Anda di halaman 1dari 14

Nama: Muamar Khadafi

Prodi Hukum
A. PERKAWINAN
a) Konsep dan Definisi Perkawinan
Konsep Perkawinan dalam Undang-Undang Perkawinan no 1 Tahun 1974 yaitu:
1. Perkawinan adalah ikatan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami
isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Untuk laki-laki minimal sudah berusia minimal 19 tahun, dan untuk perempuan harus
sudah berusia minimal 16 tahun
3. Jika menikah dibawah 21 tahun harus disertai ijin kedua atau salah satu orang tua atau
yang ditunjuk sebagai wali

b) Konsep Perkawinan dalam Lingkup Demografi dan Kependudukan


Konsep perkawinan lebih difokuskan kepada keadaan dimana seorang laki-laki dan seorang
perempuan hidup bersama dalam kurun waktu yang lama. Dalam hal ini hidup bersama dapat
dikukuhkan dengan perkawinan yang syah sesuai dengan undang-undang ataupun tanpa
pengesesahan perkawinan(de facto). Konsep ini dipakai terutama untuk mengkaitkan status
perkawinan dengan dinamika penduduk terutama banyaknya kelahiran yang diakibatkan oleh
panjang-pendeknya perkawinan atau hidup bersama ini.
Norma dan adat di Indonesia menghendaki adanya pengesahan perkawinan secara agama
maupun secara undang-undang. Tetapi untuk keperluan studi demografi. Badan Pusat
Statistik mendefinisikan seseorang berstatus kawin apabila mereka terikat dalam perkawinan
pada saat pencacahan, baik yang tinggal bersama maupun terpisah, yang menikah secara sah
maupun yang hidup bersama yang oleh masyarakat sekelilingnya dianggap sah sebagai
pasangan suami istri(BPS,2000).
Definisi luas ini digunakan oleh BPS karena dalam kenyataannya pada suatu masyarakat
sering ditemukan banyak pasangan laki-laki dan perempuan yang hidup bersama tanpa ikatan
perkawinan yang sah secara hukum. Seringkali hal ini disebabkan karena persyaratan
perkawinan yang sah memberatkan kedua belah pihak yang hendak menikah, misalnya biaya
perhelatan adat yang terlampau tinggi, tidak mampu membayar biaya memproses perkawinan
yang syah atau biaya mahar yang tidak terjangkau oleh pasangan yang hendak menikah
secara resmi.
c) Sahnya Perkawinan
Perkawinan adalah suatu perbuatan hukum, oleh karena itu mempunyai akibat hukum.
Adanya akibat hukum, penting sekali kaitannya dengan sah tidaknya perbuatan hukum. Oleh
karena itu, sah tidaknya suatu perkawinan ditentukan oleh hukum yang berlaku (hukum
positif), yaitu berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun1974
tentang Perkawinan yang berbunyi : “Perkawinan adalah sah apabiladilakukan menurut
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanyaitu”. Sedangkan menurut Pasal 2
Kompilasi Hukum Islam, bahwa:Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu
akad yangsangat kuat atau miitsaaqoon gholiidhan untuk menaati perintah Allah
danmelaksanakannya merupakan ibadah.
Sahnya perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ditentukan dalam Pasal 2
ayat (1) yang menentukan, bahwa; “ Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.”Dari ketentuan diatas dapat
diketahui bahwa Undang-Undang Perkawinan menitikberatkan sahnya perkawinan pada dua
unsur, yaitu;perkawinan harus dilaksanakan sesuai dengan syarat dan prosedur
yangditentukan oleh Undang-Undang (hukum negara) dan hukum agama.31Artinya kalau
perkawinan hanya dilangsungkan menurut ketentuan Undang-Undang negara tanpa
memperhatian ketentuan-ketentuan agama perkawinan tersebut tidak sah, demikian juga
sebaliknya. Keikut-sertaan pemerintah dalam kegiatanperkawinan adalah dalam hal
menyangkut proses administratif, di mana perkawinan harus dicatatkan sebagaimana dimuat
dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1Tahun 1974 menentukan; “Tiap-tiap
perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”
Dengan adanya pencatatan ini juga akan memberikan perlindungan bagi suami istri dan anak-
anaknya termasuk untuk kepentingan hartakekayaan yang terdapat dalam perkawinan
tersebut. Pencatatan perkawinanbagi yang beragama Islam dilakukan oleh Pegawai
Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32
Tahun1954. Bagi mereka yang beragama selain Islam pencatatan dilakukan diKantor Catatan
Sipil. Pencatatan tersebut tidak menentukan sahnya suatuperistiwa hukum suatu perkawinan,
tetapi hanya memberikan pembuktianbahwa peristiwa hukum itu telah terjadi dan dilakukan,
sehingga hanyabersifat administratif, karena sahnya perkawinan itu sendiri ditentukan
olehmasing-masing agama dan kepercayaannya.Adapun tahapan atau proses pencatatan
perkawinan yang diaturdalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 antara lain;
 Memberitahukan kehendak dilangsungkannya perkawinan secara lisan maupun tulisan
oleh calon mempelai atau orang tua atau walinya.Pemberitahuan memuat identitas dan
disampaikan 10 (sepuluh hari) sebelum perkawinan dilangsungkan. (Pasal 4 dan 5, PP
Nomor 9 Tahun1975);
 Setelah semua persyaratan dipenuhi dan tidak ada halangan untuk melangsungkan
perkawinan menurut Undang-undang, makaperkawinan tersebut dimasukkan dalam buku
daftar dan diumumkan.(Pasal 6, 7, 8 dan 9 PP Nomor 9 Tahun 1975);
 Setelah perkawinan dilangsungkan kedua mempelai harusmenandatangani Akta
Perkawinan yang dihadiri dua saksi dan pegawai pencatat perkawinan. Sedangkan yang
beragama islam akta tersebutjuga ditanda tangani oleh wali nikah. (Pasal 12 dan 13 PP
Nomor 9Tahun 1975);
 Untuk memberikan kepastian hukum kepada kedua mempelai masing-masing diserahkan
kutipan akta perkawinan sebagai alat bukti.

d) Syarat dan Larangan Perkawinan


Dalam rangka mewujudkan tujuan perkawinan yaitu menciptakan keluarga yang bahagia dan
kekal, maka perkawinan dilakukan dengan syarat yang ketat. Apabila kita perhatikan syarat
perkawinan yang diatur dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 12 Undang-Undang
PerkawinanNomor 1 Tahun 1974, maka syarat perkawinan terbagi atas:
a. Syarat formal yaitu meliputi;
1) Perkawinan harus didasarkan atas perjanjian kedua calon mempelai(Pasal 6 ayat (1));
2) Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19tahun dan pihak
wanita telah mencapai umur 16 tahun. (Pasal 7 ayat(1));
3) Tidak terikat tali perkawinan dengan orang lain kecuali dalam halyang diijinkan Pasal
3 ayat (2) dan Pasal 4 (Pasal 9).
b. Syarat materiil yang berlaku khusus, yaitu bagi perkawinan tertentusaja, antara lain;
1) Tidak melanggar larangan perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 8, 9dan 10
Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun1974;
2) Izin dari orang tua bagi mereka yang belum mencapai umur 21 tahun(Pasal 6 ayat 2).
Apabila telah dipenuhi syarat-syarat tersebut di atas, baik syarat materiil maupun syarat
formil, maka kedua calon mempelai telah resmi menjadi suami isteri. Tetapi bila syarat-syarat
tersebut tidak dipenuhi, maka menimbulkan ketidak absahan perkawinan yang berakibat
batalnya suatu perkawinan. Sedangkan Pasal 8 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun
1974 mengatur tentang larangan perkawinan yang menentukan bahwa perkawinan di larang
antara dua orang yang :
a. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun keatas;
b. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antarasaudara, antara
seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya.
c. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri menantu dan ibu/ bapaktiri;
d. Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudarasusuan dan bibi/paman
susuan.
e. Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakandari istri dalam hal
seorang suami beristri lebih dari seorang.
f. Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yangberlaku, dilarang
kawin.

e) Kegunaan Indikator Perkawinan


Indikator perkawinan berguna bagi penentu kebijakan dan pelaksana program kependudukan,
terutama dalam hal pengembangan program-program peningkatan kualitas keluarga dan
perencanaan keluarga.Perkawinan usiadini akan berdampak pada rendahnya kualitas
keluarga, baikditinjau dari sisi ketidaksiapan secara psikis dalam menghadap ipersoalan
social atau ekonomi rumah tangga, maupun kesiapan fisik bagi calon Ibu remaja dalam
mengandung dan melahirkan bayinya. Dalam hal kehamilan yang tidakdikehendaki
karenausiacalon ibu masih sangat muda, ada resiko pengguguran kehamilan yang dilakukan
secara illegal dan tidak aman secara medis. Pengguguran kandungan semacam ini dapat
berakibat komplikasi borsi. Program konseling maupun pelayanan kesehatan reproduksi
remaja akan dapat dilakukan secara tepat apabila mengetahui beberapa banyaknya dan
dimana perkawinan usiadini terdapat.
Diketahuinya berapa besar pasangan usia subur(presentase perempuan usia subur yang
menikah) akan memudahkan para perencana program KM untuk mempersiapkan pelayanan
KB dan Kesehatan Reproduksi dan dikemudian hari anak-anak yang dilahirkan para Ibu ini
akan menjad igenerasi yang sehat dan berpotensi tinggi sebagai sumber daya manusia yang
handal.
Dari sisi lain, data mengenai banyaknya pasangan suami istri serta rata-rata umur kawin laki-
laki dan perempuan akan menjadi bahan utama pengembangan kebijakan penyediaan
pelayanan dasar lainnya seperti pengembangan kebijakan penyediaan pelayanan dasar
lainnya sepert ipengembangan perumahan, kebutuhan peralatan rumah tangga disesuaikan
dengan kemampuan daya beli, keperluan alat transportasi dll.
f) Ukuran-Ukuran Perkawinan
1. Angka Perkawinan Kasar
 Definisi
Angka Perkawinan Kasar menunjukkan proporsi penduduk yang berstatus kawin terhadap
jumlah penduduk keseluruhan pada pertengahan tahun untuk suatu tahun tertentu.
 Kegunaan
Perkawinan merupakan variabel antara yang mempengaruhi fertilitas, antara lain melalui
pendek atau panjangnya usia subur yang dilalui sebagai pasangan usia subur (PUS) yang
menentukkan banyaknya kelahiran. Jika tidak memakai suatu alat kontrasepsi untuk
mengatur kelahiran, maka perkawinan usia muda akan membuat PUS melewati masa yang
panjang dan berpotensi melahirkan jumlah anak lebih banyak dibandingkan dengan
perempuan yang menikah diatas usia 25 tahun. Davis dan Blake (1974) mengelompokkan
perkawinan sebagai salah satu variabel antara dalam mempengaruhi tinggi rendahnya
fertilitas.
 Cara Menghitung
Jumlah penduduk yang berstatus kawin dibagikan dengan jumlah penduduk pertengahan
tahun dan dikalikan dengan 1000.
M
M’= ×1000
P
Keterangan:
M’: Angka Perkawinan Kasar
M: Jumlah Perkawinan dalam satu tahun
P: Jumlah Penduduk pertengahan tahun

2. Angka Perkawinan Umum


 Definisi
Angka Perkawinan Umum menunjukkan proporsi penduduk yang berstatus kawin terhadap
jumlah penduduk usia 15 tahun keatas pada pertengahan tahun untuk suatu tahun tertentu.

 Kegunaan
Seperti halnya dengan Angka Perkawinan Kasar, Angka Perkawinan Umum dipergunakan
untuk memperhitungkan proporsi penduduk kawin. Namun disini, pembaginya adalah
penduduk 15 tahun keatas dimana penduduk bersangkutan lebih berisiko kawin. Penduduk
berumur kurang dari 15 tahun tidak diikutseratakan sebagai pembagi karena umumnya
mereka tidak beresiko kawin. Sehingga Angka Perkawinan Umum menunjukkan informasi
yang lebih realitas.
 Cara Menghitung
Jumlah penduduk yang berstatus kawin dalam satu tahun tertentu dibagi dengan jumlah
penduduk berumur 15+ tahun pada pertengahan tahun tertentu serta dikalikan dengan 1000.
M
Mu = × 1000
P 15

3. Angka Perkawinan Spesifik (Angka Perkawinan Menurut Kelompok Umur)


 Definisi
Dalam perhitungan Angka Perkawinan Kasar maupun Angka Perkawinan Umum tidak
diperhatikan umur dan jenis kelamin. Perkawinan merupakan hubungan antara 2 jenis
kelamin yang berbeda, dan pada umumnya mempunyai karakteristik yang berbeda. Angka
Perkawinan Spesifik( age specific marriage rate) atau Angka Perkawinan menurut kelompok
umur melihat penduduk berstatus kawin menurut kelompok umur dan jenis kelamin.
 Kegunaan
Angka perkawinan umur spesifik berguna untuk melihat perbedaan konsekuensi perkawinan
yang berbeda antar kelompok umur mauupun jenis kelamin. Perbedaan tersebut menyangkut
kesiapan mental, kesiapan reproduksi dan lain sebagainya. Angka Perkawinan Spesifik ini
memberikan gambaran persentase penduduk kawin menurut kelompok umur dan jenis
kelamin, sehingga dapat diperbandingkan perbedaannya.
Diketahuinya Angka Perkawinan Menurut Umur dan jenis kelamin ini dapat memberikan
inspirasi pengembangan program-program yang ditujukan kepada remaja seperti penundaan
perkawinan, jika sudah kawin maka setidaknya bagi anak perempuan disarankan untuk
menunda kehamilan sampai mencapai usia yang cukup, pelayanan kesehatan reproduksi
terutama bagi anak perempuan sehingga mereka siap untuk mengarungi masa reproduksi
sehat.

 Cara Menghitung
Jumlah penduduk yang berstatus kawin pada kelompok umur”i” dengan jenis kelamin”s”
dibagikan dengan jumlah penduduk pada kelompok umur “i” dengan jenis kelamin “s”
dikalikan dengan 1000
M is
m si = s × 1000
Pi

4. SMAM (Singulate Mean Age at Marriage)


 Definisi
Singulate Mean Age Marriage (SMAM) adalah perkiraan (estimasi) untuk rata-rata umur
kawin pertama berdasarkan jumlah penduduk yang tetap lajang (belum kawin).
 Kegunaan
SMAM menunjukkan pada umur berapa rata-rata sekelompok penduduk pertama kali kawin.
Pada negara seperti Indonesia jika seseorang kawin pada usia muda, maka peluang untuk
melanjutkan pendidikan akan terhenti. Kondisi ini terutama terjadi pada remaja perempuan
yang akan dikeluarkan dari sekolah jika dia diketahui hamil dan terpaksa kawin. Kegunaan
penghitungan umur kawin pertama adalah untuk penyuluhan pendewasaan usia kawin,
peningkata program kesehatan reproduksi(KESPRO) bagi remaja dan kalau tahu didaerah
mana sasaran kegiatan akan menjadi lebih jelas. Pengembangan program Kesehatan
Reproduksi Remaja (KRR) dapat dalam bentuk penyediaan fasilitas dan tenaga ahli yang
khusus menangani kasus-kasus kesehatan reproduksi sehingga mereka dapat dengan nyaman
menyampaikan informasi yang benar dan tanpa kendala rasa malu berbicara kepada anak
remajanya

g) Konsep Dasar`Rumah Tangga


BPS (2000) membagi rumah tangga menjadi 2 yaitu rumah tangga biasa dan rumah tangga
khusus.
1) Rumah tangga biasa adalah seseorang sekelompok orang yang mendiami sebagian atau
seluruh bangunan fisik atau sensus dan umumnya tinggal bersama serta makan dan satu dapur. Yang
dimaksud dengan satu dapur adalah bahwa pembiayaan keperluan jika pengurusan kebutuhan sehari-
hari dikelola bersama-sama.
2) Rumah tangga khusus adalah sekelompok orang yang tinggal di asrama atau tempat tinggal
yang pengurusan sehari-harinya diatur oleh yayasan atau badan, misalnya asrama mahasiswa,
lembaga pemasyarakatan orang-orang yang berjumlah lebih dari 10 orang yang kos dengan makan,
asrama TNI dan lain sebagainya.
Dalam pengumpulan data keterangan rumah tangga menggunakan konsep de jure dan de
facto. Anggota rumah adalah semua orang biasanya tinggal disuatu rumah tangga, baik yang
berada di rumah pada waktu pencacahan maupun sementara tidak ada (de jure). Anggota
rumah tangga yang berpergian 6 bulan atau lebih, dan anggota rumah tangga yang berpergian
kurang dari 6 bulan tetapi dengan tujuan pindah/akan meninggalkan rumah 6 bulan atau lebih
maupunkurang dari 6 bulan tetapi berniat akan bertempat tinggal 6 bulan atau lebih, dianggap
sebagai anggota rumah tangga(de facto).
Keluarga didefinisikan sebagai sekumpulan orang yang tinggal dalam satu rumah yang masih
mempunyai hubungan kekerabatan/hubungan darah karena perkawinan, kelahiran, adopsi dan
lain sebagainya. Keluarga dapat dibagi menjadi 2 tipe yaitu:
1) Keluarga inti (Nuclear family), yaitu keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak
kandung, anak angkat maupun adopsi yang belum kawin, atau ayah dengan anak-anak
yang belum kawin atau ibu dengan anak-anak yang belum kawin
2) Keluarga luas(extended family), yaitu keluarga yang terdiri dari ayah, ibu anak-anak baik
yang sudah kawin maupun belum,cucu, orang tua, mertua maupun kerabat-kerabat lain
yang menjadi tanggungan kepala keluarga
Data rumah tangga bermanfaat untuk perencanaan berbagai bidang:
1) Pengentasan kemiskinan: data rumah tangga digunakan sebagai dasar penentuan program
dan kebijakan. Contohnya, untuk menghitung besarnya dana kompensasi bahan bakar
minyak yang harus dikeluarkan dalam Bantuan Langsuing Tunai(BLT) bagi rumah
tangga miskin.
2) Kesehatan; untuk penetapan pemilikan kartu sehat bagi rumah tangga miskin
3) Pemenuhan kebutuhan pangan: untuk menentukan suplai beras murah untuk rumah
tangga miskin
4) Pendidikan: untuk menentukan jumlah penerima beasiswa bagi anak-anak rumah tangga
miskin.
5) Perencanaan peumahan rakyat: diperlukan data jumlah rumah tangga yang mempunyai
anggota rumah tangga 2, 3,4 dan seterusnya. Informasi ini dapat dipakai untuk
menentukkan ukuran rumah yang harus dibangun dengan berbagai macam tipe agar dapat
memenuhi kebutuhan perumahan bagi masyarakat.

B. PERCERAIAN
a) Pengertian Perceraian
Perceraian merupakan salah satu penyebab putusnya perkawinan yang diatur dalam UUP
yang ditempatkan pada Bab VIII dimana Pasal 38 menentukan:“Perkawinan dapat putus
karena: a. Kematian; b. Perceraian; dan c. Atas keputusan pengadilan”.
Putusnya perkawinan karena perceraian bukanlah suatu hal yang mutlak terjadi karena dapat
diatasi agar tidak terjadi perceraian. Penjelasan umum dari UUP menyebutkan
bahwa:“Karena tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia, kekal dan
sejahtera, maka undang-undang ini menganut prinsip untuk mempersukar terjadinya
perceraian”.
Untuk memberikan pengertian yang lebih bulat lagi, perlu pula dikemukakan pengertian
Perkawinan menurut Pasal 1 UUP, sebagai bahan perbandingan, yakni:“Perkawinan ialah
ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa”.
Dengan melihat perumusan Pasal tersebut, akan bertambah lagi pemahaman mengenai
perceraian, yang memiliki makna yang saling bertentangan, yaitu perceraian merupakan suatu
pengecualian terhadap prinsip perkawinan yang kekal yang diakui oleh semua agama.47 Dari
uraian di atas, dapat diidentifikasikan beberapa hal mengenai perceraian, yakni :
a. Perceraian adalah salah satu peristiwa yang menyebabkan putusnya perkawinan;
b. Perceraian memiliki akibat-akibat hukum tertentu bagi masing-masing pihak;
c. Perceraian merupakan pengecualian terhadap prinsip perkawinan yang kekal yang diakui
oleh semua agama.
Perceraian menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti perihal berceraiantara suami
isteri, yang kata “bercerai” itu sendiri artinya “menjatuhkan talak atau memutuskan hubungan
sebagai suami isteri.” Menurut KUH Perdata Pasal 207 perceraian merupakan penghapusan
perkawinan dengan putusan hakim, atas tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu
berdasarkan alasan-alasan yang tersebut dalam undang-undang. Sementara pengertian
perceraian tidak dijumpai sama sekali dalam UUP begitu pula di dalam penjelasan serta
peraturan pelaksananya.
Meskipun tidak terdapat suatu pengertian yang otentik tentang perceraian,tidak berarti bahwa
masalah perceraian ini tidak diatur sama sekali di dalam UUP.
Bahkan yang terjadi justru sebaliknya, pengaturan masalah perceraian mendudukitempat
terbesar. Hal ini lebih jelas lagi apabila kita melihat peraturan-peraturan pelaksananya. Dalam
UUP mengenai masalah perceraian ini, diperjelas pengaturannya pada Bab VIII yang
mengatur tentang Putusnya Perkawinan serta Akibatnya. Pasal 38 menentukan bahwa :
“Perkawinan dapat putus karena : a. Kematian; b. Perceraian; dan c. Atas keputusan
pengadilan”.
Beberapa sarjana juga memberikan rumusan atau defenisi dari perceraian, antara lain :
a. Menurut Subekti sebagai berikut : “Perceraian ialah penghapusan perkawinan dengan
putusan hakim, atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu.”
b. Menurut R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Asis Safioedin sebagai berikut :”Perceraian
berlainan dengan pemutusan perkawinan sesudah perpisahan meja dan tempat tidur yang
didalamnya tidak terdapat perselisihan bahkan ada kehendak baik dari suami maupun dari
isteri untuk pemutusan perkawinan. Perceraian selalu berdasar pada perselisihan antara
suami dan isteri.”
c. Menurut P.N.H. Simanjuntak sebagai berikut :“Perceraian adalah pengakhiran suatu
perkawinan karena sesuatu sebab dengan keputusan hakim atas tuntutan dari salah satu
pihak atau kedua belah pihak dalam perkawinan.”

b) Dasar Hukum Perceraian


Putusnya perceraian diatur dalam:

 Pasal 38 sampai dengan pasal 41 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

 Pasal 14 sampai dengan pasal 36 PP Nomor 9 Tahun 1975, pasal 199 KUH Perdata.

 Pasal 113 sampai dengan pasal 128 Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi
Hukum Islam.

c) Alasan-alasan Perceraian
Dalam pasal 39 UU No 1 Tahun 1974 dan pasal 110 komplikasi hukum islam disebutkan
tentang alasan-alasan yang diajukan oleh suami atau istri untuk menjatuhkan talak atau
gugatan perceraian ke pengadilan. Alasan-alasan itu adalah sebagai berikut :

1. . Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya
yang sulit disembuhkan.
2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-berturut tanpa izin pihak
lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.
3. Salah satu pihak mendapatkan hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih
berat setelah perkawinan berlangsung.
4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak
lain.
5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan
kewajibannya sebagai suami istri.
6. Antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan
akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
7. Suami melanggar Ta’lik Talak.
8. Peralihan Agama atau murtad yang menyebabkan ketidakrukunan dalam rumah tangga

d) Faktor-faktor Lain Penyebab Perceraian


1. Ketidakharmonisan dalam rumah tangga
Ketidakharmonisan bisa disebabkan oleh berbagai hal antara lain, krisis keuangan, krisis
akhlak, dan adanya orang ketiga. Dengan kata lain, istilah keharmonisan adalah terlalu umum
sehingga memerlukan perincian yang lebih mendetail.
2. Krisis moral dan akhlak
Selain ketidakharmonisan dalam rumah tangga, perceraian juga sering memperoleh landasan
berupa krisis moral dan akhlak, yang dapat dilalaikannya tanggung jawab baik oleh suami
ataupun istri, poligami yang tidak sehat, penganiayaan, pelecehan dan keburukan perilaku
lainnya yang dilakukan baik oleh suami ataupun istri, misal mabuk, berzinah, terlibat tindak
kriminal, bahkan utang piutang.
3. Pernikahan tanpa cinta
Alasan lainnya yang kerap dikemukakan oleh suami dan istri, untuk mengakhiri sebuah
perkawinan adalah bahwa perkawinan mereka telah berlangsung tanpa dilandasi adanya
cinta. Untuk mengatasi kesulitan akibat sebuah pernikahan tanpa cinta, pasangan harus
merefleksi diri untuk memahami masalah sebenarnya, juga harus berupaya untuk mencoba
menciptakan kerjasama dalam menghasilkan keputusan yang terbaik.
4. Adanya masalah-masalah dalam perkawinan
Dalam sebuah perkawinan pasti tidak akan lepas dari yang namanya masalah. Masalah dalam
perkawinan itu merupakan suatu hal yang biasa, tapi percekcokan yang berlarut-larut dan
tidak dapat didamaikan lagi secara otomatis akan disusul dengan pisah ranjang.

e) Ukuran-ukuran Perceraian
Ukuran perceraian dibagi menjadi 2 yaitu :
1. Angka Perceraian Kasar
 Definisi
Angka Perceraian Kasar menunjukkan persentase penduduk berstatus cerai terhadap jumlah
penduduk keseluruhan pada pertengahan suatu tahun untuk suatu tahun tertentu.
 Kegunaan
Perceraian mempunyai implikasi demografis sekaligus implikasi sosiologis.Imlikasi
demografi adalah mengurangi fertilitas sedangkan implikasi sosiologis lebih kepada status
cerai terhadap perempuan dan anak-anak mereka.
 Cara Menghitung
Angka perceraian kasar dihitung dengan menghitung kasus perceraian yang terjadi dalam
suatu kurun waktu tertentu dengan jumlah paenduduk pada pertengahan tahun dalam suatu
wilayah tertentu.

C
Rumus : c= x 1000
p
Keterangan :
c = Angka perceraian kasar
C = Jumlah perceraian yang terjadi dalam satu tahun.
p = Jumlah penduduk pada pertengahan tahun yang sama.
Angka perceraian menunjukkan jumlah perceraian yang terjadi per seribu penduduk pada
suatu tahun tertentu. Sebagai contoh yaitu menghitung angka perceraian kasar di Swedia
tahun 1960. Jumlah perceraian di Swedia pada tahun 1960 adalah 8.958 orang dengan
jumlah penduduk pada pertengahan tahun sebesar 7.485.615 maka angka perceraian kasar de

8.958
Swedia tahun 1960 adalah x 1000 = 1,2
7.485.615

2. Angka Perceraian Umum


 Definisi
Angka perceraian umum menunjukkan proporsi penduduk berstatus cerai terhadap jumlah
penduduk usia 15 tahun keatas pada pertengahan tahun pada suatu tahun tertentu.
 Kegunaan
Seperti halnya dengan Angka Perceraian Kasar, Angka Perceraian Umum dipergunakan
untuk memperhiungkan proporsi penduduk cerai. Namun disini pembaginya adalah penduduk
usuia 15 tahun keatas dimana penduduk bersangkutan lebih berisiko cerai. Penduduk di
bawah usia 15 tahun tidak diikutsertakan dalam pembagi karena umumnya mereka tidak
berisiko cerai. Sehingga Angka Perceraian Umum menunjukkan informasi yang lebih baik
karena memperhitungkan umur dan faktor resiko.
 Cara Menghitung
Untuk memperoleh angka perceraian yang spesifik dapat menggunakan angka perceraian
umum yang sudah memperhitungkan penduduk yang terkena resiko perceraian yaitu
penduduk berumur 15 tahun keatas atau disebut penduduk yang berumur divorceable. Rumus
umum yang digunakan adalah :

C
c 15+ = x 1.000
p 15+¿ ¿
c 15+ = Angka Perceraian Umum
C = Perceraian yang terjadi dalam satu tahun
P 15+ = Jumlah penduduk 15 tahun keatas pada pertengahan tahun.

f) Masalah Perkawinan dan Perceraian


Perkawinan bukan merupakan komponen yang langsung mempengaruhi pertumbuhan
penduduk akan tetapi mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap fertilitas, karena
dengan adanya perkawinan dapat meningkatkan angka kelahiran. Sebaliknya perceraian
adalah merupalkan penghambat tingkat fertilitas karena dapat menurunkan angka kelahiran.
Di Indonesia status perkawinan (kawin) masih jauh lebih tinggi dibandingkan dengan status
perceraian hal ini dapat dilihat pada tabel berikut :

Jenis Kelamin Kawin Cerai Hidup/Mati


Pria 25.312.260 1.322.446
Wanita 26.448.577 6.176.904

Sumber: BPS Jawa Timur, 1996


Dari data di atas memberikan gambar bahwa jumlah perkawinan baik pia maupun wanita
sebesar 5.176.837 masih jauh lebih besar bila dibandingkan dengan jumlah perceraian baik
cerai hidup maupun cerai mati yang hanya sekitar 7.499.340.
Masalah yang timbul akibat perkawinan antara lain:
1. Perumahan
2. Fasilitas kesehatan

Masalah yang timbul akibat perceraian meningkat adalah :


1. Sosial Ekonomi
2. Nilai agama yang lemah

Alternatif Pemecahan :
 Perkawinan
1. Menambah masa lajang.
2. Meningkatkan masa pendidikan.
 Peceraian :
1. Konsultasi Keluarga.
2. Pendalaman agama.

Anda mungkin juga menyukai