Anda di halaman 1dari 5

SENGKETA PENETAPAN BATAS INDONESIA MALAYSIA MENGENAI

PULAU SIPADAN-LIGITAN

Nama Richard Tommy Pantow


NIM 2040057030
Kelas Karyawan Fakultas Hukum UKI
Mata Kuliah Hukum Laut Internasional

Sengketa Sipadan-Ligitan mulai muncul pada tahun 1969 yaitu saat kedua
negara mengadakan perundingan penetapan batas landas kontinen di perairan Selat
Malaka dan Laut Sulawesi pada 22 September 1969 di Kuala Lumpur. Dalam
pembahasan tentang batas landas kontinen di laut Sulawesi secara bersamaan baik
delegasi Indonesia maupun Malaysia mengklaim pulau Sipadan dan Ligitan sebagai
miliknya. Akhirnya dalam perundingan ini disepakati kedua pihak menahan diri dan
tidak akan melakukan kegiatan apapun pada kedua pulau tersebut, sambil menunggu
penyelesaian masalahnya. Kesepakatan kedua negara ini ditafsirkan oleh Indonesia
sebagai penetapan “status quo” atas kedua pulau dimaksud. Namun dilain pihak
Malaysia sejak tahun 1980-an telah melakukan berbagai pembangunan infrastruktur
pariwisata bahari di kedua pulau, Sipadan dan Ligitan meskipun masih dalam status
sengketa. Indonesia beberapa kali mengajukan protes kepada Malaysia, namun
pengembangan pariwisata di kedua pulau berjalan terus.
Dari sejarah “kepemilikan” Pulau Sipadan dan Ligitan ini dapat ditelusuri jauh
kebelakang, berdasarkan argumen masing-masing negara, meliputi :

a. Indonesia memiliki data-data sejarah yang mendukung klaim kepemilikan atas


Pulau Sipadan dan Ligitan, yaitu :

1. Konvensi antara Belanda – Inggris pada tahun 1891 mengenai kesepakatan


daerah di selatan garis paralel 4′ 10 menit Lintang Utara milik Belanda dimana
Pulau Sipadan dan Ligitan berada di sebelah selatan garis itu.
2. Kesepakatan tersebut dikukuhkan dalam peta yang dibuat Belanda dan diakui
Inggris.
3. Peta-peta yang dibuat Kartografi Stanford (Inggris) dan peta yang dibuat Badan
Pemetaan Nasional Malaysia hingga 1970-an, tidak mencantumkan Sipadan –
Ligitan sebagai milik Malaysia.
4. Belanda telah melakukan kedaulatan dengan melakukan survei serta patroli
dikedua pulau itu pada 1903 serta mendaratkan Kapal Lynx di Sipadan pada
1921.
5. Izin penambangan minyak yang dikeluarkan Pemerintah Indonesia dan Malaysia
mengacu pada Konvensi 1891.

b. Demikian juga dengan Malaysia memiliki data-data sejarah, yaitu:

1. Kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan secara estafet dari Sultan Dent/Overback
– Inggris – Malaysia serta Sultan Sulu -Spanyol – AS Inggris – Malaysia ( Chain
of Title ).
2. Doktrin penguasaan efektif secara berkesinambungan (effective occupation) atas
kedua pulau tersebut.
3. Malaysia lebih banyak memiliki bukti tindakan administratif di kedua pulau itu.
Antara lain penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung oleh Inggris pada
1917, penarikan pajak bagi pengumpul telur penyu sejak tahun 1930 dan
pengoperasian mercusuar sejak tahun 1960-an serta melaksanakan aktivitas
kepariwisataan sejak 1980.
4. Fakta bahwa, kapal perang AS pada 1903 mengunjungi Pulau Sipadan dan
mengklaim menjadi miliknya.
5. Tidak ada bukti tertulis bahwa kedua pulau itu pernah berada di bawah
administrasi Belanda yang diperoleh dari Kesultanan Bulungan.
6. Garis batas 40 10 menit Lintang Utara bukanlah allocation line, karena Ingris
tidak pemah mengindikasikan keinginannya untuk menentukan batas laut
territorial di Bomeo Utara.
Pada 30 April 1982 Konferensi PBB tentang hukum laut III di New York telah
berhasil menyusun United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS’ 82)
yang kemudian ditandatangani 117 negara termasuk Indonesia pada tanggal 10
Desember 1982 di Montego Bay, Jamaica. Melalui Undang-Undang Nomor 17 tahun
1985, tanggal 31 Desember 1985, Indonesia meratifikasi UNCLOS’ 82 yang berarti
bahwa seluruh perangkat hukum Indonesia yang sudah ada atau akan ada harus
mengacu kepada konvensi tersebut. Dengan telah berlakunya UN,CLOS ’82 secara
resmi diseluruh dunia sejak 16 Nopember 1994, maka Indonesia secara yuridis formal
telah diakui sebagai negara kepulauan, termasuk hak-hak dan kewajiban yang melekat
pada wilayah negara kepulauan. Salah satu kewajiban Indonesia adalah penyesuaian
cara penarikan garis pangkal sesuai dengan ketentuan dalam LJNCLOS ’82, yang
selanjutnya menjadi dasar untuk penetapan perbatasan wilayah laut, meliputi lebar Laut
Teritorial 12 mil (pasal 3 LTNCLOS ’82), Lajur Tambahan (Contigous Zone) 24 mil
(pasal 33), Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) selebar 200 mil (pasal 48 dan 57) serta
Landas Kontinen selebar 200 mil (pasal 76). Khusus untuk landas kontinen dimana
konfigurasi dasar lautnya sedemikian rupa sehingga batas terluamya berada di
continental margin yang terletak di luar 200 mil ditetapkan maksimum selebar 350 mil
dari garis pangkal atau 100 mil dari kedalaman laut 2500 meter.
Tahun 1989 – 1995 Dishidros TNI-AL telah melaksanakan survei lapangan guna
penyesuaian titik dasar yang terdapat dalam Undang-Undang 4/Prp/1960 (200 titik),
dimana telah didapatkan 232 titik dasar. Hasil penyesuaian penarikan garis pangkal
berdasarkan UNCLOS ’82, maka didapat 189 titik dasar.Hasil survei inilah (189 titik
dasar) yang digunakan sebagai lampiran dari Undang-Undang Nomor 6 tahun 1996
tentang Perairan Indonesia berupa Peta Iktisar wilayah yuridiksi Negara Kepulauan
Indonesia yang menggantikan Undang-Undang Nomor 4/Prpl1960, namun tanpa
mencantumkan daftar koordinat titik-titik dasar. Penetapan UU (Undang-Undang)
Nomor 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia ini antara lain dimaksud untuk
memasukkan (secara hukum) pulau Sipadan dan Ligitan yang tidak tercantum dalam
UU No. 4/Prpl1960, namun masih sangat lemah karena batas wilayah negara Republik
Indonesia hanya berupa Peta Iktisar, tanpa daftar koordinat titik-titik dasar. Bila kita
melihat kebelakang tentang upaya-upaya Indonesia yang telah dilakukan sejak tahun
1960-an untuk menyelesaikan sengketa pulau Sipadan Ligitan, maka sebenarnya
upaya-upaya tersebut cukup intensif, namun masih terdapat berbagai kekurangan-
kekurangan, antara lain:

 Sejak negara kesatuan Republik Indonesia terbentuk pada 1945, tidak pemah
melakukan aktivitas ekonomi di kedua pulau Sipadan dan Ligitan, jadi Indonesia
tidak ada upaya dalam pengelolaan sumberdaya yang terdapat pada kedua pulau
Sipadan dan Ligitan. Sebaliknya Malaysia sejah tahun 1980-an telah menjadikan
pulau Sipadan dan Ligitan sebagai pulau wisata bahari.
 Undang-Undang Nomor 4/Prp/1960 tentang Perairan Indonesia terdapat “Ke-
alpaan” para penyusun Undang-Undang tersebut yaitu dengan tidak mencantumkan
pulau Sipadan dan Ligitan dalam wilayah kedaulatan negara kepulauan Indonesia.
 Demikian juga dengan penetapan PP No. 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia
yang sekaligus menggantikan UU No.4/Prp/1960 tidak mencantumkan daftar
koordinat titik dasar wilayah kepulauan Indonesia, PP hanya dilampiri peta Ikhtisar
wilayah yuridiksi kepulauan Indonesia.
 Sistem pengarsipan Indonesia terhadap dokumen-dokumen sejarah, khususnya
menyangkut dokumen wilayah perbatasan yang ada sejak tahun 1900-an sangat
lemah, sehingga saat dokumen-dokumen dibutuhkan kita harus ke negara tertentu
misalnya Belanda dan Inggris untuk menelusurinya. Hal ini membutuhkan waktu dan
biaya yang besar dan belum tentu negara bersangkutan “mau memberikan secara
ikhlas” data dan peta-peta dimaksud.
 Pengelolaan pulau-pulau kecil yang terletak di wilayah perbatasan belum
mendapatkan perhatian yang memadai dari pemerintah pusat, khususnya aspek
ekonomi, social, budaya dan pertahanan keamanan sehingga beberapa pulau kecil
diperbatasan secara bebas didatangi orang asing bahkan mereka berinteraksi dan
menetap di pulau-pulau tersebut.

Terlepasnya pulau Sipadan dan Ligitan menjadi milik Malaysia harus dapat
menyadarkan bangsa Indonesia untuk mengambil strategi kebijakan dalam pengelolaan
pulau-pulau di wilayah perbatasan yang memiliki potensi konflik dengan
Mengembangkan pengelolaan pulau-pulau di wilayah di perbatasan, antara lain sebagai
wilayah konservasi dan objek wisata bahari.dan Pemberdayaan masyarakat di pulau-
pulau wilayah perbatasan, dimana secara umum potensi kelautan dan perikanan cukup
banyak serta Pembangunan sarana pengamanan, antara lain membangun Pos
Pengamatan TNI-AL (POSAL) dengan personil yang memadai jumlahnya dan sarana
pendukungnya. Disamping itu perlu secara rutin unsur-unsur TNI-AL dan Bakamla
mengadakan patroli kepulau-pulau di wilayah perbatasan, sehingga kesadaran
masyarakat sebagai bagian dari NKRI dapat di pelihara. Pemerintah juga dapat
Mengubah status wilayah pulau-pulau diperbatasan yang selama ini sebagai cost
center menjadi profit center guna meningkatkan taraf hidup penduduknya., yang harus
diagendakan bersama antara Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat, termasuk
aparat keamanan.

Anda mungkin juga menyukai