Anda di halaman 1dari 2

Alisya Benyna

XI MIPA 6/2
PPKN SENGKETA PULAU LIGITAN DAN SIPADAN

Kronologi Sengketa
Persengketaan antara Indonesia dengan Malaysia, mencuat pada tahun 1967 ketika dalam
pertemuan teknis hukum laut antara kedua negara, masing-masing negara ternyata memasukkan
pulau Sipadan dan pulau Ligitan ke dalam batas-batas wilayahnya. Kedua negara lalu sepakat
agar Sipadan dan Ligitan dinyatakan dalam keadaan status status quo akan tetapi ternyata
pengertian ini berbeda. Pihak Malaysia membangun resor pariwisata baru yang dikelola pihak
swasta Malaysia karena Malaysia memahami status quo sebagai tetap berada di bawah Malaysia
sampai persengketaan selesai, sedangkan pihak Indonesia mengartikan bahwa dalam status ini
berarti status kedua pulau tadi tidak boleh ditempati/diduduki sampai persoalan atas kepemilikan
dua pulau ini selesai. Sedangkan Malaysia malah membangun resort di sana SIPADAN dan
Ligitan tiba-tiba menjadi berita, awal bulan lalu. Ini, gara-gara di dua pulau kecil yang terletak di
Laut Sulawesi itu dibangun cottage. Di atas Sipadan, pulau yang luasnya hanya 4 km2 itu, siap
menanti wisatawan. Pengusaha Malaysia telah menambah jumlah penginapan menjadi hampir 20
buah. Dari jumlahnya, fasilitas pariwisata itu memang belum bisa disebut memadai. Tapi
pemerintah Indonesia, yang juga merasa memiliki pulau-pulau itu, segera mengirim protes ke
Kuala Lumpur meminta agar pembangunan di sana dihentikan terlebih dahulu. Alasannya,
Sipadan dan Ligitan itu masih dalam sengketa, belum diputus siapa pemiliknya. Pada tahun 1969
pihak Malaysia secara sepihak memasukkan kedua pulau tersebut ke dalam peta nasionalnya.
Pada tahun 1976, Traktat Persahabatan dan Kerja Sama di Asia Tenggara atau TAC (Treaty of
Amity and Cooperation in Southeast Asia) dalam KTT pertama ASEAN di pulau Bali ini antara
lain menyebutkan bahwa akan membentuk Dewan Tinggi ASEAN untuk menyelesaikan
perselisihan yang terjadi di antara sesama anggota ASEAN akan tetapi pihak Malaysia menolak
beralasan karena terlibat pula sengketa dengan Singapura untuk klaim pulau Batu Puteh,
sengketa kepemilikan Sabah dengan Filipina serta sengketa kepulauan Spratly di Laut Cina
Selatan dengan Brunei Darussalam, Filipina, Vietnam, Cina, dan Taiwan. Pihak Malaysia pada
tahun 1991 lalu menempatkan sepasukan polisi hutan (setara Brimob) melakukan pengusiran
semua warga negara Indonesia serta meminta pihak Indonesia untuk mencabut klaim atas kedua
pulau.
Sikap pihak Indonesia yang ingin membawa masalah ini melalui Dewan Tinggi ASEAN dan
selalu menolak membawa masalah ini ke ICJ kemudian melunak. Dalam kunjungannya ke Kuala
Lumpur pada tanggal 7 Oktober 1996, Presiden Soeharto akhirnya menyetujui usulan PM
Mahathir tersebut yang pernah diusulkan pula oleh Mensesneg Moerdiono dan Wakil PM Anwar
Ibrahim, dibuatkan kesepakatan "Final and Binding,"pada tanggal 31 Mei 1997, kedua negara
menandatangani persetujuan tersebut. Indonesia meratifikasi pada tanggal 29 Desember 1997
dengan Keppres Nomor 49 Tahun 1997 demikian pula Malaysia meratifikasi pada 19 November
1997.
Hasil Keputusan Mahkamah Internasional
Pada tahun 1998 masalah sengketa Sipadan dan Ligitan dibawa ke ICJ, kemudian pada hari
Selasa 17 Desember 2002 ICJ mengeluarkan keputusan tentang kasus sengketa kedaulatan Pulau
Sipadan-Ligitan antara Indonesia dengan Malaysia. Hasilnya, dalam voting di lembaga itu,
Malaysia dimenangkan oleh 16 hakim, sementara hanya 1 orang yang berpihak kepada
Indonesia. Dari 17 hakim itu, 15 merupakan hakim tetap dari MI, sementara satu hakim
merupakan pilihan Malaysia dan satu lagi dipilih oleh Indonesia. Kemenangan Malaysia, oleh
karena berdasarkan pertimbangan effectivity (tanpa memutuskan pada pertanyaan dari perairan
teritorial dan batas-batas maritim), yaitu pemerintah Inggris (penjajah Malaysia) telah melakukan
tindakan administratif secara nyata berupa penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung,
pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu sejak tahun 1930, dan operasi mercu
suar sejak 1960-an. Sementara itu, kegiatan pariwisata yang dilakukan Malaysia tidak menjadi
pertimbangan, serta penolakan berdasarkan chain of title (rangkaian kepemilikan dari Sultan
Sulu) akan tetapi gagal dalam menentukan batas di perbatasan laut antara Malaysia dan
Indonesia di selat Makassar.

Pendapat Saya
Menurut saya keputusan Mahkamah Internasional sangat baik untuk memberikan kedua pulau
tersebut kepada Malaysia karena menilai dari efektifitas Malaysia yang lebih konsisten terhadap
kedua pulau tersebut.

Anda mungkin juga menyukai