Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN

 Latar Belakang

Persengketaan antara Indonesia dengan Malaysia, mencuat pada tahun 1967 ketika

dalam pertemuan teknis hukum laut antara kedua negara, masing-masing negara ternyata

memasukkan pulau Sipadan dan pulau Ligitan ke dalam batas-batas wilayahnya. Kedua

negara lalu sepakat agar Sipadan dan Ligitan dinyatakan dalam keadaan status quo.

Pada tanggal 31 Mei 1997 kedua negara menyepakati “Special Agreement for the submission to
the International Court of Justice the dispute between Indonesia and Malaysia concerning the
soverignty over Pulau Sipadan and Pulau Ligitan”. Special Agreement tersebut kemudian
disampaikan kepada Mahkamah Hukum Internasional pada tanggal 2 November 1998 melalui
Notifikasi Bersama (Joint Letter). Masalah pokok yang diajukan dan dimintakan dalam Special
Agreement adalah agar Mahkamah Hukum Internasional memutuskan siapa yang berdaulat
terhadap Pulau Sipadan dan Pulai Ligitan berdasarkan perjanjian, bukti dan dokumen dari
pemerintah Indonesia maupun dari pemerintah Malaysia.

Dan pada tanggal 17 Desember 2002 Mahkamah Hukum Internasional telah memberikan
kedaulatan atas Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan kepada Malaysia. Dalam hal ini Mahkamah
Hukum Internasional tidak terlalu tertarik dengan argumentasi Indonesia tentang
kepemilikannya. Dengan ditolaknya perjanjian ini maka tidak ada lagi yang dapat diandalkan
oleh Indonesia.

Semua fakta sejarah ini cukup meyakinkan bahwa Malaysia telah menunjukkan kegiatan
berdaulatannya atas kedua pulau tersebut dan sudah cukup membuktikan adanya keefektifan
untuk syarat kedaulatan suatu negara atas kedua pulau itu. Maka dalam makalah ini, akan
dibahas bagaimana penyelesaian sengketa Konflik antara Indonesia dengan Malaysia mengenai
Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan.
 Pokok Permasalahan

1. Bagaimana awal permasalahan perebutan wilayah pulau Sipadan dan Pulau Ligitan antara
Indonesia dengan Malaysia?
2. Bagaimana proses penyelesaian sengketa pulau Sipadan dan Pulau Ligitan antara
Indonesia dengan Malaysia?
3. Apa penyebab Indonesia kalah dalam sengketa perebutan wilayah pulau Sipadan dan
Pulau Ligitan?

BAB II

PEMBAHASAN

1.1 Awal Permasalahan Sengketa Wilayah Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan

Sengketa wilayah antara Indonesia dan Malaysia bermula dari pertemuan kedua delegasi dalam
penetapan batas landas kontinen antara Indonesia dan Malaysia di Kuala Lumpur pada tanggal
22 September 1969. Pada waktu pembicaraan landas kontinen di laut Sulawesi, kedua delegasi
sama-sama mengklaim Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan sebagai miliknya. Pulau Sipadan
terletak 15 mil laut sekitar 24 kilometer dari pantai daratan Sabah Malaysia dan 40 mil laut
sekitar 64 kilometer dari pantai timur Pulau Sebatik dimana bagian utara merupakan wilayah
Malaysia dan bagian timur selatan merupakan wilayah Indonesia. Posisi Pulau Ligitan terletak
21 mil laut sekitar 34 kilometer dari pantai daratan Sabah Malaysia dan 57,6 mil laut sekitar 93
kilometer dari pantai timur Pulau Sebatik. Luas Pulau Sipadan adalah 10,4 hektar dan Pulau
Ligitan adalah 7,9 hektar.

Disinilah titik sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan. Titik awal klaim pemerintah Indonesia
tampaknya lemah dan tidak mencantumkan kedua pulau tersebut dalam Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang yakni, Perpu No. 4 tahun 1960 tentang Perairan Indonesia. Di pihak
lain, kelemahan Malaysia tampak pada peta yang diterbitkan hingga tahun 1970-an tidak pernah
mencantumkan kedua pulau tersebut.

Dalam meja perundingan kedua belah pihak baik pemerintah Indonesia maupun pemerintah
Malaysia sepakat untuk menetapkan sebagai status quo atas kedua pulau tersebut. Sehubungan
dengan masalah ini, kedua negara pada tanggal 22 September 1969 menyetujui Memorandum of
Understanding (MOU) yang menetapkan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan dalam status quo
yang berarti tidak boleh ditempati, diduduki maupun dimanfaatkan baik oleh Indonesia maupun
Malaysia. Namun, mulai tahun 1979 Malaysia berubah sikap dan mengambil langkah-langkah
secara unilateral dengan menerbitkan peta-peta yang menunjukkan kedua pulau sebagai bagian
dari Malaysia, memberikan sejumlah izin kepada sejumlah perusahaan swastanya untuk
menyelenggarakan kegiatan pariwisata di Pulau Sipadan dan mendirikan instalansi-instalansi
listrik di pulau tersebut. Indonesia menganggap bahwa kegiatan-kegiatan tersebut melanggar
kesepakatan yang telah dicapai dalam status quo.

1.2 Proses Penyelesaian Sengketa Wilayah Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan

Dalam upaya untuk menyelesaikan sengketa antara kedua negara, Indonesia dan Malaysia
mengadakan perundingan-perundingan pada berbagai tingkat seperti Senior Official Meetings,
Joint Working Group Meetings dan Joint Commision Meetings, namun tidak berhasil mencapai
penyelesaian yang dapat diterima kedua pihak. Selanjutnya pada tahun 1996, Presiden Soeharto
dan Perdana Menteri Mahathir Muhammad sepakat untuk mengangkat utusan khusus dari
masing-masing negara untuk mencari solusi alternatif. kedua wakil dari Pemerintah Indonesia
dan pemerintah Malaysia berhasil menemukan solusi, yakni merekomendasikan agar perlu
adanya penyelesaian masalah ini lewat Mahkamah Hukum Internasional (ICJ).

Selanjutnya, pada tanggal 31 Mei 1997 kedua negara menyepakati Special Agreement for the
submission to the International Court of Justice the dispute between Indonesia and Malaysia
concerning the soverignty over Pulau Sipadan and Pulau Ligitan. Naskah tersebut telah
diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia pada tanggal 29 Desember 1997 melalui Keputusan
Presiden Nomor 49 tahun 1997 dan oleh pemerintah Malaysia pada tanggal 19 November 1997.
Special Agreement ini merupakan syarat prosedural yang memungkinkan ICJ memiliki
kewenangan juridiksi atas perkara ini. Special Agreement tersebut kemudian disampaikan kepada
Mahkamah Hukum Internasional pada tanggal 2 November 1998 melalui suatu Joint Letter atau
Notifikasi Bersama. Masalah pokok yang diajukan dan dimintakan dalam Special Agreement
adalah agar Mahkamah Hukum Internasional memutuskan siapa yang berdaulat atas kepemilikan
Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan berdasarkan perjanjian,bukti dan dokumen yang tersedia dari
pemerintah Indonesia maupun dari pemerintah Malaysia. Special Agreement ini juga
mencantumkan putusan Mahkamah Hukum Internasional sebagai bersifat akhir dan mengikat
(final and binding).

Tanggal 3 hingga 12 Juni 2002 Mahkamah Hukum Internasional telah mendengarkan


argumentasi lisan dari Indonesia dan Malaysia sehubungan dengan sengketa wilayah (territorial
dispute) Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan. Dan pada tanggal 17 Desember 2002 Mahkamah
Hukum Internasional telah memberikan kedaulatan atas Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan kepada
Malaysia. Dalam hal ini Mahkamah Hukum Internasional tidak terlalu tertarik dengan
argumentasi Indonesia tentang akar kepemilikannya yang didasarkan pada Perjanjian Belanda-
Inggris tahun 1891, yang pada Pasal IV menyebutkan bahwa garis batas kedua negara adalah
garis lintang 4o 10’ di pantai timur Pulau Kalimantan terus ke Timur memotong Pulau Sebatik
dan menempatkan kedua pulau itu di bawah garis lintang tersebut yang berart i milik Belanda.
Menurut Mahkamah, perjanjian itu adalah perjanjian darat dan sulit diinterpretasikan sebagai
perjanjian wilayah laut. Dengan ditolaknya perjanjian ini sebagai perjanjian alokasi laut, maka
tidak ada lagi yang dapat diandalkan oleh Indonesia.
Berbeda dengan Indonesia, bukti efektif Malaysia atas kedua pulau tersebut dan dalam
periode yang cukup lama, antara lain, bahwa Malaysia sejak tahun 1917 telah melakukan fungsi
legislatif atas kedua pulau tersebut misalnya dengan dikeluarkannya Peraturan Perlindungan
Penyu, serta mengeluarkan Perizinan untuk menangkap telur penyu. Malaysia juga telah
membangun mercusuar di Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan pada tahun 1962 dan 1963 yang terus
dipelihara sejak kemerdekaan Malaysia. Kegiatan kedaulatan Malaysia ini menurut pengamatan
Mahkamah tidak pernah diprotes oleh Indonesia. Semua fakta sejarah ini cukup meyakinkan
bahwa Malaysia telah menunjukkan kegiatan berdaulatannya atas kedua pulau tersebut dan
sudah cukup membuktikan adanya keefektifan untuk syarat kedaulatan suatu negara atas kedua
pulau itu.

1.3 Putusan Mahkamah Internasional mengenai Sengketa Wilayah Pulau Sipadan dan
Pulau Ligitan

Mahkamah Internasional mengeluarkan keputusan tentang kasus sengketa kedaulatan Pulau


Sipadan-Ligatan antara Indonesia dengan Malaysia. Hasilnya, dalam voting di lembaga itu,
Malaysia dimenangkan oleh 16 hakim, sementara hanya 1 orang yang berpihak kepada
Indonesia. Dari 17 hakim itu, 15 merupakan hakim tetap dari MI, sementara satu hakim
merupakan pilihan Malaysia dan satu lagi dipilih oleh Indonesia. Kemenangan Malaysia, oleh
karena berdasarkan pertimbangan effectivity (tanpa memutuskan pada pertanyaan dari perairan
teritorial dan batas-batas maritim), yaitu pemerintah Inggris (penjajah Malaysia) telah melakukan
tindakan administratif secara nyata berupa penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung,
pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu sejak tahun 1930, dan operasi mercu suar
sejak 1960-an.

Sementara itu, kegiatan pariwisata yang dilakukan Malaysia tidak menjadi pertimbangan, serta
penolakan berdasarkan chain of title (rangkaian kepemilikan dari Sultan Sulu) akan tetapi gagal
dalam menentukan batas di perbatasan laut antara Malaysia dan Indonesia di selat Makassar.

Berikut ini ada tiga butir Pokok-pokok Putusan Mahkamah Internasional dari sengketa pulau
sipadan ligitan ,yaitu :

1. Menolak argumentasi Malaysia bahwa kedua pulau sengketa pernah menjadi bagian dari
wilayah yang diperoleh Malaysia berdasarkan kontrak pengelolaan privat Sultan Sulu
dengan Sen-Overbeck/BNBC/Inggris/Malaysia. Mahkamah juga menolak argumentasi
Malaysia bahwa kedua pulau termasuk dalam wilayah Sulu/Spanyol/AS/Inggris yang
kemudian diserahkan kepada Malaysia berdasarkan terori rantai kepemilikan (Chain of
Title Theory). Menurut Mahkamah tidak satupun dokumen hukum atau pembuktian yang
diajukan Malaysia berdasarkan dalil penyerahan kedaulatan secara estafet ini memuat
referensi yang secara tegas merujuk kedua pulau sengketa.
2. Menolak argumentasi Indonesia bahwa kedua pulau sengketa merupakan wilayah berada
di bawah kekuasaan Belanda berdasarkan penafsiran atas pasal IV Konvensi 1891.
Penafsiran Indonesia terhadap garis batas 4° 10′ LU yang memotong Pulau Sebatik
sebagai allocation line dan berlanjut terus ke arah timur hingga menyentuh kedua pulau
sengketa juga tidak dapat di terima Mahkamah. Kejelasan perihal status kepemilikan
kedua pulau tersebut juga tidak terdapat dalam Memori van Toelichting. Peta Memori
van Toelichting yang memberikan ilustrasi sebagaimana penafsiran Indonesia atas pasal
IV tersebut dinilai tidak memiliki kekuatan hukum karena tidak menjadi bagian dari
konvensi 1891. Mahkamah juga menolak dalil alternatif Indonesia mengingat kedua
pulau sengketa tidak disebutkan di dalam perjanjian kontrak 1850 dan 1878 sebagai
bagian dari wilayah Kesultanan Bulungan yang diserahkan kepada Pemerintah Kolonial
Belanda.
3. Penguasaan efektif dipertimbangkan sebagai masalah yang berdiri sendiri dengan tahun
1969 sebagai critical date mengingat argumentasi hukum RI maupun argumentasi hukum
Malaysia tidak dapat membuktikan klaim kepemilikan masing-masing atas kedua pulau
yang bersengketa Penyelesaian sengketa yang akhirnya diserahakan kepada Mahkamah
Internasional ini pada hakikatnya merupakan keberhasilan diplomasi dari pihak Malaysia
dan Indonesia. Cara damai yang ditempuh Indonesia dan Malaysia akan memberikan
dampak yang besar bagi kawasan Asia Tenggara, seperti misalnya cara penyelesaian
kedua belah pihak (Malaysia-Indonesia) yang menyerahkan persoalan ini seutuhnya
kepada Mahkamah Internasional dapat ditiru sebagai salah satu model penyelesaian
klaim-klaim teritorial lain antar negara anggota ASEAN yang masih cukup banyak
terjadi, misalnya klaim teritorial Malaysia dan Thailand dengan hampir semua negara
tetangganya.

Satu hal yang perlu disesali dalam mekanisme penyelesaian konflik Sipadan dan Ligitan adalah
tidak dipergunakannya mekanisme regional ASEAN. ASEAN, sebagai satu forum kerja sama
regional, sangat minimal perannya dalam pemecahan perbatasan. Hal ini karena dipandang
sebagai persoalan domestik satu negara dan ASEAN tidak ikut campur tangan di atasnya.
Sesungguhnya, ASEAN sendiri sudah merancang terbentuknya sebuah Dewan Tinggi (High
Council) untuk menyelesaikan masalah-masalah regional. Dewan ini bertugas untuk
memutuskan persoalan-persoalan kawasan termasuk masalah klaim teritorial. Namun keberatan
beberapa anggota untuk membagi sebagian kedaulatannya merupakan hambatan utama dari
terbentuknya Dewan Tinggi ini.

Akibat jatuhnya Sipadan dan Ligitan ke tangan Malaysia terjadi dampak domestik yang tak kalah
hebatnya, yaitu hilangnya salah satu pulau berharga milik Indonesia dan banyak komentar
maupun anggapan dari masyarakat bahwa Departemen Luar Negeri-lah penyebab utama
lepasnya Sipadan- Ligitan mengingat seharusnya Departemen Luar Negeri dibawah
kepemiminan Menteri Luar Negeri.

1.4 Kekalahan dan Letak Kesalahan Indonesia Mengenai Sengketa Pulau Sipadan dan
Ligitan

Kekalahan Indonesia di Sipadan dan Ligitan adalah karena Indonesia tidak bisa menunjukkan
bukti bahwa Belanda (penjajah Indonesia) telah memiliki kedua pulau itu, sementara Malaysia
bisa menunjukkan bukti bahwa Inggris (penjajah Malaysia) memiliki dan mengelola kedua pulau
itu. Dalam Hukum Internasional dikenal istilah “Uti Possidetis Juris” yang artinya negara baru
akan memiliki wilayah atau batas wilayah yang sama dengan bekas penjajahnya. Dalam sengketa
Sipadan-Ligitan, Indonesia dan Malaysia bersepakat istilah “warisan penjajah” itu berlaku untuk
wilayah-wilayah yang dikuasai sebelum tahun 1969. Jadi Mahkamah Internasional
memenangkan Malaysia saat itu bukan karena Malaysia pada tahun 1990-an telah membangun
resort di kedua pulau itu dan Inggris sebelum tahun 1969 telah menununjukkan penguasaan
yang efektif atas kedua pulau itu berupa pungutan pajak atas pemungutan telur penyu, operasi
mercu suar, dan aturan perlindngan satwa.

Sebenarnya pemerintah Indonesia dengan para diplomatnya telah berusaha untuk mendapatkan
hak atas kedua pulau itu. Dengan segala cara mereka kerahkan,mulai dari Diplomasi dan
perundingan setiap tahun-nya,tetapi Indonesia dan Malaysia juga tidak dapat mencari titik temu
dan kesepakatan dalam Sipadan dan Ligitan.sesuai dengan Piagam ASEAN,di mana negara-
negara anggota ASEAN dalam menyelesaikan suatu permasalahan harus di tempuh nya itikad
baik dan damai. Apabila tidak menemukan kesepakatan, setiap anggota ASEAN wajib membawa
kasus mereka ke PBB dan putusan Mahkamah Internasional adalah final dan tidak dapat di
ganggu gugat.

Lebih dari itu,sebenarnya Mahkamah Internasional sudah mengetahui kalau Belanda adalah
pemilik pulau itu dahulunya. Tetapi, belanda tidak pernah melakukan tindakan yang nyata
apapun di Pulau itu. Justru sebaliknya Inggris-lah yang banyak melakukan pembangunan dan
invasi di kedua pulau itu.

Dan terakhir Indonesia kalah di Faktor Occupation (pendudukan). Intinya masyarakat yang
tinggal di pulau tersebut banyak bergantung pada transpotasi dan bantuan ekonomi dari Malaysia
bertahun-tahun. Sarana hiburan seperti pemancar radio, telepon, dan televisi juga berasal dari
Malaysia selama bertahu-tahun).

Dari pernyataan diatas yang menjadi penyebab utama kekalahan Indonesia adalah Indonesia
kurang memiliki data dan bukti historis yang dapat menunjukan bahwa Belanda juga memiliki
kehendak dan tindakan menjalankan fungsi negara yang lebih kuat dari Inggris pada masanya.
Lebih dari itu, Mahkamah Internasional sudah mengetahui kalau Belanda adalah pemilik pulau
itu dahulunya. Tetapi, Belanda tidak pernah melakukan tindakan yang nyata apapun di Pulau itu.
Justru sebaliknya Inggris-lah yang banyak melakukan pembangunan dan invasi di kedua pulau
itu. Kemudian, Mahkamah Internasional menolak pembelaan dan argumen Indonesia yang
bersandar pada konvensi 1891. Argumen ini hanya mengatur batasan wilayah di Kalimantan
(darat) tidak di perairan. Jauh dari pada itu Konvensi 1891, hanya menarik 3 mil dari titik pantai
(kalau sekarang 12 mil) dan penarikan 3 mil itu tidak sampai ke sipadan dan Ligitan.

Dengan memperhatikan posisi dan letak Sipadan dan Ligitan serta ambisi strategis atau
ekonomis Belanda, sulit dibayangkan kalau Belanda tidak melakukan kegiatan pengawasan dan
pemanfaatan kedua pulau tersebut pada waktu itu. Disamping itu, nampaknya Indonesia memang
agak mengabaikan Sipadan dan Ligitan. Sesudah tahun 1969 pada saat mulai muncul sengketa
klaim, meskipun disepakati status quo atas Sipadan dan Ligitan, justru Malaysia tetap
melanjutkan kegiatannya berupa penangkapan ikan, pariwisata, dan kehadiran penduduk yang
terus meningkat.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dari pembahasan mengenai sengketa antara Indonesia dengan Malaysia mengenai Pulau Sipadan
dan Pulau Ligitan, dapat ditarik beberapa kesimpulan:

1. Awal permasalahan sengketa wilayah Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan bermula dari
pertemuan kedua delegasi dalam penetapan batas landas kontinen antara Indonesia dan
Malaysia di Kuala Lumpur pada tanggal 22 September 1969. Pada waktu pembicaraan
landas kontinen di laut Sulawesi, kedua negara sama-sama mengklaim Pulau Sipadan dan
Pulau Ligitan sebagai miliknya.
2. Permasalahan selanjutnya berawal setelah disepakatinya status quo terhadap wilayah
tersebut kemudian Malaysia melakukan kegiatan pemerintahan dan membangun tempat
wisata. Indonesia menganggap bahwa kegiatan-kegiatan tersebut melanggar kesepakatan
yang telah dicapai dalam status quo.
3. Indonesia dan Malaysia sepakat bahwa untuk menyelesaikan masalah sengketa wilayah
Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan diselesaikan melalui Mahkamah Internasional
(International Court of Justice)
4. Malaysia memenangkan kasus sengketa wilayah tersebut, maka Pulau Sipadan dan Pulau
Ligitan jatuh kepada daerah kekuasaan Malaysia
5. Penyebab kalahnya Indonesia adalah Indonesia kurang memiliki data dan bukti historis
yang dapat menunjukan bahwa Belanda juga memiliki kehendak dan tindakan untuk
menjadikan Pulau Sipadan dan Ligitan sebagai warisan penjajah
6. Penyebab lainnya adalah faktor kependudukan. Selama bertahun-tahun, fasilitas-fasilitas
yang ada di pulau tersebut adalah milik Malaysia. Indonesia tidak memiliki andil apapun
terhadap proses pembangunan yang terjadi di pulau tersebut.

3.2 Saran

Sebagai negara kepulauan yang berwawasan nusantara, maka Indonesia harus menjaga keutuhan
wilayahnya. Pulau-pulau terluar biasanya adalah daerah terpencil, miskin bahkan tidak
berpenduduk dan jauh dari perhatian Pemerintah. Keberadaan pulau-pulau kecil ini secara
geografis sangatlah strategis, karena berdasarkan pulau inilah batas negara kita ditentukan.
Pulau-pulau ini seharusnya mendapatkan perhatian dan pengawasan serius agar tidak
menimbulkan permasalahan yang dapat menggangu keutuhan wilayah Indonesia, khususnya
pulau yang terletak di wilayah perbatasan dengan negara negara yang tidak/ belum memiliki
perjanjian (agreement) dengan Indonesia. Pemerintah juga perlu mengembangkan pengelolaan
pulau-pulau di wilayah di perbatasan, antara lain sebagai wilayah konservasi dan objek wisata
bahari. Pembangunan sarana pengamanan, antara lain membangun Pos Pengamatan TNI-AL
dengan personil yang memadai jumlahnya dan sarana pendukungnya.
Advertisements
Report this ad
Report this ad

Share this:

 Twitter
 Facebook
 Google

Makalah, Materi Kuliah, Tugas Akhir 1 Comment

Post navigation
MAKALAH PERMASALAHAN DALAM TRANSAKSI GADAI DALAM
PRESPEKTIF HUKUM »

One thought on “MAKALAH TENTANG KONFLIK


ANTARA INDONESIA DENGAN MALAYSIA
MENGENAI PULAU SIPADAN DAN PULAU LIGITAN”

1. Rendy filovia

September 11, 2017 at 4:52 pm

Keren thanks!!!!

Reply

Anda mungkin juga menyukai