khususnya di daerah
Pohuwato, maka kepada Pemerintah kiranya dapat lebih aktif dalam melakukan
penyuluhan-penyuluhan hukum tentang nikah siri dan dampaknya bagi anak.
Karena dampak dari pernikahan ini sangatlah merugikan khususnya buat anak
yang dilahirkan dari pernikahan siri nantinya.
3. Karena pada realitanya perkawinan siri ini susah untuk di hilangkan pada
kebiasaan masyarakat populer saat ini ataupun akan datang, di tambah lagi sudah
terbitnya putusan MK No 46/PUU-VIII/2010 mengenai revisi Undang-Undang
No 1 Tahun 1974 pasal 43 ayat 1. Maka diharapkan kepada aparat pemerintah
agar dapat membuat aturan yang pasti mengenai perkawinan siri.
DAFTAR PUSTAKA

Aberan, “Asas-asas Perkawinan Menurut Islam”, Dalam Jurnal Kanun No.38 Tahun
XIV April 2004, (Banda Aceh: FH. Universitas Kuala, 2004), hlm. 215.

Martiman Projohamidjojo, Tanya Jawab UU Perkawinan dan Peraturan


Pelaksanaan, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1991) hlm. 37.

Tim Lbh-Apik, “Pengakuan Anak Luar Kawin”, terdapat disitus http://www.lbh-


apik.or.id/fac-39.htm,diakses Tanggal 30 Juli 2001,hlm .1

D.Y. Witanto, Hukum Keluarga Hak Dan Kedudukan Anak Luar Kawin: Pasca
Keluarnya Putusan MK Tentang Uji Materiil UU Perkawinan. (Jakarta: Prestasi
Pustaka, 2012), hlm. 106-107.
TUGAS
HUKUM PERKAWINAN ISLAM

TINJAUAN TERHADAP
PERKAWINAN YANG SAH DAN PERKAWINAN SIRI

OLEH:
SEPTIO J PRABOWO
3014210405
KELAS : B

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PANCASILA
JAKARTA
2015

Anda mungkin juga menyukai