Anda di halaman 1dari 19

KEABSAHAN PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI (PPJB)

DAN KUASA MENJUAL DI NOTARIS YANG DIJADIKAN DASAR


UNTUK PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM BAGI PARA PIHAK
Oleh
Richard Tommy Pantow
2040057030
Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia
Pembimbing Skripsi:
Dr. Hulman Panjaitan, S.H., M.H.
Dr.Diana RW Napitupulu, S.H.,M.Kn.,MH.,M.Sc

Abstrak

Saat ini, terdapat fenomena menarik di kalangan masyarakat yang melibatkan


praktik pembiayaan atau pendanaan yang dilakukan oleh individu atau perusahaan.
Namun, pelaksanaan perjanjian antara kedua belah pihak dilakukan dengan menggunakan
Perikatan Perjanjian Jual Beli dan Kuasa menjual, meskipun sebenarnya perjanjian
tersebut hanyalah simulasi atau pura-pura. Faktanya, yang sebenarnya terjadi adalah
pinjam-meminjam. Seringkali, para pihak tidak mengungkapkan keadaan yang
sebenarnya kepada Notaris karena mereka sebelumnya sudah melakukan perjanjian
utang-piutang secara rahasia atau bahkan Notaris sebagai pejabat umum yang terlibat
dalam pembuatan akta perjanjian, ada yang mengetahui tentang perjanjian tersebut
sebelum Perikatan Perjanjian Jual Beli dan Kuasa menjual dilakukan.
Masalah muncul ketika Kreditur membuat Akta Jual Beli (AJB) melalui Pejabat
Pembuat Akta Tanah (PPAT) tanpa kehadiran Debitur, dan menggunakan AJB tersebut
untuk mentransfer hak atas tanah dan bangunan dari Debitur. Penelitian ini bertujuan
untuk menguji keabsahan Perjanjian Pengikatan Jual Beli dan Kuasa Menjual apabila
terdapat perjanjian simulasi (tindakan pura-pura) di baliknya. Metode yang digunakan
dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif, yang mengacu pada
penelitian kepustakaan dan undang-undang sebagai sumber data yang dikumpulkan dan
dianalisis. Kesimpulan kemudian ditarik menggunakan metode deduktif. Dari penelitian
ini, diharapkan dapat memperoleh pemahaman mengenai keabsahan serta konsekuensi

1|Page
atau dampak dari perjanjian utang piutang yang melibatkan pembuatan perjanjian
pengikatan jual beli dan kuasa menjual bagi kedua belah pihak.
Kata Kunci : Perikatan jual Beli, Pinjam meminjam, Notaris

Abstact

Currently, there is an interesting phenomenon among the community involving


financing or funding practices conducted by individuals or companies. However, the
execution of agreements between the parties is carried out using the Agreement of Sale
and Power of Attorney, even though the actual agreement is merely a simulation or
pretense. In reality, it involves borrowing and lending activities. Often, the parties
involved do not disclose the true circumstances to the Notary because they have
previously entered into confidential loan agreements, and sometimes even the Notary, as
a public official involved in the creation of the agreement, is aware of the agreement
prior to the execution of the Sale and Power of Attorney Agreement.
Problems arise when the Creditor prepares a Deed of Sale through the Land
Deed Officer (PPAT) without the presence of the Debtor and uses the Deed to transfer
the rights to the land and buildings from the Debtor. This research aims to examine the
validity of the Sale and Power of Attorney Agreement when there is a simulation
agreement (pretense) behind it. The research methodology used is normative legal
research, which relies on literature review and legal provisions as the sources of data
collected and analyzed. Conclusions are drawn using deductive reasoning. This research
hopes to provide an understanding of the validity and consequences of debt agreements
involving the creation of Sale and Power of Attorney Agreements for both parties
involved.
Keywords: Sale and Purchase Agreement, Borrowing and Lending, Notary.

1. PENDAHULUAN
Dalam proses transaksi jual beli tanah, terdapat dua istilah yang sering digunakan
dan dikenal secara umum, yaitu PPJB (Perjanjian Pengikatan Jual Beli) dan AJB (Akta

2|Page
Jual Beli). PPJB dan AJB adalah istilah yang mengacu pada jenis perjanjian yang
memiliki konsekuensi hukum yang berbeda. PPJB adalah perjanjian yang mengikat
sebelum terjadi transaksi jual beli, sedangkan AJB merupakan tahap pelaksanaan dari
transaksi jual beli tersebut. Perbedaan utama antara keduanya terletak pada cara
otentikasi dan implementasinya. PPJB memiliki fungsi sebagai perjanjian awal yang
dilakukan oleh para pihak yang terlibat sebelum melakukan transaksi jual beli. Biasanya,
PPJB disusun oleh pihak-pihak yang terlibat dan diberi legalisasi oleh notaris. Namun,
karena sifatnya sebagai perjanjian awal, PPJB tidak secara langsung mengikat tanah
sebagai objek perjanjian dan tidak menyebabkan peralihan kepemilikan tanah dari
penjual kepada pembeli. Sebaliknya, AJB adalah dokumen yang menandai pelaksanaan
transaksi jual beli tanah. AJB memiliki sifat otentik dan disusun oleh notaris. Dalam AJB,
kepemilikan tanah secara resmi dialihkan dari penjual kepada pembeli, dan pembayaran
dilakukan sesuai dengan kesepakatan yang tertera dalam perjanjian jual beli.
Pengertian jual-beli menurut ketentuan Pasal 1457 KUH Perdata merupakan suatu
perjanjian dengan mana pihak yang satu berjanji mengikatkan diri untuk menyerahkan
suatu benda dan pihak lainnya berjanji untuk membayar harga yang telah diperjanjikan.
Di samping itu, jual-beli juga diatur dalam hukum adat. Jual-beli tanah yang
mengakibatkan beralihnya hak milik tanah kepada penjual disebut dengan istilah jual
lepas. Jual-beli memiliki dua subjek, yaitu penjual dan pembeli, yang masing-masing
mempunyai kewajiban dan berbagai hak, maka mereka masing-masing dalam beberapa
hal merupakan pihak yang berwajib dan dalam hal-hal lain merupakan pihak yang
berhak. Ini berhubungan dengan sifat timbal-balik dari persetujuan jual-beli (werdering
overenkomst).1
Ketika mengacu pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, belum ada
pengaturan yang khusus mengenai PPJB. Oleh karena itu, definisi, bentuk, isi, dan
cakupan PPJB ini berkembang melalui praktik di bidang notaris, yang bertujuan untuk
memenuhi keinginan dan kebutuhan masyarakat terkait kepemilikan tanah dalam konteks
transaksi jual beli hak atas tanah atau hak atas bidang tanah. Dalam teori dan doktrin,

1
Diana RW Napitupulu dikutip dari Idris Zainal, Ketentuan Jual-Beli Menurut Hukum Perdata, dalam Buku Materi
pelajaran Hukum Pertanahan BMP.UKI: DN-02-HP-MH-II-2022.

3|Page
PPJB tanah dikategorikan sebagai perjanjian obligatoir, sehingga semua unsur dan syarat
sah dalam perjanjian, termasuk prinsip-prinsip hukum perjanjian secara umum, harus
dipenuhi. PPJB adalah perjanjian bantuan yang berfungsi sebagai perjanjian pendahuluan
(pactum de contrahendo) yaitu perjanjian di mana para pihak saling mengikatkan diri
untuk terjadinya perjanjian pokok yang menjadi tujuan mereka, yakni perjanjian
kebendaan berupa jual beli benda berupa tanah.
Terdapat dua jenis Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) yang umum dikenal,
yaitu PPJB Lunas dan PPJB Tidak Lunas. PPJB Lunas dibuat ketika pembeli telah
membayar seluruh harga jual beli kepada penjual, tetapi pelaksanaan Akta Jual Beli
belum dapat dilakukan karena beberapa alasan, seperti pembayaran pajak jual beli yang
belum diselesaikan atau proses pengurusan sertifikat tanah yang masih berlangsung.
PPJB Lunas mencakup ketentuan mengenai waktu pelaksanaan Akta Jual Beli dan
persyaratan yang harus dipenuhi. Di dalam PPJB Lunas, penjual memberikan wewenang
kepada pembeli untuk menandatangani Akta Jual Beli tanpa kehadiran penjual. Biasanya,
PPJB Lunas digunakan dalam transaksi yang melibatkan objek jual beli di luar wilayah
kerja Notaris atau Pejabat Pembuat Akta Tanah yang terkait.
PPJB Tidak Lunas dibuat ketika pembayaran harga jual beli belum sepenuhnya
diterima oleh penjual. Dalam pasal-pasal PPJB Tidak Lunas, setidaknya harus mencakup
jumlah uang muka yang telah dibayarkan saat penandatanganan PPJB, metode atau
jadwal pembayaran, tanggal pelunasan, dan sanksi yang disepakati jika salah satu pihak
tidak memenuhi kewajibannya. PPJB Tidak Lunas harus diikuti dengan pembuatan Akta
Jual Beli ketika pelunasan dilakukan. Dalam perjanjian ini, umumnya terdapat hak dan
kewajiban yang harus dipenuhi oleh kedua belah pihak. Namun, dalam praktiknya,
terkadang salah satu atau kedua belah pihak tidak memenuhi kewajibannya, yang dapat
menyebabkan timbulnya sengketa. Sengketa merujuk pada situasi di mana terjadi
pertentangan atau konflik antara individu, kelompok, atau organisasi dalam masyarakat
yang melibatkan objek permasalahan tertentu.2
Walaupun pada dasarnya PPJB tidak menyebabkan peralihan hak kepemilikan,
namun menurut Lampiran SEMA 4/2016 (hal. 5), peralihan hak atas tanah berdasarkan
2
D.Y.Witanto, Hukum Acara Mediasi, cetakan kedua, Bandung: Alfabeta, 2012, hlm. 2

4|Page
PPJB dapat terjadi secara hukum jika pembeli telah membayar harga tanah secara penuh,
menguasai objek jual beli, dan melakukannya dengan niat baik. Dengan demikian, jika
syarat-syarat tersebut terpenuhi, PPJB juga dapat menjadi bukti peralihan hak atas tanah.
Hal ini tentu menjadi sebuah kapastian hukum dalam PPJB khususnya PPJB Lunas bagi
Pihak Pembeli. Selain pembuatan akta PPJB, juga diperlukan pembuatan akta Kuasa
Menjual. Akta Kuasa Menjual digunakan sebagai landasan untuk melakukan transfer hak
atas tanah yang seharusnya dimiliki oleh pemilik hak, namun kemudian dialihkan kepada
penerima kuasa mutlak yang tidak dapat dicabut. Pengaturan surat kuasa mutlak ini
memang tidak konsisten dengan prinsip-prinsip hukum yang berlaku. Namun, sejak
diberlakukan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Republik Indonesia Nomor 10 Tahun
2014 yang diumumkan pada tanggal 28 Agustus 2014 dan mulai berlaku pada 23
September 2014, Instruksi Mendagri No. 14 Tahun 1982 telah dicabut dan tidak berlaku
lagi.
Pencabutan Instruksi Mendagri No. 14 Tahun 1982 diatur dalam lampiran angka
80 dari peraturan tersebut. Meskipun sudah tidak berlaku lagi, Instruksi Mendagri No. 14
Tahun 1982 masih digunakan sebagai acuan karena larangan penggunaan surat kuasa
mutlak yang terdapat dalam Pasal 39 Ayat (1) huruf d Peraturan Pemerintah No. 24
Tahun 1997 yang masih berlaku saat ini, sama dengan larangan penggunaan surat kuasa
mutlak yang diatur dalam Instruksi Mendagri No. 14 Tahun 1982. Larangan tersebut
terkait dengan surat kuasa mutlak yang pada intinya mencakup tindakan hukum untuk
mengalihkan hak kepemilikan. Namun dalam Yurisprudensi MA No.3176 K/Pdt/1988
tanggal 19 April 1990 yaitu merupakan perbuatan yang sah menurut hukum, bahwa
seorang pemilik tanah yang mengalihkan haknya/kekuasaan atas tanah yang dimiliki itu
kepada pihak lain melalui cara pembuatan “Akta Kuasa Mutlak” dimana pihak penerima
kuasa menjadi berhak dan berkuasa penuh atas tanah tersebut, seperti halnya seorang
pemilik dan ia dapat menuntut pihak ketiga yang dinilai menggangu haknya itu.3
Perjanjian pinjam meminjam atau utang-piutang menimbulkan hak dan kewajiban
bagi para pihak yang terlibat. Dalam konteks pinjaman uang, yang diatur dalam

3
Hulman Panjaitan.Kumpulan kaidah Hukum Putusan Mahkamah agung Republik Indonesia tahun 1953-2008
berdasarkan penggolongannya.Kencana.2016.hlm19

5|Page
perjanjian pinjam meminjam atau utang-piutang antara kreditur dan debitur, tidak
terlepas dari risiko. Risiko tersebut dapat timbul baik akibat kelalaian yang disengaja
maupun kelalaian atau kesalahan yang tidak disengaja. Perjanjian merupakan aspek yang
signifikan dalam menciptakan kewajiban hukum. Hubungan antara dua orang atau lebih
dalam perjanjian adalah hubungan hukum, yang berarti hak yang dimiliki oleh pihak
yang berpiutang dijamin oleh hukum atau undang-undang,4 Pada dasarnya, tujuan dari
terjadinya perikatan ini adalah untuk menciptakan hubungan hukum antara para pihak,
dengan harapan bahwa akan ada konsekuensi hukum di masa depan dari perjanjian ini,
sehingga tercipta kepastian hukum. Biasanya, manusia meminjam uang untuk memenuhi
keperluan atau kebutuhan tertentu. Pihak yang berpiutang menuntut pihak yang berutang
agar memenuhi kewajiban sesuai dengan perjanjian yang telah dibuat di antara mereka.
Karena dasar tuntutan tersebut adalah adanya perjanjian yang sudah ada, maka
sebenarnya pihak yang berpiutang tidak perlu melakukan somasi terlebih dahulu untuk
menuntut pemenuhan kewajiban tersebut.5
Seringkali muncul kasus hukum di masyarakat terkait dengan perjanjian pinjam
meminjam atau utang piutang, yang kemudian diselesaikan melalui pembuatan akta
PPJB, akta Kuasa Menjual, AJB, dan balik nama (BN) sertifikat, dengan tujuan untuk
mengalihkan kepemilikan tanah dari pihak yang berutang kepada pihak yang berpiutang.
Sebagai contoh, ketika utang tidak dapat dilunasi, pihak yang berpiutang meminta
jaminan berupa sertifikat tanah, yang kemudian dialihkan kepemilikannya melalui proses
yang telah disebutkan, dan meminta pihak yang berutang untuk segera mengosongkan
aset tersebut sesuai dengan perjanjian pengosongan.
Namun, dalam konteks permasalahan ini, perjanjian utama yang terlibat
sebenarnya adalah pinjam meminjam atau utang piutang, dan lebih ideal jika
penyelesaian permasalahan tersebut diatur melalui penggunaan akta hak tanggungan
(HT) sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1996
tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah
(UUHT) bukan dengan PPJB Lunas dan Kuasa karena Jual beli dan Pinjam meminjam

4
Subekti, Hukum Perjanjian, PT.Intermesa, Jakarta, 2005, hlm.3.
5
J.Satrio, Hukum Perikatan-perikatan pada Umumnya, PT.Alumni, Bandung 1999, hlm.133.

6|Page
adalah dua konstruksi hukum yang berbeda dalam konteks perjanjian dan transaksi.
Dalam konteks hukum, PPJB dan perjanjian pinjam meminjam memiliki perbedaan
dalam sifat, tujuan, dan implikasi hukumnya. PPJB berfokus pada transaksi jual beli dan
mengikat para pihak terkait sebagai perjanjian pendahuluan sebelum pelaksanaan
transaksi, sementara perjanjian pinjam meminjam melibatkan pemberian dan
pengembalian pinjaman.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk menganalisa
keabsahan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (Lunas) Dan Kuasa Menjual Di Notaris Yang
Dijadikan Dasar Untuk Perjanjian Pinjam Meminjam Bagi Para Pihak.

2. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan penjelasan yang telah disampaikan di atas, dapat ditarik rumusan
pokok permasalahan utama sebagai berikut Apakah perjanjian pengikatan jual beli (ppjb)
dan kuasa menjual yang pada dasarnya perjanjian utang piutang oleh para pihak sah
secara hukum?

3. TUJUAN PENELITIAN
Penulisan ini bertujuan untuk menggali jawaban dari pertanyaan yang telah
dijelaskan dengan jelas di atas. Tujuan utama dari penulisan ini adalah untuk memperoleh
pemahaman dan menganalisis apakah Perjanjian Perikatan Jual-Beli dan Kuasa Menjual,
yang didasarkan pada perjanjian Pinjam Meminjam atau utang piutang sebagai perjanjian
pokok, merupakan perjanjian yang sah.

4. METODE PENELITIAN
Dalam penelitian ini, digunakan metode penelitian hukum yuridis normatif.
Pendekatan tersebut melibatkan penelitian terhadap berbagai sumber kepustakaan yang
relevan dengan topik penelitian, termasuk asas-asas hukum, sumber-sumber hukum, dan
peraturan perundang-undangan yang memiliki keterkaitan secara teoritis dan ilmiah.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis permasalahan yang sedang dibahas.
Data yang diperoleh dari sumber-sumber tersebut kemudian dianalisis secara deskriptif,

7|Page
yang berarti penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan atau menggambarkan fakta-fakta
yang ada dan melakukan analisis data secara sistematis. Berdasarkan analisis tersebut,
kesimpulan diambil menggunakan metode deduktif.

5. PEMBAHASAN
Dalam mengevaluasi keabsahan Perjanjian Pengikatan Jual Beli yang dilakukan
oleh kedua belah pihak, perlu memperhatikan persyaratan sah yang diatur dalam Pasal
1320 KUH Perdata. Ada dua jenis persyaratan sah yang harus dipenuhi, yakni:
a. Syarat subjektif yaitu sepakat (Pasal 1321-1328 KUH Perdata) dimana pihak-pihak
yang melakukan perjanjian harus terlebih dahulu bersepakat akan segala hal yang
terdapat di dalam perjanjian yang dibuat. Syarat subjektif yang kedua adalah
kecakapan para pihak (Pasal 1329- 1331 KUH Perdata) yaitu orang yang sudah
dewasa (berusia di atas 18 tahun menurut Pasal 39 Ayat (1) UUJN), tidak ditaruh di
bawah pengampuan dan perempuan yang sudah menikah (yang kemudian diatur
dalam Pasal 31 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan).
Tidak dipenuhinya syarat subjektif ini mengakibatkan perjanjian yang telah dibuat
dapat dibatalkan.
b. Syarat objektif dalam keabsahan perjanjian terdiri dari dua hal. Yang pertama adalah
adanya objek tertentu (Pasal 1332-1334 KUH Perdata), di mana suatu perjanjian
harus mencakup hal-hal yang terkait dengan suatu benda yang spesifik. Syarat
objektif kedua adalah adanya kausa yang halal (Pasal 1337-1337 KUH Perdata), di
mana perjanjian harus memiliki tujuan yang sah dan tidak bertentangan dengan
undang-undang, norma kesusilaan, dan ketertiban umum. Tidak terpenuhinya syarat
objektif ini akan mengakibatkan perjanjian yang telah dibuat menjadi batal secara
hukum (null/void).
Terlepas dari syarat-syarat tersebut, sebuah perjanjian dapat dianggap cacat jika
terdapat unsur paksaan (dwang), penipuan (bedrog), kesalahan/kesesatan/kekeliruan
(dwaling) dan Penyalahgunaaan Keadaaan (misbruik van omstandigheden)
a. Pasal 1321 dan Pasal 1449 KUH Perdata mengatur ketentuan mengenai paksaan
dalam suatu perjanjian. Konsep paksaan yang dimaksud dijelaskan secara rinci dalam

8|Page
Pasal 1324 KUH Perdata, yang menyatakan bahwa paksaan harus melibatkan
tindakan kekerasan yang mampu menimbulkan ketakutan yang wajar bagi orang yang
berpikiran sehat tentang konsekuensi dari paksaan tersebut terhadap dirinya atau harta
miliknya. Selain itu, Pasal 1325 KUH Perdata juga menjelaskan bahwa paksaan dapat
dilakukan tidak hanya terhadap individu yang terlibat, tetapi juga terhadap suami,
istri, dan anggota keluarga dalam garis keturunan atas maupun bawah. KUH Perdata
juga menegaskan bahwa dalam menilai apakah seseorang benar-benar merasakan
ketakutan yang wajar, harus mempertimbangkan faktor usia, jenis kelamin, dan status
sosial individu yang terlibat dalam situasi tersebut.
b. Pasal 1328 KUH Perdata mengatur ketentuan mengenai penipuan (bedrog) yang
dapat menjadi alasan untuk membatalkan suatu kesepakatan. Pasal tersebut
menyebutkan bahwa penipuan dapat menjadi dasar pembatalan perjanjian jika pihak
yang dirugikan dapat membuktikan bahwa mereka tidak akan menyetujui
kesepakatan tersebut jika tidak ada tindakan penipuan yang dilakukan oleh pihak lain.
Dalam konteks perjanjian utang-piutang, ketentuan ini dapat digunakan oleh debitur
untuk mengajukan gugatan terhadap kreditur yang meminta dilakukannya Perjanjian
Pengikatan Jual Beli (PPJB) dengan Kuasa Menjual sebagai syarat untuk menjadi
jaminan dalam perjanjian utang-piutang mereka.
c. Ketentuan mengenai kesalahan/kesesatan/kekeliruan (dwaling) diatur dalam Pasal
1338 hingga Pasal 1345 KUH Perdata. Pasal-pasal ini menjelaskan bahwa suatu
perjanjian dapat dinyatakan batal jika salah satu pihak melakukan kesalahan dalam
memberikan informasi atau mengetahui informasi yang salah, dan kesalahan tersebut
merupakan faktor yang mempengaruhi kesepakatan antara kedua belah pihak. Untuk
membuktikan adanya kesalahan yang cukup signifikan sehingga dapat mempengaruhi
keabsahan perjanjian, pihak yang merasa dirugikan harus dapat menunjukkan bahwa
mereka tidak akan menyetujui perjanjian tersebut jika mereka mengetahui kebenaran
yang sebenarnya.
d. Ketentuan mengenai penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden) diatur
dalam Pasal 1339 hingga Pasal 1341 KUH Perdata. Pasal-pasal ini mengatur bahwa
suatu perjanjian dapat dinyatakan batal jika salah satu pihak memanfaatkan keadaan

9|Page
tertentu atau kelemahan yang dimiliki oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan
yang tidak adil. Penyalahgunaan keadaan ini terjadi ketika pihak yang lebih kuat
memanfaatkan kelemahan atau ketidakmampuan pihak yang lebih lemah dalam
melakukan tindakan hukum. Dalam kasus penyalahgunaan keadaan, kelemahan atau
ketidakmampuan tersebut dapat berupa kondisi fisik, mental, ekonomi, atau keadaan
lain yang mempengaruhi kemampuan seseorang dalam memberikan persetujuan yang
bebas dan adil. Jika penyalahgunaan keadaan dapat dibuktikan, perjanjian yang dibuat
dalam kondisi tersebut dapat dinyatakan batal atau dapat diminta untuk dimodifikasi
agar lebih adil bagi pihak yang dirugikan. Penyalahgunaan keadaan adalah upaya
untuk melindungi pihak yang lebih lemah dari eksploitasi atau perlakuan yang tidak
adil dalam suatu perjanjian, dan pengadilan dapat mempertimbangkan faktor-faktor
seperti kesenjangan kekuasaan, ketidakadilan, dan keburukan moral dalam menilai
apakah terjadi penyalahgunaan keadaan.

Praktik yang umum dilakukan oleh masyarakat, yaitu menggunakan akta PPJB
dan Kuasa Menjual sebagai jaminan dalam perjanjian utang-piutang, sebenarnya tidak
dapat dibenarkan. Hal ini disebabkan karena Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB)
merupakan sebuah perjanjian pendahuluan yang mempersiapkan proses jual beli antara
dua pihak . Di sisi lain, Perjanjian Utang-Piutang memiliki struktur yang berbeda dari
PPJB. Perjanjian Utang-Piutang pada dasarnya adalah perjanjian yang melibatkan
hubungan utang-piutang antara dua pihak, sedangkan PPJB pada dasarnya adalah proses
jual beli antara satu pihak dengan pihak lainnya. PPJB dan Perjanjian Utang-Piutang
adalah dua perjanjian yang mandiri dan tidak dapat saling terkait satu sama lain karena
mereka memiliki prinsip yang berbeda.
Keberadaan PPJB dan Kuasa Menjual ini terjadi karena Pihak kreditur merasa
bahwa hal tersebut sangat efektif dan lebih mudah dimana, biayanya murah serta tidak
berbelit-belit apabila objek jaminan akan dijual pada saat debitur cidera janji/wanprestatsi
sebagai jaminan dalam perjanjian utang-piutang yang dilakukan dengan Perjanjian
Perikatan Jual Beli, hal ini terjadi karena ada unsur Penyalahgunaan keadaan (misbruik
van omstandigheden) dimana jika seseorang tergerak karena keadaan khusus (bijzondere

10 | P a g e
omstandigheden) untuk melakukan tindakan hukum dan pihak lawan menyalahgunakan
hal ini.6 Titik pangkal yang menjadikan suatu perjanjian tidak seimbang adalah karena
pengaruh faktor ekonomi, dimana karena posisi kreditor yang secara ekonomis kuat,
maka peluang kreditor untuk menyalahgunakan kekuasaan ekonomi (misbruik van
economish overwicht), sehingga sedemikian lemahnya posisi debitor.7 Jika dilihat dengan
cermat, peristiwa tersebut pada dasarnya dilindungi oleh prinsip kebebasan berkontrak,
yang memberikan kekuatan mengikat pada perjanjian atau kontrak. Namun, jika
kesepakatan yang dibuat tidak didasarkan pada kehendak bebas pihak-pihak yang terlibat,
atau terjadi karena adanya keterpaksaan dari salah satu pihak, maka kontrak tersebut
dapat dibatalkan berdasarkan penyalahgunaan keadaan. Penyalahgunaan keadaan ini
sering terjadi ketika terdapat ketidakseimbangan kekuatan tawar antara pihak-pihak yang
terlibat. Pihak yang lebih lemah tidak memiliki pilihan untuk menghindar dari
kesepakatan tersebut, sementara pihak yang lebih kuat telah memanfaatkan situasi
tersebut dan menyalahgunakannya dengan memaksa isi kontrak.
Dalam hal ini, kesenjangan kekuatan tawar menjadi penyebab terjadinya
penyalahgunaan keadaan. Pihak yang berada dalam posisi yang lebih lemah tidak
memiliki kemampuan untuk melawan atau menolak ketentuan-ketentuan yang tidak
menguntungkan dalam kontrak tersebut. Sementara itu, pihak yang lebih kuat
memanfaatkan keadaan tersebut dan memaksa pihak yang lemah untuk menerima isi
kontrak yang merugikan mereka. Dalam konteks ini, ketidakadilan dalam Perjanjian
menjadi faktor yang menyebabkan terjadinya penyalahgunaan keadaan. Hal ini
memungkinkan untuk membatalkan kontrak atau perjanjian tersebut berdasarkan alasan
penyalahgunaan keadaan yang terjadi dalam proses perjanjian.
Pada prinsipnya (das sollen), suatu Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) dan
Kuasa Menjual yang dibuat secara notariil di hadapan notaris sesuai peraturan hukum
yang berlaku dianggap sah dan mengikat bagi para pihak yang membuatnya untuk
mematuhi dan melaksanakannya. Namun, dalam praktiknya (das soein) , masih

6
Herlien Budiono (1), Ajaran Umum Hukum Perjanjian Dan Penerapannya Di Bidang Kenotariatan, Cet. 1,
(Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2009), hlm. 99
7
Ridwan Khairandy, Hukum Kontrak Indonesia dalam Perspektif Perbandingan (Bagian Pertama), Cet. 1,
(Yogyakarta: FH UII Press, 2013), hlm. 233

11 | P a g e
ditemukan situasi di mana PPJB, Kuasa Menjual, dan Akta Jual Beli (AJB) yang dibuat
oleh pihak-pihak yang sah dan di notariilkan, dinyatakan batal secara hukum oleh
putusan pengadilan. Hal ini disebabkan karena terbukti bahwa pada saat pembuatan
perjanjian dan akta tersebut, terjadi penyalahgunaan keadaan (misbruik van
onstandigheden).
Pada dasarnya memang kebebasan berkontrak mengandung makna bahwa subyek
hukum dalam berkontrak yaitu para pihak, bebas menentukan mitra kontraknya dan
bentuk kontrak, isi atau syarat kontrak dan mekanisme jika terjadi perselisihan. asas
kebebasan berkontrak bagi setiap individu, memiliki pengertian sebagai kebebasan
melakukan perjanjian dan kebebasan membuat isi perjanjian dalam berkontrak namun
demikian meskipun ada asas kebebasan berkontrak (freedom of contract) yang diatur
dalam pasal 1338 KUH Perdata, Pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata secara tegas menetapkan
suatu perjanjian mempunyai daya kekuatan mengikat sebagai Undang-Undang, bahkan
berlaku sebagai lex specialis terhadap ketentuan umum yang berlaku dan mengikat para
pihak yang menandatangani kontrak tersebut.8 Namun, kebebasan berkontrak yang
dimaksud tidak berarti tanpa batasan sama sekali. Terdapat undang-undang, doktrin
hukum, dan putusan pengadilan yang dapat membatasi agar kebebasan berkontrak tidak
melenceng. Pembatasan terhadap prinsip kebebasan berkontrak juga dapat disimpulkan
melalui Pasal 1338 ayat (3), yang menyatakan bahwa suatu perjanjian hanya akan
dilaksanakan dengan itikad baik. Oleh karena itu, para pihak tidak dapat sembarangan
menentukan klausul-klausul dalam perjanjian tersebut, tetapi harus didasarkan dan
dilaksanakan dengan itikad baik. Jika suatu perjanjian didasarkan pada itikad buruk,
misalnya penipuan, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan menurut hukum.
Dengan demikian, meskipun prinsip kebebasan berkontrak memberikan
kebebasan kepada pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian untuk menentukan syarat-
syarat dan ketentuan-ketentuan, tetapi kebebasan tersebut tetap memiliki batasan dalam
hal itikad baik. Prinsip itikad baik mengharuskan pihak-pihak untuk berperilaku jujur,

8
Ricardo Simanjuntak, “Akibat Dan Tindakan-Tindakan Hukum Terhadap Pencantuman Klausula Baku Dalam
Polis Asuransi Yang Bertentangan Dengan Pasal 18 Undang-Undang No.8/1999 Tentang Perlindungan Konsumen”,
Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 22, No. 2, Tahun 2003, h. 56

12 | P a g e
adil, dan tidak melakukan tindakan penipuan atau kecurangan dalam pembuatan dan
pelaksanaan perjanjian. Jika ada pelanggaran terhadap prinsip itikad baik, perjanjian
tersebut dapat dibatalkan menurut hukum.
.
Praktek yang melibatkan keterpaksaan, ketidakseimbangan, atau penyalahgunaan
keadaan atau kesempatan dalam proses pembuatan dan pelaksanaan suatu perikatan,
terutama perjanjian, dianggap sebagai Perbuatan Melawan Hukum. Prinsip ini telah
diterima dalam praktik peradilan di Indonesia dan menjadi bagian dari yurisprudensi
yang mapan, sebagaimana tercermin dalam putusan-putusan Mahkamah Agung. Dalam
praktik peradilan, terdapat kasus di mana PPJB LUNAS (Perjanjian Perikatan Jual Beli
yang sudah lunas) dibatalkan oleh Pengadilan atau Mahkamah Agung. Hal ini terjadi
karena terbukti bahwa PPJB LUNAS tersebut awalnya berasal dari hubungan hukum
pinjam meminjam uang atau hutang piutang antara kreditor dan debitor. Setelah terjadi
kegagalan pembayaran hutang, debitor diminta untuk membuat dan menandatangani akta
Pengakuan Hutang serta PPJB. Debitor kemudian tidak memenuhi kewajibannya untuk
membayar hutang kepada kreditor. Berdasarkan PPJB tersebut, kreditor bertindak sebagai
Pembeli, sementara debitor bertindak sebagai Penjual, dan mereka melakukan
penandatanganan Akta Perjanjain Perikatan Jual Beli di hadapan Pejabat Pembuat Akta
Tanah (PPAT) yang juga berfungsi sebagai Notaris dalam pembuatan akta PPJB tersebut.
PPJB LUNAS semacam ini kemudian dikualifikasi sebagai jual beli proforma
(schijnhandeling) yang dilakukan oleh pihak kreditor yang memiliki posisi yang lebih
kuat secara ekonomi dalam hubungan hutang piutang dengan debitor. Tindakan ini
dianggap sebagai penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden). Seperti
contoh kasus dibawah ini.

1. Kasus dalam Putusan Pengadilan Negeri Bantul Nomor 60/Pdt.G/2012/PN.Btl,


juncto Putusan Pengadilan Tinggi Yogyakarta Nomor 02/PDT/2014/PTY, juncto
Putusan Mahkamah Agung Nomor 2709 K/Pdt/2014 juncto Putusan Mahkamah
Agung Nomor 549 PK/Pdt/2016.

13 | P a g e
Pokok perkaranya pada sekitar tahun 2006 Almarhum Bapak Heru Triyanto terlibat
hutang piutang dengan Bapak H. Ichap yang bertempat tinggal di Jetis, Trimulyo, Bantul
sejumlah Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah). awalnya hutang piutang tersebut
sebenarnya dikarenakan Almarhum Bapak Heru Triyanto membeli kayu bangunan
kepada Bapak Ichap yang pada saat itu dibayarkan dengan cek. kemudian hari Supardi
(tergugat 1), istri Tergugat I dan stafnya serta Budiyanta (Tergugat IV) datang ke rumah
Penggugat untuk meminta tanda tangan yang dikemudian hari barulah Penggugat ketahui
bahwa tanda tangan tersebut adalah Surat Kuasa Menjual No. 05 tertanggal 16 Januari
2007 yang dibuat oleh Yusniar, Sh.,M.Kn Selaku Notaris di Bantul (tergugat 2), dimana
penjual selaku pemberi kuasa memberikan kuasa kepada pembeli terkait PPJB lunas
sebagai perjanjian pokoknya sedangkan Kuasa Menjual sebagai perjanjian bantuannya
(accesoir). Kemudian muncul Akta pengakuan hutang nomor : 02 tertanggal 09
September 2006 antara Budiyanta (tergugat 4) dengan Supardi (tergugat 1). di dalam
Akta Pengakuan Hutang tersebut secara jelas dikatakan bahwa tergugat 4 menjaminkan
sebagian dari sebidang tanah milik Almarhum Bapak Heru Triyanto Yang kemudian
dikenal dengan "objek sengketa”.dan selanjutnya ternyata telah terjadi jual beli rumah
(objek sengekta) serta akal-akalan. Hal ini ditandai dengan adanya "akta jual beli" yang
juga akalakalan yang dibuat oleh dan dihadapan Notaris Evita Wahyu Winarti, Sh
(tergugat 3). Dalam Akta Jual Beli No. 0912007 tertanggal 27 Juni 2007 tersebut
dinyatakan bahwa Supardi (tergugat 1) bertindak selaku kuasa dari almarhum bapak
Heru Triyanto berdasarkan Surat Kuasa untuk Menjual No. 05 tertanggal 16 Januari 2007
yang dibuat oleh dan dihadapan Tergugat II. Hubungan hukum yang awalnya terjadi
antara kreditur dan debitur dengan menjadi perbuatan jual beli sehingga saat debitur
(seolah penjual) tidak bisa melunasi kewajiban utang piutangnya kepada kreditur (seolah
pembeli) maka akta PJPB lunas berikut Kuasa Menjual langsung dipakai sebagai dasar
untuk penandatangan AJB dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).
Dalam Putusan Putusan Mahkamah Agung Nomor 2709 K/Pdt/2014 dan di
perkuat dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 549 PK/Pdt/2016 memutuskan bahwa
objek sengketa adalah harta bersama Penggugat dengan almarhum suaminya dan akta
jual-beli Nomor 09/2997 tertanggal 27 Juni 2007 yang dibuat dihadapan tergugat

14 | P a g e
3/Notaris adalah dapat dibatalkan karena didasarkan ada tekanan, lagi pula penggugat
sebagai isteri tidak ikut tanda tangan, lagi pula akta tersebut atas objek sengketa
peralihannya didasarkan pada surat kuasa mutlak, dan bahwa surat kuasa mutlak telah
dilarang.
Penulis setuju dengan putusan pengadilan pada kasus diatas, dimana akta PPJB berikut
kuasa menjual yang tidak murni diatas yang dibuat Notaris adalah tidak sah (nuul and
void). Hal ini menurut penulis karena kausa yang menjadi tujuan akhir dari isi perjanjian
tidak benar dan melanggar syarat subyektif sebagaimana tercantum dalam Pasal 1320
KUHPerdata. dalam hal ini juga penulis menyimpulkan dalam kasus diatas bahwa
penggugat dapat membuktikan bahwa adanya tindakan perbuatan melawan hukum dari
para pihak penggugat hal ini tentu dapat mempengaruhi keputusan hakim. Berdasarkan
pasal 1866 KUH Perdata/pasal 164 HIR, alat bukti yang diakui dalam perkara perdata
terdiri dari bukti tulisan, bukti saksi, persangkaan, pengakuan dan sumpah. Alat bukti
tulisan/tertulis/surat, ditempatkan dalam urutan pertama. Hal ini bersesuaian dengan
kenyataan bahwa dalam perkara perdata, surat/dokumen/akta memegang peran penting.
Pembuktian dalam Perkara Perdata adalah upaya untuk memperoleh kebenaran
formil (formeel waarheid). Kebenaran formil didasarkan pada formalitas-formalitas
hukum sehingga akta otentik memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna dan
mengikat. Sempurna berarti hakim tidak memerlukan alat bukti lain untuk memutus
perkara selain berdasarkan alat bukti otentik dimaksud. Sedangkan mengikat berarti
hakim terikat dengan alat bukti otentik kecuali dapat dibuktikan sebaliknya. Alat bukti
yang menguatkan dan mempengaruhi keputusan hakim adalah muncul Akta pengakuan
hutang nomor : 02 tertanggal 09 September 2006 antara Budiyanta (tergugat 4) dengan
Supardi (tergugat 1). di dalam Akta Pengakuan Hutang tersebut secara jelas dikatakan
bahwa tergugat 4 menjaminkan sebagian dari sebidang tanah milik Almarhum Bapak
Heru Triyanto Yang kemudian dikenal dengan "objek sengketa”.

2. Dalam putusan nomor 247/Pdt.G/2017/PN Blb,


Dalam pokok perkara Penggugat mengajukan permohonan pinjaman modal usaha kepada
R. Denny Djatnika sebesar Rp.300.000.000,- dengan jaminan tanah seluas 1950 m² yang

15 | P a g e
tercatat dalam Sertifikat Hak Milik (SHM) nomor 642/Desa Linggar tanggal 4 Agustus
1994. Tergugat I memberikan pinjaman sejumlah Rp.125.000.000,- sesuai dengan Surat
Perjanjian tanggal 18 September 2000 yang ditandatangani oleh R. Denny Djatnika
(Tergugat 1) dan Anang Suhanda (Penggugat). Dalam Surat Perjanjian tersebut, sejumlah
Rp.30.000.000,- telah diterima oleh Tergugat II sebagai potongan hutang kepada
Tergugat I, dan sejumlah Rp.84.500.000,- diterima oleh Tergugat IV sebagai modal usaha
bersama antara Penggugat dan Tergugat IV, dengan Penggugat juga menerima
Rp.10.500.000,-. Permohonan pinjaman diajukan dengan persetujuan Tergugat III, yang
saat itu masih merupakan istri Penggugat, dan Tergugat IV selaku Direktur PD Surya
Mie.
Pada tanggal 20 Februari 2001, Penggugat membayar sejumlah Rp.19.000.000,- sebagai
pembayaran atas pinjaman. Tergugat I berpendapat bahwa pembayaran tersebut bukan
merupakan pembayaran pokok pinjaman, melainkan pembayaran keuntungan sesuai yang
disepakati dalam Surat Perjanjian. Meskipun pembayaran tersebut diterima oleh Tergugat
I, Penggugat tidak melakukan pembayaran lagi setelahnya. Penggugat juga mengajukan
permohonan perpanjangan pinjaman pada tanggal 21 Desember 2000, meminta waktu
tambahan selama 2-3 bulan untuk pengembalian pinjaman, yang ditandatangani oleh
Penggugat dan Tergugat IV sebagai penanggung jawab modal.
Hingga batas waktu yang telah ditentukan oleh Tergugat I, Penggugat tetap tidak
membayar atau mengembalikan pinjaman sesuai dengan kesepakatan dalam Surat
Perjanjian tanggal 18 September 2000. Maka, setelah itu, dibuatlah kesepakatan antara
Penggugat dan Tergugat I dalam Surat Kesepakatan tanggal 1 Mei 2003. Namun,
kemudian terjadi peralihan kepemilikan SHM nomor 642/Desa Linggar tersebut dari
Wilastra kepada Anang Suhanda melalui Akta Jual Beli nomor 341/2004 tanggal 8 Mei
2004 yang dibuat oleh Netty Herlina Lukman. Namun, Penggugat tidak pernah menjual
objek sengketa tersebut kepada Tergugat I. Penggugat mengakui bahwa objek sengketa
tersebut adalah jaminan dari pinjaman yang diajukan kepada Tergugat I (alm. R. Denny
Djatnika) sesuai dengan Surat Perjanjian sebelumnya. Dari Surat Perjanjian tersebut,
kemudian dibuatlah Akta Pengikatan Jual Beli, Akta Kuasa menjual
Pada akhirnya Putusan pengadilan menyatakan beberapa hal diantaranya yaitu:

16 | P a g e
a. Pertama, Akta Pengikatan Jual Beli (APJB) nomor 64, Akta Perjanjian
Pengosongan nomor 65, dan Akta Kuasa Jual nomor 66 dinyatakan batal dan
tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
b. Kedua, Hak kepemilikan atas nama Tergugat I, sebagaimana yang tercatat
dalam Akta Jual Beli (AJB) nomor 341/2004 yang dibuat di kantor Turut
Tergugat II, dinyatakan tidak sah dan tidak memiliki kekuatan hukum
c. Ketiga, Penggugat secara sah merupakan pemilik sebidang tanah seluas 1950
m² yang merupakan tempat berdirinya sebuah rumah batu. Tanah tersebut
terletak di Desa Linggar, Kecamatan Rancaekek, Kabupaten Bandung
Dari putusan tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat permasalahan hukum yang
terkait dengan keabsahan akta dan tanggung jawab Notaris/PPAT terhadap akta yang
dibuat. Ada perlindungan hukum yang diberikan kepada Notaris/PPAT terkait dengan
akta, sebagaimana yang dijelaskan dalam pokok perkara, yang menyatakan bahwa
Tergugat I, Tergugat II, dan Tergugat IV telah melakukan penyalahgunaan keadaan
(misbruik van onstandigheden) yang menyebabkan semua akta yang dibuat bersama
dengan Penggugat menjadi batal secara hukum.
Menurut penulis, dalam kasus ini penyalahgunaan keadaan (misbruik van
onstandigheden) terjadi karena Tergugat I bermaksud untuk mempermudah penyelesaian
masalah hutang piutang dengan menjual tanah yang menjadi jaminan hutang piutang
tersebut kepada dirinya sendiri atau orang lain jika Penggugat wanprestasi. Tergugat I
bertujuan untuk menguntungkan dirinya sendiri dan merugikan orang lain, termasuk
Penggugat. Keuntungan yang diperoleh oleh Tergugat I adalah keuntungan ekonomi dan
juga keuntungan dalam keadaan nantinya (menguntungkan posisi Tergugat I dan
merugikan Penggugat). Tergugat I tidak memiliki niat baik terhadap Penggugat, yang
dibuktikan dengan akta-akta yang dibuatnya yang merugikan Penggugat. Oleh karena itu,
berdasarkan alasan tersebut, tindakan yang dilakukan oleh Tergugat I dapat dikategorikan
sebagai penyalahgunaan keadaan (misbruik van onstandigheden).

6. KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan :

17 | P a g e
Perjanjian utang piutang melalui pembuatan perjanjian pengikatan jual beli dan
kuasa menjual mengakibatkan munculnya praktik penyalahgunaan keadaan (misbruik
van omstandigheden) dan tindakan pura-pura (perjanjian simulasi). Artinya, dalam proses
terbentuknya perjanjian pengikatan jual beli dan kuasa menjual, terjadi pelanggaran yang
merugikan pihak yang berada dalam posisi ekonomi yang lebih lemah. Ketidaksesuaian
antara niat dan pernyataan pihak lain dapat menyebabkan kerugian di masa depan.
Namun, jika pihak yang merasa dirugikan dapat membuktikan bahwa perjanjian tersebut
tidak memenuhi syarat hukum atau tidak sah secara hukum karena tidak memenuhi syarat
subjektif atau obyektif perjanjian yang sah, maka pihak yang berada dalam posisi yang
lebih lemah akan mendapatkan perlindungan hukum. Dalam hal ini, jika terdapat
pelanggaran atau kesalahan dalam pembentukan perjanjian, pihak yang dirugikan dapat
mengajukan gugatan dan memperoleh pemulihan hak-haknya berdasarkan hukum yang
berlaku.
Saran:
Pemerintah perlu mengatur secara konkret dan jelas batasan-batasan serta regulasi
yang berkaitan dengan penyalahgunaan keadaan. Hal ini diperlukan untuk melindungi
pihak-pihak yang berada dalam posisi yang lebih lemah dan berpotensi dirugikan. Selain
ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1321 KUH Perdata, batasan-batasan dan larangan-
larangan terhadap penyalahgunaan keadaan perlu diatur secara spesifik.
Regulasi ini akan menjadi payung hukum yang melindungi pihak-pihak yang
rentan dari penyalahgunaan keadaan. Meskipun yurisprudensi di Indonesia berkembang
sebagai perkembangan ilmu hukum itu sendiri, namun hukum tertulis (undang-undang)
tidak selalu lengkap dan sering tertinggal dalam mengatasi masalah yang berkaitan
dengan penyalahgunaan keadaan. Oleh karena itu, peran pemerintah dalam menyusun
regulasi yang konkret dan jelas sangat penting untuk mengisi celah tersebut dan
memberikan perlindungan hukum yang memadai bagi pihak-pihak yang terancam
dirugikan.
.
7. Referensi

18 | P a g e
R. Subekti, dan R. Tjiptosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta,1994.
Diana RW Napitupulu dikutip dari Idris Zainal, Ketentuan Jual-Beli Menurut Hukum
Perdata, Dalam Buku Materi pelajaran Hukum Pertanahan BMP.UKI: DN-02-HP-MH-
II-2022.
D.Y.Witanto, Hukum Acara Mediasi, cetakan kedua, Bandung: Alfabeta, 2012
Hulman Panjaitan.Kumpulan kaidah Hukum Putusan Mahkamah agung Republik Indonesia
tahun 1953-2008 berdasarkan penggolongannya.Kencana. 201 6.
Subekti, Hukum Perjanjian, PT.Intermesa, Jakarta, 2005.
J.Satrio, Hukum Perikatan-perikatan pada Umumnya, PT.Alumni, Bandung 1999.
Herlien Budiono (1), Ajaran Umum Hukum Perjanjian Dan Penerapannya Di Bidang
Kenotariatan, Cet. 1, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2009).
Ridwan Khairandy, Hukum Kontrak Indonesia dalam Perspektif Perbandingan (Bagian
Pertama), Cet. 1, (Yogyakarta: FH UII Press, 2013).
Ricardo Simanjuntak, “Akibat Dan Tindakan-Tindakan Hukum Terhadap Pencantuman
Klausula Baku Dalam Polis Asuransi Yang Bertentangan Dengan Pasal 18 Undang-
Undang No.8/1999 Tentang Perlindungan Konsumen”, Jurnal Hukum Bisnis, Vol.
22, No. 2, Tahun 2003.

19 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai