A.Latar Belakang
Sengketa Sipadan dan Ligitan adalah persengketaan Indonesia dan Malaysia atas
pemilikan terhadap kedua pulau yang berada di Selat Makassar yaitu pulau Sipadan (luas:
50.000 meter²) dengan koordinat: 4°6′52.86″N 118°37′43.52″E dan pulau Ligitan (luas:
18.000 meter²) dengan koordinat: 4°9′N 118°53′E. Sikap Indonesia semula ingin membawa
masalah ini melalui Dewan Tinggi ASEAN namun akhirnya sepakat untuk menyelesaikan
sengketa ini melalui jalur hukum Mahkamah Internasional
B. Kronologis Konflik
Persengketaan antara Indonesia dengan Malaysia, mencuat pada tahun 1967 ketika dalam
pertemuan teknis hukum laut antara kedua negara, masing-masing negara ternyata
memasukkan pulau Sipadan dan pulau Ligitan ke dalam batas-batas wilayahnya. Kedua negara
lalu sepakat agar Sipadan dan Ligitan dinyatakan dalam keadaan status status quo akan tetapi
ternyata pengertian ini berbeda. Pihak Malaysia membangun resor pariwisata baru yang dikelola
pihak swasta Malaysia karena Malaysia memahami status quo sebagai tetap berada di bawah
Malaysia sampai persengketaan selesai, sedangkan pihak Indonesia mengartikan bahwa dalam
status ini berarti status kedua pulau tadi tidak boleh ditempati/diduduki sampai persoalan atas
kepemilikan dua pulau ini selesai. Sedangkan Malaysia malah membangun resort di sana
SIPADAN dan Ligitan tiba-tiba menjadi berita, awal bulan lalu. Ini, gara-gara di dua pulau kecil
yang terletak di Laut Sulawesi itu dibangun cottage. Di atas Sipadan, pulau yang luasnya hanya
4 km2 itu, siap menanti wisatawan. Pengusaha Malaysia telah menambah jumlah penginapan
menjadi hampir 20 buah. Dari jumlahnya, fasilitas pariwisata itu memang belum bisa disebut
memadai. Tapi pemerintah Indonesia, yang juga merasa memiliki pulau-pulau itu, segera
mengirim protes ke Kuala Lumpur meminta agar pembangunan di sana dihentikan terlebih
dahulu. Alasannya, Sipadan dan Ligitan itu masih dalam sengketa, belum diputus siapa
pemiliknya. Pada tahun 1969 pihak Malaysia secara sepihak memasukkan kedua pulau tersebut
ke dalam peta nasionalnya.
Pada tahun 1976, Traktat Persahabatan dan Kerja Sama di Asia Tenggara atau TAC (Treaty of
Amity and Cooperation in Southeast Asia) dalam KTT pertama ASEAN di pulau Bali beralasan
karena terlibat pula sengketa dengan Singapura untuk klaim pulau Batu Puteh, sengketa
kepemilikan Sabah dengan Filipina serta sengketa kepulauan Spratly di Laut Cina
Selatan dengan Brunei Darussalam, Filipina, Vietnam, Cina, dan Taiwan. Pihak Malaysia pada
tahun 1991 lalu menempatkan sepasukan polisi hutan (setara Brimob) melakukan pengusiran
semua warga negara Indonesia serta meminta pihak Indonesia untuk mencabut klaim atas
kedua pulau.
Sikap pihak Indonesia yang ingin membawa masalah ini melalui Dewan Tinggi ASEAN dan
selalu menolak membawa masalah ini ke ICJ kemudian melunak. Dalam kunjungannya ke Kuala
Lumpur pada tanggal 7 Oktober 1996, Presiden Soeharto akhirnya menyetujui usulan PM
Mahathir tersebut yang pernah diusulkan pula oleh Mensesneg Moerdiono dan Wakil PM Anwar
Ibrahim, dibuatkan kesepakatan "Final and Binding,"pada tanggal 31 Mei 1997, kedua negara
menandatangani persetujuan tersebut. Indonesia meratifikasi pada tanggal 29 Desember 1997
dengan Keppres Nomor 49 Tahun 1997 demikian pula Malaysia meratifikasi pada 19 November
1997.
C. Hasil Keputusan MI
Pada tahun 1998 masalah sengketa Sipadan dan Ligitan dibawa ke ICJ,[1][2] kemudian pada hari
Selasa 17 Desember 2002 ICJ mengeluarkan keputusan tentang kasus sengketa kedaulatan Pulau
Sipadan-Ligitan antara Indonesia dengan Malaysia. Hasilnya, dalam voting di lembaga itu, Malaysia
dimenangkan oleh 16 hakim, sementara hanya 1 orang yang berpihak kepada Indonesia. Dari 17
hakim itu, 15 merupakan hakim tetap dari MI, sementara satu hakim merupakan pilihan Malaysia
dan satu lagi dipilih oleh Indonesia. Kemenangan Malaysia, oleh karena berdasarkan pertimbangan
effectivity (tanpa memutuskan pada pertanyaan dari perairan teritorial dan batas-batas maritim),
yaitu pemerintah Inggris (penjajah Malaysia) telah melakukan tindakan administratif secara nyata
berupa penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan
telur penyu sejak tahun 1930, dan operasi mercu suar sejak 1960-an. Sementara itu, kegiatan
pariwisata yang dilakukan Malaysia tidak menjadi pertimbangan, serta penolakan berdasarkan chain
of title (rangkaian kepemilikan dari Sultan Sulu) akan tetapi gagal dalam menentukan batas di
perbatasan laut antara Malaysia dan Indonesia di selat Makassar.
A. Latar Belakang
Pentingnya laut dalam hubungan antar bangsa menyebabkan pentingnya pula arti hukum
internasional. Tujuan hukum ini adalah untuk mengatur kegunaan rangkap dari laut, yaitu
sebagai jalan raya dan sebagai sumber kekayaan serta sebagai sumber tenaga. Dapatlah
dimengerti bahwa laut merupakan sarana penting dalam hubungan politik internasional.
Disamping mempunyai arti komersial dan strategis, laut juga merupakan sumber makanan
bagi umat manusia. Kepemilikan atau hak suatu Negara terhadap wilayah laut telah ada
diatur sejak tahun 1958 yaitu dengan dibentuknya UNCLOS I (1958), UNCLOS II (1960) dan
yang terakhir Konvensi PBB tentang hukum laut 1982 (UNCLOS 1982) melahirkan delapan
zonasi pengaturan (regime) hukum laut yaitu: perairan pedalaman, perairan kepulauan,
termasuk dalamnya selat yang digunakan untuk pelayaran internasional, zona tambahan,
zona ekonomi eksklusif, landas kontinen, dan kawasan dasar laut internasional. Ada dua
aspek yang membuat penting Laut China Selatan dan Kepulauan Spartly sbb: 1. Letak
Strategis. laut china selatan merupakan kawasan yang penting karena posisinya yang
strategis sebagai jalur pelayaran perdagangan dan jalur komunikasi internasional yang
menghubungkan samudra Hindia dan Pasifik. 2. Sumber Daya Alam. Kekayaan Alam yang
ada di wilayah kepulauan spratly memiliki kandungan minyak dan gas alam yang besar,
Wilayah Spartly merupakan mempunyai cadangan minyak dan gas alam sebesar 17,7 milyar
ton, atau dengan kata lain lebih besar dari cadangan minyak yang dimilki oleh Kuwait (13
milyar ton). Kedua faktor tersebut adalah alasan rasional yang menyebabkan wilayah Laut
Cina Selatan dan Kepulauan Spartly menjadi sengketa antara 4 (empat) negara ASEAN
(Vietnam, Philipina, Malaysia dan Brunei) dengan Cina dan Taiwan.
B.Kronologi Konflik
C.Penyelesain Konflik
Kesimpulan