Anda di halaman 1dari 7

MAKALAH TENTANG KONFLIK ANTARA INDONESIA DENGAN MALAYSIA MENGENAI PULAU

SIPADAN DAN PULAU LIGITAN

by Saarah Syahiirah Erwin

BAB I

PENDAHULUAN

 Latar Belakang

Persengketaan antara Indonesia dengan Malaysia, mencuat pada tahun 1967 ketika

dalam pertemuan teknis hukum laut antara kedua negara, masing-masing negara ternyata

memasukkan pulau Sipadan dan pulau Ligitan ke dalam batas-batas wilayahnya. Kedua

negara lalu sepakat agar Sipadan dan Ligitan dinyatakan dalam keadaan status

status quo. Akan tetapi, pihak Malaysia membangun resort parawisata baru yang dikelola pihak
swasta Malaysia. Karena, Malaysia memahami statu quo sebagai tetap berada di bawah Malaysia
sampai persengketaan selesai, sedangkan pihak Indonesia mengartikan bahwa dalam status ini
berarti status kedua pulau tadi tidak boleh ditempati atau diduduki sampai persoalan atas
kepemilikan dua pulau ini selesai.

Di atas Sipadan, pulau yang luasnya hanya 4 km2 itu, Malaysia membuat penginapan hampir 20 buah
untuk dijadikan tempat pariwisata. Pemerintah Indonesia, yang juga merasa memiliki pulau-pulau
itu, segera mengirim protes ke Kuala Lumpur, minta agar pembangunan disana dihentikan.
Alasannya, Sipadan dan Ligitan itu masih dalam sengketa, belum diputus siapa pemiliknya. Pada
tahun1969 pihak Malaysia secara sepihak memasukkan kedua pulau tersebut ke dalam peta
nasionalnya

Pada tanggal 31 Mei 1997 kedua negara menyepakati “Special Agreement for the submission to the
International Court of Justice the dispute between Indonesia and Malaysia concerning the soverignty
over Pulau Sipadan and Pulau Ligitan”. Special Agreement tersebut kemudian disampaikan kepada
Mahkamah Hukum Internasional pada tanggal 2 November 1998 melalui Notifikasi Bersama (Joint
Letter). Masalah pokok yang diajukan dan dimintakan dalam Special Agreement adalah agar
Mahkamah Hukum Internasional memutuskan siapa yang berdaulat terhadap Pulau Sipadan dan
Pulai Ligitan berdasarkan perjanjian, bukti dan dokumen dari pemerintah Indonesia maupun dari
pemerintah Malaysia.

Dan pada tanggal 17 Desember 2002 Mahkamah Hukum Internasional telah memberikan kedaulatan
atas Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan kepada Malaysia. Dalam hal ini Mahkamah Hukum
Internasional tidak terlalu tertarik dengan argumentasi Indonesia tentang kepemilikannya. Dengan
ditolaknya perjanjian ini maka tidak ada lagi yang dapat diandalkan oleh Indonesia.

Semua fakta sejarah ini cukup meyakinkan bahwa Malaysia telah menunjukkan kegiatan
berdaulatannya atas kedua pulau tersebut dan sudah cukup membuktikan adanya keefektifan untuk
syarat kedaulatan suatu negara atas kedua pulau itu. Maka dalam makalah ini, akan dibahas
bagaimana penyelesaian sengketa Konflik antara Indonesia dengan Malaysia mengenai Pulau
Sipadan dan Pulau Ligitan.

 Pokok Permasalahan

1. Bagaimana awal permasalahan perebutan wilayah pulau Sipadan dan Pulau Ligitan antara
Indonesia dengan Malaysia?

2. Bagaimana proses penyelesaian sengketa pulau Sipadan dan Pulau Ligitan antara Indonesia
dengan Malaysia?

3. Apa penyebab Indonesia kalah dalam sengketa perebutan wilayah pulau Sipadan dan Pulau
Ligitan?

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Awal Permasalahan Sengketa Wilayah Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan

Sengketa wilayah antara Indonesia dan Malaysia bermula dari pertemuan kedua delegasi dalam
penetapan batas landas kontinen antara Indonesia dan Malaysia di Kuala Lumpur pada tanggal 22
September 1969. Pada waktu pembicaraan landas kontinen di laut Sulawesi, kedua delegasi sama-
sama mengklaim Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan sebagai miliknya. Pulau Sipadan terletak 15 mil
laut sekitar 24 kilometer dari pantai daratan Sabah Malaysia dan 40 mil laut sekitar 64 kilometer dari
pantai timur Pulau Sebatik dimana bagian utara merupakan wilayah Malaysia dan bagian timur
selatan merupakan wilayah Indonesia. Posisi Pulau Ligitan terletak 21 mil laut sekitar 34 kilometer
dari pantai daratan Sabah Malaysia dan 57,6 mil laut sekitar 93 kilometer dari pantai timur Pulau
Sebatik. Luas Pulau Sipadan adalah 10,4 hektar dan Pulau Ligitan adalah 7,9 hektar.

Disinilah titik sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan. Titik awal klaim pemerintah Indonesia
tampaknya lemah dan tidak mencantumkan kedua pulau tersebut dalam Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang yakni, Perpu No. 4 tahun 1960 tentang Perairan Indonesia. Di pihak lain,
kelemahan Malaysia tampak pada peta yang diterbitkan hingga tahun 1970-an tidak pernah
mencantumkan kedua pulau tersebut.

Dalam meja perundingan kedua belah pihak baik pemerintah Indonesia maupun pemerintah
Malaysia sepakat untuk menetapkan sebagai status quo atas kedua pulau tersebut. Sehubungan
dengan masalah ini, kedua negara pada tanggal 22 September 1969 menyetujui Memorandum of
Understanding (MOU) yang menetapkan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan dalam status quo yang
berarti tidak boleh ditempati, diduduki maupun dimanfaatkan baik oleh Indonesia maupun Malaysia.
Namun, mulai tahun 1979 Malaysia berubah sikap dan mengambil langkah-langkah secara unilateral
dengan menerbitkan peta-peta yang menunjukkan kedua pulau sebagai bagian dari Malaysia,
memberikan sejumlah izin kepada sejumlah perusahaan swastanya untuk menyelenggarakan
kegiatan pariwisata di Pulau Sipadan dan mendirikan instalansi-instalansi listrik di pulau tersebut.
Indonesia menganggap bahwa kegiatan-kegiatan tersebut melanggar kesepakatan yang telah dicapai
dalam status quo.

2.2 Proses Penyelesaian Sengketa Wilayah Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan

Dalam upaya untuk menyelesaikan sengketa antara kedua negara, Indonesia dan Malaysia
mengadakan perundingan-perundingan pada berbagai tingkat seperti Senior Official Meetings, Joint
Working Group Meetings dan Joint Commision Meetings, namun tidak berhasil mencapai
penyelesaian yang dapat diterima kedua pihak. Selanjutnya pada tahun 1996, Presiden Soeharto dan
Perdana Menteri Mahathir Muhammad sepakat untuk mengangkat utusan khusus dari masing-
masing negara untuk mencari solusi alternatif. Setelah melakukan empat kali pertemuan Jakarta-
Kuala Lumpur secara bergantian, kedua wakil dari Pemerintah Indonesia dan pemerintah Malaysia
berhasil menemukan solusi, yakni merekomendasikan agar perlu adanya penyelesaian masalah ini
lewat Mahkamah Hukum Internasional (ICJ).

Selanjutnya, pada tanggal 31 Mei 1997 kedua negara menyepakati Special Agreement for the
submission to the International Court of Justice the dispute between Indonesia and Malaysia
concerning the soverignty over Pulau Sipadan and Pulau Ligitan. Naskah tersebut telah diratifikasi
oleh Pemerintah Indonesia pada tanggal 29 Desember 1997 melalui Keputusan Presiden Nomor 49
tahun 1997 dan oleh pemerintah Malaysia pada tanggal 19 November 1997. Special Agreement ini
merupakan syarat prosedural yang memungkinkan ICJ memiliki kewenangan juridiksi atas perkara
ini. Special Agreement tersebut kemudian disampaikan kepada Mahkamah Hukum Internasional
pada tanggal 2 November 1998 melalui suatu Joint Letter atau Notifikasi Bersama. Masalah pokok
yang diajukan dan dimintakan dalam Special Agreement adalah agar Mahkamah Hukum
Internasional memutuskan siapa yang berdaulat atas kepemilikan Pulai Sipadan dan Pulau Ligitan
berdasarkan perjanjian,bukti dan dokumen yang tersedia dari pemerintah Indonesia maupun dari
pemerintah Malaysia. Special Agreement ini juga mencantumkan putusan Mahkamah Hukum
Internasional sebagai bersifat akhir dan mengikat (final and binding).

Tanggal 3 hingga 12 Juni 2002 Mahkamah Hukum Internasional telah mendengarkan argumentasi
lisan dari Indonesia dan Malaysia sehubungan dengan sengketa wilayah (territorial dispute) Pulau
Sipadan dan Pulau Ligitan. Dan pada tanggal 17 Desember 2002 Mahkamah Hukum Internasional
telah memberikan kedaulatan atas Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan kepada Malaysia. Dalam hal ini
Mahkamah Hukum Internasional tidak terlalu tertarik dengan argumentasi Indonesia tentang akar
kepemilikannya yang didasarkan pada Perjanjian Belanda-Inggris tahun 1891, yang pada Pasal IV
menyebutkan bahwa garis batas kedua negara adalah garis lintang 4o 10’ di pantai timur Pulau
Kalimantan terus ke Timur memotong Pulau Sebatik dan menempatkan kedua pulau itu di bawah
garis lintang tersebut yang berart i milik Belanda. Menurut Mahkamah, perjanjian itu adalah
perjanjian darat dan sulit diinterpretasikan sebagai perjanjian wilayah laut. Dengan ditolaknya
perjanjian ini sebagai perjanjian alokasi laut, maka tidak ada lagi yang dapat diandalkan oleh
Indonesia.
Berbeda dengan Indonesia, bukti efektif Malaysia atas kedua pulau tersebut dan dalam periode yang
cukup lama, antara lain, bahwa Malaysia sejak tahun 1917 telah melakukan fungsi legislatif atas
kedua pulau tersebut misalnya dengan dikeluarkannya Peraturan Perlindungan Penyu, serta
mengeluarkan Perizinan untuk menangkap telur penyu. Malaysia juga telah membangun mercusuar
di Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan pada tahun 1962 dan 1963 yang terus dipelihara sejak
kemerdekaan Malaysia. Kegiatan kedaulatan Malaysia ini menurut pengamatan Mahkamah tidak
pernah diprotes oleh Indonesia. Semua fakta sejarah ini cukup meyakinkan bahwa Malaysia telah
menunjukkan kegiatan berdaulatannya atas kedua pulau tersebut dan sudah cukup membuktikan
adanya keefektifan untuk syarat kedaulatan suatu negara atas kedua pulau itu. Dalam hal ini, apa
pun yang dilakukan oleh Indonesia sejak tahun 1969 seperti halnya menduduki kedua pulau
tersebut, tetap tidak akan dapat menghapus keefektifan Malaysia.

2.3 Putusan Mahkamah Internasional mengenai Sengketa Wilayah Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan

Mahkamah Internasional mengeluarkan keputusan tentang kasus sengketa kedaulatan Pulau


Sipadan-Ligatan antara Indonesia dengan Malaysia. Hasilnya, dalam voting di lembaga itu, Malaysia
dimenangkan oleh 16 hakim, sementara hanya 1 orang yang berpihak kepada Indonesia. Dari 17
hakim itu, 15 merupakan hakim tetap dari MI, sementara satu hakim merupakan pilihan Malaysia
dan satu lagi dipilih oleh Indonesia. Kemenangan Malaysia, oleh karena berdasarkan pertimbangan
effectivity (tanpa memutuskan pada pertanyaan dari perairan teritorial dan batas-batas maritim),
yaitu pemerintah Inggris (penjajah Malaysia) telah melakukan tindakan administratif secara nyata
berupa penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan
telur penyu sejak tahun 1930, dan operasi mercu suar sejak 1960-an.

Sementara itu, kegiatan pariwisata yang dilakukan Malaysia tidak menjadi pertimbangan, serta
penolakan berdasarkan chain of title (rangkaian kepemilikan dari Sultan Sulu) akan tetapi gagal
dalam menentukan batas di perbatasan laut antara Malaysia dan Indonesia di selat Makassar.

Berikut ini ada tiga butir Pokok-pokok Putusan Mahkamah Internasional dari sengketa pulau sipadan
ligitan ,yaitu :

1. Menolak argumentasi Malaysia bahwa kedua pulau sengketa pernah menjadi bagian dari
wilayah yang diperoleh Malaysia berdasarkan kontrak pengelolaan privat Sultan Sulu dengan
Sen-Overbeck/BNBC/Inggris/Malaysia. Mahkamah juga menolak argumentasi Malaysia
bahwa kedua pulau termasuk dalam wilayah Sulu/Spanyol/AS/Inggris yang kemudian
diserahkan kepada Malaysia berdasarkan terori rantai kepemilikan (Chain of Title Theory).
Menurut Mahkamah tidak satupun dokumen hukum atau pembuktian yang diajukan
Malaysia berdasarkan dalil penyerahan kedaulatan secara estafet ini memuat referensi yang
secara tegas merujuk kedua pulau sengketa.

2. Menolak argumentasi Indonesia bahwa kedua pulau sengketa merupakan wilayah berada di
bawah kekuasaan Belanda berdasarkan penafsiran atas pasal IV Konvensi 1891. Penafsiran
Indonesia terhadap garis batas 4° 10′ LU yang memotong Pulau Sebatik sebagai allocation
line dan berlanjut terus ke arah timur hingga menyentuh kedua pulau sengketa juga tidak
dapat di terima Mahkamah. Kejelasan perihal status kepemilikan kedua pulau tersebut juga
tidak terdapat dalam Memori van Toelichting. Peta Memori van Toelichting yang
memberikan ilustrasi sebagaimana penafsiran Indonesia atas pasal IV tersebut dinilai tidak
memiliki kekuatan hukum karena tidak menjadi bagian dari konvensi 1891. Mahkamah juga
menolak dalil alternatif Indonesia mengingat kedua pulau sengketa tidak disebutkan di
dalam perjanjian kontrak 1850 dan 1878 sebagai bagian dari wilayah Kesultanan Bulungan
yang diserahkan kepada Pemerintah Kolonial Belanda.

3. Penguasaan efektif dipertimbangkan sebagai masalah yang berdiri sendiri dengan tahun
1969 sebagai critical date mengingat argumentasi hukum RI maupun argumentasi hukum
Malaysia tidak dapat membuktikan klaim kepemilikan masing-masing atas kedua pulau yang
bersengketa Penyelesaian sengketa yang akhirnya diserahakan kepada Mahkamah
Internasional ini pada hakikatnya merupakan keberhasilan diplomasi dari pihak Malaysia dan
Indonesia. Cara damai yang ditempuh Indonesia dan Malaysia akan memberikan dampak
yang besar bagi kawasan Asia Tenggara, seperti misalnya cara penyelesaian kedua belah
pihak (Malaysia-Indonesia) yang menyerahkan persoalan ini seutuhnya kepada Mahkamah
Internasional dapat ditiru sebagai salah satu model penyelesaian klaim-klaim teritorial lain
antar negara anggota ASEAN yang masih cukup banyak terjadi, misalnya klaim teritorial
Malaysia dan Thailand dengan hampir semua negara tetangganya.

Satu hal yang perlu disesali dalam mekanisme penyelesaian konflik Sipadan dan Ligitan adalah tidak
dipergunakannya mekanisme regional ASEAN. ASEAN, sebagai satu forum kerja sama regional,
sangat minimal perannya dalam pemecahan perbatasan. Hal ini karena dipandang sebagai persoalan
domestik satu negara dan ASEAN tidak ikut campur tangan di atasnya. Sesungguhnya, ASEAN sendiri
sudah merancang terbentuknya sebuah Dewan Tinggi (High Council) untuk menyelesaikan masalah-
masalah regional. Dewan ini bertugas untuk memutuskan persoalan-persoalan kawasan termasuk
masalah klaim teritorial. Namun keberatan beberapa anggota untuk membagi sebagian
kedaulatannya merupakan hambatan utama dari terbentuknya Dewan Tinggi ini.

Akibat jatuhnya Sipadan dan Ligitan ke tangan Malaysia terjadi dampak domestik yang tak kalah
hebatnya, yaitu hilangnya salah satu pulau berharga milik Indonesia dan banyak komentar maupun
anggapan dari masyarakat bahwa Departemen Luar Negeri-lah penyebab utama lepasnya Sipadan-
Ligitan mengingat seharusnya Departemen Luar Negeri dibawah kepemiminan Menteri Luar Negeri.

2.4 Kekalahan dan Letak Kesalahan Indonesia Mengenai Sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan

Kekalahan Indonesia di Sipadan dan Ligitan adalah karena Indonesia tidak bisa menunjukkan bukti
bahwa Belanda (penjajah Indonesia) telah memiliki kedua pulau itu, sementara Malaysia bisa
menunjukkan bukti bahwa Inggris (penjajah Malaysia) memiliki dan mengelola kedua pulau itu.
Dalam Hukum Internasional dikenal istilah “Uti Possidetis Juris” yang artinya negara baru akan
memiliki wilayah atau batas wilayah yang sama dengan bekas penjajahnya. Dalam sengketa Sipadan-
Ligitan, Indonesia dan Malaysia bersepakat istilah “warisan penjajah” itu berlaku untuk wilayah-
wilayah yang dikuasai sebelum tahun 1969. Jadi Mahkamah Internasional memenangkan Malaysia
saat itu bukan karena Malaysia pada tahun 1990-an telah membangun resort di kedua pulau itu
tetapi karena Inggris sebelum tahun 1969 telah menununjukkan penguasaan yang efektif atas kedua
pulau itu berupa pungutan pajak atas pemungutan telur penyu, operasi mercu suar, dan aturan
perlindngan satwa.

Sebenarnya pemerintah Indonesia dengan para diplomatnya telah berusaha untuk mendapatkan hak
atas kedua pulau itu. Dengan segala cara mereka kerahkan,mulai dari Diplomasi dan perundingan
setiap tahun-nya,tetapi Indonesia dan Malaysia juga tidak dapat mencari titik temu dan kesepakatan
dalam Sipadan dan Ligitan.sesuai dengan Piagam ASEAN,di mana negara-negara anggota ASEAN
dalam menyelesaikan suatu permasalahan harus di tempuh nya itikad baik dan damai (Perjanjian
ASEAN 24 februari 1976 di BALI). Apabila tidak menemukan kesepakatan, setiap anggota ASEAN
wajib membawa kasus mereka ke PBB dan putusan Mahkamah Internasional adalah final dan tidak
dapat di ganggu gugat.

Lebih dari itu,sebenarnya Mahkamah Internasional sudah mengetahui kalau Belanda adalah pemilik
pulau itu dahulunya. Tetapi, belanda tidak pernah melakukan tindakan yang nyata apapun di Pulau
itu. Justru sebaliknya Inggris-lah yang banyak melakukan pembangunan dan invasi di kedua pulau
itu. Kemudian, Mahkamah Internasional menolak pembelaan dan argumen Indonesia yang
bersandar pada konvensi 1891. Argumen ini hanya mengatur batasan wilayah di Kalimantan (darat)
tidak di perairan. Jauh dari pada itu Konvensi 1891, hanya menarik 3 mil dari titik pantai (kalau
sekarang 12 mil) dan penarikan 3 mil itu tidak sampai ke sipadan dan Ligitan.

Dan terakhir Indonesia kalah di Faktor Occupation (pendudukan). Intinya masyarakat yang tinggal di
pulau tersebut banyak bergantung pada transpotasi dan bantuan ekonomi dari Malaysia bertahun-
tahun. Sarana hiburan seperti pemancar radio, telepon, dan televisi juga berasal dari Malaysia
selama bertahu-tahun).

Dari pernyataan diatas yang menjadi penyebab utama kekalahan Indonesia adalah Indonesia kurang
memiliki data dan bukti historis yang dapat menunjukan bahwa Belanda juga memiliki kehendak dan
tindakan menjalankan fungsi negara yang lebih kuat dari Inggris pada masanya. Lebih dari itu,
Mahkamah Internasional sudah mengetahui kalau Belanda adalah pemilik pulau itu dahulunya.
Tetapi, Belanda tidak pernah melakukan tindakan yang nyata apapun di Pulau itu. Justru sebaliknya
Inggris-lah yang banyak melakukan pembangunan dan invasi di kedua pulau itu. Kemudian,
Mahkamah Internasional menolak pembelaan dan argumen Indonesia yang bersandar pada
konvensi 1891. Argumen ini hanya mengatur batasan wilayah di Kalimantan (darat) tidak di perairan.
Jauh dari pada itu Konvensi 1891, hanya menarik 3 mil dari titik pantai (kalau sekarang 12 mil) dan
penarikan 3 mil itu tidak sampai ke sipadan dan Ligitan.

Dengan memperhatikan posisi dan letak Sipadan dan Ligitan serta ambisi strategis atau ekonomis
Belanda, sulit dibayangkan kalau Belanda tidak melakukan kegiatan pengawasan dan pemanfaatan
kedua pulau tersebut pada waktu itu. Disamping itu, nampaknya Indonesia memang agak
mengabaikan Sipadan dan Ligitan. Sesudah tahun 1969 pada saat mulai muncul sengketa klaim,
meskipun disepakati status quo atas Sipadan dan Ligitan, justru Malaysia tetap melanjutkan
kegiatannya berupa penangkapan ikan, pariwisata, dan kehadiran penduduk yang terus meningkat.

BAB III

PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Dari pembahasan mengenai sengketa antara Indonesia dengan Malaysia mengenai Pulau Sipadan
dan Pulau Ligitan, dapat ditarik beberapa kesimpulan:

1. Awal permasalahan sengketa wilayah Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan bermula dari
pertemuan kedua delegasi dalam penetapan batas landas kontinen antara Indonesia dan
Malaysia di Kuala Lumpur pada tanggal 22 September 1969. Pada waktu pembicaraan landas
kontinen di laut Sulawesi, kedua negara sama-sama mengklaim Pulau Sipadan dan Pulau
Ligitan sebagai miliknya.

2. Permasalahan selanjutnya berawal setelah disepakatinya status quo terhadap wilayah


tersebut kemudian Malaysia melakukan kegiatan pemerintahan dan membangun tempat
wisata. Indonesia menganggap bahwa kegiatan-kegiatan tersebut melanggar kesepakatan
yang telah dicapai dalam status quo.

3. Indonesia dan Malaysia sepakat bahwa untuk menyelesaikan masalah sengketa wilayah
Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan diselesaikan melalui Mahkamah Internasional (International
Court of Justice)

4. Malaysia memenangkan kasus sengketa wilayah tersebut, maka Pulau Sipadan dan Pulau
Ligitan jatuh kepada daerah kekuasaan Malaysia

5. Penyebab kalahnya Indonesia adalah Indonesia kurang memiliki data dan bukti historis yang
dapat menunjukan bahwa Belanda juga memiliki kehendak dan tindakan untuk menjadikan
Pulau Sipadan dan Ligitan sebagai warisan penjajah

6. Penyebab lainnya adalah faktor kependudukan. Selama bertahun-tahun, fasilitas-fasilitas


yang ada di pulau tersebut adalah milik Malaysia. Indonesia tidak memiliki andil apapun
terhadap proses pembangunan yang terjadi di pulau tersebut.

3.2 Saran

Sebagai negara kepulauan yang berwawasan nusantara, maka Indonesia harus menjaga keutuhan
wilayahnya. Pulau-pulau terluar biasanya adalah daerah terpencil, miskin bahkan tidak berpenduduk
dan jauh dari perhatian Pemerintah. Keberadaan pulau-pulau kecil ini secara geografis sangatlah
strategis, karena berdasarkan pulau inilah batas negara kita ditentukan. Pulau-pulau ini seharusnya
mendapatkan perhatian dan pengawasan serius agar tidak menimbulkan permasalahan yang dapat
menggangu keutuhan wilayah Indonesia, khususnya pulau yang terletak di wilayah perbatasan
dengan negara negara yang tidak/ belum memiliki perjanjian (agreement) dengan Indonesia.
Pemerintah juga perlu mengembangkan pengelolaan pulau-pulau di wilayah di perbatasan, antara
lain sebagai wilayah konservasi dan objek wisata bahari. Pembangunan sarana pengamanan, antara
lain membangun Pos Pengamatan TNI-AL dengan personil yang memadai jumlahnya dan sarana
pendukungnya.

Anda mungkin juga menyukai