Anda di halaman 1dari 12

Nama : Muhamad Lewi Garsia

BP : 1310852020

Judul : Penyelesaian Sengketa Kepemilikan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan oleh Indonesia
dan Malaysia melalui International Court of Justice (ICJ)

Salah satu benturan yang paling terasa dalam dinamika hubungan antara Indonesia dan Malaysia
adalah Sengketa Kepemilikan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan. Dampak dari segketa antar
kedua negara ini tentu saja mempengaruhi dinamika hubungan antarnegara tersebut ataupun
sentimen oleh warga kedua masing masing. Apalagi, setelah keluarnya putusan dari ICJ bahwa
Malaysia lah yang berhak atas kedaulatan di kedua pulau tersebut. Maka, disini penulis akan
mendeskripsikan “Bagaimana proses penyelesaian sengketa kepemilikan Pulau Sipadan dan
Ligitan antara Indonesia dan Malaysia?”.

Dalam proses berinteraksi dan berhubungan antar negara, konflik dan persengketaan merupakan
hal yang lumrah terjadi. Sengketa adalah adanya ketidaksesuaian mengenai masalah masalah
hukum atau fakta fakta mengenai penafsiran atau kepentingan antara dua bangsa yang berbeda.

Penyelesaian sengketa pada umumnya digolongkan dalam dua kategori :

1. Cara-cara penyelesaian secara damai yaitu apabila para pihak telah dapat menyepakati
untuk menemukan suatu solusi yang bersahabat. Dalam metode, menurut sifatnya dibagi
dua yaitu secara politik dan secara hukum. Penyelesaian damai yang bersifat politik
meliputi perundingan (negotiation), jasa-jasa baik (good-offices), penyelidikan (inquiry),
penengahan (mediation) dan konsiliasi (conciliation). Sedangkan penyelesaian secara
damai yang bersifat hukum atau prosedur hukum meliputi arbitrase (arbitration) dan
penyelesaian hukum (judical settlement);

2. Cara-cara penyelesaian secara paksa atau dengan cara kekerasan, yaitu apabila solusi
yang digunakan adalah melalui kekerasan. Penyelesaian melalui kekerasan meliputi
perang dan bersenjata non-perang seperti retorasi (retorsion), dikenakan tindakan
tindakan pembalasan (reprisals), blokade secara damai (pasific blockade), dan intervensi
(interventation).

Persengketaan yang terjadi antara Indonesia dan Malaysia tentang klaim kepemilikan Pulau
Sipadan dan Ligitan merupakan contoh dari salah satu jenis sengketa yang diselesaikan melalui
jalur damai degan proses penyelesaian hukum (judical settlement). Keputusan yang dikeluarkan
oleh Mahkamah Internasional / International Court of Justice pada tanggal 17 Desember 2002,
menyatakan bahwa Malaysia memiliki hak kedaulatan terhadap kedua pulau tersebut dan
Indonesia dinyatakan kalah dalam putusan tersebut.

Sengketa kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan ini bermula dan mencuat pada tahun 1967
ketika diadakannya pertemuan diantara dua delegasi perwakilan dari masing masing negara yang
mana saat itu membahas penetapan batas landas kontinen antara Indonesia dan Malaysia di
Kuala Lumpur pada 22 September 1969. Pada waktu pembicaraan landas kontinen di laut
Sulawesi, kedua delegasi sama-sama mengklaim dan memasukkan Pulau Sipadan dan Pulau
Ligitan ke dalam batas – batas wilayahnya. Pulau Sipadan terletak 15 mil laut sekitar 24
kilometer dari pantai daratan Sabah Malaysia dan 40 mil laut sekitar 64 kilometer dari pantai
timur Pulau Sebatik dimana bagian utara merupakan wilayah Malaysia dan bagian timur selatan
merupakan wilayah Indonesia. Posisi Pulau Ligitan terletak 21 mil laut sekitar 34 kilometer dari
pantai daratan Sabah Malaysia dan 57,6 mil laut sekitar 93 kilometer dari pantai timur Pulau
Sebatik. Luas Pulau Sipadan adalah 10,4 hektar dan Pulau Ligitan adalah 7,9 hektar.1

Klaim kedua negara didasarkan pada perjanjian pada tahun 1891 yang dibuat oleh Inggris dan
Belanda ketika membagi perbatasan di Pulau Kalimantan / Borneo. Hal ini lah yang mendasari
Malaysia maupun Indonesia tetap mempertahankan Sipadan dan Ligitan sebagai bagian dari
wilayahnya. Sehingga, sejak saat itu kedua negara terus dilangsungkan berbagai pertemuan dan
perundingan agar persengketaan yang terjadi dapat diselesaikan secara damai.

Pada akhirnya, setelah melakukan berbagai perundingan, Pemerintah Indonesia dan Malaysia
pun sepakat dengan menetapakan status quo atas kedua pulau tersebut. Maka sehubungan
dengan ditetapnya status quo, maka kedua negara pada tanggal 22 September 1969 menyetujui
1
http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/131180-T%2027319-Penyelesaian%20sengketa-Tinjauan%20literatur.pdf
Memorandum of Understanding (MOU), yang menetapkan bahwa Pulau Sipadan dan Pulau
Ligitan berada dalam status quo yang berarti tidak boleh diduduki maupun dimanfaatkan oleh
Malaysia atau Indonesia.2 Namun, Pihak Malaysia menafsirkan status quo disini adalah pulau
tersebut tetap berada di bawah Malaysia sampai kasus persengketaan tuntas, dan Malaysia
malah mengizinkan para investor swasta untuk membangun resor pariwisata baru di kedua pulau
tersebut. Dari data - data yang diperoleh, di dua pulau kecil yang terletak di Laut Sulawesi itu
dibangun cottage. Di atas Sipadan, pulau yang luasnya hanya 4 km2 itu, kini, siap menanti
wisatawan. Pengusaha Malaysia telah menambah jumlah penginapan menjadi hampir 20 buah. 3
Sementara, Indonesia mengartikan status quo ini sama seperti MOU yang disepakati, yaitu status
kedua pulau tadi tidak boleh ditempati ataupu diduduki oleh pihak manapun sampai persoalan
atas kepemilikan kedua pulau itu selesai. Tindakan Malaysia yang melakukan aktifitas di kedua
pulau itu pun kemudian sampai kepada pemerintah Indonesia, sehingga Indonesia pun
melayangkan protes ke Kuala Lumpur yang meminta agar pembangunan dan segala aktifitas
dihentikan terlebih dahulu. Alasannya dikarenakan Sipadan dan Ligitan tersebut masih berada
dalam sengketa yang belum diputus siapa pemiliknya. Sehingga dari sudut pandang Indonesia,
Malaysia dianggap telah melanggar kesepakatan yang telah dicapai dalam status quo.

Di luar pihak kedua negara, ASEAN sebagai organisasi regional yang menaungi Indonesia dan
Malaysia pun sebenarnya telah berupaya untuk meberikan bantuan dalam penyelesaian sengketa
ini. Pada tahun 1976, Traktat Persahabatan dan Kerja Sama di Asia Tenggara atau TAC (Treaty
of Amity and Cooperation in Southeast Asia) dalam KTT pertama ASEAN di pulau Bali ini
antara lain menyebutkan bahwa akan membentuk Dewan Tinggi ASEAN untuk menyelesaikan
perselisihan yang terjadi di antara sesama anggota ASEAN. 4 Tetapi pihak Malaysia menolak
dengan alasan forum ASEAN tidak akan dapat bersikap netral dikarenakan Malaysia terlibat pula
sengketa yang serupa dengan Singapura untuk klaim pulau Batu Puteh, sengketa kepemilikan
Sabah dengan Filipina serta sengketa kepulauan Spratley di Laut Cina Selatan dengan Brunei
Darussalam, Filipina, Vietnam, Cina, dan Taiwan.

2
Ibid
3
Fajar Utama, “Negosiasi Konflik Sengketa Sipadan dan Ligitan”,
https://www.scribd.com/doc/89825744/Negosiasi-Konflik-Sengketa-Sipadan-Dan-Ligitan-Fajar-Utama-1010853016
4
Fenny Wijaya, “Penyelesaian Sengketa Internasional dan Sipadan dan Ligitan”,
https://www.scribd.com/doc/145202457/Penyelesaian-Sengketa-Internasional-Dan-Pulau-Sipadan-Dan-Ligitan
Penolakan yang dilakukan oleh Malaysia kemudian juga dibarengi dengan perubahan sikap
Malaysia yang secara sepihak mulai melakukan pengakuan terhadap Sipadan dan Ligitan
tersebut dengan menerbitkan peta peta yang menunjukkan bahwa kedua pulau tersebut berada
dalam wilayah Malaysia, serta memberikan sejumlah izin kepada sejumlah perusahaan
swastanya untuk menyelenggarakan kegiatan pariwisata di Pulau Sipadan dan mendirikan
instalansi-instalansi listrik di pulau tersebut.

Setalah hampir sepuluh tahun setelah pihak Malaysia diketahui menerbitkan peta yang
memasukan kedua pulau itu sebagai bagian dari wilayahnya., Upaya diplomatis pun mulai
gencar dilakukan kembali dimulai pada tahun 1988. Upaya penyelesaian secara politis pun
dilakukan secara bertahap. Perundingan dilakukan baik pada tingkat pejabat teknis (Joint
Working Group on Sipadan and Ligitan/JWG), pejabat senior (Senior Offcial Meeting), hingga
forum pertemuan tingkat Menteri Luar Negeri (Joint Commission Meeting). 5 Untuk itu
ditunjuklah atu perwakilan masing masing negara untuk mencari solusi alternatif. Maka
didapatlah solusi untuk menyelesaikan permasalahan ini melalui jalur hukum. Hal ini dilakukan
dikarenakan sulitnya memperoleh solusi secara politis dan juga dengan pertimbangan persoalan
kepemilikan kedua pulau ini pun merupakan masalah hukum dan dapat menajdi isu sensitif bagi
kedua negara. Perundingan yang dilakukan oleh kedua belah pihak yaitu bertukar argumentasi
hukum yang mana saling berupaya mematahkan argumentasi hukum masing masing. Untuk
memperkuat dalil hukum yang diajukannya kedua negara kemudian menyampaikan dokumen-
dokumen dan bukti - bukti yang diasumsikan dapat mendukung klaimnya masing-masing. Upaya
ini dilakukan dengan pertimbangan masing-masing memiliki dasar hukum yang lebih kuat untuk
mendukung klaimnya.

Pernah pula diusulkan opsi untuk pengelolaan kedua pulau yang dipersengketakan tersebut
secara bersama, namun hal ini sulit untuk dilakukan mengingat kedua negara llebih menekankan
pada keinginan untuk memperoleh kejelasan status kepemilikan atas Pulau Sipadan dan Ligitan.

5
Mada Apriandi Zuhir, “STUDI TENTANG PENERAPAN
EFFECTIVES OCCUPATION PRINCIPLE DALAM PENYELESAIAN SENGKETA WILAYAH
NEGARA”,http://eprints.unsri.ac.id/2701/2/Isi.pdf
Setelah melakukukan sekitar empat kali pertemuan di Jakarta dan Kuala Lumpur secara
bergantian, kedua wakil dari Pemerintah Indonesia dan pemerintah Malaysia pun bersepakat
dengan merekomendasikan penyelesaian masalah ini dengan jalur hukum lewat Mahkamah
Hukum Internasional (International Court of Justice). Hal ini dipertegas dengan kedua negara
menyepakati Special Agreement for the submission to the International Court of Justice the
dispute between Indonesia and Malaysia concerning the soverignty over Pulau Sipadan and
Pulau Ligitan.6 Special Agreement ini merupakan syarat prosedural yang memungkinkan ICJ
memiliki kewenangan justifiksi atas perkara ini. Kemudian Special Agreement ini disampaikan
kepada Mahkamah Hukum Internasional pada tanggal 2 November 1998 melalui suatu Joint
Letter atau Notifikasi Bersama. Masalah pokok yang diajukan dalam Special Agreement ini
adalah Mahkamah Internasional memutuskan siaapakah yang berhak dan berdaulat atas
kepemilikan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan berdasarkan perjanjian-perjanjian yang ada, bukti-
bukti dan dokumen-dokumen yang tersedia dari pemerintah Indonesia maupun dari pemerintah
Malaysia.

Dalam memutuskan sengketa ini terdapat 15 orang hakim ICJ yaitu; Gilbert Guillaume
berkewarganegaraan Perancis sebagai ketua, Jiuyong Shi berkewarganegaraan China sebagai
wakil ketua. Sedangkan hakim anggota adalah Shigeru Oda berkewarganegaraan Jepang,
Raymond Ranjeva berkewarganegaraan Madagaskar, Geza Herezegh berkewarganegaruan
Jerman, Abdul G. Koroma berkewarganegaran Sierra Leone, Vladen S. Vereshchetin
berkewarganegaraan Russia, Rosalyn Higins berkewarganegaraan Inggris, Gonzalo Parra-
Aranguren berkewarganegaraan Venezuela, Pieter H. Kooijmans berkewarganegaran Belanda,
Fransisco Rezek berkewarganegaraan Brazil, Awn Shawkat Al-Khasanwneh
berkewarganegaraan Yordania, Thomas Buergenthal berkewarganegaraan Amerika Serikat,
Nabil Elaraby berkewarganegaraan Mesir. Selain itu juga kedua negara menunjuk hakim ad hoc.
Indonesia memilih Mr. Mohamed Shahabuddeen dan Malaysia menunjuk Mr. Christopher
Gregory Weeramantry. Namun setelah pengunduran diri Mr. Shahabuddeen,Indonesia menunjuk
Mr. Thomas Franck untuk menggantikannya.

6
http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/131180-T%2027319-Penyelesaian%20sengketa-Tinjauan%20literatur.pdf
Tanggal 3 hingga 12 Juni 2002 ICJ telah mendengarkan argumentasi lisan dari Indonesia dan
Malaysia sehubungan dengan sengketa wilayah (territorial dispute) Pulau Sipadan dan Pulau
Ligitan. Dasar utama klaim kedaulatan Indonesia atas Pulau Sipadan dan Ligitan adalah treaty
based tittle atau conventional tittle terutama pada penafsiran atas Pasal IV Konvensi 1891 yang
merumuskan;

"From 4o 10’ north latitude on the east coast the boundary-line shall be continued eastward
along that parallel, across the Island of Sebittik: that portion of the island situated to the north of
that parallel shall belong unreservedly to the British North Borneo Company, and the portion
south of that parallel to the Netherlands.”7

Konvensi diatas menunjukkan bahwa garis 4o 10’ ini menunjukkan batas antara kepemilikan
wilayah Belanda dan Inggris dengan memotong Pulau Sebatik. Indonesia juga menyampaikan
argumen bahwa jika ICJ menolak atas dasae Konvensi 1891, maka dasar lainnya adalah bahwa
Indonesia merupakan negara suksesor dari Kesultanan Bulungan, dikarenakan sebelumnya
kerajaan inilah yang memiliki kewenangan atas pulau-pulau tersebut yang kemudian diserahkan
ke Belanda.

Sedangkan Malaysia mengklaim kedaulatan atas kedua pulau tersebut atas dasar pewarisan hak
(chain of tittte theory), dimana pulau-pulau tersebut didapatkan Malaysia dengan mendasarkan
transfer kepemilikan melalui dua cara yaitu penyerahan wilayah dengan jalur Sultan Sulu ke
Spanyol ke Amerika Serikat ke Inggris ke Malaysia. Kedua yaitu melalui tindakan privat akibat
leasing.dengan alur British Nrtrth Borneo Company (BNBC)-Sultan Sulu ke Spanyol ke
Amerika Serikat ke Dent-Overbeck (BNBC) ke Inggris ke Malaysia. Selain itu Malaysia juga
mengajukan argumen alternatifrrya dengan mendasarkan pada fakta-fakta adanya pengelolaan
yang damai dan berkesinambungan (continuous peaceful possession) yang dilakukan oleh
Inggris dan juga Malaysia terhadap pulau tersebut.8

7
International Court of Justice, “CASE CONCERNING SOVEREIGNTY OVER PULAU LIGITAN AND
PULAU SIPADAN (INDONESIA v. MALAYSIA) (MERITS)”,
http://www.icj-cij.org/docket/files/102/10570.pdf
8
Mada Apriandi Zuhir, Op.cit
Kemudian berdasarkan argumen – argumen hukum tersebut, hakim hakim ICJ menggunakan tiga
pertanyaan pokok untuk menyimpulkan putusannya, yaitu :

1. Apakah Indonesia berhak atas kedua pulau tersebut berdasarkan perjanjian yang dibuat
antara Belanda dan Inggris pada tahun 1891 sebagaimana yang diargumentasikan oleh
pihak Indonesia?

2. Apakah Malaysia berhak atas kedua pulau tersebut berdasarkan pewarisan hak (chain of
tittle)sebagaimana diargumentasikan oleh pihak Malaysia?

3. Apakah penjajah Indonesia dan Malaysia (Belanda dan Inggris) sebagaimana


diargumentasikan oleh kedua belah pihak yang bertikai telah menunjukan keberadaannya
sebagai pemilik pulau tersebut sebagaimana yang diterminologikan dalam bahas Perancis
effectivites ?9

Selain argumen dari Indonesia dan Malaysia, Filipina juga mengajukan keberatan dan intervensi
yang didasarkan pada pengklaimannya atas wilayah Sabah sebagai bagian dari wilayah Filipina.
Dalam kasus sengketa ini, Filipina menganggap Malaysia menggunakan Sabah sebagai sandaran
wilayah dalam mengklaim kedua pulau yang disengketakan. Namun intervensi Filipina ini
kemudian ditolak oleh ICJ dalam putusannya pada tanggal 23 Oktober 2001.

Berdasarkan pertanyaan pokok yang digunakan ICJ, kemudian disampaikanlah hasil putusan
final pada tanggal 17 Desember 2002, dengan ICJ memutuskan bahwa kedaulatan atas Pulau
Sipadan dan Pulau Ligitan diberikan kepada Malaysia. Putusan yang dikeluarkan ICJ ini kembali
pada pertanyaan pokok nomor tiga yaitu tentang effectivites. Dua kriteria penting yang
ditentukan oleh ICJ untuk menunjukkan adanya effectivites yakni adanya kehendak atau
keinginan untuk bertindak sebagai yang berdaulat, dan adanya tindakan nyata atau pelaksanaan
kedaulatan negara pada wilayah yang disengketakan. Jadi, dalam hal ini ICJ tidak terlalu tertarik
dengan argumentasi Indonesia tentang akar kepemilikannya yang didasarkan pada Perjanjian
Belanda-Inggris tahun 1891, yang pada Pasal IV menyebutkan bahwa garis batas kedua negara

9
Ibid
adalah garis lintang 4º 10’ di pantai timur Pulau Kalimantan terus ke Timur memotong Pulau
Sebatik dan menempatkan kedua pulau itu di bawah garis lintang tersebut yang berarti milik
Belanda. Menurut ICJ, perjanjian itu adalah perjanjian darat dan sulit diinterpretasikan sebagai
perjanjian wilayah laut. Sebagaimana yang disimpulkan oleh ICJ berdasarkan summary of the
judgement of 17 December 2002 yang berkaitan dengan interpretation of the 1891 Convention ;

The Court notes that Indonesia is not a party to the Vienna Convention of 23 May 1969 on the
Law of Treaties; the Court would nevertheless recall that, in accordance with customary
international law, reflected in Articles 31 and 32 of that Convention:
"a treaty must be interpreted in good faith in accordance with the ordinary meaning to be given
to its terms in their context and in the light of its object and purpose. Interpretation must be
based above all upon the text of the treaty. As a supplementary measure recourse may be had to
means of interpretation such as the preparatory work of the treaty and the circumstances of its
conclusion."
It further recalls that, with respect to Article 31, paragraph 3, it has had occasion to state that
this provision also reflects customary law, stipulating that there shall be taken into account,
together with the context, the subsequent conduct of the parties to the treaty, i.e., "any
subsequent agreement" (subpara. (a)) and "any subsequent practice" (subpara. (b))10

Sedangkan summary of the judgement of 17 December 2002 yang berkaitan dengan text of
Article IV of the 1891 Convention, ICJ merumuskan;

With respect to the terms of Article IV, Indonesia maintains that this Article contains nothing to
suggest that the line stops at the east coast of Sebatik Island. According to Malaysia, the plain
and ordinary meaning of the words "across; the Island of Sebittik"' is to describe, "in English
and in Dutch, a line that crosses Sebatik from the west coast to the east coast and goes no
further".
The Court notes that the Parties differ as to how the preposition "across" (in the English) or
"over" (in the Dutch) in the first sentence of Article IV of the 1891 Conveiltion should be
interpreted. It acknowledges that the word is not devoid of ambiguity and is capable of bearing

10
Ibid
either of the meanings given to it by the Parties. A line established by treaty may indeed pass
"across" an island and terminate on the shores of such island or continue beyond it.
The Parties also disagree on the interpretation of the part of the same sentence which reads "the
boundary-line shall be continued eastward along that parallel [4 o10’ north]". In the Court's
view, the phrase "'shall be continued" is also not devoid of ambiguity. Article I of the Convention
defines the starting point of the boundary between the two States, whilst Articles II and III
describe how that boundary continues from one part to the next. Therefore, when Article IV
provides that "the boundary-line shall be continued" again from the east coast of Borneo along
the 4'10' N parallel and across the island of Sebatik, this does not, contrary to Indonesia's
contention, necessarily mean that the line continues as an allocation line beyond Sebatik.
The Court moreover considers that the difference in punctuation in the two versions of Article IV
of the 1891 Convention does not as such. help elucidate the meaning of the text with respect to a
possible extension of the line out to sea, to the east of Sebatik Island. The Court observes that
any ambiguity could have been avoided had the Convention expressly stipulated that the 4'10' N
parallel constituted, beyond the east coast of Sebatik, the line separating the islands untfer
British sovereignty from those under Dutch sovereignty. In these circumstances, the silence in
the text cannot be ignored. It supports the position of Malaysia.11

Sedangkan argumen hukum Malaysia yang menyatakan bahwa Malaysia berhak atas kedua
pulau tersebut berdasarkan pewarisan hak ( chain of tittle ) juga ditolak oleh ICJ, berdasarkan
jawaban berikut ;

…..The Court then recalls that for its part, Malaysia maintains that it acquired sovereignty over
the islands of Ligitan and Sipadan further to a series of alleged transfers of the title originally
held by the former sovereign, the Sultan of Sulu, that title having allegedly passed in turn to
Spain, the United States, Great Britain on behalf of the State of North Borneo, the United
Kingdom of Great Britain and Northern Ireland and finally to Malaysia. It is this "chain of title"
which, according to Malaysia, provides it with a treaty-based title to Ligitan and Sipadan.
The Court notes at the outset that the islands in dispute are not mentioned by name in any of the
international legal instruments presented by Malaysia to prove the alleged consecutive transfers

11
Ibid.
of title. It further notes that the two islands were not included in the grant by which the Sultan of
Sulu ceded all his rights and powers over his possessions in Borneo, including the islands within
a limit of 3 marine leagues, to Alfred Dent and Baron von Overbeck on 22 January 1878, a fact
not contested by the Parties. Finally, the Court observes that, while the Parties both maintain
that the islands of Ligitan and Sipadan were not terrae nullius during the period in question in
the present case, they do so on the basis of diametrically opposed reasoning, each of them
claiming to hold title to those islands…..12

Pada pertanyaan pokok kedua ini, ICJ menyatakan bahwa klaim chain of tittle theory dari
Malaysia sama lemahnya dengan klaim conventional tittle oleh Indonesia, dikarenakan bukti -
bukti hukum yang mendukung klaim tersebut tidak dapat dibuktikan di depan ICJ. Selain itu ICJ
menyatakan bahwa tidak ada bukti dokumen authentik yang dapat meyakinkan bahwa kedua
pulau tersebut diwarisi Malaysia dari negara-negara terdahulunya.

Pada pertanyaan pokok nomor tiga-lah, ICJ memperoleh kesimpulan bahwa Malaysia memiliki
sejumlah dokumen yang menunjukan adanya administrasi berkesinambungan yang dilakukan
pemerintah kolonial Inggris terhadap kedua pulau yang disengketakan. Tindakan pengelolaan
yang dilakukan oleh Inggris dibuktikan dengan beragam pelaksanaan administratif, legislatif
maupun quasi yudisial yang diperlihatkan dengan fakta dikeluarkannya Peraturan Perlindungan
Penyu serta mengeluarkan Perizinan untuk pengumpulan telur penyu sejak tahun 1917,
penyelesaian kasus-kasus sengketa pengumpulan telur penyu di Pulau Sipadan pada tahun 1930-
an, penetapan Pulau Sipadan sebagai cagar burung (bird sanctuaries) dan pembangunan serta
pemeliharaan mercusuar sejak tahun 1962 di Pulau Sipadan dan tahun 1963 di Pulau Ligitan.
sehingga pada voting yang diadakan oleh 17 hakim ICJ, Malaysia dimenangkan oleh 16 hakim,
sedangkan hanya satu hakim yang berpihak pada Indonesia.

Dari sini dapat kita lihat bahwa keberhasilan Malaysia dalam memperoleh kedaultan di Pulau
Sipadan dan Pulau Ligitan dikarenakan praktik effectivites yang telah dilakukan sejak zaman
kolonial Inggris terhadap kedua pulau tersebut, sehingga hal tersebut menjadi bukti dari
kedaulatan yang telah dilakukan Malaysia ataupun pendahulunya di pulau pulau tersebut.

12
Selengkapnya dapat dibaca pada http://www.icj-cij.org/docket/files/102/10570.pdf
Sedangkan Indonesia yang hanya berpatokan pada konvensi tahun 1891, belum dianggap
memenuhi bukti bukti kepemilikan sebagaimana Malaysia yang berpatokan pada pewarisan hak.
Jadi dengan berakhirnya putusan kepemilikan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan ini memberikan
suatu pelajaran penting bagi Indonesia yaitu dengan melakukan praktik effectivites pada pulau
pulau terluar sehingga persoalan Sipadan dan Ligitan ini tidak akan terulang kembali pada
periode periode yang akan mendatang.

Daftar Pustaka

Balthazar, Paulina Carolina. “Kegagalan Indonesia Dalam Sengketa Pulau Sipadan dan Pulau
Ligitan di Mahkamah Internasional”. http://repository.unair.ac.id/48283/1/KK%20FIS%20HI
%2029-04%20BAL%20K.pdf

Butcher, John G . “The International Court of Justice and the Territorial Dispute between
Indonesia and Malaysia in the Sulawesi Sea”.Contemporary Southeast Asia Vol. 35, No. 2
(2013).
http://www98.griffith.edu.au/dspace/bitstream/handle/10072/56385/90015_1.pdf;jsessionid=FA
DFCC943D2775251B1DB5996DF1B45A?sequence=1

International Court of Justice, “CASE CONCERNING SOVEREIGNTY OVER PULAU


LIGITAN AND PULAU SIPADAN (INDONESIA v. MALAYSIA) (MERITS)”,
http://www.icj-cij.org/docket/files/102/10570.pdf

Puspita, Ajeng Ninditia. “KONFLIK KEPULAUAN SIPADAN & LIGITAN ANTARA


INDONESIA DAN MALAYSIA PERIODE 1969-2002”.
https://www.academia.edu/10030118/Konflik_Indonesia_dan_Malaysia_tentang_Kepulauan_Sip
adan_dan_Ligitan
Tabloid Diplomasi. No. 35 Tahun III, 2010.
http://www.tabloiddiplomasi.org/pdf/2010/DIPLOMASI%20September%202010.pdf
Utama, Fajar .“Negosiasi Konflik Sengketa Sipadan dan Ligitan”.
https://www.scribd.com/doc/89825744/Negosiasi-Konflik-Sengketa-Sipadan-Dan-Ligitan-Fajar-
Utama-1010853016

Wiharyanto, A Kardiyat. “Klaim Sipadan-Ligitan Gagal?”,


http://perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/blob/F12965/Klaim%20Sipada1.doc

Wijaya, Fenny. “Penyelesaian Sengketa Internasional dan Sipadan dan Ligitan”.


https://www.scribd.com/doc/145202457/Penyelesaian-Sengketa-Internasional-Dan-Pulau-
Sipadan-Dan-Ligitan

Zuhir, Mada Apriandi. “STUDI TENTANG PENERAPAN EFFECTIVES OCCUPATION


PRINCIPLE DALAM PENYELESAIAN SENGKETA WILAYAH NEGARA”.
http://eprints.unsri.ac.id/2701/2/Isi.pdf

http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/131180-T%2027319-Penyelesaian%20sengketa-Tinjauan
%20literatur.pdf

Anda mungkin juga menyukai