Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH PKN

PERSENGKETAAN INDONESIA DENGAN MALAYSIA YANG


BERKAITAN DENGAN HAK PENGUASAAN ATAU
KEPEMILIKAN ATAS PULAU SIPADAN DAN LIGITAN

DISUSUN OLEH:

PRETTY BRILLIANOVRI
XI IPA 6
SMA NEGERI 4 MANDAU
TP. 2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat,
hidayah serta kesehatan sehingga saya dapat menyelesaikan karya tulis ini sesuai dengan
yang diharapkan. Makalah yang berjudul “PERSENGKETAAN INDONESIA DENGAN MALAYSIA
YANG BERKAITAN DENGAN HAK PENGUASAAN ATAU KEPEMILIKAN ATAS PULAU SIPADAN
DAN LIGITAN“ penyusunan ini dibuat dengan tujuan melengkapi nilai tugas dalam pelajaran
PKN pada tahun pelajaran 2022/2023. Saya berharap agar makalah ini dapat memberikan
manfaat bagi para pembacanya.
Saya menyadari bahwa penulisan ataupun pembahasan karya tulis ini masih jauh dari kata
sempurna, sehingga akan menjadi suatu kehormatan besar bagi saya apabila mendapatkan
kritikan dan saran yang membangun sehingga selanjutnya akan lebih baik dan sempurna.

Duri, 30 Mei 2023

Pretty Brillianovri
DAFTAR ISI

COVER………………………………………………………………………………………………………………………1
KATA PENGANTAR………………………………………................................................................2
DAFTAR ISI………………………………………………………………………………………………………………..3
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang……………………………………………………………………………………………………..4
B. Rumusan Masalah………………………………………………………………………………………………..5
BAB 2 PEMBAHASAN
A. Awal Permasalahan Sengketa Wilayah Pulau Sipadan Pulau Ligitan…………………….6
B. Proses Penyelesaian Sengketa Wilayah Pulau Sipadan Pulau Ligitan……………………6
C. Putusan Mahkamah Internasional Mengenai Sengketa Wilayah Pulau Sipadan Pulau
Ligitan……………………………………………………………………………………………………………………..8
D. Kekalahan dan Letak Kesalahan Indonesia Mengenai Sengketa Pulau Sipadan Pulau
Ligitan………………………………………………………………………………………………………………………9
BAB 3 KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan…………………………………………………………………………………………………………11
B. Saran……………………………………………………………………………………………………………..…..11
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Persengketaan antara Indonesia dengan Malaysia, mencuat pada tahun 1967
ketikan dalam pertemuan teknis hukum laut antara kedua negara, masing-masing
negara ternyata memasukkan pulau Sipadan dan pulau Ligitan ke dalam batas-batas
wilayahnya. Kedua negara lalu sepakat agar Sipadan dan Ligitan dinyatakan dalam
keadaan status status quo. Akan tetapi, pihak Malaysia membangun resort
parawisata baru yang dikelola pihak swasta Malaysia. Karena, Malaysia memahami
statu quo sebagai tetap berada di bawah Malaysia sampai persengketaan selesai,
sedangkan pihak Indonesia mengartikan bahwa dalam status ini berarti status kedua
pulau tadi tidak boleh ditempati atau diduduki sampai persoalan atas kepemilikan
dua pulau ini selesai.
Di atas Sipadan, pulau yang luasnya hanya 4 km2 itu, Malaysia membuat
penginapan hampir 20 buah untuk dijadikan tempat pariwisata. Pemerintah
Indonesia, yang juga merasa memiliki pulau-pulau itu, segera mengirim protes ke
Kuala Lumpur, minta agar pembangunan disana dihentikan. Alasannya, Sipadan dan
Ligitan itu masih dalam sengketa, belum diputus siapa pemiliknya. Pada tahun1969
pihak Malaysia secara sepihak memasukkan kedua pulau tersebut ke dalam peta
nasionalnya Pada tanggal 31 Mei 1997 kedua negara menyepakati “Special
Agreement for the submission to the International Court of Justice the dispute
between Indonesia and Malaysia concerning the soverignty over Pulau Sipadan and
Pulau Ligitan”. Special Agreement tersebut kemudian disampaikan kepada
Mahkamah Hukum Internasional pada tanggal 2 November 1998 melalui Notifikasi
Bersama (Joint Letter). Masalah pokok yang diajukan dan dimintakan dalam Special
Agreement adalah agar Mahkamah Hukum Internasional memutuskan siapa yang
berdaulat terhadap Pulau Sipadan dan Pulai Ligitan berdasarkan perjanjian, bukti dan
dokumen dari pemerintah Indonesia maupun dari pemerintah Malaysia. Dan pada
tanggal 17 Desember 2002 Mahkamah Hukum Internasional telah memberikan
kedaulatan atas Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan kepada Malaysia. Dalam hal ini
Mahkamah Hukum Internasional tidak terlalu tertarik dengan argumentasi Indonesia
tentang kepemilikannya. Dengan ditolaknya perjanjian ini maka tidak ada lagi yang
dapat diandalkan oleh Indonesia.
Semua fakta sejarah ini cukup meyakinkan bahwa Malaysia telah
menunjukkan kegiatan berdaulatannya atas kedua pulau tersebut dan sudah cukup
membuktikan adanya keefektifan untuk syarat kedaulatan suatu negara atas kedua
pulau itu. Maka dalam makalah ini, akan dibahas bagaimana penyelesaian sengketa
Konflik antara Indonesia dengan Malaysia mengenai Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana awal permasalahan perebutan wilayah pulau Sipadan dan Pulau
Ligitan antara Indonesia dengan Malaysia?
2. Bagaimana proses penyelesaian sengketa pulau Sipadan dan Pulau Ligitan antara
Indonesia dengan Malaysia?
3. Apa penyebab Indonesia kalah dalam sengketa perebutan wilayah pulau Sipadan
dan Pulau Ligitan?
BAB II
PEMBAHASAN

A. AWAL PERMASALAHAN SENGKETA WILAYAH PULAU SIPADAN PULAU


LIGITAN
Sengketa wilayah antara Indonesia dan Malaysia bermula dari pertemuan
kedua delegasi dalam penetapan batas landas kontinen antara Indonesia dan Malaysia di
Kuala Lumpur pada tanggal 22 September 1969. Pada waktu pembicaraan landas kontinen di
laut Sulawesi, kedua delegasi sama-sama mengklaim Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan
sebagai miliknya. Pulau Sipadan terletak 15 mil laut sekitar 24 kilometer dari pantai daratan
Sabah Malaysia dan 40 mil laut sekitar 64 kilometer dari pantai timur Pulau Sebatik dimana
bagian utara merupakan wilayah Malaysia dan bagian timur selatan merupakan wilayah
Indonesia. Posisi Pulau Ligitan terletak 21 mil laut sekitar 34 kilometer dari pantai daratan
Sabah Malaysia dan 57,6 mil laut sekitar 93 kilometer dari pantai timur Pulau Sebatik. Luas
Pulau Sipadan adalah 10,4 hektar dan Pulau Ligitan adalah 7,9 hektar.
Disinilah titik sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan. Titik awal klaim pemerintah
Indonesia tampaknya lemah dan tidak mencantumkan kedua pulau tersebut dalam
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yakni, Perpu No. 4 tahun 1960 tentang
Perairan Indonesia. Di pihak lain, kelemahan Malaysia tampak pada peta yang diterbitkan
hingga tahun 1970-an tidak pernah mencantumkan kedua pulau tersebut. Dalam meja
perundingan kedua belah pihak baik pemerintah Indonesia maupun pemerintah Malaysia
sepakat untuk menetapkan sebagai status quo atas kedua pulau tersebut. Sehubungan
dengan masalah ini, kedua negara pada tanggal 22 September 1969 menyetujui
Memorandum of Understanding (MOU) yang menetapkan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan
dalam status quo yang berarti tidak boleh ditempati, diduduki maupun dimanfaatkan baik
oleh Indonesia maupun Malaysia. Namun, mulai tahun 1979 Malaysia berubah sikap dan
mengambil langkah-langkah secara unilateral dengan menerbitkan peta-peta yang
menunjukkan kedua pulau sebagai bagian dari Malaysia, memberikan sejumlah izin kepada
sejumlah perusahaan swastanya untuk menyelenggarakan kegiatan pariwisata di Pulau
Sipadan dan mendirikan instalansi-instalansi listrik di pulau tersebut. Indonesia menganggap
bahwa kegiatan-kegiatan tersebut melanggar kesepakatan yang telah dicapai dalam status
quo.
B. PROSES PENYELESAIAN SENGKETA WILAYAH PULAU SIPADAN DAN
PULAU LIGITAN
Dalam upaya untuk menyelesaikan sengketa antara kedua negara, Indonesia dan
Malaysia mengadakan perundingan-perundingan pada berbagai tingkat seperti Senior
Official Meetings, Joint Working Group Meetings dan Joint Commision Meetings, namun
tidak berhasil mencapai penyelesaian yang dapat diterima kedua pihak. Selanjutnya pada
tahun 1996, Presiden Soeharto dan Perdana Menteri Mahathir Muhammad sepakat untuk
mengangkat utusan khusus dari masing-masing negara untuk mencari solusi alternatif.
Setelah melakukan empat kali pertemuan Jakarta-Kuala Lumpur secara bergantian, kedua
wakil dari Pemerintah Indonesia dan pemerintah Malaysia berhasil menemukan solusi, yakni
merekomendasikan agar perlu adanya penyelesaian masalah ini lewat Mahkamah Hukum
Internasional (ICJ).
Selanjutnya, pada tanggal 31 Mei 1997 kedua negara menyepakati Special
Agreement for the submission to the International Court of Justice the dispute between
Indonesia and Malaysia concerning the soverignty over Pulau Sipadan and Pulau Ligitan.
Naskah tersebut telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia pada tanggal 29 Desember
1997 melalui Keputusan Presiden Nomor 49 tahun 1997 dan oleh pemerintah Malaysia pada
tanggal 19 November 1997. Special Agreement ini merupakan syarat prosedural yang
memungkinkan ICJ memiliki kewenangan juridiksi atas perkara ini. Special Agreement
tersebut kemudian disampaikan kepada Mahkamah Hukum Internasional pada tanggal 2
November 1998 melalui suatu Joint Letter atau Notifikasi Bersama. Masalah pokok yang
diajukan dan dimintakan dalam Special Agreement adalah agar Mahkamah Hukum
Internasional memutuskan siapa yang berdaulat atas kepemilikan Pulai Sipadan dan Pulau
Ligitan berdasarkan perjanjian,bukti dan dokumen yang tersedia dari pemerintah Indonesia
maupun dari pemerintah Malaysia. Special Agreement ini juga mencantumkan putusan
Mahkamah Hukum Internasional sebagai bersifat akhir dan mengikat (final and binding).
Tanggal 3 hingga 12 Juni 2002 Mahkamah Hukum Internasional telah mendengarkan
argumentasi lisan dari Indonesia dan Malaysia sehubungan dengan sengketa wilayah
(territorial dispute) Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan. Dan pada tanggal 17 Desember 2002
Mahkamah Hukum Internasional telah memberikan kedaulatan atas Pulau Sipadan dan
Pulau Ligitan kepada Malaysia. Dalam hal ini Mahkamah Hukum Internasional tidak terlalu
tertarik dengan argumentasi Indonesia tentang akar kepemilikannya yang didasarkan pada
Perjanjian Belanda-Inggris tahun 1891, yang pada Pasal IV menyebutkan bahwa garis batas
kedua negara adalah garis lintang 4o 10’ di pantai timur Pulau Kalimantan terus ke Timur
memotong Pulau Sebatik dan menempatkan kedua pulau itu di bawah garis lintang tersebut
yang berart i milik Belanda. Menurut Mahkamah, perjanjian itu adalah perjanjian darat dan
sulit diinterpretasikan sebagai perjanjian wilayah laut. Dengan ditolaknya perjanjian ini
sebagai perjanjian alokasi laut, maka tidak ada lagi yang dapat diandalkan oleh Indonesia.
Berbeda dengan Indonesia, bukti efektif Malaysia atas kedua pulau tersebut dan
dalam periode yang cukup lama, antara lain, bahwa Malaysia sejak tahun 1917 telah
melakukan fungsi legislatif atas kedua pulau tersebut misalnya dengan dikeluarkannya
Peraturan Perlindungan Penyu, serta mengeluarkan Perizinan untuk menangkap telur penyu.
Malaysia juga telah membangun mercusuar di Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan pada tahun
1962 dan 1963 yang terus dipelihara sejak kemerdekaan Malaysia. Kegiatan kedaulatan
Malaysia ini menurut pengamatan Mahkamah tidak pernah diprotes oleh Indonesia. Semua
fakta sejarah ini cukup meyakinkan bahwa Malaysia telah menunjukkan kegiatan
berdaulatannya atas kedua pulau tersebut dan sudah cukup membuktikan adanya
keefektifan untuk syarat kedaulatan suatu negara atas kedua pulau itu. Dalam hal ini, apa
pun yang dilakukan oleh Indonesia sejak tahun 1969 seperti halnya menduduki kedua pulau
tersebut, tetap tidak akan dapat menghapus keefektifan Malaysia.P
C. PUTUSAN MAHKAMAH INTERNASIONAL MENGENAI SENGKETA
WILAYAH PULAU SIPADAN DAN PULAU LIGITAN
Mahkamah Internasional mengeluarkan keputusan tentang kasus sengketa
kedaulatan Pulau Sipadan-Ligatan antara Indonesia dengan Malaysia. Hasilnya, dalam voting
di lembaga itu, Malaysia dimenangkan oleh 16 hakim, sementara hanya 1 orang yang
berpihak kepada Indonesia. Dari 17 hakim itu, 15 merupakan hakim tetap dari MI,
sementara satu hakim merupakan pilihan Malaysia dan satu lagi dipilih oleh Indonesia.
Kemenangan Malaysia, oleh karena berdasarkan pertimbangan effectivity (tanpa
memutuskan pada pertanyaan dari perairan teritorial dan batas-batas maritim), yaitu
pemerintah Inggris (penjajah Malaysia) telah melakukan tindakan administratif secara nyata
berupa penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap
pengumpulan telur penyu sejak tahun 1930, dan operasi mercu suar sejak 1960-an.
Sementara itu, kegiatan pariwisata yang dilakukan Malaysia tidak menjadi pertimbangan,
serta penolakan berdasarkan chain of title (rangkaian kepemilikan dari Sultan Sulu) akan
tetapi gagal dalam menentukan batas di perbatasan laut antara Malaysia dan Indonesia di
selat Makassar.
Berikut ini ada tiga butir Pokok-pokok Putusan Mahkamah Internasional dari sengketa pulau
sipadan ligitan ,yaitu :
1. Menolak argumentasi Malaysia bahwa kedua pulau sengketa pernah menjadi bagian
dari wilayah yang diperoleh Malaysia berdasarkan kontrak pengelolaan privat Sultan
Sulu dengan Sen-Overbeck/BNBC/Inggris/Malaysia. Mahkamah juga menolak
argumentasi Malaysia bahwa kedua pulau termasuk dalam wilayah
Sulu/Spanyol/AS/Inggris yang kemudian diserahkan kepada Malaysia berdasarkan
terori rantai kepemilikan (Chain of Title Theory). Menurut Mahkamah tidak satupun
dokumen hukum atau pembuktian yang diajukan Malaysia berdasarkan dalil
penyerahan kedaulatan secara estafet ini memuat referensi yang secara tegas
merujuk kedua pulau sengketa.
2. Menolak argumentasi Indonesia bahwa kedua pulau sengketa merupakan wilayah
berada di bawah kekuasaan Belanda berdasarkan penafsiran atas pasal IV Konvensi
1891. Penafsiran Indonesia terhadap garis batas 4° 10′ LU yang memotong Pulau
Sebatik sebagai allocation line dan berlanjut terus ke arah timur hingga menyentuh
kedua pulau sengketa juga tidak dapat di terima Mahkamah. Kejelasan perihal status
kepemilikan kedua pulau tersebut juga tidak terdapat dalam Memori van Toelichting.
Peta Memori van Toelichting yang memberikan ilustrasi sebagaimana penafsiran
Indonesia atas pasal IV tersebut dinilai tidak memiliki kekuatan hukum karena tidak
menjadi bagian dari konvensi 1891. Mahkamah juga menolak dalil alternatif
Indonesia mengingat kedua pulau sengketa tidak disebutkan di dalam perjanjian
kontrak 1850 dan 1878 sebagai bagian dari wilayah Kesultanan Bulungan yang
diserahkan kepada Pemerintah Kolonial Belanda.
3. Penguasaan efektif dipertimbangkan sebagai masalah yang berdiri sendiri dengan
tahun 1969 sebagai critical date mengingat argumentasi hukum RI maupun
argumentasi hukum Malaysia tidak dapat membuktikan klaim kepemilikan masing-
masing atas kedua pulau yang bersengketa Penyelesaian sengketa yang akhirnya
diserahakan kepada Mahkamah Internasional ini pada hakikatnya merupakan
keberhasilan diplomasi dari pihak Malaysia dan Indonesia. Cara damai yang
ditempuh Indonesia dan Malaysia akan memberikan dampak yang besar bagi
kawasan Asia Tenggara, seperti misalnya cara penyelesaian kedua belah pihak
(Malaysia-Indonesia) yang menyerahkan persoalan ini seutuhnya kepada Mahkamah
Internasional dapat ditiru sebagai salah satu model penyelesaian klaim-klaim
teritorial lain antar negara anggota ASEAN yang masih cukup banyak terjadi, misalnya
klaim teritorial Malaysia dan Thailand dengan hampir semua negara tetangganya.
Satu hal yang perlu disesali dalam mekanisme penyelesaian konflik Sipadan dan Ligitan
adalah tidak dipergunakannya mekanisme regional ASEAN. ASEAN, sebagai satu forum kerja
sama regional, sangat minimal perannya dalam pemecahan perbatasan. Hal ini karena
dipandang sebagai persoalan domestik satu negara dan ASEAN tidak ikut campur tangan di
atasnya. Sesungguhnya, ASEAN sendiri sudah merancang terbentuknya sebuah Dewan Tinggi
(High Council) untuk menyelesaikan masalah-masalah regional. Dewan ini bertugas untuk
memutuskan persoalan-persoalan kawasan termasuk masalah klaim teritorial. Namun
keberatan beberapa anggota untuk membagi sebagian kedaulatannya merupakan hambatan
utama dari terbentuknya Dewan Tinggi ini. Akibat jatuhnya Sipadan dan Ligitan ke tangan
Malaysia terjadi dampak domestik yang tak kalah hebatnya, yaitu hilangnya salah satu pulau
berharga milik Indonesia dan banyak komentar maupun anggapan dari masyarakat bahwa
Departemen Luar Negeri-lah penyebab utama lepasnya Sipadan- Ligitan mengingat
seharusnya Departemen Luar Negeri dibawah kepemiminan Menteri Luar Negeri.

D. KEKALAHAN DAN LETAK KESALAHAN INDONESIA MENGENAI


SENGKETA PULAU SIPADAN DAN LIGITAN
Kekalahan Indonesia di Sipadan dan Ligitan adalah karena Indonesia tidak bisa
menunjukkan bukti bahwa Belanda (penjajah Indonesia) telah memiliki kedua pulau itu,
sementara Malaysia bisa menunjukkan bukti bahwa Inggris (penjajah Malaysia) memiliki dan
mengelola kedua pulau itu. Dalam Hukum Internasional dikenal istilah “Uti Possidetis Juris”
yang artinya negara baru akan memiliki wilayah atau batas wilayah yang sama dengan bekas
penjajahnya. Dalam sengketa Sipadan-Ligitan, Indonesia dan Malaysia bersepakat istilah
“warisan penjajah” itu berlaku untuk wilayah-wilayah yang dikuasai sebelum tahun 1969.
Jadi Mahkamah Internasional memenangkan Malaysia saat itu bukan karena Malaysia pada
tahun 1990-an telah membangun resort di kedua pulau itu tetapi karena Inggris sebelum
tahun 1969 telah menununjukkan penguasaan yang efektif atas kedua pulau itu berupa
pungutan pajak atas pemungutan telur penyu, operasi mercu suar, dan aturan perlindngan
satwa. Sebenarnya pemerintah Indonesia dengan para diplomatnya telah berusaha untuk
mendapatkan hak atas kedua pulau itu. Dengan segala cara mereka kerahkan,mulai dari
Diplomasi dan perundingan setiap tahun-nya,tetapi Indonesia dan Malaysia juga tidak dapat
mencari titik temu dan kesepakatan dalam Sipadan dan Ligitan.sesuai dengan Piagam
ASEAN,di mana negara-negara anggota ASEAN dalam menyelesaikan suatu permasalahan
harus di tempuh nya itikad baik dan damai (Perjanjian ASEAN 24 februari 1976 di BALI).
Apabila tidak menemukan kesepakatan, setiap anggota ASEAN wajib membawa kasus
mereka ke PBB dan putusan Mahkamah Internasional adalah final dan tidak dapat di ganggu
gugat.
Lebih dari itu,sebenarnya Mahkamah Internasional sudah mengetahui kalau Belanda
adalah pemilik pulau itu dahulunya. Tetapi, belanda tidak pernah melakukan tindakan yang
nyata apapun di Pulau itu. Justru sebaliknya Inggris-lah yang banyak melakukan
pembangunan dan invasi di kedua pulau itu. Kemudian, Mahkamah Internasional menolak
pembelaan dan argumen Indonesia yang bersandar pada konvensi 1891. Argumen ini hanya
mengatur batasan wilayah di Kalimantan (darat) tidak di perairan. Jauh dari pada itu
Konvensi 1891, hanya menarik 3 mil dari titik pantai (kalau sekarang 12 mil) dan penarikan 3
mil itu tidak sampai ke sipadan dan Ligitan. Dan terakhir Indonesia kalah di Faktor
Occupation (pendudukan). Intinya masyarakat yang tinggal di pulau tersebut banyak
bergantung pada transpotasi dan bantuan ekonomi dari Malaysia bertahun-tahun. Sarana
hiburan seperti pemancar radio, telepon, dan televisi juga berasal dari Malaysia selama
bertahu-tahun).
Dari pernyataan diatas yang menjadi penyebab utama kekalahan Indonesia adalah
Indonesia kurang memiliki data dan bukti historis yang dapat menunjukan bahwa Belanda
juga memiliki kehendak dan tindakan menjalankan fungsi negara yang lebih kuat dari Inggris
pada masanya. Lebih dari itu, Mahkamah Internasional sudah mengetahui kalau Belanda
adalah pemilik pulau itu dahulunya. Tetapi, Belanda tidak pernah melakukan tindakan yang
nyata apapun di Pulau itu. Justru sebaliknya Inggris-lah yang banyak melakukan
pembangunan dan invasi di kedua pulau itu. Kemudian, Mahkamah Internasional menolak
pembelaan dan argumen Indonesia yang bersandar pada konvensi 1891. Argumen ini hanya
mengatur batasan wilayah di Kalimantan (darat) tidak di perairan. Jauh dari pada itu
Konvensi 1891, hanya menarik 3 mil dari titik pantai (kalau sekarang 12 mil) dan penarikan 3
mil itu tidak sampai ke sipadan dan Ligitan.
Dengan memperhatikan posisi dan letak Sipadan dan Ligitan serta ambisi strategis
atau ekonomis Belanda, sulit dibayangkan kalau Belanda tidak melakukan kegiatan
pengawasan dan pemanfaatan kedua pulau tersebut pada waktu itu. Disamping itu,
nampaknya Indonesia memang agak mengabaikan Sipadan dan Ligitan. Sesudah tahun 1969
pada saat mulai muncul sengketa klaim, meskipun disepakati status quo atas Sipadan dan
Ligitan, justru Malaysia tetap melanjutkan kegiatannya berupa penangkapan ikan,
pariwisata, dan kehadiran penduduk yang terus meningkat.
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Dari pembahasan mengenai sengketa antara Indonesia dengan Malaysia mengenai
Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan, dapat ditarik beberapa kesimpulan:
1. Awal permasalahan sengketa wilayah Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan bermula dari
pertemuan kedua delegasi dalam penetapan batas landas kontinen antara Indonesia
dan Malaysia di Kuala Lumpur pada tanggal 22 September 1969. Pada waktu
pembicaraan landas kontinen di laut Sulawesi, kedua negara sama-sama mengklaim
Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan sebagai miliknya.
2. Permasalahan selanjutnya berawal setelah disepakatinya status quo terhadap wilayah
tersebut kemudian Malaysia melakukan kegiatan pemerintahan dan membangun
tempat wisata. Indonesia menganggap bahwa kegiatan-kegiatan tersebut melanggar
kesepakatan yang telah dicapai dalam status quo.
3. Indonesia dan Malaysia sepakat bahwa untuk menyelesaikan masalah sengketa
wilayah Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan diselesaikan melalui Mahkamah
Internasional (International Court of Justice)
4. Malaysia memenangkan kasus sengketa wilayah tersebut, maka Pulau Sipadan dan
Pulau Ligitan jatuh kepada daerah kekuasaan Malaysia
5. Penyebab kalahnya Indonesia adalah Indonesia kurang memiliki data dan bukti
historis yang dapat menunjukan bahwa Belanda juga memiliki kehendak dan tindakan
untuk menjadikan Pulau Sipadan dan Ligitan sebagai warisan penjajah
6. Penyebab lainnya adalah faktor kependudukan. Selama bertahun-tahun, fasilitas-
fasilitas yang ada di pulau tersebut adalah milik Malaysia. Indonesia tidak memiliki
andil apapun terhadap proses pembangunan yang terjadi di pulau tersebut.

B. SARAN
Sebagai negara kepulauan yang berwawasan nusantara, maka Indonesia harus
menjaga keutuhan wilayahnya. Pulau-pulau terluar biasanya adalah daerah terpencil, miskin
bahkan tidak berpenduduk dan jauh dari perhatian Pemerintah. Keberadaan pulau-pulau kecil
ini secara geografis sangatlah strategis, karena berdasarkan pulau inilah batas negara kita
ditentukan. Pulau-pulau ini seharusnya mendapatkan perhatian dan pengawasan serius agar
tidak menimbulkan permasalahan yang dapat menggangu keutuhan wilayah Indonesia,
khususnya pulau yang terletak di wilayah perbatasan dengan negara negara yang tidak/ belum
memiliki perjanjian (agreement) dengan Indonesia. Pemerintah juga perlu mengembangkan
pengelolaan pulau-pulau di wilayah di perbatasan, antara lain sebagai wilayah konservasi dan
objek wisata bahari. Pembangunan sarana pengamanan, antara lain membangun Pos
Pengamatan TNI-AL dengan personil yang memadai jumlahnya dan sarana pendukungnya.

Anda mungkin juga menyukai